Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 08

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Mereka kini duduk mengitari sebuah meja bundar. Keharuan sudah mereda dan mereka dapat bersikap biasa, bahkan Prasetyo kini sudah berseri wajahnya, jelas dia berbahagia sekali dapat bertemu dengan puterinya. Tumenggung Jayatanu masih merasa penasaran dan dia berkata.

"Wah, aku telah salah sangka. Kukira tadi bahwa engkau adalah puteri Kerajaan Wura-wuri yang dulu membantu persekutuan pemberontak dan kini datang untuk melakukan kekacauan!" katanya sambil tersenyum lebar. "Tentu hanya merupakan persamaan nama yang kebetulan saja."

"Eyang tidak salah sangka. Memang sayalah Sekar Kedaton Wura-wuri itu, Eyang."

"Apa...??" Tumenggung Jayatanu berseru kaget sambil bangkit berdiri dari kursinya. Juga Niken Harni, Dyah Mularsih, dan Nyai Tumenggung terkejut dan memandang kepada Puspa Dewi dengan mata terbelalak. Akan tetapi Prasetyo atau Senopati Yudajaya tetap tenang bahkan dia tertawa dan berkata.

"Kanjeng Rama dan semua saja harap jangan kaget dan khawatir. Saya telah mendengar dari Gusti Patih Narotama bahwa Puspa Dewi yang tadinya mewakili Wura-wuri bersekutu dengan pemberontak itu telah mengubah sikap, berbalik membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak. Bahkan, Gusti Patih memerintahkan kepada saya dan pasukan khusus untuk menyelidiki di mana adanya Puspa Dewi dan mengundangnya ke istana karena Gusti Sinuhun berkenan ingin bertemu dengannya. Tadinya saya mengira bahwa tentu Puspa Dewi yang dimaksudkan sebagai puteri Wura-wuri itu bukan anak saya, tentu hanya persamaan nama yang kebetulan saja. Akan tetapi, baru saja Puspa Dewi mengaku bahwa Sekar Kedaton Wura-wuri itu memang ia orangnya! Nah, Puspa Dewi Anakku, engkau telah membuat kami semua menjadi heran, bingung dan bertanya-tanya. Apakah... apakah..." wajah Prasetyo berubah, jelas ia tampak rikuh dan segan mengajukan pertanyaan selanjutnya.

"Apakah apa, Ayah?" Puspa Dewi mendorongnya.

"Apakah... maaf, apakah Ibumu kini menjadi permaisuri di Wura-wuri?"

Puspa Dewi menggeleng kepala. "Sebelum aku memberi penjelasan dan menceritakan pengalaman Ibu dan saya, saya harap Ayah suka menceritakan dahulu bagaimana dan mengapa Ayah dan Ibu sampai berpisah."

Prasetyo memandang kepada isterinya dan Dyah Mularsih berkata dengan lembut dan tenang. "Kakangmas Prasetyo, tidak perlu sangsi dan bimbang, ceritakan saja semuanya. Anakmu Puspa Dewi memang berhak untuk mengetahui segalanya agar terhapus semua sangkaan yang keliru."

"Benar kata-kata isterimu itu. Keterbukaan itu penting sekali bagi sebuah keluarga agar terdapat saling pengertian. Kesalahan yang terlanjur dilakukan dapat ditebus dengan penyesalan dan pengakuan secara jujur." Kata Tumenggung Jayatanu

Mendengar ucapan ibu tiri dan kakek tirinya itu, Puspa Dewi menjadi rikuh dan merasa tidak enak hati. Mereka begitu terbuka dan sikap mereka membayangkan bahwa mereka adalah keluarga yang terhormat dan baik budi.

"Baiklah, Puspa Dewi. Begini ceritanya. Aku menikah dengan Lasmi, Ibumu itu dan kami hidup berbahagia di kota raja ini di mana aku bekerja sebagai seorang perwira pengawal. Ketika Ibumu mengandung, ia minta pulang ke dusun Munggung agar kalau ia melahirkan, ia akan dekat dengan Ibunya yang akan merawatnya. Aku mengantarnya pulang ke Munggung."

"Ibu telah bercerita tentang itu kepada saya. Setelah Ibu tinggal di Munggung sampai saya terlahir, Ayah telah menikah lagi..." Puspa dewi memandang kepada Dyah Mularsih dan merasa rikuh. "Maaf, Ibu... saya tidak bermaksud menuntut, hanya menceritakan yang sebenarnya."

Dyah Mularsih tersenyum. "Tidak mengapa, Anakku, memang sudah semestinya begitu. Kami saling mencinta dan ketika aku mendengar bahwa Ayahmu telah beristeri, aku yang sudah terlanjur saling jatuh cinta, dapat menerima untuk menjadi isteri kedua."

"Begitulah, Puspa Dewi." Prasetyo melanjutkan.

"Sesungguhnya, tidak ada niatku semula untuk tidak setia kepada Lasmi. Akan tetapi, berbulan-bulan aku hidup seorang diri di kota raja, dan pada suatu hari, secara kebetulan aku menolong Ibumu ini, Dyah Mularsih, yang terancam bahaya karena kuda yang ditungganginya kabur dengan liar. Aku berhasil menyelamatkannya dan sejak saat itu, kami saling jatuh cinta. Akhirnya, karena akrab dengannya, aku harus bertanggung jawab menikahinya. Aku mengajak Ibumu yang telah melahirkan untuk kuboyong ke sini, akan tetapi Ibumu tidak mau, berkeras ia menolak untuk kuboyong ke rumah ini."

"Itu benar, Puspa Dewi. Bahkan aku sendiri yang mendesak Ayahmu agar Mbakyu Lasmi diboyong ke sini dan hidup satu keluarga dengan kami. Akan tetapi ia selalu menolak."

"Ibu juga telah menceritakan hal Itu. Ibu menolak karena merasa malu kalau harus tinggal di sini yang dianggapnya mondok di rumah madunya. Ia rela dimadu, akan tetapi Ibu yang merasa sebagai orang kecil yang miskin, tidak mau merendahkan diri. Saya kira hal ini tidak buruk karena kalau seorang wanita dusun yang miskin tidak memiliki harga diri, lalu apa yang ia miliki?"

"Ah... Cucuku!" kata Tumenggung Jayatanu. "Ibumu seorang wanita yang berhati keras. Ia berkeras tidak mau pindah kesini sehingga tentu saja amat sukar bagi Ayahmu memiliki dua orang istrri yang tempat tinggalnya jauh terpisah. Setelah jelas Ibumu tidak mau pindah dan Ayahmu menjadi bingung, aku lalu minta Ayahmu mengambil keputusan dan bertanggung jawab. Tidak mungkin dia mempunyai dua orang isteri yang terpisah jauh tempat tinggalnya. Maka jalan satu-satunya adalah Ayahmu harus memilih salah satu, yaitu menceraikan Dyah Mularsih dan hidup bersama Ibumu, atau Ibumu dan hidup dengan kami di sini. Ya, itulah yang menjadikan persoalan, cucuku" kata Tumenggung Jayatanu ".

"Ya, demikianlah, Puspa Dewi. Aku menjadi bingung sekali. Aku mendatangi Diajeng Lasmi dan kuceritakan hal itu. Kuceritakan bahwa aku merasa berat untuk menceraikan salah seorang, apa lagi kedua orang isteriku sama-sama telah mempunyai anak. Lasmi mempunyai engkau dan Dyah Mularsih mempunyai Niken Harni ini. Aku menjadi serba salah dan aku masih seringkali berkunjung ke Munggung, bahkan ketika engkau baru berusia beberapa hulan, Ibumu diganggu dan hendak dikawin dengan paksa oleh Darsikun putera seorang demang. Ibumu menolak dan Bapak mertuaku, yaitu Ayah dari Ibumu, membela Lasmi akan tetapi dia malah tewas dibunuh. Pada saat itu aku datang dan kubunuh Darsikun dan dua orang tukang pukulnya. Setelah terjadi hal itu, tak lama kemudian, Nenekmu Ibu mertuaku, sakit-sakitan dan meninggal dunia pula. Kemudian, tanpa memberitahu kepadaku, Ibumu mengajak engkau pergi. Tidak ada orang mengetahui kemana perginya dan percayalah, kami berusaha mencari Ibumu akan tetapi gagal, Ibumu seolah-olah hilang tak meninggalkan jejak, dan tak tentu rimbanya." Prasetyo berhenti dan memandang kepada anaknya dengan sedih.

"Mbakyu Puspa Dewi, sejak aku dapat mengingat, Ayahku selalu berduka mengingat Ibu Lasmi dan engkau sehingga aku, Ibu, Kakek dan Nenek juga ikut bersedih. Semua keluarga mengharapkan dapat bertemu dan mengajak Ibu Lasmi dan engkau hidup bersama kami di sini." kata Niken Harni yang tadi ikut pula mengeluarkan air mata karena haru melihat ayahnya dan kakek tirinya.

"Nah, sekarang tiba giliranmu, Puspa Dewi. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan Ibumu dan engkau setelah meninggalkan Munggung?" tanya Prasetyo.

Daun pintu diketuk dan percakapan terhenti. Setelah diperbolehkan masuk, seorang pelayan datang membawa Baki (nampan) berisi cangkir-cangkir minuman. Setelah menaruh minuman di atas meja, Nyai Tumenggung memberi isyarat dengan tangannya agar pelayan itu cepat pergi meninggalkan ruangan itu.

"Baiklah, sekarang saya akan menceritakan semua, akan tetapi dengan singkat saja karena sesungguhnya amat tidak menyenangkan menceritakan semua pengalaman buruk itu. Menurut penuturan Ibuku, setelah meninggalkan Munggung Ibu membawa saya merantau dan selalu menyembunyikan nama agar tidak mudah dilacak ke mana Ibu pergi. Akhirnya, setelah merantau dengan susah payah, mengalami banyak penderitaan, berpindah-pindah dari satu dusun ke dusun lain, selalu memilih dusun yang sunyi terpencil, Ibu tinggal di dusun Karang Tirta, ketika itu saya berusia sekitar enam tahun."

"Kasihan Diajeng Lasmi." kata Prasetyo terharu.

"Ketika itu Ibumu sih muda, mengapa tidak menikah lagi?" tanya Tumenggung Jayatanu.

"Kata Ibu, selama itu memang banyak laki-laki yang meminangnya sebagai isteri, akan tetapi semua Ibu tolak karena Ibu hanya ingin hidup berdua dengan saya dan tidak ingin diganggu dengan kehadiran orang lain. Kami tinggal di Karung Tirta dan Ibu merasa tenteram dan tenang di sana sehingga sampai bertahun-tahun kami tidak pindah lagi. Ketika saya berusia tiga belas tahun, terjadilah peristiwa yang mengubah sama sekali kehidupan Ibu dan saya. Saya diculik dan dibawa lari Nyi Dewi Durgakumala."

"Aduh! Nyi Dewi Durgakumala, datuk sesat dari Wura-wuri itu?" kata Tumenggung Jayatanu kaget.

"Benar, Eyang. Saya tidak boleh meninggalkannya dan kalau saya nekat tentu saya akan dibunuhnya. Akan tetapi, ia bersikap baik sekali kepada saya. Ia mengambil saya menjadi muridnya dan mengajarkan aji kanuragan kepada saya."

"Wah, pantas engkau digdaya sekali, Mbakayu Puspa Dewi!" seru Niken Harni. "Engkau harus mengajarkan kesaktianmu kepadaku!"

"Niken, biarkan Mbakayumu melanjutkan ceritanya dulu!" kata Prasetyo, menegur puterinya.

"Akan tetapi, Nyi Dewi Durgakumala terkenal sebagai seorang datuk wanita yang amat jahat dan kejam..." kata Tumenggung Jayatanu dengan suara meragu sambil menatap wajah Puspa Dewi, seolah dia khawatir mendengar gadis itu mempunyai guru sejahat itu.

"Memang benar. Eyang, la jahat sekali dan melakukan banyak kekejaman sehingga seringkali bentrok dengan saya. Akan tetapi, ia menyayangi saya dan menganggap saya sebagai anaknya sendiri sehingga sering juga ia mendengar omongan saya dan membatalkan perbuatan jahatnya. Kemudian, Nyi Dewi Durgakumala menjadi isteri Adipati Bhismaprabhawa dari Wura-wuri. Karena saya telah diakui sebagai anak oleh Nyi Dewi Durgakurnala, maka dengan sendirinya saya menjadi Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri. Sebagai puteri angkat Permaisuri Wura-wuri, saya dijadikan utusan yang mewakili Wura-wuri dalam persekutuan para kadipaten yang bergabung dengan pemberontak di Kahuripan, untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga yang mereka musuhi."

"Lalu engkau diselundupkan ke istana Sang Prabu Erlangga sebagai pelayan pribadi Selir Mandari, begitu yang kudengar sehingga aku mengira engkau tentu memusuhi Kahuripan. Baru sekarang aku mendengar dari Prasetyo tadi bahwa engkau malah membela Kahuripan dan menentang para pemberontak." kata Tumenggung Jayatanu.

"Saya tidak dapat menolak perintah Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala maka saya lalu berangkat ke Kahuripan dan secara rahasia bergabung dengan persekutuan itu. Akan tetapi setelah saya bertemu dengan Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga, saya menjadi tahu bahwa Kahuripan dipimpin orang-orang yang bijaksana, sebaliknya persekutuan itu terdiri dari orang-orang yang jahat dan sesat. Maka setelah menyadari hal itu, saya membalik, membela Kahuripan dan menentang persekutuan itu dapat dihancurkan, tentu saja saya tidak berani kembali ke Wura-wuri karena mereka tentu akan memusuhi saya yang telah mengkhianati mereka."

"Engkau sama sekali bukan pengkhianat, Puspa Dewi." kata Prasetyo. "Engkau adalah Anakku dan Lasmi. Kami berdua adalah kawula Kahuripan, maka engkau juga kawida Kahuripan yang sudah semestinya membela Kahuripan dan menentang mereka yang memusuhi Kahuripan. Akan tetapi, bagaimana dengan Ibumu?"

Puspa Dewi merasa tidak enak sekali untuk menceritakan ibunya. Akan tetapi ia tidak dapat mengelak dan memang lebih baik berterus terang, la pun siap membela ibunya kalau dianggap bersalah.

"Sampai saya berusia tiga belas tahun, selama itu Ibu tidak mau menjadi isteri orang karena Ibu ingin hidup berdua dengan saya tanpa ada gangguan seorang suami yang tentu akan menjadi Ayah tiriku. Akan tetapi saya diculik Nyi Dewi Durgakumala. Ibu menjadi bingung dan kehilangan pegangan. Saya adalah satu-satunya orang yang dekat dengannya dan menjadi tumpuan harapannya akan tetapi saya hilang tanpa ada yang mengetahui ke mana saya dilarikan penculik. Dalam keadaan bingung, gelisah, duka yang membuat Ibu putus asa itu, datang uluran tangan dari Ki Lurah Suramenggala, lurah dusun Karang Tirta."

"Ah, Lurah Suramenggala yang dipecat oleh Gusti Patih Narotama itu?" Tumenggung Jayatanu berseru.

"Jadi Eyang sudah mengetahui hal itu?"

"Aku hanya mendengar bahwa Gusti Patih telah memecat Lurah Karang Tirta yang dianggap nyeleweng dan Ki Suramenggala beserta seluruh keluarganya diusir keluar dari dusun Karang Tirta. Lalu bagaimana selanjutnya dengan Ibumu?"

"Dalam keadaan gelisah, bingung dan putus asa itu Ibu dihibur oleh Ki Lurah Suramenggala. Sikap lurah itu baik sekali kepada Ibu, bahkan menjanjikan akan mencari saya sampai dapat ditemukan. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, datang uluran tangan, Ibu berterima kasih sekali dan... dan Ibu tidak dapat menolak ketika Ki Suramenggala mengambilnya menjadi selirnya." Puspa Dewi menghentikan kata-katanya dan mengamati wajah ayahnya dengan penuh selidik untuk mengetahui bagaimana tanggapan batin pria itu terhadap cerita tentang ibunya.

Sepasang alis Prasetyo berkerut, dia mengangkat muka setelah tadi menunduk, memandang kepada Puspa Dewi dan menghela napas panjang.

"Diajeng Lasmi berhak untuk menikah lagi dengan pria mana pun yang ia sukai, malah sebetulnya hal itu sudah sejak dulu ia lakukan."

Yang lain-lain diam saja tidak memberi komentar karena maklum bahwa urusan itu rawan dan peka sekali bagi perasaan Prasetyo dan terutama Puspa Dewi. Melihat sikap dan mendengar ucapan ayahnya, Puspa Dewi merasa lega. Ayah kandungnya ini ternyata seorang yang bijaksana. Andaikata ayahnya menyambut cerita itu dengan memperlihatkan kemarahan, ia tentu akan menegur ayahnya untuk bercermin dan melihat bahwa keadaan ibunya itu dialah yang menjadi sebabnya. Kini, melihat sikap ayahnya, Puspa Dewi juga menghela napas panjang

"Sayang sekali, Ibu yang sedang kebingungan karena kehilangan saya itu, ternyata salah lihat, dan salah pilih. Lurah itu bagaikan musang berbulu ayam atau srigala bermuka domba. Dia menolong Ibu bukan karena dia merasa iba, bukan karena kebaikan hatinya, melainkan karena memang sejak dulu dia menaksir Ibu. Maka dapat dibayangkan betapa kesengsaraan Ibu semakin parah, sudah kehilangan saya, bertambah lagi menjadi selir orang yang ternyata berwatak buruk dan jahat."

"Duh Gusti... kasihan Diajeng Lasmi, terlunta-lunta dan semua itu gara-gara aku..." Prasetyo mengeluh.

"Yang bersalah adalah aku." kata Dyah Mularsih sambil menundukkan mukanya. "Aku telah merampas Kakangmas Prasetyo dari Ibumu, Puspa Dewi."

"Tidak, Akulah yang bersalah!" kata Tumenggung Jayatanu. "Kalau aku membiarkan Prasetyo tinggal di rumahnya sendiri, tentu hal ini tidak berlarut-larut."

"Akan tetapi rumah sebesar ini, apakah harus ditinggali kita berdua saja?" Nyai Tumenggung membantah suaminya, lalu berpaling kepada Puspa Dewi. "Puspa Dewi, aku tidak tahan untuk berpisah dari Anakku Dyah Mularsih adalah Anakku satu-satunya, bagaimana mungkin kami membiarkan ia pergi ikut suaminya pindah ke rumah lain membiarkan kami berdua orang tua kesepian dalam rumah sebesar ini? Aku memang bersalah, karena akulah yang membujuk Eyangmu untuk melarang agar Dyah Mularsih jangan pindah meninggalkan kami."

Mendengar ucapan mereka dan melihat betapa mereka itu bersungguh-sungguh merasa bersalah dan menyatakan penyesalan mereka dalam suara mereka, Puspa Dewi menghela napas panjang dan berkata,

"Sesungguhnya, Ibuku juga bersalah, la terlalu keras hati dan berkukuh tidak mau diboyong Ayah ke sini, andaikata ketika itu ia mau, tentu tidak timbul persoalan lagi."

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang tentu saja terdengar janggal dan memecahkan suasana haru dan serius tadi. Suara tawa merdu dari mulut Niken Harni.

"He-he-he-hi-hik! Semua orang mengaku salah. Eyang Kakung (Kakek) bersalah, Eyang Puteri (Nenek) bersalah, Ayah bersalah, Ibu bersalah, dan menurut Mbakayu Puspa Dewi, Ibu Lasmi juga bersalah! Mbakayu Puspa Dewi, lalu kita berdua ini bagaimana? Apakah kita berdua sebagai Anak-anak mereka juga bersalah?"

Puspa Dewi tertawa dan semua orang tertawa sehingga suasananya berubah gembira. Ternyata pengakuan bersalah dari dirinya sendiri itu mendatangkan kelegaan yang membangkitkan kegembiraan!

"Yah, beginilah seharusnya. Dunia penuh pertikaian, permusuhan, semua itu dikarenakan setiap orang merasa benar sendiri dan mencari-cari kesalahan orang lain sehingga saling menyalahkan yang menimbulkan permusuhan. Kalau saja kita masing-masing mencari dan menemukan lalu berani mengakui kesalahan sendiri masing-masing, dunia ini tentu akan damai dan tenteram. Pertaubatan dan pembaharuan langkah hidup dimulai dengan pengakuan kesalahan diri sendiri." kata Tumenggung Jayatanu. Semua orang terdiam dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam.

"Puspa Dewi, lalu bagaimana dengan Ibumu? Bagaimana keadaannya sekarang dan di mana ia berada?" Tanya Prasetyo atau Senopati Yudajaya.

"Tadi Eyang Tumenggung sudah menceritakan bahwa Gusti Patih Narotama membikin pembersihan di dusun Karang Tirta. Ki Lurah Suramenggala dipecat dan diusir dari Karang Tirta. Ibu menggunakan kesempatan ini untuk membebaskan diri dari Ki Suramenggala dan tidak mau ikut dia pergi. Ibu lalu diterima oleh Ki Pujosaputro beserta keluarganya. Ki Pujosaputro adalah lurah baru Karang Tirta hasil pilihan penduduk dusun itu dan disahkan oleh Gusti Patih Narotama. Semua yang terjadi itu saya ketahui dari penuturan Ibu. Ketika saya berada di sana, pada suatu hari datang lima orang senopati Wura-wuri yang diperintahkan Adipati Bhismaprabhawa untuk menangkap saya. Tentu saja saya tidak mau dan terjadi perkelahian. Saya dikeroyok lima orang senopati itu. Kemudian mereka bertindak curang. Seorang di antara mereka menangkap Ibuku dan mengancam saya untuk menyerah, kalau tidak mereka akan membunuh Ibuku."

"Wah, licik! Curang! Kalau aku berada di sana, tentu aku akan membantumu, Mbakayu Puspa Dewi!" teriak Niken Harni sambil bangkit berdiri dan mengepal kedua tangannya!

"Niken, biarkan Mbakayumu melanjutkan ceritanya." Kata Prasetyo dan Niken Harni duduk kembali.

"Pada saat yang gawat karena saya meragu harus berbuat apa, dan Ibu berteriak agar aku tidak menyerah, tiba-tiba muncul seorang kakek yang sakti mandraguna dan dia membuat lima orang Wura-wuri itu ketakutan dan melarikan diri. Kakek itu lalu pergi begitu saja. Saya merasa kagum dan penasaran. Saya kejar dia dan akhirnya setelah kami berkejaran semalam suntuk, kakek itu mengalah dan berhenti. Beliau lalu memberi pelajaran kepada saya selama tiga bulan."

"Mbakayu Puspa Dewi, siapakah Kakek itu? Kalau dia begitu sakti mandraguna, saya pun ingin menjadi muridnya!"

"Nama beliau adalah Sang Maha Resi Satyadharma dari Gunung Agung di Bali-dwipa."

"Jagad Dewa Bathara...!" Tumenggung Jayatanu berseru dengan kagum dan heran. "Maha Resi Satyadarma? Beliau adalah guru Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!"

"Benar, Eyang. Beliau juga memberitahu saya akan hal itu."

"Waduh! Hebat engkau, Mbakayu! Engkau menjadi saudara seperguruan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih!"

"Ah, mana bisa dikatakan begitu, Niken. Kedua Beliau itu adalah murid-murid Eyang Maha Resi Satyadharma selama bertahun-tahun, sedangkan aku hanya mendapat polesan selama tiga bulan saja."

"Niken, jangan memotong cerita Mbakayumul" Nyai Tumenggung menegur cucunya.

"Baik... baik...!" Niken cemberut manja. "Nah, silakan melanjutkan ceritamu, Mbakayu Dewi."

"Setelah membimbing saya selama tiga bulan, Eyang Resi lalu berpisah dari saya dan saya langsung pergi ke kota raja untuk mencari Ayah dan menceritakan segala hal mengenai Ibu. Sungguh menyesal sekali kedatangan saya menimbulkan kekacauan, Eyang. Mohon diampuni kelancangan saya."

Tumenggung Jayatanu, isterinya, juga Prasetyo dan Dyah Mularsih, merasa terharu mendengar ucapan terakhir Puspa Dewi itu.

"Ah, itu hanya kesalahpahaman di pihak kami, Puspa Dewi." kata Tumenggung Jayatanu.

"Niken Harni, engkau mendengar semua cerita Mbakayumu tadi? Nah, contohlah sikap dan sepak terjang Mbakayumu itu, jangan sekali-kali bersikap tinggi hati dan manja."

Niken cemberut. "Aih, Ibu...! Siapa sih yang tinggi hati dan manja?"

"Jadi sekarang Diajeng Lasmi masih berada di Karang Tirta?"

"Benar, Ayah. Di rumah Ki Lurah Pujosaputro."

"Kalau begitu, kita berangkat ke sana, sekarang juga untuk menjemputnya!"

"Aku ikut, Ayah!" kata Niken Harni.

"Sebaiknya kita semua pergi ke sana beramai-ramai menjemput Mbakayu Lasmi. Dengan begitu ia tentu maklum akan maksud baik kita dan mau ikut ke sini." kata Dyah Mularsih.

"Isterimu benar, Prasetyo. Akan tetapi sebelum kita pergi ke Karang Tirta, aku ingin lebih dulu menghadapkan Puspa Dewi kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama karena memang aku pernah ditugaskan untuk mencari Puspa Dewi dan membawanya menghadap ke istana. Puspa Dewi, engkau tidak keberatan untuk menghadap kedua Beliau itu, bukan?"

"Tentu saja tidak, Eyang. Kalau memang Gusti Sinuhun dan Gusti Patih memanggil saya, saya akan menghadap dengan senang hati."

Puspa Dewi diterima oleh keluarga Tumenggung Jayatanu sebagai keluarga sendiri sehingga ia merasa senang. Apa lagi kalau membayangkan bahwa ibunya akan diterima pula, bersatu dengan ayahnya, hatinya merasa gembira sekali. Setelah tinggal semalam di gedung tumenggungan itu, pada keesokan harinya Tumenggung Jayatanu mengajak Puspa Dewi untuk menghadap Ki Patih Narotama di kepatihan. Kebetulan sekali Ki Patih berada di rumah sehingga mereka dapat diterima langsung. Ki Patih Narotama menerima mereka di ruangan depan dan wajahnya berseri ketika dia mengenal siapa yang datang bersama Tumenggung Jayatanu.

"Ah, kiranya Paman Tumenggung Jayatanu yang datang. Dan ini... bukankah Puspa Dewi...? Silakan duduk, mari silakan duduk di sini." Ki Patih menerima sembah mereka dan mempersilakan duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia.

Ki Patih Narotama memang bersikap lembut dan ramah kepada para pamong praja yang menjadi bawahannya. Dia tidak mau kalau dia dihormati secara berlebihan seperti seorang raja dan selalu menerima para bawahannya dengan sama-sama duduk di atas kursi.

"Paman Tumenggung, saya merasa gembira sekali Paman datang membawa Puspa Dewi."

"Sesungguhnya, Gusti Patih, saya juga merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Cucu saya ini dan membawanya ke hadapan Paduka."

"Cucu? Apakah Puspa Dewi ini cucumu, Paman?"

"Benar, Gusti, ia adalah Cucu saya, maksud saya Cucu tiri, karena dia adalah anak kandung mantu saya Senopati Yudajaya dari isteri yang pertama."

"Hemm, benarkah ini, Puspa Dewi? Setahuku Andika adalah murid Nyi Durgakumala, bahkan kemudian Andika menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri ketika Gurumu yang mengangkatmu sebagai anak Itu menjadi permaisuri wura wuri! Bagaimanakah sebetulnya semua ini? Coba jelaskan agar aku tidak menjadi ragu dan bingung."

Puspa Dewi menyembah, la pernah bertemu dengan Ki Patih Narotama ini. Bahkan ketika itu, ia mencari Ki Patih Narotama untuk membunuhnya atas perintah gurunya, Nyi Dewi Durgakumala yang mendendam kepada patih itu. Akan tetapi, selain ia tidak mampu menandingi Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna, juga sebaliknya patih itu memberi wejangan-wejangan yang menyadarkan pikiran dan membuka mata batinnya bahwa gurunya adalah seorang yang amat sesat.

Pertemuannya dengan Nurseta, dan terutama dengan Ki Patih Narotama inilah yang membuat ia sadar dan mendorongnya untuk membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak yang berusaha menggulingkan Sang Prabu Erlangga dari tahta. Maka, gadis ini amat menghormati Ki Patih Narotama dan sebelum menjawab pertanyaan tadi, ia lebih dulu menyembah dengan hormat.

"Memang riwayat hamba agak ruwet, Gusti. Hamba sendiri baru saja mengetahui siapa Ayah hamba dan bahwa Eyang Tumenggung ini adalah Eyang hamba. Ketika hamba masih kecil, Ibu hamba berpisah dari Ayah hamba dan tinggal di dusun Karang Tirta."

"Hemm, sekarang aku ingat. Ketika aku melakukan penyelidikan ke Karang Tirta, aku mendengar bahwa Ki Suramenggala mempunyai dua orang anak yang digdaya, puteranya sendiri adalah Si Linggajaya yang jahat itu dan puteri tirinya adalah Puspa Dewi. Kemudian setelah aku mengusir Ki Suramenggala, aku melihat Nyi Lasmi yang tidak mau ikut dan menangis, menceritakan bahwa ia terpaksa menjadi selir Ki Suramenggala yang hidup sewenang-wenang sebagai lurah di Karang Tirta. Nyi Lasmi itukah Ibumu?"

"Benar, Gusti. Hamba diaku sebagai anak oleh guru hamba, Nyi Dewi Durgarkumala dan setelah guru hamba menjadi permaisuri Kerajaan Wura-wuri hamba menjadi Sekar Keraton. Maka hamba tidak dapat menolak ketika hamba diutus menjadi wakil Wura-wuri untuk bergabung dengan kadipaten lain yang berusaha untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dari tahta. Akan tetapi setelah melihat kenyataan bahwa Kahuripan berada di pihak benar dan para kadipaten yang bersekutu dengan pemberontak Pangeran Hendratama adalah pihak yang sesat, hamba mengambil keputusan untuk berbalik membela Kahuripan dan menentang persekutuan itu."

"Ya, untuk itu Sang Prabu Erlangga dan aku merasa gembira dan berterima kasih kepadamu, Puspa Dewi. Maka para senopati termasuk Paman Tumenggung Jayatanu dipesan agar mencarimu dan kalau bertemu denganmu mengajak engkau datang menghadap. Lanjutkan ceritamu."

"Setelah perang usai, hamba kembali ke Karang Tirta dan mendengar bahwa Ibu hamba telah dapat terbebas dari Ki Suramenggala, hamba merasa lega karena sesungguhnya hamba juga tidak suka mempunyai Ayah tiri seperti Ki Suramenggala yang kejam dan jahat. Ketika itu, Ibu hamba berterus terang kepada hamba bahwa Ayah kandung hamba sesungguhnya belum mati seperti yang ia ceritakan sebelumnya. Setelah ia menceritakan tentang Ayah kandung hamba, hamba lalu mencarinya ke kota raja dan akhirnya hamba bertemu dengan Ayah kandung hamba, juga dengan Eyang Tumenggung Jayatanu dan semua keluarganya. Nah, demikianlah Gusti Patih dan atas kehendak Eyang Tumenggung, sekarang hamba dibawa menghadap Paduka."

Ki Patih Narotama mengangguk-angguk. "Bagus sekali, dan aku ikut merasa gembira bahwa akhirnya engkau dapat bertemu kembali dengan Ayahmu Senopati Yudajaya dan keluarganya dan lebih senang lagi bahwa engkau telah menyadari bahwa sudah semestinya engkau membela Kahuripan karena engkau kawula Kahuripan mengingat bahwa Karang Tirta adalah wilayah Kahuripan, Puspa Dewi. Sekarang, marilah engkau dan Paman Tumenggung kuantar menghadap Gusti Sinuhun."

Mereka bertiga lalu pergi ke istana dan seperti biasa, Ki Patih Narotama adalah satu-satunya pembantu Sang Prabu Erlangga yang dengan mudah dapat keluar masuk istana tanpa pengawasan atau pertanyaan. Ketika pengawal dalam keraton melaporkan, Sang Prabu Erlangga dengan gembira siap menerima Ki Patih Narotama yang membawa Tumenggung Jayatanu dan Puspa Dewi datang menghadap.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar