Pemuda itu berhenti dan menghadapi puteri itu. "Kalau semua sudah dapat terlaksana dengan baik, andika harus meninggalkan istana, akan tetapi jangan pergi jauh. Datanglah ke kepatihan, kami membutuhkan seorang juru taman yang pandai dan kalau engkau berada dekat sana, siapa tahu engkau dapat pula membantuku."
"Sendika, gusti puteri, dan terima kasih." jawab Linggajaya dengan wajah berseri dan dia lalu menyelinap lenyap ditelan kegelapan malam di balik pohon-pohon dalam taman itu.
Dua orang puteri itu merasa gembira sekali dan mereka lalu melangkah perlahan-lahan kembali ke istana. Ketika memasuki bangunan yang megah itu, karena tidak melihat ada orang dan suara perayaan pesta itu masih ramai terdengar di bagian depan dan luar istana, Lasmini berkata kepada adiknya.
"Wah, Mandari, kalau anak itu dapat dibunuh, akan berhasillah jerih payah kita selama ini."
"Ssttt... kita sudah di sini, jangan bicarakan itu lagi," bisik Mandari memperingatkan kakaknya.
Mereka tertawa tawa dan tampak gembira sekali ketika memasuki ruangan itu. Sama sekali mereka tidak tahu bahwa ketika mereka bicara tadi, ada sepasang telinga yang menangkap ucapan Lasmini tadi. Pemilik sepasang telinga ini adalah Dyah Untari, selir pertama Sang Prabu Erlangga. Tadinya, melihat dua orang puteri itu datang dari taman, Dyah Untari hendak menyambut dan menyapa dengan ramah seperti biasanya, akan tetapi melihat keduanya berbisik-bisik, ia merasa heran dan cepat menyelinap di balik tiang besar. Ketika mendengar bisikan yang diucapkan Lasmini, ia makin terkejut pula dan tidak memperlihatkan diri. Kecurigaan menyelinap dalam hatinya.
Biar pun Dyah Untari tidak cemburu kepada Mandari, namun dalam hatinya ia kurang suka kepada selir termuda dan terkasih dari Sang Prabu Erlangga ini. Bukan karena cemburu, melainkan karena sikap Mandari terkadang angkuh dan sering kali selir ini memperlihatkan sikap kasar kepada para dayang, ringan tangan menampar dayang hanya karena kesalahan kecil saja dan terutama sekali, di luar tahu sang prabu, Mandari suka memaki dengan kata-kata yang tidak bersusila dan tidak pantas dikeluarkan dari mulut seorang selir raja besar!
Akan tetapi di depan Sang Prabu Erlangga, Mandari selalu tampak lemah lembut, halus menyenangkan, seperti seekor domba yang berbulu indah bersih dan jinak lembut. Seringkah Dyah Untari melamun bahwa domba jinak itu tidak mustahil sewaktu waktu akan berubah menjadi seekor serigala…..!
********************
Malam terakhir pesta perayaan pernikahan itu diliputi cuaca yang gelap. sejak sore tadi langit tertutup mendung dan hujan gerimis mendatangkan hawa yang dingin. Akan tetapi perayaan malam terakhir itu tetap meriah. Suara gamelan dipukul bertalu-talu mengiringi suara tembang para waranggana.
Sesosok bayangan berkelebat membayangi seorang perwira berpakaian seperti perwira Sriwijaya. Perwira ini adalah Swandaru, kepala pasukan pengawal sang Puteri Sri Sanggramawijaya dari sriwijaya. Tadinya perwira ini pun duduk di pendopo bersama para tamu lain, nonton para penari srimpi. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang dayang menghampirinya dan mengatakan dengan suara bisik bisik bahwa perwira dari Sriwijaya di dipanggil oleh sang puteri Sri Sanggramawijaya agar masuk ke dalam keputren.
Mendengar panggilan ini, tentu saja Swandaru cepat meninggalkan tempat pesta dan pergi ke arah keputren, sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan berkelebat cepat dalam kegelapan dan membayanginya. Ketika dia tiba di lorong yang menuju ke keputren, tempat yang sepi karena semua orang sibuk luar, ada yang nonton, ada yang sibuk melayani tamu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat di dekatnya.
Sebuah tangan halus meluncur dan sebuah tamparan mengenai tengkuknya. Tanpa mengeluarkan suara Swandaru terkulai pingsan dan diseret ke dalam bagian taman yang gelap. Sungguh luar biasa betapa perwira Sriwijaya yang bukan seorang lemah ini dapat dirobohkan demikian mudahnya oleh sebuah tangan yang mungil dan halus.
Sementara itu, di ruangan samping yang masih menjadi bagian keputren menjadi tempat para biyung emban (inang pengasuh) biasa mengasuh anak-anak keluarga istana. Karena pada waktu itu Sang Prabu Erlangga baru mempunyai dua orang putera, maka biasanya hanya dua orang putera ini yang diasuh oleh para biyung emban. Akan tetapi pada malam itu, agaknya para biyung emban tidak ada pekerjaan dan ikut nonton di tempat pesta.
Yang berada di ruangan itu hanya seorang biyung emban bernama Darmi yang dipercaya untuk mengasuh Pangeran Samarawijaya. Biasanya, seorang pengasuh lain, Ginah, berada pula di situ dan mengasuh Pangeran Budidharma yang lebih kecil. Akan tetapi malam itu yang berada di situ hanya biyung emban Darmi yang bertubuh gemuk. la menggendong seorang anak laki - laki dengan sehelai selendang. Agaknya anak itu sedang tidur karena Darmi membawanya berjalan hilir mudik sambil bersenandung.
"Ah, semua menonton, bersenang senang dan malas!" gerutunya di tengah senandungnya.
Memang, semua orang nonton dan ia ditinggal seorang diri menggendong anak laki-laki itu. Agaknya selama perayaan pesta itu berlangsung, di istana makanan berlimpah-limpah. Sambil menidur-nidurkan anak itu, Darmi kadang berhenti di dekat sebuah meja dan mengambil makanan dari piring lalu memakannya.
Senandungnya menjadi sumbang karena diseling makan. Pantas tubuhnya gemuk karena agaknya ia suka ngemil (sering makan makanan kecil), Demikian asyiknya Darmi sehingga ia tidak melihat betapa sesosok bayangan berkelebat memasuki ruangan itu. Pada saat dia mendengar gerakan di belakangnya, ia menengok dan matanya terbelalak melihat seorang laki-laki mengenakan topeng hitam sudah berdiri di depannya!
Laki-laki itu menggerakkan sebatang keris dan secepat kilat keris itu ditusukkan ke tubuh anak yang digendong Darmi. Anak yang malang itu hanya menjerit satu kali, lalu diam tak bergerak karena keris itu telah menembus dadanya. Orang yang menusuk anak itu lalu melompat dan keluar dari ruangan. Darmi masih terbelalak. Ketika ia memandang ke arah anak dalam gendongannya, ia melihat darah berlumuran dari tubuh anak itu!
la menjerit sekuatnya dan terkulai jatuh pingsan dengan anak yang telah mati itu masih dalam gendongannya. Akan tetapi jeritnya yang melengking nyaring itu mengejutkan orang-orarg yang berada di keputren. Para dayang berlarian memasuki ruangan itu dan sebentar saja keadaan menjadi gempar. Tak lama kemudian, Sang Prabu Erlangga sendiri memasuki ruangan, diikuti permaisuri yang baru, sang pengantin baru Puteri Sri Sanggramawijaya.
Sepasang pengantin ini terpaksa keluar dari kamar pengantin mereka ketika mendengar ada pembunuhan di tempat pengasuh anak anak. Tidak ketinggalan Mandari juga mengikuti Sang Prabu Erlangga, dan Dyah Untari. Ketika Sang Prabu Erlangga memasuki ruangan itu dengan tiga orang isterinya yang paling terkemuka, semua dayang dan abdi dalem (pelayan) berjongkok dipinggir dan menyembah.
Sang Prabu Erlangga menghampiri Darmi yang masih menangis meraung-raung setelah sadar dari pingsannya dan rnemeluki anak yang berlumuran darah dan sudah mati itu.
"Biyung Emban, berhentilah menangis dan ceritakan apa yang terjadi di sini." kata Sang Prabu Erlangga dengan tenang setelah dia mengamati sebentar anak yang masih digendong Darmi itu.
Mendengar suara sang prabu, agaknya Darmi baru menyadari bahwa junjungannya telah berada di situ. la segera menyembah-nyembah dan menahan tangisnya.
"Aduh, gusti... ketiwasan (celaka), gusti... ada... ada orang masuk lalu menggunakan kerisnya membunuh " katanya gagap.
"Hemm, seperti apa orangnya?"
"Hamba tidak tahu, gusti... dia... dia memakai topeng hitam..."
"Bagaimana pakaiannya?"
"Pakaiannya... pakaiannya... seperti perwira pasukan pengawal Gusti Puteri Pengantin...dari Sriwijaya..."
"Tidak mungkin..!" puteri Sri Sanggramawi berseru. "Kenapa tidak mungkin? Ini buktinya!" terdengar jawaban dari luar dan masuklah Lasmini mengiringkan dua orang perajurit pengawal istana yang menggotong tubuh seorang tinggi besar yang memakai pakaian perwira pasukan Sriwijaya dan orang itu sudah mati!
"Paman Swandaru..!" Sang Puteri Sri Sanggramawijaya berjongkok dekat mayat perwira pengawalnya itu, matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Paman Swandaru... andika kenapakah... siapa yang berani membunuh perwira pengawalku?" la bangkit berdiri dan memandang penasaran kepada Sang Prabu Erlangga.
Ki Patih Narotama juga sudah datang ke tempat itu setelah dia yang tadi duduk di luar mendengar bahwa ada pembunuhan di bagian keputren. Dia memandang dengan alis berkerut kepada Lasmini karena sekali pandang ke arah muka mayat perwira Sriwijaya yang agak kebiruan itu diapun dapat menduga bahwa perwira itu tentu tewas oleh pukulan Aji Ampak-ampak yang ampuh dan dikuasai oleh selirnya itu.
"Tenanglah, adinda," kata Sang Prabu Erlangga kepada permaisurinya yang baru. Kemudian dia memandang kepada Lasmini yang membawa sebatang keris yang berlumuran darah lalu bertanya dengan suara penuh wibawa, "Lasmini, ceritakanlah apa yang terjadi."
"Diajeng, berceritalah sejujurnya, terus terang dan jangan ada yang disembunyikan!" terdengar Narotama berkata kepada Lasmini dengan suara memerintah.
Dengan hormat Lasmini menyembah kepada Sang Prabu Erlangga lalu menceritakan dengan suara lembut dan sungguh-sungguh. "Hamba sedang mencari angin di taman dan hamba mendengar jeritan dari bangunan bagian keputren, maka hamba segera hendak lari menghampiri. Akan tetapi setibanya di pintu taman, hampir hamba bertabrakan dengan orang ini! Melihat dia lari keluar dari bagian keputren, hamba menegurnya akan tetapi dia malah menyerang hamba dengan keris ini." Ia menyerahkan keris itu kepada Sang Prabu Erlangga yang menerima keris itu dan mengamatinya.
Kemudian dia berkata.
"Seterusnya bagaimana?"
"Hamba melawannya dan karena dia juga cukup digdaya dan agaknya mati-matian hendak menyerang hamba, terpaksa hamba lalu mengeluarkan aji pukulan untuk merobohkannya. Sayang, agaknya hamba memukul terlalu kuat sehingga dia tewas, padahal sesungguhnya hamba ingin menangkap dia hidup-hidup agar dia dapat mengaku mengapa dia membunuh Pangeran Samarawijaya dan siapa yang menyuruhnya."
"Siapa lagi yang menyuruhnya?" tiba tiba Puteri Mandari berkata lantang "Semua buktinya sudah lengkap dan saksinya juga ada. Biyung emban Darmi, coba lihat, bukankah ini laki-laki yang melakukan pembunuhan tadi?" Puteri Mandari menuding ke arah mayat Perwira Swandaru.
Biyung emban Darmi sudah Menjadi gugup sekali karena menghadapi pemeriksaan oleh Sang Prabu Erlangga, bahkan Ki Patih Narotama dan semua keluarga Istana. la memandang mayat itu dan berkata gagap, "kasinggihan... pakaiannya... begitu itulah... tapi mukanya... ditutupi topeng..."
"Nah, itu sudah cukup, kakanda prabu. Buktinya lengkap, saksinya ada. Jelas perwira Sriwijaya ini pembunuhnya dan siapa lagi yang menyuruh dia melakukan pembunuhan itu kalau bukan Sang Puteri Sri Sanggramawijaya" kata Mandari.
"Ampun, gusti. Kalau boleh hamba ikut bicara, pembunuhan ini tentu dilakukan sebuah komplotan yang mempunyai niat jahat tertentu, lalu menjatuhkan fitnah atas diri Sang Puteri Sri Sanggrawijaya..."
"Kakangmbok Untari! Urusannya sudah jelas dan andika bicara soal komplotan segala. Apakah sekarang masih ada komplotan seperti yang dulu dilakukan mendiang Ki Patih Hardogutama ketika berkelomplot untuk membunuh mendiang kanjeng rama prabu Teguh Dharmawangsa?" bentak Mandari dengan suara mengandung penuh ejekan.
Pucat wajah Dyah Untari dan ia merasa terkejut, marah dan malu sehingga tubuhnya gemetar dan kedua matanya basah.
"Sudah cukup! Apa perlunya ribut-ribut ini?" bentak Sang Prabu Erlangga sambil mengerutkan alis dan memandang Mandari dengan sinar mata mengandung teguran. Akan tetapi Mandari membalas pandang mata Sang Prabu Erlangga dengan berani dan lapun membantah.
"Akan tetapi, kakanda prabu! Putera paduka Pangeran Samarawijaya dibunuh orang dan hamba sekalian tidak boleh ribut-ribut?"
"Hemm, siapa bilang puteraku Pangeran Samarawijaya dibunuh orang? Anak yang terbunuh ini pun aku tidak tahu siapa! Heh, biyung emban, siapakah anak dalam gendongan mu itu?"
"...ampun, gusti... ini adalah Kadrya, keponakan hamba. Karena hamba mengganggur dan ibu anak ini sakit, maka malam ini dia dititipkan kepada hamba... tidak tahunya... dia mati terbunuh... hu-hu-huuhh... bagaimana hamba harus memberitahu adik hamba..?"
Banyak orang menghela napas lega mendengar bahwa yang terbunuh bukan Pangeran Samarawijaya, akan tetapi Lasmini dan Mandari terkejut setengah mati! Sungguh tadinya mereka sudah merasa lega karena sekali ini usaha mereka berhasil baik. Linggajaya yang menyamar dengan pakaian perwira Sriwijaya telah melaksanakan tugasnya dengan baik, membunuh anak itu lalu menyerahkan keris yang dipakai membunuh kepada Lasmini yang menanti di taman untuk dijadikan bukti. Siapa kira, yang diasuh biyung emban Darmi bukan sang pangeran, melainkan keponakan biyung-emban itu sendiri!
Yang tidak merasa heran adalah Dyah Untari karena ialah yang telah menggagalkan usaha pembunuhan atas diri sang pangeran itu. Ketika ia mendengarkan bisikan Lasmini dan Mandari yang mengatakan bahwa kalau anak itu dapat dibunuh maka berhasillah usaha mereka. hatinya menjadi curiga dan juga ngeri.
Siapa tahu yang dimaksudkan anak oleh dua orang wanita kakak beradik puteri-puteri Parang Siluman itu adalah kedua orang pangeran, puteranya sendiri, Pangeran Budidharma dan Pangeran Samarawijaya. Oleh karena itu, semenjak malam itu, ia minta kepada kedua orang biyung emban pengasuh agar membawa kedua orang anak itu!
Maka terjadilah salah bunuh itu. Akan tetapi, Dyah Untari tidak berani mengemukakan hal ini. Kecurigaannya bahwa dua orang puteri Parang Siluman itu yang mengatur pembunuhan, tidak mempunyai bukti yang kuat dan ia tidak mau kalau nanti Mandari kembali menghinanya dengan menceritakan tentang komplotan mendiang ayahnya di depan orang banyak. Ia dapat menderita malu. Apa lagi, biyung emban Darmi sendiri sudah bersaksi bahwa pembunuhnya memang perwira Sriwijaya itu.
Mungkinkah perwira Sriwijaya itu berkomplot dengan kakak beradik dari Parang Siluman itu? Rasanya tidak mungkin dan urusannya menjadi bertambah ruwet. Memang, keadaannya di Kahuripan, menjadi selir pertama dan tercinta dari Sang Prabu Erlangga merupakan hal yang aneh. Mendiang ayahnya adalah Pangeran Tua Hardogutama yang kemudian diangkat sebagai patih oleh mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, mertua Sang Prabu Erlangga. Mendiang ayahnya itu dan mendiang kakaknya memang melakukan pemberontakan, hendak menguasai kerajaan dan hendak membunuh Sang Prabu Erlangga ketika belum menjadi raja. Namun usaha mereka itu gagal, bahkan mereka sendiri tewas dalam perang, la sendiri sama sekali tidak membantu ayahnya, bahkan membantu Erlangga dengan setia sehingga setelah Erlangga menjadi raja, dia diambil sebagai selir.
"Sudahlah, biyung emban, ceritakan saja apa yang terjadi dan kami akan beri hadiah untuk menghibur hati keluarga adikmu. Urusan ini kita habiskan di sini saja. Pembunuhan telah dilakukan dan pembunuhnya juga sudah terbunuh, tidak perlu adanya curiga mencurigai dan tuduh menuduh. Marilah, adinda Sri Sanggramawijaya, peristiwa ini jangan sampai menjadi penghalang kebahagiaan kita."
Semua bubar. Para abdi dan perajurit pengawal mengurus mayat perwira Sriwijaya dan mayat anak kecil itu oleh biyung emban Darmi dibawa pulang ke rumah adiknya, disambut ratap tangis Ibu anak itu.
Akan tetapi peristiwa yang terakhir ini seolah mulai menyadarkan Lasmini dan Mandari bahwa mereka kini harus berhati-hati. Apa lagi agaknya peristiwa itu juga mendatangkan keraguan dalam hati Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Pandang mata Sang Prabu Erlangga terhadap Mandari, biarpun masih mesra seperti dulu, namun mengandung sinar mata tajam menyelidik, seolah raja itu ingin menjenguk isi hati yang paling dalam dari selirnya ini.
Demikian pula dengan Ki Patih Narotama. Memang masih dapat dibakar gairahnya oleh Lasmini yang pandai merayu, namun di saat-saat tertentu tampak betapa sinar mata ki patih ini mencorong dan memandang tajam kepada Lasmini, seperti hendak menyelidiki!
Bahkan Lasmini berhasil membujuk Ki patih Narotama untuk mengajarkan satu di antara ilmu-ilmunya kepada selir itu. Narotama mengajarkan semacam ilmu silat Kukila Sakti (Burung Sakti) pada Lasmini sehingga wanita ini menjadi semakin tangkas saja. Ilmu silat ini membuat ia dapat bergerak laksana seekor burung srikatan, lincah dan cepat bukan main.
"Kakangmas, setelah dua orang juru taman kita dulu itu terbunuh orang, sampai sekarang belum ada penggantinya yang tepat." kata Lasmini kepada Ki Patih Narotama dengan suara manja sambil merapatkan duduknya di bangku taman mendekati suaminya.
Narotama tersenyum. Selirnya ini kalau sudah bersikap manja seperti itu biasanya ada maunya. Akan tetapi sebelum memenuhi kehendaknya itu, biasanya Lasmini bersikap amat mesra dan amat menyenangkan hatinya. Dia lalu merangkul dan menarik tubuh yang bahenol itu. Mendapat kesempatan ini Lasmini lalu mengangkat pinggulnya dan duduklah ia di atas pangkuan Narotama.
Ki patih tertawa dan merangkul pinggang yang ramping itu. Bau melati semerbak dari rambut dan leher Lasmini dan dia menghirup keharuman itu sambil mencium leher yang berkulit putih mulus itu. Lasmini menggelijang dan tertawa lirih tertahan sehingga suara itu menimbulkan gairah dalam hati Narotama.
"Kalau engkau ada usul mengenai juru taman, katakana saja, sayang." kata Ki patih sambil mengamati wajah yang berkulit putih halus kemerahan itu.
"Begini, kakangmas tentu mengenal Sarti, pelayan pribadi hamba itu bukan"
"Tentu saja, abdimu yang ayu manis merak ati itu?" Narotama menggoda sambil tertawa.
"Ih, ngenyek (mengejek) ini, ya? Sarti memang berwajah buruk dan bentuk tubuhnya tinggi besar, akan tetapi ia mempunyai seorang adik misan laki-laki yang menurut keterangannya trampil dan pandai mengurus taman. Nah, Sarti yang minta kepada hamba agar adik misannya itu diterima bekerja sebagai juru taman di sini dan hamba menyanggupi. Akan tetapi tanpa perkenan dari paduka, mana hamba berani mengambil keputusan menerimanya?"
Narotama tersenyum. "Ah, urusan sekecil itu kenapa harus minta perkenan dariku, diajeng? Urusan taman dan juru tamannya, putuskan saja sendiri. Terserah kepadamu. Kalau engkau sudah menerima adik misan Sarti itu sebagai juru taman, aku sih setuju saja. Asal dia dapat bekerja dengan baik, menjaga agar taman kita selain bersih, terawat sehingga tampak indah dan bunga-bunganya berkembang subur."
"Tentu saja, kakangmas, dan terima kasih atas persetujuan paduka."
"Oya, siapa nama juru taman baru Itu, diajeng?"
"Namanya Linggajaya, kakangmas."
"Hemm, nama yang indah, tentu orangnya elok pula."
"Ih, kakangmas. Apakah itu penting? yang penting adalah hasil pekerjaannya. Akan tetapi bagaimana pun juga, tentu lebih menyenangkan kalau pembantu-pembantu kita berwajah elok dari pada berwajah buruk."
"Dan abdimu itu..?" Narotama kembali menggoda.
"Sarti? Ia lain, kakangmas. la telah menjadi abdi di istana kanjeng ibu di istana Parang Siluman sejak hamba masih bayi. Ia yang mengasuh hamba sejak kecil. Karena itu, biar ia buruk rupa, ia merupakan pembantu setia yang sangat hamba sayangi."
Narotama tersenyum. "Hemm, ingin akuu melihat bagaimana rupanya ketika engkau masih bayi. Ingin aku memondongmu, menimang dan memandikanmu!"
"Memandikan hamba?" Lasmini tertawa. Tawanya renyah dan merdu. "Paduka ini aneh-aneh saja, membuat hamba malu... "
Mereka bergurau dan sambil bergandengan tangan mereka lalu masuk gedung kepatihan untuk melanjutkan senda gurau mereka yang mesra.
Lingga jaya memang datang ke kepatihan seperti yang pernah diminta Lasmini ketika mereka bertemu di taman istana Sang Prabu Erlangga. Seperti ketika memasuki taman istana kerajaan, ketika memasuki taman kepatihan, Linggajaya juga mempergunakan aji kesaktian untuk memasuki taman tanpa diketahui para penjaga dan para prajurit pengawal kepatihan.
Dengan mudah Linggajaya dapat bertemu dengan Lasmlni yang memang sudah menanti di taman malam itu karena ia telah memperoleh kabar rahasia dari Mandari bahwa Linggajaya akan mengunjunginya di taman kepatihan. Ketika Linggajaya muncul, Lasmini memerintahkan abdinya yang setia, Sarti untuk berjaga di luar pondok demi keamanan pertemuan itu.
"Duduklah, Linggajaya," kata Lasmini dengan sikap anggun dan angkuh karena ia tidak mau merendah dan masih "tahan harga" walau pun jantungnya berdebar tegang menerima kunjungan seorang pemuda tampan dan amat digdaya itu. Ia menjadi selir Narotama ketika masih seorang gadis dan belum pernah sebelumnya ia bergaul dengan pria. Setelah menjadi isteri Ki Patih Narotama iapun belum pernah bercengkerama dengan pria lain, apa lagi mengadakan hubungan cinta. Maka kini berduaan saja dengan Linggajaya, ia menjadi tegang sehingga jantungnya berdebar-debar.
"Terima kasih, gusti puteri." kata Linggajaya dengan sopan dan hormat, lalu dia hendak duduk bersila di atas lantai.
"Ah, jangan di lantai. Duduk di kursi saja, agar lebih enak kita bicara." kata Lasmini.
"Akan tetapi... hamba... ah, takut, gusti puteri."
"Takut apa? Aku yang memerintahmu duduk, kenapa takut? Duduklah, ingin aku bertanya kepadamu."
"Baiklah dan terima kasih, gusti puteri. Maaf kalau hamba berani duduk di kursi ini."
Setelah pemuda itu duduk berhadapaan dengannya, terpisah sebuah meja, Lasmini dapat memandang wajah pemuda yang disinari lampu gantung itu dengan jelas. Memang tampan dan menawan, pikirnya. Masih muda dan mata itu! Mulut dengan senyumnya yang mengejek itu! Menggemaskan! Ki Patih Narotama juga tampan ganteng, akan tetapi karena telah bergaul sebagai isterinya selama hampir tiga tahun, ia merasa bosan juga.
Lasmini tidak mengerti bahwa kebosanan tentu datang dalam hati orang yang selalu dipengaruhi nafsu. Kalau ia tadinya merasa jatuh cinta kepada Narotama yang tampan dan ganteng, ia tidak tahu bahwa cintanya itu adalah cinta nafsu cinta karena ketampanan, kegantengan dan kekagumannya akan kesaktian Ki Patih Narotama. Dan segala yang terdorong nafsu hanya merupakan kesenangan lahiriah saja, hanya sebatas kulit dan kesenangan seperti ini sudah pasti mendatangkan kebosanan!
Kebosanan mendorong orang untuk mengejar yang baru, yang dianggap lebih menarik dan lebih menyenangkan dan kalau yang baru itu sudah terdapat, maka lambat laun dia Akan bosan pula dan ingin mengejar yang lebih baru lagi!
"Linggajaya, engkau tentu tahu bahwa bantuanmu kepada kami, kepada adikku Mandari dan aku, sama sekali telah gagal dan hal ini amat mengecewakan kami. Bagaimana bisa sampai gagal begitu, Linggajaya? Apakah engkau hanya pandai berjanji saja akan tetapi kenyataannya sama sekali tidak menguntungkan kami?"
"Maaf, gusti puteri. Akan tetapi kekeliruan telah terjadi sehingga hamba membunuh anak yang salah. Kekeliruan Itu sama sekali bukan salah hamba karena hamba hanya mendapat tugas untuk membunuh anak yang diasuh oleh biyung emban Darmi itu dan perintah itu telah hamba laksanakan dengan baik. Tentu saja hamba tidak tahu kalau anak itu bukan sang pangeran, karena hamba belum pernah melihat pangeran yang dimaksudkan."
"Hemm, kalau begitu Mandari yang kurang teliti sehingga terjadi kekeliruan itu yang hampir saja malah membuka rahasia kita! Akan tetapi sudahlah, karena kekeliruan itu kita harus lebih berhati-hati. Sekarang maukah engkau membantuku di sini?"
"Memang tugas hamba untuk membantu gusti puteri Lasmini dan gusti puteri Mandari. Katakan saja apa yang harus hamba lakukan, gusti puteri."
"Pertama-tama, engkau harus selalu dekat denganku agar mudah bagiku mengatur rencana dan menghubungimu kalau saatnya yang baik tiba untuk bertindak. Dan untuk itu, engkau harus tinggal di kepatihan ini dan menyamar menjadi juru taman."
"Juru taman?" tanya Linggajaya heran. Masa dia, putera lurah, murid Resi Bjrasakti, bahkan dia telah diangkat oleh Adipati Adhamapanuda raja Wengker sebagai senopati dan diberi keris Candalamanik. Dia, senopati Wengker, kini harus menjadi seorang juru taman kepatihan Kahuripan?
"Ya, menjadi juru taman kepatihan, Linggajaya. Kenapa engkau tampak heran?"
"Menjadi juru taman, mencangkul tanah dan menanam bunga?"
"Ya, menyirami dan menyapu, membersihkan taman dan menjaga agar taman tetap tampak bersih dan rapi. Bagaimana, engkau keberatan, Linggajaya?"
"Gusti puteri, hamba jelek-jelek seorang senopati! Hamba belum pernah memegang tangkai pacul dan sapu!"
Lasmini tersenyum dan giginya yang putih mengkilap itu mengintai dari balik sepasang bibir yang merah basah ketika senyuman yang bergelimang madu dan merekah dan terdengar suara tawa kecil tertahan. Linggajaya sampai melongo, terpesona oleh keindahan wajah wanita yang demikian menggairahkan. sepasang mata yang redup dan mulut yang indah itu, demikian menantang!
"Aih, Linggajaya. Engkau memang hanya sebagai juru taman, bukan menjadi tukang kebun benar-benar. Maksudnya agar engkau selalu dekat denganku dan..."
"Ah, jadi paduka juga ingin selalu berdekatan dengan hamba? Kalau begitu sama benar keinginan perasaan kita." kata Linggajaya sambil tersenyum dan pandang matanya mencorong tajam seperti hendak menembus dada yang membusung itu dan menjenguk isi hati yang terkandung di dalamnya.
"Hush! Maksudku agar selalu dekat dan mudah bagiku untuk mengajak berunding kalau aku telah menemukan sebuah rencana yang baik."
"Akan tetapi pekerjaan ini berat sekali bagi hamba, gusti. Berat dan sekaligus juga merendahkan martabat hamba. Jauh lebih ringan bagi hamba kalau paduka memberi perintah membunuh seseorang atau berapa orangpun!"
"Hemm, kalau engkau benar-benar ingin membantuku seperti yang ditugaskan kepadamu oleh Paman Adipati Wengker, tentu engkau tidak akan keberatan untuk menyamar sebagai juru taman Linggajaya."
"Bagaimana pun juga, penyamaran itu berat dan merendahkan martabat bagi hamba, akan tetapi... kalau imbalannya sepadan, agaknya hamba siap melakukannya!"
Linggajaya kembali memandang dengan sinar mata mengandung penuh arti. Tentu saja Lasmini dapat memahami apa yang tersirat di dalam ucapan pemuda yang telah berhasil menarik dan menggetarkan gairah dalam hatinya itu. Jantungnya kembali berdebar tegang karena selain dengan Ki Patih Narotama, belum pernah timbul berahinya ketika berhadapan dengan pria lain.
Mungkinkah Ini timbul karena kebosanannya kepada suaminya? Ataukah karena Linggajaya merupakan seorang pemuda sakti mandraguna yang dapat diharapkan bantuannya agar tugasnya di Kahuripan dapat berhasil? Ataukan karena Linggajaya memang seorang pemuda tampan, gagah dan juga sakti mandraguna dan merupakan wajah baru yang tentu saja memiliki daya tarik yang amat kuat? Mungkin kesemuanya itulah yang mendorong bangkitnya gairah dalam hatinya terhadap pemuda itu.
Lasmini tersenyum. "Imbalan apakah yang kau inginkan dariku agar engkau mau melaksanakan pekerjaan sebagai juru taman ini, Linggajaya?"
Melihat senyum dan pandang mata yang menantang itu, Linggajaya menjadi semakin berani. "Gusti Puteri Lasmini paduka laksana setangkai kembang indah sekali yang sedang mekar semerbak harum, ada pun hamba bagaikan seekor kumbang yang hina. Betapa akan bahagianya sang kumbang ini kalau sang bunga sudi membuka kelopaknya dan memberikan kesempatan kepada sang kumbang untuk hinggap, menghisap dan menikmati sedikit sari madunya."
Sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan seperti buah tomat matang dan sepasang bibir itu tersenyum malu-malu. Tentu saja Lasmini maklum betul apa yang dimaksudkan pemuda itu. Setelah agak lama merasa canggung dan salah tingkah, akhirnya Lasmini berkata.
"Kita lihat saja nanti hasil pekerjaanmu. Kalau engkau berhasil membuat rencanaku terlaksana dengan baik... heemm, aku tidak menjanjikan apa-apa, akan tetapi mungkin sekali keinginan kumbang itu akan terlaksana."
Bukan main girangnya hati Linggajaya mendengar ini. Berarti Lasmini sudah setengah menyambut dan menjanjikan pemenuhan keinginannya itu. Dan pemuda yang sudah berpengalaman dengan wanita itu hampir yakin bahwa selir Ki Patih Narotama ini juga "ada rasa" kepadanya. Hal ini dapat dia lihat dari senyum dan sinar matanya.
"Sendika nglampahi (siap melaksanakan) perintah paduka, gusti puteri!" katanya dengan girang.
"Nah, sekarang pergilah. Jangan terlalu lama di sini sebelum engkau diterima sebagai juru taman," kata Lasmini!
Linggaya lalu mempergunakan Aji Panglimutan sehingga tubuhnya diselimuti semacam halimun atau kabut. Dalam keadaan tidak tampak itu, tiba-tiba Lasmini merasa ada hidung yang hangat menyentuh pipi kanannya. Hanya sentuhan lembut dan hangat dan pemuda itu lalu pergi dari situ. Lasmini merasakan jantungnya berdebar tegang dan tak terasa lagi, ia mengangkat tangan kirinya dan mengusap pipi kanannya.....