Sang Megatantra Jilid 17

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Baiklah, lalu bagaimana kalian akan menguji aku?"

"Dengan bertanding melawan kami satu demi satu." Kata Kalamuka.

"Tidak, terlalu lama kalau satu lawan satu. Majulah kalian bertiga mengeroyokku dan kita lihat siapa yang akan keluar sebagai pemenang!"

"Tapi... kami tidak berani, Gusti Puteri. Itu tidak adil namanya dan tentu paduka akan kalah."

Puspa Dewi tersenyum manis. "Hemm, kita lihat saja. Kalau kalian bertiga tidak mau maju bersama, akupun tidak mau melayani kalian dan kalian tentu akan mendapat marah dari kanjeng rama adipati."

Tiga orang itu saling pandang dengan ragu. Akhirnya Kalamuka mengangguk kepada dua orang adiknya dan dia berkata kepada Puspa Dewi. "Baiklah, gusti puteri. Kami akan maju bersama melawan paduka, akan tetapi maafkan kami kalau kami mendesak paduka dan kalau nanti gusti adipati menyalahkan kami karena mengeroyok, harap paduka membela kami yang hanya memenuhi permintaan paduka."

"Baik, dan jangan khawatir. Kalian tidak akan mampu mengalahkan aku" kata Puspa Dewi yang segera membuat gerakan jurus pembukaan dari ilmu silat Guntur Geni. Kedua kakinya ditekuk sedikit, yang kanan di depan yang kiri di belakang, kedua tangan dikembangkan, yang kanan menuding ke atas, yang kiri ditekuk di pinggang, lalu dikembangkan seperti burung hendak terbang.

Melihat gadis itu telah bersiap, Kalamuka memberi isarat kepada dua orang adiknya lalu berseru, "Gusti Puteri, harap siap menyambut serangan kami!"

"Aku sudah siap! Majulah!"

Tiga orang itu serentak menyerang, Kalamuka menampar ke arah pundak kiri, Kalamanik mencengkeram ke arah pundak kanan dan Kalateja bergerak hendak menangkap lengan gadis itu. Jelas bahwa mere ka menyerang dengan gerakan sungkan, juga t idak mengerahkan tenaga sakti karena takut kalau kalau akan melukai gadis itu. Melihat ini, Puspa Dewi mendongkol sekali. Ia merasa dipandang rendah. Maka, ia mengeluarkan seruan nyaring, tubuhnya bergerak cepat dan secara beruntun mengirim serangan kilat!

Kalamuka kena ditampar dadanya, Kalamanik ditampar pundaknya dan Kalateja ditendang perutnya. Puspa Dewi tidak mempergunakan tenaga sepenuhnya, akan tetapi tiga orang itu sudah terpental dan roboh! Tentu saja mereka terkejut bukan main dan cepat merangkak bangkit lagi.

"Salah kalian sendiri! Kalian terlalu memandang rendah kepadaku. Hayo sekarang serang dengan betul-betul, pergunakan semua tenaga kalian. Kalian diperintah untuk menguji kedigdayaanku, bukan? Kenapa kalian menyerang seperti main-main saja? Kalian memandang rendah kepadaku, ya?"

"Oh, tidak... tidak, gusti puteri. Hayo, kita serang dengan sungguh sungguh, jangan sungkan!" kata Kalamuka kepada dua orang adiknya.

"Haiiittt..!" Kalamuka menampar dengan tangan kanannya, mengarah muka kiri Puspa Dewi.

"Hyeeehhh!" Kalamanik juga menonjok ke arah lambung gadis itu.

"Hyaatt..!" Kalateja tidak mau kalah, cepat dia menggerakkan kakinya membabat ke arah kaki gadis itu untuk merobohkannya.

"Wuutt..!"

Tiga orang itu terkejut bukan main karena tiba-tiba saja gadis itu berkelebat lenyap. Hanya tampak bayangan berkelebat di atas kepala mereka dan gadis itu lenyap. Mereka bertiga adalah orang-orang digdaya yang sudah banyak pengalaman, maka cepat mereka dapat menduga bahwa gadis itu mempergunakan ilmu meringankan tubuh dan melompat melalui atas kepala mereka. Cepat mereka membalik dan benar saja.

Puspa Dewi telah berada di belakang mereka. Tiga orang itu sudah menerjang lagi dengan cepat dan kuat. Akan tetapi Puspa Dewi telah siap siaga. Ia menghindarkan diri dengan elakan atau tangkisan. Karena ia lebih unggul dalam kecepatan, maka tiga orang itu merasa bingung ketika tubuh gadis itu seolah berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan. Serangan mereka hanya mengenai tempat kosong atau tertangkis oleh lengan yang berkulit lembut namun mengandung tenaga sakti yang amat kuat.

Setelah lewat belasan jurus, terdengar Puspa Dewi berseru nyaring. Seruan ini merupakan pekik melengking yang seolah menggetarkan bumi. Itulah Aji Guruh Bairawa dan lengkingan suara itu membuat tiga orang itu tergetar jantungnya, membuat mereka tercengang dan terhuyung. Kesempatan ini dipergunakan Puspa Dewi untuk menyerang dengan tamparan-tamparan sambil berseru nyaring..!

"Robohlah..!" Tiga orang itu tidak mampu mengelak dan mereka terpelanting roboh. Mereka merangkak bangkit dengan kepala terasa pening dan ketika mereka sudah berdiri, mereka melihat gadis itu berdiri di depan mereka sambil bertolak pinggang dan tersenyum manis "Kalau kalian bertiga belum puas, boleh cabut senjata kalian dan mengeroyokku!" katanya sambil tersenyum.

Kalamuka memberi hormat dengar membungkuk dan menyeringai karena dada kanannya yang terkena tamparan tangan mungil halus itu terasa nyeri dan panas bukan main.

"Kami mengaku kalah, gusti puteri. Kalau kami berani menyerang dengan senjata, tentu kami bertiga akan roboh terluka oleh senjata pula. Ujian ini sudah cukup, paduka menang dan tentu saja dapat melanjutkan pelaksanaan tugas paduka. Kami akan memberi laporan kepada gusti adipati bahwa kami kalah dan kesaktian paduka sungguh dapat diandalkan."

"Sukurlah kalau begitu, aku tidak perlu merobohkan kalian dengan luka parah. Nah, aku pergi!" Puspa Dewi melompat keatas, berjungkir balik tiga kali dan turun di atas punggung kuda putih, menarik kendali, menendang perut kuda dan berseru, "Bajradenta (kilat putih), hayo lari!"

Kuda putih yang oleh gadis itu diberi nana Bajradenta itu meringkik nyaring, mengangkat kedua kaki depan ke atas, lalu melompat ke depan dan lari secepat terbang! Tiga orang Tri Kala itu memandang dengan penuh kagum. Kalamanik yang pendek gendut dan selalu tersenyum itu menggeleng-geleng kepalanya yang besar dan berkata, "Bukan main! Sang puteri Puspa Dewi itu agaknya tidak kalah saktinya dibandingkan gurunya, bahkan mungkin lebih tangkas!"

Dua orang kakaknya juga mengikuti bayangan Puspa Dewi dan kudanya yang telah jauh sekali dan merekapun menggeleng-gelengkan kepala dan merasa kagum.

"Sungguh memalukan sekali kita bertiga sudah roboh hanya dalam waktu belasan jurus saja. Belum pernah kita menghadapi lawan yang sedemikian tangguhnya." Kata Kalateja yang berkepala gundul.

"Sudahlah, hal itu tidaklah aneh. Kita semua sudah tahu bahwa gurunya adalah seorang datuk yang sakti mandraguna, untung watak Gusti puteri Puspa Dewi tidak sekeras ibunya yang juga menjadi gurunya sehingga kita tidak terluka parah. Kalau ibunya yang turun tangan mungkin sekarang kita sudah mampus. Mari kita laporan kepada Gusti Adipati.” Mereka lalu kembali ke kota kadipaten Wura-wuri untuk melaporkan hasil ujian yang mereka lakukan atas diri Puspa Dewi…..

********************

Nurseta berjalan menuruni lereng bukit itu sambil melamun. Dia merasa, kecewa sekali kepada dirinya sendiri. Baru saja turun gunung, dia telah kehilangan keris pusaka Sang Megatantra!

Dan hal itu terjadi karena kebodohan dan kelengahannya. Dia terlalu percaya kepada pria yang bernama Raden Hendratama dan tiga orang wanita cantik yang tadinya mengaku sebagai puteri bangsawan itu. Tidak tahunya, Raden Hendratama adalah seorang pangeran dan tiga orang wanita muda yang cantik itu adalah selir-selirnya.

Dia telah terjebak, keris pusakanya dilarikan orang. Dengan demikian, dia telah menggagalkan pesan mendiang Empu Dewamurti yang minta kepadanya agar keris pusaka itu diserahkan kepada Sang Prabu Erlangga. Kini malah hilang. Dan dia tidak tahu kemana harus mencari pangeran yang mencuri keris itu. Ke mana dia harus mencari Pangeran Hendratama?

Bagaimana pun dia harus mencari pangeran itu dan merampas kembali keris pusaka Megatantra karena keris pusaka itu sebetulnya merupakan pusaka istana Kahuripan sebagai keturunan kerajaan Mataram dan harus dia kembalikan kepada Sang Prabu Erlangga.

Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana harus mencari Raden Hendratarna yang pangeran itu, dia mengambil keputusan untuk lebih dulu menyelidiki tentang orang tuanya dan mencari di mana ayah ibunya kini berada. Hal ini pun merupakan pesan terakhir gurunya.

Pesan itu ada tiga, yaitu mengembalikan keris pusaka Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga, mencari orang tuanya yang meninggalkannya ketika dia berusia sepuluh tahun, dan ketiga, mempergunakan semua ilmu yang telah dipelajari dan dikuasainya untuk membantu kerajaaan Kahuripan menghadapi musuh-musuhnya.

Setelah mengambil keputusan dia lalu berjalan cepat kearah selatan. Untuk menyelidiki tentang orang tuanya, dia harus pergi ke Karang Tirta, karena disanalah ayah ibunya pergi meninggalkannya sebelas tahun yang lalu. Mungkin ada orang-orang tua yang mengenal orang tuanya dan dapat menceritakan tentang mereka. Di antara mereka yang mengenal orang tuanya tentulah Ki Suramenggala, lurah Karang Tirta. Mungkin dari Karang Tirta dia akan mendapatkan keterangan tentang orang tuanya dan dapat melacak jejak mereka dari sana.

Pada suatu sore tibalah dia di dusun Karang Sari, sebuah dusun yang letaknya dekat perbatasan antara wilayah Kahuripan dan Wengker, akan tetapi Karang Sari masih termasuk wilayah Kahuripan. Dusun Karang Sari merupakan dusun yang makmur karena tanahnya di bagian selatan itu subur. Nurseta tidak asing dengan dusun Karang Sari yang letaknya tidak amat jauh dari Karang Tirta.

Dari Karang Sari menuju ke Karang Tirta dapat ditempuh oleh pejalan kaki biasa selama setengah hari saja. Kalau Nurseta menggunakan aji kesaktiannya berlari cepat, tentu hanya memakan waktu tidak terlalu lama. Akan tetapi karena hari sudah mulai gelap, Nurseta mengambil keputusan untuk melewatkan malam di Karang Sari.

Akan tetapi ketika dia memasuki dusun itu, dia melihat keadaan yang luar biasa. Dusun itu sepi sekali. Rumah rumah sudah menutup daun jendela dan pintunya, padahal waktu itu baru selewat senja, belum malam benar. Dan ketika Nurseta berjalan di sepanjang jalan, pendengarannya yang tajam dapat menangkap bisik-bisik orang di dalam rumah-rumah di sepanjang jalan itu.

Para penghuni rumah itu agaknya berada dalam rumah mereka semua mengintai keluar! Sungguh merupakan keadaan yang penuh rahasia. Dusun itu seolah menjadi dusun yang mati, padahal para penduduk masih berada di situ, hanya seperti ketakutan dan tidak berani keluar rumah masing-masing.

Nurseta teringat bahwa dulu, lima tahun lebih yang lalu, ketika dia masih tinggal di Karang Tirta, pernah dia berkenalan dengan seorang penjual grabah (alat-alat dapur dari tanah) bernama Ki Karja yang tinggal di Karang Sari. Bahkan dia pernah berkunjung dan bermalam satu malam di rumah Ki Karja. Teringat akan hal ini, Nurseta lalu mencari rumah dimana dia pernah bermalam itu. Tak lama kemudian dia menemukan rumah tu, masih sama dengan lima tahun yang lalu, rumah sederhana dengan sebatang pohon sawo kecik tumbuh di depannya. Dia menghampiri rumah itu.

Seperti rumah-rumah lain, rumah ini juga tampak sunyi dan gelap. Tidak ada penerangan dinyalakan di luar maupun di dalam rumah dan semua daun pintu dan jendela tertutup, seolah rumah kosong tanpa penghuni. Akan tetapi Nurseta dapat mendengar suara gerakan orang di dalam maka dia yakin bahwa di dalam rumah itu pun terdapat orang.

"Tok-tok-to k!" Nurseta mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, tidak ada gerakan. Dia mengulang ketukannya sampai tiga kali, akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Dia menduga bahwa orang orang di dusun ini tentu benar-benar sedang dilanda ketakutan, entah terhadap apa atau siapa, maka ketika diketuk daun pintunya, tidak ada yang berani membukanya.

"Paman Karja, bukalah pintunya. Ini aku, jangan takut. Aku Nurseta, dari Karang Tirta. Bukalah pintunya, paman Karja!"

Ada gerakan di dalam rumah, akan tetapi tetap saja daun pintunya tidak terbuka dan tidak ada jawaban. Nurseta menduga bahwa kalau Ki Karja berada di dalam rumah itu, tentu orang itu meragukan pengakuannya tadi. Mungkin Ki Karja sudah lupa kepadanya. Dengan sabar dan suara tenang Nurseta bicara lagi.

"Paman Karja, lupakah paman kepadaku? Aku yang dulu, lima tahun yang lalu, ketika paman berjualan grabah di Karang Tirta lalu terpeleset jatuh, menolong paman. Bahkan aku pernah berkunjung dan bermalam di rumah ini. Aku Nurseta, pemuda miskin dari Karang Tirta itu, paman."

"Nurseta? Benarkah itu engkau?" terdengar suara dari dalam.

"Benar, Paman Karja. Habis, kalau bukan Nurseta, siapa lagi? Aku tidak berbohong, paman. Bukalah pintunya paman lihat sendiri siapa aku."

Daun pintu itu terbuka sedikit dan sebuah mata mengintai keluar. Cuaca belum begitu gelap sehingga mata itu dapat melihat wajah Nurseta dengan jelas. Agaknya pemilik mata itu mengenalnya dan merasa yakin. Daun pintu terbuka lebih lebar dan tampaklah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, masih di balik ambang pintu, agaknya tidak berani keluar.

"Nurseta, ternyata benar engkau, cepat, masuklah, pintu ini harus segera ditutup kembali!"

"Eh, kenapakah, paman? Kenapa semua pintu dan jendela rumah-rumah di dusun ini ditutup dan tidak ada penerangan sama sekali?"

"Sstt..., jangan ribut. Masuklah, kita bicara di dalam saja!" kata Ki Karja dan dia lalu memegang lengan Nurseta ketika pemuda itu mendekat lalu menariknya masuk ke dalam rumah. Kemudian dengan cepat pula daun pintu ditutup kembali dan diganjal palang dari dalam. Mereka berada dalam kegelapan yang remang-remang.

Nurseta dapat melihat bahwa selain Ki Karja, di dalam rumah itu terdapat pula Nyi Karja dan dua orang pemuda remaja, yaitu anak-anak mereka.

"Paman, ceritakanlah apa yang sedang terjadi di dusun Karang Sari ini? Kenapa semua orang seperti ketakutan, tidak berani menyalakan penerangan dan tidak berani membuka pintu?"

"Ssttt...jangan keras-keras, Nurseta Sudah seminggu ini kami penduduk dusun ini setiap malam ketakutan. Ada segerombolan orang jahat seperti iblis mengacau dusun ini. Mereka merampok, memukuli bahkan membunuh orang, menculik dan memperkosa wanita. Kabarnya malam ini mereka kembali akan merampok rumah Ki Lurah. Kami semua ketakutan maka ketika engkau mengetuk pintu, kami tidak berani membukanya."

Nurseta mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin ada kejadian seperti ini? Karang Sari adalah sebuah dusun yang termasuk wilayah Kahuripan dan menurut keterangan mendiang gurunya, setelah Sang Prabu Erlangga dibantu Ki Patih Narotama berkuasa di Kahuripan, kerajaan itu aman tentram. Hampir tidak ada penjahat berani muncul karena pemimpin kerajaan Kahuripan terkenal sebagai orang-orang yang sakti mandraguna. Bagaimana sekarang ada gerombolan yang demikian jahat dan ganas berani mengacau sebuah dusun yang masih termasuk wilayah Kahuripan?

"Akan tetapi, bukankah di setiap kelurahan ada beberapa orang jagabayanya?" tanya Nurseta penasaran.

"Hemm, pada malam pertama ketika mereka datang menyerbu, belasan orang jagabaya telah serentak keluar menyambut. Akan tetapi gerombolan itu amat tangguh, terutama pemimpin mereka. Belasan orang jagabaya itu roboh dan luka-luka bahkan tiga orang di antara mereka tewas. Sejak itu, siapa yang berani melawan?"

"Paman Karja, berapakah jumlahnya gerombolan yang mengacau itu?"

"Hanya enam orang, tujuh bersama pemimpin mereka yang tinggi besar seperti raksasa dan yang amat digdaya, tubuhnya kebal tidak terluka oleh senjata tajam."

"Bagaimana andika tahu bahwa malam ini mereka hendak merampok rumah Ki Lurah?"

"Kemarin malam, ketika mereka menjarah rayah (merampok) rumah Ki Jabur, seorang dari mereka berkata bahwa malam ini giliran rumah Ki Lurah. Padahal, pada malam pertama dulu mereka sudah mengacau di rumah Ki Lurah, bahkan menculik puterinya. Dan pada malam itu pula para jagabaya itu roboh dan tiga orang di antara mereka tewas, yang lain luka-luka."

Nurseta menghela napas panjang. "Sayang sekali. Mengapa para pria penduduk dusun ini, terutama mereka yang muda-muda, diam saja dan tidak bangkit melawan? Kalau semua bersatu dan melawan, tentu kalian yang berjumlah puluhan, bahkan mungkin seratus orang lebih itu akan dengan mudah membasmi tujuh orang penjahat itu."

"Kami... kami tidak berani..., mereka itu sakti..."

"Sudahlah, Paman Karja. Kalau semua laki-laki di sini pengecut, biarlah aku seorang diri yang akan menghadapi mereka. Katakan saja dari arah mana biasanya para penjahat itu memasuki dusun ini."

"Dari... dari barat sana..." Ki Karja menuding ke arah barat.

"Nah, aku pergi, paman. Kalau paman takut, tutup saja lagi pintu rumahmu." Setelah berkata demikian, Nurseta lalu membuka daun pintu dan meninggalkan rumah itu dengan cepat. Dia berjalan-cepat menuju ke pintu gerbang dusun Karang Sari di sebelah barat karena dia ingin menghadang para penjahat itu agar tidak membikin kacau di dalam dusun.

Untung baginya bahwa bulan sepotong mulai muncul dengan datangnya sang malam sehingga walau pun dusun itu tidak ada sedikitpun penerangan, namun cuaca tidaklah amat gelap, masih remang remang. Nurseta duduk di atas sebuah batu dekat pintu gerbang yang sepi itu. Tidak ada penjaga, tidak ada peronda seperti pada malam-malam biasanya sebelum gangguan penjahat itu ada.

Tidak terlalu lama dia menunggu. Kedatangan gerombolan itu sudah dapat dilihat dari jauh. Mereka itu membawa obor, agaknya sudah tahu bahwa dusun Karang Sari dalam keadaan gelap tanpa ada penerangan. Setelah mereka tiba dekat pintu gerbang sebelah barat dusun itu, sudah terdengar suara mereka. Mereka bercakap-cakap diseling suara tawa mereka yang ngakak (terbahak).

Ketika mereka melewati pintu gerbang, tiba-tiba muncul Nurseta menghadang di depan mereka. Pemuda ini melihat jelas wajah-wajah mereka di bawah sinar enam buah obor besar. Wajah-wajah yang seram dan jelek, dengan tubuh yang kekar berotot, membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan kekuatan untuk memaksakan kehendak mereka. Apa lagi yang berdiri paling depan. Seorang laki-laki yang bertubuh raksasa, kepalanya besar, matanya lebar dan sikapnya menyeramkan.

Melihat ada orang menghadang perjalanan mereka, tujuh orang yang usianya sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun Itu merasa heran sekali dan mereka yang membawa obor segera mengangkat obor mereka ke atas agar dapat melihat lebih jelas orang yang berani menghadang mereka itu.

Mereka semakin heran melihat bahwa yang menghadang mereka itu hanyalah seorang yang masih muda sekali. Kepala gerombolan itu pun merasa heran dan dia cepat membentak dengan suaranya yang parau dan berat seperti gerengan binatang buas, "Heh, bocah! Siapakah kamu dan mau apa kamu menghadang perjalanan kami?"

Nurseta tersenyum dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, telunjuk tangan kanannya menuding ke arah mereka lalu berkata dengan suara lantang.

"Tidak perlu kalian ketahui siapa aku, akan tetapi aku adalah anak daerah ini yang tidak rela melihat kalian manusia-manusia iblis berbuat jahat dan keji terhadap penduduk dusun Karang Sari ini!"

Mendengar ini, marahlah kepala gerombolan yang bertubuh besar dan tingginya satu setengah kali tinggi tubuh Nurseta itu. "Bocah keparat, kamu sudah bosan hidup!" bentaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala Nurseta itu menyambar dengan jotosan yang cepat dan kuat sekali, mengiuk suaranya seperti palu godam menyambar pelipis Nurseta.

Akan tetapi biarpun gerakan itu amat kuat dan lengan itu panjang sekali, namun bagi Nurseta gerakan itu tampak terlalu lamban. Dengan mudah saja dia mengelak. Akan tetapi kepala gerombolan itu menyusulkan cengkeraman tangan kirinya kearah leher pemuda itu. Ketika Nurseta Kembali mengelak, kaki kanannya menbuat dan menendang bagaikan sebatang pohon menyambar dahsyat.

Nurseta miringkan tubuhnya dan ketika kaki itu lewat di dekatnya, secepat kilat tangannya menyambar, menangkap tumit kaki itu dan meminjam tenaga tendangan lawan itu dia mengerahkan tenaga mendorong atas! Tak dapat dihindarkan lagi, kaki kanan kepala gerombolan itu terayun kuat sekali ke atas sehingga tubuhnya terbawa terbang dan d ia pun roboh ke atas tanah, pinggulnya lebih dulu menghantam tanah.

"Bukkk...ngekkk!"

Raksasa itu mengeluh, akan tetapi dia merangkak bangun sambil berseru marah kepada enam orang anak buahnya. "Bunuh dia! Bunuh..!"

Enam orang perampok itu sergera bergerak. Tiga orang di antara mereka mencabut golok dengan tangan kanan lalu menyerang Nurseta dengan golok di tangan kanan dan obor di tangan kiri. Tiga orang yang lain merasa cukup menggunakan obor itu untuk menyerang, memegangi dengan kedua tangan.

Nyala api menyambar-nyambar ke arah Nurseta menimbulkan pandangan yang aneh dan juga indah. Nurseta yang maklum bahwa mereka adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya diberi hajaran keras, bergerak cepat. Dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya berkelebatan dan keenam lawannya menjadi pusing karena pemuda itu sukar sekali dijadikan sasaran serangan mereka.

Nurseta lalu menyerang dengan gerakan silat Baka Denta. Gerakannya cepat dan tidak terduga-duga oleh enam orang pengeroyoknya. Kedua tangannya menyambar-nyambar dengan tamparan kilat, kedua kakinya bergantian mencuat dengan tendangan halilintar. Enam orang itu berpelantingan roboh dan obor mereka jatuh dan padam.

Keadaan menjadi gelap, akan tetapi tiba-tiba muncul banyak orang mengepung pintu gerbang Itu dan segera keadaan menjadi terang benderang ketika banyak obor dipasang, Kiranya penduduk dusun Karang Sari berjumlah seratus orang, semuanya laki-laki dari pemuda remaja sampai kakek-kakek. Melihat enam orang itu roboh, mereka lalu bersorak dan berteriak-teriak menyerbu, menggunakan segala macam senjata alat pertanian seperti pacul, linggis, arit, kampak dan sebagainya.

Nurseta terkejut sekali melihat puluhan orang itu menggunakan senjata mereka untuk menyerang enam orang anggota gerombolan yang sudah roboh. Enam orang itu ketakutan, mencoba untuk membela diri. Akan tetapi apa daya mereka menghadapi amukan puluhan orang yang seperti keranjingan itu?

Apa lagi mereka berenam sudah menderita luka oleh tamparan dan tendangan Nurseta tadi. Tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka menjadi lumat menjadi onggokan daging cacah berlepotan darah. Dalam keributan itu, kepala gerombolan yang bertubuh raksasa itu sempat melarikan diri dan Nurseta tidak mengejarnya karena dia sendiri tertegun dan ngeri menyaksikan kekejaman para penduduk itu. Manusia kalau sudah dikuasai amarah dan dendam dapat menjadi amat kejam!

"Sudah cukup kawan-kawan! Sudah cukup kita membalas dendam!" teriak Nurseta dan semua orang menghentikan amukan mereka. Seorang di antara mereka, yaitu Ki Karja dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tebal.

"Ki Lurah, inilah Nurseta yang telah membangkitkan semangat kita dan tadi telah merobohkan para perampok." Ki Karja memperkenalkan Nurseta kepada pria itu yang ternyata adalah lurah dusun Karang Sari.

Ki Lurah cepat maju menghampiri dan dengan sikap hormat dia berkata, "Perkenalkan, anak mas Nurseta. Saya Ki Lurah Warsita yang memimpin desa Karang Sari."

Nurseta membalas penghormatan lurah Itu dan berkata. "Sekarang, paman, kita harus dapat menemukan sarang mereka untuk menolong para gadis yang terculik."

Di ingatkan demikian, Ki Warsita cepat berkata. "Andika benar, anak mas. Ada empat orang gadis dusun ini, termasuk anakku sendiri Kartiyah, yang diculik gerombolan. Mari kita cari, Anak mas Nurseta."

"Apakah paman telah mengetahui dimana adanya sarang gerombolan itu" tanya Nurseta.

"Kami belum melihat sendiri, akan tetapi kami semua dapat menduga bahwa sarang mereka tentu berada di puncak bukit kecil di sebelah barat dusun kami itu."

"Kalau begitu, mari kita menyerbu sarang mereka!" kata Nurseta dan ucapan ini disambut oleh sorakan hampir seratus orang itu, kemudian berbondong-bondong barisan obor itu lalu keluar dari dusun menuju ke bukit kecil yang berada jauh di sebelah barat dusun.

Benar saja dugaan Ki Lurah Warsita Setelah mendaki puncak bukit kecil mereka menemukan sebuah rumah darurat dari bambu dan kayu, sederhana namun cukup besar, berdiri di lereng dekat puncak bukit. Nurseta mendorong pintu rumah itu sehingga terbuka dan diikuti oleh Ki Lurah Warsita dan Ki Karja orang-orang lain yang membawa mengikuti ke dalam akan tetapi tentu saja tidak semua orang yang begitu banyak dapat memasuki rumah itu.

Tidak ada seorangpun anggota gerombongan di dalam rumah itu dan kepala gerombolan bertubuh raksasa itu pun tidak tampak. Nurseta dan Ki Lurah Warsita menemukan Kartiyah, puteri ki lurah yang berusia delapan belas tahun itu terikat di atas pembaringan bersama tiga orang gadis lain dan mereka itu tadinya tidak berani menangis. Akan tetapi melihat siapa yang datang, mereka lalu menjerit-jerit dan menangis.

Mereka berempat telah menjadi korban kekejian para penjahat itu. Ki Lurah Warsita melepaskan ikatan puterinya dan mereka berangkulan. Juga Nurseta melepaskan ikatan kaki tangan tiga orang gadis lainnya. Selain berhasil menemukan dan membebaskan empat orang gadis yang diculik gerombolan itu, mereka juga menemukan barang-barang rampokan milik ki lurah dan para penduduk lain. Semua barang itu diangkut keluar kemudian rumah itu dibakar oleh penduduk yang marah. Kemudian mereka kembali ke dusun Karang Sari, membawa pulang empat orang gadis korban penculikan dan barang-barang rampokan.

Setelah tiba di dusun, semua orang memuji-muji Nurseta, juga Ki Lurah Warsita mengucapkan terima kasih kepadanya. Di depan para penduduk Karang Sari, Nurseta berkata dengan suara lantang, "Saudara-saudara, saya senang sekali melihat andika sekalian kini bangkit, bersatu dan berani menentang para penjahat. Saya yakin, kalau andika sekalian tetap bersatu padu menghadapi kejahatan, tidak ada gerombolan yang akan berani mengganggu dusun kalian. Akan tetapi, harap jangan bertindak kejam seperti yang andika sekalian lakukan tadi. Kalau ada penjahat mengganggu ketentraman, kepung dan tangkap, serahkan kepada Ki lurah untuk diadili. Penjahat boleh dihukum, kalau perlu hukum mati, akan tetapi harus melalui pengadilan dulu, jangan main bunuh seperti tadi. Cara seperti itu tidak adil, kejam, dan dapat menimbulkan bencana karena membunuh orang yang salah, yang tidak berdosa. Nah, dapatkah andika sekalian mengerti dan berjanji tidak akan mengulang kekejaman seperti tadi?"

Penduduk dusun Karang Sari yang amat kagum dan berterima kasih kepada Nurseta menyatakan mengerti dan mau berjanji. Malam itu Nurseta dipersilakan untuk bermalam di rumah Ki Lurah Warsita, akan tetapi Nurseta mengucapkan terima kasih dan memilih bermalam di rumah Ki Karja yang sudah dikenalnya.

Dari orang ini dia mendapat keterangan bahwa setelah malam tadi Nurseta meninggalkannya, Ki Karja lalu nekat keluar dari rumah, menghubungi Ki Lurah Warsita dan para pemuda, menceritakan tentang Nurseta yang hendak membasmi gerombolan. Semangat mereka bangkit dan bersama ki lurah, Ki Karja lalu mengumpulkan semua laki-laki di dusun itu dan mereka membuat persiapan untuk membantu Nurseta membasmi para penjahat itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika Nurseta berpamit hendak meninggalkan rumah Ki Karja dan keluarganya, Ki Karja berkata dengan serius, "Anakmas Nurseta, maafkan saya kalau saya bicara lancang. Akan tetapi saya hanya menyampaikan pesan Ki Lurah Warsita."

"Katakanlah, Paman Karja, apa yang hendak andika sampaikan kepadaku itu?"

"Begini, anakmas. Malam tadi, ketika hendak meninggalkan rumah ki lurah, dia memesan saya untuk menyampaikan keinginannya kepadamu. Dia berpesan kalau sekiranya Anakmas Nurseta masih belum mempunyai isteri dan mau menerimanya, Ki lurah ingin sekali menjodohkan puterinya, yaitu Nini Kartiyah yang malam tadi diambil dari pondok gerombolan, dengan anakmas. Bagaimana pendapatmu, Anakmas Nurseta? Saya harus menyampaikan jawaban anakmas sekarang kepada ki lurah."

Wajah Nurseta berubah kemerahan karena malu. Dia teringat akan gadis puteri lurah itu. Usianya sekitar delapan belas tahun gadis yang bernasib malang itu memang cantik, hitam manis dan menarik. Paling cantik di antara empat orang gadis yang diculik gerombolan. Akan tetapi dia sama sekali sedikit pun belum mempunyai keinginan untuk menikah.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar