Dua orang sakti mandraguna itu dahulunya adalah kakak dan adik seperguruan. Bersama mendiang Empu Dewamurti, mereka bertiga merupakan murid murid terkasih dari Sang Mahatma Budhi Dharma, pendeta perantau yang tak diketahui asal-usulnya dan tidak diketahui pula ke mana perginya.
Sebagian besar ilmu-ilmunya diserap oleh tiga orang muridnya itu, ialah Empu Dewamurti, Bhagawan Ekadenta dan Nini Bumigarbo Hanya kalau Empu Dewamurti lalu mengasingkan diri dan bertapa, kedua orang ini, terutama Nini Bumigarbo, memperdalam ilmu-ilmu mereka dengan belajar kepada para pendeta sakti mandraguna dan mereka yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Maka dapat dibayangkan betapa saktinya dua orang kakak beradik ini.
Dua orang yang tadinya saling mencinta dan sudah berjanji untuk menjadi suami isteri itu mulai pecah ketika Bhagawan Ekadenta menyatakan bahwa dia ingin memperdalam kerohanian dan metutuskan untuk tidak menikah. Nini Bumigarbo yang dulu bernama Gayatri menjadi kecewa dan patah hati. Apa lagi dalam mencari tambahan ilmu, ia bertemu dengan datuk-datuk sesat sehingga ia masuk ke dalam lingkungan dunia hitam, wataknya menjadi keras dan pendendam.
Karena untuk memaksa kakak seperguruannya jelas tidak mungkin, maka ia melampiaskan kemarahan dan dendamnya dengan cara mengajak Bhagawan Ekadenta bertanding hampir setiap tahun. Akan tetapi selalu ia kalah sehingga hatinya menjadi semakin kecewa dan penasaran. Kemudian timbul bencinya kepada Resi Satyadharma yang dianggapnya sebagai biang keladi sehingga kakak seperguruan atau kekasihnya itu berubah pikiran dan tidak mau menikah!
Maka, tidak mengherankan kalau kali ini Nini Bumigarbo mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta. Namun, sampai seratus jurus lebih mereka bertanding belum juga ia mampu mendesak bekas kekasihnya itu. Semua tenaga sakti, tenaga hitam dan sihir, telah ia kerahkan namun semua mental, tidak mampu menembus pertahanan Bhagawan Ekadenta yang senantiasa sabar dan lembut terhadapnya itu. Bhagawan Ekadenta yang banyak mengalah dalam pertandingan itu merasa sudah cukup lama memberi kelonggaran kepada Nini Bumigarbo.
Sebetulnya dia merasa kasihan kepada kekasihnya itu bahkan sampai kini masih ada rasa kasih itu dalam hatinya, namun bukan seperti cinta kasih yang diharapkan Nini Bumigarbo. Dia lalu membuat gerakan kuat dengan kain putih pengikat rambutnya dan tiba-tiba ujung kain itu seperti seekor ular dapat membelit ranting di tangan Nini Bumigarbo dan dengan sentakan kuat, kain itu telah berhasil membetot ranting terlepas dari tangan Nini Bumigarbo. Bhagawan Ekadenta melompat kebelakang, lalu melemparkan ranting yang dirampasnya itu ke arah Nini Bumigarbo yang menyambut dan menangkap rantingnya.
"Cukup sekian saja kita main-main, Yayi Gayatri!" kata Bhagawan Ekadenta.
"Tidak, memang rantingku dapat kau rampas, akan tetapi itu belum berarti bahwa aku sudah kalah! Coba Jawan aji pamungkasku ini! " Nini Bumigarbo lalu bersedakap (melipat lengan di depan dada) dan memejamkan matanya, mulutnya berkemak-kemik membaca mantra. Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat dan perlahan-lahan tubuhnya berubah!
Wajahnya, rambutnya, tubuhnya, semua berubah menjadi leyak, menjadi wujud setan betina dan gimbal (lekat) wajahnya menakutkan dengan mata besar mencorong seperti mengeluarkan sinar berapi, hidungnya besar pesek dan mulutnya lebar dengan gigi bercaling dan lidahnya panjang terjulur keluar. Buah dadanya besar dan panjang, keluar dari bajunya, tergantung sampai perut. Jari-jari tangannya berkuku panjang.
"jagad Dewa Bathara! Sadhu, sadhu..sadhu..!"
Bhagawan Ekadenta mengerahkan tenaga saktinya untuk menggetarkan iblis jadi-jadian itu. Akan tetapi ternyata iblis jadi-jadian yang ini amat kuat dan sakti, juga kebal sehingga serangan tenaga sakti yang dikerahkan Bhagawan Ekadenta tidak dapat mengenyahkannya, bahkan iblis betina itu mengangkat kedua tangan berkuku panjang itu ke atas. Dari kedua telapak tangan leyak itu menyambar keluar sinar kilat ke arah tubuh Bhagawan Ekadenta Sang bhagawan mengerahkan tenaga sakti menyambut.
"Blarrr..!" Tubuh sang bhagawan sempoyongan ke belakang.
Leyak yang menyeramkan itu terkekeh, suara tawanya mendirikan bulu roma. Bhagawan Ekadenta mengerutkan alisnya. Sungguh ilmu hitam yang amat tangguh dan berbahaya, pikirnya. Kalau Nini Bumigarbo mempergunakan ilmu sesat macam itu, mau tidak mau dia harus mengeluarkan aji simpanannya. Leyak itu terlalu kuat untuk dilawan dengan kekuatan biasa.
Bhagawan Ekadenta lalu bersedakap dan memejamkan kedua matanya, mengheningkan cipta. Nini Bumigarbo yang merasa di atas angin sambil terkekeh sudah hendak menyerang lagi dengan sinar kilat dari kedua telapak tangannya. Akan tetapi tiba-tiba la menahan serangannya dan mengeluarkan teriakan menyayat hati dan menjadi marah sekali karena ia melihat betapa tubuh sang bhagawan itu kini telah tumbuh menjadi besar sekali! Itulah Aji Triwikrama!
Begitu melangkah tiga kali, tubuh sang bhagawan tampak oleh Nini Bumigarbo berubah menjadi sebesar bukit! Sinar kilat yang meluncur dari kedua telapak tangan Nini Bumigarbo membalik ketika menghantam tubuh sang bhagawan, bahkan menghantam dirinya sendiri sehingga ia terjengkang dan jatuh terlentang. Melihat lawannya jatuh, Bhagawan Ekadenta kembali merasa kasihan karena begitu membentur tanah, tubuh leyak itu kembali menjadi tubuh Nini Bumigarbo.
Ia pun menyimpan ajiannya dan kembali menjadi Bhagawan Ekadenta. Nini Bumigarbo melompat bangun lagi sambil mengeluarkan jerit melengking kini ia menggoyang tubuhnya dan ketika tubuhnya diselimuti uap hitam sehingga tak tampak. Yang tampak hanyalah uap hitam itu yang kini bergerak cepat ke arah Bhagawan Ekadenta. Sang bhagawan juga menggoyang tubuhnya dan uap putih menyelubungi tubuhnya.
Kalau ada orang kebetulan menyaksikan pertandingan itu, tentu dia akan merasa heran dan bingung karena kini tidak tampak ada orang bertanding, melainkan ada uap hitam dan uap putih yang saling terjang dan saling dorong! Tampaknya saja uap hitam dan uap putih yang saling dorong akan tetapi sebetulnya Nini Bumigarbo dan Bhagawan Ekadenta sedang bertarung sambil mengeluarkan ilmu masing-masing dan mengerahkan seluruh tenaga.
Seperti juga tadi, Bhagawan Ekaderta banyak mengalah dan memberi kesempatan kepada Nini Bumigarbo untuk melancarkan serangan-serangannya, mengeluarkan semua ilmunya dan dia hanya mempertahankan. Setelah seratus jurus lebih, barulah dia menambah pengerahan tenaganya dan tampaklah awan atau uap hitam itu mulai terdesak mundur, bahkan semakin menyuram. Akhirnya, terdengar pekik melengking penuh kekecewaan dan kemarahan, dan uap hitam itu melayang pergi meninggalkan tempat itu. Awan putih juga lenyap dan tampak Bhagawan Ekadenta berdiri sambil menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Yayi Gayatri, jangan melanggar janjimu!" dia berseru.
"Bhagawan Ekadenta, aku tidak akan membunuh Erlangga dan Narotama, akan tetapi aku akan menurunkan ilmuku kepada seorang murid dan dialah yang akan Mewakili aku memusuhi Kahuripan!" terdengar suara melengking dari jauh, suara Nini Bumigarbo. Bhagawan Ekadenta menghela napas panjang, lalu berkata kepada diri sendiri.
"Sadhu-sadhu-sadhu, kehendak Sang Hyang Widhi pasti terjadi, tak dapat diubah oleh siapa pun juga! Sudah sesuai dengan garisnya bahwa keturunan Mataram akan menghadapi banyak gangguan!" setelah berkata demikian, dengan langkah tenang sang bhagawan meninggalkan bukit itu.
Sementara itu, dengan hati yang mengkal, sakit dan penasaran, Nini Bumigarbo yang terpaksa tidak berani melanggar janjinya dan tidak melanjutkan niatnya untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, lalu mencari murid. Akhirnya ia menemukan seorang murid yang dianggapnya baik sekali untuk dapat melaksanakan niatnya yaitu membunuh atau setidaknya mencelakai sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama sebagai murid-murid Sang Resi Satyadharma untuk membalaskan dendamnya terhadap sang resi yang dianggap sebagai penyebab kekasihnya, Ekadenta meninggalkannya.
Murid itu adalah permaisuri dari Adipati Adhamapanuda, Raja Kerajaan Wengker, bernama Dewi Mayangsari. Permaisuri Wengker ini seorang wanita yang cantik jelita, genit dan cerdik, berusia dua puluh lima tahun. Sudah enam tahun ia menjadi permaisuri Adipati Adhamapanuda, akan tetapi belum mempunyai anak dan ia amat disayang oleh sang adipati karena selain cantik jelita dan pandai menyenangkan hati, juga Dewi Mayangsari ini sejak kecil telah mempelajari ilmu kanuragan sehingga ia memiliki kesaktian.
Wanita ini dipilih oleh Nini Bumigarbo karena ia tahu bahwa Kerajaan Wengker merupakan musuh bebuyutan Mataram. Ia mengharap agar muridnya ini yang akan dapat mewakilinya, membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Permaisuri Dewi Mayangsari menyambut Nini Bumigarbo dengan girang dan selama tiga tahun ia digembleng oleh guru barunya itu sehingga Dewi Mayangsari menjadi semakin sakti. Dengan senang hati pula ia berjanji kepada Nini Bumigarbo untuk menentang Kahuripan dan berusaha untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.
Demikianlah, Dewi Mayangsari mendorong suaminya untuk selalu memusuhi Kahuripan dan permaisuri ini yang menganjurkan Adipati Adhamapanuda untuk mengangkat Linggajaya menjadi senopati muda dan mengutus pemuda murid Resi Bajrasakti untuk membantu usaha para puteri Kerajaan Parang Siluman mengadakan kekacauan di Kahuripan.
Kini usia Dewi Mayangsari sudah dua puluh delapan tahun dan ia membantu suaminya untuk menyusun pasukan yang kuat, bersiap-siap dan melatih pasukan itu agar siap siaga kalau sewaktu-waktu pecah perang terbuka antara Kerajaan Wengker dan Kerajaan Kahuripan…..
********************
Ki Patih Narotama sering melakukan perjalanan seorang diri dengan menyamar sebagai penduduk biasa. Dengan cara seperti ini dia dapat melakukan pemeriksaan terhadap keadaan rakyat jelata dan juga dapat mengawasi cara kerja para punggawa kerajaan.
Pada suatu hari dia melakukan perjalanan seperti itu, berpakaian seperti seorang petani biasa dan keluar masuk pedusunan, mendengarkan keterangan dari rakyat tentang keadaan mereka dan tentang sikap para lurah atau demang yang menjadi penguasa di dusun mereka. Kalau terdapat laporan tentang seorang kepala dusun yang bersikap tidak baik dalam melakukan tugasnya, sewenang-wenang dan menindas rakyat, maka Ki Patih Narotama cepat mendatangi kepala dusun itu dan mengambil tindakan.
Kalau masih dapat diperbaiki ahlak punggawa itu, maka hanya akan diberi peringatan keras. Kalau sekiranya tidak dapat diperbaiki lagi, langsung dipecat dan diganti orang lain. Kalau ada laporan tentang kepala dusun yang baik, Ki Patih Narotama juga tidak tinggal diam. Dikunjunginya kepala dusun itu dan beri pujian, serta dicatat jasa-jasanya untuk kemungkinan kenaikan pangkat.
akan tetapi pelaporan apa pun yang didengarnya dari rakyat, Ki Patih tidak tergesa-gesa menerima kebenaran laporan begitu saja. Dia akan melakukan penyelidikan dengan teliti sebelum mengambil keputusan apakah penguasa itu benar-benar seperti yang dilaporkan rakyat ataukah tidak.
Hari itu hati K i Patih Narotama merasa gembira. Di dusun Pakis itu dia dapat laporan dari rakyat bahwa kepala dusun itu amat baik. Bijaksana dan murah terhadap rakyat, suka membimbing dan menolong rakyat sehingga kehidupan rakyat di dusun itu dapat dikatakan cukup makmur dan sejahtera, cukup sandang pangan dan kepala dusun juga memperhatikan pembangunan perumahan bagi rakyat sehingga rumah-rumah di dusun Pakis itu rata-rata tampak rapi dan bersih, walau pun tidak mewah.
Karena itu, dia mengunjungi ki lurah dengan berterang walau pun masih berpakaian sebagai petani. Ki Lurah dan para pamong dusun menyambut Ki Patih Narotama dengan penuh penghormatan dan sebentar saja penduduk dusun Pakis mendengar bahwa dusun mereka dikunjungi Ki Patih Narotama. Sebentar saja berita itu sudah terdengar semua orang dan cukup menggemparkan karena nama besar Ki Patih Narotama sudah amat terkenal.
Para pamong dusun lalu mengadakan pesta makan seadanya untuk menyambut dan menghormati. Ki Patih Narotama yang menerima sambutan mereka dengan gembira. Dia memuji ki lurah dan para pamong.
"Aku sudah mendengar laporan penduduk dusun Pakis ini tentang pekerjaan andika sekalian dan aku merasa senang dan lega. Begitulah seharusnya, seorang pamong haruslah seperti bapak yang momong (mengasuh) penduduk sebagai anak anaknya. Membantu mereka yang patut dibantu, menghukum mereka yang pantas dihukum, bertindak dan bersikap adil sehingga pantas dijadikan panutan (tauladan). Ingatlah selalu bahwa rakyat Itu yang terpenting dan semua kebutuhannya harus dipentingkan. Tanpa rakyat, apa artinya penguasa? Rajapun tidak akan ada tanpa rakyat. Sebaliknya rakyat akan tetap ada walau pun tidak ada raja! Namun penguasa memang diperlukan untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan rakyat. Karena itu sudah sepatutnya ada timbal-balik, jangan kalian sebagai penguasa hanya minta dilayani, akan tetapi juga harus melayani, jangan hanya minta disenangkan akan tetapi harus juga menyenangkan. Usahakanlah sedemikian rupa agar rakyat menaruh hormat, merasa segan kepada kalian dan menncinta kalian karena kebaikan kalian, jangan sekali-kali sampai rakyat merasa takut kepada kalian dan membenci kalian karena kesewenang-wenangan kalian." Demikian antara lain nasihat yang diberikan oleh Ki Patih Narotama kepada para pamong yang berkumpul di rumah kepala dusun dan semua orang menerima nasihat itu dengan hati terbuka.
Setelah puas berbincang-bincang dengan para pamong, K i Patih Narotama siang hari itu juga meninggalkan dusun Pakis. Ketika di tiba di jalan yang sepi agak jauh di luar dusun Pakis, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu tahu di depannya telah berdiri seorang gadis cantik jelita.
Gadis itu berdiri di tengah jalan, bertolak pinggang dengan kedua kaki dibentangkan, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa ia memang sengaja menghadang perjalanan Ki Patih Narotama. Narotama memandang dengan penuh perhatian sambil menahan langkahnya. Seorang dara yang masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, wajahnya cantik jelita, kulitnya putih kuning, terutama mata dan mulutnya amat indah menggairahkan.
Akan tetapi pandang matanya mencorong dan mengandung kegalakan dan dari sikapnya yang berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, kedua kaki agak dibentangkan, kepala ditegakkan dan dada dibusungkan, pandang matanya penuh tantangan dan keberanian maka Ki Patih Narotama menarik kesimpulan bahwa dara ini berwatak liar dan bebas. Dan pakaiannya yang mewah itu diapun maklum bahwa dara itu bukanlah gadis dusun biasa. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia tentu seorang dara bangsawan, maka tentu saja hatinya merasa heran sekali.
"Nimas, andika siapakah dan mengapa andika menghadang perjalananku?" Narotama bertanya dengan ramah dan lembut.
Dara itu memandang penuh selidik lalu berkata. "Aku mendengar desas-desus penduduk dusun Pakis bahwa engkau adalah Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Benarkah itu? Engkau Ki Patih Narotama?"
Narotama melakukan perjalanan menyamar hanya agar dia dapat melakukan pemeriksaan ke dusun-dusun dengan leluasa. Akan tetapi dia tidak merasa perlu untuk berbohong kepada dara yang tidak dikenalnya ini. Dia tersenyum dan mengangguk. Wajah tampan dan gagah Narotama tampak semakin menarik ketika tersenyum.
"Benar sekali, aku memang Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Lalu siapakah andika dan apa maksud andika menghadang perjalananku?"
"Engkau tidak perlu tahu siapa aku akan tetapi aku mencarimu untuk membunuhmu, Ki Patih Narotama!" kata dara itu yang bukan lain adalah Puspa Dewi.
Seperti kita ketahui, dara ini gagal memenuhi perintah Nyi Dewi Durgakumala untuk merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta, bahkan ia mendengar bahwa pusaka itu telah dicuri oleh Pangeran Hendratama dan ia menyadari bahwa perintah merampas pusaka itu adalah tidak benar sehingga ia sudah berjanji kepada Nurseta untuk membatalkan niatnya memenuhi perintah gurunya untuk merampas Sang Megatantra. Akan tetapi untuk membalas budi baik gurunya yang juga menjadi ibu angkatnya itu masih ada tugas yang kiranya akan dapat ia penuhi dengan hasil baik, yaitu membunuh Ki Patih Narotama untuk membalas dendam sakit hati gurunya.
Mendengar ucapan itu, hampir saja Ki Patih Narotama tertawa terbahak. Memang bagi dia terdengar lucu sekali kalau dara yang masih muda remaja ini mengatakan hendak membunuhnya! Akan tetapi dia menahan diri dan tidak tertawa, hanya tersenyum dan berkata dengan sikap tenang.
"Nimas, engkau berhak untuk tidak memperkenalkan nama padaku, juga engkau boleh saja mengatakan hendak membunuh aku. Akan tetapi sungguh tidak adil kalau engkau tidak memberitahu kepadaku mengapa engkau hendak membunuhku. Bagaimana kalau sampai engkau membunuhku dan aku mati tanpa mengetahui apa sebabnya aku dibunuh orang? Nyawaku tentu akan menjadi setan penasaran dan akan selalu mengejarmu! Karena itu, jelaskan dulu mengapa engkau hendak membunuhku sehingga aku mengetahui apakah memang sudah adil dan benar kalau engkau membunuhku."
Mendengar ucapan ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Benar juga, pikirnya, tidak adil kalau Ki Patih Narotama tidak tahu mengapa ia akan membunuhnya. Juga ia merasa ngeri mendengar ancaman bahwa kalau tidak diberitahu sebabnya, kalau mati Ki Patih Narotama akan menjadi setan penasaran dan akan selalu mengejar-ngejarnya! Ih, ngeri juga membayangkan dikejar-kejar hantu penasaran!
"Aku harus membunuhmu untuk mentaati perintah guruku kepadamu!"
"Hemm, siapa gurumu itu? Dan mengapa dia mendendam kepadaku?"
"Guruku adalah Nyi Dewi Durgakumala."
"Ah, datuk wanita dari Wura-wuri itu? Akan tetapi kenapa ia mendendam kepadaku?"
"Ki Patih Narotama, tidak perlu engkau pura-pura tanya dan hendak menyembunyikan perbuatanmu yang jahat kepadanya!" Puspa Dewi membentak.
"Lho! Perbuatan jahat kepada Nyi Dewi Durgakumala? Apa maksudmu, nimas?"
"Dulu, engkau pernah membunuh anak yang berada dalam gendongannya! Apa itu bukan perbuatan yang amat jahat dan karenanya engkau pantas dihukum mati?"
Narotama menggeleng kepalanya "Ah, nimas, agaknya engkau belum mengenal betul siapa itu Nyi Dewi Durgakumala."
"Aku belum mengenal siapa ia? hemm, selama lima tahun lebih aku menjadi muridnya, menerima pendidikannya dan menerima budinya. Ia seorang yang bagiku amat baik dan aku harus membalas budinya, la menceritakan kepadaku tentang kejahatanmu, dan mengutus aku untuk membunuhmu! Bersiaplah engkau, Ki Patih Narotama!"
Setelah berkata demikian, Puspa Dewi mengerahkan tenaga saktinya lalu ia mengeluarkan Pekik Guruh Bairawa. Jerit melengking keluar dari mulutnya, mengandung getaran yang dahsyat. Orang yang hanya memiliki kesaktian tanggung tanggung saja dapat roboh dan mungkin tewas menghadapi gelombang suara yang mengandung getaran yang dapat mengguncang isi dada dan kepala ini. Namun Ki Patih Narotama tetap berdiri tenang sambil tersenyum, sama sekali tidak terpengaruh oleh jerit itu laksana angin keras menyerang batu karang dan lewat begitu saja tanpa dapat menggoyang batu karang itu sedikitpun.
Melihat betapa ajinya yang biasanya dapat diandalkan itu sama sekali tidak mempengaruhi Ki Patih Narotama, seolah-olah jeritan itu tidak pernah ada Puspa Dewi menjadi terkejut akan tetapi juga penasaran dan marah. Dalam anggapannya, Ki Patih Narotama adalah seorang yang amat jahat dan sudah sepatutnya dihukum mati. la lalu mulai menyerang dengan kedua tangannya sambil membentak nyaring.
"Aji Guntur Geni!" Kedua lengannya dipentang seperti burung terbang dara tiba-tiba kedua tangan itu bersatu kedepan dan mendorong ke arah dada Narotama.
Ki Patih Narotama mengenal aji pukulan dahsyat, maka dia cepat menghindar dengan loncatan ke samping sehingga pukulan yang mengandung hawa panas seperti api itu lewat di sampingi tubuhnya. Gadis itu menyerang lagi, lebih ganas dari pada tadi, bahkan kini Puspa Dewi menggunakan kuku-kuku jarinya yang mengandung racun untuk menyerang sehingga serangannya menjadi semakin ganas. Wisakenaka (Kuku Beracun) merupakan ilmu sesat yang amat berbahaya, sedikit saja kulit lawan tergurat kuku dan terluka, sudah cukup untuk membunuh lawan.
Ki Patih Narotama adalah seorang sakti mandraguna yang sudah banyak pengalaman. Diam-diam dia merasa iba kepada dara yang masih amat muda ini. semuda itu sudah memiliki ilmu-ilmu yang dahsyat, hanya sayang ilmu-ilmu itu sifatnya sesat dan keji. Padahal, kalau melihat sikap gadis itu, walau pun liar dan ganas, namun gadis ini merasa bahwa tindakannya benar karena ia menganggap dia seorang yang amat jahat, yang telah membunuh anak dalam gendongan Nyi Dewi Durgakumala!
Gadis ini tidak memiliki dasar yang jahat, hanya karena menjadi murid seorang datuk wanita yang sesat maka selain mewarasi ilmu-ilmu sesat, juga mewarisi watak yang ganas, la tidak sadar bahwa ia telah diperalat oleh Nyi Dewi Durgakumala. Menghadapi serangan yang nekat dan ganas itu, dia hanya mempertahankan diri dengan elakan-elakan dan terkadang dia menangkis dari samping yang membuat tubuh Puspa Dewi terhuyung.
Puspa Dewi juga bukan seorang bodoh. Setelah menyerang bertubi-tubi dan terkadang ia sampai terhuyung ketika ditangkis oleh Ki Patih Narotama, ia pun maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amal sakti. Pantas saja gurunya tidak pernah dapat mengalahkannya. Akan tetapi ia seorang yang keras hati dan keras kepala, tidak menyadari bahwa sejak tadi Ki Patih Narotama telah banyak mengalah kepadanya.
Karena semua serangannya gagal dan kedua lengannya terasa nyeri setelah beberapa kali bertemu dengan tangkisan tangan Ki Patih Narotama, Puspa Dewi menjadi semakin marah. "Sambut pusakaku ini!" bentaknya dan di tangannya sudah tampak pedang hitam yang amat ampuh itu. la sudah menerjang Ki Patih Narotama dengan pedangnya yang ia gerakkan amat cepat sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menyambar nyambar.
Ki Patih Narotama merasa sudah cukup dia bersabar dan mengalah. Gadis ini perlu diingatkan. Kalau sampai ia dipengaruhi Nyi Dewi Durgakumala, ia dapat melakukan banyak kejahatan yang amat berbahaya tanpa disadari bahwa ia berbuat jahat. Ketika pedang itu menusuk dengan luncuran cepat seperti anak panah ke arah dadanya, dia miringkan tubuh dan ketika sinar pedang hitam itu meluncur lewat samping tubuhnya, dia cepat menggerakkan tangannya dan menangkap pedang itu!
Puspa Dewi terkejut dan hampir tidak percaya ada orang mampu menangkap pusaka Candrasa Langking yang beracun dan amat ampuh itu dengan tangan telanjang. Ia berusaha menarik pedangnya, akan tetapi sia-sia. Pedang itu seolah telah melekat dengan tangan Ki Patih Narotama. Ia membetot lagi sambil mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba Ki Patih Narotama melepaskan pegangannya pada pedang itu. Tak dapat dihindarkan lagi tubuh Puspa Dewi terjengkang dan terbanting roboh telentang di atas tanah! Sebelum gadis itu bangkit, Ki Patih Narotama cepat berkata dengan suara yang mengandung wibawa kuat sekali karena dia mengerahkan tenaga batinnya.
"Nimas, aku tidak mengenal siapa andika, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa engkau telah dihasut oleh Nyi Dewi Durgakumala yang telah mendidikmu sebagai murid sehingga engkau tidak menyadari bahwa engkau telah terjatuh ke dalam tangan seorang iblis betina yang amat jahat dan kejam. Ketahuilah bahwa Nyi Dewi Durgakumala adalah seorang datuk wanita sesat dan sesuai dengan namanya, ia adalah seorang penyembah Bathari Durga, ratu para iblis itu. Ia memang memusuhi aku, akan tetapi bukan karena aku membunuh anaknya. Sama sekali bohong ceritanya itu. Ia tidak pernah mempunyai anak akan tetapi entah sudah berapa banyak anak laki-laki yang menjadi korban kekejiannya. Ia pernah bertemu denganku dan membujuk agar aku mau menerimanya sebagai isteri. Sungguh tidak tahu malu. Sungguh pun ia masih tampak cantik, akan tetapi sesungguhnya ia jauh lebih tua dariku. Aku menolak dan ia marah lalu ingin membunuhku. Akan tetapi beberapa kali usahanya itu gagal dan ia selalu kalah olehku. Ini yang membuat ia mendendam sakit hati dan sekarang membujukmu untuk membunuh aku. Mustahil engkau sebagai muridnya tidak tahu akan watak dan perbuatannya yang jahat dan keji tidak tahu malu itu!"
Puspa Dewi sudah bangkit dan berdiri mematung dengan pedang masih di tangan. Ia mendengarkan semua ucapan Narotama dan hatinya mulai meragu dan bimbang. Memang ia tahu bahwa gurunya memiliki watak yang memalukan, suka menculik dan mempermainkan pemuda-pemuda remaja.
Beberapa kali perbuatan itu ia gagalkan dan ia sudah menegur sifat gurunya yang memalukan itu. Juga ketika mau diambil permaisuri oleh Adipati Bhismaprabhawa dari Kerajaan Wura wuri, gurunya itu menuntut agar Gendari selir sang adipati, dibunuh. Untung Ia masih dapat mencegahnya sehingga Gendari tidak jadi dihukum mati, melainkan dipulangkan kekampung halamannya.
Melihat betapa tampan dan gagah Ki Patih Narotama, maka cerita Ki Patih ini lebih patut dipercaya dari pada cerita gurunya. Akan tetapi ia sudah berhutang banyak budi kepada Nyi Dewi Durgakumala dan ia harus membalas budi itu Gurunya hanya memberi dua tugas, yang pertama merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta dan yang kedua membunuh Ki Patih Narotama.
Tugas pertama terpaksa ia batalkan apakah tugas kedua ini pun harus gagal. Ia menjadi ragu dan serba bingung "Akan tetapi, bukankah seorang murid harus tahu membalas budi gurunya? Bukankah seorang murid harus setia dan berbakti kepada gurunya?" Pertanyaan ini sebetulnya ia lontarkan untuk dirinya sendiri, akan tetapi terucapkan sehingga seolah-olah ia bertanya kepada Ki Patih Narotama.
"Di atas guru, bahkan di atas orang tua, masih ada yang lebih patut kita taati, yaitu Sang Hyang Widhi Wasa. Yang Maha Kuasa itu juga Maha Besar dan Maha Suci, dan menaatinya merupakan kewajiban utama di atas segala macam kewajiban bagi manusia. Menaati Yang Maha Benar berarti harus menjunjung tinggi dan melaksanakan kebenaran dan keadilan, yang berarti melaksanakan kebaikan. Karena itu, hanya tugas yang baik dan benar saja yang harus kita laksanakan, karena itu berarti menaati perintah Yang Maha Kuasa. Biarpun yang memberi tugas kepada kita itu guru atau orang tua sekalipun, kalau tugas itu berlawanan dengan kebenaran dan kebaikan, berarti melawan perintah Yang Maha Benar. Dan pelaksanaan perintah yang tidak benar adalah kejahatan! Nah, kalau engkau sudah memahami ini semua akan tetapi hendak melaksanakan perintah Nyi Dewi Durgakumala yang tidak baik dan jahat itu, lakukanlah. Ini dadaku dan aku tidak akan mengelak atau menangkis!"
Ki Patih Narotama membusungkan dadanya, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, seolah dia sudah menyerah untuk dibunuh! Puspa Dewi terbelalak memandang kearah wajah Narotama. Pandang mata mereka bertemu. Pandang mata Narotama tenang penuh pengertian, sebaliknya pandang mata Puspa Dewi gelisah dan bingung. Ia melihat betapa mudahnya melaksanakan perintah kedua gurunya.
Sekali tusuk ia akan dapat membunuh Ki Patih Narotama seperti yang dikehendaki gurunya. Tangan kanannya bergerak, pedang itu sudah diangkat, siap ditusukkan ke dada ki patih. Seluruh urat syarafnya menegang, dan tangan yang memegang pedang hitam itu gemetar. Kemudian, ia melangkah maju sehingga tiba dekat dan getaran di tangannya makin menjadi-jadi.
Getaran itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan tak lama kemudian seluruh tubuhnya gemetar. Ia memaksa tangannya hendak menusuk, akan tetapi tidak jadi. Ia menggeleng kepala keras-keras dan tubuhnya terguncang, lalu kedua kakinya lemas dan ia terkulai dan jatuh berlutut melepaskan pedang hitam ke atas tanah dan Puspa Dewi menangis!
Ki Patih Narotama tersenyum. Dia telah memperoleh kemenangan besar, menang tanpa menalukkan dengan kekerasan. Tentu saja dia tidak ingin membunuh diri dengan nekat ketika mengucapkan kalimat terakhir untuk menerima serangan pedang hitam di tangan gadis itu tanpa menangkis atau mengelak.
Memang, dia tidak akan menangkis atau mengelak, dan merasa yakin bahwa kekebalannya akan mampu menahan bacokan atau tusukan pedang, dan seandainya dia terkena hawa beracun pedang itu, iapun tidak khawatir karena dia membawa tongkat pusakanya, Tunggul Manik, yang dapat menyembuhkan segala keracunan badan. Dia terlindung oleh kekebalan kulitnya dan keampuhan pusaka Tunggul Manik.....