Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 29

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Terlalu enak kalau dibunuh," bisiknya, "Lebih baik kita culik, kelak dapat kita jadikan sandera untuk memaksa Narotama menyerah!"

Lasmini tersenyum dan mengangguk, la menyimpan kembali sabuknya dililitkan di pinggang. Kemudian ia menggerakkan tangannya ke arah dua orang wanita pelayan itu yang tewas seketika tanpa sempat berteriak. Kemudian, ia membungkuk dan menepuk ke arah punggung Joko Pekik, membuat anak yang sedang tidur itu pingsan lalu memondongnya. Keduanya melangkah keluar dari gedung kepatihan tanpa menimbulkan suara. Hati Lasmini kecewa karena tidak menemukah Listyarini di kamarnya sehingga ia tidak mampu membunuh bekas madu yang dibencinya itu.

Kalau Listyarini tidur bersama Ki Patih Narotama, tidak mungkin ia dapat atau berani mengganggunya. Setelah tiba di luar gedung yang penuh mayat para prajurit itu, Lasmini dan Nyi Dewi Durgakumala lalu mulai melakukan pembakaran-pembakaran di sudut-sudut gedung. Kota raja Kahuripan geger ketika terdengar bentakan-bentakan mengguntur. Itulah lengkingan-lengkingan yang dilakukan oleh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!

Dua orang sakti itu terkejut dan terbangun ketika terjadi kebakaran. Mereka berdua segera merasakan adanya getaran asing yang amat kuat dan tahulah mereka bahwa ada kekuatan sihir menyerbu istana kediaman mereka. Keduanya keluar dari kamar dan melihat para pelayan dan prajurit pengawal berserakan, tewas dalam keadaan mengerikan.

Tentu saja mereka terkejut dan cepat berkelebat keluar. Setelah berada di luar dan mendapatkan seluruh kota raja dalam keadaan sepi, semua tersirep oleh hawa panyirepan yang kuat, dan melihat api mulai membakar sebagian tempat kediaman mereka, raja dan patih yang sakti mandraguna ini lalu mengerahkan kekuatan batin mereka mengeluarkan bentakan-bentakan melengking. Suara mereka yang amat berpengaruh mengandung tenaga sakti itu membobolkan dan membuyarkan semua pengaruh Aji Panyirepan yang dikerahkan para penyerang dari musuh yang menyerbu.

Seketika pengaruh sihir itu hilang bagaikan awan tertiup angin. Bahkan bentakan-bentakan membuat semua orang, termasuk para prajurit, yang tadinya tertidur karena sihir, kini tersentak bangun. Tentu saja mereka segera berlarian keluar. Para perwira segera mengerahkan para prajurit untuk menanggulangi kekacauan yang terjadi karena kebakaran-kebakaran pada istana raja dan gedung kepatihan. Juga sebagian lagi dengan keadaan masih kacau menyambut penyerbuan ratusan orang prajurit yang berpakaian serba putih itu.

Inilah para prajurit yang membentuk Pasukan Siluman yang dipimpin oleh Bhagawan Kundolomuka. Pasukan ini diperkuat ilmu hitam yang bersumber pada kekuasaan gelap atau iblis sehingga sepak terjangnya menggiriskan. Bersama mereka muncul binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, kelabang, kelelawar dan sebagainya. Para prajurit Kahuripan tentu saja ngeri melihat ini dan banyak di antara mereka roboh oleh serbuan beberapa ratus prajurit Pasukan Siluman itu.

Akan tetapi, Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama turun tangan. Selain menyadarkan mereka yang terbius Aji Panyirepan, dua orang priya agung yang sakti ini memunahkan semua daya sihir yang menyerang para prajurit. Daya sihir Aji Panyirepan itu memang luar biasa kuatnya karena dikerahkan banyak tokoh sesat, bahkan diperkuat pula oleh Aji Panyirepan yang dilepas Dibya Krendasakti secara kebetulan berbareng dengan penyerangan persekutuan yang memusuhi Kahuripan.

Bukan hanya para prajurit dan perwira saja yang tidak tahan dan terbius, bahkan para senopati yang cukup sakti dari Kerajaan Kahuripan tidak dapat menolaknya dan ikut pula jatuh pulas. Di antara mereka itu termasuk Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, Tumenggung Jayatanu, Senopati Muda Yudajaya dan lain-lain. Mereka semua ikut jatuh pulas dan baru mereka terbangun ketika Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama berhasil membuyarkan semua daya panyirepan yang ampuh itu. Setelah terbangun dan berlari keluar, para senopati itu segera memimpin pasukan untuk menyambut serangan ratusan orang prajurit musuh yang berpakaian serba putih itu.

Karena maksud penyergapan malam itu hanya untuk mengadakan kekacauan dan usaha mereka berhasil baik, maka pimpinan Pasukan Siluman lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk meninggalkan kota raja. Bhagawan Kundolomuka dan para tokoh sakti lain tahu benar bahwa setelah kini Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama bersama para senopati keluar, keadaan mereka sebaliknya terancam bahaya.

Maka mereka cepat kabur meninggalkan kota raja yang masih berada dalam keadaan panik dan bingung karena jatuhnya banyak korban. Apa lagi karena musuh meninggalkan santet dan tenung yang menimbulkan wabah penyakit yang menular menggerayangi banyak korban, munculnya penyakit yang aneh dan berbahaya.

Setelah musuh melarikan diri, para senopati mengadakan pemeriksaan dan perhitungan. Mereka terkejut sekali dan segera melaporkan keadaan yang mereka temukan kepada Sang Prabu Erlangga. Juga Ki Patih Narotama merasa batinnya tertusuk ketika melihat semua penderitaan dan kerugian yang menimpa Kahuripan, terutama sekali hilangnya puteranya yang terculik. Dia melaporkannya kepada Sang Prabu Erlangga yang juga merasa terpukul. Setelah, dilakukan penelitian, maka kerugian mereka cukup hebat.

Pertama, Joko Pekik Satyabudhi, putera Ki Patih Narotama hilang diculik orang. Kedua, pusaka istana Cupu Manik Maya hilang pula dicuri orang. Ke tiga, biarpun hanya sedikit, namun ada bagian Istana Sang Prabu Erlangga dan Gedung Kepatihan terbakar. Keempat, tidak kurang dari seratus orang prajurit dan belasan orang pelayan di kedua istana itu terbunuh. Dan ke lima, Kahuripan mulai diserang wabah penyakit yang menewaskan banyak rakyat.

Pada pagi hari itu juga Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama segera mengadakan persidangan dan memanggil semua senopati dan perwira tinggi. Wajah raja dan patih itu tampak agak muram, tanda bahwa mereka merasa prihatin sekali.

Sesudah Sang Prabu menerima laporan lengkap mengenai kerugian yang diderita akibat serangan tadi malam, dia lalu memerintahkan para senopati untuk melakukan penjagaan yang ketat karena agaknya kerajaan-kerajaan kecil yang memusuhi Kahuripan kini sudah mulai melakukan kegiatan mereka memusuhi Kahuripan lagi.

"Mereka sungguh tidak tahu diri," kata Sang Prabu Erlangga. "Selama ini kami bersikap lunak, memaafkan semua kejahatan mereka yang lalu, bahkan menjulurkan tangan mengajak hidup damai untuk menyejahterakan rakyat masing-masing. Ternyata mereka kembali mengacau dan mungkin mereka yang telah bersekutu itu akan mengadakan serangan. Akan tetapi, melihat kekuatan sihir Aji Panyirepan mereka, harus diakui bahwa mereka agaknya memiliki banyak tokoh ahli sihir yang sakti sehingga bahkan para senopati tidak kuasa menolak kekuatan sihir mereka. Kami jadi teringat kepada dua orang muda sakti yang dapat diharapkan bantuan mereka, yaitu Nurseta dan Puspa Dewi. Paman Senopati Sindukerta, mengapa Nurseta tidak muncul ketika terjadi keributan semalam? Di mana dia?"

Senopati Sindukerta saling bertukar pandang dengan Tumenggung Jayatanu, lalu dia menyembah dan menjawab.

"Gusti Sinuwun, cucu hamba Nurseta beberapa hari yang lalu meninggalkan kota raja untuk mencari Niken Harni."

Sang Prabu Erlangga berpaling memandang kepada Senopati Yudajaya.

"Kakang Senopati Yudajaya, ke mana perginya puterimu Niken Harni? Dan di mana pula adanya Puspa Dewi yang juga tidak muncul malam tadi?"

"Mohon ampun, Gusti Sinuwun. Belum lama ini terjadi penculikan atas diri isteri hamba Nyi Lasmi, Ibu kandung Puspa Dewi, dilakukan oleh orang-orang Wengker. Puspa Dewi melakukan pengejaran, kemudian Niken Harni juga melakukan pengejaran. Ternyata, atas pertolongan Gusti Patih, Nyi Lasmi dapat dibebaskan dari orang-orang Wengker dan diantar pulang oleh Puspa Dewi. Akan tetapi melihat adiknya, Niken Harni, belum pulang dan mendengar la melakukan pengejaran ke Wengker, Puspa Dewi merasa khawatir lalu melakukan pencarian ke sana. Demikianlah, Gusti Sinuwun, maka malam tadi Puspa Dewi tidak muncul karena dia tidak berada di sini."

Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk. "Dan Nurseta juga pergi mencari Niken Harni, Paman Senopati Sindukerta?"

"Benar, Gusti. Karena merasa khawatir akan keselamatan Niken Harni dan Puspa Dewi yang memasuki daerah Wengker yang berbahaya, maka cucu hamba Nurseta beberapa hari yang lalu pergi mencari mereka ke Kerajaan Wengker."

Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang. "Jagad Dewa Bathara! Agaknya memang sudah digariskan bahwa Kahuripan harus mengalami musibah ini sehingga ketika serangan ilmu hitam itu datang, Nurseta dan Puspa Dewi yang dapat diandalkan tidak berada di sini."

"Hamba mohon ampun, Gusti Sinuwun, bahwa hamba semalam tertidur dan tidak dapat melakukan kewajiban hamba menjaga ketenteraman kota raja." kata Ki Patih Narotama dengan nada suara penuh penyesalan.

"Hemm, tidak ada yang bersalah melalaikan kewajiban dalam peristiwa semalam, Kakang Patih. Aku sendiri juga tertidur. Hal ini membuktikan bahwa musuh-musuh kita mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Aku tidak menyalahkan Andika, Kakang, apa lagi Andika sendiri telah kehilangan putera. Aku ikut prihatin bahwa Joko Pekik terculik. Tahukan Andika siapa kiranya yang menculik putera mu itu?"

"Kalau hamba tidak salah, bukan mustahil kalau Lasmini yang berada di belakang penculikan ini, Gusti."

"Kami kira tepat dugaanmu itu, Kakang. Aku sendiri mempunyai dugaan bahwa yang memasuki Istana tentulah Si Mandari. Kalau bukan ia, siapa lagi yang mampu memasuki istana dengan cara yang begitu diperhitungkan dan hati-hati sehingga aku sampai tidak terbangun karena tidak mendengar suara apa pun? Pasti Mandari dan Lasmini berada di antara mereka yang semalam mengacau di kota raja."

Pada saat ini, seorang prajurit pengawal datang melapor bahwa di luar datang Puspa Dewi mohon diperkenankan menghadap. Semua orang, termasuk Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama menjadi girang dan wajah mereka berseri mendengar laporan ini.

"Pengawal, cepat persilakan Puspa Dewi masuk menghadap!" kata Sang Prabu Erlangga.

Pengawal memberi hormat dan keluar. Tak lama kemudian Puspa Dewi memasuki ruangan dan cepat menghaturkan hormat dengan sembah. Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya memandang dengan girang kepada cucu dan puteri mereka, akan tetapi karena mereka sedang menghadap Sang Prabu Erlangga, mereka pun diam saja dan hanya memperlihatkan kegembiraan hati mereka melalui senyum dan pandang mata.

"Ni Puspa Dewi, dari mana saja Andika? Ceritakan kepada kami bagaimana Andika pergi mencari Niken Harni." Tanya Sang Prabu Erlangga. Puspa Dewi memandang kepada ayahnya dan kakeknya, maklum bahwa tentu Sang Prabu Erlangga telah mendengar dari mereka akan Kepergiannya mencari Niken Harni.

"Hamba telah berhasil memasuki Kerajaan Wengker dan mendengar keterangan dari Resi Bajrasakti bahwa adik hamba Niken Harni telah dibawa oleh Nini Bumigarbo."

"Ahh..." Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama berseru kaget. Mereka tahu siapa Nini Bumlgarbo, seorang datuk wanita sakti mandraguna yang membenci guru mereka dan membenci mereka akan tetapi tidak berani turun tangan mengganggu mereka karena dilarang oleh Sang Bhagawan Ekadenta.

"Mengapa Niken Harni dibawa datuk wanita itu?" Tanya Sang Prabu Erlangga.

"Hamba tidak tahu, Gusti. Juga para pimpinan Wengker tidak ada yang mengetahuinya."

"Ni Puspa Dewi, Wengker memiliki banyak orang sakti, juga adipatinya yang baru adalah Linggawijaya, permaisurinya Dewi Mayangsari yang kabarnya pernah digembleng oleh Nini Bumigarbo. Bagaimana Andika seorang diri dapat masuk kesana dengan leluasa dan selamat?"

"Sesungguhnya hamba mendapat perlindungan Sang Hyang Widhi, Gusti. Ketika hamba tiba di sana, Adipati Linggawijaya dan Dewi Mayangsari sedang tidak berada di Wengker. Hamba dikeroyok dan tentu akan terancam mala petaka kalau hamba tidak bertindak cepat. Hamba menangkap dan menyandera Tumenggung Suramenggala dan dengan cara itu hamba dapat keluar dari Wengker dengan selamat. Setelah mendengar bahwa Niken Harni dibawa Nini Bumigarbo, hamba masih berusaha mencarinya ke mana-mana. Namun hamba tidak berhasil menemukan jejak Niken Harni mau pun Nini Bumigarbo."

"Hemm, tidak aneh. Nini Bumigarbo memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi."

"Karena tidak berhasil menemukan Niken Harni, hamba mengambil keputusan untuk pulang lebih dulu agar keluarga hamba tidak merasa khawatir. Begitu memasuki kota raja, hamba terkejut mendengar akan musibah yang menimpa kota raja. Hamba pulang dan mendengar dari kedua Ibu hamba dan Nenek bahwa Kanjeng Rama dan Kanjeng Eyang berada di sini menghadap Paduka, maka hamba lalu cepat menyusul ke sini. Hamba mohon maaf bahwa hamba tidak dapat membantu melawan musuh ketika serangan malam tadi datang, Gusti."

Ki Patih Narotama merasa kagum dan girang sekali melihat sikap dan ucapan gadis itu yang kini lembut dan penuh hormat, walau pun di dalam kelembutannya masih terkandung kekerasan hati. Kiranya penggemblengan Maha Resi Satyadharma telah mengubah watak keras liar gadis itu dan menanamkan kebijaksanaan.

"Bukan kesalahan Andika atau kesalahan siapa pun, Ni Puspa Dewi. Semua telah terjadi dan kami yakin bahwa yang terjadi sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi dan pasti mengandung hikmah yang dapat dipetik dan dimanfaatkan."

Ucapan Sang Prabu Erlangga ini mengandung maksud yang hanya dimengerti oleh dia dan Ki Patih Narotama. Mereka berdua menyadari bahwa semua peristiwa ini merupakan akibat kesalahan tindakan mereka ketika mengambil Ni Lasmini dan Ni Mandari menjadi selir. Walau niat itu baik untuk memperbaiki hubungan kedua kerajaan, namun caranya yang salah. Caranya merupakan hasil dorongan nafsu.

Kedatangan Puspa Dewi yang memperkuat barisan pertahanan mereka membuat para senopati berbesar hati. Ki Patih Narotama diserahi tugas mengatur penjagaan dan membagi-bagi tugas penjagaan Kepada para senopatinya. Untuk menghadapi bahaya penyerangan musuh, Sang Prabu Erlangga sendiri juga siap untuk turun tangan, mengingat bahwa pihak musuh mempunyai banyak orang sakti mandraguna. Bahkan Sang Prabu Erlangga mengutus Ki Patih Narotama sendiri untuk mengundang Empu Bharada di Tanah Perdikan Lemah Citra, dan Empu Kanwa yang tinggal di dusun Margarejo di luar kota raja, di lereng daerah perbukitan yang sunyi.

Pada hari itu juga, Empu Bharada dan Empu Kanwa datang menghadap Sang Prabu Erlangga bersama Ki Patih Narotama. Mereka berempat duduk bercakap-cakap di ruangan pustaka. Ki Patih Narotama sudah menceritakan kepada dua orang Empu itu akan peristiwa semalam yang menimpa kota raja Kahuripan, maka ketika menghadap Sang Prabu Erlangga, Empu Bharada lalu berkata setelah dipersilakan duduk dan menerima penghormatan raja yang menganggapnya sebagai sesepuh itu.

"Puteranda Kanjeng Sinuwun, saya telah mendengar akan mala petaka yang menimpa kerajaan Paduka semalam, juga tentang tercurinya Pusaka Cupu Manik Maya dan terculiknya Cucunda Raden Joko Pekik Satyabudhi dari Gedung Kepatihan. Saya ikut merasa prihatin, akan tetapi tentu Paduka sudah dapat menerimanya dengan sabar karena semua ini sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi."

"Saya juga ikut merasa prihatin, Kanjeng Sinuwun, dan Kakang Empu Bharada benar. Kalau kita dapat menerima segala kejadian ini dengan sabar dan ikhlas dan memperkuat iman dan penyerahan diri kita kepada Dia Yang Maha Kuasa, saya kira kita akan diberi pengampunan dan jalan keluar dari semua musibah."!

"Terima kasih, Paman Empu Bharada dan Paman Empu Kanwa. Kami menyadari akan hal itu dan semoga kami semua dapat menerima semua musibah ini dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan penyerahan seperti yang Paman berdua maksudkan. Sekarang saya hendak mohon bantuan Paman berdua. Karena musuh menyebar racun yang menjadi wabah penyakit dan menimbulkan banyak korban pada rakyat, maka kami mohon kepada Paman Empu Kanwa yang ahli dalam soal pengobatan, untuk menanggulangi wabah ini dan membebaskan rakyat dari ancaman dan gangguan wabah penyakit itu. Dan permohonan kami kepada Paman Empu Bharada, mengingat bahwa besar kemungkinan sewaktu-waktu musuh yang sudah menghimpun kekuatan itu akan menyerang dan mereka memiliki banyak tokoh sakti ahli ilmu sihir, maka mohon Paman Empu Bharada suka memperkuat pertahanan kami untuk menghadapi serangan ilmu hitam."

Dua orang pertapa itu menyanggupi dan menyatakan kesediaan mereka untuk memenuhi permintaan Sang Prabu Erlangga. Empu Bharada lalu berkata dengan nada serius. "Puteranda Kanjeng Sinuwun, kalau saya tidak salah ingat, disini terdapat senopati-senopati yang cukup digdaya untuk melawan musuh yang berbahaya, pula, selain Paduka sendiri dan Ananda Patih Narotama ini, masih terdapat beberapa orang muda yang sakti mandraguna. Di antaranya adalah Ni Puspa Dewi dan terutama sekali Nurseta. Saya kira mereka itu dapat dimintai bantuan untuk menghadapi lawan yang menggunakan ilmu hitam dan sihir."

Empu Bharada teringat akan pertanda yang dilihatnya dahulu bahwa Kahuripan akan tertimpa mala petaka dan diselimuti awan gelap, ada pun yang akan dapat menghalau pengaruh jahat itu adalah Sinar Putih atau Nurseta. Tentu saja? bukan pemuda itu seorang diri yang diberi tugas melawan semua musuh, akan tetapi bantuannya tentu akan dapat diandalkan dan berguna sekali bagi keselamatan Kahuripan.

"Semua sudah mempersiapkan diri, Paman Empu Bharada. Juga Puspa Dewi baru saja pulang setelah terjadi penyerangan gelap malam itu. Sekarang ia juga sudah mempersiapkan diri memperkuat pertahanan Kahuripan. Akan tetapi sungguh sayang, Nurseta masih belum kembali ke kota raja karena dia sedang mencari puteri Senopati Yudajaya yang pergi ke Wengker dan menurut keterangan Puspa Dewi, adiknya Niken Harni itu telah dibawa pergi Nini Bumigarbo. Nurseta tidak mengetahui akan hal itu dan sampai sekarang dia belum kembali."

Empu Bharada menghela napas panjang. Segala sesuatu yang menimpa diri manusia tidak terlepas dari ikatan karma, semua bersumber dari diri pribadi. Berdasarkan hukum sebab akibat ini, maka segala sesuatu terjadi. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Manusia hanya wajib berikhtiar sekuat tenaga sebesar kemampuannya, namun akhirnya dia harus dan hanya dapat menerima segala sesuatu yang terjadi kepadanya, suka atau tidak! Dia mengerti bahwa semua yang menimpa Kerajaan Kahuripan ini menjadi akibat dari masuknya Ni Lasmini dan Ni Mandari, dua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu sebagai selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.

Apa yang dikhawatirkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama terjadi tiga hari kemudian. Pagi-pagi sekali, baru saja fajar menyingsing membangunkan ayam-ayam jantan yang berkeruyuk saling bersahutan dengan nyaring sehingga menggugah burung-burung di pepohonan, membuat mereka ramai saling memberi salam pagi yang ribut namun merdu, pasukan gabungan empat kerajaan yang dibantu beberapa raja muda daerah yang kecil, mengadakan serangan besar-besaran.

Jumlah prajurit dalam pasukan gabungan itu tidak kurang dari tiga laksa orang! Mereka menyerbu dari empat jurusan dan selain mengerahkan seluruh pasukan, mereka pun mengerahkan semua tokoh yang memiliki aji kesaktian untuk memimpin pasukan yang dibagi empat itu. Empat kerajaan yang amat membenci Kahuripan yang menjadi musuh bebuyutan mereka itu tidak mau kepalang tanggung dan tidak mau gagal lagi. Mereka mengerahkan semua tenaga.

Pasukan pertama terdiri dari sepuluh ribu orang prajurit Wengker bergerak dari depan dan pasukan terbesar ini dipimpin sendiri oleh para pimpinan Wengker lengkap, yaitu Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, Warok Surogeni, Wirobento, dan Wirobandrek!

Pasukan ke dua yang bergerak menyerang dari sayap kiri terdiri dari sepuluh ribu orang prajurit Wura-wuri, dipimpin sendiri oleh Adipati Bhismaprabhawa, Permaisuri Dewi Durgakumala, Kala Muka, Kala Manik, Kala Teja, dan Ki Gandarwo.

Pasukan ke tiga bergerak menyerang dari sayap kanan, terdiri dari sekitar lima ribu orang prajurit Parang Siluman, dipimpin oleh Ratu Durgamala, Bhagawan Kundolomuko, Ni Lasmini, Ni Mandar , dan Ki Nagakumala.

Pasukan ke empat bergerak dari belakang, terdiri sekitar lima ribu orang prajurit Siluman Laut Kidul, dipimpin oieh Ratu Mayang Gupita sendiri, dibantu oleh Bhagawan Kalamisani, Nagarodra, dan Nagajaya. Semua itu masih diperkuat oleh para perwira kerajaan masing-masing yang memimpin pasukan di bawah komando para pimpinan tertinggi itu. Dan juga ada Pasukan Siluman yang dibentuk oleh Bagawan Kundolomuko dari Parang Siuman, penyembah Bathari Durga dan ahli sihir yang berilmu tinggi itu. Pasukan Siluman yang berpakaian serba putih ini terdiri dari tiga ratus orang, akan tetapi karena mereka itu digerakkan oleh iImu hitam yang dahsyat, maka kekuatannya juga menggiriskan.

Namun pihak Kerajaan Kahuripan sudah siap siaga sehingga ketika musuh datang dari empat penjuru, dengan tenang pasukan yang sudah siap dibagi menjadi empat itu menyambut mereka. Kekuatan pasukan Kerajaan Kahuripan berjumlah sekitar empat laksa orang. Selaksa orang dipimpin sendiri oleh Sang Prabu Erlangga yang berdampingan dengan Empu Bharada dan beberapa orang perwira tinggi, menjaga bagian depan yang merupakan gapura terbesar. Selaksa orang prajurit dipimpin oleh Ki Patih Narotama yang juga dibantu beberapa orang perwira, menjaga sebelah kanan. Selaksa orang prajurit yang lain dipimpin oleh Puspa Dewi, dibantu ayahnya, Senopati Yudajaya dan beberapa orang perwira, menjaga sebelah kiri. Adapun sisanya, kurang lebih selaksa orang prajurit, dipimpin oleh Senopati Sepuh Wiradana, Senopati Sindukerta, dan Tumenggung Jayatanu dibantu beberapa orang perwira.

Maka begitu musuh datang menyerbu! dari empat penjuru, pasukan-pasukan Kahuripan keluar dari pintu gerbang dan menyambut dengan gegap-gempita hingga terjadilah pertempuran hebat di luar kota raja, di empat penjuru.

Perang campuh terjadi, hiruk-pikuk dan gegap-gempita suara puluhan ribu mulut berteriak marah, saling maki, juga teriakan kesakitan, bercampur suara beradunya senjata pedang, golok, tombak, keris dan sebagainya, berdentingan nyaring, hentakan puluhan ribu kaki berdebukan, debu mengepul tebal dan membubung tinggi, dengan napas terengah-engah, darah mulai muncrat dan berceceran, tubuh tanpa nyawa atau terluka mulai berpelantingan, terkapar dan berserakan, malang melintang terinjak kaki kawan mau pun lawan!

Perang! Peristiwa terkutuk. Puncak kebuasan mahluk yang dinamai manusia. Nafsu amarah, dendam, kebencian, menggetarkan udara. Buas seperti binatang liar, haus darah, yang ada dalam benak pikiran hanya membunuh atau dibunuh. Hanya satu keinginan semua pihak. Menang! Mencari- kemenangan dengan cara apa pun juga. Terhapuslah sudah semua peradaban, kebudayaan, dan sifat luhur manusia. Tawa bergelak setiap kali merobohkan lawan, memenggal leher, merobek perut, menusuk, dada. Jerit rintih kematian lawan seolah gamelan paling merdu bagi telinganya. Bahkan matahari pun agaknya ngeri menyaksikan kekejaman ini dan matahari bersembunyi di balik awan-awan yang berarak di angkasa.

Sang Prabu Erlangga yang memimpin pasukannya bertemu dengan pasukan Wengker. Adipati Linggawijaya, Permaisuri Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti segera maju mengeroyok Raja Kahuripan ini. Raja yang mereka anggap sebagai musuh besar. Mereka bertiga maju dengan harapan akan mampu mengalahkan menawan atau membunuh Sang Prabu Erlangga, karena kalau raja ini tewas atau tertawan, tentu pasukan Kahuripan akan menyerah. Akan tetapi, mereka bertiga terkejut bukan main.

Sang Prabu Erlangga benar-benar sakti mandraguna. Semua serangan mereka bertiga, bahkan ketika mereka menyatukan tenaga sakti menghantam ke arah Sang Prabu Erlangga, Raja Kahuripan ini menyambut dengan dorongan tangan kirinya dan hawa sakti yang menyambut serangan tiga orang itu sedemikian kuatnya sehingga tiga orang itu hampir terjengkang dan terhuyung ke belakang! Juga semua aji kesaktian mereka kerahkan, namun semua dapat ditangkis Sang Prabu Erlangga.

Sang Empu Bharada yang membantu Sang Prabu Erlangga dikeroyok oleh Warok Surogeni, Wirobento, dan Wirobandrek. Pertapa ini sebetulnya hampir tidak pernah berkelahi, namun dia adalah seorang yang sakti. Dengan Aji Bayu Sakti tubuhnya yang berpakaian serba hitam itu dapat menghindarkan diri dari sambaran keris di tangan Warok Surogeni, pecut berujung besi di tangan Warok Wirobento dan sepasang kolor merah yang menjadi senjata Warok Wirobandrek. Dia pun membalas dengan tamparan-tamparan yang mengandung Aji Gelap Musti sehingga tiga orang lawan itu sukar untuk dapat merobohkan Empu Bharada.

Tiba-tiba tampak awan gelap seolah turun dari angkasa dan menggelapkan cuaca di tempat pertempuran bagian depan kota raja itu. Dan dari dalam kegelapan ini muncul suara-suara yang menyeramkan, tawa dan tangis yang bukan suara manusia, lalu muncul bentuk-bentuk mengerikan seolah ada ratusan iblis jadi-jadian muncul dari kegelapan dan mengancam para prajurit Kahuripan. Tentu saja para prajurit terkejut dan menjadi panik.

Empu Bharada menggunakan Aji Bayu Sakti berkelebatan lenyap meninggalkan tiga orang lawannya dan dia sudah menuju ke pusat dari mana muncul awan gelap dan bayangan iblis itu. Kiranya tiga ratus prajurit dalam Pasukan Siluman itu mulai menyerbu, dipimpin oleh Bhagawan Kundolomuko yang melepas ilmu hitamnya. Melihat ini, Empu Bharada memberi isyarat kepada lima ratus orang prajurit yang sudah dipilih untuk menghadapi pasukan ilmu hitam itu yang memang sudah diperhitungkan oleh pihak Kahuripan.

Lima ratus orang prajurit ini mengenakan sehelai kain putih yang diikatkan di kepala dan kain itu sudah dirajah (diisi kekuatan gaib) oleh Empu Bharada. Lima ratus orang prajurit inilah yang menyambut serbuan tiga ratus prajurit Pasukan Siluman. Empu Bharada sendiri berdiri dan bersedakap (melipat kedua lengan di depan dada), mengerahkan aji kesaktiannya menyambut ilmu hitam yang dilepaskan Bhagawan Kundolomuko.

Dahsyat bukan main pertandingan adu sihir dan pertempuran antara dua pasukan yang sama-sama telah diisi rajah oleh Bhagawan Kundolomuko dan Empu Bharada. Akan tetapi karena jumlah pasukan Kahuripan lebih banyak maka tentu saja Pasukan Siluman itu agak kewalahan, apa lagi karena kekuatan gaib dari Bhagawan Kundolomuko yang tadinya mendukung mereka itu kini terpaksa dialihkan untuk bertanding melawan Empu Bharada.

Sementara itu, Warok Surogeni, Wirobento, dan Wirobandrek yang telah ditinggalkan Empu Bharada, kini membantu tiga orang pimpinan Wengker yang masih mengeroyok Sang Prabu Erlangga. Raja itu kini dikeroyok enam orang lawan yang tangguh! Pasukan sayap kanan dari Kahuripan yang dipimpin Ki Patih Narotama bertemu di luar gapura dengan pasukan Wura-wuri yang dipimpin Adipati Bhismaprabhawa, Permaisuri Dewi Durgakumala, Kala Muka, Kala Manik, Kala Teja, dan Gandarwo.

Ki Patih Narotama yang telah memberi petunjuk kepada para perwira pembantunya untuk memimpin pasukan menyambut pasukan Wura-wuri yang menyerbu, mengamuk. Dia marah dan khawatir sekali karena puteranya diculik musuh.

"Hl-hi-hik! Narotama, sekarang tiba saatnya engkau mati di tangan kami!" Dewi Durgakumala tertawa mengejek.

"Hemm, kalau engkau berani mengganggu puteraku Joko Pekik Satyabudhi dan tidak mengembalikannya kepadaku, aku tidak peduli lagi akan pelanggaran dan akan kubunuh kalian semua, akan kumusnahkan dan kubikin karang abang (lautan api) kerajaan kalian, kubikin rata dengan tanah!"

Suara Ki Patih Narotama menggetarkan semua yang mendengarnya karena dia sudah dikuasai amarah yang hebat. Narotama adalah seorang yang tidak mau sembarangan membunuh dan baginya merupakan pantangan membunuh. Biasanya, lawan yang dihadapinya hanya dikalahkan dan dirobohkan tanpa membunuh. Akan tetapi bagaimana pun juga, dia hanya seorang manusia biasa, seorang ayah yang menjadi marah dan mata gelap melihat puteranya diculik orang.

Karena maklum betapa saktinya Ki Patih Narotama, maka Adipati Bhismaprabhawa dan Dewi Durgakumala tidak banyak cakap lagi. Teriakan dahsyat tadi membuat hati mereka menjadi gentar juga. Mereka memberi isyarat kepada empat orang pembantu mereka dan segera enam orang sakti ini menerjang dan mengeroyok Ki Patih Narotama.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar