Sang Megatantra Jilid 28

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Kini mengertilah dia. Tiga kerajaan itu, di samping kerajaan kecil lainnya seperti Kerajaan Parang Siluman dan lain-lainnya, adalah musuh-musuh yang tidak mau tunduk kepada Mataram dan sampai sekarang tidak mau tunduk kepada Sang Prabu Erlangga, raja Kerajaan Kahuripan yang menjadi keturunan Mataram.

Ada pun gurunya, Sang Empu Dewamurti adalah seorang yang amat setia kepada Mataram. Maka dia dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka itu membunuh Empu Dewamurti untuk melenyapkan orang sakti mandraguna yang setia kepada Mataram, tentu dengan maksud untuk melemahkan Mataram, gurunya sudah berpesan kepadanya agar ia tidak bertindak menurutkan dendam sakit hati karena dendam merupakan nafsu yang dapat mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan kejam dan hal itu bertentangan dengan jiwa ksatria!

Seorang ksatria akan selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, namun dengan cara yang benar pula, dan mengumbar kekejaman karena dendam sama sekali bukan sikap dan tindakan benar. Namun, Nurseta bagaimana pun juga adalah seorang manusia biasa. Biarpun dia sudah berlatih di bawah gemblengan seorang arif bijaksana seperti mendiang Empu Dewamurti, dan dia telah dapat menanamkan kesabaran dalam hatinya, selalu ingat dan waspada, yaitu ingat kepada Sang Hyang Widhi yang sudah menggariskan jalan kebenaran yang harus diikutinya, namun terkadang nafsu dalam dirinya masih sempat mengusik kesadarannya sehingga dia yang selalu waspada untuk mengikuti setiap gerak gerik hati pikirannya sendiri, terkadang hanyut dalam gelombang nafsu keakuannya.

Mendengar dan melihat bahwa orang yang telah melukai dan membunuh gurunya terkasih itu kini berada di depannya, dia tidak mampu menahan gejolak hatinya. Biarpun belum tersentuh dendam yang akan menghancurkan semua pertimbangannya, namun sempat menggugah rasa penasaran di dalam hatinya. Dia harus mencari keterangan dari pembunuh itu mengapa ia membunuh Empu Dewamurti yang tidak mempunyai kesalahan apa pun! Maka, tanpa dapat menahan gejolak hatinya, Nurseta melompat dan bagaikan kilat menyambar, tubuhnya sudah brerkelebat dan tahu-tahu tiba di depan Ratu Mayang Gupita!

Wanita raksasa ini terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja ada seorang pemuda muncul di depannya tanpa dapat diketahui dari mana datangnya. Juga Cekel Aksomolo dan Dibyo Mamangkoro tertegun melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda sederhana berdiri di situ.

"Kanjeng Ratu, seperti yang saya dengar tadi, paduka adalah seorang ratu kerajaan Siluman Laut Kidul. Akan tetapi mengapa paduka bertindak curang dan kejam, mengeroyok Eyang Empu Dewamurti yang tidak bersalah apa-apa? Apakah perbuatan paduka itu dapat dikatakan adil dan gagah? Eyang Empu Dewamurti sudah tua dan selalu mengasingkan diri tidak pernah mengganggu yang lain, akan tetapi paduka dan teman-teman paduka mengeroyoknya! Saya menuntut penjelasan dari paduka!"

Ratu Mayang Cupita mengamati pemuda itu dan diam-diam ia merasa heran sekali. Pemuda yang usianya paling banyak dua puluh dua tahun itu hanya seorang yang sederhana, pakaian maupun sikap dan bicaranya, namun pandangan matanya mencorong penuh wibawa. Dari gerakan pemunculannya tadi, sang ratu dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Maka ia bersikap hati-hati dan menekan kesombongannya.

"Hemm, orang muda. Sebelum kami menjawab pertanyaanmu, katakan dulu siapa kamu dan mengapa engkau hendak mengurus tentang kematian Empu Dewamurti! Hayo jawab..."

"Kanjeng Ratu, nama saya Nurseta dan sudah menjadi kewajiban saya untuk mengetahui sebab kematian Eyang Empu Dewamurti karena beliau adalah guru saya."

"Bagus! Jadi andika ini muridnya! Hemm... kalau begitu kami yakin bahwa engkau pasti tahu di mana adanya Sang Megatantra, keris pusaka itu Hayo katakan, di mana keris itu atau aku akan mengirim engkau pergi menyusul gurumu!"

Ratu Mayang Gupita girang sekali karena timbul pula harapannya akan dapat menemukan dan memiliki Keris Pusaka Sang Megatantra yang diperebutkan semua kerajaan itu. Semua raja yakin bahwa sekali mereka dapat menguasai sang Megatantra, berarti wahyu mahkota berada di tangan mereka dan menjatuhkan Kahuripan merupakan hal yang mudah dan pasti!

Nurseta mengangguk-angguk. "Oh...begitukah? Jadi paduka dan wakil-wakil dari Wengker dan Wura wuri itu menyerang mendiang eyang guru karena hendak mendapatkan Sang Megatantra?"

"Benar, karena dia tidak mau menyerahkan Sang Megatantra, maka kami menyerangnya! Dan sekarang, kebetulan andika muridnya berada di sini. Hayo, cepat katakan di mana adanya Sang Megatantra. Kalau andika menyerahkan pusaka itu kepada kami, kami akan memberi imbalan hadiah besar. Akan tetapi sebaliknya kalau tidak andika berikan, andika akan disiksa sampai mati!"

"Hemm, terus terang saja, Sang Megatantra tidak berada di tangan saya saat ini Akan tetapi, andaikata keris pusaka itu berada di tangan saya, pusaka itu tidak akan saya berikan kepada siapa pun juga. Sang Megatantra adalah pusaka kerajaan Mataram atau yang sekarang bernama Kerajaan Kahuripan. Maka, sudah seharusnya pusaka itu dikembalikan kepada yang berhak, yaitu pada saat ini adalah Sang Prabu Erlangga, raja Kahuripan. Jadi kalau paduka menghendaki Sang Megatantra, berarti paduka hendak merampas hak milik orang lain!"

"Nurseta, jangan banyak cakap! Katakan sekarang juga di mana adanya Sang Megatantra!" bentak Ratu Mayang Gupita marah.

Nurseta tersenyum dan menggeleng kepala. "Terpaksa aku tidak dapat mengatakan di mana!" katanya tegas.

"Jahanam keparat..! Hyaaaattt..!

Mayang Gupita sudah menyerangnya dengan pukulan yang mengeluarkan bola api kearah Nurseta. Akan tetapi pemuda ini sudah siap. Tadi dia sudah menyaksikan kedahsyatan pukulan itu ketika ratu itu melawan kedua orang laki-laki yang saat itu masih berdiri sambil memandang dan mendengarkan penuh perhatian.

Menghadapi serangan itu Nurseta tidak mau melawan dengan kekerasan. Dia lalu bergerak dengan ilmu silat Baka Denta dan tubuhnya berkelebat ke samping sehingga serangan tenaga sakti yang membentuk bola api itu luput, tidak mengenai dirinya. Kemudian dari samping dia menerjang ke depan dan menampar kearah pundak Ratu Mayang Gupita. serangan ini saja membuktikan bahwa Nurseta tidak dikuasai nafsu dendam. Tangannya bukan merupakan serangan maut, dan sasarannya hanya pundak, berarti dia masih menguasai perasaannya dan tidak digelapkan oleh nafsu amarah. Namun, karena dia menggunakan tenaga sakti yang amat kuat, maka tamparan itu mendatangkan hawa pukulan yang rasa panas oleh pundak Ratu Mayang Gupita sebelum jari tangan Nurseta mengenai sasaran.

"Haiiiihhh..!" Wanita raksasa itu menggerakkan tangannya menangkis tamparan itu dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

"Wuuuttt... plakkk!"

Ratu Mayang Gupita terkejut bukan main. Lengannya bertemu dengan tangan yang mengandung getaran dahsyat dan terasa panas olehnya. Terpaksa ia melompat jauh kebelakang untuk menghentikan getaran yang membuat tubuhnya terguncang. Diam-diam ia terkejut akan tetapi tidak heran mengingat bahwa pemuda ini adalah murid mendiang Empu Dewamurti.

Tentu saja pemuda ini pun memiliki kesaktian yang tak boleh dipandang ringan. Betapa pun juga, ia merasa penasaran dan juga malu. Di situ terdapat Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo yang menyaksikan pertandingan itu. Tentu saja amat memalukan dan merendahkan kalau ia sampai kalah oleh seorang pemuda remaja!

Maka, sambil mengeluarkan bentakan nyaring yang mengandung kekuatan sihir, ia menerjang lagi ke depan, kini membentuk cakar dengan kedua tangannya. Jari-jarinya menjadi cakar harimau dan kuku-kukunya berubah menghitam.

Setiap ujung kuku jari itu mengandung hawa beracun dan ini merupakan ajian yang amat keji dan berbahaya. Baru bentakan melengking yang keluar dari mulutnya itu saja sudah mampu mengguncangkan jantung lawan dan yang kurang kuat sudah dapat dilumpuhkan oleh bentakan itu. Apa lagi disusul terkaman dengan kuku-kuku jari yang berbisa seperti itu. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya.

Namun Nurseta bersikap tenang. Dia sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya dapat berkelebatan cepat sekali bagaikan angin sehingga semua serangan berupa cengkeraman dan tamparan kedua tangan yang kukunya berubah hitam itu tak pernah menyentuh kulit tubuhnya. Dan menghadapi serangan maut bertubi-tubi itu tahulah Nurseta bahwa dia tidak mungkin hanya menghindarkan diri saja karena hal ini membahayakan dirinya sendiri. Bela diri yang baik bukan sekadar mempertahankan dan melindungi diri, melainkan balas menyerang karenanya dengan demikian maka daya serangan lawan dapat di lumpuhkan atau setidaknya dikurangi kehebatannya.

"Yeeaaaahhh..!"

Dia berseru dan ketika tangan kanan Ratu Mayang Gupita mencengkeram ke arah kepalanya, dia menggerakkan diri ke kiri, kemudian tangan kanannya bergerak memukul lengan lawan itu dari samping dengan tangan dimiringkan.

"Wuuuttt... desss..!"

Pukulan tangan Nurseta itu tepat mengenai lengan lawan di bawah siku. Seketika tubuh Ratu Mayang Gupita terjengkang ke belakang dan tubuhnya terhuyung-huyung. Lengannya terasa nyeri bukan main, seolah tulangnya patah. Akan tetapi setelah meneliti ternyata tulang lengannya tidak patah hanya terasa nyeri, la terkejut sekali.

Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo tadinya hanya menonton saja karena merasa hampir yakin bahwa ratu yang sakti mandraguna, yang tadi mampu menandingi mereka, pasti akan dapat merobohkan pemuda itu dalam waktu singkat. Akan tetapi alangkah heran dan kaget hati mereka melihat betapa semua serangan Ratu Mayang Gupita tak pernah mengenai sasaran, lebih lagi ketika kini melihat ratu itu terhuyung-huyung dan agaknya kesakitan.

Mereka berdua memang sudah condong memihak Ratu Mayang Gupita yang menjadi musuh Kerajaan Kahuripan. Maka melihat wanita itu terdesak, sekali saling pandang mereka sudah bersepakat untuk membantu Ratu Mayang Gupita. Keduanya lalu tanpa mengeluarkan kata-kata lagi menerjang maju mengeroyok Nurseta.

"Trik-rik-rik-tik..!"

Dengan mengeluarkan bunyi berkeritikan yang mengandung getaran kuat, tasbih di tangan Cekel Aksomolo berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung menyambar kearah kepala Nurseta.

"Wuuussss..!"

Hawa pukulan yang mengandung hawa panas seperti api dan juga mengandung racun mematikan menyambar dari tangan Dibyo Mamangkoro ketika raksasa ini menyerang dengan aji pukulan Wisangnolo, meluncur ke arah dada pemuda itu. Nurseta yang waspada sejak semula, melihat datangnya dua serangan ini dan cepat dia melompat dan menghindar dengan ilmu meringankan tubuhnya, yaitu Aji Bayu Sakti.

Melihat dua orang itu membantunya, besarlah hati Ratu Mayang Gupita yang tadinya sudah merasa gentar, la pun berteriak dan menerjang lagi, mengeroyok pemuda itu. Dikeroyok oleh tiga orang yang memiliki kesaktian tinggi itu, tentu saja Nurseta menjadi kewalahan dan dia hanya dapat menghindarkan diri mengandalkan Aji Bayu Sakti.

Tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan antara tiga orang pengeroyoknya. Selagi dia hendak mempergunakan aji pamungkasnya yang amat hebat, yaitu Aji Tiwikrama yang dapat membuat tubuhnya tampak besar sekali oleh lawan, atau Aji Sirnasarira yang membuat tubuhnya tidak dapat tampak oleh lawan, tiba-tiba terdengar teriakan melengking.

"Curang..! Curang..! Tiga orang mengeroyok satu orang."

Orang yang mencela ini bukan lain adalah Puspa Dewi. Seperti kita ketahui, setelah tamat mempelajari aji-aji kesaktian dari Nyi Dewi Durgakumala, kemudian menjadi puteri Raja Wura-wuri karena Nyi Dewi Durgakumala diambil isteri dan menjadi permaisuri Raja atau Adipati Bhismaprabhawa dari Wura-wuri. la diangkat menjadi anak oleh Nyi Dewi Durgakumala sehingga dengan sendirinya ia menjadi Puteri Sekar Keraton di Wura-wuri!

Kemudian ia mendapat tugas dari Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala untuk mewakili Wura-wuri dan membantu gerakan yang dilakukan kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia ditugaskan untuk bergabung dengan Puteri Lassmini dan Puteri Mandari, dua orang Puteri dari Kerajaan Parang Siluman yang kini menjadi isteri Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga dalam usaha mereka untuk meruntuhkan kekuasaan raja dan patihnya yang dimusuhi itu. Juga ia ditugaskan untuk merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta. Selain itu, ia juga ditugaskan Nyi Dewi Durgakumala untuk membunuh Ki Patih Narotama yang pernah membikin guru atau ibu angkatnya itu patah hati.

Dalam perjalanannya itu, ditengah jalan ia melihat seorang pemuda dikeroyok tiga orang dan mereka semua mempergunakan aji kesaktian, maka ia merasa penasaran lalu terjun ke dalam pertempuran tanpa bertanya lagi, membantu pemuda yang dikeroyok sesuai dengan naluri jiwanya yang tidak senang melihat ketidak-adilan. Terjangan Puspa Dewi dahsyat dan ganas sekali. Melihat kehebatan tiga orang yang mengeroyok pemuda itu, Ia sudah mencabut pedangnya. Begitu menerjang dengan pedang pusaka Candrasa Langking, pedang itu berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar nyambar!

"Tranggg..!"

Tasbih di tangan Cekel Aksomolo terpental ketika bertemu dengan pedang di tangan Puspa Dewi sehingga tokoh sesat duplikat Durna itu terkejut dan melompat ke belakang. Puspa Dewi tidak perduli dan ia sudah menyerang Ratu Mayang Gupita dengan pedang hitamnya. Wanita raksasa itu pun terkejut karena sambaran pedang itu dahsyat sekali, mengeluarkan suara berdesing dan terasa hawanya yang panas karena mengandung racun yang amat kuat. Ia pun melompat ke belakang dan siap melontarkan pukulan tangan yang mengeluarkan bola api. Namun, begitu ia mendorongkan tangannya, Puspa Dewi sudah menyambut dengan dorongan tangan kiri dengan Aji Guntur Geni.

"Bresss..!"

Dua aji pukulan dahsyat itu bertemu di udara dan akibatnya tubuh Puspa Dewi terpental ke belakang. Akan tetapi gadis ini dengan keras kepala sudah menerjang lagi dengan nekat. Pedangnya diputar di depan tubuhnya seperti kitiran, membentuk sinar bergulung-gulung dan menyerang kearah tubuh Ratu Mayang Gupita. Diserang seperti itu, wanita raksasa itu lalu cepat mencabut sebatang keris panjang dari pinggangnya dan menangkis, lalu balas menyerang. Kedua orang wanita itu sudah saling serang.

Sementara itu, Dibyo Mamangkoro yang menyerang Nurseta dengan pukulan Aji Wisangnolo, disambut oleh Nurseta dengan dorongan tangan. Ketika dua pukulan itu bertemu, Dibyo Manmangkoro terhuyung ke belakang. Bantuan Puspa Dewi mengejutkan tiga orang itu dan mereka merasa jerih. Baru melawan Nurseta seorang diri saja mereka bertiga tadi belum mampu mengalahkannya. Kini muncul gadis liar itu yang memiliki ilmu yang liar pula. Maka Ratu Mayang Gupita lalu melompat dan memasuki keretanya yang lalu dilarikan cepat.

Ketika Puspa Dewi hendak mengejarnya, ia disambut oleh belasan orang perajurit pengawal. Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo lalu maju membantu para pengawal karena baru beberapa gebrakan saja, pedang hitam di tangan Puspa Dewi telah merobohkan dua orang perajurit.

Begitu dua orang sakti ini maju dan menyerang, Dibyo Mamangkoro dengan pukulan jarak jauhnya dan Cekel Aksomolo dengan tasbihnya, Puspa Dewi terkejut dan mau tidak mau harus berlompatan ke belakang. Terlalu berbahaya serangan dua orang itu. Begitu ia melompat kebelakang, dua orang tokoh sesat itu lalu melarikan diri bersama para pengawal, mengejar kereta yang ditumpangi Ratu Mayang Gupita yanag lari terlebih dulu.

Puspa Dewi yang nekat itu hendak melakukan pengejaran sambil memaki maki. "Heh, orang-orang pengecut hina, Hendak lari ke mana kalian?"

Akan tetapi terdengar suara di belakangnya, "Puspa Dewi, kukira tidak perlu mengejar mereka."

Dara itu menahan langkahnya dan berbalik dengan cepat, mengamati wajah Nurseta dan bertanya dengan ketus, "Heh..! Dari mana engkau mengetahui namaku, hah?"

Nurseta tersenyum. Kegalakan dara itu baginya tampak lucu sekali, seperti melihat seorang anak kecil yang bandel.

"Puspa Dewi, tentu saja aku mengenalmu karena engkau adalah seorang gadis tukang keroyok. Tanpa tahu masalahnya engkau langsung saja mengeroyok dan menyerang!"

"He? Engkau... tak tahu diuntung, tak mengenal budi! Aku tadi bukan mengeroyokmu, malah membantu kamu yang dikeroyok! Bagaimana engkau berani mengatakan bahwa aku tukang keroyok?"

"Sekarang memang engkau membantu aku dan untuk itu, biarlah kuucapkan terima kasih. Akan tetapi tempo hari, didusun kita Karang Tirta, tiada hujan tiada angin engkau datang-datang mengeroyok aku!"

"Di... Karang Tirta..? Eh, oh, ingat aku sekarang. Engkau adalah Nurseta, kan?"

"Sekarang baru engkau ingat padaku, Biarlah kesalahanmu yang sudah berlalu itu kubikin habis sampai di sini saja karena kesalahan itu telah kau tebus hari ini dengan menolongku terlepas dari ancaman bahaya."

Puspa Dewi menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya sambil memandang wajah Nurseta dengan mata bersinar. "Bagus sekali kita dapat bertemu di sini, Nurseta. Memang aku sedang mencarimu!"

"Hemm, engkau mencari aku, Puspa Dewi? Apakah untuk minta maaf bahwa engkau dahulu itu sudah mengeroyokku bersama Linggajaya?"

"Aku? Minta maaf padamu? Huh, tak tahu diri! Engkaulah yang harus minta maaf padaku karena engkau telah berani mengganggu dan mengancam hendak membunuh ayahku?"

"Siapa hendak membunuh ayahmu?"

"Engkau mengamuk di rumah ayahku dan engkau masih berani pura-pura bertanya lagi?"

"Hemm, aku mempunyai urusan dengan Ki Lurah Suramenggala, bagaimana mungkin engkau menuduh aku mengganggu ayahmu? Apakah Ki Lurah Suramenggala itu..."

"Dia ayahku dan jangan katakan dia jahat!"

"Tapi... setahu ku engkau adalah anak Bibi Lasmi yang telah janda..."

"Ibuku telah menjadi isteri Ki Lurah Suramenggala, maka dia adalah ayahku."

Nurseta mengangguk-angguk. Sebagai orang yang pernah bekerja pada lurah itu, tentu saja dia tahu bahwa Ki Lurah Suramenggala sudah mempunyai isteri bahkan setahu dia lurah itu sudah mempunyai dua orang selir. Hemm, tentu Bibi Lasmi menjadi selirnya yang ke tiga, pikirnya.

"Ooh, begitukah?" kata Nurseta sambil memandang wajah yang cantik jelita itu.

Memang Puspa Dewi kini telah menjadi seorang dara yang dewasa dan cantik jelita. Dulu, ia seorang gadis remaja yang sederhana seperti gadis desa pada umumnya, pakaiannya sederhana dan sikapnya lembut dan pemalu. Akan tetapi kini, sungguh perubahan besar telah terjadi pada diri dara itu.

Dalam usianya yang sekitar Sembilan belas tahun itu, ia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum. Kulitnya putih kuning mulus, tubuhnya sedang dan padat dengan lekuk lengkung sempurna dan menggairahkan. Rambutnya hitam panjang dan di dahinya serta pelipisnya, sinom (anak rambut) melingkar-lingkar indah. Alisnya melengkung melindungi sepasang mata yang bersinar-sinar seperti bintang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya segar merah membasah.

Tahi lalat hitam kecil di dagu itu menambah kemanisannya. Dan yang mencolok sekali, sikapnya yang dulu pendiam dan pemalu itu, kini sama sekali berubah. Kini ia menjadi seorang dara sakti mandraguna yang lincah dan tampak liar dan ganas! Juga pakaiannya serba mewah dan indah, seperti seorang puteri saja! Tentu saja ia sama sekali tidak menyangka bahwa memang Puspa Dewi telah menjadi seorang puteri, menjadi Puteri Sekar Kedaton (Puteri Bunga Istana) Kadipaten Wura wuri.

"Tadi engkau mengatakan bahwa engkau memang sedang mencari aku... Nah, kita sekarang telah saling bertemu di tempat ini. Lalu apa yang kau inginkan dariku, Puspa Dewi?"

"Pertama, aku ingin membalaskan penghinaan mu terhadap ayahku..."

"Ayah tirimu Ki Lurah Suramenggala itu?"

"Ya, ayah tiriku. Engkau telah bertindak sewenang-wenang dan menghinanya."

"Tenang dulu, Puspa Dewi. Sangat tidak adil kalau engkau hanya mendengarkan keterangan sepihak. Kau tahu apa yang telah dilakukan Ki Suramenggala padaku? Pertama, dia yang menyebabkan orang tuaku terpaksa melarikan diri dari Karang Tirta. Kedua, dia telah menipuku, membeli rumah dan pekarangan serta ladang orang tuaku hanya dengan memberi aku makan selama tiga tahun, itu pun aku harus bekerja sebagai bujang untuknya. Ketiga, ketika aku datang untuk menanyakan tentang orang tuaku padanya, dia menyuruh para jagoannya untuk mengeroyok dan memukuli aku. Keempat, ternyata dia bersahabat dengan kepala gerombolan yang merampok di dusun Karang Sari. Nah, itulah sebabnya, aku menghajarnya, Puspa Dewi. Kalau engkau hendak membelanya, maka jelas bahwa engkau membela orang yang bersalah, engkau ikut salah juga. Kalau dia menjadi ayah tirimu, kewajibanmu adalah untuk menyadarkan dia agar kembali ke jalan benar, tidak memeras rakyatnya dan tidak bertindak sewenang-wenang."

Wajah gadis itu berubah merah, la memang sudah menduga bahwa ayah tirinya bukan orang baik-baik dan sebetulnya ia sendiri juga menyesal dan kecewa mengapa ibunya mau dijadikan selir lurah itu.

"Hemm, akan kuselidiki dan kalau benar semua keteranganmu, aku pasti akan menyadarkannya. Akan tetapi ada sebuah hal lagi yang lebih penting, yaitu aku memenuhi pesan guruku agar mencarimu."

"Hemm, siapa gurumu itu? Kalau menyuruhmu mencariku berarti dia sudah mengenal aku. Dan mengapa dia menyuruh engkau mencariku, Puspa Dewi?"

"Guruku adalah ibu angkatku dan juga bernama Nyi Dewi Durgakumala dan kini menjadi Permaisuri Adipati Wura-wuri" kata Puspa Dewi dengan nada bangga.

Nurseta memandang ke arah pakaian dan perhiasan yang dipakai Puspa Dewi dan mengertilah dia kini. Keterangan ini sudah menjelaskan segalanya. Nyi Dewi Durgakumala adalah wanita cantik sakti yang dulu menculik Linggajaya. Kenapa malah sekarang Puspa Dewi yang dulu diculik oleh Resi Bajrasakti yang menjadi murid wanita itu?

Dia teringat akan Linggajaya yang kini juga sakti mandraguna. Kalau begitu, tentu Linggajaya menjadi murid Resi Bajrasakti. Agaknya mereka berdua itu saling bertukar anak yang mereka culik. Dan diapun tidak heran melihat Puspa Dewi begitu berubah. Murid Nyi Dewi Durgakumala, datuk wanita sesat itu tentu saja menurunkan wataknya kepada muridnya, dan tidak aneh pula kalau Puspa Dewi memakai pakaian mewah dan perhiasan serba gemerlapan karena dara itu telah menjadi puteri Adipati Wura-wuri!

"Hemm, kiranya engkau sekarang telah menjadi anak lurah juga puteri adipati! Hebat! Lalu apa maksud Nyi Dewi Durgakumala atau Gusti Permaisuri Adipati Wura-wuri itu mengutusmu mencari aku?...

"Serahkan keris pusaka Sang Megatantra kepadaku, Nurseta!" kata Puspa Dewi.

"Ohh... jadi itukah yang dikehendakinya? Apa hak gurumu dan engkau minta Sang Megatantra itu, Puspa Dewi? Pusaka Itu bukan milikmu atau milik gurumu"

"Jangan banyak cerewet. Serahkan Megatantra atau aku akan merampas dengan kekerasan!"

"Pusaka Megatantra adalah hak milik Sang Prabu Erlangga di Kahuripan."

Tidak perduli, serahkan Megatantra padaku!" kata Puspa Dewi dengan alis berkerut.

"Bagaimana aku dapat menyerahkan Megatantra kepadamu kalau pusaka itu tidak berada di tanganku?"

"Bohong! Guruku mengatakan bahwa engkaulah yang menemukan pusaka itu daerah pantai Laut Kidul!"

"Benar, akan tetapi sekarang pusaka itu tidak berada padaku."

"Sudah kau serahkan kepada Sang Prabu Erlangga?"

"Belum, akan tetapi..."

"Kalau begitu, berarti masih ada padamu?"

"Juga tidak, pusaka itu tidak ada padaku."

"Lalu di mana?"

Nurseta menggelengkan kepalanya. Sungguh aneh, pikirnya. Dara ini bersikap begini galak dan liar, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi tak senang atau marah. Agaknya tidak mungkin dia dapat marah kepada wajah yang manis dan yang amat menarik hatinya itu. "Sayang, aku tidak dapat memberitahukan hal itu kepadamu."

"Nurseta! Kalau begitu engkau menantang aku?" bentak Puspa Dewi marah.

Nurseta tersenyum. "Puspa Dewi, aku tidak pernah menantangmu. Di antara kita berdua tidak ada urusan apa pun yang patut dipertentangkan. Kalau gurumu menghendaki Megatantra dariku, katakan saja bahwa Megatantra tidak ada padaku. Aku tidak berbohong dan selebihnya aku tidak dapat memberi tahu apa-apa lagi. Puspa Dewi, aku tahu bahwa engkau seorang dara perkasa yang baik hati, buktinya tadi engkau tidak suka melihat orang dikeroyok secara tidak adil dan membantu. Sadarilah bahwa Megatantra itu hak milik Kerajaan Kahuripan. Amat tidak baik menginginkan hak milik lain orang."

"Tidak perlu memberi wejangan! Cepat katakan di mana sekarang Sang Megatantra!" bentak Puspa Dewi jengkel

"Maaf, aku tidak dapat mengatakannya, Puspa Dewi."

"Keparat, kalau begitu aku harus menggunakan kekerasan memaksamu" kata dara itu dan ia lalu memasang kuda-kuda. Kedua kaki agak ditekuk yang kanan di depan dan yang kiri ke belakang, kedua lengan dipentang seperti burung terbang. Itulah pembukaan dari Aji Guntur Geni.

Melihat sikap dan gerakan gadis itu diam-diam Nurseta kagum. Sungguh dara itu tampak gagah bukan main. "Terserah kepadamu, Puspa Dewi. Akan tetapi yang menghendaki perkelahian bukan aku, melainkan engkau." Kata Nurseta dengan sikap tenang dan dia berdiri santai saja menanti gadis itu menyerang lebih dulu.

"Sambut seranganku Hyaaaaattt..!" Dara itu sudah membuka serangan. Cepat seperti kilat menyambar tubuhnya sudah menerjang ke depan, kedua lengan yang tadinya dipentang itu meluncur dengan cepat sekali, yang kanan memukul kearah leher Nurseta dengan tangan miring, di susul tangan kiri yang mencengkeram kearah perut pemuda itu! Bukan cengkraman biasa karena ia sudah menggunakan Aji Wisakenaka dalam cengkeraman itu sehingga kuku-kuku jarinya mengandung racun dan sekali menggores kulit lawan, kalau sampai terluka, dapat mendatangkan bahaya maut seperti gigitan ular berbisa!

"Hemm..!" Nurseta melihat datangnya serangan yang berbahaya dan juga ganas itu. Dia telah menggunakan Aji Bayu Sakti dan tubuhnya sudah berkelebat, menghindar dari serangan kedua tangan gadis itu. Akan tetapi setelah serangan pertamanya luput dan gagal, Puspa Dewi sudah menyusulkan serangan beruntun dengan cepat dan kuat.

Setelah beberapa kali mengelak, Nurseta lalu melayani dara itu dengan gerakan silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan dan terkadang melompat tinggi seperti seekor bangau terbang. Perkelahian berlangsung seru, saling serang dengan hebat. Namun sesungguhnya, Nurseta tentu saja tidak benar-benar dalam serangannya, tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya dan sama sekali tidak bermaksud melukai gadisl itu. Dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai, akan tetapi hal ini sungguh amat sukar karena sepak terjang Puspa Dewi hebat dan ganas. Setelah menahan semua serangan gadis itu dan terkadang membalas yang dapat pula dihindarkan Puspa Dewi, gadis itu menyerang dengan pukulan Guntur Geni yang mendatangkan hawa panas. Pukulan tangan kanan terbuka itu mengarah dada Nurseta. Melihat serangan ini, Nurseta mendapatkan kesempatan untuk mencapai maksudnya, yaitu mengalahkan tanpa melukai. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dari samping.

"Wuuuttt... dessss..!" Tubuh Puspa Dewi terdorong dari samping dengan kuatnya sehingga hampir saja ia terpelanting. Akan tetapi ia dapat berlompatan dan berjungkir balik tiga kali sehingga tidak sampai jatuh, hanya terhuyung saja. Namun hal itu sudah jelas menunjukkan bahwa ia kalah dalam pertandingan silat tangan kosong itu. Bukannya menerima dan mengakui kekalahannya, Puspa Dewi yang keras kepala dan keras hati itu malah menjadi semakin penasaran dan marah.

"Hemm, Nurseta! Aku belum kalah! cabut senjatamu keris pusaka Megatantra dan coba lawan pedangku ini!" Gadis itu menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar hitam berkilauan dan tahu tahu Pedang Hitam Candrasa Langking sudah berada di tangannya.

"Sudah ku katakan bahwa Sang Megatantra tidak ada padaku dan aku tidak biasa menggunakan senjata, Puspa Dewi. Sudahlah, untuk apa kita bertanding? Biar aku mengaku kalah dan anggap saja engkau menang. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, Puspa Dewi. Ingat, kita adalah orang-orang sedusun, sama sama berasal dari Karang Tirta." Nurseta membujuk.

"Kau pilih saja salah satu. Memberi tahu kepadaku di mana sekarang keris pusaka Sang Megatantra atau kalau engkau tidak mau mengatakannya, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan memaksamu dengan pedangku ini!"

"Wah, engkau ini nekat benar, Puspa Dewi. Sudah kukatakan bahwa keris pusaka itu tidak ada padaku dan keris pusaka itu adalah milik Sang Prabu Erlangga di Kahuripan karena itu merupakan pusaka Mataram yang harus diserahkan kepada keturunan raja Mataram. Untuk apa engkau nekat ingin memilikinya?"

"Tak perlu banyak cakap lagi. Aku hanya mentaati perintah guru atau ibu angkatku. Nah, katakan dimana Sang Megatantra!"

"Nurseta menggeleng kepalanya. "Tidak akan kukatakan kepada siapa juga."

"Kalau begitu sambutlah Candrasa Langking ini!" Puspa Dewi yang sudah merasa sangat penasaran karena tadi dalam pertandingan tangan kosong sudah dikalahkan Nurseta, kini sudah maju dan menyerang dengan pedang hitamnya, tidak perduli bahwa Nurseta tidak membawa senjata.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar