Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 30

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Terjadilah pertempuran yang hebat. Dengan keris pusaka Megantoro di tangan, Ki Patih Narotama menghadapi pengeroyokan enam orang sakti itu. Adipati Bhismaprabhawa bersenjatakan sebatang klewang bergagang emas, Dewi Durgakumala menggunakan sebatang pedang, Kala Muka memegang sebatang keris, Kala Manik sebatang klewang, Kala Tejo sebatang ruyung dan Ki Gandarwo bersenjatakan pedang.

Enam orang itu bagaikan enam ekor srigala mengeroyok dan menyerang seekor harimau. Terjadilah perkelahian mati-matian dan Ki Patih Narotama harus mengeluarkan semua ilmu dan mengerahkan semua tenaga untuk melawan enam orang pengeroyok yang tangguh itu. Akan tetapi pasukannya yang berjumlah selaksa orang sudah bertempur melawan selaksa orang prajurit Wura-wuri. Perang campuh yang hebat terjadi, sama seru dan ramainya seperti pasukan yang bertempur di bagian depan kota raja.

Lima ribu orang prajurit dalam Pasukan Parang Siluman yang dipimpin Ratu Durgakumala, disambut pasukan Kahuripan yang dipimpin Puspa Dewi! Karena Bhagawan Kundolomuka yang memimpin Pasukan Siluman membantu penyerangan dari depan, maka kini yang membantu Ratu Durgamala adalah Lasmini, Mandari, dan Ki Nagakumala. Sungguh merupakan pimpinan yang amat kuat. Akan tetapi Puspa Dewi yang didampingi ayahnya, Senopati Yudajaya, tidak gentar dan dengan tenang saja la menyambut lawan-lawan yang amat tangguh itu.

Mereka berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata mencorong. Terutama sekali Mandari dan Lasmini. Mereka memandang wajah Puspa Dewi dengan penuh kebencian karena gadis itu merupakan satu di antara penyebab penting gagalnya usaha mereka dahulu untuk menjatuhkan Kahuripan.

"Perempuan rendah Pengkhianat, tidak malu engkau memperlihatkan mukamu kepada kami?" bentak Mandarl sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Puspa Dewi.

"Puspa Dewi bocah desa melarat. Engkau sudah dimuliakan, diangkat derajatmu menjadi Sekar Kedaton di Wura-wuri, akan tetapi malah mengkhianati kami! Sekarang sudah saatnya engkau menerima hukuman, kupenggal batang lehermu, kurobek dadamu dan kucabut keluar jantungmu!" Lasmini juga memaki-maki marah.

Setelah menerima penggemblengan selama tiga bulan dari Maha Resi Satyadharma, Puspa Dewi telah mampu menjinakkan hatinya dan mampu mengendalikan perasaannya sehingga dihina seperti itu, ia tersenyum saja dan tidak menjadi marah.

"Lasmini dan Mandari, bukan aku yang berkhianat karena aku memang kawula Kahuripan yang sudah sepatutnya membela, apa lagi karena Gusti Sinuwun Erlangga dan Gusti Patih Narotama memang merupakan manusi-manusia arif bijaksana yang sudah semestinya kubela. Sebaliknya kamu berdua yang berkhianat dan tidak tahu malu. Sudah mau menyerahkan diri menjadi selir Sang Prabu dan Ki Patih, ternyata itu hanya siasat untuk melakukan pemberontakan."

"Keparat, mampuslah!" Lasmini sudah menerjang dengan marah sekali, menghujamkan kerisnya ke arah dada Puspa Dewi. Akan tetapi dengan tenang Puspa Dewi menggeser kaki mengelak ke belakang sambil mencabut pedangnya. Sinar hitam tampak ketika Pedang Gandrasa Langking tercabut.

Mandari, Ratu Durgamala, dan Ki Nagakumala juga berlompatan ke depan untuk mengeroyok. Akan tetapi Ki Yudajaya sudah memberi aba-aba kepada para perwira pembantu untuk maju membantu Puspa Dewi. Terjadilah pertempuran hebat. Puspa Dewi dikeroyok tiga oleh Lasmini, Mandari, dan Ki Nagakumala. Ia harus mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menandingi tiga orang lawan yang teramat tangguh itu.

Ratu Durgamala sendiri dihadapi oleh Senopati Yudajaya yang dibantu oleh tiga orang perwira. Akan tetapi, biarpun para pimpinan pasukan ini agak kewalahan menghadapi lawan-lawan yang sakti, sebaliknya pasukan Parang Siluman yang hanya lima ribu orang jumlahnya itu, menjadi kewalahan melawan sepuluh ribu orang prajurit Kahuripan. Dengan sendirinya tiga orang yang mengeroyok Puspa Dewi terkadang harus memecah perhatiannya dan terpaksa seringkali meninggalkan Puspa Dewi untuk membantu anak buah yang terdesak oleh pasukan Kahuripan yang jumlahnya dua kali lipat itu.

Hal ini tentu saja meringankan Puspa Dewi yang kewalahan juga dikeroyok tiga orang sakti itu. Terutama Ki Nagakumala merupakan lawan yang amat tangguh. Kalau kakek ini maju seorang diri, tentu saja tidak sukar bagi Puspa Dewi untuk mengalahkannya. Namun dua orang kakak beradik Lasmini dan Mandarl itu pun memiliki tingkat kepandaian yang sudah hampir mencapai tingkat guru atau paman mereka, yaitu Ki Nagakumala.

Pasukan Kerajaan Siluman Laut Kidul yang dipimpin sendiri oleh Ratu Mayang Gupita, raseksi yang menyeramkan dan sakti, dibantu Bhagawan Kalamisani paman gurunya, dan dua orang adik seperguruannya yaitu Nagarodra dan Nagajaya, menyerang dari belakang dengan lima ribu orang prajuritnya. Mereka disambut sepuluh ribu orang prajurit Kahuripan yang dipimpin oleh Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, dan Tumenggung Jayatanu, dibantu pula oleh beberapa orang perwira tinggi. Biarpun pasukan ini yang jumlahnya dua kali lipat jumlah pasukan penyerbu dapat menekan pasukan musuh, namun para pimpinan mereka kewalahan menghadapi empat orang yang sakti mandraguna dari Siluman Laut Kidul itu.

Sampai tengah hari pertempuran masih berjalan seru. Kedua pihak sudah kehilangan banyak prajurit yang tewas atau terluka. Namun pihak penyerang tidak mau menghentikan serbuan mereka, tidak mau mundur karena mereka tahu bahwa kalau sekali ini penyerbuan mereka gagal, akan sulitlah untuk melakukan penyerangan lagi. Maka mereka terus mendesak dan para pimpinan memberi aba-aba agar pasukan mereka maju terus..!

Sang Prabu Erlangga prihatin melihat banyaknya prajurit yang tewas, baik prajurit Kahuripan mau pun para prajurit pihak musuh. Sedih hatinya melihat Kahuripan banjir darah dan menjadi tempat pembantaian antar manusia. Hal ini membuat dia marah kepada para pimpinan empat kerajaan itu. Kemarahan ini membangkitkan Aji Triwikrama yang dikuasainya. Aji Triwikrama adalah aji kesaktian dari Sang Hyang Wisnu.

Sang Prabu Erlangga melangkah tiga kali menjejakkan kaki dan tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi Kahuripan! Enam orang pengeroyoknya, Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, Warok Surogeni, Wirobento dan Wirobandrek terkejut setengah mati dan mata mereka terbelalak melihat betapa lawan mereka itu tiba-tiba tampak membesar seperti sebatang pohon Waringin! Enam orang yang sakti ini terkejut, namun mereka masih nekat.

"Ini hanya ilmu sihir Serang!" bentak Warok Surogeni kepada dua orang warok lain, yaitu Wirobento dan Wlrobandrek. Tiga orang warok ini lalu menerjang maju, menggerakkan senjata mereka menyerang raksasa itu.

"Wuut-wuut-wuut... blaarrrr...!"


Sang Prabu Erlangga mengibaskan tangannya dan tiga orang itu terlempar jauh dan terbanting keras tanpa dapat bangun kembali karena mereka telah tewas. Serangan mereka tadi dihantam kekuatan yang luar biasa sehingga membalik dan mengenai tubuh mereka sendiri sehingga mereka tewas seketika.

"Bapa...!" Dewi Mayangsari berlari menubruk tubuh ayahnya, akan tetapi Warok Surogeni sudah tewas.

Permaisuri itu sambil menangis memondong jenazah ayahnya dan menghilang di antara para prajuritnya. Adipati Linggawijaya juga cepat menyelinap ketakutan bersembunyi di antara para prajuritnya yang sudah terdesak hebat oleh pasukan lawan yang kini mendapat hati dan semakin bersemangat Itu. Otomatis para perwira pembantunya juga jerih dan memberi aba-aba kepada pasukan Wengker untuk mundur meninggalkan kawan-kawannya yang tewas dan yang terluka.

Ketika mendapat laporan bahwa pasukan bagian belakang yang dipimpin tiga orang senopati kewalahan menghadapi sepak terjang para pimpinan pasukan Siluman Laut Kidul, Sang Prabu Erlangga menyerahkan pimpinan kepada para perwira pembantu dan dia sendiri berlari menuju ke pertempuran di bagian belakang.

Dilihatnya betapa pasukan Kahuripan yang dua kali lipat lebih banyak jumlahnya itu dapat menekan dan mendesak pasukan Siluman Laut Kidul, akan tetapi Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, dan Tumenggung Jayatanu terdesak hebat sekali. Bahkan ketika Sang Prabu Erlangga tiba di tengah pertempuran itu, dia melihat tubuh Senopati Sindukerta dan tubuh Tumenggung Jayatanu sudah menderita luka-luka dan berlepotan darah.

Akan tetapi dengan gagah perkasa, dua orang senopati yang sudah tua ini terus melakukan perlawanan! Melihat Ini, Sang Prabu Erlangga terkejut dan marah. Tubuhnya melompat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak-gerak menyerang, hawa pukulan yang dahsyat sekali seperti badai menerjang pihak musuh.

"Wuuuutttt... wessss... plak-plak...!"

Tubuh Ratu Mayang Gupita yang tinggi besar itu terlempar ke belakang. Juga tubuh Bhagawan Kalamisani terlempar. Akan tetapi mereka berdua yang terbanting jatuh itu lalu bergulingan dan dapat berlompatan bangun, wajah mereka pucat dan mata mereka terbelalak. Mereka gentar sekali dan cepat menyelinap di antara para prajurit dan memberi aba-aba untuk mundur. Adapun tubuh Nagarodra dan Nagajaya terpelanting roboh dan tewas karena tenaga serangan mereka membalik dan memukul diri sendiri.

Akan tetapi, walau pun pertempuran di bagian belakang ini juga dimenangkan pasukan Kahuripan dan pihak musuh melarikan diri, namun Kahuripan kehilangan dua orang senopatinya yang sudah tua dan setia, yaitu Senopati Sindukerta dan Tumenggung Jayatanu!

Sementara itu, Narotama yang dibantu beberapa orang perwira juga mendesak lawan. Biarpun dia dikeroyok enam orang pimpinan pasukan Wura-wuri yang rata-rata sakti, namun Ki Patih Narotama yang mengamuk seperti banteng terluka karena teringat akan puteranya yang diculik musuh, akhirnya dapat merobohkan Tri Kala, yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kala Teja. Melihat sepak terjang Ki Patih Narotama yang dahsyat itu, Dewi Durgakumala memberi tanda kepada suaminya, yaitu Adipati Bhismaprabhawa, untuk mundur.

Sang Adipati, Dewi Durgakumala, dan Ki Gandarwo lalu melarikan diri, menyusup di antara para prajurit dan mereka juga bergerak mundur bersama sisa pasukan mereka. Ki Patih Narotama juga kehilangan enam orang perwira pembantunya karena mereka tadi mencoba untuk membantunya dan semua tewas di tangan Ratu Mayang Gupita dan Bhagawan Kalamisani.

Sementara itu, Puspa Dewi yang dikeroyok oleh Ki Nagakumala, Lasmini, dan Mandari, terdesak hebat. Tiga orang pengeroyoknya ini memang sakti mandraguna. Seandainya Puspa Dewi belum digembleng Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan, kiranya tidak mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dari tekanan tiga orang pengeroyok itu. Gadis ini sungguh mengagumkan sekali. Selain kepandaiannya mencapai tingkat tinggi, juga ia memiliki semangat dan keberanian yang pantang mundur, la tetap bertahan dan pertahanannya seolah benteng baja yang sulit ditembus tiga orang pengeroyoknya.

Akan tetapi, ayah kandungnya, Senopati Yudajaya, biarpun dibantu oleh beberapa orang perwira, tetap saja terdesak hebat oleh Ratu Durgamala. Tiga orang perwira yang membantunya telah roboh dan tewas, sedangkan dia sendiri sudah terluka pundak kirinya sehingga baju dan kulit pundak terobek dan berdarah. Akan tetapi, perwira-perwira lain berdatangan membantunya sehingga biarpun dihimpit terus oleh Ratu Durgamala, Senopati Yudajaya masih dapat melakukan perlawanan. Apa lagi pasukannya yang dua kali lebih besar dari pasukan Parang Siluman, dapat mendesak terus pihak musuh.

Pada saat yang gawat itu, datang Ki Patih Narotama yang sudah memperoleh kemenangan dlsayap kanan dan datang membantu Senopati Yudajaya. Melihat datangnya Ki Patih Narotama, Ratu Durgamala menjadi terkejut dan gentar. Ia lalu melompat ke belakang memberi isarat kepada Ki Nagakumala, Lasmini, dan Mandari untuk mundur. Tiga orang ini yang belum juga mampu mengalahkan Puspa Dewi, juga merasa jerih melihat munculnya Ki Patih Narotama, apa lagi melihat pasukan mereka mendapat tekanan pihak musuh. Mereka lalu melarikan diri ke dalam pasukan dan memerintahkan Pasukan Parang Siluman untuk mundur dan meninggalkan pertempuran.

Demikianlah, semua pasukan Empat Kerajaan yang dibantu para penguasa daerah yang kecil-kecil, terpukul mundur dan sisa pasukan mereka melarikan diri kembali ke wilayah masing-masing, meninggalkan banyak korban yang tewas, terluka atau tertawan. Kerajaan Wengker kehilangan ayah kandung Dewi Mayangsari, yaitu Warok Surogeni, dan dua orang saudara seperguruannya, Warok Wirobento dan Warok Wirobandrek.

Tiga orang ini tewas dan masih ada belasan orang perwira dan sedikitnya tiga ribu orang prajurit tewas atau tertawan. Kerajaan Wura-wuri juga kehilangan Tri Kala yang tewas, dan hampir empat ribu orang prajurit dan perwira tewas atau tertawan. Kerajaan Parang Siluman kehilangan Bhagawan Kundolomuko, bekas suami Ratu Durgamala dan ayah kandung Lasmini dan Mandari.

Bhagawan Kundolomuko tidak diketahui ke mana perginya, mungkin merasa malu atas kekalahannya dan melarikan diri. Selain itu, juga ada tiga ribu orang prajurit tewas atau tertawan. Sedangkan Kerajaan Siluman Laut Kidul, kematian Nagarodra dan Nagajaya, juga beberapa orang perwira dan tiga ribu prajurit yang tewas atau tertawan.

Akan tetapi, dalam pertempuran mati-matian, perang campuh itu, Kerajaan Kahuripan juga menderita kerugian yang cukup banyak. Tidak kurang dari delapan ribu prajurit tewas dan terluka, juga ada dua puluhan orang lebih perwira tewas. Selain itu, yang membuat para pemimpin berkabung dan berduka adalah tewasnya Senopati Sindukerta dan Tumenggung Jayatanu.

Selain itu, wabah penyakit masih merajalela dan sedang ditanggulangi oleh Empu Kanwa. Kini ditambah lagi mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan dan yang ribuan orang banyaknya, mengurus mereka yang terluka dan membutuhkan perawatan. Pendeknya, biarpun memperoleh kemenangan dalam perang dan berhasil mengusir musuh, namun Kerajaan Kahuripan tetap saja sedang dilanda musibah besar-besaran. Lebih-lebih lagi karena putera Ki Patih Narotama hilang diculik orang dan Pusaka Cupu Manik Maya sebagai lambang kebesaran kerajaan juga hilang dicuri orang.

Para prajurit Kahuripan kini sibuk mengurus para jenazah korban perang, baik kawan mau pun lawan. Juga merawat yang terluka. Memang sikap pengampun ini yang ditekankan Sang Prabu Erlangga kepada mereka yang memusuhinya. Yang tewas dikuburkan sebagaimana mestinya, yang luka dirawat dan yang tertawan dibebaskan kembali sehingga selanjutnya mereka yang diperlakukan dengan baik dan dibebaskan itu tidak mau lagi menjadi anggauta pasukan yang dipergunakan untuk memusuhi Kerajaan Kahuripan.

Di rumah keluarga Senopati Sindukerta semua anggota keluarga berkabung. Ki Dharmaguna dan Endang Sawitri, ayah ibu Nurseta merasa sedih sekali karena Senopati Sindukerta gugur dalam perang tanpa mendapat bantuan putera mereka. Mereka tidak tahu di mana adanya Nurseta sekarang dan merasa menyesal bahwa Nureta tidak membantu ketika Kahuripan diserang musuh sehingga Senopati Sindukerta gugur. Juga keluarga Tumenggung Jayatanu berkabung. Untung luka di pundak yang diderita Senopati Yudajaya tidaklah parah.

Senopati Yudajaya dan dua orang isterinya, Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih bersama Nyi Tumenggung dan semua keluarga, berduka atas gugurnya Tumenggung Jayatanu. Akan tetapi yang paling merasa menyesal adalah Puspa Dewi. Ia merasa menyesal bahwa ia tidak berhasil menemukan adiknya, Niken Harni, dan tidak berhasil pula melindungi kakeknya dalam perang karena mereka berpisah dengan pasukan masing-masing. Kalau mendiang Tumenggung Jayatanu memimpin pasukan bagian belakang bersama mendiang Senopati Sindukerta dan Senopati Wiradana, Puspa Dewi memimpin pasukan di sayap kiri.

Keluarga Senopati Sindukerta dan keluarga Tumenggung Jayatanu saling mengunjungi, saling menyatakan ikut berbelasungkawa, saling menghibur. Biarpun ia merupakan anggota keluarga yang paling muda, tetapi justru Puspa Dewi yang menghibur para anggota kedua keluarga itu! Mereka sedang berkumpul karena keluarga Sindukerta sedang datang berkunjung ke rumah keluarga Jayatanu.

"Saya harap Andika sekalian dapat menerima kenyataan ini dan tidak larut dalam kedukaan. Bagaimana pun juga, kita patut berbangga dan bersukur bahwa Eyang Senopati Sindukerta dan Eyang Tumenggung Jayatanu gugur sebagai satria-satria utama, gugur dalam membela negara, tewas secara gagah perkasa. Kita sepatutnya ingat bahwa bukan eyang berdua saja yang berkorban nyawa dalam membela negara, melainkan ada ribuan orang perwira dan prajurit yang juga gugur sebagai pahlawan bunga bangsa."

Ucapan dara perkasa yang penuh semangat itu banyak menolong dan menghibur hati para keluarga yang merasa kehilangan dan berduka. Dalam kesempatan selagi anggota kedua keluarga itu berkumpul, Puspa Dewi yang teringat akan wejangan Maha Resi Satyadharma tentang kedukaan, lalu berkata dengan hati-hati kepada para orang tua yang hadir.

"Apa yang akan saya katakan ini sama sekali bukan gagasan saya sendiri. Saya hanya mengulang apa yang diwejangkan Eyang Resi Satyadharma kepada saya. Bahwa perasaan yang kita alami saat ini, yaitu duka hanyalah menjadi saudara kembar atau kebalikan dari suka. Suka dan duka tak terpisahkan seperti telapak dan punggung sebuah tangan. Tak pernah muncul bersama di permukaan, namun tak pernah terpisah dan bermunculan secara bergantian dalam kehidupan kita. Seperti tawa dan tangisi tidak pernah muncul berbarengan, namun tak terpisahkan, muncul dari mulut dan sama-sama mengeluarkan air mata. Tidak akan ada duka kalau tidak ada suka, dan sebaliknya. Baik suka mau pun duka terbentuk oleh pikiran yang mengaku-aku sebagai sang AKU. Kalau sang aku dirugikan timbullah duka, kalau diuntungkan timbullah suka. Maka, suka duka bukan timbul karena peristiwa yang terjadi, melainkan bagaimana pikiran menerimanya. Tanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi dan menimpa kita itulah yang menimbulkan suka atau duka. Begitu pikiran tidak bekerja, dalam tidur misalnya, maka rasa suka ataupun duka itu pun lenyap."

"Jagad Dewa Bathara...!" Ki Dharmaguna berkata dan memandang kagum kepada Puspa Dewi. "Wejangan Paman Maha Resi Satyadharma itu sungguh tak dapat disangkal kebenarannya. Apakah itu berarti bahwa kita tidak boleh berduka kalau tertimpa musibah, misalnya kematian orang yang kita kasihi seperti sekarang ini, Puspa Dewi?"

Puspa Dewi tersenyum. "Untung sekali, Paman Dharmaguna, dahulu saya pun bertanya seperti itu kepada Eyang Resi Satyadharma sehingga sekarang saya dapat menjawab pertanyaan Paman itu, sesuai dengan jawaban Eyang Resi waktu itu. Begini, Paman, menurut Eyang Resi, segala macam masalah, segala macam emosi, timbul dari nafsu-nafsu daya rendah yang menguasai pikiran, membentuk sang AKU. Kita manusia tidak mungkin dapat membebaskan diri sendiri dari pengaruh nafsu. Adalah manusiawi kalau kita masih terkadang merasa bersuka atau berduka. Kita tidak mungkin mematikan nafsu. Akan tetapi kalau kita sudah mengerti bahwa suka dan duka hanya permainan sang AKU dalam pikiran, maka kita tidak terlalu tenggelam dalam suka mau pun duka. Kita tidak menjadi budak permainan segala nafsu daya rendah yang berada dalam diri kita sendiri."

"Wah, Puspa Dewi, kata-katamu mengingatkan aku akan ucapan anakku Nurseta. Pernah dia bicara senada dengan apa yang kau katakan tadi dan dia menekankan bahwa dalam segala keadaan, baik keadaan itu menguntungkan atau merugikan, menyenangkan atau menyusahkan, kita sepatutnya bersyukur kepada Sang Hyang Widhi dan senantiasa mendasari semua perbuatan kita dengan penyerahan diri kepadaNya. Karena, menurut dia, hanya Sang Hyang Widhi yang mampu menundukkan nafsu-nafsu kita sehingga menjadi alat dan hamba kita, bukan memperalat dan memperhamba kita."

Puspa Dewi tersenyum dan mengangguk. "Saya mengenal... Kakangmas Nurseta, Bibi Endang Sawitri, dan saya tahu bahwa dia memang seorang sakti mandraguna yang bijaksana."

Dengan adanya percakapan seperti itu, dua keluarga itu merasa terhibur dan tidak membiarkan diri terlalu disiksa perasaan sendiri karena kematian Senopati Sindukerta dan Tumenggung Jayatanu…..

********************

Sang Prabu Erlangga merasa prihatin sekali. Hatinya sedih melihat demikian banyaknya manusia terbantai, tewas dalam perang campuh itu. Dia bukan hanya menyedihi kematian banyak prajuritnya, melainkan juga kematian para prajurit kerajaan-kerajaan yang memusuhi Kahuripan dan melakukan penyerangan.!

Empu Kanwa yang dibantu Empu Bharada dapat mengurangi jumlah korban wabah penyakit dan berhasil menyingkirkan wabah itu. Akan tetapi wajah Sang Prabu Erlangga masih murung ketika dia mengadakan persidangan dengan para pembantunya. Yang hadir dalam persidangan itu adalah Ki Patih Narotama yang juga berwajah muram, Empu Bharada, Empu Kanwa, Senopati Wiradana, beberapa orang perwira tinggi dan tidak ketinggalan Bancak dan Doyok, dua orang abdi kinasih (hamba tersayang) Sang Prabu Erlangga.

Setelah mendengar laporan lengkap tentang keadaan kota raja sehabis perang, Sang Prabu Erlangga lalu minta nasehat Empu Bharada yang dianggap sebagai pinisepuh (tua-tua) dan penasehat, apa yang sebaiknya harus dilakukan pemerintahannya.

"Paman Empu, kami sungguh merasa ragu apa yang harus kita lakukan terhadap empat kerajaan yang selalu memusuhi kita, bahkan telah memusuhi nenek moyang kita sejak jaman Mataram dahulu."

"Puteranda Kanjeng Sinuwun, sebetulnya sudah berulang-ulang Paduka melakukan pendekatan dalam usaha untuk mengajak mereka hidup damai, bahkan Paduka sudah bertindak demikian jauh bersama Ki Patih Narotama mengawini puteri-puteri Wura-wuri. Akan tetapi semua itu gagal karena memang pada dasarnya mereka itu menaruh dendam kebencian kepada Paduka dan Kerajaan Kahuripan. Sudah beberapa kali mereka menggunakan kekerasan untuk menyerang dan membasmi Kahuripan, baik sendiri-sendiri mau pun bergabung dengan pemberontak seperti yang dilakukan mereka beberapa tahun yang lalu. Berkali-kali mereka dipukul mundur, akan tetapi mereka bahkan semakin nekat dan yang terakhir ini mereka bergabung dan menyerang sehingga biarpun mereka berhasil dipukul mundur, namun perang itu menewaskan ribuan orang manusia. Kalau dibiarkan lebih lanjut, saya kira mereka tidak akan pernah merasa jera dan kalau mereka sudah dapat menyusun kembali kekuatan mereka, tentu mereka akan melakukan kekacauan dan penyerangan lagi. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya Paduka bertindak, Sinuwun. Selagi mereka masih rapuh karena kekalahan mereka, sebelum mereka dapat bersatu kembali, Paduka kirim bala tentara untuk menyerang dan menundukan mereka satu demi satu. Mereka sedang dalam keadaan lemah, tentu tidak dapat melawan dengan gigih sehingga Paduka dapat menaklukkan mereka satu demi satu tanpa harus banyak menjatuhkan korban. Kalau mereka sudah ditundukkan dan ditaklukkan, tentu keadaan menjadi aman dan tidak akan terjadi bentrokan lagi. Demikianlah, Sinuwun, yang dapat saya usulkan."

"Terima kasih, Paman Empu Bharada. Bagaimana pendapat Andika sekalian, para senopati dan perwira?"

Para senopati dan perwira mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka dan Senopati Wiradana yang tertua di antara para panglima, mewakili mereka dan berkata, "Usul itu sungguh tepat dan baik sekali, Gusti Sinuwun. Hamba kira kami semua menyetujui karena hal itu merupakan jalan terbaik."

Melihat Ki Patih Narotama hanya menundukkan muka dan diam saja, Sang Prabu Erlangga bertanya, "Bagaimana menurut pendapatmu, Kakang Patih Narotama?"

Narotama mengangkat mukanya yang agak pucat dan muram karena selama beberapa malam ini dia tidak dapat tidur.

"Gusti Sinuwun, apa yang diusulkan Paman Empu Bharada sungguh baik dan tepat sekali, akan tetapi kalau sekiranya Paduka mengijinkan, hamba mohon agar penyerangan ditunda beberapa hari lamanya untuk memberi kesempatan kepada hamba mencari dan menyelamatkan anak hamba Joko Pekik Satiabudhi. Kalau sekarang Paduka mengerahkan pasukan menyerang, hamba khawatir mereka akan membunuh Joko Pekik."

Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang dan mengerutkan alisnya, "Aduh, maafkan kami, Kakang Patih! Kami terlalu prihatin melihat keadaan negara sehingga sampai lupa akan penderitaan kehilangan puteramu Joko Pekik Satyabudhi. Tentu saja, Kakang Patih, tentu saja kami akan menunda penyerangan itu dan memberi kesempatan kepada Andika untuk menemukan kembali Joko Pekik!"

"Beribu terima kasih hamba haturkan kepada Paduka, Gusti, dan mohon beribu ampun bahwa hamba seolah lebih mementingkan urusan pribadi daripada urusan negara."

"Ah, tidak, Kakang. Andika tidak salah. Memang seharusnya Joko Pekik diselamatkan lebih dulu, baru kita mengadakan serangan dan gerakan pembersihan agar mereka tidak mengganggu kita lagi."

"Terima kasih Gusti... Hamba akan mencari Joko Pekik dan juga akan menyelidiki siapa yang telah mencuri Pusaka Cupu Manik Maya. Hamba mohon ijin berangkat hari ini juga, Gusti."

"Baiklah, Kakang Patih. Berangkatlah dan doaku mengikutimu. Yang penting selamatkan dulu Joko Pekik. Soal Cupu Manik Maya dapat dicari kemudian."

Ki Patih Narotama memberi hormat dan pamit pula pada para senopati yang hadir di situ, mohon doa restu dari Empu Bharada dan Empu Kanwa. Kemudian dia meninggalkan istana. Diantar tangis Listyarini yang merasa amat gelisah memikirkan puteranya yang hilang diculik orang, Ki Patih Narotama berangkat meninggalkan Kahuripan.

Seperti biasa, kalau sedang melakukan perjalanan, apa lagi untuk urusan pribadi, Narotama lebih suka berpakaian seperti seorang penduduk biasa. Dia menunggang seekor kuda lalu membalapkan kudanya, langsung saja dia menuju ke Kerajaan Parang Siluman karena dia menduga bahwa puteranya pasti diculik oleh Lasmini, atau setidaknya Lasmini berada di belakang peristiwa penculikan itu.

Yang masih membesarkan hatinya adalah bahwa puteranya itu hilang diculik. Itu berarti bahwa Joko Pekik tidak dibunuh dan masih hidup. Kalau Si Penculik ingin membunuhnya, tentu sudah dilakukannya malam itu. Untuk apa susah-susah menculiknya kalau hanya untuk dibunuh? Dugaan ini membesarkan hatinya dan menimbukan keyakinan bahwa puteranya itu tentu masih hidup!

Dengan melakukan perjalanan cepat siang malam, hanya berhenti kalau kudanya sudah terlalu lelah, pada suatu hari Ki Patih Narotama telah tiba ditapal batas Kerajaan Parang Siluman. Sudah beberapa kali dia berkunjung ke tempat tinggal Lasmini, bekas selirnya tercinta itu, maka dia sudah hafal dan mengenal jalan. Setelah tiba di tapal batas, dia langsung saja menuju ke kota Kadipaten.

Penduduk Parang Siluman yang bertemu dengan Narotama di tengah jalan sama sekali tidak mempedulikannya karena mereka tidak mengenalnya dan menganggap dia seorang penduduk biasa. Rakyat Parang Siluman hanya mengenal nama Ki Patih Narotama, jarang ada yang pernah melihat orangnya. Akan tetapi, begitu ada prajurit melihat dan mengenalnya, berita tentang munculnya Ki Patih Narotama di Parang Siluman tersiar luas dan tentu saja menimbulkan kegemparan.

Tidak ada prajurit berani menghadang atau mengganggunya. Ketika berita itu memasuki istana Parang Siluman, Ratu Durgamala segera mengadakan perundingan dengan kedua orang puterinya, Lasmini dan Mandari, dihadiri pula oleh Ki Nagakumala dan beberapa orang senopati Parang Siluman.

Sang Ratu Durgamala yang masih merasa berduka dan marah karena kegagalan usaha gabungan empat kerajaan untuk menjatuhkan Kahuripan, bahkan Parang Siluman kehilangan Bhagawan Kundolomuko, bekas suaminya yang merupakan orang andalan di Parang Siluman, dan kehilangan ribuan orang prajurit, ketika mendengar berita bahwa Ki Patih Narotama datang seorang diri di Parang Siluman, lalu berkata dengan muka merah dan kedua tangan terkepal.

"Kita kerahkan seluruh tenaga dan bunuh Si Keparat Narotama itu! Kita kepung dia, jangan sampai lolos! Mustahil dia akan mampu mengalahkan pengeroyokan ribuan orang prajurit!"

"Nanti dulu, Kanjeng ibu!" kata Lasmini. "Saya mempunyai gagasan yang lebih baik. Ki Patih Narotama adalah seorang yang sakti mandraguna. Kalau kita menggunakan kekerasan, mungkin dia akan dapat dibunuh, akan tetapi tentu akan banyak sekali orang kita yang terbunuh oleh amukannya. Pula, kalau dia mati, apa gunanya bagi kita? Kahuripan akan tetap berdiri kokoh."

"Wah, Mbakayu Lasmini agaknya masih cinta dan sayang kepada Ki Patih Narotama maka hendak menghalangi kalau dia dibunuh!" kata Mandari.

"Hemm,... dia memang seorang pria yang patut digandrungi setiap orang wanita. Akan tetapi bukan itu maksudku. Daripada mengeroyok dan membunuhnya dengan mengorbankan banyak orang kita, lebih baik kita manfaatkan Ki Patih Narotama untuk menjamin keselamatan Parang Siluman."

"Menjamin keselamatan kita? Apa maksudmu, Lasmini?" tanya Ratu Durgakumala.

"Begini, Kanjeng Ibu. Seperti sudah saya ceritakan, saya dan bibi Dewi Durgakumala berhasil menculik putera Ki patih Narotarna, yaitu Joko Pekik Satyabudhi yang kini dibawa ke Wura-wuri oleh Kanjeng Bibi Durgakumala. Tadinya saya hendak membunuh anak itu, akan tetapi Kanjeng Bibi Dewi Durgakumala melarang dan mengatakan bahwa lebih baik anak itu dijadikan sandera, dan anak itu lalu dibawanya ke Wura-wuri. Sekarang, siasatnya itu benar dan dapat kita pergunakan untuk menundukkan Ki Patih Narotama.

"Bagaimana siasat itu?" Ratu Durgamala bertanya tertarik.

"Ki Patih Narotarna datang seorang diri ke sini tentu ada hubungannya dengar kehilangan puteranya. Mungkin dia dapat menduga bahwa saya yang menculik Joko Pekik Satyabudhi, maka dia datang kesini untuk minta kembali puteranya. Nah kalau dia datang, saya akan mengancam untuk membunuh Joko Pekik kalau dia membuat ulah. Saya akan memaksa dia berjanji untuk melindungi Parang Siluman dari serangan Kahuripan dengan imbalan puteranya tidak akan kita bunuh dan kelak kita kembalikan kepadanya. Nah bukankah gagasan ini jauh lebih menguntungkan daripada membunuhnya dan kita kehilangan banyak sekali prajurit, bahkan ada bahayanya dia akan dapat meloloskan diri? Ingat, Kanjeng Ibu, Ki Patih Narotarna itu sakti mandraguna dan memiliki Aji Panglimunan yang membuat dia mudah meloloskan diri."

Semua orang tertegun mendengar gagasan yang dikemukakan Lasmini itu. Mereka tahu bahwa Aji Panglimunan membuat orang dapat menghilang dan mudah untuk melarikan diri. Kalau Bhagawan Kundolomuko masih ada, mungkin pendeta itu dapat membuyarkan Aji Panglimunan itu. Akan tetapi dia sudah tidak ada dan kalau benar Ki Patih Narotarna mempergunakan ajian itu, akan sulitlah bagi mereka untuk dapat menangkapnya atau membunuhnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar