Sang Megatantra Jilid 10

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Hyaaaaattt..!"

Narotama kagum. Serangan itu sungguh dahsyat. Namun baginya tidak merupakan ancaman bahaya. Dia lalu mengelak dan ketika Lasmini menyusulkan serangan bertubi-tubi sambil dibarengi dengan bentakan-bentakan nyaring, Narotama hanya membela diri dengan elakan dan tangkisan. Kalaupun menangkis, dia membatasi tenaganya, tidak mempergunakan tenaga yang mengandung kekerasan, melainkan menggunakan tenaga lemas sehingga Lasmini merasa seolah lengannya ditangkis sebatang lengan yang hanya terdiri dari kulit dan daging tanpa tulang, begitu empuk walau pun amat kuat sehingga tidak membuat lengannya nyeri.

Diam-diam Lasmini merasa girang sekali. Kenyataan ini saja menunjukkan bahwa kipatih ini "ada rasa" kepadanya, menyayangnya dan tidak ingin menyakitinya. Bahkan sampai tiga puluh jurus ia menyerang terus secara bertubi-tubi, tidak satu kalipun patih itu membalas!

Bagaimana pun juga, Lasmini merasa penasaran sekali. Ia memang sudah diberi tahu uwanya bahwa Narotama amat sakti mandraguna dan ia tidak mampu menandingnya, namun kini ia merasa begitu tidak berdaya seperti seorang anak kecil saja. la merasa penasaran juga karena selama ini belum pernah ia dikalahkan orang.

Setelah kembali sebuah tangkisan lengan yang lunak seperti karet itu membuatnya terpental ke belakang, Lasmini diam-diam membaca mantra dan mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Segera terasa hawa dingin menyelubungi sekitar dara itu, terutama sekali Narotama merasa ada hawa dingin menyergapnya. Dia maklum bahwa gadis itu mempergunakan aji kesaktian yang mengandung hawa dingin dan tentu merupakan pukulan yang memiliki daya serang berbahaya. Maka, diapun sudah siap siaga untuk menyambut serangan aji yang mengandung kekuatan sihir itu. Lasmini mengumpulkan tenaga dan setelah merasa tenaganya mencapai titik puncak, ia lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Narotama sambil berseru melengking.

"Aji Ampak-ampak... hiyaaaaahh..!"

Tampak cahaya kebiruan menyambar dari kedua telapak tangan itu meluncur ke arah tubuh Narotama. Ampak-ampak adalah semacam halimun atau kabut dingin yang biasanya terdapat di puncak-puncak gunung yang wingit, yang mengandung hawa dingin menyusup tulang dan juga mengandung bisa yang dapat mematikan manusia maupun tumbuh tumbuhan.

Narotama yang sudah siap siaga, lalu mengerahkan tenaga saktinya, menyambut dengan dorongan kedua tangannya sambil berseru nyaring.

"Aji Bojrodahono (Api Halilintar)..!"

Tidak ada lawan yang lebih ampuh untuk melawan Aji Ampak-ampak yang dingin seperti salju itu kecuali Aji Bojrodahono yang panas bagaikan api.

"Blarrrrr..!"

Masih untung bagi Lasmini bahwa Narotama tidak mempergunakan seluruh tenaga saktinya, hanya membatasi dan cukup untuk menolak serangan dara itu saja. Namun, pertemuan dua tenaga sakti itu tetap saja membuat tubuh denok Lasmini terdorong ke belakang dan nyaris ia jatuh terjengkang kalau saja ia tidak cepat berjungkir balik ke belakang sampai tiga kali.

Perbuatan ini tentu saja membuat kain yang menutupi tubuhnya tersingkap sedikit sehingga tampak oleh Narotama kulit paha yang putih mulus dan betis kaki yang indah memadi bunting. Kembali darahnya berdesir kencang.

Lasmini merasa kagum sekali. Akan tetapi dasar ia berwatak liar dan biasaya suka menyombongkan kepandaian sendiri, kekalahan demi kekalahannya itu membuat ia semakin penasaran. Ia lalu mencabut keris kecil yang terselip di pinggangnya. Sambil mengacungkan senjata itu, ia berkata, suaranya menantang.

"Kakangmas Narotama, beranikah andika menyambut keris pusakaku ini? Kalau engkau berani dan mampu mengalahkan aku sekali ini, barulah aku menerima kekalahanku!"

Narotama tersenyum. Dia harus menjaga kebesaran nama junjungannya. Pertandingan ini memang dilakukan olehnya namun sebagai wakil Sang Prabu Erlangga sehingga kemenangannya atau kekalahannya, juga merupakan kemenangan atau kekalahan Sang Prabu Erlangga. Dia memandang keris kecil itu dan melihat betapa ujung keris itu mengeluarkan sinar hitam. Dia dapat menduga bahwa keris itu pasti telah direndam racun yang amat berbahaya dan sedikit tergores saja, kalau sampai kulit terobek dan berdarah, cukup untuk membunuh orang. Dia maklum bahwa betapa pun cantik jelitanya, dara ini adalah keturunan keluarga kerajaan sesat.

Kerajaan Parang Siluman memang terkenal memiliki tokoh-tokoh ahli sihir dan racun. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, mengingat bahwa tingkat kesaktian Lasmini sudah diukurnya dalam pertandingan tadi dan tenaga dara itu tidak terlalu kuat baginya. Dia lalu menanggalkan baju atasnya agar jangan sampai terobek, lalu dengan dada terbuka dia melangkah maju.

"Marilah, Nimas Lasmini, akan ku tadahi keris pusakamu dengan dadaku. Hendak kulihat bagaimana ampuhnya keris pusakamu itu!"

Lasmini terbelalak. Benarkah pemuda ini hendak menerima tusukan kerisnya yang ampuh beracun dengan bertelanjang dada? Bagaimana kalau Narotama tewas oleh kerisnya? Jadi berantakan siasat yang telah direncanakan dan diatur sebelumnya. Akan tetapi, timbul pula keinginan dalam hatinya untuk menguji kesaktian pria ini. Untuk menyerahkan dirinya yang masih perawan itu kepada seorang laki-laki, ia harus yakin bahwa laki-laki itu memang patut memiliki dirinya, menerima cinta kasihnya, patut untuk dilayaninya sebagai seorang suami.

"Baik, sambutlah ini, kakangmas!" la melangkah maju dan tangan kanannya yang memegang gagang keris itu bergerak menusukkan kerisnya ke arah ulu hati Narotama.

"Syuuuttt... tukk!"

Keris itu membalik, seperti menusuk benda yang kenyal lunak namun kuat seperti karet! Dan kulit dada yang putih bersih itu sama sekali tidak terluka, lecet sedikitpun tidak! Lasmini terkejut dan kagum sekali. Ia sendiri juga memiliki aji kekebalan, akan tetapi kalau harus menerima tusukan keris pusakanya ini, tentu saja ia tidak berani. Keris pusakanya ini sudah dirajai dan ditapai, dapat menembus kekebalan lawan. Akan tetapi kekebalan yang dimiliki Narotama ternyata sama sekali tidak dapat ditembus.

Setelah bertubi-tubi menusuk dada dan perut sampai tujuh kali dan selalu kerisnya membalik, Lasmini mengertakan gigi dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya, lalu menusuk lagi ke arah lambung Narotama.

"Hyaattt... ahhh!"

Tadi Lasmini sudah merasakan betapa semakin kuat ia menusuk, semakin kuat pula kerisnya terpental. Akan tetapi ia tidak kapok, kini malah menusuk dengan seluruh tenaganya. Begitu kerisnya mengenai lambung keris itu terpental dan membawa tubuhnya terjengkang. Ia tentu terbantai roboh kalau saja Narotama tidak cepat menyambar dan merangkul pinggangnya untuk mencegah tubuh gadis itu terbanting.

Dalam rangkulan sejenak ini, Narotama mencium bau kembang melati dan rambut gadis itu dan bau harum seperi cendana keluar dari tubuh Lasmini. Kedua tangannya juga merasakan tubuh yang kenyal dan lunak lembut hangat Kembali jantungnya berdebar, akan tetapi segera dia teringat akan tugasnya dan dengan lembut dia melepaskan rangkulanya.

"Maaf, nimas..." katanya sambil melangkah mundur.

Lasmini tersenyum dan kedua pipinya menjadi kemerahan, terutama di bagian tulang pipi yang menonjol di bawah kedua matanya. Ia seperti tersipu malu padahal kemerahan wajahnya bukan hanya karena tersipu, melainkan terutama karena ia tadi telah mengerahkan banyak tenaga sehingga jantungnya berdetak kencang.

"Uwa, aku telah dikalahkan oleh Kangmas Narotama, maka aku menerima pinangan itu."

"Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa engkau tentu tidak akan mampu menandingi Kipatih Narotama. Dan engkau bagaimana Mandari?" kata Ki Nagakumala sambil memandang Mandari.

Dara ini tersenyum. "Kalau Mbakayu ini sudah mengaku kalah, tentu saja akupun mengaku kalah, uwa, dan aku juga menerima pinangan Gusti Sinuwun Sang Prabu Erlangga."

"Anakmas Patih Narotama, andika sudah mendengar sendiri kesanggupan kedua orang keponakanku. Nah, sekarang bagaimana? Kapan anakmas akan mengajak mereka ke istana Sang Prabu Erlangga?"

"Karena urusannya telah beres, maka sedapat mungkin saya akan memboyong mereka ke istana Gusti Sinuwun secepatnya, paman." kata Narotama sambil memandang kepada dua orang gadis cantik jelita itu.

Kini Mandari yang bicara dengan sikap manja. "Kami masih mempunyai sebuah permintaan sebagai syarat, Kakang Patih Narotama"

Narotama terkejut dan diam-diam mencatat dalam hatinya bahwa sikap gadis yang lebih muda ini sungguh penuh arti. Karena merasa telah menjadi calon garwa Sang Prabu Erlangga, maka gadis ini sudah menganggap dirinya sebagai isteri raja dan memanggilnya Kakang Patih, tidak seperti Lasmini yang memanggilnya kakangmas!

"Syarat apakah itu, nimas?" tanya Narotama sambil menatap wajah gadis yang memiliki rambut lebih gemuk dan lebih panjang ketimbang rambut mbakayunya.

"Begini, kakang patih. Mbakayu Lasmini dan aku adalah keturunan bangsawan tinggi, ibu kami adalah seorang ratu. Biarpun dalam urusan perjodohan ini telah diputuskan oleh Uwa Nagakumala dan kami sendiri, namun kami merasa sudah sepatutnya kalau Sang Prabu Erlangga menghargai kami sebagai puteri-puteri yang diboyong karena pinangan, bukan diboyong karena kalah perang. Oleh karena itu, kami minta agar andika jemput kami dengan menggunakan buah kereta kebesaran dan ditarik oleh empat ekor kuda."

"Ah, permintaanmu itu pantas sekali, adikku. Kakangmas Narotama, aku memperkuat permintaan Mandari. Kalau andika akan memboyong kami, harus menggunakan kereta kebesaran, dengan demikian kami merasa dihormati dan tidak dipandang rendah orang." kata Lasmini.

Narotama tersenyum dan mengangguk. "Jangan khawatir, nimas berdua. Sesungguhnya, kereta untuk memboyong andika berdua itu sudah siap menanti di kaki bukit ini."

Narotama tidak berbohong. Memang ketika dia pergi ke Bukit Junggringslaka, dia sudah mempersiapkan sebuah kereta untuk menjemput dua orang puteri itu kalau pinangannya diterima. Kereta itu dia titipkan pada seorang lurah di dusun yang berada di kaki bukit dan seorang kusirnya yang berpakaian dinas juga menanti di sana. Mendengar ucapan Narotama itu, Ki Nagakumala lalu tertawa.

"Sekarang berkemaslah, Lasmini dan Mandari. Bawa segala barang kebutuhanmu. Nanti kita bersama-sama turun bukit Kalian ikut Kipatih Narotama ke Kahuripan dan aku akan pergi melaporkan kepada ibu kalian di Parang Siluman."

Kedua orang gadis itu lalu berkemas Narotama menanti di ruangan pendapa. Setelah selesai berkemas, dua orang gadis itu bersama Ki Nagakumala mengikuti Narotama turun bukit menuju ke dusun di mana dia menitipkan kereta, kuda dan kusirnya di rumah kepala dusun.

Siang hari itu juga berangkatlah Narotama mengawal kereta menuju ke Kahuripan, sedangkan Ki Nagakumala pergi ke selatan, ke arah Kerajaan Parang Siluman di mana adiknya Ratu Durgamala memerintah, untuk melaporkan bahwa kedua orang puterinya pergi ke Kahuripan untuk menjadi garwa selir Sang Prabu Erlangga…..

********************

Ketika Ratu Durgamala mendengar pelaporan kakaknya bahwa kedua orang puterinya menerima pinangan untuk menjadii selir Sang Prabu Erlangga, wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik seperti seorang gadis itu menjadi marah sekali. Ia menggebrak meja dan memandang kakaknya dengan mata melotot.

"Gilakah andika, Kakang Nagakumala? dan sudah gila pulakah Nini Lasmini dan Nini Mandari maka mereka sudi menjadi garwa selir Raja Erlangga? Dia itu musuh bebuyutan kita, kakang! Mataram sejak dulu adalah musuh Parang Siluman! bagaimana sekarang dua orang puteri Parang Siluman, anak-anakku sendiri, menjadi selir Raja Mataram yang menjadi musuh besar kita?"

"Tenang dan bersabarlah, yayi Ratu. Penerimaan pinangan Prabu Erlangga ini disetujui oleh Nini Lasmini dan Nini Mandari sendiri. Pertama karena memang keinginan dua orang puterimu itulah yang menghendaki agar mereka yang sudah dewasa mendapatkan suami seorang bangsawan tinggi yang muda tampan, dan sakti mandraguna. Dan siapakah orang muda yang dapat melebih Prabu Erlangga dalam tiga hal itu? Hanya Kipatih Narotama yang dapat mengimbanginya. Karena itu, Nini Lasmini memilih agar diperisteri Kipatih Narotama dan Nini Mandari memilih untuk diperisteri Prabu Erlangga. Dan hal kedua yang tidak kalah pentingnya, justeru perjodohan ini telah kami rencanakan untuk menjadi sarana penghancuran Mataram."

"Ehh?? Penghancuran Mataram melalui perjodohan anak-anakku dengan Erlangga dan Narotama? Apa maksudmu kakang?"

"Begini, yayi ratu. Kedua orang puterimu itu, murid-muridku yang pintar-pintar, telah menyetujui rencana kami itu. Dengan penuh keyakinan mereka percaya bahwa mereka akan mampu membuat raja dan patihnya mabok kepayang dan selanjutnya mengadakan bujukan-bujukan agar raja dan patih yang sakti mandraguna itu saling bertikai dan bertentangan sehingga Mataram menjadi lemah. Bahkan kalau usaha itu gagal, mereka akan meningkatkan usaha mereka, yaitu membunuh Erlangga dan Narotama."

"Ahh! Mereka... para puteriku yang ayu manis, mau melakukan itu?" Ratu Durgamala membelalakan matanya dan wajahnya menjadi cerah gembira.

"Ya, itulah yang kami rencanakan. Maka mereka tidak merasa ragu lagi untuk menerima pinangan dan mengikuti Kipatih Narotama menuju Kahuripan."

"Dan mereka mengorbankan diri untuk itu! Aih, anak-anakku yang manis, anak-anakku yang hebat, kalian tidak mengecewakan, kalian pantas menjadi anak-anakku, kalian persis watak ibu kalian! he-he-he-hi-hik!"

Ratu Durgamala tertawa senang, agaknya sudah lupa betapa beberapa tahun yang lalu ia selalu merasa bersaing dengan dua orang puterinya yang makin dewasa menjadi semakin cantik sehingga ia merasa terancam. Dialah yang menjadi ratu. Ia yang menjadi wanita nomor satu paling cantik, di Parang Siluman, la tidak mau disaingi atau dikalahkan dalam hal kecantikannya oleh wanita mana pun juga, bahkan kecantikan dua orang puterinya yang menonjol itu membuatnya iri dan khawatir kalau kedudukannya sebagai wanita tercantik akan tergeser oleh dua orang puterinya.

Karena itulah maka ia mengharuskan dua orang puterinya itu ikut kakaknya, Ki Nagakumala di Bukit Junggringslaka untuk memperdalam ilmu mereka. Di lain pihak, dua orang puterinya juga merasakan ketidak-senangan bahkan mendekati kebencian ibu kandung mereka sendiri terhadap mereka. Karena itulah mereka lebih senang ikut uwa mereka mempelajari ilmu, dan ketika mereka menerima pinangan Raja Erlangga, mereka sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk minta ijin atau pamit kepada ibu kandung mereka!

Memang Ratu Durgamala ini memiliki watak yang seperti iblis, gila akan kecantikannya sendiri Bahkan ia mempelajari segala macam ilmu untuk dapat membuat dirinya awet muda, dan akhirnya ia menemukan Suket sungsang, semacam rumput yang langka dunia ini dan rumput ajaib inilah yang membuat ia awet muda dan tampak seperti berusia dua puluh tahun saja walau pun usianya sudah empat puluh tahun lebih. la juga memberi jamu Suket Sungsang kepada dua orang puterinya sehingga dua orang gadis itu pun menjadi awet muda. Iapun seorang petualang nafsu berahi dan inilah yang membuat suaminya, ayah dari Lasmini dan Mandari, meninggalkannya dan lebih suka menjadi seorang pertapa di pantai Blambangan.

Tadinya, mendengar dua orang puteri kandungnya hendak menjadi garwa Raja Erlangga dan Patih Narotama tanpa seijinnya, tanpa pamit, kasih sayang seorang ibu dalam hatinya tersentuh. Akan tetapi setelah mendengar bahwa kedua orang puterinya itu sengaja mengorbankan diri untuk kepentingan Parang Siluman, yaitu menghancurkan Mataram, ia menjadi bangga dan gembira sekali.

Demikianlah, kasih sayang manusia antara berhubungan apa pun juga, suami isteri, sahabat, bahkan ibu dan anaknya, kalau sudah dikuasai nafsu pementingan diri sendiri, maka kasih sayang itu menjadi kotor. Kasih sayang seperti itu hanya merupakan sarana untuk menyenangkan diri sendiri. Kalau kasih sayang murni yang sejati ada, maka si-aku yang mementingkan kesenangan hati dan perasaan sendiri, tidak akan muncul. Kalau si-aku yang berupa nafsu hati akal pikiran muncul, apa yang dinamakan cinta kasih itu hanyalah ulah nafsu yang pamrihnya tidak lain untuk mencari keenakan dan kesenangan diri sendiri, untuk pemuasan jasmani.

Maklum bahwa kakaknya adalah seorang yang sakti mandraguna, Ratu Durgamala lalu menahan kakaknya dan membujuk agar kakaknya itu suka tinggal di Parang Siluman membantunya. Ki Nagakumala yang merasa kesepian setelah ditinggalkan dua orang keponakannya, menerima ajakan itu dan sejak hari itu, diapun tinggal di Parang Siluman dan menjadi penasihat dari Ratu Durgamala…..

********************

Kereta itu meluncur dengan cepatnya menuju ke kota raja Kahuripan. Sang kusir yang berpakaian indah itu mengendalikan empat ekor kuda penarik kereta dan dua orang puteri Parang Siluman pun duduk di dalam kereta, berbisik-bisik sehingga suara percakapan mereka Tidak terdengar oleh sang kusir. Di belakang kereta itu, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter, Narotama menunggangi kudanya, mengawal dari belakang. Hatinya merasa gembira bukan main karena dia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Beruntung sekali bahwa pinangan itu dapat diterima oleh Ki Nagakumala dan dua orang puteri itu, tanpa ada syarat yang terlalu berat.

Andaikata Ki Nagakumala sendiri yang menguji kepandaiannya, dia dapat menduga bahwanya tidak akan begitu mudah baginya untuk mengalahkannya. Dan andaikata mereka menolak, tentu akan terjadi perkelahian. Akan tetapi semua itu tidak jadi dan dia hanya harus mengalahkan Lasmini. Dia telah berhasil dan Sang Prabu Erlangga tentu akan merasa senang sekali.

Akan tetapi tiba-tiba wajah Lasmini terbayang di pelupuk matanya. Sayang sekali Lasmini akan menjadi garwa selir sang prabu! Ah, mengapa Sang Prabu Erlangga begitu tamak? Bukankah garwa selirnya sudah ada sedikitnya tujuh orang muda-muda dan cantik-cantik pula. Kenapa sekarang hendak mengambil Lasmini dan Mandari pula? Kedua-duanya? Sedangkan dia sendiri hanya hidup berdua dengan Listyarini, isterinya. Dia tidak mempunyai selir seorangpun! Sudah pantasnyalah kalau sang prabu menyerahkan Lasmini kepadanya, untuk menjadi selirnya, sebagai hadiah atas keberhasilannya. Sudah tepat dan pantas sekali. Bukankah dia yang bersusah payah mengajukan pinangan sehingga berhasil membawa dua orang puteri itu ke Kahuripan.

Tanpa terdengar oleh kusir dan oleh Narotama, dua orang gadis dalam kereta itu merencanakan sesuatu. Mereka bicara bisik-bisik. "Akalmu itu baik sekali, Mbakayu Lasmini. Sebaiknya kita lakukan sekarang juga."

“Lakukanlah, Mandari, akan tetapi hati-hati, batasi dan kendalikan tenaga. Jangan terlalu kuat sehingga nyawaku terancam, juga jangan terlalu lemah hingga akan mencurigakan. Tunggu sebentar kalau kereta sudah memasuki hutan di depan."

Kereta meluncur masuk ke dalam hutan di perbatasan kerajaan Kahuripan. Tiba-tiba terdengar suara wanita mengeluh dan disusul teriakan Mandari.

"Ki kusir, hentikan dulu keretanya! Mbakayuku sakit!"

Mendengar teriakan ini, kusir menghentikan empat ekor kudanya. Melihat kereta berhenti tiba-tiba di dalam hutan itu, Narotama lalu melompat turun dari kudanya dan menghampiri kereta. Dia juga mendengar keluhan tadi dan mendengar teriakan Mandari. Ketika dia mendekati kereta, dia masih mendengar keluh kesah itu. Tirai kereta dibuka dari dalam dan Mandari meloncat keluar Mukanya pucat dan ia cepat berkata ketika melihat Narotama mendekat.

"Cepat, Kipatih Narotama, cepat tolonglah Mbakayu Lasmini. Sakit perutnya kambuh lagi, aku khawatir sekali."

Narotama dengan khawatir lalu menjenguk ke dalam kereta dan dia mengerutkan alisnya, terkejut bukan main. Di melihat Lasmini duduk setengah rebah di atas bangku kereta, wajahnya pucat sekali, bahkan agak membiru tanda bahwa gadis itu menderita keracunan! Gadis itu menekan perutnya dan menggigit bibirnya menahan rasa nyeri.

Cepat dia meraba dahi gadis itu dan dia semakin terkejut Dari wajah yang pucat kebiruan dan dahi yang terasa panas seperti terbakar api itu, segera Narotama tahu bahwa Lasmini benar-benar menderita luka dalam yang keracunan dan berbahaya sekali. Kalau hawa beracun dalam tubuh gadis itu tidak segera dikeluarkan, besar kemungkinan gadis itu akan tewas!

Karena tidak mungkin mengobati gadis itu dalam kereta karena tempat itu sempit dan gadis itu tidak dapat direbahkan telentang, tanpa ragu lagi Narotama lalu memondong tubuh Lasmini yang udah lemas itu keluar dari kereta.

Tiba-tiba terdengar suara Mandari, "Kipatih, bawalah ia ke sini. Di sini ada tempat bersih!"

Narotama menengok dan melihat Mandari menunjuk ke kiri. Dia memondong tubuh Lasmini dan menghampiri dan benar saja, Mandari telah menemukan sebuah tempat di mana terdapat rumput tebal dan tempat itu bersih, agak jauh dari kereta. Narotama lalu merebahkan tubuh Lasmini, telentang di atas rumput tebal.

"Agaknya kambuh kembali penyakit perutnya," kata Mandari sambil berlutut dan memandang kepada Narotama.

"Ki patih, dapatkah andika mengobatinya. Menurut uwa kami kalau ia sedang begini, nyawanya terancam kalau tidak segera diobati dengan pengerahan hawa sakti."

"Dia terluka sebelah dalam, luka yang beracun dan cukup berbahaya. Hanya aku belum tahu di bagian mana ia terpukul dan sampai berapa parahnya akibat pukulan itu. Tahukah andika mengapa ia menderita luka dalam seperti ini?"

"Ini akibat latihan Aji Ampak-ampak yang salah menurut keterangan Uwa Nagakumala. Karena keliru ketika latihan dan terlalu ingin cepat menguasai, Mbakayu Lasmini membuat tenaga pukulan aji itu membalik dan menurut uwa kami, ia terluka di bagian pusarnya. Berbahaya sekali. Tolonglah, kipatih, andika yang berkepandaian tinggi pasti dapat menolongnya." kata Mandari khawatir.

"Aduhhh... ah, mati aku... Kakangmas Narotama... tolonglah aku, kakangmas..." Lasmini merintih-rintih sambil menekan-nekan perutnya.

"Di bagian mana yang nyeri, nimas?" tanya Narotama, merasa iba sekali.

"Di sini... ah, perut... pusar ini... dingin sekali, seperti ditusuk-tusuk rasanya..." Lasmini menggigit bibirnya dengan giginya yang putih dan berderet rapi seperti mutiara.

"Jangan khawatir, nimas. Aku akan mengobatimu dan mudah-mudahan aku akan dapat menyembuhkanmu. Akan tetapi... maafkan aku, nimas. Terpaksa aku harus memeriksa dan melihat keadaan bagian tubuhmu yang terkena pukulan itu."

"Aih, kipatih. Dalam keadaan seperti ini, nyawa Mbakayu Lasmini terancam bahaya maut, mengapa andika masih bersikap sungkan-sungkan segala? Lakukanlah pemeriksaan dan pengobatan itu, aku hendak memberi tahu ki kusir agar melepaskan kuda-kuda biar mengaso dan makan rumput."

Setelah berkata demikian Mandari lalu cepat meninggalkan mereka berdua.

"Aduhh... cepat periksalah... kakangmas... ah, aku tidak kuat lagi..." Lasmini lalu menurunkan kain yang membungkus perutnya sehingga perutnya sampai ke pusar tampak telanjang. "ini... di sini... yang nyeri... aduh..." Lasmini menekan perutnya di bagian samping pusar.

Narotama terpaksa memejamkan kedua matanya. Pemandangan itu terlalu indah merangsang sehingga jantungnya berdebar keras sekali. Kulit itu demikian putih mulus kemerahan, perut itu begitu halus dan rata, bentuk pusar yang kecil mungil itu. Dia membuka matanya, akan tetapi mata itu kini seperti tidak lagi melihat keindahan tadi karena dia sudah menyatukan hati akal pikirannya, dipusatkan menjadi satu saja perhatian tujuan, yaitu perhatian terhadap penyakit yang diderita Lasmini dan tujuannya hanyalah mengobati penyakit itu.

Di julurkan tangan kirinya, meraba sipusar yang tampak kemerahan. Terasa jari-jarinya menyentuh kulit yang dingin luar biasa dan tahulah dia bahwa di situlah letak luka dalam, di bawah kulit itulah hawa dingin beracun agaknya mengeram di bagian itu, sedangkan bagian tubuh lain, terasa panas membakar. Narotama mengerutkan alisnya. Pantasnya gadis ini terkena pukulan yang ampuh, kirnya. Atau, seperti diceritakan Mandari tadi, mungkin juga terkena hawa pukulan sendiri yang membalik sehingga luka dalam. Dan dia tahu bagaimana harus mengusir hawa dingin beracun itu.

"Maaf, Nimas Lasmini. Mudah-mudahan aku dapat mengobati penyakitmu ini. Andika terluka di sebelah dalam, di dekat pusar ini, seperti terkena pukulan beracun dingin... akan tetapi mungkin juga terluka oleh pukulanmu sendiri yang membalik. Pengobatannya sederhana saja, yaitu hawa dingin beracun itu harus diusir keluar dan untuk itu... sekali lagi maaf, aku harus menempelkan telapak tanganku untuk beberapa lamanya di bagian yang terluka ini."

"Aduh... kakangmas... kenapa andika masih malu dan sungkan segala? Aku... aku percaya padamu... kuserahkan jiwa ragaku kepadamu. Cepat lakukan pengobatan itu, kakangmas... aku tidak kuat lagi menahan rasa nyerinya... aduhhh..."

Melihat penderitaan Lasmini, Narotama tidak membuang waktu lagi. Dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya lalu menempelkan kedua telapak tangannya di kedua sisi pusar perut Lasmini. Tangan kiri menempel tepat pada bagian yang terluka dan berwarna merah lalu dia mengerahkan tenaga saktinya untuk menyedot. Ada pun telapak tangan kanan yang menempel di sisi yang lain menyalurkan hawa panas dari Aji Bojrodahono untuk menyerang dan mendesak hawa dingin beracun yang berasal dari Aji Ampak-ampak itu.

Sementara itu, Mandari menghampiri kereta dan memerintahkan kusir kereta untuk melepaskan empat ekor kuda agar dapat mengaso dan makan rumput, sedangkan ia sendiri duduk di bawah pohon yang rindang sambil tersenyum-senyum, membayangkan hasil akal yang dipergunakan Lasmini. Tentu saja tadi ia yang sengaja memukul sisi pusar perut mbakayunya dengan Aji Ampak ampak, cukup kuat untuk mendatangkan luka sehingga tidak mencurigakan Narotama akan tetapi tidak cukup kuat untuk membahayakan nyawa mbakayunya.

Ternyata siasat yang dipergunakan dua orang puteri itu berhasil baik. Narotama terkecoh dan mengira bahwa Lasmini benar-benar terluka oleh pukulannya sendiri yang membalik karena salah latihan. Akan tetapi akibatnya cukup hebat baginya. Dia telah melihat perut bahkan pusar gadis itu, bukan hanya melihat, bahkan telah meraba dan menempelkan kedua telapak tangannya dalam waktu yang cukup lama!

Aji Bojrodahono (Api Halilintar) yang dikerahkan Narotama memang hebat bukan main. Panasnya hawa dari aji itu dapat diatur dan perlahan-lahan hawa panas dari Bojrodahono dapat membakar hawa dingin Aji Ampak-ampak sehingga mencair dan hawa beracun itu tersedot oleh telapak tangan kiri Narotama.

Kalau tadi bagian sisi pusar yang terluka itu terasa dingin seperti embun di puncak Mahameru, kini mulai terasa hangat dan kehangatan ini menimbulkan getaran aneh yang mengusik hati akal pikiran Narotama yang tadi dia pusatkan. Merasakan ini, jantung Narotama berdebar dan dia lalu mengangkat kedua tangannya. Lasmini tidak mengeluh dan merintih lagi, bahkan kini kedua matanya tengah terpejam memandang kepada Narotama dan bibirnya tersenyum manis melebihi madu.

"Nimas, hawa dingin beracun itu telah pergi, andika telah sembuh."

Narotama melihat tangan kirinya yang berubah agak menghitam karena menyedot hawa beracun itu. Dia mengerahkan hawa Bojrodahono ke dalam telapak tangan kirinya dan tampak telapak tangannya mengepul dan perlahan-lahan warna hitam telapak tangannya itu pun lenyap.

Tiba-tiba Lasmini bangkit dan tanpa membereskan kainnya yang tadi terbuka di bawah ia merangkul leher Narotama dengan kedua lengannya. Bagaikan dua ekor ular, lengan itu merangkul dan ia merapatkan mukanya di dada Narotama.

"Duh Kakangmas Narotama... andika telah menolongku, menyelamatkan nyawaku... ahh, bagaimanakah aku dapat membalas budimu yang setinggi gunung sedalam lautan ini, kakangmas..!

Semula Narotama menganggap bahwa perbuatan Lasmini ini hanya dorongan rasa syukur dan terima kasihnya saja yang mendatangkan keharuan. Namun ketika merasa betapa jantungnya tergetar hebat, dia menyadari akan bahaya gejolak berahinya. Cepat dengan lembut mendorong kedua pundak gadis itu dan melepaskan rangkulan sambil berkata dengan suara agak gemetar.

"Jangan begini, nimas. Ini tidak benar. Bersukurlah kepada para dewa yang telah menyembuhkanmu dan mari kita melanjutkan perjalanan kita." Dia memegang tangan Lasmini, ditariknya bangkit berdiri dan diajaknya kembali ke kereta.

Lasmini tidak membantah, akan tetapi ia tidak mau melepaskan tangan Narotama yang memegangnya sehingga mereka bergandengan tangan sambil berjalan menuju ke kereta. Mandari menyambut mereka dengan senyum gembira.

"Ah, Mbakayu Lasmini, sungguh beruntung engkau' Dari wajahmu saja aku sudah dapat melihat bahwa Engkau tentu telah sembuh, diobati oleh Kipatih Narotama. Engkau berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepadanya, mbakayu!"

"Aku tahu, Mandari. Mudah-mudahan saja kelak aku dapat membalas budinya itu."

Narotama tidak ingin mendengarkan lagi tentang budi itu dan dia segera memerintahkan kusir untuk memasang kembali empat ekor kuda di depan kereta dan setelah dua orang gadis itu memasuki kereta, kusir lalu menjalankan keretanya kembali dengan laju.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar