Sang Megatantra Jilid 16

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Dongeng mengenai bidadari yang mandi di telaga, seperti gadis itulah agaknya! Setelah selesai mencuci pakaian yang diperasnya kering dan dimasukkan ke keranjang pakaian, dia lalu mandi. Berkali-kali dia membenamkan kepalanya ke dalam air, menggosok-gosok kulit tubuhnya dengan sebuah batu yang halus licin. Tubuhnya terasa segar dan gosokan batu itu membuat kulitnya tampak putih kemerahan, seperti kulit buah tomat yang sedang menguning.

Akhirnya ia selesai mandi, mengeringkan tubuhnya dengan sehelai kain dan mengenakan pakaian bersih yang memang sudah dipersiapkannya dan diletakkan di atas batu yang kering, la menggulung dan memeras rambutnya yang hitam panjang, lalu membiarkannya terurai agar cepat kering. Baru saja ia keluar dari anak sungai dan hendak membawa keranjang pakaian pergi dari situ, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu tahu seorang wanita berdiri tak jauh di depan gadis itu.

Wanita ini tampaknya seperti berusia paling banyak baru dua puluh lima tahun. padahal sesungguhnya usianya sudah dua kali itu, sudah lima puluh tahun. Cantik jelita, pesolek dan pakaiannya mewah. Pada punggungnya tergantung sebatang pedang dengan sarung yang indah. Wanita itu menggandeng tangan seorang pemuda remaja berusia kurang lebih enam belas tahun, pemuda remaja yang tampan. Sejenak gadis dan wanita itu saling tatap dan sinar mata gadis itU mencorong penuh kemarahan.

"Nini Puspa Dewi, aku baru pulang," kata wanita cantik itu, suaranya terdengar sungkan-sungkan.

Gadis itu adalah Puspa Dewi, gadis dari Karang Tirta yang lima tahun lalu d iculik Nyi Dewi Durgakumala kemudian dijadikan murid bahkan diangkat menjadi anaknya. Wanita itu adalah Nyi Durgakumala sendiri. Puspa Dewi memandang kepada pemuda remaja itu, kemudian ia membanting kaki kirinya tiga kali dengan jengkel lalu berkata dengan ketus.

"Ibu ini bagaimana sih? Apa belum juga mau bertaubat? Berapa kali sudah kukatakan bahwa kalau ibu melanjutkan kebiasaan yang amat hina dan memalukan ini, aku tidak sudi tinggal lebih lama bersamamu dan akan minggat!"

Sungguh amat mengherankan. Nyi Dewi Durgakumala yang dahulu terkenal sebagai iblis betina yang berhati baja dan tidak pernah mau tunduk kepada siapa pun juga, kini berdiri di depan muridnya yang telah menjadi anak angkatnya dengan kepala ditundukkan dan sikapnya seperti seorang anak kecil yang merasa bersalah di depan ibunya!

Ternyata semenjak ia mempunyai Puspa Dewi sebagai murid dan anak angkat, bergaul setiap hari, ia mencinta gadis itu sedemikian rupa sehingga ia amat memanjakan gadis itu. Cintanya yang luar biasa inilah yang membuat ia selalu menuruti kehendak Puspa Dewi, apa lagi kalau gadis itu mengancam hendak minggat dan meninggalkannya.

Hatinya akan hancur dan hidup ini rasanya sengsara bagi Nyi Dewi Durgakumala kalau sampai Puspa Dewi membencinya. Ia juga telah menurunkan semua aji kesaktiannya kepada gadis yang amat disayangnya itu dan mendapatkan kenyataan yang amat menggirangkan hatinya bahwa gadis itu ternyata memiliki bakat yang amat besar dalam olah kanuragan.

Bahkan gadis itu pun mewarisi wataknya yang keras dan ganas. Akan tetapi, gadis itu selalu menentangnya kalau ia melakukan hal-hal yang tidak disetujuinya, termasuk kesukaannya membawa laki-laki muda untuk bersenang senang.

"Aduh Dewi..!" Nyi Dewi Durgakumala mengeluh dengan suara seperti meratap. "Engkau selalu melarang aku bersenang- senang dan akupun selama ini selalu menurut. Akan tetapi sekali ini saja, biarkan aku bersenang-senang dengan pemuda ini, Dewi. Sekali ini saja! Engkau tahu, aku kesepian sekali..."

"Kesepian? Ibu kesepian? Bukankah di sini ada aku yang selalu menemani dan melayani ibu?" Puspa Dewi membantah.

"Tentu saja keberadaanmu amat membahagiakan hatiku, anakku. Akan tetapi aku... sewaktu-waktu... aku butuh laki-laki..."

"Hemm, kalau ibu membutuhkan laki- laki, bukan begini caranya! Kenapa ibu tidak menikah saja? Bukankah sebulan yang lalu Sang Adipati Bhismaprabhawa melamar ibu untuk menjadi permaisurinya? Kenapa ibu tidak menerima lamarannya itu?"

"Tapi... tapi..."

"Tidak ada tapi, ibu. Sekarang ibu pilih saja, berat aku atau berat kadal ini. Kalau ibu berat dia, biar sekarang juga aku pergi dari sini dan selamanya tidak akan bertemu lagi dengan ibu."

"Jangan, Dewi! Jangan tinggalkan aku.."

"Kalau ibu tidak ingin aku pergi, cepat suruh kadal ini turun bukit dan jangan ibu ulangi perbuatan yang hina ini!"

Nyi Dewi Durgakumala menghela napas panjang, memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu. Kemudian ia menepuk punggung pemuda itu dan berkata, "Pergilah engkau menuruni bukit ini! "

Pemuda itu tampak kecewa dan menatap wajah Puspa Dewi dengan alis berkerut seperti orang marah, kemudian dia memutar tubuhnya dan pergi menuruni bukit itu melalui jalan setapak.

Puspa Dewi mengikuti bayangan pemuda itu dengan pandang matanya, kemudian ia menoleh kepada ibu angkatnya dan mencela, "Ibu menyerangnya dengan Aji Wisakenaka (Kuku Beracun) dan dia akan mati setelah tiba di bawah bukit. Kenapa ibu membunuhnya?"

"Tentu saja! Habis, apakah engkau ingin dia mengoceh di bawah bukit dan menceritakan kepada semua orang tentang percakapan kita berdua tadi? Mari kita masuk rumah dan usul mu tentang lamaran Adipati Bhismaprabhawa tadi akan ku pertimbangkan. Setelah ku pikir-pikir pendapatmu itu memang benar. Kalau tidak sekarang aku mencari kedudukan, kapan lagi? Aku akan menjadi permaisuri Raja Wura-wuri, kemuliaan dan kekuasaan akan berada di tanganku. Ah, engkau memang pintar dan ayu! Aku bangga mempunyai anak seperti engkau, Puspa Dewi!" Nyi Dewi Durgakumala lalu merangkul dan menciumi gadis itu.

Mereka bergandengan tangan memasuki rumah mungil mereka. Memang aneh hubungan antara Nyi Dewi Durgakumala dan Puspa Dewi itu. Ketika lima tahun yang lalu Puspa Dewi dibawa pergi Nyi Dewi Durgakumala, wanita yang menjadi tokoh sakti yang membantu kerajaan Wura-wuri ini berhati keras dan berwatak kejam sekali, la tinggal di Lembah Tengkorak, di sebuah bukit kecil yang terletak di antara Gunung Arjuna dan Gunung Bromo itu.

Semua penduduk di sekitar bukit itu maklum bahwa rumah mungil di atas bukit itu dihuni oleh Nyi Dewi Durgakumala bersama puterinya yang bernama Puspa Dewi. Tak seorangpun berani memasuki daerah Lembah Tengkorak apa lagi mendaki bukit kecil itu. Mereka semua mengenal nama Nyi Dewi Durgakumala sebagai tokoh besar Wura-wuri, berkuasa dan sakti mandraguna, juga kejam terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran.

Ia menggembleng Puspa Dewi selama lima tahun sehingga gadis itu kini menjadi seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan itu saja, bahkan Puspa Dewi dapat menundukkan hati guru atau ibu angkatnya itu yang amat mengasihinya. Dan harus diakui bahwa Puspa Dewi sesungguhnya juga amat sayang kepada ibu angkatnya itu, yang telah mendidiknya dengan penuh kasih sayang.

Setelah menerima pendidikan iblis betina itu, otomatis Puspa Dewi juga mewarisi keganasannya. Ia menjadi seorang gadis yang keras hati dan tidak mau kalah, lincah dan terbuka. Akan tetapi karena pada dasarnya ia bukan keturunan orang jahat, biarpun wataknya keras dan sikapnya ugal-ugalan, pada dasarnya Puspa Dewi tidak suka akan perbuatan jahat seperti yang diperlihatkan ketika ia menentang ibu angkatnya yang menculik pemuda remaja untuk melampiaskan nafsu berahinya. Di dasar hatinya Puspa Dewi memiliki rasa keadilan yang kokoh.

Beberapa hari kemudian Nyi Dewi Durgakumala mengajak Puspa Dewi pergi menghadap Raja atau Adipati Bhismaprabhawa, yaitu raja Wura-wuri yang berusia lima puluh tahun. Raja yang bertubuh tinggi kurus ini telah melamar Nyi Dewi Durgakumala untuk dijadikan isterinya.

Sang adipati ingin mengangkat datuk wanita itu menjadi isterinya bukan hanya karena wanita itu masih tampak cantik dan muda, melainkan terutama sekali karena wanita itu sakti mandraguna. Kalau sudah menjadi isterinya, maka hal ini akan memperkuat kedudukannya sebagai raja Wura-wuri! Kini sebulan telah berlalu dan hari itu adalah hari yang dijanjikan Nyi Dewi Durgakumala untuk memberi jawaban keputusan tentang lamaran itu.

Setelah diterima oleh Adipati Bhismaprabhawa di ruangan tertutup, Nyi Dewi Durgakumala dipersilakan duduk di atas sebuah kursi dan Puspa Dewi duduk di atas lantai bertilamkan permadani. Kedua orang wanita itu menghadap Adipati Bhismaprabhawa yang menyambut mereka dengan senyum kagum dan penuh harapan.

Alangkah cantik jelita guru dan murid ini, pikirnya. Dan dia tahu pula bahwa mereka berdua juga memiliki kesaktian yang boleh diandalkan. Betapa akan bahagia dan aman hidupnya kalau dia dapat memiliki mereka itu sebagai isteri dan anaknya.

"Aha, Nyi Dewi Durgakumala, ternyata andika dapat memegang janji karena hari ini tepat sudah waktu sebulan yang andika minta untuk memberi jawaban atas pinanganku. Nah, bagaimana jawabanmu itu, Kuharap tidak akan mengecewakan." kata Adipati Bhismaprabhawa sambil mengelus jenggotnya yang jarang.

Dia memang selalu menghormati wanita ini karena sejak Nyi Dewi Durgakumala membantu Wura-wuri, wanita ini sudah membuat banyak jasa. Pada hal wanita ini bukan kawula Wura-wuri, melainkan berasal dari daerah Blambangan. Nyi Dewi Durgakumala tersenyum lalu menjawab.

"Sesungguhnya hamba telah siap dengan jawaban hamba..."

"Ah, andika dapat menerima pinanganku, bukan? Andika bersedia menjadi isteriku?" Adipati itu mendesak dengan penuh harapan.

Kembali Nyi Dewi Durgakumala tersenyum manis. "Hamba dapat menerimanya dengan senang hati akan tetapi hanya dengan dua syarat."

"Dua syarat saja? Biar ada dua puluh tentu akan kupenuhi! Nah, katakan, apa syaratmu itu, Nyi Dewi?"

"Pertama, hamba minta agar paduka menganggap Puspa Dewi, murid dan anak angkat hamba ini, sebagai puteri paduka sendiri."

"Bagus!" Adipati Bhistaprabhawa itu bersorak karena hal itu memang merupakan keinginannya. "Kuterima dengan senang hati syarat itu. Heh, Nini Puspa Dewi, mulai saat ini, andika adalah puteriku, kuangkat menjadi Puteri Keraton Wura-wuri!" Puspa Dewi menyembah dan berkata, "Terima kasih, gusti."

Adipati itu membelalakkan matanya yang kecil. "Apa gusti? Mulai saat ini aku adalah ayahmu, maka andika harus menyebut kanjeng rama!"

"Baik, kanjeng rama." Puspa Dewi menyembah lagi.

"Ha-ha-ha-ha! Senang hatiku, mempunyai seorang puteri yang sudah dewasa dan dalam hal kecantikan dan kesaktian, tidak ada puteri lain yang dapat menandingimu, Nini Puspa Dewi. Nah, Nyi Dewi, syarat apa lagi yang andika inginkan?"

Adipati itu menantang, siap untuk memenuhi permintaan selanjutnya dari wanita yang masih tampak cantik, menarik dan genit itu.

"Hanya sebuah syarat lagi saja, gusti."

"Heiiit! Engkaupun tidak boleh menyebut gusti padaku. Mulai sekarang harus menyebut Kakangmas Adipati dan aku menyebutmu diajeng. Lebih mesra begitu. Nah, katakan apa syaratmu yang sebuah lagi itu, diajeng Dewi?"

Nyi Dewi Durgakumala tersenyum dan mengerling dengan genit dan menarik sehingga sang adipati memandang dengar gemas dan menjilat bibirnya sendiri seperti seekor srigala melihat seekor kelinci yang muda dan gemuk!

"Begini kakangmas, syarat hamba yang kedua ini adalah agar paduka menjatuhkan hukuman mati kepada Gendari."

Wajah yang kurus itu berubah agak pucat dan mata yang kecil itu terbelalak. "Apa..? Menghukum... mati... diajeng Gendari? Tapi kenapa..?" Sang adipati bertanya gagap. Gendari merupakan selirnya yang paling dikasihi karena selir yang usianya tiga puluh tahun itu memang paling cantik di antara isteri isterinya dan pandai memikat hatinya.

Nyi Dewi Durgakumala tersenyum- mengejek. "Paduka tidak setuju dan tidak dapat memenuhi syarat hamba yang kedua ini, bukan? Nah, kalau begitu, terpaksa hamba tidak dapat menerima pinangan paduka dan hamba bersama puteri hamba akan pergi meninggalkan Wura-wuri. Masih banyak kerajaan yang akan mau menerima pengabdian kami. Bahkan Sang Prabu Erlangga tentu akan menerima kami dengan tangan terbuka."

"Eh, jangan! Jangan marah dulu, diajeng. Bukan aku menolak syaratmu itu. Akan tetapi aku ingin tahu, kenapa andika minta agar Gendari dihukum mati?"

"Hemm, wanita itu sejak hamba mengabdikan diri di Wura-wuri telah bersikap memusuhi hamba, hal itu dapat hamba rasakan dari cara matanya memandang hamba dan bibirnya selalu mengejek kalau bertemu hamba. Tak mungkin hamba dapat hidup bersama wanita itu sebagai madu hamba. Pendeknya, ia harus mati atau hamba menolak pinangan paduka!"

Adipati Bhismaprabhawa mengerutkan alisnya dan menghela napas. Dia harus mengalah. Gendari hanya seorang wanita lemah, hanya memiliki kecantikan dan dapat menghibur hatinya. Selain itu, tidak ada gunanya. Sebaliknya, Nyi Dewi Durgakumala ini selain dapat menjadi seorang isteri yang cantik jelita dan memikat, juga dapat menjadi seorang yang akan memperkuat kedudukannya karena ia seorang wanita yang sakti mandraguna.

"Hemm, kalau begitu..."

Melihat sang adipati itu jelas hendak menuruti kehendak ibunya, Puspa Dewi yang sejak tadi mendengarkan dengan alis berkerut karena tidak setuju dengan syarat yang diajukan ibunya mengenai wanita bernama Gendari itu, segera berkata.

"Ampunkan hamba, gusti... eh maaf, kanjeng rama... Kanjeng ibu tidak suka tinggal serumah dengan wanita bernama Gendari itu. Hal itu mudah saja diatasi, Kalau paduka menyingkirkannya, mengirimnya pulang ke tempat asalnya, tentu ia tidak akan tinggal di sini lagi dan tidak akan mengganggu kanjeng ibu. bukankah jalan ini baik sekali, ibu?" Puspa Dewi menatap wajah ibunya.

Mereka saling pandang dan Nyi Dewi Durgakumala menghela napas panjang. Dalam sinar mata anak angkatnya itu kembali ia melihat ancaman gadis itu untuk meninggalkannya kalau ia tidak setuju! la mengangguk dan berkata lirih.

"Begitu juga baik..."

Adipati Bhismaprabhawa menghela napas lega. Dia tidak berkeberatan kehilangan Gendari karena sebagai penggantinya dia mendapatkan Nyi Dewi Durgakumala. Akan tetapi untuk membunuh Gendari, dia tidak tega. Sudah sepuluh tahun Gendari menjadi selirnya yang terkasih dan dia masih sayang kepada wanita itu. Kini ada jalan keluar yang amat baik. Dia dapat mengirim Gendari kembali ke orang tuanya dan membekali banyak harta kepada selir terkasih ini. Masih baik bahwa Gendari tidak mempunyai anak sehingga ikatan di antara mereka tidak terlalu kuat.

"Baiklah, hari ini juga aku akan menyuruh Gendari pergi dan pulang ke kampung halamannya, dan mulai hari ini juga, andika diajeng Dewi dan andika, Nini Puspa Dewi, kalian tinggal di istana kadipaten. Kita akan mengadakan sebuah pesta perayaan besar untuk pernikahan kita, diajeng Dewi."

Demikianlah, dengan derai air mata, akan tetapi dengan membawa banyak harta benda, Nyi Gendari diantar pengawal dengan sebuah kereta, pulang ke kampung halamannya. Sementara itu, di kadipaten diadakan pesta perayaan untuk menyambut Nyi Dewi Durgakumala sebagai isteri sang adipati. Dengan sendirinya Puspa Dewi mulai hari itu menjadi puteri adipati dan gadis itu merasa bangga juga mendengar orang-orang menyebutnya gusti puteri sekar kedaton!

Kurang lebih sebulan setelah peristiwa itu terjadi, pada suatu pagi Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala memanggil Puspa Dewi untuk menghadap. Setelah tiga orang ini duduk di ruangan dalam, Nyi Dewi Durgakumala berkata kepada gadis itu.

"Anakku bocah ayu Puspa Dewi, sekarang semua aji kesaktian telah kuajarkan kepadamu. Tibalah saatnya bagimu untuk memanfaatkan semua yang telah kau pelajari itu untuk berbakti kepada kanjeng rama mu dan Kadipaten Wura wuri."

Puspa Dewi mengangkat muka menatap wajah ibu angkatnya dengan penuh selidik. "Kanjeng ibu, apakah yang ibu maksudkan? Apa yang harus kulakukan?"

"Begini, Puspa Dewi. Engkau tentu sudah sering mendengar dari ibumu bahwa Wura-wuri mempunyai musuh besar, yaitu Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Sang Prabu Erlangga dan patihnya yang bernama Ki Patih Narotama. Kerajaan Kahuripan dengan rajanya yang angkara murka itu selalu ingin menguasai kadipaten-kadipaten seperti Wura-wuri, Wengker, Parang Siluman dan lain-lain. Sejak dahulu, Mataram memang menjadi musuh kita sampai keturunannya yang sekarang. Nah, sekarang terbuka kesempatan bagi kita untuk bersama kadipaten lain menghancurkan keturunan Mataram itu dan kami mengandalkan bantuanmu dalam usaha ini, Nini Puspa Dewi."

Gadis itu menatap wajah sang adipati dengan pandang mata penuh selidik. "Lalu apa yang dapat saya lakukan, kanjeng rama?"

"Begini, Puspa Dewi. Pada saat ini, kerajaan kecil Parang Siluman sedang berusaha untuk menghancurkan Mataram, bukan dengan jalan perang karena hal itu tidak akan menguntungkan, mengingat bahwa Kahuripan, kelanjutan Mataram itu, memiliki bala tentara yang kuat. Kini Parang Siluman mempergunakan cara halus dan tampaknya akan berhasil baik. Kerajaan Wengker sudah membantu Parang Siluman, bahkan kerajaan kecil Siluman Laut Kidul juga siap membantu. Kita tidak mau ketinggalan dan kalau kita semua bersatu dalam usaha ini, tentu akan membawa hasil lebih baik."

"Cara apakah yang dipergunakan itu, kanjeng rama?"

"Kahuripan mempunyai raja yang sakti mandraguna, yaitu Sang Prabu Erlangga, dibantu patihnya yang menjadi tulang punggung kerajaan bernama Ki Patih Narotama. Nah, untuk menghancurkan Kahuripan, kini diusahakan untuk membinasakan kedua orang pemimpin itu, dengan cara mengadu domba di antara keduanya, atau membunuh keduanya.

"Akan tetapi, paduka tadi mengatakan bahwa kedua orang itu sakti mandraguna dan sebagai raja dan patihnya tentu mereka itu mempunyai pasukan pengawal yang amat kuat. Bagaimana mungkin membunuh mereka?" tanya Puspa Dewi.

"Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman telah menggunakan siasat yang baik sekali. Ia mempunyai dua orang puteri yang cantik bernama Lasmini dan Mandari dan sekarang dua orang puteri cantik itu telah berhasil menyusup ke Kahuripan. Puteri Mandari kini menjadi selir terkasih Sang Prabu Erlangga, sedangkan Puteri Lasmini menjadi selir Ki Patih Narotama."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya. "Memusuhi mereka, mengapa malah menjadi selir mereka?"

"Jangan salah mengerti, anakku." kata Nyi Dewi Durgakumala, "mereka menjadi selir hanya untuk mencari kesempatan melaksanakan siasat mereka, yaitu mengadu domba antara raja dan patihnya itu, atau kalau mungkin membunuh mereka."

"Hemm, begitukah?" kata Puspa Dewi, diam-diam merasa heran sekali bagaimana dua orang gadis cantik itu mau melakukan hal seperti itu. Kalau ia yang disuruh mengorbankan diri seperti itu, tentu saja ia tidak sudi.

"Lalu, apa yang dapat saya lakukan, kanjeng rama?"

"Nini, seperti kukatakan tadi, kita harus membantu gerakan mereka yang berusaha menghancurkan Kahuripan. Engkau wakililah Wura-wuri untuk bersekutu dengan kedua orang puteri Parang Siluman itu, dan bekerja sama dengan kadipaten Wengker, kerajaan Siluman Laut Kidul dan kerajaan Parang Siluman. Kalau sampai usaha membinasakan Sang Prabu Erlangga dan Patih Narotama berhasil, Kahuripan tentu akan mudah kita taklukkan!"

"Kenapa harus saya yang mewakili Wura-wuri, kanjeng rama?"

"Anakku, kenapa masih kau tanyakan hal itu? Ada tiga alasan kuat mengapa engkau yang dipilih kanjeng rama mu mewakili Wura-wuri. Pertama, engkau adalah puteri sekar kedaton Wura-wuri, sudah sepatutnya engkau berdarma bakti kepada Wura-wuri. Ke dua, kalau menyuruh para tokoh Wura wuri, tentu akan dikenal oleh orang-orang Kahuripan sedangkan engkau tidak akan dikenal dan tidak dicurigai karena engkau berasal dari dusun Karang Tirta yang termasuk daerah Kahuripan sendiri. Dan ke tiga, sekarang terbuka kesempatan bagimu untuk mempergunakan semua aji kesaktian yang selama ini kau pelajari."

Puspa Dewi tiba-tiba teringat akan ibunya yang tinggal di Karang Tirta dan timbul rasa rindunya. Selama kurang lebih setengah tahun akhir-akhir ini ia memang ingin sekali pergi ke Karang Tirta, akan tetapi ibu angkatnya selalu melarangnya dan bagaimana pun juga, ia memang memiliki rasa sayang kepada Nyi Dewi Durgakumala yang amat menyayangnya dan yang telah mendidiknya dengan tekun selama lima tahun lebih. Kini ia mendapat kesempatan untuk meninggalkan Wura-wuri dan kembali ke tempat tinggal ibu kandungnya.

"Kanjeng rama, kalau saya menerima tugas itu, lalu apa saja yang harus saya kerjakan? Saya sama sekali tidak mempunyai pengalaman tentang pekerjaan ini." Tanyanya kepada sang adipati.

"Ha-ha-ha!" Adipati Bhismaprabhawa tertawa.

"Andika memang belum berpengalaman, nini. Akan tetapi andika memiliki aji kesaktian yang memungkinkan andika melakukan apa saja. Kalau andika sudah memasuki Kahuripan dan bertemu dengan kedua orang puteri Parang Siluman itu, atau bertemu dengan wakil-wakil dari kerajaan Wengker, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul, andika tentu akan tahu apa yang harus dilakukan. Singkatnya, andika harus bekerja sama dengan mereka dan andika harus memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, juga siapa saja yang setia dan mendukung kedua orang pimpinan Kahuripan itu."

Puspa Dewi mengangguk. "Baiklah, kanjeng rama, saya akan melaksanakan tugas itu. Kapan saya diharuskan berangkat?"

Sebelum sang adipati menjawab, Nyi Dewi Durgakumala mendahului. "Besok pagi saja, anakku. Malam ini engkau harus tidur sekamar denganku. Aku ingin bicara banyak denganmu, untuk bekal perjalananmu."

Malam itu Puspa Dewi mendengar banyak hal dari guru atau ibu angkatnya. Nyi Dewi Durgakumala memperkenalkan nama tokoh-tokoh besar yang menjadi kawan atau yang menjadi lawan, juga keadaan kerajaan Kahuripan dan para kadipaten yang memusuhi kerajaan itu pada umumnya. Antara lain ia menekankan dua buah hal yang harus diperhatikan dara itu.

"Ingatlah selalu akan dua hal penting ini, anak ku. Pertama, aku mempunyai seorang musuh besar yang amat kubenci, dia adalah Ki Patih Narotama, patih Kerajaaan Kahuripan. Balaslah dendam sakit hatiku kepadanya, Puspa Dewi. Usahakanlah agar engkau dapat membunuh musuh besarku itu!"

"Ibu Dewi, mengapa ibu mendendam dan memusuhinya? Kalau aku harus membunuhnya, aku ingin tahu mengapa ibu mendendam kepadanya." tanya Puspa Dewi.

Pertanyaan ini saja sudah menunjukkan bahwa pada dasarnya gadis itu tidak memiliki watak jahat dan kejam. Setiap perbuatannya ia perhitungkan lebih dulu sebab dan alasannya.

"Dia telah menghinaku, mempermalukan aku, dan lebih dari itu, dia telah membunuh anakku yang baru berusia empat tahun!" kata Nyi Dewi Durgakumala dengan geram dan tiba-tiba kedua matanya menjadi basah. Ia menangis! Puspa Dewi terkejut. Belum pernah ia melihat gurunya atau ibu angkatnya itu menangis.

"Ah, apakah yang telah dia lakukan, ibu?"

"Terus terang saja, aku pernah tergila-gila kepada Narotama akan tetapi ketika kunyatakan cintaku kepadanya, dia malah mengejek dan menghinaku. Bukan itu saja, dia menyerangku dan serangannya itu mengenai anak yang berada di gendonganku sehingga anak itu tewas..."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan mengepal tangan kanannya. "Si keparat Narotama. Jangan khawatir, ibu. Aku pasti akan membalaskan sakit hati itu!"

"Bagus, nini. Sekarang urusan ke dua yang juga tidak kalah pentingnya. Kurang lebih lima tahun yang lalu, terjadi perebutan keris pusaka Megatantra antara aku, Resi Bajrasakti dari Wengker, dan Empu Dewamurti. Akhirnya yang menang adalah Empu Dewamurti dan keris itu ada padanya. Akan tetapi, belum lama ini aku mendengar bahwa Empu Dewamurti telah tewas dan keris pusaka itu entah berada di mana, tidak ada yang mengetahuinya. Akan tetapi aku dapat menduga di mana adanya keris pusaka Megatantra itu. Ketika itu, ada seorang pemuda yang datang membawa keris pusaka Megatantra itu dan dia dilindungi oleh Empu Dewamurti. Keris pusaka itu sekarang tentu berada di tangan pemuda itu." Puspa Dewi mengenang peristiwa lima tahun lalu itu.

"Aku ingat, ibu..., yang ibu maksudkan itu tentulah Nurseta."

Nyi Dewi Durgakumala tertarik. "Nurseta?"

"Ya, Nurseta. Dia adalah pemuda remaja dari Karang Tirta dan dia yang menyuruh aku dan Linggajaya melarikan diri ketika terjadi perkelahian antara ibu, Resi Bajrasakti, dan Empu Dewamurti itu."

"Ah, sungguh beruntung engkau mengenalnya, Puspa Dewi. Nah, engkau carilah Nurseta itu. Engkau harus dapat merampas keris pusaka Megatantra itu dari tangannya atau dari tangan siapa pun juga."

"Hemm, untuk apa memperebutkan keris pusaka, ibu?"

"Wah, engkau tidak tahu, nini..! Seluruh tokoh sakti di dunia memperebutkannya. Kau tahu, keris pusaka Sang Megatantra itu merupakan keris pusaka yang amat ampuh. Bukan itu saja, malah keris pusaka itu merupakan wahyu mahkota, siapa yang memilikinya, berhak menjadi raja besar yang menguasai seluruh nusantara. Engkau harus dapat merampas keris pusaka itu, nini. Kita berdua akan hidup mulia kalau dapat menguasai keris pusaka itu!"

Puspa Dewi menyambut dengan dingin saja. la sendiri tidak begitu tertarik, akan tetapi ia harus melakukan dua tugas itu untuk gurunya, sebagai balas budi.

"Baiklah, ibu. Akan kulaksanakan apa yang ibu pesan itu."

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Puspa Dewi berpamit kepada Nyi Dewi Durgakumala dan Adipati Bhismaprabhawa. Sang adipati memberinya seekor kuda putih dan bekal sekantung emas. Nyi Dewi Durgakumala memberikan senjatanya yang ampuh, yaitu Candrasa Langking (Pedang Hitam) kepada anak angkatnya. Puspa Dewi menggantung pedang di pinggang, menggendong buntalan pakaian, lalu menunggang kuda putih dan melarikan kuda itu keluar dari kota kadipaten Wura-wuri menuju ke barat, ke wilayah Kahuripan. Akan tetapi ia tidak langsung pergi ke kota raja itu, melainkan hendak menuju ke dusun Karang Tirta di sebelah selatan wilayah Kahuripan untuk pulang ke rumah ibu kandungnya.

Ketika Puspa Dewi keluar dari kota kadipaten Wura-wuri, di atas jalan yang diapit hutan, tiba-tiba tampak tiga orang muncul dan menghadang di tengah jalan. Mereka adalah tiga orang laki-laki yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun, berpakaian bangsawan dan sikap mereka gagah.

Melihat tiga orang itu, Puspa Dewi segera mengenal mereka dan iapun menahan kendali kudanya sehingga kuda putih itu berhenti, meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya keatas. Namun dengan cekatan Puspa Dewi mampu menenangkan kudanya, lalu ia melompat turun dari atas punggung kuda dan memegang kendali kuda, menghadapi tiga orang itu.

Mereka itu bukan lain adalah tiga orang yang selama ini menjadi jagoan dan orang orang kepercayaan sang adipati dan terkenal dengan sebutan Tri Kala (Tiga Kala). Yang pertama bernama Kalamuka, berusia enam puluh tahun, tinggi kurus mukanya meruncing seperti muka tikus.

Orang ke dua bernama Kalamanik, bertubuh pendek gendut dan mukanya selalu menyeringai tersenyum lebar, berbeda dengan muka Kalamuka yang selalu cemberut. Orang ke dua ini berusia lima puluh lima tahun. Ada pun orang ke tiga bernama Kalateja, berusia lima puluh tahun kepalanya gundul plontos, mukanya juga licin tanpa kumis dan jenggot.

"Hei, paman Tri Kala. Kalian bertiga mau apa menghadang perjalananku?" tanya Puspa Dewi sambil mengerutkan alisnya karena merasa terganggu perjalanannya.

Kalamuka memberi hormat dan membungkuk. "Maafkan kami, Gusti Puteri Puspa Dewi. Kami hanya melaksanakan perintah Gusti Adipati untuk menghadang paduka di sini."

"Hemm, lalu apa maksudnya?"

"Gusti Adipati memerintahkan agar kami menguji kedigdayaan paduka, kalau paduka menang, paduka boleh melanjutkan perjalanan paduka, akan tetapi kalau paduka kalah, paduka diminta untuk kembali ke kadipaten."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya. "Akan tetapi kenapa begitu? Kenapa kalau hendak mengujiku, tidak tadi-tadi ketika aku masih berada di kadipaten? Kenapa di tempat sunyi ini?"

Kalamuka berkata dengan sikap hormat. "Paduka mengemban tugas yang teramat penting, karena itu Gusti Adipati hendak meyakini bahwa paduka telah memiliki aji kesaktian yang mumpuni. Ada pun ujian itu dilakukan di tempat sunyi ini agar tidak ada yang mengetahuinya karena apabila paduka kalah, hal itu akan merugikan nama paduka."

Puspa Dewi kini tersenyum. Ia maklum apa yang dimaksudkan dengan ujian ini dan iapun tahu bahwa gurunya atau ibu angkatnya tentu telah mengetahui dan menyetujui ujian ini. Dan iapun seorang yang cerdik. Gurunya, ketika memperkenalkan para tokoh yang sakti, juga menerangkan tentang Tri Kala ini dan sampai di mana tingkat kepandaian mereka.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar