Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 33

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Kini Wiku Ktut Bumi Setra berdiri tegak, kepalanya ditundukkan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantra, kemudian tubuhnya menggetar dan dia mengangkat mukanya memandang kepada Nurseta, matanya mencorong berkilat, tangan kanan yang memegang tongkat diangkat ke atas. Lalu terdengar suaranya, lirih namun mengandung gema yang menggetarkan jantung, "Nurseta, lawanlah Si Naga Langking ini!"

Tiba-tiba saja muncul kabut atau semacam asap tebal berwarna kelabu bergerak perlahan dari datuk Bali itu kearah Nurseta, dibarengi datangnya angin seperti badai dan muncul pula kilat geledek bergemuruh menyambar-nyambar ke arah Nurseta! Kemudian, tongkat di tangan Sang Wiku seolah hidup dan terbang dari tangan yang memegangnya, kini menjadi besar, merupakan seekor ular atau naga sebesar paha manusia dewasa, mulutnya menyemburkan api, mendengus-dengus dengan dahsyatnya, terbang meluncur ke arah Nurseta!

Nurseta melipat kedua lengan depan dada, dan perlahan-lahan tubuhnya semakin kabur seolah perlahan-lahan lenyap dan hanya tampak bayangannya saja, itu pun samar-samar.

"Hemm, bocah itu telah menguasai Aji Sirna Sarira!" seru Nini Bumigarbo lirih namun suaranya mengandung kekaguman. Sepengetahuannya, hanya ada beberapa orang saja yang menguasai aji kesaktian ini dan di antara mereka, termasuk ia dan Bhagawan Ekadenta!

"Ho-ha! Ajimu itu tidak dapat menghindar dari serangan maut Naga Langking!" teriak Wiku Ktut ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk memperkuat ciptaan sihirnya itu.

Naga hitam itu menyambar dan api yang dihembuskan dari mulutnya itu berkobar menyerang bayangan Nurseta! Nurseta terkejut juga melihat betapa naga hitam jadi-jadian itu demikian kuatnya sehingga masih mampir menyerangnya walau pun dia telah bersembunyi dengan Aji Sirna Sarira. Maka, dia pun menyambut serangan naga hitam yang menyemburkan api itu dengan mengerahkan tenaga sakti dan mendorongkan kedua tangan ke depan.

"Wuuuttt...! Blarrrr...!"


Hawa pukulan yang amat dahsyat keluar dari sepasang tangan Nurseta, bertemu dengan naga hitam itu. Naga hitam terpental dan bunga api yang amat besar berpijar-pijar, akan tetapi naga hitam itu segera membalik dan menyerang lagi lebih dahsyat.

Terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Berkali-kali naga hitam itu bertemu dengan pukulan jarak jauh sehingga terdengar ledakan-ledakan, namun hantaman pukulan sakti Nurseta belum juga dapat mengalahkan naga hitam itu. Ternyata dalam adu tenaga sakti kekuatan mereka juga selmbang. Mungkin Wiku Ktut Bumi Setra lebih kuat sedikit, akan tetapi kembali unsur usia memegang peran penting dalam kekuatan tubuh manusia, terutama dalam daya tahan.

Setelah berkali-kali mengadu tenaga sakti, mulailah Wiku Ktut Bumi Setra terengah-engah dan wajahnya agak pucat, dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih! Sementara itu, biarpun Nurseta juga sudah bermandi keringat, namun dia masih tegar dan napasnya masih biasa. Akhirnya Sang Wiku menyadari bahwa dia harus tunduk terhadap ketuaannya sendiri dan dia maklum bahwa kalau adu tenaga sakti itu dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka. Mengadu tenaga sakti jarak jauh seperti ini jauh lebih menguras tenaga daripada adu tenaga melalui kaki tangan.

Padahal Nurseta hanya menangkis saja, tidak pernah balas menyerang. Hal ini sudah menunjukkan bahwa pemuda Itu tidak mempunyai niat untuk bermusuhan. Akan tetapi walau pun hanya menangkis, tetap saja mereka berdua menggunakan tenaga yang sama besarnya dan sama melelahkan. Tiba-tiba Wiku Ktut Bumi Setra menghentikan Ilmu sihirnya dan naga hitam itu melayang ke tangannya dan berubah menjadi tongkat ular hitam lagi. Kabut hitam dan angin pun berhenti dan cuaca terang kembali.

Wiku Ktut Bumi Setra menggunakan kain jubahnya untuk menghapus keringat dari muka dan lehernya, mengatur pernapasannya, lalu berkata, "Nurseta, engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah dan kalau sekali ini engkau mampu menandingi aji pamungkasku, barulah aku mengaku kalah!"

Nurseta diam saja karena dia maklum bahwa mencegah atau membujuk kakek yang keras hati dan suka bertanding ini akan percuma saja. Dia hanya siap untuk melayani lawan yang amat tangguh ini, menunggu dan waspada memperhatikan apa yang hendak dilakukan lawan yang belum mau mengaku kalah itu.

Dengan tenang, Wiku Ktut Bumi Setra mengeluarkan tiga batang dupa lidi, lalu dia mengambil sehelai daun kering dan memukulkan ujung tongkatnya pada batu. Bunga api berpijar menyambar daun kering yang dia dekatkan sehingga daun itu terbakar dan dia pun membakar ujung tiga batang dupa lidi itu sehingga membara. Tiga batang dupa lidi membara itu lalu dia selipkan di atas kain putih pengikat kepalanya. Setelah itu, Wiku Ktut Bumi Setra lalu bersedakap (melipat kedua lengan depan dada), memejamkan mata dan mulutnya membaca mantra berkepanjangan.

"Huh, dia akan mengeluarkan aji pamungkasnya yang mengerikan, yaitu Aji Malih Leyak." kata Nini Bumigarbo kepada Niken Harni.

Gadis ini pernah mendengar bahwa di Bali-dwipa terkenal dengan aji yang ada hubungannya dengan pemujaan Sang Batari Durga, atau pemujaan Setan ini, yang kabarnya amat dahsyat dan jahat. Maka ia memandang dengan penuh perhatian dan merasa ngeri melihat betapa kepala Wiku Ktut Bumi Setra mulai bergerak-gerak sehingga tiga batang dupa lilin itu bergoyang-goyang dan asapnya membuat bentuk yang aneh. Juga bau asap dupa lidi itu makin lama semakin memuakkan. Kalau tadinya berbau wangi yang aneh, kini makin lama berubah menjadi bau busuk, seperti bau bangkai.

Tiba-tiba seluruh tubuh Wiku Ktut Bumi Setra menggigil dan dari tubuhnya mengepul uap kehitaman tipis yang mengeluarkan bau apek dan busuk. Tubuh yang menggigil itu menjadi semakin besar, hampir dua kali lipat besarnya dan tampaklah wujud yang mengerikan sekali. Mahluk yang tinggi besarnya dua kali manusia dewasa itu bukan manusia lagi, melainkan iblis yang menyeramkan.

Rambutnya gimbal dan mencuat ke sana-sini, matanya lebar dan melotot seperti akan melompat keluar biji matanya yang besar-besar, alisnya tebal dan kaku seperti juga rambutnya, mirip kawat. Lengannya berbulu dan panjang, dan tangannya berkuku panjang. Hidungnya besar merekah dan mulutnya yang paling menakutkan. Mulut itu ternganga, dengan gigi besar-besar dan ada taring di kanan kiri, lidahnya terjulur keluar, panjang dan merah dan dari dalam mulutnya tampak api keluar masuk, seolah dia bernapaskan api!

Makhluk inilah yang dikenal sebagai Leyak atau Iblis, makhluk yang dipuja oleh mereka yang meninggalkan jalan kebenaran. Leyak itu terselimuti uap kehitaman yang tipis dan terdengar suara gemuruh seperti suara ratusan mulut setan berteriak-teriak di belakang Leyak ini. Wujud yang mengerikan itu kini melangkah maju menghampiri Nurseta sambil mengeluarkan suara gerengan dahsyat.

Niken Harni yang amat pemberani itu pun sekarang mengkirik (menggeliang-geliut) saking ngerinya melihat makhluk yang menyeramkan itu. Apa lagi tercium bau yang hampir tidak tertahankan saking busuknya.

Makhluk itu sudah merupakan wujud lain dari Wiku Ktut Bumi Setra. Sukar untuk percaya melihat Sang Wiku dapat berubah seperti makhluk itu, akan tetapi adanya bukti bahwa di atas pengikat rambut makhluk itu terdapat tiga batang dupa lidi yang masih membara dan mengeluarkan asap putih, ada pun kedua pergelangan tangan makhluk itu juga memakai gelang akar bahar hitam seperti yang dipakai Wiku Ktut Bumi Setra, maka orang baru akan percaya bahwa Leyak itu memang malihan (pergantian rupa) Sang Wiku.

Nurseta juga terkejut dan sesaat jantungnya berdebar tegang menghadapi makhluk yang selain menyeramkan, juga mengeluarkan wibawa yang amat kuat. Dia pernah mendengar tentang Aji Malih Leyak ini, akan tetapi baru sekarang dia berhadapan dengan makhluk itu. Akan tetapi dia segera dapat memulihkan ketenangannya dan karena dia tahu betapa kuatnya makhluk ini, dia segera mencabut Keris Pusaka Kolomisani pemberian Ki Patih Narotama. Dengan keris pusaka di tangan kanan, dia menanti dengan sikap tenang tetapi waspada.

Dengan mengeluarkan gerengan yang dahsyat, Leyak itu mulai menyerang ke depan, kedua tangannya yang berkuku panjang itu menyambar yang kanan ke arah kepala Nurseta, yang kiri ke arah lehernya. Tangan-tangan besar berkuku panjang itu pasti akan meremukkan kepala dan mematahkan batang leher. Namun Nurseta yang sudah siap siaga itu dengan cepat sekali sudah mengelak ke belakang, lalu dengan loncatan memutar kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah dada makhluk itu.

"Dess...!"


Kaki itu tepat menendang perut, dan Leyak itu hanya mundur dua langkah. Nurseta menyusul dengan tusukan kerisnya, juga ke arah perut yang besar itu.

"Tukk...!"

Tusukan itu tepat mengenai perut Leyak yang gerakannya kaku dan lamban itu, akan tetapi tusukan itu yang mengenai perut seolah menusuk air saja, sama sekali tidak dirasakan Leyak itu! Bahkan tangan kiri Leyak itu menyambar dari samping. Nurseta tidak sempat mengelak hanya miringkan tubuh sehingga bukan dadanya yang terpukul melainkan pundaknya. Dia terhuyung, merasa seperti dipukul palu godam yang amat kuat!

Terjadilah perkelahian yang seru. Leyak itu lamban dan kaku, namun tubuhnya kebal. Terkadang keris dan tamparan tangan kiri Nurseta seperti mengenai air dan tembus tanpa melukai, akan tetapi terkadang seperti bertemu baja yang keras sehingga tangan atau kerisnya terpental! Nurseta memang jauh lebih cepat gerakannya, akan tetapi karena semua serangannya gagal, dan sebaliknya kalau sampai pukulan tangan Leyak itu mengenainya, dapat mencelakakannya, maka dia berhati-hati sekali. Leyak itu memiliki tenaga yang luar biasa sekali. Juga api yang menyambar-nyambar dari mulutnya itu bukan api biasa, dan lebih panas daripada api biasa.

Nurseta mulai terdesak dan Leyak itu yang juga selalu gagal dengan serangannya karena gerakan Nurseta terlalu cepat baginya, kini berusaha untuk menangkap tubuh lawan yang hanya setengah besar dan tinggi tubuhnya itu. Nurseta mulai maklum bahwa kalau dia terus melawan dengan mengandalkan kecepatannya, tanpa mampu membalas karena semua serangannya tidak terasa oleh Leyak itu, dia akan terancam bahaya. Sekali saja tubuhnya dapat diringkus tangan-tangan berkuku panjang dan kokoh kuat itu, berarti dia kalah, bahkan mungkin saja dia akan mengalami cedera berat, atau bahkan tewas.

Setelah mempertahankan diri beberapa lamanya, akhirnya Nurseta mengambil keputusan untuk mempergunakan aji pamungkas yang sebetulnya tidak boleh sembarangan dia pergunakan. Sekali ini karena terpaksa, maka dia mengambil keputusan untuk mempergunakannya. Dia melompat cepat ke belakang, bersedakap, mencurahkan segala perhatian dan kekuatan batinnya, membanting kaki tiga kali ke atas tanah dan tiba-tiba mengepul uap putih dan tubuhnya berubah menjadi besar sekali, sebesar Pohon Beringin, jauh lebih besar beberapa kali lipat dibandingkan besar tubuh Leyak!

"Hemm, bocah ini bahkan menguasai Aji Triwikrama! Bukan main!" kata Nini Bumigarbo kagum.

Perwujudan raksasa itu berdiri tegak, kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, dari mulutnya terdengar gerengan yang menggetar seluruh permukaan gunung, bahkan terasa oleh para penduduk didusun-dusun yang berada di lereng bawah. Leyak itu kalah wibawa. Dia gemetar dan terhuyung ke belakang sampai belasan langkah. Tubuhnya menyusut, semakin kecil dan akhirnya berubah kembali menjadi Wiku Ktut Bumi Setra. Hal ini tidaklah mengherankan.

Aji Malih Leyak ini merupakan aji yang berasal dari Bathari Durga yang menjadi Ratu Iblis, adapun Aji Triwikrama berasal dari Sang Hyang Wisnu! Begitu Leyak kembali menjadi Wiku Ktut Bumi Setra, raksasa itu pun menyusut dan berubah kembali menjadi Nurseta. Wiku Ktut Bumi Setra berdiri dengan wajah agak pucat, lalu tiba-tiba wajahnya berubah kemerahan.

"Gayatri, aku pamit!" Dan tubuhnya sudah berkelebat pergi dari situ.

"Paman Wiku, maafkan saya...!" Nurseta berkata, menyesal bahwa dia telah mengalahkan datuk itu sehingga membuat hatinya tersinggung.

"Nurseta, sampaikan salamku kepada Bhagawan Ekadenta!" terdengar jawaban dari bayangan Wiku Ktut Bumi Setra yang sudah menuruni puncak dengan cepatnya.

Setelah sisa ketegangan pertandingan tadi menghilang dan suasana menjadi tenang dan sunyi kembali, Nurseta menghampiri Nini Bumigarbo dan memberi hormat dengan sembah.

"Mohon maaf apabila pertandingan tadi mengganggu ketenteraman tempat tinggal Bibi di sini, akan tetapi saya dipaksa membela diri oleh Paman Wiku Ktut Bumi Setra tadi."

"Hemm, Nurseta. Kalau tidak ingat bahwa engkau pernah menjadi murid Bhagawan Ekadanta, aku akan senang sekali mengadu kesaktian denganmu! Sekarang katakan, apa kehendakmu?"

"Maaf, Bibi. Saya mohon sukalah kiranya Andika membebaskan Niken Harni yang Andika tahan di sini agar saya dapat mengantarkannya pulang ke rumah orang tuanya."

"Huh, ucapanmu lancang, Nurseta! Siapa yang menahan Niken Harni di sini? Tanyakan saja sendiri padanya!" Setelah berkata demikian, Nini Bumigarbo bersila menegakkan tubuh dan memejamkan kedua matanya.

Nurseta menghampiri Niken Harni yang masih duduk diatas batu. Gadis itu masih terkagum-kagum menonton pertandingan yang hebat tadi. Ia kagum kepada Nurseta yang mampu mengalahkan Wiku Ktut Bumi Setra yang demikian sakti mandraguna. Kini keinginannya untuk menimba ilmu dari Nini Bumigarbo semakin kuat. Ketika Nurseta menghampirinya, ia menatap dengan sinar mata tajam."Nimas Ken Harni, Andika ditunggu-tunggu orang tua dan seluruh keluarga Andika yang merasa cemas memikirkan keselamatan Andika. Marilah Andika kuantar pulang, Nimas."

"Apakah Andika diutus orang tuaku untuk mengajak aku pulang?" tanya Niken Harni.

"Tidak, Nimas. Aku hanya membantu Puspa Dewi untuk mencarimu di Wengker dan di sana aku mendengar bahwa Andika dibawa pergi Bibi Nini Bumigarbo, maka aku menyusul ke sini dan mengajak Andika pulang."

"Hemm, kalau begitu, Andika tidak perlu mencampuri urusanku. Aku memang ingin ikut Bibi Nini Bumigarbo dan menjadi muridnya. Andika atau siapa saja tidak boleh menghalangi kehendakku ini. Pergilah dan jangan ganggu kami di sini! Kalau bertemu keluargaku, katakan bahwa kalau sudah selesai belajar, aku akan pulang dan tidak perlu mencari aku!"

Nurseta tertegun. Sama sekali. tidak disangkanya bahwa gadis ini memang ikut Nini Bumigarbo dengan suka rela karena ingin menjadi murid nenek berpakaian serba hitam itu! Dia merasa kecelik. Kalau mengetahui bahwa Niken Harni memang ingin mengikuti nenek itu, tentu dia tidak akan bersusah payah mencarinya. Dan dia pun tahu bahwa gadis ini benar-benar ingin menjadi murid nenek itu. Sekiranya gadis itu dipegaruhi sihir atau ada daya yang tidak wajar, pasti dia dapat merasakannya sekarang. Dia merasa malu sendiri.

"Kalau begitu, terserah Andika." kata Nurseta yang segera menghampiri Nini Bumigarbo, memberi hormat dan berkata, "Bibi Nini Bumigarbo, saya mohon maaf atas persangkaan saya tadi bahwa Bibi yang membawa pergi dan menawan Niken Harni. Sekarang saya mohon pamit meninggalkan tempat ini."

Akan tetapi Nini Bumigarbo tidak menjawab, tetap duduk bersila dalam keadaan samadhi. Setelah menanti beberapa lamanya nenek berpakaian serba hitam itu tetap tidak bergerak dan tidak menjawab, Nurseta lalu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan puncak itu dengan cepat. Bayangannya diikuti pandang mata Niken Harni…..

********************

Pagi itu Kerajaan Wura-wuri gempar. Pasukan besar Kahuripan ketika memasuki tapal batas daerah Wura-wuri, tidak menemui hambatan. Rakyat Wura-wuri ketakutan karena biasanya, apabila terjadi perang, para prajurit musuh selalu menimbulkan kekacauan dengan perbuatan-perbuatan yang kejam dan biadab. Merampok, membunuh, memperkosa.

Semua nafsu setan mereka diumbar, sebagian memang karena didorong nafsu hendak memuaskan diri, sebagian lagi dilakukan sebagai siasat mengacaukan pertahanan musuh. Akan tetapi sekali ini, pasukan Kahuripan sama sekali tidak mengganggu rakyat daerah Wura-wuri. Tidak ada penganiayaan, tidak ada pembunuhan, pembakaran rumah, pencurian mau pun gangguan wanita.

Pasukan besar itu lewat saja melalui dusun-dusun tanpa mengganggu sehingga berita ini segera tersiar dan akibatnya, di sepanjang perjalanan, pasukan Kahuripan bahkan disambut rakyat dengan suguhan dawegan (kelapa muda), pisang, dan buah-buahan lain. Ibu kota Wura-wuri gempar ketika para pamong praja mendengar bahwa pasukan besar Kahuripan sudah mulai memasuki daerah mereka dan sedang menuju ke kota raja, dipelopori seribu orang prajurit yang dipimpin oleh Puspa Dewi.

Pada waktu itu, dua orang kakak seperguruan Nyi Dewi Durgakumala yang diundang oleh permaisuri itu telah tiba di kota raja Wura-wuri. Mereka adalah dua orang saudara kembar berusia sekitar lima puluh lima tahun. Orang akan merasa heran dan bingung kalau berhadapan dengan mereka berdua. Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit yang kembar ini serupa benar, baik wajah mereka yang kurus tubuh mereka yang tinggi kurus sampai bentuk rambut dan pakaian mereka.

Sebagai kakak-kakak seperguruan Nyi Dewi Durgakumala, dapat dibayangkan betapa saktinya dua orang saudara kembar ini. Mereka merupakan dua di antara para datuk yang terkenal di daerah Blambangan. Senjata ruyung (penggada) merupakan senjata andalan mereka, dinamakan Kyai Rujak Polo! Di samping ilmu silat mereka yang tangguh, kedua orang saudara kembar ini pun memiliki ilmu sihir yang ampuh.

Mendengar berita bahwa pasukan Kahuripan sudah dating menuju kota Kadipaten Wura-wuri, Adipati Bhismaprabhawa bersama permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, lalu membuat persiapan mengatur barisan untuk menyambut pasukan musuh. Kedua orang saudara kembar, Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit, diangkat menjadi senopati yang akan menghadapi para pimpinan pasukan Kahuripan yang sakti, dan mereka berdua itu dibantu oleh Ki Gandarwo dan Cekel Aksomolo yang juga sudah berada di Wura-wuri, diundang oleh adik seperguruannya, Ki Gandarwo, untuk membantu Wura-wuri.

Sisa pasukan Wura-wuri yang dapat lolos ketika mereka menyerbu Kahuripan, dikerahkan. Namun diam-diam semangat para prajurit Ini sudah menguncup, jerih menghadapi pasukan Kahuripan yang tangguh dan dipimpin orang-orang sakti mandraguna. Ketika menyerbu ke Kahuripan, mereka bergabung dengan tiga kerajaan lain, namun masih kalah. Apa lagi sekarang mereka harus menghadapi pasukan Kahuripan sendirian saja!

Para perwiranya saja sudah patah semangat. Akan tetapi, Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala mengadakan peraturan keras. Kalau ada prajurit melarikan diri dan tidak menyambut serbuan musuh, mereka akan dibunuh sendiri oleh pasukan khusus yang berada di belakang!

Karena pasukan Wura-wuri sudah kehilangan banyak prajurit ketika menyerbu Kahuripan, maka Adipati Bhismaprabhawa tidak berani melakukan penghadangan jauh dari kota raja, melainkan mengerahkan seluruh pasukan untuk mempertahankan kota raja Kadipaten Wura-wuri.

Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi setelah matahari naik cukup tinggi, tibalah saat yang dinanti-nantikan dengan penuh ketegangan itu. Pasukan Kahuripan tiba di luar tembok benteng kota raja Wura-wuri, dipelopori seribu orang prajurit. Pasukan pelopor itu dipimpin oleh Puspa Dewi yang menunggang seekor kuda pancal panggung (keempat ujung kakinya berwarna putih), dan tampak gagah sekali. Kedua pihak telah siap dan masing-masing pasukan sudah saling berhadapan, menanti perintah untuk mulai menyerbu.

Pasukan Wura-wuri berbaris di luar pintu gerbang. Tiba-tiba dari barisan Wura-wuri muncul Nyi Dewi Durgakumala. Wanita setengah tua masih cantik ini mengenakan pakaian gemerlapan. Permaisuri itu kini mengenakan pakaian perang sebagai seorang senopati wanita yang cantik dan gagah. Ia mengangkat tangan tanda bahwa ia ingin bicara. Kemudian terdengar suaranya yang lantang.

"Hai, orang-orang Kahuripan, dengarlah! Aku, Permaisuri Dewi Durgakumala, sebagai senopati perang mewakili Sang Adipati Bhismaprabhawa, minta agar Ki Patih Narotama maju kesini karena kami ingin bicara!"

Ki Patih Narotama yang berada di belakang Pasukan Pelopor pimpinan Puspa Dewi, menggeprak kudanya dan maju sehingga berada di depan pasukan itu.

"Dewi Durgakumala, apa lagi yang hendak dibicarakan? Kami minta agar Wura-wuri menyerah agar kami tidak perlu memukul dengan kekerasan yang mengakibatkan tewasnya banyak prajurit Wura-wuri!" kata Narotama, suaranya menggelegar terdengar oleh seluruh pasukan Wura-wuri.

"Heh, Ki Patih Narotama, kalian tidak dapat menggertak kami! Ketahuilah bahwa puteramu Joko Pekik Satyabudhi telah berada di tangan kami! Kalau Andika tetap hendak menyerbu kami, sebelum ada seorang pun prajurit kami tewas, lebih dulu puteramu akan kami bunuh! Maka, kalau Andika sayang kepada puteramu, tariklah mundur pasukan kalian dan jangan memaksa kami untuk membunuh anak kecil itu!"

Mendengar ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya.

"Orang Wura-wuri pengecut! Curang dan licik menculik anak kecil yang tidak tahu apa-apa dijadikan sandera!" Ia membentak marah.

Akan tetapi Ki Patih Narotama memajukan kudanya. "Nyi Dewi Durgakumala...! Perlihatkan dulu puteraku Joko Pekik Satyabudhi, baru kami percaya omonganmu dan akan mempertimbangkan permintaanmu!"

"Tidak perlu kami perlihatkan! Pendeknya, Joko Pekik Satyabudhi berada di tangan kami dan kalau pasukanmu maju, kami akan lebih dulu membunuh anak itu!" teriak Nyi Dewi Durgakumala.

Ki Patih Narotama masih ragu. Dia melihat bahwa putranya itu berada di tangan Lasmini di Parang Siluman. Bagaimana mungkin berada di Wura-wuri? Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar teriakan lantang.

"Gusti Patih, jangan percaya omongannyal Ia bohong, putera Paduka tidak berada di Istana Wura-wuri!"

Tiba-tiba dari atas tembok benteng Wura-wuri tampak bayangan orang berkelebat dan Nurseta telah melayang turun dan kini berada di dekat Ki Patih Narotama.

"Nurseta...!" Seruan ini keluar dari mulut Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi.

"Hamba sudah melakukan penyelidikan ke dalam istana dan memaksa para dayang istana dan memang putera Paduka tidak berada di sana. Nyi Dewi Durgakumala berbohong!"

Ki Patih Narotama melompat turun dari atas punggung kudanya. "Nyi Dewi Durgakumala, atas nama Sang Prabu Erlangga, Raja Kahuripan, kami perintahkan kalian para pemimpin Wura-wuri untuk menyerah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan mengorbankan nyawa banyak prajurit!".

Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan muncullah dua orang yang serupa segala-galanya, wajahnya, bentuk tubuhnya, pakaiannya! Mereka adalah datuk kembar dari Blambangan itu.

"Ha-ha-ha, inikah yang bernama Ki Patih Narotama yang kabarnya sombong sekali, dari orang gunung nang-nung, orang desa klutuk di Bali-dwipa, sekarang mendapat kedudukan patih menjadi besar kepala?" kata Menak Gambir Anom.

"Heh-heh...! Ingin tahu aku sampai di mana kemampuannya. Apakah kesaktiannya sebesar nama dan kesombongannya? Hei, Narotama, sebelum pasukan kita saling bertempur, beranikah kau melawan kami, Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit, datuk kembar dari Blambangan?" kata Menak Gambir Sawit.

Ki Patih Narotama pernah mendengar nama besar Datuk Kembar Blambangan ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi tentu saja dia tidak gentar sedikit pun. Apa lagi ketika itu, dia menjadi pemimpin barisan Kahuripan. Pantang untuk takut atau mundur.

"Majulah Pantang bagi Narotama menghindari tantangan musuh dalam perang!" katanya dengan tegas namun tetap tenang dan waspada.

Dua datuk kembar itu lalu menggerak-gerakkan kedua lengan bersilang dan kedua lengannya itu menggetar dan perlahan-lahan kedua lengan mereka berubah menghitam! Mereka mulai mengerahkan Aji Hasta Langking (Tangan Hitam) dan setelah kedua lengan tangan itu menghitam, maka pukulan atau tamparan tangan itu mengandung bisa yang amat ampuh dan jahat. Kalau pukulan tangan itu mengenai badan lawan, maka bagian badan yang terpukul itu dapat menjadi hitam dan membusuk! Setelah kedua lengan mereka menjadi hitam legam, keduanya lalu menyerang sambil berteriak nyaring.

"Hooooohhh...!"

"Haaaaahhh...!"

Tangan-tangan hitam itu menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Narotama. Akan tetapi Narotama menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Terkadang dia menangkis dengan lengannya yang kebal terhadap segala hawa beracun, dan membalas serangan kedua orang pengeroyoknya. Terjadilah pertempuran yang amat seru. Kalau dua orang itu maju satu demi satu, mereka bukanlah lawan Ki Patih Narotama. Akan tetapi kini mereka maju berdua dan tentu saja mereka menjadi kuat sekali sehingga dapat mengimbangi kesaktian Ki Patih Narotama.

Melihat dua orang datuk kembar itu sudah bertanding melawan Ki Patih Narotama, dan patih itu dikeroyok dua, Nurseta tidak merasa senang. Sungguh curang orang-orang Wura-wuri, bertanding dengan cara mengeroyok.

Seperti telah diketahui, Nurseta meninggalkan Puncak Gunung Kelud setelah mendengar pengakuan Niken Harni bahwa gadis itu memang ingin menjadi murid Nini Bumigarbo dan bukannya menjadi tawanan nenek itu. Di tengah perjalanan dia mendengar akan perang yang terjadi ketika Empat Kerajaan menyerbu Kahuripan dan dipukul mundur oleh Pasukan Kahuripan. Dia mendengar pula bahwa sebuah pusaka Keraton Kahuripan dicuri musuh, bahkan putera Ki Patih Narotama juga diculik pihak musuh.

Mendengar ini Nurseta menjadi marah sekali. Alangkah curangnya mereka yang memusuhi Kahuripan. Karena di antara Empat Kerajaan musuh itu yang terdekat adalah Wura-wuri, maka dia langsung pergi ke Wura-wuri. Di sini dia melakukan penyelidikan sampai berhasil menyusup ke dalam istana untuk mencari putera Ki Patih Narotama. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan anak itu dan menurut keterangan para dayang keraton anak itu memang tidak berada di istana Wura-wuri.

Kebetulan sekali pada saat itu, pasukan Kahuripan datang. Nurseta menyaksikan kesibukan dan kegemparan dalam kota raja, dan ketika dia menyelinap dan membaur dengan para prajurit, dia mendengar percakapan antara Ki Patih Narotama dengan Nyi Dewi Durgakumala, maka dia langsung melompat keluar dan menggabungkan diri dengan Pasukan Kahuripan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar