Sang Megatantra Jilid 33

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Saya lalu memaksa Ki Suramenggala untuk mengaku dan dari dialah saya mengetahui bahwa dia melaporkan tentang ayah dan ibu saya kepada paduka. Karena itulah maka saya sengaja datang berkunjung menemui kanjeng eyang untuk bertanya tentang ayah ibu saya itu”

"Akan tetapi, mengapa Endang sawitri dan suaminya itu melarikan diri dan meinggalkan engkau yang baru berusia sepuluh tahun seorang diri di Karang Tirta?" tanya Nyi Sindukerta.

"Kanjeng Eyang Puteri, sekarang saya dapat mengerti mengapa ayah dan ibu melarikan diri begitu mendengar berita bahwa Ki Lurah Suramenggala melaporkan kehadiran mereka di dusun itu kepada kanjeng eyang di sini. Mereka itu agaknya masih merasa takut kalau-kalau mereka akan dihukum dan diharuskan pisah. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa paduka berdua mencari mereka karena rindu dan ingin mereka kembali, bukan untuk menghukum."

"Akan tetapi kenapa mereka meninggalkan engkau seorang diri?" tanya Ki Sindukerta, mengulang pertanyaan isterinya tadi.

"Hal itu pun tadinya membuat saya merasa penasaran, eyang. Akan tetapi sekarang saya mengerti. Mereka sengaja meninggalkan saya karena mereka tidak ingin membawa saya ikut-ikutan menjadi pelarian. Mereka tidak ingin saya juga terancam bahaya seperti yang mereka kira."

Dua orang tua itu mengangguk-angguk. "Kasihan Endang..." kata Nyi Sindukerta dengan suara gemetar karena begitu teringat kepada puterinya, tangisnya sudah mendesak lagi.

"Ini semua gara-gara si Dharmaguna itu! Dia yang menyeret anak kita kedalam jurang kesengsaraan!" kata Ki Sindukerta dan kemarahannya muncul lagi. Dia memang selalu marah kalau teringat kepada Dharmaguna karena dialah yang menjadi gara-gara anaknya menghilang sampai dua puluh tahun lamanya!

Melihat kemarahan kakeknya, Nurseta dapat mengerti. Dia maklum kalau kakeknya mempunyai rasa benci kepada Dharmaguna karena ayahnya itu dianggap sebagai biang keladi terpisahnya kakek dan neneknya dari anak tunggal mereka.

"Kanjeng eyang berdua, sayalah yang mohonkan ampun untuk ayah saya karena saya yakin bahwa ayah saya itu sama sekali tidak bermaksud untuk melarikan dan memisahkan ibu saya dari paduka berdua. Ayah dan ibu saya selalu bersembunyi dan tidak mau kembali kepada paduka berdua hanyalah karena merasa takut. Biarlah saya yang akan mencari mereka sampai dapat dan kalau sudah dapat saya temukan, pasti saya akan menceritakan kepada mereka bahwa paduka berdua sesungguhnya amat rindu kepada ibu saya dan mengharapkan agar mereka berdua segera kembali ke sini."

"Benar, cucuku Nurseta. Cepat temui ibumu, aku sudah rindu sekali kepada anakku Endang Sawitri..." kala Nyi sindukerta dengan suara gemetar. Ki Sindukerta mengangguk dan berkata kepada cucunya.

"Carilah mereka sampai dapat, Nurseta."

"Akan tetapi kanjeng eyang berdua sudi mengampuni ayah saya, bukan?" Nurseta memohon.

"Sudah lama kami mengampuninya, apa lagi sekarang mereka berdua mempunyai putera. Dharmaguna adalah mantu kami. Dahulu kami hanya marah karena mereka berdua lari dan tidak pulang."

"Baik, saya akan mencari sampai dapat menemukan ayah dan ibu." Nurseta berpikir sejenak lalu bertanya. "Apakah paduka sudah mencoba untuk minta petunjuk orang tua dari ayah Dharmaguna"

"Tentu saja sudah. Resi Jatimurti, ayah Dharmaguna juga tidak tahu kemana puteranya pergi dan keterangannya itu dapat dipercaya sepenuhnya karena Resi Jatimurti adalah seorang pertapa yang alim dan hidup sederhana. Setelah ditinggal pergi puteranya, dia hidup seorang diri dan lima tahun setelah Dharmaguna menghilang, Resi Jatimurti meninggal dunia."

Malam itu, Nurseta bercakap-cakap berdua saja dengan Senopati Sindukerta. "Nurseta, kedatanganmu sungguh membahagiakan hatiku dan hati eyang puterimu, apa lagi kalau engkau nanti berhasil mengajak ayah ibu pulang kesini."

"Sayapun merasa amat berbahagia eyang. Tadinya saya sama sekali tidak mengira bahwa paduka adalah eyang saya, malah saya kira bahwa paduka adalah musuh ayah ibu saya."

Senopati itu menghela napas. "Yah, agaknya Sang Hyang Widhi merasa kasihan kepada kami yang sudah menderita selama lebih dari dua puluh tahun ini, Aku sudah mendengar riwayatmu tadi, akan tetapi ceritakanlah tentang orang sakti mandraguna yang menjadi gurumu itu. Aku ingin sekali mendengarnya."

"Eyang Empu Dewamurti adalah seorang pertapa yang berbudi luhur, bijaksana dan sakti mandraguna. Akan tetapi sayang, beliau tewas karena luka-lukanya setelah dikeroyok para datuk besar dari Kerajaan Wura-wuri, Wengker, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul."

"Ahh! Orang-orang dari tiga kerajaan itu memang terkenal jahat dan sejak dulu memusuhi Mataram dan keturunannya sampai sekarang. Akan tetapi Empu Dewamurti tidak langsung mengabdi kepada Kahuripan, mengapa dikeroyok para datuk tiga kerajaan itu?"

"Eyang Empu Dewamurti dikeroyok bukan karena urusan kerajaan, eyang. Mereka itu mengeroyok guru saya untuk memaksa guru saya menyerahkan keris pusaka Sang Megatantra kepada mereka! "

"Ahli!" Senopati Sindukerta terbelalak terkejut dan heran.

"Sang Megatantra!..? Kau maksudkan, keris pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu itu? Jadi pusaka itu berada di tangan mendiang Empu Dewamurti?"

"Sesungguhnya bukan di tangan Empu Dewamurti, melainkan di tangan saya eyang. Sayalah yang menemukan pusaka itu ketika saya mencangkul dan menggali tanah, sebelum saya menjadi murid Eyang Empu Dewamurti. Setelah lima tahun lebih saya belajar kanuragan dari Eyang Empu Dewamurti, saya diperintahkan turun gunung dan pada waktu saya pergi itu, Eyang Empu Dewamurti didatangi para datuk yang mengeroyoknya. Para pengeroyok itu dapat dikalahkan dan melarikan diri, akan tetapi akibat pengeroyokan lima orang datuk dari tiga kerajaan itu, eyang guru yang sudah tua terluka parah dan akhirnya meninggal dunia."

Senopati Sindukerta mengangguk-Angguk. "Dan bagaimana dengan keris pusaka Sang Megatantra itu?"

"Eyang Empu Dewamurti sebelum wafat menyerahkan Sang Megatantra kepada saya dan beliau mengutus saya untuk pertama menyerahkan Sang Megatantra yang dulu saya temukan itu kepada yang berhak memilikinya, yaitu Sang Prabu Erlangga."

"Wah, bijaksana dan tepat sekali itu!" seru Senopati Sindukerta girang.

"Kedua, saya harus mencari kedua orang tua saya dan ke tiga, saya diharuskan membantu Kahuripan yang menurut mendiang eyang guru akan menghadapi banyak cobaan dari Sang Hyang Widhi."

Senopati Sindukerta kembali mengangguk-angguk. "Tugas yang harus engkau lakukan itu memang sudah tepat sekali. Dan bagaimana dengan pelaksanaannya. Sudahkah engkau menghaturkan sang Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga"

Kini Nurseta menghela napas. "Itulah yang memusingkan kepala saya, eyang. Di tengah perjalanan, saya bertemu dengan Pangeran Hendratama. Tentu saja saya tidak tahu akan ulahnya yang membuat ibu saya melarikan diri. Saya mengira dia orang baik-baik karena sikapnya amat ramah dan baik. Tidak tahunya dia seorang jahat yang menipuku. Dia menawarkan untuk membuatkan gagang dan warangka yang indah untuk keris pusaka Megatantra. Tidak tahunya dia menukar Megatantra dengan sebuah keris palsu dan dia melarikan diri, membawa Sang Megatantra."

"Ahh..! jadi sekarang pusaka itu berada di tangan Pangeran Hendratama?"

"Benar, eyang. Akan tetapi saya akan mencarinya dan akan merampasnya kembali pusaka itu dari tangannya, kecuali kalau dia sudah menyerahkan Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga, saya tidak akan memperpanjang urusannya. Siapa saja yang menghaturkan pusaka itu kepada Sang Prabu Erlangga, bukan masalah bagi saya. Yang terpenting pusaka itu kembali kepada yang berhak."

"Akan tetapi engkau yang menemukannya kembali pusaka yang hilang selama puluhan tahun itu, Nurseta. Engkau yang berhak mengembalikannya kepada Sang Prabu Erlangga dan menerima hadiah besar dari Sang Prabu!"

Nurseta menggeleng kepala sambil tersenyum. "Eyang, guru saya mengajarkan bahwa setiap saya melakukan sesatu, saya harus menganggap bahwa apa yang saya lakukan itu sebagai suatu kewajiban. Melakukan kewajiban itu berarti tanpa pamrih untuk mendapatkan imbalan dalam bentuk apa pun juga. Melakukan segala sesuatu yang baik dan benar merupakan kewajiban dan untuk itulah kita dilahirkan di dunia ini. Akan tetapi, eyang tentu akan mengetahui kalau pusaka itu sudah diserahkan kepada Sang Prabu Erlangga. Sudahkah hal itu terjadi, eyang?"

Senopati Sindukerta mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.

"Berita yang kau bawa mengenai Sang Megatantra ini teramat penting sekali, Nurseta! Ini menguatkan dugaan ku semula bahwa Pangeran Hendratama tentu mempunyai niat yang amat buruk sekali! Tidak salah lagi dugaanku sekarang bahwa dia pasti akan berkhianat dan memberontak kepada Sang Prabu Erlangga! Ini gawat sekali Nurseta!"

"Eh, apakah yang terjadi, eyang? Apakah Pangeran Hendratama berada di kota raja? Apakah eyang mengetahui dimana dia?"

"Tentu saja aku tahu, Nurseta. Sudah jelas dia berniat buruk. Baru beberapa bulan dia menghadap Sang Prabu Erlangga yang masih adik iparnya dan mohon diperkenankan tinggal di kota raja, diluar istana. Tentu saja Sang Prabu Erlangga memberi ijin dan kini dia tinggal di sebuah gedung mewah. Aku sudah merasa curiga karena dia menghubungi para pejabat, para perwira dan pamong yang berkedudukan tinggi, menjalin persahabatan dengan mereka. Juga dia pernah mengunjungi aku dan sikapnya memang ramah sekali. Agaknya dia hendak menanam pengaruh di kota raja dan mungkin dia akan melakukan pemberontakan kalau sudah menghimpun kekuatan dan tentu saja, dia dapat mempergunakan pengaruh Sang Megatantra yang dipercaya mengandung wahyu kraton yang memberi hak kepada seseorang untuk menjadi raja!"

"Hal ini harus dicegah, eyang! Kalau dia tinggal di kota raja, sungguh kebetulan sekali. Saya akan pergi ke sana sekarang juga untuk merampas kembali pusaka Sang Megatantra!"

"Tenang dulu, Nurseta. Engkau tidak boleh bertindak sembarangan tanpa perhitungan. Gedung Pangeran Hendratama merupakan bangunan yang kokoh dan dijaga ketat, begitu yang kudengar dari para perwira yang dekat dengannya. Dia mengumpulkan jagoan-jagoan untuk menjadi pengawal pribadinya, dan dia sendiri juga seorang yang tangguh. Kalau engkau ke sana malam ini juga, selain engkau mungkin menghadapi bahaya..."

"Kanjeng eyang, saya tidak gentar menghadapi semua itu." potong Nurseta. karena dia tidak ingin kakeknya mengkhawatirkan dirinya.

"Mungkin engkau memiliki kesaktian, hai ini sudah kubuktikan sendiri tadi. Akan tetapi bukan penjagaan ketat itu yang terpenting. Bagaimana kalau engkau datang ke sana akan tetapi kebetulan Pangeran Hendratama tidak berada di gedungnya? Nah, semua jerih payahmu yang mengandung resiko bahaya besar itu tidak ada gunanya, bukan?"

Nurseta tertegun. Apa yang diucapkan kakeknya itu memang bukan tak mungkin. Memang, kalau pangeran itu tidak berada di rumahnya, usahanya akan gagal karena pangeran itu tentu akan mengetahuinya dan dapat menyembunyikan diri atau pergi dari kota raja sehingga sulit baginya untuk menemukannya.

"Lalu, menurut paduka, bagaimana baiknya, kanjeng eyang?"

"Begini, Nurseta. Besok pagi, aku akan menyelidiki dan mencari keterangan apakah Pangeran Hendratama besok malam berada di gedungnya atau tidak. Kalau sudah pasti berada di rumahnya, nah, engkau boleh mendatanginya dan merampas kembali pusaka Sang Megatantra. Kalau ternyata besok dia bepergian dan malamnya tidak berada di rumahnya, tentu engkau harus menunda lagi usahamu. Bagaimana bukankah usulku ini baik?"

Nurseta memandang wajah kakeknya dengan mata bersinar dan wajah berseri.

"Wah, terima kasih banyak, kanjeng eyang. usul paduka itu memang baik sekali dan tepat. Memang segala tindakan harus diperhitungkan dengan matang lebih dulu agar tidak mengalami kegagalan. Pantas saja sejak dulu paduka menjadi senopati yang tentu saja harus mahir menggunakan siasat!"

Kakek itu tersenyum, senang mendapat pujian dari cucunya.

"Selain itu, besok pagi-pagi engkau akan ku perkenalkan kepada semua abdi (pelayan) di rumah ini agar mereka mengenal bahwa engkau adalah cucuku dan tidak menimbulkan keheranan dan pertanyaan karena tahu-tahu engkau tinggal di sini."

"Baiklah, eyang, dan terima kasih."

Pada saat itu, Nyi Sindukerta muncul di pintu. "Aih, malam sudah begini larut dan kalian belum tidur? Kakangmas senopati, biarkan Nurseta beristirahat dan tidur. Dia tentu lelah. Nurseta, aku sudah mempersiapkan kamar untukmu. Hayo, istirahatlah dan tidur. Besok kan masih ada waktu untuk bercakap-cakap lebih lanjut!"

Senopati Sindukerta tertawa. "Ha ha, aku sampai lupa. Benar nenekmu Nurseta. Sana, pergilah ke kamarmu dan tidur!"

Nurseta tidak membantah dan dia lalu mengikuti neneknya yang menunjukkan kamar yang dipersiapkan untuknya. Karena memang lelah, malam itu Nurseta tidur dengan nyenyak. Apa lagi karena hatinya merasa senang. Pertama, secara tidak terduga-duga dia bertemu dengan kakek dan neneknya, orang tua ibunya. Kedua, dia mendapatkan bahwa Pangeran Hendratama tinggal di kota raja sehingga dia tidak perlu susah-susah mencari pangeran yang licik itu.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan bersama kakek dan neneknya, Nurseta lalu diperkenalkan kepada semua pelayan dan juga perajurit-perajurit pengawal. Mereka semua tampak gembiar ketika diberi tahu bahwa pemuda yang sikapnya lembut dan sederhana itu adalah cucu sang senopati dan yang mulai hari itu akan tinggal di gedung senopati itu. Baik Senopati Sindukerta maupun Nurseta sama sekali tidak menyadari bahwa Pangeran Hendratama pada pagi hari itu juga sudah mendengar dan mengetahui bahwa cucu Ki Sindukerta telah datang dan tinggal di rumah sang senopati.

Pangeran Hendratama yang sudah bertekad bulat untuk merebut kekuasaan dan menjadi raja di Kahuripan, selain menjalin hubungan erat dengan para pembesar yang ambisius dan sekiranya dapat diajak bersekongkol, juga menyeludupkan seorang yang dapat dijadikan kaki tangannya ke dalam rumah setiap orang pembesar tinggi yang setia kepada Sang Prabu Erlangga.

Tugas mata-mata ini, yang merupakan karyawan di rumah sang pembesar itu sendiri dan telah disuapnya dengan uang, adalah untuk memata-matai gerak gerik pembesar itu. Senopati Sindukerta adalah seorang di antara para pejabat tinggi yang selalu diamati gerak geriknya dan di dalam rumahnya terdapat seorang kaki tangan Pangeran Hendratama.

Mata-mata itu adalah seorang yang sudah lama bekerja di gedung sang senopati, yaitu tukang kebun yang sudah dipercaya. Begitu Nurseta diperkenalkan kepada semua pembantu di senopaten itu, kaki tangan Pangeran Hendratama ini segera memberi kabar kepada sang pangeran tentang kedatangan Nurseta sebagai cucu Senopati Sindukerta.

Pangeran Hendratama terkejut sekali mendengar berita ini. Timbul rasa khawatir bercampur benci. Khawatir mengingat bahwa dia telah mencuri keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta dan timbul rasa benci di dalam hatinya mendengar bahwa Nurseta adalah cucu Senopati Sindukerta. Cucu sang senopati, berarti putera Endang Sawitri. Ini dia merasa yakin, mengingat bahwa Senopati Sindukerta tidak mempunyai anak lain kecuali Endang Sawitri yang dulu membuat dia tergila-gila, dan yang melarikan diri, tidak mau menjadi isterinya.

Dia merasa khawatir membayangkan betapa saktinya pemuda itu. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Nurseta pasti akan berusaha untuk merampas Sang Megatantra dari tangannya! Maka, begitu mendengar berita tentang Nurseta, Pangeran Hendratama cepat mempersiapkan penjagaan ketat di gedungnya. Bahkan diam-diam dia menghubungi selir Sang Prabu Erlangga, yaitu Mandari yang diam-diam sudah mengadakan persekutuan dengannya, dan mohon bantuan Mandari untuk melindunginya.

Mandari cepat menanggapi permohonan ini dan ia lalu menugaskan Puspa Dewi untuk membantu sang pangeran. Puspa Dewi tidak dapat membantah dan ia lalu ikut utusan Pangeran Hendratama pergi ke gedung sang pangeran yang besar dan kokoh seperti istana berbenteng itu.

Kehadiran Puspa Dewi di tempat kediaman Pangeran Hendratama menarik banyak perhatian. Bahkan Pangeran Hendratama sendiri yang memang berwatak mata keranjang, terpesona dan tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi. Apa lagi para jagoan yang sudah diundang untuk menjadi pengawal-pengawalnya mereka terkagum-kagum melihat gadis yang masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, amat cantik jelita akan tetapi sudah menjadi kepercayaan Puteri Mandari sehingga dikirim untuk diperbantukan menjaga keselamatan Pangeran Hendratama?

Akan tetapi, bagaimana pun juga, baik Pangeran Hendratama sendiri maupun para jagoan itu, merasa sangat sangsi dan memandang rendah kepada gadis ini. Sampai dimana sih kesaktian gadis muda seperti itu, demikian pikir mereka. Biarpun demikian, para jagoan itu merasa segan mengingat bahwa Puspa Dewi dikirim ke istana Pangeran Hendratama sebagai utusan Gusti Puteri Mandari, selir terkasih Sang Prabu Erlangga dan mereka semua mengetahui betapa saktinya selir yang merupakan puteri Kerajaan Parang Siluman itu.

Maka, para jagoan itu bersikap hormat kepada Puspa Dewi dan menyimpan rasa kagum mereka di dalam hati, tidak berani bersikap kurang ajar. Akan tetapi, di antara mereka ada seorang jagoan yang merasa berani. Usianya lebih muda dibandingkan yang lain, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat. Dia adalah seorang jagoan dari pesisir utara dan belum banyak mengenal para datuk di daerah selatan.

Maka, tidak seperti yang lain, diapun belum mengenal betul ketenaran nama besar Puteri Mandari dan memandang rendah para jagoan yang lain. Maka, diapun memandang rendah Puspa Dewi yang dianggapnya seorang gadis remaja yang masih ingusan. Karena tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi, diapun tidak seperti yang lain, memandang dengan mata kurang ajar dan mulutnya menyeringai.

Bahkan ketika Puspa Dewi baru datang dan diperkenalkan oleh Pangeran Hendratama kepada para jagoan itu sebagai utusan Gusti Puteri Mandari untuk memperkuat penjagaan di istananya, dia berani mengedipkan sebelah matanya kepada Puspa Dewi cara kurang ajar sekali. Akan tetapi Puspa Dewi pura-pura tidak melihatnya karena ia sebagal utusan Puteri Mandari tentu saja tidak ingin membikin ribut hanya karena urusan sekecil itu.

Banyak sudah dara perkasa ini bertemu dengan laki-laki seperti itu, yang suka berlagak melihat gadis cantik dan mengedipkan sebelah mata. Akan tetapi ketika la berada di taman seorang diri, datanglah Ki Lembara, jagoan pesisir utara itu, bersama tiga orang jagoan lain yang usianya sedikit lebih tua, menghampirinya di dalam taman.

Tiga orang jagoan lain ini diajak oleh Lembara untuk menggoda Puspa Dewi dan keberanian Lembara yang membuat mereka juga berani, walau pun hanya sekedar ingin menonton bagaimana jagoan pesisir itu menggoda dara cantik jelita utusan dari istana raja itu.

Puspa Dewi yang sedang duduk seorang diri sambil termenung itu melihat empat orang yang memasuki taman dari sebelah kanannya, akan tetapi ia diam saja. la sedang memikirkan keadaannya. Ia memenuhi perintah gurunya atau ibu angkatnya untuk membantu dua orang Puteri Kerajaan Parang Siluman yang berusaha untuk menghancurkan Kahuripan dan menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia berhasil masuk ke istana dan diterima sebagai dayang istana, akan tetapi ia belum tahu apa yang harus ia lakukan di sana.

Kini, tiba-tiba ia diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu menjadi pengawal Pangeran Hendratama yang belum dikenalnya, akan tetapi yang sudah diketahui bahwa pangeran inilah yang telah mencuri Keris Pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta! Pangeran Hendratama inilah yang kini memegang Sang Megatantra, akan tetapi kenapa dia tidak menyerahkan kepada Sang Prabu Erlangga?

Ketika ia disuruh oleh Gusti Puteri Mandari, selir Sang Prabu Erlangga untuk ikut menjadi pengawal pangeran itu, sudah menduga bahwa Pangeran Hendratama tentu merupakan sekutu dari Puteri Mandari. Berarti Pangeran Hendratama adalah orang yang juga memusuhi Sang Prabu Erlangga. Padahal, bukankah pangeran itu merupakan kakak dari Permaisuri atau kakak ipar sang prabu sendiri Puspa Dewi diam-diam dapat mengambil kesimpulan bahwa tentu Pangeran Hendratama merencanakan pemberontakan dan untuk itu dia bergabung dengan kedua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga!

Puspa Dewi menjadi bimbang dan ragu. Di satu pihak ia harus melaksanakan perintah ibu angkatnya dan juga sebagai puteri Sekar Kedaton, puteri Raja Wura wuri, ia harus membantu mereka yang memusuhi Kahuripan. Akan tetapi di lain pihak ia teringat akan pembicaraannya dengan Nurseta.

Orang-orang yang memusuhi Sang Prabu Erlangga ini bukanlah orang baik-baik. Dua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu telah mengorbankan diri, menjadi selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, hanya agar mereka dapat berdekatan dengan musuh-musuh mereka sehingga memudahkan mereka untuk menyerang, kalau saatnya tiba.

Sungguh merupakan perbuatan yang hina, menyerahkan dirinya menjadi selir untuk kemudian mencelakakan orang yang telah menjadi suaminya. Dan sekutu mereka, Pangeran Hendratama itu, juga bukan orang baik-baik melihat cara dia mencuri pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta. Sekumpulan orang-orang yang licik bersekutu untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang demikian bijaksana! Dan kini ia harus membantu orang-orang licik itu.

"Puspa Dewi yang cantik manis, kenapa andika melamun seorang diri dalam taman ini? Mari, kami temani agar engkau bergembira dan tidak kesepian!" kata Ki Lembara sambil cengar-cengir berdiri di depan Puspa Dewi.

Tiga orang temannya hanya berdiri di belakangnya dan mereka hanya menyeringai. Puspa Dewi tetap duduk di atas bangku, mengangkat muka memandang wajah yang dihias kumis tebal melintang dan mata yang lebar itu, lalu berkata dingin.

"Aku tidak mengenal kamu. Pergilah dan jangan ganggu aku!"

"Ha ha-ha... Tadi kita sudah saling diperkenalkan oleh Gusti Pangeran, apakah andika lupa lagi, Dewi? Aku boleh memanggilmu Dewi saja, bukan? Andika memang cantik seperti Dewi Kahyangan. Namaku Lembara, pendekar jagoan dari Pesisir Utara!"

Puspa Dewi mengerutkan alisnya. "Aku tidak perduli kamu jagoan atau bukan, dari pesisir atau dari gunung, aku tidak ingin berteman dengan kamu dan pergilah sebelum aku hilang sabar dan akan menghajarmu!"

Gertakan ini membuat tiga orang teman Lembara merasa tidak enak. Mereka teringat bahwa gadis ini adalah utusan Puteri Mandari, maka mereka mundur tiga langkah dan seorang di antara mereka memegang lengan Lembara dari belakang untuk menariknya mundur. Akan tetapi Lembara mengibaskan lengannya dan dia malah melangkah maju mendekati Puspa Dewi sambil tersenyum lebar.

"He-heh, andika hendak menghajarku? Bagaimana caranya, manis? Pukulan tanganmu yang halus itu seperti pijatan yang nyaman bagiku. Mari, nimas ayu, pijatilah tubuhku dengan pukulanmu. Kau boleh pilih, bagian mana yang hendak kau pijit, ha-ha!"

Puspa Dewi bangkit berdiri, alisnya berkerut matanya bersinar mencorong akan tetapi mulutnya tersenyum manis. Bagi orang yang sudah mengenalnya dengan baik, akan merasa tegang melihat gadis itu tersenyum seperti ini. Senyum manis hanya bibirnya saja akan tetapi bagian muka yang lain sama sekali tidak tersenyum, terutama matanya yang mencorong menyeramkan itu.

Hal ini menandakan bahwa gadis itu mulai terbakar kemarahan dan kalau sudah begitu ia dapat berbahaya sekali! Akan tetapi dasar sombong, Lembara bahkan menganggap gadis itu mulai mau melayaninya, maka dia berkata lagi dengan berlagak, bibirnya dicibirkan dengan mengira bahwa kalau sudah begitu dia tampak gagah dan tampan!

"Marilah, manis, kita menjadi sahabat yang akrab dan mesra. Menyenangkan sekali, bukan? Aku akan mengajarkan padamu bagaimana caranya menikmati kesenangan dalam hidup ini."

"Anjing busuk! Kamu ingin dipijit? Nah, rasakanlah ini!"

Tangan kiri Puspa Dewi bergerak cepat menepuk ke arah dada Lembara. Melihat betapa dara itu hanya menepuk seperti benar-benar hendak memijit atau membelai dadanya, Lembara menyeringai senang, bahkan membusungkan dadanya yang kokoh.

"Tukk..!" Jari telunjuk tangan kiri Puspa Dewi hanya menyentuh dada itu, akan tetapi itu bukan sembarangan sentuhan karena sesungguhnya jari tangan kiri dara itu menotok jalan darah di dada.

Tiga orang teman Lembara terbelalak heran ketika melihat betapa Lembara yang tadinya menyeringai itu tiba-tiba berteriak mengaduh, wajahnya pucat, kedua tangan mendekap dada dan dia terkulai roboh! Puspa Dewi menggerakkan kaki kanannya yang mencuat sebagai tendangan.

"Bukk!" Tubuh Lembara terlempar dan jatuh ke dalam kolam ikan yang berada tak jauh dari situ.

"Byuurrrr..!"

Lembara merangkak naik dan keluar dari kolam ikan. Pakaian dan rambutnya basah kuyup akan tetapi rasa nyeri di dadanya lenyap, hanya masih terasa agak sesak kalau bernapas. Dia marah bukan main. Tiga orang temannya tak dapat menahan tawa mereka melihat kejadian yang mereka anggap lucu itu, walau pun mereka masih terheran-heran bagaimana dapat terjadi. Mereka tahu bahwa Lembara adalah seorang jagoan yang benar benar tangguh.

Pangeran Hendratama muncul keluar dari pintu belakang. Dia tadi mendengar teriakan Lembara dan karena suasana sudah amat mencekam baginya, dalam kekhawatirannya kalau kalau Nurseta datang menyerbu, dia cepat keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika dia keluar, dia melihat Lembara keluar dari kolam ikan dengan badan basah kuyup dan tiga orang jagoan lainnya menertawakan.

Di depan Lembara berdiri Puspa Dewi. Gadis itu bertolak pinggang dan sikapnya tenang dan anggun. Sejak kedatangannya, Pangeran Hendratama memang sudah tergila-gila kepada Puspa Dewi. Hanya karena mengingat bahwa dara jelita itu adalah utusan Puteri Mandari, maka dia menahan diri dan belum berani main-main dengan Puspa Dewi.

Kini melihat agaknya terjadi sesuatu antara Puspa Dewi dan Lembara bersama tiga orang jagoan lainnya, Pangeran Hendratama menyelinap di balik sebatang pohon dalam taman itu dan mengintai. Dia tidak mau memperlihatkan diri lebih dulu karena kalau dia lakukan itu, tentu mereka semua tidak berani melanjutkan pertikaian mereka. Lembara semakin marah mendengar tiga orang temannya tertawa-tawa.

"Sialan! Kenapa kalian malah tertawa? Lihat aku akan menghajar wanita tak tahu diri ini!"

Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan mata yang lebar itu terbelalak, Lembara yang agaknya nafsu berahinya telah didinginkan oleh air kolam, melompat ke depan Puspa Dewi

"Puspa Dewi, aku mengajak mu bersahabat, sebaliknya engkau malah secara curang menyerang dan menghinaku. Akan tetapi mengingat bahwa aku adalah seorang pendekar yang jantan sedangkan engkau seorang perempuan, aku akan melupakan semua ini dan memaafkan mu kalau engkau suka minta maaf dan bersedia menjadi sahabat baikku!"

Lembara yang tidak mengenal tingginya langit dalamnya lautan, yang menganggap kepandaiannya sendiri paling tinggi dan pengetahuannya sendiri paling dalam, masih bersikap seperti seorang jagoan yang gagah perkasa. Akan tetapi, kemarahan Puspa Dewi belum reda.

"Anjing buduk! Kamu yang harus minta maaf kepadaku atas kekurang-ajaranmu. Kalau tidak, aku akan memberi hajaran yang lebih keras lagi!"

Lembara tak dapat menahan lagi kemarahannya yang berkobar.

"Keparat, engkau memang tidak tahu disayang orang!"

"Habis, kamu mau apa?" tantang Puspa Dewi.

"Lihat pukulanku..!" Lembara lalu menyerang dengan tamparan bertubi-tubi, menggunakan kedua tangannya yang menyambar dari kanan kiri. Gerakan jagoan ini memang cepat dan juga tamparannya mengandung tenaga yang kuat. Lembara memang seorang jagoan yang cukup tangguh. Bahkan di antara para jagoan muda yang menghambakan diri kepada Pangeran Hendratama, dia adalah yang terkuat.

Setelah kini Lembara menyerang dengan sungguh-sungguh, Puspa Dewi juga menyadari bahwa lawannya ini bukan orang lemah dan kalau tadi ia dapat merobohkannya dengan mudah adalah karena Lembara tadi memandang rendah kepadanya dan sama sekali tidak siap mengerahkan tenaga saktinya sehingga dengan mudah ia dapat menotok jalan darah dan merobohkannya. Memang, kelemahan yang paling berbahaya bagi seorang jagoan adalah kalau dia meremehkan kepandaian lawan dan karenanya menjadi lengah.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar