Sang Megatantra Jilid 34

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Setelah kini Lembara menyerangnya dengan bertubi dan dengan pengerahan tenaga sakti, karena agaknya pria itu hendak membalas dendam karena dirobohkan dan ditendang masuk ke dalam kolam sehingga hal itu tentu saja dianggapnya sebagai penghinaan, Puspa Dewi juga melayaninya dengan gerakan tubuhnya yang lincah dan ringan.

Pada waktu itu, Puspa Dewi sudah mewarisi semua ilmu yang dikuasai Nyi Dewi Durgakumala. Tentu saja gurunya yang menjadi ibu angkatnya itu menang pengalaman, akan tetapi di lain pihak Puspa Dewi menang muda dan lebih kuat daya tahan dan pernapasannya sehingga kalau dibuat perbandingan, tingkat yang dimiliki Puspa Dewi seimbang dengan kepandaian Nyi Dewi Durgakumala sendiri.

Maka dapat dibayangkan betapa saktinya dara perkasa ini. Setelah bertanding saling serang selama lima puluh jurus lebih, Puspa Dewi tahu bahwa lawannya memang tangguh dan kokoh kuat pula pertahanannya. Kalau ia mau mengeluarkan aji pamungkasnya untuk membunuh, seperti pukulan beracun Wisa kenaka, tentu ia akan dapat merobohkan lawannya.

Akan tetapi, ia tidak ingin membunuh jagoan anak buah Pangeran Hendratama karena hal itu tentu akan menimbulkan urusan besar yang menimbulkan geger dan tidak enak. Maka setelah mendapatkan saat lawannya mengerahkan semua tenaga dalamnya menyerang dengan pukulan lurus ke arah dadanya, Puspa Dewi cepat melompat kekiri, kemudian ia balas menyerang dengan pekik melengking yang menggetarkan seluruh taman. Itulah Pekik Guruh Bairawa yang amat kuat getarannya, mengguncang jantung lawan.

Diserang dengan pekik yang sama sekali tidak disangka-sangka itu, Lembara terkejut dan dia terhuyung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Puspa Dewi untuk mengirim tendangan berantai dengan kedua kakinya bergantian. Lembara yang terhuyung masih dapat mengelakkan dua kali tendangan dan menangkis sekali tendangan, akan tetapi tendangan ke empat kalinya mengenai pahanya.

"Bukk..!" Tak dapat dihindarkan lagi, Lembara jatuh terjengkang!

Pangeran Hendratama yang menyaksikan pertandingan itu kagum bukan main. Hampir sukar dipercaya bahwa gadis muda remaja itu mampu mengalahkan Lembara, jagoannya yang paling tangguh. Bahkan dia sendiri akan sukar mengalahkan Lembara! Kini dia melihat Lembara mencabut goloknya yang besar. Pangeran Itu merasa tegang, akan tetapi dia membiarkan saja, ingin sekali melihat apakah Puspa Dewi akan mampu menandingi Lembara.

Ketika Puspa Dewi melihat lawannya yang sudah dua kali ia jatuhkan itu masih nekat, bahkan kini mencabut sebatang golok besar, ia membentak marah.

"Anjing tolol, apakah engkau masih belum mengaku kalah dan nekat?"

Lembara yang merasa malu sekali memang sudah nekat. Dia dipermalukan di depan tiga orang temannya. Maka tanpa menjawab dia sudah memutar-mutar golok besarnya sehingga terdengar suara mengaung dan golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Akan tetapi Puspa Dewi sudah menekuk kedua lututnya yang berada di depan dan belakang, kedua lengan dipentang seperti burung hendak terbang.

Itulah jurus pembukaan atau kuda-kuda dari Aji Guntur Geni. Begitu Lembara menerjang ke depan dengan goloknya, dara itu mendorongkan kedua tangannya ke depan. Akan tetapi karena tidak ingin membunuh, ia membatasi tenaganya.

"Wuuuuttt... desss..!"

Tubuh Lembara yang menerjang ke depan itu tiba-tiba terpental ke belakang dan terbanting keras. Goloknya terpental jauh dan dia jatuh pingsan oleh gempuran tenaga pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Tiga orang temannya segera berjongkok dan menolongnya. Pangeran Hendratama muncul dan berlari mendekat. Melihat munculnya Pangeran Hendratama, Puspa Dewi lalu memberi hormat dengan membungkuk.

"Maaf, pangeran. Orang itu kurang ajar dan hendak mengganggu saya, terpaksa saya memberi hajaran kepadanya."

Pangeran Hendratama mendekati Lembara yang pada saat itu baru siuman dari pingsannya dan bangkit dipapah tiga orang temannya. Baju di bagian dadanya hangus dan hancur, akan tetapi dia tidak terluka parah. Hanya guncangan akibat hawa pukulan dahsyat tadi saja yang membuatnya pingsan.

"Lembara, masih untung andika tidak tewas. Berani benar andika mengganggu puteri Nyi Dewi Durgakumala yang sekarang menjadi permaisuri Kerajaan Wira-wuri. Hayo cepat mohon ampun kepada Ni Puspa Dewi." kata Pangeran Hendratama kepada Lembara.

Mendengar ini, Lembara terkejut bukan main. Baru mendengar nama Nyi Dewi Durgakumala saja, dia sudah merasa ngeri. Kiranya gadis itu puteri datuk wanita yang sakti mandraguna itu. Dan tadi dia telah mencoba untuk merayu gadis yang ternyata puteri sekar kedaton Kerajaan wura-wuri itu! Maka, biarpun dadanya masih terasa sesak dan kepalanya masih pening, dia segera merangkap kedua tangan ke depan hidungnya sambil membungkukkan badan, menyembah kepada Puspa Dewi.

"Ampunkan hamba yang tidak mengenal paduka dan berani bersikap tidak patut, gusti puteri..."

Puspa Dewi memang tidak ingin mencari keributan, maka ia hanya menjawab singkat, "Sudah, pergilah..!"

Sambil membungkuk-bungkuk Lembara dipapah tiga orang temannya, pergi dari taman itu. Setelah kini tinggal mereka berdua dalam taman, Pangeran Hendratama berkata kepada Puspa Dewi.

"Puspa Dewi maafkanlah mereka. Mereka hanya orang orang kasar yang tidak tahu sopan santun."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan menjawab dengan suara halus namun kata-katanya cukup menggigit. "Tidak apa, paman pangeran, akan tetapi seyogianya paduka memperingatkan mereka Sikap sombong mereka dapat menyeret nama paduka menjadi celaan orang."

Wajah Hendratama menjadi kemerahan. Ucapan gadis itu sama saja dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah mengajarkan sikap baik kepada orang-orangnya. Akan tetapi setelah menyaksikan sendiri kesaktian Puspa Dewi, bukan saja sikapnya menjadi hati-hati dan hormat, juga gairahnya terhadap dara jelita itu dia hilangkan dari dalam hatinya.

"Aku akan memberi peringatan keras kepada mereka. Selain itu, Puspa Dewi, yang terpenting adalah bahwa malam ini kita harus waspada. Aku khawatir akan muncul orang-orang yang hendak mengancam nyawaku. Untuk memperkuat penjagaan menghadapi ancaman itulah maka kami minta bantuan Puteri Mandari yang mengutusmu."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Dari cerita yang didengarnya ketika Nurseta menceritakan tentang dicurinya pusaka Sang Megatantra oleh pangeran ini, ia tahu bahwa Pangeran Hendratama adalah seorang yang licik dan curang. Orang seperti ini tentu saja mempunyai banyak musuh. "Paman, siapakah orang yang mengancam keselamatan paduka?" tanyanya.

"Wah, banyak orang yang memusuhi aku, Puspa Dewi."

"Mengapa banyak orang memusuhi paduka, paman pangeran?" tanya gadis itu. Dalam hatinya ia berkata: Hanya orang jahat yang dimusuhi banyak orang!

"Mereka itu merasa iri hati kepadaku. Mungkin karena aku kembali ke kota raja, mungkin karena kekayaanku."

"Saya melihat paduka memiliki koleksi pusaka yang amat banyak sehingga memenuhi sebuah gudang pusaka yang dijaga ketat. Apakah mereka itu memusuhi paduka untuk mencuri pusaka?" gadis itu memancing.

Ditanya tentang pusaka, Pangeran Hendratama menjawab singkat, "Mungkin sekali. Siapa yang tidak ingin memiliki pusaka-pusaka yang ampuh? Sudahlah, Puspa Dewi, kuharap andika suka waspada malam ini. Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan."

Pangeran Hendratama lalu meninggalkannya, kembali ke dalam gedung. Setelah Pangeran Hendratama pergi, Puspa Dewi duduk lagi di atas bangku dan ia mengenang kembali apa yang telah terjadi. Pangeran Hendratama itu tampaknya bersikap ramah, lembut dan sopan. Akan tetapi hal ini tidak mendatangkan perasaan suka di hatinya karena ia sudah mendengar dari Nurseta tentang pangeran ini. Kehalusan sikapnya itu justeru berbahaya.

Nurseta sendiri sampai lengah dan dapat tertipu karena percaya melihat sikap baik pangeran itu. Yang jelas, pangeran itu mempunyai jagoan-jagoan pengawal yang terdiri dari orang-orang yang kasar dan tidak sopan, la mulai merasa ragu akan tugas yang diberikan ibu angkatnya ini. Tugas pertama, merampas pusaka Megatantra dari tangan Nurseta gagal karena bukan saja keris pusaka itu memang sudah tidak berada pada pemuda itu, juga ia malah menyadari bahwa tugas yang diberikan gurunya itu tidak benar.

Pusaka Megatantra itu hak milik Sang Prabu Erlangga, mengapa harus direbut? Itu sama saja dengan pencuri atau perampok yang hendak mengambil hak milik orang lain. Maka ia telah memutuskan untuk menghiraukan tugas pertama itu. Kemudian tugas kedua bahwa ia harus membunuh Ki Patih Narotama. Tugas kedua ini pun gagal ia lakukan karena selain Ki Patih Narotama terlalu sakti baginya dan sama sekali bukan lawannya, juga ia disadarkan oleh patih yang bijaksana itu.

Malah menurut keterangan Ki Patih Narotama, gurunya atau ibu angkatnya itulah yang sesat dan jahat. Keterangan ini pun terpaksa ia percaya karena ia melihat sendiri bahwa gurunya itu memang seorang wanita sesat, suka mempermainkan pemuda-pemuda remaja, kejam dan mudah membunuh orang. Maka, tugas kedua ini pun ia hiraukan.

Betapa pun juga, ia harus mengakui bahwa gurunya yang sesat itu amat sayang kepadanya, telah mewariskan semua kesaktiannya kepadanya. Karena inilah maka ia mau melaksanakan perintahnya, sekadar untuk membalas budinya yang berlimpah. Kini tinggal tugas ketiga, tugas terakhir, yaitu membantu gerakan Puteri Lasmini dan Puteri Mandari, dari Kerajaan Parang Siluman untuk menghancurkan Kahuripan, musuh bebuyutan kerajaan-kerajaan kecil itu. Akan tetapi iapun mulai merasa ragu akan pelaksanaan tugas terakhir ini.

Memang sebagai seorang puteri istana Kerajaan Wura wuri, sudah sepantasnya kalau ia membela kerajaan itu. Akan tetapi caranya ini yang ia tidak suka. Kalau Wura-wuri diserang oleh kerajaan mana pun, termasuk Kahuripan, tentu ia akan membela Wura-wuri dengan suka rela, bahkan sebagai puteri angkat raja ia sudah sepatutnya siap untuk membela dengan taruhan nyawa. Akan tetapi cara licik seperti yang mereka lakukan sekarang ini, sungguh berlawanan dengan watak dan suara hatinya.

Ini sungguh tidak adil, tidak sepantasnya dilakukan orang gagah, hanya patut dilakukan orang-orang pengecut yang suka mempergunakan kecurangan dan kelicikan. Akan tetapi, dua tugas pertama telah gagal dan bahkan ia hiraukan, apakah untuk tugas terakhir ini ia harus mundur juga. Hal inilah yang membuat Puspa Dewi termenung dalam keraguan. Apa lagi sekarang ia diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu Pangeran Hendratama, menjaga keselamatan pangeran itu dari ancaman musuh-musuhnya.

Tugas ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Kerajaan Parang Siluman! Akan tetapi karena Adipati Bhismaprahhawa sebagai Raja Wura-wuri dan ayah angkatnya, dan Ratu Dewi Durgakumala sebagai guru dan ibu angkatnya menugaskan ia harus membantu Puteri Mandari, maka ia harus mentaati semua perintahnya. Diam-diam Puspa Dewi menjadi penasaran, dan tidak senang karena pekerjaan ini dilakukan dengan terpaksa, walau pun tidak disukainya. Akhirnya lapun meninggalkan taman sari dan kembali kekamarnya dalam istana pangeran itu…..

********************

Malam itu udara dingin sekali. Segala sesuatu yang berada di luar rumah basah kuyup karena sore tadi hujan turun dengan derasnya. Namun malam ini udara cerah dan bulan yang hampir penuh tersenyum di langit. Kalau saja malam tidak sedingin itu, tentu semua orang lebih senang berada di luar rumah menikmati malam terang bulan yang mendatangkan suasana menggembirakan itu. Akan tetapi udara terlalu dingin sehingga di jalan jalan, di luar rumah, tampak sepi.

Nurseta berjalan perlahan di atas jalan besar dalam kesepian itu. Dia menuju ke istana tempat tinggal Pangeran Hendratama yang siang tadi sudah dia selidiki dimana letaknya. Siang tadi, Senopati Sindukerta sudah melakukan penyelidikan dan memastikan bahwa Pangeran Hendratama berada di istananya dan menurut penyelidikan itu, sang pangeran tidak ada rencana untuk pergi keluar istana.

"Akan tetapi aku mendengar bahwa Pangeran Hendratama mengumpulkan sedikitnya tujuh orang jagoan yang digdaya untuk menjadi pengawalnya, belum lagi para perajurit anggauta pasukan pengawal yang jumlahnya tidak kurang dari tua losin, menjaga di sekeliling istananya. Karena itu, amat berbahaya kalau engkau mengunjungi istana itu, Nurseta."

"Harap kanjeng eyang tenang. Saya dapat menjaga diri. Bagaimana pun juga, saya harus dapat merampas kembali Sang Megatantra dari tangannya, apa lagi mengingat seperti dugaan eyang bahwa dia akan menggunakan Sang Megatantra untuk mencari pengaruh dan dukungan bagi niatnya untuk memberontak."

"Bukti-bukti bahwa dia akan memberontak belum ada, Nurseta. Kalau sudah ada buktinya, tentu aku akan melaporkannya kepada Sang Prabu."

"Kanjeng eyang, buktinya ada, yaitu bahwa dia telah mencuri Sang Megatantra dari saya. Itu saja sudah membuktikan bahwa dia ingin memiliki Sang Megatantra untuk memperkuat kedudukannya sehingga dia kelak dapat menjadi raja setelah berhasil menggulingkan sang prabu. Saya dapat menjadi saksinya, eyang!"

Ki Sindukerta tersenyum. "Ingatlah, Nurseta. Pangeran Hendratama adalah kakak tiri sang permaisuri, dia adalah kakak ipar Sang Prabu Erlangga. Bukti itu belum cukup dan lemah. Bayangkan, apakah Sang Prabu akan lebih percaya kepada kesaksian seorang pemuda seperti engkau yang tidak dikenalnya dari pada kepercayaannya terhadap kakak iparnya sendiri?"

Nurseta mengangguk-angguk, melihat kebenaran ucapan kakeknya.

"Kalau begitu, saya akan mencoba mencari buktinya, eyang, di samping mencari dan merampas kembali Sang Megatantra."

"Baiklah, kalau niatmu sudah teguh. akan tetapi benar-benar engkau harus berhati-hati, Nurseta."

"Baik, kanjeng eyang. Semua nasehat eyang akan saya perhatikan dan saya mohon doa restu kanjeng eyang."

Demikianlah, malam hari itu kebetulan hawa udara yang dingin sekali memaksa orang-orang tinggal di dalam rumah masing-masing sehingga kota raja menjadi sepi. Hal ini memudahkan Nurseta melaksanakan rencananya berkunjung ke istana Pangeran Hendratama. Tentu saja hawa udara yang amat dingin itu sama sekali tidak mengganggu tubuhnya yang terlatih.

Dengan tenaga saktinya dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat. Dengan tenang dia berjalan menuju ke istana pangeran dan setelah tiba di luar istana, dia melihat betapa pintu gerbang yang memisahkan jalan raya dengan halaman rumah yang luas itu dijaga oleh tiga orang perajurit.

Dari eyangnya dia sudah mendapat keterangan bahwa pintu gerbang itu dijaga siang malam secara bergiliran. Juga para perajurit pengawal selalu melakukan perondaan di balik pagar tembok yang mengelilingi Istana itu. Memasuki pintu gerbang itu tentu akan memancing datangnya para perajurit dan jagoan pengawal. Menurut keterangan eyangnya, satu-satunya jalan yang agak aman dan tidak begitu terjaga ketat adalah melalui taman yang berada di belakang istana, akan tetapi untuk memasuki taman itu dia harus dapat melewati pagar tembok yang tingginya dua kali tinggi manusia dewasa dan di atasnya di pasangi ujung tombak-tombak runcing.

Nurseta mengambil jalan memutar mengelilingi setengah lingkaran perumahan istana itu dan tiba di bagian belakang. Pagar tembok di situ memang tinggi dan di bagian atas, terlihat di bawah sinar bulan tombak-tombak runcing menjulang ke atas, berjejer rapat. Nurseta memejamkan kedua matanya sejenak, menyatukan perhatiannya, menghimpun tenaga saktinya lalu menyalurkan ke dalam kakinya dan mengerahkan tenaganya. Begitu dia menggenjot kedua kakinya, tubuhnya meluncur ke atas dan dengan ringannya kedua kakinya hinggap di atas dua batang ujung tombak!

Bagaikan seekor burung raksasa Nurseta berdiri seenak di atas dua batang ujung tombak,mengamati ke dalam dan sudah siap siaga untuk melompat keluar lagi apabila terdapat penjaga-penjaga di sebelah dalam. Akan tetapi di sebelah dalam pagar tembok itu hanya penuh dengan tumbuh tumbuhan berbagai macam bunga, tidak tampak seorangpun manusia. Dia merasa lega dan cepat melompat ke dalam taman.

Dengan hati-hati Nurseta menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman itu, menghampiri bangunan yang tampak megah, walau pun tampak dari belakang. Lampu-lampu gantung di bagian belakang gedung itu menambah terang sinar bulan yang kini sudah berada tepat di atas kepala.

Ketika Nurseta tiba dekat bangunan dia berhenti sebentar dan berpikir untuk merencanakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia harus dapat memasuki istana itu dan menangkap Pangeran Hendratama. Kalau dia sudah dapat menguasai sang pangeran, maka para jago dan pasukan pengawal tidak akan berani menyerangnya. Dia dapat menggunakan sang pangeran sebagai sandera dan akan memaksa Pangeran Hendratama untuk menyerahkan kembali Sang Megatantra. Dengan ancaman membunuhnya pangeran itu tentu akan memenuhi permintaannya dan dengan menggunakan pangeran itu sebagai perisai, dia akan dapat keluar lagi dengan aman!

Setelah mengatur rencananya, Nurseta maju lagi. Kini dia tiba di tempat terbuka antara taman dan bangunan, sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Dia berhenti di tengah-tengah lapangan rumput itu, memandang ke atas untuk memilih bagian mana yang paling rendah dan paling mudah untuk dilompati. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suitan bertubi-tubi dari sekelilingnya dan muncullah banyak sekali perajurit yang membawa tombak, pedang atau golok di tangan.

Mereka muncul dari depan, kanan kiri dan belakang dan dia sudah terkepung! semua ini terjadi begitu tiba-tiba dan cepat sehingga Nurseta menduga bahwa memang kedatangannya sudah diketahui dan mereka memang sudah siap menjebaknya sehingga kini dia terkepung oleh sedikitnya tiga puluh orang yang semua memegang senjata!

Tujuh orang yang berpakaian biasa, tidak seperti yang lain, yang mengenakan pakaian seragam perajurit, maju menghadapi Nurseta dan seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar berkumis melintang, berusia sekitar tiga puluh tahun dan memegang sebatang golok besar, menyeringai dengan pandang mata mengejek kepada Nurseta.

Orang itu bukan lain adalah Lembara yang sudah pulih kesehatannya. Untung baginya bahwa siang tadi Puspa Dewi membatasi tenaganya ketika menyerangnya dengan Aji Guntur Geni sehingga hanya bajunya saja yang hangus dan hancur. Dadanya tidak terluka hanya terguncang dan membuatnya sesak napas sebentar. Kini, mengepung pemuda itu bersama enam orang rekannya dan dua losin perajurit, dia merasa bahwa tak mungkin pemuda yang sejak melompat pagar taman memang sudah diketahui itu akan dapat lolos.

"Heh-he-he-heh! Maling busuk, menyerahlah sebelum kami mempergunakan kekerasan!" bentak Ki Lembara sambil mengamangkan goloknya.

Karena sudah terkepung dan merasa kepalang, Nurseta menjawab dengan tenang. "Aku bukan maling, aku ingin bertemu dan bicara dengan Pangeran Hendratama. Minta dia keluar menemui aku"

"Kurang ajar..! Orang rendah macam kamu berani menyuruh Gusti Pangeran keluar untuk menemuimu? Kamu yang harus menyerah untuk kami belenggu dan kami seret ke hadapan Gusti Pangeran"

"Aku bukan penjahat dan tidak melakukan pencurian, hadapkan aku kepada Pangeran Hendratama, akan tetapi aku tidak mau menjadi tangkapan dan dibelenggu!"

"Jahanam, berani kamu, ya..? Tangkap dia, serang!" perintah Ki Lembara kepada anak buahnya.

Para pengepung itu segera bergerak, seolah hendak berlomba merobohkan Nurseta. Melihat begitu banyak orang mengepung dan menerjangnya dengan senjata runcing dan tajam, Nurseta cepat mengerahkan Aji Sirna Sarira. Tubuhnya berkelebat menjadi bayangan lalu tiba-tiba lenyap dari pandang mata para pengeroyoknya. Kemudian, para pengeroyok itu berteriak mengaduh dan mereka berpelantingan karena ditampar oleh tangan yang tidak tampak. Tentu saja mereka menjadi geger dan panik, juga seram dan merinding (meremang) karena merasa seolah-olah mereka melawan setan!

Ki Lembara dan enam orang rekannya adalah jagoan-jagoan yang tangguh. Biarpun mereka tidak dapat memunahkan ilmu yang dipergunakan Nurseta dan tidak dapat melihat bayangan pemuda itu, namun mereka dapat mengelak dan menangkis tamparan Nurseta dengan mendengarkan suara sambaran tangan yang tidak tampak itu. Juga mereka bertujuh memutar pedang atau golok mereka, menyerang sekeliling tubuh mereka sehingga Nurseta tentu saja tidak dapat mendekati mereka dan hanya merobohkan para perajurit.

Dia bermaksud memancing munculnya Pangeran Hendratama dan kalau pangeran itu muncul, akan ditawannya dan dijadikan sandera. Akan tetapi yang muncul bukannya Pangeran Hendratama, melainkan orang yang sama sekali tidak diduganya akan berada di situ dan ikut menyerangnya.

"Siapa berani mengacau di sini?" terdengar Puspa Dewi membentak dan ia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan pekik Aji Guruh Bairawa.

"Hyaaaaaaaaaahhhhh..!"

Pekik ini memang hebat sekali, dan dilanda getaran lengkingan ini Aji Sirna Sarira yang dipergunakan Nurseta menjadi buyar dan tubuhnya tampak lagi!

Mereka berdua saling pandang dan sama-sama terkejut. Puspa Dewi tidak mengira bahwa yang datang pada waktu tengah malam itu adalah Nurseta. Seketika ia tahu bahwa Nurseta tentu datang untuk merampas kembali Sang Megatantra. Sebaliknya, Nurseta juga terkejut melihat Puspa Dewi. Bagaimana gadis ini sekarang menjadi pengawal Pangeran Hendratama?

Akan tetapi melihat munculnya gadis itu, Nurseta maklum bahwa usahanya akan gagal, maka dia lalu mempergunakan Aji Bayu Sakti dan tubuhnya berkelebat cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kalau dia menggunakan Aji Sirna Sarira atau Triwikrama, mungkin dia masih akan mampu menangkap Pangeran Hendratama. Akan tetapi Puspa Dewi berada di situ dan dia tidak mau terlibat permusuhan dengan gadis itu. Para perajurit yang masih panik tidak berani mengejar. Bahkan tujuh orang jagoan itu pun agaknya jerih.

"Biar aku yang mengejarnya!" kata Puspa Dewi dan iapun mempergunakan tenaga saktinya untuk melompat dan mengejar dengan cepat sekali ke dalam taman.

"Nurseta..!"

Puspa Dewi berseru ketika melihat bayangan pemuda itu sudah mendekati pagar tembok. Mendengar seruan ini, Nurseta berhenti dan memutar tubuh Dengan cepat Puspa Dewi sudah berada di depannya.

"Puspa Dewi, engkau mengejar hendak menangkap aku?" Nurseta bertanya.

"Tidak, Nurseta. Aku tahu bahwa engkau datang pasti hendak merampas kembali Sang Megatantra dari tangan pangeran itu."

"Baik sekali kalau engkau mengetahui hal itu, Puspa Dewi. Akan tetapi kenapa engkau berada di sini, menjadi pengawal pangeran jahat itu?"

"Aku bukan pengawalnya. Aku hanya terpaksa karena diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu. Akan tetapi engkau tidak mungkin akan dapat merampas pusaka itu, Nurseta. Penjagaan amat kuatnya, bahkan sebelum engkau masuk ke sini, pangeran itu sudah tahu dan sudah melakukan penjagaan ketat. Pusaka itu tentu disembunyikan, entah dimana. Sekarang pergilah, biar aku membantumu menyelidiki dimana dia menyimpan pusaka itu."

"Terima kasih, Puspa Dewi. Aku tahu dan yakin engkau bukan gadis sesat. Karena itu tadi aku memilih melarikan diri dari pada harus bertanding melawanmu. Selamat berpisah!"

Nurseta lalu mengerahkan tenaganya, melompat ke atas pagar tembok dan hinggap di atas dua ujung tombak yang runcing, lalu menoleh, melambaikan tangan dan meloncat keluar. Puspa Dewi menghela napas, merasa kagum bukan main. Ia sendiri harus mengakui bahwa ia tidak berani melompat keatas pagar tembok setinggi itu dan hinggap di atas ujung tombak! Terlalu berbahaya. Ia mendengar suara orang-orang berlarian di belakangnya. Ia tahu bahwa itu adalah para jagoan dan perajurit. la lalu berteriak, "Maling jahat, hendak lari ke mana kau?"

Ketika para pengejar tiba di bawah pagar tembok, mereka melihat gadis itu memegang pedangnya yang hitam dan mengacung-acungkan ke atas pagar tembok.

"Di mana malingnya?" tanya mereka.

"Ah, sungguh luar biasa. Dia pandai terbang ke atas pagar tembok dan hinggap di atas ujung tombak-tombak itu, Terpaksa aku hanya dapat mengejar sampai di sini." Kata Puspa Dewi.

Para jagoan dan para perajurit sibuk membicarakan maling yang pandai menghilang dan pandai terbang itu. Tujuh orang jagoan bersama Puspa Dewi lalu menghadap Pangeran Hendratama yang bersembunyi di dalam kamar rahasia. Pangeran ini memang merasa jerih pada Nurseta, maka dia merasa lebih aman untuk bersembunyi dan mengharapkan tujuh orang jagoannya ditambah Puspa Dewi dan pasukan pengawalnya akan mampu menangkap atau membunuh pemuda sakti mandraguna itu.

"Bagaimana hasilnya? Apakah dapat ditangkap atau dibunuh?" Pangeran Hendratama bertanya kepada Lembara ketika mereka semua menghadapnya. Dengan muka kemerahan karena merasa malu Lembara melaporkan.

"Harap paduka memaafkan kami, Gusti Pangeran. Kami telah mengepung maling itu, akan tetapi dia itu sangat sakti mandraguna, pandai menghilang dan terbang..."

"Omong kosong! Mana ada manusia pandai menghilang dan terbang? Laporkan yang benar!" bentak Pangeran Hendratama dengan alis berkerut karena kecewa mendengar laporan itu dan tidak melihat Nurseta tertawan atau terbunuh.

"Hamba tidak berbohong, gusti..! Maling itu telah kami kepung dan keroyok, tiga puluh orang mengeroyoknya. Akan tetapi tiba-tiba dia menghilang dan kami dirobohkan oleh tangan yang tidak tampak. baru setelah Puteri Puspa Dewi datang, pekik saktinya dapat membuyarkan ilmu maling itu sehingga dia tampak. Akan tetapi dia melarikan diri dikejar oleh puteri Puspa Dewi. Akan tetapi dia terbang ke atas pagar tembok, hinggap diatas ujung tombak yang berada di atas pagar tembok lalu melarikan diri keluar."

Diam-diam Pangeran Hendratama terkejut. Memang dia sudah mendengar dari para selirnya bahwa pemuda itu sakti, akan tetapi dia tidak menyangka bahwa Nurseta demikian sakti mandraguna sehingga dikeroyok tiga puluh orang lebih termasuk tujuh orang jagoannya dibantu pula oleh Puspa Dewi, masih dapat meloloskan diri. Dia menjadi semakin gentar dan merasa sangat terancam keselamatannya selama pemuda itu belum ditangkap atau dibunuh.

"Benarkah apa yang diceritakan Lembara itu, Puspa Dewi?" tanyanya kepada Puspa Dewi.

"Benar, Paman Pangeran. Maling ini memang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali sehingga saya pun tidak berhasil menangkapnya." kata Puspa Dewi. "Karena itu, tidak ada gunanya lagi saya berada di sini. Harap paman mencari bantuan orang-orang lain yang lebih pandai agar keselamatan paman terjamin."

Pangeran Hendratama menghela panjang dan tampak gelisah.

"Kalau andika sendiri dibantu semua pengawalku tidak dapat menandingi maling itu, lalu siapa lagi yang dapat kumintai bantuan?"

Puspa Dewi memandang pangeran itu dengan sinar mata tajam menyelidik, lalu bertanya, "Paman Pangeran, kalau saya boleh bertanya, siapakah gerangan maling sakti itu dan mengapa pula dia datang mencari paman?"

Karena Puspa Dewi adalah utusan dan orang kepercayaan Puteri Mandari, apa lagi dara itu adalah puteri angkat Raja Wura-wuri, tentu saja dia percaya kepadanya sebagai sekutu yang memusuhi Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi dia tidak mau menceritakan tentang Sang Megatantra yang berada padanya, hal ini masih dia rahasiakan karena belum waktunya diberitahukan orang lain. Kelak dia dapat mempergunakan Sang Megatantra sebagai alasan kuat yang mengesahkan dia untuk menjadi Raja Kahuripan kalau saatnya untuk itu tiba.

"Maling itu bernama Nurseta, seorang maling yang licik dan sakti."

"Akan tetapi, kenapa dia malam-malam datang dan mencari paman? Apa yang dikehendakinya?" Puspa Dewi mengejar.

"Dia datang untuk membunuhku." kata Pangeran Hendratama singkat.

"Eh? Akan tetapi, kenapa?" desak Puspa Dewi yang maklum bahwa Nurseta mencari pangeran itu bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk merampas kembali Sang Megatantra.

Mendengar pertanyaan itu, Pangeran Hendratama termenung sejenak lalu menjawab. "Ceritanya panjang dan biarlah kalian semua mengetahui persoalannya agar tidak bertanya-tanya. Kalian tau bahwa aku adalah penggemar pusaka. Aku mengumpulkan banyak pusaka. Banyak sudah harta kekayaan kuhamburkan untuk membeli pusaka-pusaka itu dengan harga mahal. Beberapa bulan yang lalu, secara kebetulan sekali aku membeli sebuah pusaka yang dibawa seorang kakek pengemis. Aku terkejut dan girang melihat bahwa pusaka itu adalah Sang Megatantra, keris pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu. Kakek pengemis itu menemukan pusaka itu di dekat pantai Laut Selatan dan dia tidak tahu bahwa itu adalah keris pusaka Sang Megatantra milik Mataram yang tak ternilai harganya. Aku segera membelinya dengan harga yang murah."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar