Sang Megatantra Jilid 09

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Hampir saja dia melompat dan menyerang Narotama ketika dia teringat akan hal ini. Akan tetapi kemarahan itu ditahannya. Sekilas gagasan bersinar dalam pikirannya. Inilah kesempatan paling baik untuk membalas dendam! Dia dapat mempergunakan dua orang muridnya itu untuk membunuh atau setidaknya menghancurkan keturunan kerajaan Mataram itu! Kilatan gagasan ini membuat dia cepat menekan kemarahannya dan tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, Ki Patih Narotama. Berita yang andika bawa ini sungguh begini mengejutkan dan mengherankan hatiku sehingga sejenak aku kehilangan akal."

"Paman Nagakumala, saya harap paman cukup berakal untuk melihat kebijaksanaan Gusti Sinuwun dan dapat menerima pinangan ini dengan baik demi kebahagian bersama."

"Nanti dulu, kipatih! Urusan perjodohan adalah urusan yang amat penting dan hal ini tak dapat diputuskan olehku seorang. Karena itu, aku minta waktu untuk merundingkan hal ini dengan kedua orang murid, eh, kedua orang keponakanku. Besok pagi-pagi datanglah andika ke sini dan aku akan dapat memberi jawaban yang pasti."

Lega rasa hati Narotama mendengar jawaban itu. Setidaknya, kakek yang dia tahu amat membenci keturunan Mataram itu, tidak langsung menolak mentah-mentah dan kalau dia hendak merundingkan pinangan itu dengan dua orang gadis keponakannya, besar harapan pinangan itu akan diterima. Gadis-gadis mana yang tidak akan menjadi bahagia mendengar dirinya dipinang Sang Prabu Erlangga untuk menjadi garwa selirnya?

"Baiklah, paman dan sebelumnya atas nama Gusti Sinuwun Prabu Erlangga, saya mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian andika. Selamat tinggal dan sampai jumpa besok pagi." Setelah berkata demikian, Narotama meninggalkan tempat itu menuruni bukit karena bagaimana pun juga, dia tahu bahwa bermalam di bukit yang berada di bawah kekuasaan Ki Nagakumala itu amatlah berbahaya. Di waktu siang dia dapat menjaga dan membela diri dengan baik. Akan tetapi di waktu malam gelap berada di daerah yang asing baginya itu sungguh amat berbahaya…..

********************

"Benarkah itu, uwa? Sang Prabu Erlangga meminang kami berdua?" tanya Lasmini dengan sepasang matanya yang indah terbelalak dan bersinar gembira.

"Bukan main! Baru saja tadi kita bicara tentang jodoh, kini tiba-tiba kami berdua dilamar orang dan pelamarnya adalah Sang Prabu Erlangga!" kata Mandari dengan wajah gembira sekali.

"Dia terkenal sebagai seorang pria yang masih muda dan tampan juga sakti mandraguna seperti Sang Arjuna! Aku mendengar bahwa dia memiliki kesaktian seperti Sang Bathara Wisnu! Wah, kalau dia yang meminangku, aku mau, uwa, aku mau menjadi garwanya!" kata Lasmini sambil tersenyum dan mukanya berubah kemerahan karena biarpun ia seorang gadis yang kenes (genit), namun ia sama sekali belum pernah bergaul dekat dengan pria karena merasa dirinya jauh lebih tinggi dari pada laki-laki biasa yang suka menaksirnya dengan pandang mata, senyum dan sikap mereka.

"Aku juga mau, uwa!" kata pula Mandari, agaknya tidak mau kalah oleh kakaknya.

"Hemm, dia memang meminang kalian berdua!" kata Ki Nagakumala.

"Kalau begitu kami mau, uwa. Engkau terima sajalah pinangan itu!" kata mereka berdua dengan suara hamper berbareng.

Ki Nagakumala mengerutkan alisnya. "Hemm, Lasmini dan engkau Mandari, lupakah kalian kita ini dari keluarga mana?"

Mendengar suara yang bernada ketus dalam pertanyaan itu Lasmini dan Mandari terkejut. "Tentu saja kami tidak lupa, uwa. Kita ini keturunan keluarga kerajaan Parang Siluman!" kata Lasmini.

"Hemm, kalau begitu kalian tentu tahu bahwa Mataram adalah musuh bebuyutan kita!"

Lasmini dan Mandari saling pandang, lalu Mandari membantah. "Akan tetapi, uwa. Sang Prabu Erlangga adalah raja yang baru dan muda, tidak pernah ada permusuhan pribadi antara dia dan keluarga Kerajaan Parang Siluman!"

"Siapa bilang tidak ada permusuhan? Kita masih ada ikatan keluarga dengan Kerajaan Wurawari, juga menjadi sekutu kita kerajaan itu sejak dahulu jaman Kanjeng Raja Dirgabaskara masih menjadi Raja Parang Siluman. Akan tetapi Kerajaan Wurawari yang berhasil mengalahkan Mataram dan membunuh Sang Prabu Teguh Dharmawangsa kemudian diserbu Erlangga yang kemudian menjadi raja sampai sekarang. Sang Prabu Erlangga adalah musuh kita, musuh besar keluarga kita!"

"Wah, kalau begitu aku tidak bisa menjadi garwanya!" kata Lasmini.

"Aduh, alangkah sayangnya!" seru Mandari kecewa sekali.

"Kapan lagi kita bisa mendapatkan seorang calon suami sehebat itu?"

"Kalau begitu, uwa tentu sudah menolak pinangan itu!" kata Lasmini, juga merasa kecewa.

"Tidak, aku hanya menangguhkan jawaban sampai besok pagi, karena aku ingin mengajak kalian berunding lebih dulu. Dengar baik-baik, Lasmini dan Mandari. Kalian adalah keturunan keluarga kerajaan Parang Siluman, karena itu sudah menjadi kewajiban kalian untuk membalas dendam kepada Mataram. Sangupkah kalian?"

"Tentu saja kami sanggup, uwa. Bukankah kanjeng ibu menyuruh kami memperdalam aji kanuragan di bawah bimbingan uwa juga agar kelak kami dapat membalas dendam kepada Mataram?" kata Lasmini.

"Bagus sekali kalau begitu! Tidak sia sia selama ini aku mewariskan seluruh ilmuku kepada kalian berdua. Ketahuilah, musuh besar yang memperkuat Mataram ada dua orang, yaitu Sang Prabu Erlangga sendiri dan patihnya, yaitu Kipatih Narotama. Nah, sekarang aku menugaskan kalian berdua untuk membagi tugas yang seorang membunuh Sang Prabu Erlangga dan yang lain membunuh Kipatih Narotama."

"Akan tetapi bagaimana caranya, uwa? Aku pernah mendengar bahwa Erlangga dan Narotama itu tunggal guru dan sakti mandraguna. Pula, mereka itu adalah raja dan patih, tentu dilindungi bala tentara. Kami yang hanya berdua ini bagaimana mungkin dapat membunuh dua orang sakti itu?" tanya Mandari.

"Caranya mudah dan akan memuaskan dan menyenangkan hati kalian, yaitu dengan menerima pinangan itu."

"Hehh..? Bagaimana sih uwa ini? Mau membalas dendam kok disuruh menjadi isterinya!" seru Lasmini sambil membelalakan kedua matanya yang indah.

"Begitulah! Bukankah kalian tadi mengatakan bahwa kalian akan senang sekali menjadi garwa Sang Prabu Erlangga? Nah, kesempatan baik itu datang. Kalian menjadi garwanya, dapat memenuhi keinginan hati mempersuamikan seorang pria ganteng berpangkat tinggi berdarah bangsawan dan sakti mandraguna, juga kalian mendapat kesempatan baik sekali untuk membalas dendam. Bukankah itu bagus sekali?"

"Akan tetapi uwa tadi mengatakan bahwa kami berdua harus membagi tugas, yang seorang membunuh Sang Prabu Erlangga dan yang lain membunuh Kipatih Narotama. Kalau kami berdua menjadi garwa Prabu Erlangga, lalu bagaimana dapat membunuh Kipatih Narotama?" Tanya Mandari.

"Oya, aku belum memberitahukan kalian bahwa yang diutus Sang Prabu Erlangga untuk mengajukan pinangan adalah Narotama sendiri! Malam ini dia turun bukit dan besok pagi dia akan datang lagi ke sini. Kalau bukan dia yang diutus, orang lain mana mampu mendaki sampai ke puncak menghindarkan semua rajah yang sudah kupasang di sepanjang lereng menuju puncak ini?"

"Wah, kalau begitu dia tentu datang membawa pasukan?" tanya Lasmini.

"Tidak, dia hanya datang seorang diri saja."

"Kalau begitu kebetulan sekali, uwa Kita turun tangan membunuhnya kala besok pagi dia muncul. Dengan demikian berarti kita telah menyingkirkan seorang musuh!" kata Mandari.

Ki Nagakumala menggeleng kepalanya! "Tidak. Biarpun Narotama merupakan orang penting di Mataram yang harus di bunuh, namun kalau hal itu kita lakukan kita akan gagal membunuh Erlangga, hal yang lebih penting lagi. Kematian Narotama hanya akan memperlemah Mataram, namun kcmatian Erlangga berarti menghancurkan Mataram. Justeru kebetulan sekali Narotama yang menjadi utusan sehingga engkau mempunyai alasan yang Kuat untuk menolak menjadi garwa Erlangga dan memilih menjadi isteri Narotama, Lasmini."

Tiba-tiba di tengah malam itu terdengar bunyi burung malam yang terbang melintas di atas pondok.

"Kulik! Kulik! Kulik..!"

"Sstt... kita harus berhati-hati. Narotama itu sakti mandraguna. Siapa tahu burung tadi merupakan penyelidik yang dikirimnya. Mari dengar bisikanku. Kita harus menggunakan siasat begini..." Ki Nagakumala lalu berbisik-bisik, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Kedua orang keponakan yang juga menjadi muridnya yang amat disayangnya itu.

Setelah merencanakan siasat yang hendak mereka lakukan terhadap Narotama, dua orang perawan Bukit Junggringslaka yang cantik jelita itu lalu masuk kamar dan tidur. Ki Nagakumala sendiri duduk bersila di dalam pondok, memusatkan tenaganya agar besok dapat siap menghadapi segala kemungkinan.

Pada keesokan harinya, Narotama mendaki Bukit Junggringslaka. Seperti biasa, orang muda perkasa ini selalu dalam keadaan waspada. Sikap "eling lan waspada" (sadar dan waspada) ini merupakan sikap yang tidak pernah meninggalkan dirinya lahir batin setiap saat.

Sadar dan waspada saat demi saat. Sadar akan keberadaan dirinya, sadar akan Kekuasaan Maha Tinggi yang menguasai dan mengatur segala sesuatu yang tampak dan tidak tampak, termasuk diri pribadinya lahir batin, sadar dan ingat selalu bahwa dirinya merupakan ciptaan dan alat Sang Hyang Widhi Wasa (Gusti Allah), bahwa Kekuasaan Maha Tinggi itu merupakan awal akhir, merupakan sangkan paraning dumadi (awal dan akhir semua keberadaan).

Di samping kesadaran rohani ini, juga selalu ada kewaspadaan dalam dirinya melalui panca-inderanya, pengamatan yang selalu baru akan segala yang berada di dalam dan di luar dirinya. Dengan demikian, maka segala gerak hati akal pikiran dan kelakuan dibimbing oleh Sang Dewa Ruci (Roh Suci) sehingga yang berada dalam hati sanubari hanyalah upaya untuk "memayu hayuning bawana" (menjaga keindahan alam).

Dalam bimbingan Sang Dewa Ruci, si aku, yang bukan lain hanya nafsu-nafsu daya rendah yang saling berlumba untuk menguasai diri manusia lalu mengaku-aku sebagai "aku", menjadi lenyap atau setidaknya melemah sehingga hati menjadi sabar dan tenang, tidak mudah terbakar emosi yang bukan lain hanyalah gejolak nafsu daya rendah.

Narotama melangkah perlahan-lahan dan santai mendaki bukit. Matahari pagi mulai mengusir halimun yang semalam memeluk bumi, meninggalkan butir-butir mutiara embun bergantung di ujung-ujung daun dan merupakan butir-butir air mata kelopak-kelopak bunga. Air mata tangis bahagia, sama sekali tidak tersentuh duka walau pada bunga yang sudah layu sekalipun.

Semua itu seperti digelar di depan Narotama, tampak semuanya, dan yang ada hanya satu kesan, yaitu indah dan bahagia! Terasa benar oleh Narotama semua itu merupakan hasil karya Seniman Maha Besar, merupakan ciptaan agung yang tiada taranya. Namun, biarpun semua itu merupakan berkah Sang Hyang Widhi Wasa, berkah yang paling besar berada dalam dirinya sendiri. Apa yang membuat kesemuanya itu tampak indah?

Karena ada penglihatan di matanya! Kalau Sang Hyang Widhi Wasa tidak memberi berkah penglihatan pada kedua matanya, semua keindahan yang terbentang di jagad raya ini takkan ada arti baginya. Juga semua keindahan bunyi, kemerduan kicau burung, kokok ayam, dengus kerbau dan embik kambing nun jauh di bawah bukit, takkan ada artinya kalau dia tidak diberkahi dengan pendengaran pada telinganya!

Mata Narotama yang memandang tanpa ditunggangi nafsu daya rendah, dapat melihat dengan hati akal pikiran yang jernih tanpa penilaian, tanpa pendapat, tanpa keinginan sehingga tidak ada pertentangan dengan keadaan seperti apa adanya. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi bagus atau jelek, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Yang ada hanya indah sempurna, wajar dan pas, karena yang ada hanyalah terjadinya Kehendak Sang Hyang Widhi. Kehendak si aku, yaitu nafsu daya rendah, sama sekali tidak bekerja.

Sedikit gerakan di antara rumput hijau gemuk itu cukup membuat Narotama yang selalu waspada menyadari bahwa ada sesuatu terjadi di situ. Dia cepat menoleh dan mengamati. Kiranya seekor ular dumung sedang bergerak perlahan sekali, menyusup di antara rumput menghampiri seekor kelinci putih yang sedang makan daun. Narotama melihat betapa indahnya kulit ular itu tertimpa matahari pagi yang bersinar lembut. Tidak akan ada tangan seorang seniman lukis dapat membuat coretan garis-garis seperti yang tergambar pada kulit ular itu!

Setelah jarak antara ular dan kelinci itu tinggal kurang lebih dua kaki lagi,ular itu mengangkat kepalanya ke atas, gerakannya perlahan sekali sehingga kelinci itu pun tidak mendengar atau melihatnya. Kemudian, bagaikan kilat menyambar, kepala ular itu meluncur ke depan, moncong yang terbuka lebar itu,menyambar dan tengkuk kelinci putih itu sudah digigitnya. Darah merah menodai bulu kelinci yang putih. Kelinci itu menjerit lirih dan meronta, namun suara jeritan dan tubuhnya segera tak terdengar dan tak tampak lagi dibelit tubuh ular. Belitan kuat yang meremukkan tulang-tulang kelinci itu.

Narotama tersenyum. Teringat dia ketika baru saja berguru di Pulau Bali dan melihat peristiwa seperti ini, seekor ular yang menggigit lalu mencaplok seekor katak, hatinya dipenuhi perasaan marah dan kengerian. Timbul keinginan hatinya untuk membela katak dan memusuhi ular yang dianggapnya kejam dari ganas. Masih terngiang dalam ingatannya apa yang dikatakan gurunya ketika itu. Gurunya tertawa melihat dia marah dan penasaran.

"Narotama, yang baru saja engkau saksikan itu sama sekali bukan merupakan keganasan dan kekejaman seekor ular, melainkan terjadinya hukum atas segala mahluk seperti yang sudah dikodratkan oleh Sang Hyang Widhi yang menciptakan segala alam maya pada berikut seluruh isinya. Binatang itu hidup menurutkan naluri dan pembawaannya. Ular makan binatang kecil lain, hal itu adalah merupakan hukum yang berlaku atas dirinya, tak mungkin diubah lagi oleh siapa pun juga kecuali kalau Sang Hyang Widhi menghendaki. Ular itu sudah menjadi kodratnya tidak bisa makan daun atau akar. Makannya ya binatang kecil itulah. Kalau engkau menghalangi dia makan katak dan sebagainya, yaitu binatang kecil, dia akan mati kelaparan. Demikian pula engkau tidak dapat memaksa seekor kerbau makan ular atau binatang lain. Makannya, menurut kodratnya, adalah daun-daun atau rerumputan. Apakah engkau hendak menentang kodrat yang ditentukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa?"

Kini, melihat seekor ular mencaplok seekor kelinci, tidak ada lagi perasaan penasaran dalam hati Narotama, bahkan dia melihat betapa tertib, sempurna, dan indahnya semua hokum alam sesuai dengan Kehendak Hyang Widhi berlangsung dan berjalan tanpa diikat dan dikuasai ruang dan waktu. Semua Kehendak Hyang Widhi Wasa sudah baik, benar, adil dan suci. Terjadilah segala kehendakNya. Salahnya, manusia menilai atas dasar kehendak masing-masing yang bukan lagi adalah ulah nafsu daya rendah. Oleh karena itu muncullah konflik-konflik dalam diri sendiri yang mencuat menjadi konflik antar manusia, bahkan konflik antara kehendak manusia yang dibandingkan dengan Kehendak Hyang Widhi.

Jadilah kehendakmu, demikian seharusnya seorang bijaksana berserah diri kepadaNya. Jangan sekali-sekali menambah kalimat suci dari dua kata itu menjadi Jadilah kehendakMu sesuai dengan keinginanku! karena kalau demikian kita akan bertemu dengan konflik batin yang berkepanjangan.

Ketika Narotama tiba di depan pondok tempat tinggal Ki Nagakumala, dia melihat Ki Nagakumala sudah menanti diatas dipan depan pondok bersama dua orang wanita muda yang dia duga pasti dua orang gadis yang dipinang oleh Sang Prabu Erlangga.

"Selamat pagi, Paman Nagakumala dan nimas berdua!" kata Narotama dengan ramahnya.

Di dalam hatinya Narotama terpesona juga melihat dua orang dara itu. Memang sukarlah mencari dua orang dara yang demikian cantik jelita, ayu manis, luwes kuwes merak ati seperti mereka yang duduk di atas bangku sebelah kiri Ki Nagakumala dengan pandang mata mereka yang demikian indah sambil tersenyum simpul.

Bibir manis merah basah itu merekah seperti bunga mawar sedang mekar di pagi hari bermandi embun pagi yang segar. Akan tetapi, dasar seorang ksatria yang kokoh kuat batinnya, pada pandang matanya, Narotama tidak menunjukkan kekagumannya dan hanya memandang biasa dengan tenang dan penuh sopan santun.

"Selamat pagi, Kipatih Narotama dan silakan duduk." Ki Nagakumala menunjuk ke arah sebuah bangku yang sudah disediakan untuk tamunya, berhadapan dengan mereka bertiga.

Narotama memandang ke arah bangku yang ditawarkan. Sekilas pandang saja tahulah dia bahwa bangku kayu itu sudah dirajah (diisi dengan aji). Agaknya kembali Ki Nagakumala hendak mengujinya. Dia pura-pura tidak tahu dan duduk di atas bangku yang ditawarkan. Tentu saja diam-diam dia mengerahkan aji kesaktiannya untuk melindungi diri terhadap serangan rajah yang sudah dipasang pada bangku itu.

Tiga orang itu, terutama Lasmini dan Mandari, memandang dengan hati tegang. Mereka tahu bahwa barang siapa menduduki bangku yang sudah dirajah dengan Rajah Banaspati itu tentu akan terbakar Narotama duduk dan..."cesssssss..." tampak asap mengepul tebal dari bangku yang diduduki Narotama. Narotama bangkit berdiri dengan tenang dan bangku itu pun hancur menjadi arang setelah baru saja dibakar api yang besar, padahal pakaian Narotama sedikitpun tidak ada yang terbakar, apa lagi kulit tubuhnya.

"Maaf, Paman Nagakumala. Bangku ini rusak." Kata Narotama dan dia mengambil sebuah bangku lain dan duduk berhadapan dengan tiga orang itu.

"Ha-ha-ha-ha! Bagus, Anakmas Narotama! Tidak percuma andika menjadi maha patih di Kahuripan. Kami menerima andika sebagai utusan Sang Prabu Erlangga dengan penuh penghormatan."

"Terima kasih, Paman Nagakumala, atas kebijaksanaan andika."

"Perkenalkan, anakmas. Ini adalah keponakanku, juga murid-muridku. Ini adalah Nini Lasmini dan yang lebih muda Nini Mandari. Mereka adalah kakak beradik, puteri-puteri adikku Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman. Nini berdua, inilah Rakyana Patih Narotama dari Mataram."

Dua orang gadis itu memberi hormat dengan sembah di depan hidung mereka. Narotama membalas dengan sembah di depan dada.

"Paman Nagakumala, bagaimana jawaban paman atas pinangan yang saya ajukan kemarin? Apakah sudah ada keputusan jawabannya?"

"Ha-ha-ha! Sudah kami rundingkan dengan dua orang anak yang bersangkutan, anakmas. Sebaiknya kalau anakmas mendengar sendiri apa yang menjadi jawaban mereka. Nini Lasmini, engkau sudah mendengar sendiri pertanyaan Ki patih Narotama dan aku sudah menceritakan kepada kalian berdua tentang pinangan yang diajukan Kipatih atas nama Sang Prabu Erlangga. Nah, sekarang, engkau jawablah sendiri saja pertanyaan itu dan terserah kepadamu sendiri apakah engkau dapat menerima pinangan itu ataukah tidak."

Lasmini menatap tajam wajah Narotama dan pada sinar matanya terbayang kekaguman kepada pria perkasa itu. Pria yang masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun usianya, tubuhnya tinggi tegap dan jelas berisi tenaga yang amat kokoh kuat walau pun sikapnya sederhana. Wajahnya tampan dan penuh wibawa. Tidak mengenakan pakaian kebesaran seperti seorang bangsawan tinggi, melainkan seperti seorang muda dari pulau Bali. Kepalanya terbungkus kain pala yang ujungnya meruncing di bagian belakang. Mata yang tajam seperti mata elang itu memandang dengan lurus dan wajar, sama sekali tidak membayangkan perasaan hatinya, namun bibir yang tersenyum itu membayangkan kesabaran dan penuh pengertian. Wajah seorang laki-laki, seorang jantan dan begitu bertemu pandang, Lasmini segera jatuh hati. la merasa tertarik sekali dan ada kemesraan menyentuh hati sanubarinya. Kalau laki-laki ini benar memiliki kedigdayaan seperti yang pernah didengarnya, maka inilah calon suami yang di nanti-nantinya dan ia segera merasa cocok dan setuju dengan siasat yang telah direncanakan semalam bersama Mandari dan Ki Nagakumala.

Mendengar ucapan uwanya itu, Lasmini tersenyum, menjaga agar senyum itu keluar dengan wajar tidak dibuat-buat dan tampak semanis-manisnya. Memang manis bukan main ketika ia tersenyum itu. Bahkan tahi lalat hitam kecil di sudut mulut bagian kiri itu seolah menari.

"Karena andika ternyata masih amat muda, Kipatih, bolehkah saya menyebut andika Kakangmas Narotama saja?" katanya dengan lembut dan sikap sopan, agak malu-malu.

Narotama tersenyum. Wajah Lasmini begitu menarik dan mempesona hatinya, namun dia ingat bahwa dia dalam tugas dan wanita ini bersama adiknya dipinang oleh Sang Prabu Erlangga, hendak dijadikan selir dan dia hanyalah seorang utusan sehingga sama sekali tidak boleh perasaannya ikut berulah.

"Tentu saja, Nimas Lasmini. Tentu andika boleh menyebutku Kakangmas Narotama saja. Sesungguhnya saya pun tidak ingin membanggakan kedudukanku sebagai patih dan saya sekarang ini hanya bertindak sebagai seorang utusan."

"Baiklah kalau begitu, kakangmas. Sekarang, apakah kakangmas menghendaki jawaban atas pinangan itu langsung dari mulut saya?"

"Sebaiknya begitulah. Saya hanya utusan dan apa pun yang menjadi jawaban andika sekalian atas pinangan itu, saya hanya akan melaporkannya kepada Gusti Sinuwun."

"Terus terang saja aku dan adikku mandari sudah saling berembuk dalam hal ini dan sudah mengambil keputusan. Andika tadi sudah mendengar bahwa kami adalah puteri-puteri Kanjeng Ibu Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman, dan ayah kami adalah Sang Bhagawan Kundolomuko yang kini menjadi pertapa di pantai Blambangan. Nah, setelah mengetahui akan hal itu, bahwa ayah ibu kami adalah musuh-musuh Mataram, apakah andika masih hendak melanjutkan pinangan itu, kakangmas?"

"Kanjeng Gusti Sinuwun tahu benar akan hal itu, nimas. justru karena selama ini Kerajaan Parang Siluman memusuhi Mataram, maka beliau memiliki keinginan untuk mengulurkan tangan persahabatan, bahkan kekeluargaan dengan Kerajaan Parang Siluman. Maka, mendengar bahwa Kerajaan Parang Siluman mempunyai dua orang puteri yang bijaksana, sakti dan cantik jelita, lalu timbul keinginan Gusti Sinuwun untuk meminang andika berdua."

Lasmini tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Hal itu pun sudah kami dengar dari keterangan Uwa Nagakumala. Akan tetapi semenjak kami remaja, kami berdua sudah menentukan syarat bagi pria yang hendak mempersunting kami sebagai isteri. Pertama... dia harus seorang ksatria yang berkedudukan tinggi."

"Gusti Sinuwun Erlangga adalah seorang ksatria besar dengan kedudukan sebagai raja!" kata Narotama.

"Syarat yang ke dua, dia harus seorang pria muda yang tampan dan bijaksana."

"Itu syarat yang sudah terpenuhi, nimas. Siapa yang tidak mengenal bahwa Sang Prabu Erlangga adalah seorang pria muda yang tampan dan gagah, berbudi bawa laksana, sugih bandha bandhu lagi bijaksana?"

"Dan syarat ke tiga yang penting kali bagi kami, pria itu harus sakti mandraguna dan dapat mengalahkan kami dalam pertandingan adu kesaktian!"

"Sang Prabu Erlangga adalah seorang raja yang sakti mandraguna pilih tanding, lebih digdaya dibandingkan aku. Akan tetapi beliau tidak berada di sini untuk membuktikan kesaktiannya. Aku adalah utusannya yang berkuasa penuh, bertanggung jawab dan berhak mewakili beliau menghadapi segala rintangan dan tantangan. Oleh karena itu, syarat ketiga itu dapat dipenuhi dan aku yang menjadi wakilnya."

"Kalau begitu apakah andika yang akan mewakili Sang Prabu Erlangga menandingiku, kakangmas?" tanya Lasmini. Matanya memandang begitu indahnya, setengah tertutup sehingga bulu mata yang lentik panjang itu hampir saling merapat.

"Kalau memang itu merupakan sayembara bagimu, akan kuhadapi, nimas!"

Lasmini tersenyum menoleh kepada Ki Nagakumala. "Uwa, aku akan menerimanya di mana lagi kalau tidak di sini? Pelataran pondok kami ini cukup luas untuk dijadikan tempat bertanding kesaktian. Mari, Kakangmas Narotama, mari saling menguji kesaktian masing-masing. Sudah lama aku mendengar akan kehebatan Kipatih Narotama dan ingin sekali aku merasakan sendiri sampai berapa hebat dan ampuh kepandaiannya!”

Setelah berkata demikian, Lasmini melompat ke depan. Sekali lompat ia sudah melayang ke pelataran yang terbuka, tidak kurang dari lima tombak jauhnya, bagaikan seekor burung srikatan saja gesitnya, la berdiri tegak seperti srikandi, pendekar wanita digdaya dalam cerita Mahabharata itu.

Narotama bangkit berdiri, membungkuk kepada Ki Nagakumala seolah minta perkenan tuan rumah itu. Kakek itu tersenyum dan mempersilakan dengan gerakan tangannya. Narotama lalu melangkah menghampiri Lasmini yang telah berdiri menanti sambil bertolak pinggang.

Mereka saling berhadapan, saling mengamati seperti lagak dua ekor ayam yang hendak bertarung. Lasmini mengamati wajah dan tubuh Narotama penuh perhatian. Pria itu memang tampan dan gagah sekali walau pun sikapnya lembut bersahaja. Tubuhnya yang tinggi tegap Itu menunduk seolah memperlihatkan kerendahan hatinya, namun kepalanya tegak penuh wibawa dan keagungan. Pancaran pandang matanya penuh pengertian dan penuh kekuatan batin, pandang mata yang begitu dalam dan tenang seperti permukaan air telaga yang dalam.

Namun di balik semua kekuatan tersembunyi Itu, terbayang kelembutan seorang ksatria yang selalu merasa rendah dan tunduk akan kekuasan Yang Maha Tinggi. Sungguh pun pakaiannya juga tidak terlampau mewah, namun di dalam kesederhanaan itu terbayang keagungan seorang priyayi yang berkedudukan tinggi. Sebatang keris berwarangka kayu terukir terselip di ikat pinggangnya. Itulah keris pusaka Kolomisani, sebatang keris kecil berbentuk lurus.

Di lain pihak, Narotama juga mengamati calon lawannya dan kembali hatinya tergetar dan terguncang oleh daya tarik yang luar biasa dari dara ayu itu. Tubuh Lasmini ramping dan padat, denok dan kewes. Dadanya yang membusung itu tampak membayang di balik kemben sutera halus, seolah-olah bukit dadanya hendak memberontak karena ditutup dan ditekan kemben, seperti sepasang gunung berapi siap meletus. Rambutnya yang hitam panjang berombak itu digelung lebar berhias emas bermata intan yang amat indah.

Gelung rambut itu ujungnya terurai di leher sebelah kanan, terhias untaian bunga melati. Wajahnya gemilang seperti bulan purnama, dihalus-putihkan dengan bedak tipis-tipis. Kulitnya yang putih mulus itu demikian halus sehingga ketika tertimpa sinar matahari pagi, seperti berkilau laksana emas. Sebilah keris kecil terselip di pinggangnya. Sungguh merupakan seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya, bagaikan Dyah Srikandi, cantik dan juga gagah perkasa.

Lasmini melepas lagi senyumnya. Senyum yang lebih tajam dan lebih berbahaya dari pada anak panah yang dilepas dari gendewa di tangan Srikandi. Senyum itu bagaikan anak panah mujijat yang langsung menyambar ke arah jantung Narotama! Namun, kipatih ini cepat menangkis dengan tekanan batinnya, mengingat bahwa wanita itu adalah calon garwa selir junjungannya sehingga tidak pantaslah kalau dia jatuh cinta!

"Kakangmas Narotama, sudah siapkah andika?" Tanya Lasmini, suaranya merdu sekali, bukan seperti orang menantang bertanding, begitu mesra dan bersahabat.

"Sudah, nimas. Aku sudah siap. Mulailah." kata Narotama tenang.

Lasmini sudah merencanakan siasat bersama adik dan uwaknya. Ia juga tahu bahwa ia tidak akan mungkin dapat menandingi kipatih yang sudah amat terkenal kedigdayaannya itu. Sudah diatur bahwa ia harus berhasil menjadi garwa atau selir Kipatih Narotama yang nama jabatannya adalah Rakryan Patih Kanuruhan Mpu Dharmamurti Narotama Danasura itu.

Karena itu, setelah kini berhadapan dengan Narotama dan mulai bertanding, iapun memasang gaya yang amat menarik, la membuka gerakan silatnya dengan indah sekali. Ia berdiri memasang kuda-kuda dengan kaki kanan di belakang dan kaki kiri di depan, kedua lutut ditekuk dan kaki kiri berdiri pada ujung kakinya, sikapnya "ndegeg", yaitu dada dibusungkan kedepan dan pinggul ditonjolkan ke belakang, tangan kiri dengan siku ditekuk dan jari-jari terpentang berada di depan dahi dengan telunnjuk menuding ke atas, tangan kanan berkembang ke belakang dengan jari jari terbuka pula.

Gerakan pembukaan ini indah sekali, seperti seorang penari Bali beraksi, dadanya dan pinggulnya makin tampak membusung dan pinggangnya tampak begitu ramping seperti akan patah, pasangan pembukaan yang indah dan juga mengandung daya tarik yang menggairahkan. Narotama terpesona akan semua keindahan gerak tubuh wanita ini, akan tetapi dia bersikap tenang, menanti dara itu melakukan penyerangan.

"Sambut seranganku!" Tiba-tiba Lasmini berseru dan tubuhnya mulai bergerak menyerang. Tangan kirinya menyabar dari atas mencengkeram ke arah kepala Narotama disusul tangan kanan yang meluncur ke arah dada dengan tusukan dua jari tangan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar