-------------------------------
----------------------------
Pakaian kakek itu berupa jubah berwarna kuning yang potongannya amat sederhana. Rambutnya panjang dan hampir putih semua, dibiarkan terurai di atas pundak dan punggungnya, yang di atas dibelah tengah. Dahinya lebar, mata seperti mata kanak-kanak, bening lembut dan mata itu juga tampak gembira, sesuai dengan mulutnya yang selalu mengembangkan senyum. Wajah kakek ini termasuk tampan dan gerak-geriknya lembut.
Melihat ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Kakek itu mencari mati, pikirnya, ia tidak mau kalau ada orang lain sampai menjadi korban karena hendak membelanya. Maka ia cepat berseru dengan lantang. "Eyang, pergilah jangan mendekat, jangan mencampuri urusanku. Berbahaya sekali bagimu. Pergilah, Eyang!"
Kakek itu memandang kepadanya dan senyumnya mengembang dan ketika pandang mata mereka bertemu, Puspa Dewi terkejut dan tertegun. Ia pernah melihat pandang mata seperti itu dan ia teringat. Yang memiliki pandang mata seperti itu adalah Ki Patih Narotama, Sang Prabu Erlangga, dan Nurseta! Akan tetapi, pandang mata mereka, bahkan sinar mata Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama sekalipun, tidak sekuat dan sehebat sinar mata kakek ini yang membuat ia tertegun dan seolah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang dengan terbelalak. Kini kakek itu sudah tiba di depan Tri Kala. Kala Muka membentak marah.
"Heh, pergi kamu! Apakah kamu ingin pula kupukul?"
"Shanti shanti shanti...!" Kakek itu berkata lirih namun suaranya terdengar oleh semua orang, begitu jelas terdengar walau pun lirih, bahkan terdengar oleh penduduk dusun yang berada di luar pekarangan.
"Aku tidak ingin dipukul, akan tetapi kalau Andika ingin memukulku, silakan." Kata-katanya diucapkan dengan lembut dan bukan merupakan tantangan, lebih seperti orang menyerah.
Mendengar jawaban ini, Kala Muka menjadi marah. Tadi dia tidak segera menampar atau menendang karena dia melihat orang itu tampak ringkih dan pakaiannya bukan seperti orang dusun, lebih mirip pakaian seorang pertapa atau pendeta. Kini, mendengar ucapan itu, dia melompat ke depan dan melayangkan tangan kanannya untuk menampar dada orang itu sambil membentak marah.
"Pergilah kamu...!"
Semua orang memandang dengan hati tegang dan ngeri. Kakek itu tentu akan terpental dan terbanting keras seperti mereka yang tadi terkena tendangan atau tamparan tiga orang itu. Akan tetapi, semua orang terbelalak ketika melihat bahwa yang terjengkang bukan kakek yang dipukul, melainkan Kala Muka sendiri! Padahal, semua orang melihat bahwa tamparan itu belum sampai menyentuh dada kakek itu. Kakek itu tersenyum dan wajahnya yang bersih, tanpa jenggot tanpa kumis itu, tampak sabar.
"Shanti-shanti-shanti..., Andika memetik buah perbuatan Andika sendiri, Ki Sanak."
Ucapan yang maksudnya menasihati itu diterima oleh Kala Muka sebagai ejekan. Dia melompat berdiri dan kini dia menyerang lagi, menggunakan kedua tangannya, memukul dengan dorongan penuh tenaga sakti ke arah dada kakek itu. Akibatnya lebih parah lagi. Tubuh Kala Muka terpental sampai tiga tombak dan terbanting keras. Padahal serangannya tadi belum menyentuh dada lawannya!
Kini tiga orang Kala itu maklum bahwa kakek itu bukan orang biasa, melainkan seorang yang memiliki kesaktian. Maka, dengan marah mereka bertiga mengeluarkan senjata masing-masing. Kala Muka mencabut kerisnya, Kala Manik mengeluarkan klewangnya dan Kala Teja mengeluarkan ruyungnya. Kakek ini harus dibunuh dulu agar jangan menjadi penghalang.
Seperti dikomando, ketiganya menerjang ke depan. Kala Muka menusukkan kerisnya ke arah perut, Kala Manik membacokkan klewangnya ke arah leher dan Kala Teja menghantamkan ruyungnya ke arah kepala. Kakek itu masih diam saja, berdiri santai dengan mulut tersenyum. Semua orang merasa ngeri bahkan banyak yang memejamkan mata, tidak tega melihat tubuh kakek itu menjadi bulan-bulanan tiga macam senjata itu. Akan tetapi kembali mereka terbelalak heran ketika melihat betapa sebelum senjata itu menyentuh tubuh kakek itu, Tri Kala terpental ke belakang dan terbanting jatuh sampai terguling-guling.
Melihat ini, lima orang itu terkejut bukan main. Kini mereka menyadari sepenuhnya bahwa kakek itu bukan hanya sakti biasa saja, melainkan sakti mandraguna.
"Orang tua, kalau Andika masih menentang kami, terpaksa kubunuh wanita ini!" kata Gandarwo. Dia menekan pedangnya lebih kuat ke leher Nyi Lasmi.
Akan tetapi kakek itu menuding ke arahnya dan tiba-tiba Ki Gandarwo terjengkang sehingga Nyi Lasmi terlepas dari pegangannya. Nyi Lasmi berlari menghampiri Tuspa Dewi, akan tetapi Cekel Aksomolo menghadangnya dan hendak menangkapnya. Kembali kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah Cekel Aksomolo dan laki-laki yang seperti Pendeta Durna ini terpelanting!
Melihat semua ini, Kala Muka yang sudah mendapat pesan Adipati Bhismaprabhawa bahwa kalau tidak dapat menangkap Puspa Dewi lebih baik gadis itu dibunuh saja, lalu menggunakan kesempatan itu untuk membawa kerisnya dan lari menghampiri Puspa Dewi, langsung menusukkan kerisnya ke arah lambung gadis itu!
Biarpun kedua lengannya diikat ke belakang tubuhnya, namun Puspa Dewi masih dapat bergerak dengan lincah. Ia mengelak dari tusukan keris itu dengan loncatan ke samping, kemudian ia memutar tubuhnya dengan cepat dan kakinya mencuat, merupakan tendangan kilat yang menyambar ke arah tubuh Kala Muka.
"Wuuuttt... desss!"
Tubuh Kala Muka terlempar dan jatuh berdebuk di atas tanah. Melihat keadaan mereka kini terancam bahaya, tanpa dikomando lagi lima orang itu segera melarikan diri meninggalkan pekarangan dan sebentar saja mereka lenyap ditelan kegelapan malam. Nyi Lasmi berusaha untuk melepaskan ikatan pada kedua pergelangan tangan puterinya, akan tetapi, tidak berhasil. Ikatan itu kuat bukan main.
"Mari kubantu melepaskan ikatan itu," terdengar suara lembut. Nyi Lasmi menengok dan ia melihat kakek tadi sudah berdiri di dekatnya.
"Ah, terima kasih, Paman. Tolonglah, ikatan itu kuat bukan main dan saya tidak dapat membukanya."
Kakek itu tersenyum dan tangannya menyentuh ikatan sabuk lawe itu. Tiba-tiba saja ikatan itu putus dan kedua tangan Puspa Dewi bebas! Puspa Dewi tadi melihat kesaktian kakek itu, dan kini kembali memperlihatkan kesaktiannya. Ikatan yang demikian kuat sekali sentuh saja sudah putus! Maka tanpa ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang tua itu dan menyembah.
"Kanjeng Eyang, banyak terima kasih atas pertolongan Eyang. Saya berhutang budi dan nyawa kepada Eyang. Saya mohon, sudilah kiranya Eyang menerima saya menjadi murid Eyang agar saya mendapat kesempatan untuk melayani Eyang."
"Sadhu-sadhu-sadhu...! Hanya Sang Hyang Widhi Maha Penolong dan hanya kepada Dia-lah kita mengucapkan syukur dan terima kasih. Shanti-shanti-shanti...'" Kakek itu lalu memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.
"Kanjeng Eyang...!" Puspa Dewi bangkit dan hendak mengejar.
"Dewi...!" Nyi Lasmi mengejar dan merangkul puterinya.
"Engkau hendak ke mana, Nak?"
"Ibu, Ibu melihat tadi betapa saktinya Kakek itu. Aku harus berguru kepadanya, Ibu, agar kelak dapat melawan orang-orang jahat itu. Sebaiknya Ibu tinggal di rumah Paman Lurah sini dulu dan menunggu sampai saya pulang. Saya harus berguru kepada Kakek itu lalu saya akan pergi mengunjungi Ayah Prasetyo!" Setelah berkata demikian, sekali melompat Puspa Dewi sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
"Dewi...!"
Akan tetapi teriakan dan panggilan Nyi Lasmi itu tidak mendapatkan jawaban. Ki Lurah Pujosaputro dan keluarganya yang sejak tadi mengintai dan tidak berani keluar, kini berlari menghampiri Nyi Lasmi yang menangis. Mereka menghibur Nyi Lasmi dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Para penduduk juga bubaran dan kembali ke rumah masing-masing, tiada hentinya membicarakan peristiwa yang mereka tonton tadi.
Hati Puspa Dewi merasa girang karena akhirnya ia dapat melihat bayangan kakek itu. Untung bulan tidak terhalang mendung sehingga ia dapat melihat bayangan itu. la segera mengerahkan tenaganya untuk mengejar, tidak berani memanggil-manggil karena khawatir akan mendatangkan kesan lancang atau kurang ajar. Akan tetapi, Puspa Dewi tertegun dan membelalak-belalakkan kedua matanya untuk memandang lebih jelas menembus cuaca yang remang-remang itu.
Ia mengerahkan tenaga saktinya untuk berlari cepat, diseling loncatan-loncatan jauh, akan tetapi sungguh aneh bukan main, karena jarak antara ia dan kakek itu tetap sama! Ia tidak pernah dapat mendekati, padahal ia mengerahkan ilmu berlari cepat dan kakek itu tampaknya hanya berjalan seenaknya, melangkah satu-satu. Puspa Dewi menjadi penasaran sekali dan terus melakukan pengejaran ke mana pun bayangan kakek itu pergi.
Ternyata kakek itu tidak pernah berhenti sejenak pun! Dia terus saja melangkah, tampak santai namun kenyataannya, Puspa Dewi yang mengerahkan tenaga sakti untuk berlari cepat sama sekali tidak pernah dapat menyusulnya. Puspa Dewi sudah merasa lelah sekali karena selama lebih dari setengah malam ia terus berlari cepat yang menggunakan banyak tenaga.
Sampai matahari fajar mulai menyingsing, kakek itu tidak pernah berhenti, bahkan kini mendaki bukit-bukit dari Pegunungan Seribu. Makin payahlah Puspa Dewi melakukan pengejaran karena sekarang ia harus berlari mendaki bukit dan menuruni jurang!
Setelah matahari naik agak tinggi, Puspa Dewi tidak kuat lagi dan ia pun roboh terguling. Ia bangkit lagi, akan tetapi terguling lagi karena kedua kakinya sudah tidak kuat lagi menyangga tubuhnya! Ia merasa nelangsa sekali, akan tetapi tidak berani memanggil kakek itu. Selain takut dianggap kurang ajar, ia pun mempunyai harga diri, bahkan ketinggian hati. Ia memang mohon dijadikan murid, akan tetapi untuk minta-minta, nanti dulu!
Maka, ia kini merebahkan tubuhnya dan membiarkan tubuh yang berdenyut-denyut karena penat itu mengaso. Alangkah nikmtnya rebahan beglnil Bau tanah terasa sedap harum, bahkan bau daun-daun yang membusuk terasa sedap. Dan sinar matahari yang terpecah-pecah oleh celah-celah daun pohon itu tampak amat indah.
"Sadhu-sadhu-sadhu...!"
Bagaikan mendapat semangat dan tenaga baru, Puspa Dewi bangkit duduk dan ternyata kakek tadi kini sudah berdiri di depannya sambil tersenyum lebar. Betapa ramah senyum itu, dan betapa sabar penuh pengertian sinar mata yang lembut itu!
Puspa Dewi lalu menyembah. "Eyang, sekiranya Eyang berkenan, sudilah kiranya Eyang menerima saya sebagai murid."
"Bocah manis, sungguh besar sekali tekad dan semangatmu. Jarang ada seorang bocah, apa lagi seorang wanita, memiliki tekad dan semangat seperti yang telah engkau perlihatkan. Aku akan menjadi seorang berhati keras dan kejam kalau tidak menuruti keinginanmu yang amat besar itu."
"Aduh Eyang, terima kasih... terima kasih...!" Puspa Dewi menyembah-nyembah dan... ia menangis saking girang hatinya.
Kakek itu lalu duduk di atas batu di bawah pohon, berhadapan dengan Puspa Dewi yang duduk bersimpuh di depannya. Semua rasa lelah tadi kini lenyap, tak terasa lagi oleh Puspa Dewi.
"Anak baik, siapakah namamu?"
"Nama saya Puspa Dewi, Eyang."
"Siapa orang tuamu dan di mana mereka? Apakah di dusun tadi?"
"Ibu saya bernama Nyi Lasmi dan tinggal di dusun Karang Tirta tadi, Eyang. Akan tetapi Ayah saya bernama Prasetyo dan tinggal di kota raja Kahuripan."
Puspa Dewi sudah merasa bimbang apa yang harus ia ceritakan kalau kakek itu bertanya mengapa ayah dan ibunya berpisah. Akan tetapi agaknya kakek itu tidak hendak bertanya tentang hal itu.
"Puspa Dewi, aku melihat bahwa engkau telah memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh walau pun agak liar. Akan tetapi sukurlah, sifat aji-ajimu itu tidak nempengaruhi jiwamu. Dari siapakah engkau mempelajari semua ilmu itu?"
"Guru saya adalah Nyi Dewi Durgakumala yang sekarang menjadi permaisuri di Kerajaan Wura-wuri, Eyang."
"Nyi Dewi Durgakumala? Shanti-shanti-shanti...! Pantas ilmumu seperti itu sifatnya. Akan tetapi sungguh engkau patut bersyukur kepada Hyang Widhi bahwa watak Nyi Durgakumala tidak menurun kepadamu. Sekarang jawablah, mengapa engkau ingin sekali menjadi muridku?"
"Saya melihat Eyang seorang yang sakti mandraguna dan saya ingin mempelajari ilmu yang lebih tinggi agar kuat untuk menghadapi semua tantangan orang-orang yang jahat seperti yang tadi menyerang saya. Saya pun ingin menggunakan tenaga saya untuk berbakti kepada Kahuripan. Sesungguhnya, guru saya, Nyi Durgakumala telah mengakui saya sebagai puteri angkatnya dan saya bahkan diangkat menjadi Sekar Kedaton di Wura-wuri. Akan tetapi karena saya melihat watak orang-orang Wura-wuri yang sesat dan saya melihat kebijaksanaan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, maka saya mengambil keputusan untuk membela Kahuripan karena sebagai penduduk dusun Karang Tirta saya adalah kawula Kahuripan Eyang,"
"Memang engkau berjodoh dengan aku, puspa Dewi. Akan tetapi, melihat tingkat kepandaianmu, aku hanya ingin memoles saja dan mencoba untuk melenyapkan sisa-sisa sifat liar dari ilmu mu. Dan untuk itu, aku hanya dapat membimbingmu selama tiga bulan dan selanjutnya, Sang Hyang Widhi sendiri yang dengan kemaha kuasaan-Nya akan menjadi guru dan pembimbingmu"
''Terima kasih, Eyang. Saya akan menaati semua bimbingan dan petunjuk Eyang"
''Sekarang karena aku sedang melakukan perjalanan dan tidak mempunyai tempat tinggal, carikan sebuah tempat tinggal yang baik untuk kita berdua tinggal selama tiga bulan, yang terpencil dan tidak berdekatan dengan orang lain."
"Baik, Eyang. Silakan Eyang menunggu di sini, saya akan mencarikan tempat tinggal yang Eyang kehendaki itu."
Setelah berkata demikian, biarpun tadi kedua kakinya demikian lelahnya sampai berdiri pun ia tidak mampu, kini timbul semangat yang demikian besarnya sehingga semua kelelahan itu tidak terasa lagi dan Puspa Dewi lalu mencari-cari sebuah tempat yang baik seperti yang dikehendaki kakek itu.
Sambil mencari-cari di sekitar bukit-bukit Pegunungan Kidul, Puspa Dewi masih merasa kagum dan heran akan kesaktian kakek itu. Baru teringat olehnya bahwa ia belum mengetahui siapa nama kakek yang kini menjadi gurunya itu. Nanti saja, pikirnya, sekarang yang terpenting mencari tempat tinggal yang dibutuhkan gurunya itu.
Akhirnya setelah matahari mulai condong ke barat, ia menemukan sebuah gua yang cukup luas dan bersih, lantainya juga merupakan batu datar sehingga cukup enak untuk dijadikan tempat tinggal. Juga gua itu terletak di sebuah bukit yang jauh dari dusun karena dari atas ia hanya melihat sebuah dusun kecil di kaki bukit.
Gua itu terletak sejauh bukit dari tempat di mana ia meninggalkan kakek itu. Dengan girang Puspa Dewi siap untuk kembali ke tempat tadi dan memberitahukan gurunya bahwa ia sudah menemukan tempat tinggal yang baik. Akan tetapi baru saja ia keluar dari dalam gua yang diselidikinya tadi, kakek itu telah duduk bersila di atas sebuah batu besar yang berada tepat di depan gua!
"Eyang Guru...!" Puspa Dewi berseru dengan girang, heran dan kagum sambil bersimpuh dan menyembah di depan batu yang diduduki kakek itu.
Kakek itu tersenyum dan wajahnya berseri, "Bagus, Puspa Dewi, tempat yang kau temukan ini cukup indah, bersih dan hawanya sejuk sekali. Aku suka tempat ini, Puspa Dewi."
"Saya bersyukur sekali, Eyang. Perkenankan saya mencari kayu-kayu, untuk membuat api unggun di waktu malam pengusir nyamuk dan mimik (kutu terbang kecil yang suka menggigit), dan rumput kering untuk tilam Eyang mengaso."
Gurunya mengangguk dan dari wajah yang lembut itu dapat dilihat bahwa dia suka sekali kepada murid baru ini. Puspa Dewi lalu pergi lagi. Tanpa mengenal lelah ia mengumpulkan kayu dan rumput kering, lalu menggotongnya ke dalam gua. Kayu-kayu kering itu ia tumpuk di ujung gua dan rumput kering yang sudah ia pilih, yang benar-benar kering dan bersih dari tanah, ia tumpuk dan rapikan di atas bagian yang paling tinggi dari lantai gua itu.
Tempat itu memang yang paling enak untuk berbaring atau duduk. Ia sendiri menaburkan rumput kering di sudut yang lain untuk tempat ia mengaso. Setelah selesai, ia mempersilakan gurunya memasuki gua. Kakek itu masuk ke dalam gua dan tersenyum-senyum melihat tumpukan kayu dan rumput kering itu.
"Ini saya persiapkan untuk tempat Eyang mengaso." katanya menunjuk ke arah tumpukan rumput di lantai yang paling tinggi itu. Gurunya mengangguk-angguk, lalu naik dan duduk bersila di atas tumpukan rumput kering.
"Nyaman di sini." katanya memuji.
"Eyang, sekarang perkenankan saya mencari semua kebutuhan untuk makan dan minum Eyang. Saya akan turun bukit pergi ke dusun di bawah sana. Saudara-saudara di dusun itu pasti dapat menyediakan semua kebutuhan kita."
"Hemm, bagaimana caranya engkau akan mendapatkan dari mereka? Orang-orang dusun itu hidupnya sudah serba sederhana bahkan kekurangan. Bagaimana mungkin mereka memberikan sebagian dari milik mereka yang sedikit itu kepadamu?"
"Eyang, tentu saja saya tidak tega minta kepada mereka. Akan tetapi saya mempunyai perhiasan-perhiasan dari emas ini untuk ditukar dengan kebutuhan kita. Mereka dapat menjual emas ini di kota dan dapat membeli keperluan mereka yang lebih banyak." Puspa Dewi memperlihatkan perhiasannya berupa gelang, kalung, cincin dan lain-lain yang amat mahal harganya kepada gurunya. Ia mendapatkan semua perhiasan yang amat indah dan mahal Itu dari Adipati Wura-wuri ketika ia berada di istana Wura-wuri sebagai Sekar Kedaton.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Bagus, memang sepatutnya begitu. Para Saudara di dusun itu perlu diberi bantuan, bukan dimintai bantuan. Akan tetapi jangan pergi sekarang, Puspa Dewi. Sebentar lagi malam tiba. Besok saja pagi-pagi engkau cari semua kebutuhan itu. Yang penting sekarang cobalah cari dimana adanya air jernih untuk membersihkan badan dari debu. Pergilah ke sana." Kakek itu menunjuk dengan tangan kirinya ke arah selatan.
Puspa Dewi lalu keluar dari gua dan menuju ke arah yang ditunjuk gurunya. Dan belum jauh ia pergi, ia melihat sumber air mancur dari sebuah batu besar. Sejenak ia berdiri tertegun memandang air mancur itu, seolah terpesona dan tidak percaya. Dewa kah kakek gurunya itu? Banyak keajaiban dilakukan kakek itu. Cara kakek itu membuat lima orang penyerangnya melarikan diri ketakutan karena semua serangan membalik dan memukul penyerangnya sendiri sebelum senjata penyerang itu menyentuh tubuhnya.
Kemudian ketika ia melakukan pengejaran, kakek yang jalan santai itu tidak dapat ia susul padahal ia lari dengan pengerahan tenaga saktinya. Setelah itu, ketika ia mencari gua dan menemukannya, tahu-tahu gurunya telah berada di depan gua! Dan sekarang, gurunya itu seolah sudah tahu bahwa di sebelah selatan gua, tidak jauh dari situ, terdapat air yang dibutuhkan. Segera ia berlari memasuki a dan menghadap gurunya, "Eyang, betul terdapat sebuah pancuran air jernih di sana!"
"Bagus, biar aku membersihkan badan lebih dulu," kata kakek itu dan dia lalu bangkit berdiri dan melangkah perlahan keluar dari gua menuju pancuran itu. Puspa Dewi duduk termenung, masih terpesona oleh rasa kagum dan heran terhadap gurunya. Tampaknya demikian ringkih, namun tubuh yang tampak ringkih itu ternyata mengandung kekuatan yang amat hebat!
Tak lama kemudian kakek itu memasuki gua kembali. Wajahnya segar dan basah, demikian pula tangan dan kakinya Dia tertawa lembut kepada Puspa Dewi. "Sekarang giliranmu membersihkan badanmu, Puspa Dewi. Cepatlah sebelum keburu gelap."
Dengan hati gembira Puspa Dewi mandi di pancuran. Biarpun ia tidak dapat berganti pakaian karena kepergiannya secara mendadak sehingga tidak sempat membawa pakaian pengganti, namun tubuhnya terasa segar bukan main. Juga rasa lelahnya lenyap ketika ia minum air pancuran yang amat jernih itu.
Ketika ia kembali ke dalam gua, dalam keremangan cuaca senja ia melihat gurunya duduk bersila di atas tumpukan rumput dengan kedua mata terpejam. Puspa Dewi tahu bahwa kakek itu sedang tenggelam dalam samadhi, maka ia tidak mau mengganggunya. Malam mulai gelap, bulan belum muncul. Ia membuat api unggun di mulut gua, lalu duduk dekat api unggun yang menghangatkan badan dan mengusir nyamuk.
Puspa Dewi duduk melamun dekat api unggun. Karena melamun, Puspa Dewi lupa akan waktu. Seperti biasa, kalau dilupakan, waktu melesat cepat sekali tanpa terasa. Sesekali gadis itu menambah kayu kering agar api unggun itu tidak padam, la merasa perutnya menagih nasi, berkeruyuk seperti ayam hutan bersahut-sahutan.
"Puspa Dewi, engkau lapar?"
Puspa Dewi tersentak dan sadar dari lamunannya. Cepat ia menengok dan gurunya sudah berdiri di situ. Ia cepat bangkit berdiri dan mukanya terasa panas. Tentu mukanya berubah merah karena malu mendengar pertanyaan gurunya. Apakah gurunya itu mendengar bunyi dari dalam perutnya yang berkeruyuk tadi? Ia memandang wajah gurunya dan ikut tersenyum lalu mengangguk.
"Ha-ha-ha." kakek itu tertawa lembut, "Bagus sekali, Puspa Dewi. Memang orang tidak perlu munafik menyembunyikan kelemahannya. Bukan engkau saja, perutku ini pun menagih karena sudah tiga hari tiga malam tidak menerima makanan. Akan tetapi, kita tahan malam ini lagi. Besok engkau boleh mencari makanan untuk perut kita. Sekarang, padamkan api unggun itu. Sinarnya mengganggu keindahan sinar bulan yang sudah muncul. Mari kita duduk di atas batu depan gua."
Mereka berdua duduk berhadapan di atas batu depan gua. Sejenak mereka berdiam diri dan sinar bulan membuat suasana seperti dalam dongeng atau seperti dalam dunia lain, penuh keindahan ajaib, mengandung rahasia keagungan yang meresap melalui udara yang sejuk sampai ke tulang sumsum.
"Nah, sekarang kita sempat bercakap-cakap, Puspa Dewi. Engkau belum menceritakan semua pengalamanmu sampai engkau dikeroyok lima orang itu. Akan tetapi sebelum itu, adakah sesuatu yang ingin kau tanyakan kepadaku?"
Kembali Puspa Dewi tertegun. Kakek ini seolah dapat menjenguk isi hatinya. Memang sejak siang tadi ia ingin sekali bertanya siapa adanya kakek yang luar biasa ini. Kini ia diberi kesempatan bertanya, maka ia segera berkata.
"Mohon maaf, Eyang. Kalau saya boleh bertanya, siapakah asma (nama besar) Eyang? Eyang datang dari mana dan hendak ke mana? Maafkan kalau pertanyaan saya ini lancang."
"Ha-ha, sama sekali tidak lancang, Puspa Dewi. Sudah sewajarnya seorang murid mengetahui nama gurunya. Aku adalah Resi Satyadharma, pertapaanku di Gunung Agung, Bali-dwipa. Aku sedang mengadakan perjalanan berkunjung ke Kahuripan dan kebetulan bertemu denganmu, maka aku menunda kunjunganku selama tiga bulan untuk membimbingmu."
Nama itu tidak berkesan apa-apa dalam hati Puspa Dewi karena ia memang belum pernah mendengarnya. Ia tahu bahwa di Nusa Bali memang terdapat banyak orang-orang sakti.
"Nah, sekarang ceritakanlah tentang pengalamanmu dan mengapa engkau tadi dikeroyok orang-orang itu."
"Mereka berlima itu adalah para senopati Wura-wuri yang hendak memaksa saya kembali ke Wura-wuri, Eyang. Karena saya telah bersalah terhadap Wura-wuri dan saya tahu bahwa Guru saya Nyi Dewi Durgakumala pasti marah dan tidak mau mengampuni saya, maka saya menolak ketika diajak ke Wurawuri. Selain itu, juga saya telah mengambil kepastian untuk memutuskan semua hubungan saya dengan Nyi Dewi Durgakumala dan Kerajaan Wura-wuri."
"Mengapa engkau dimusuhi mereka, Puspa Dewi?"
"Karena saya telah mengkhianati Kerajaan Wura-wuri, Eyang."
Kakek itu tersenyum lebar. Dia senang melihat betapa gadis itu amat jujur. Mudah dan enak saja mengakui bahwa ia telah menjadi pengkhianat!
"Hemm, begitukah? Coba ceritakan."
Puspa Dewi menceritakan betapa sebagai anak angkat Nyi Dewi Durgakumala ia menjadi Sekar Kedaton di Wura-wuri, kemudian ia diberi tugas oleh Sang Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala untuk mewakili Wura-Wuri dalam persekutuan dengan para kadipaten lain, membantu gerakan Pangeran Hendratama yang memberontak kepada Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi, setelah berhasil diselundupkan ke dalam istana Kerajaan Kahuripan, Ia membalik, membantu Kahuripan dan menentang persekutuan yang hendak menjatuhkan Sang Prabu Erlangga.
"Demikianlah, Eyang. Karena saya telah mengkhianati Wura-wuri, maka saya tidak mau kembali kesana menerima hukuman."
Kakek itu mengangguk-angguk setelah mendengarkan cerita Puspa Dewi yang panjang lebar itu. "Aku senang melihat kejujuranmu, Puspa Dewi. Akan tetapi katakan, mengapa engkau mengkhianati Wura-wuri di mana engkau telah diangkat menjadi Sekar Kedaton?"
"Ampun, Eyang. Tadinya memang saya hendak membela Wura-wuri karena saya telah menjadi Sekar Kedaton. Akan tetapi setelah berada di Kahuripan dan bertemu dengan Nurseta, Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga, saya menyadari akan kesalahan saya. Pertama, saya sesungguhnya adalah kawula Kahuripan. Ke dua, saya melihat betapa para pimpinan Kahuripan itu bijaksana sekali, sebaliknya saya melihat betapa persekutuan itu terdiri dari orang-orang jahat. Ketiga, saya memang sejak dulu selalu menentang perbuatan Nyi Dewi Durgakumala yang amat keji, walau pun ia menjadi guru saya. Karena semua itulah saya lalu membalik, membela Kahuripan dan menentang persekutuan jahat itu, Eyang."
"Sadhu-sadhu-sadhu, bersyukurlah kepada Sang Hyang Widhi yang telah memberimu kesadaran itu, Puspa Dewi sehingga engkau tidak terseret ke dalam kesesatan. Engkau telah berjasa besar untuk Kahuripan, mungkin pertemuanmu dengan aku ini merupakan imbalan jasamu. Ketahuilah, Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang telah kau bantu itu, mereka adalah murid-muridku, Puspa Dewi."
"Ahhh...!" Puspa Dewi menyembah. "Sungguh merupakan anugerah besar sekali Eyang sudi menerimaku sebagai murid." Gadis itu merasa girang sekali. Pantas kakek ini demikian sakti mandraguna! Kiranya guru dari Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang amat sakti itu!
Pada keesokan harinya, Puspa Dewi menuruni bukit dan mendapatkan semua kebutuhannya untuk makanan dan pengganti pakaiannya. Juga ia mendapatkan pakaian untuk pengganti pakaian gurunya. Sejak hari itu, Puspa Dewi mendapat gemblengan dari Sang Resi Satyadharma. Bukan hanya semua aji kesaktiannya yang dipoles oleh Sang Resi itu sehingga hilang sifat liar dan kejamnya, dan ia menerima pula aji pukulan yang dahsyat, latihan menghimpun tenaga sakti. Akan tetapi lebih daripada itu, Puspa Dewi menerima penggemblengan batin sehingga ia mampu menerima sentuhan kekuasaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Sang waktu meluncur dengan cepat sekali sehingga tanpa dirasakan dan disadari oleh Puspa Dewi, tahu-tahu tiga bulan telah lewat semenjak ia tinggal di gua bukit Pegunungan Kidul itu bersama Maha Resi Satyadharma. la baru menyadari ketika pada malam bulan purnama yang amat indah itu, Resi Satyadharma mengajaknya duduk di luar gua.
"Nini, rupanya engkau tidak menyadari bahwa sudah tiga bulan kita berada di tempat ini." kata Kakek itu setelah mereka seperti biasa, duduk saling berhadapan di atas batu-batu depan gua.
Hati Puspa Dewi terkejut sekali menyadari bahwa saatnya tiba ia harus berpisah dari gurunya yang selama tiga bulan ini telah memberi banyak sekali kepadanya. Bukan hanya aji-aji kesaktian, akan tetapi terutama sekali kesadaran yang mengubah sama sekali keadaan batinnya sehingga ia menyadari betapa selama ini ia berdekatan dengan segala kesesatan yang dilakukan Nyi Dewi Durgakumala dan para tokoh lain.....