Warisan Jenderal Gak Hui Jilid 7

Jilid ke 7

PEMUDA yang rambutnya selalu terurai itu sebenarnya adalah seorang gadis dan dia itu lah tunanganku. Dia sengaja menyamar sebagai seorang pemuda dengan maksud untuk mengelabui saya. Dia selalu menjauhi diriku. Telah setengah tahun ini aku mencari kemana-mana tetapi tidak kujumpai, Dikalangan Kang-ouw dia terkenal dengan geJar Sio Bie Hu, Apakah Thaihiap dapat menunjukkan kepadaku jejak tunanganku itu ?” seru Ceng Yun Leng dengan penuh harapan. Tong Kiam Ciu berpikir sejenak, kemudian mengerutkan kening dan mengatupkan bibirnya "Menyesal sekali aku tidak dapat memberikan petunjuk itu kepadamu. Karena aku bertemu dengan dia hanya dua kali. Itupun dari jarak jauh . . .” jawab Tong Kiam Ciu menegaskan. Tong Kiam Ciu tidak dapat melanjutkan kata-katanya itu, karena terasa bembusan angin berhawa harum. Ketika itu tampaklah seorang gadis telah berdiri didekat Tong Kiam Ciu.

Hampir terpekik Tong Kiam Ciu ketika menyaksikan gadis yang baru datang.

Karena gadis ttu tiada lain ialah Tong Bwee. Betapa girang hatinya ketika menyaksikan kedatangan adiknya itu, maka segeralah dia menghampiri dan lupa kalau Tong Bwee bukan adiknya yang sesungguhnya. Kiam Cu menubruk dan memeluk gadis itu. Ji Tong Bwee membersit merah wajahnya. Karena galis itu menyadari kalau Kiam Ciu itu bukanlah kakaknya yang sebenarnya. Maka agak tersipu gadis itu karena ditempat itu ada orang lain ialah Ceng Yun Leng. Kiam Ciu didorongnya dan sambil tersenyum gadis itu mengisyaratkan bahwa ditempat itu ada orang lain. Barulah Kiam Ciu menyadari perbuatannya itu. Dia sendiri merasa malu berpaling ke arah Ceng Yun Leog. Tetapi pemuda itu tersenyum dan berpaling kearah lain. "Oh maaf saudara Yun Leng. Kami lama tidak bertemu semenjak masih kanak-kanak” seru Kiam Ciu sambil memperbaiki kekikukannya.

"Sudah lumrah, dua orang yang saling mengasihi” sambung Yun Leng.

"Adik kecil . . . oh adik Tong Bwee, mengapa kau dapat berada disini ? Apakah ayah dan ibu . . . ?” seru dan tegur Kiam Ciu bertubi-tubi tetapi akhirnya terbungkam ketika menyaksikan gadis yang jelita itu hanya tersenyum tetapi terurai air matanya?. Setelah menahan uraian air mata gadis yang bermata lebar dan berpipi merah jambu itu menuturkan kata-kata dengan nada sedih.

"Twa-supek sudah meninggal dunia”

"Hah ?!” seru Kiam Ciu setengah menjerit kaget.

"Sejak kau pergi dulu. Twa-supek lalu jatuh sakit. Karena luka dalam yang dideritanya. Penderitaannya terlalu berat, segala usaba tidak dapat untuk menyembuhkan sakitnya. Dua tahun dia menderita. Sebenarnya ayah dan ibu mengusulkan untuk memanggil kau pulang tetapi Twa-supek tidak setuju.

Sepanjang hari dan sepanjaog waktu Twa-supek selalu mengingat-ngingat kau sebelum menghembuskan napas yang terakhir, menanti-nanti agar kau selalu menjalankan perintah dan amanatnya. Ketika Twa-supek telah dipanggil kejalan Giam-lo-ong maka aku minta ijin kepada ayah dan ibu untuk menyusulmu, setengah tahun aku mengembara untuk mencari jejakmu. Akhirnya aku mendengar kabar bahwa kau telah berhasil dalam pertemuan Bu-lim dalam pesta Bu-lim-tahwee. Kau terkenal dengan gelar Giok-ciang-cui-kiam.. “ seru Ji Tong Bwee sambil tersendat-sendat kata-katanya karena menahan isakan.

Air mata gadis itu masih meleleh kepipinya, air mata keharuan. Mereka dapat dipertemukan dalam suasana tenang. Kiam Ciu dan Tong Bwee merasa syukur kepada Thian karena pertemuan itu.

Tong Kiam Ciu mendengar kisah penuturan Ji Tong Bwee itu dengan seksama dan dengan hati penuh kedukaan.

Karena dia sudah tidak mungkin untuk bertemu lagi kepada suhunya Pekhi-siu-si yang telah mengasuh dengan penuh kasih sayang dan memanjakannya. Budi lubur kakek budiman itu tak akan terlupakan sepanjang hayatnya. Namun kini kakek budiman telah pergi ke Giam-lo-ong. Tinggalah dia harus memenuhi segala bimbingan dan serta pesan-pesannya saja.

Maka kini Kiam Ciu bertekad untuk mengamalkan segala kebaikan dan menindas kejahatan seperti pesan suhunya almarhum.

Ceng Yun Leng ketika itu hanya terdiam dan menundukkan kepala.

Jadinya serba kikuk perasaan pemuda itu, Akan menyaru mengundurkan diri dia tidak sampai hati untuk memotong pembicaraan kedua insan yang ruparupanya telah lama berpisah itu, Begitu pula mau tak mau dia telah mendengarkan kisah sedih itu. Hatinyapun ikut berduka.

Ceng Yun Leng menyaksikan keadaan itu jadinya serba salah. Maka ketika suasana sudah tampak tenang dia baru mulai berbicara.

"Tong Siawhiap. aku tidak akan mengganggu lagi. Idzinkanlah aku minta diri.

Aku yakin bahwa kita kelak akan bertemu lagi” seru Yun Leng dengan sopan dan membungkuk hormat. Ketika pemuda itu memutar tubuh dan akan berlalu, tiba-tiba matanya menyaksikan serombongan orang bersenjata lengkap mendatangi tempat itu.

Yun Leng menahan niatnya dan berbalik melihat kearah Tong Kiam Ciu kemudian melihat kembali kearah orang-orang yang semakin dekat itu.

Ketika rombongan itu bertambah dekat, Tong Kiam Ciu menarik napas panjang dan tersenyum. Begitu juga Yun Leng menjadi terheran-heran tampak ia kerutkan keningnya. Ternyata rombongan itu adalah rombongan orang-orang dari partai persilatan Kim-san yang dipimpin oleh seorang gadis cantik.

Dengan satu isyarat orang-orang yang bersenjata tombak dan pedang itu segera mengurung ketiga orang itu. Tong Kiam Ciu terheran-heran menyaksikan sikap itu. Dia masih teringat beberapa hari yang lampau pernah berhasil dan merobek kedok kulit sinja yang dipakai gadis itu.

"Suheng ! Kebetulan kau ada disini. kau dapat membantuku memberi hajaran orang she Tong ini !” seru gadis itu kepada Yun Leng.

"Sumoi tunggu dulu! Apakah artinya ini?” seru Ceng Yun Leng sambil mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap tak mengerti.

Ternyata Ceng Yun Leng adalah saudara sepergutuan dengan gadis itu.

Hanya saja gadis itu memang bersikap angin-anginan dan terlalu dimanja, sehingga tiada seorangpun yang ditakutinya kecuali ayahnya.

Dia telah membawa orang-orang dari partai Kim-sai untuk mengepung dan memberi hajaran kepada Tong Kiam Ciu. Semuanya itu tidak dipahami oleh Yun Leng. "Suheng ! Kau tak usah banyak berbicara dan beralasan ! Ayo kau bantu aku untuk memberi hajaran kepada orang she Tong itu, Dia adalah Tong Kiam Ciu pemegang pedang Oey Liong Kiam !” seru gadis itu dengan nada keras dan lantang. Ceng Yu Leng menjadi serba salah dan bingung menghadapi adik seperguruannya itu. Karena dia tidak mengetahul latar belakang yang sebenarnya dalam kejadian itu. Dia yakin bukan karena pedang Oey Liong Kiam yang terang sudah resmi menjadi haknya Tong Kiam Ciu setelah diperebutkan dalam pertemuan Bu-lim-ta-hwee.

Ketika gadis itu memperhatikan suhengnya tidak beraksi mendengar penuturan bujukannya itu, maka dia yakin bahwa suhengnya tidak mau membantu untuk menghajar Tong Kiam Ciu. Maka segeralah dia memberikan aba-aba kepada para pengikutnya untuk menyerang Kiam Ciu.

Tong Kiam Ciu memperhatikan keadaan itu sejak kedatangan orang-orang Kim-sai dan mengepungnya tadi. Setelah menginsyapi bahwa bakal terjadi sesuatu perkelahian yang tiada ujung pangkalnya. Maka dengan mengerahkan ilmu Bo-kit-sin-kong dia berseru.

"Tahan !” seru Kiam Ciu dilambari dengan Bo-kit-sin-kong, Suara bentaran Kiam Ciu itu berhasil membuat ngeri orang-orang dari partai Kim-sai. Mereka menahan diri. Kemudian terdengar Kiam Ciu berseru lantang memperlihatkan nada amarahnya diarahkan kepada gadis itu sambil menudingkan jari telunjuk tangan kanan.

"Siocia sudah dua kali mengganggu dan merintangiku ! Kali ini lagi ! Dengan tanpa sebab siocia hendak menyerangku, apakah salahku ?. Jika siocia dapat menunjukkan kesalahanku dan ternyata kesalahanku itu terbukti, aku rela dihajar. Aku tidak akan melawan !” seru Kiam Ciu dengan berakhir membuka kedua belah tangannya. Gadis yang manja dan angin-anginan itu menjawab seenaknya.

"Tentu saja ada sebabnya I” seru gadis itu seenaknya.

Dengan berakhirnya kata-kata itu dia telah meloncat menyerang Kiam Ciu.

Sambil memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk menyerang. Namun Kiam Ciu waspada dan menggeserkan kaki kanannya kesampiig. Ternyata serangan gadis itu dapat dielakan.

"Jika siocia hendak menyerangku, aku terpaksa untuk melayaninya !” seru Kiam Ciu dengan nada bersungguh-sungguh.

"Siapa takut dengan kamu ?!” seru gadis itu dan balik memutar tubuh.

Kembali menyerang dengan serangan yang lebih hebat lagi.

Namun Kiam Ciu sekali lagi berhasil menghindari serangan lawan. Gadis itu merasa heran karena serangan-serangannya sama sekali tidak berhasil bahkan dapat dihindari dengan mudah, padahal dia menyerang dengan tiba-tiba. Yang paling menjengkelkan pula ialah ketika menyaksikan orang-orangnya. Orangorang partai Kim-sai yang sedianya dibawa untuk mengerubut Kiam Ciu itu ternyata hanya diam saja menonton.

Karena sudah merasa kepalang tanggung dan malu untuk mundur. Maka dengan meningkatkan ilmunya dia telah memasang kuda-kuda dan sedia tangannya membentuk seperti cakaran setelah memiringkan tubuh dan agak merandek dengan diaertai jeritan gadis itu melonpat menerkam lawan.

Namun Kiam Ciu tampak tenang saja dan meloncat kesimping. Gadis itu menerkam angin dan terhuyung kedepan kemudian jungkir balik. Meloncat berdiri kemudian memutar tubuh dan dengan mata berjaga-jaga meloncat menerkam punggung Kiam Ciu.

Tetapi dalam keadaan itu tiba-tiba orang-orang Kim-sai tampak berlutut, Di tempat itu tampak seorang kakek berjubah putih dan seluruh rambutnya sudah berwarna putih dan digelung diatas kepala. Kakek itu menyaksikan beberapa orang Kim-sai kemudian memandang kearah kedua orang yang sedang bertempur itu. "Oh, luar biasa kakek itu wibawanya. Siapakah sebenarnya” pikir Kiam Ciu ketika menyaksikan kakek itu yang telah berada ditempat itu dengan tiba-tiba dan mempunyai pandangan mata yang memukau.

Gadis yang menyerang Kiam Ciu menahan serangannya, sedangkan Yun Leng yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu juga telah berlutut. Ji Tong Bwee juga merasa heran menyaksikan kakek itu, juga menyaksikan orang-orang Kim-sai dengan tiba-tiba telah berlutut. Begitu pula gadis yang angin-anginan itu tampak menahan serangan dan keningnya berkerut.

"Kalian terlalu lancang semua ! Kalian mengaku orang dari partai Kim-sai ! Tetapi kalian telah melupakan peraturan partai Kim-sai !” seru kakek itu dengan suara lantang dan nyaring.

Kemudian suasana menjadi sepi sesaat. Hanya terdengar kesiur angin menghembus dedaunan dalam hutan itu. Kakek itu ganti menatap kearah gadis tadi yang menyerang Kiam Ciu detigan sinar mata tajam.

"Li Kun ! Kau bertindak terlalu sembrono dan melanggar pesanku !” seru kakek itu kepada gadis yang menyerang Kiam Ciu yang ternyata bernama Li Kun itu. "Ayah . . . . .” seru Lio Kun sambil berlutut dan menjura kepada kakek itu yang ternyata adalah ayahnya. Ialah ketua partai Kim-sai.

Tetapi kakek itu tidak memperhatikan puterinya. Bahkan mendekati Kiam Ciu dan menegurnya dengan suara ramah.

"Siauwhiap, siapakah namamu ?” seru kakek itu.

"Aku Tong Kiam Ciu” seru Kiam Ciu sambll menghormat dan menjawab dengan suara sopan. "Tong Kiam Ciu ? Oh. kalau tidak berkeberatan aku ingin tahu siapakah suhumu ?” sambung kakek itu dengan suara ramah dan wajah cerah.

"Aku adalah asuhan suhu Pek-hi-siu-si” jawab Kiam Ciu pula.

"Oh . . . . . . . .” kini kakek itu tampak terperanjat.

"Mengapa locianpwee ?” seru Kiam Ciu heran menyaksikan sikap kakek itu yang tampak pucat wajahnya dengan tiba-tiba.

"Namaku Kuk Kiat. Aku sudah puluhan tahun mengasingkan diri. Apakah suhumu tidak pernah menceritakan tentang diriku dan pariai Kim-sai kepadamu Tong Siauwhiap ?” sambung kakek itu sambil mengusap wajahnya.

"Tidak, Suhu belum pernah menceritakan tentang diri locianpwee dan partai Kim-sai bahkan aku menjadi sangat heran dan tidak mengerti urusan ini.

Mengapa putrimu selalu mengganggu dan menghalang-halangiku samoai tiga kali ini. Apakah kesalahanku dan ada urusan apa diantara diriku dan partai Kimsai..” seru Kiam Ciu menjelaskan dan menyampaikan rasa tidak tahunya itu kepada Kuk Kiat agar semua urusan menjadi terang.

"Oh, Pek-hi-siu-si. Aku merasa malu sekali karena perbuatan anakku,”

sambung kakek itu dengan nada rawan.

Sesaat suasana menjadi tenang. Semua diam, orang-orang dari partai Kimsai menunduk memandang tanah. Mereka tidak ada yang berani mengangkat wajahnya, apa lagi memandang kearah Kuk Kiat.

"Suhu memang belum pernah bercerita tentang diri Locianpwee, sedangkan partai silat Kim-sai aku belum pernah mendengar namanya” tiba-tiba Kiam Ciu memecahkan keheningan itu.

Kemudian terdengar kakek itu tertawa gelak gelak.

"Pek-hi-siu-si benar-benar adalah seorang yang jujur dan luhur budinya.

Dikalangan Kang-ouw orang harus menjunjung tinggi kejujuran dan kepercayaan orang lain. Pek-hi-siu-si adalah seorang budiman Suhumu tidak memberitahukan tentang diriku dan partai Kim-sai karena satu perkataan.

Akupun telah meninggalkan kalangan Kang-ouw dan meninggalkan keluarga tinggal disuatu tempat terpencil dipegunungan Tai-pie-san selama sepuluh tahun, juga karena satu perkataan !” seru kakek itu dengan wajah cerah dan mata bersinar bening kearah Kiam Ciu.

Sesaat suasana kembali lengang. Semua yang berada ditempai itu harap cemas. Mereka merasa telah melanggar pesan suhunya. Serta mereka telah melanggar peraturan partai Kim-sai.

Kemudian kakek itu berpaling kearah puterinya seraya berseru.

"Li Kun, kau telah lancang dan tanpa menyelidiki terlebih dahulu, kau telah menyerang seseorang yang tidak bersalih ! Sehingga aku kehilangan muka untuk menjumpai Pek-hi-siu-si”

Tong Kiam Ciu tidak mengerti maksud kakek itu. Dia merasa bahwa itu bukanlah urusannya. Karena kata-katanya itu ditujukan kepada puterinya maka Kiam Ciu hany diam dan mendengarkan pula kata-kata yang diucapkan oleh kakek itu. Kemudian tampaklah kakek itu mengelus jenggotnya yang tekah memutih dan panjang. "Sebelum aku pergi menuju ke Tai-pie-san aku telah berpesan kepadamu Li Kun dan kepada kalian untuk mematuhi sejala peraturan partai Kim-sai serta menjunjung nama baik kita. Bagi yang telah melanggar harus rela menerima hukuman partai” sambung kakek itu dengan suara tenang sambil menatap Li Kun yang menunduk dan orang-orang ya.ng berlutut didepannya.

Orang-orang partai Kim-sai yang telah merasa melanggar peraturan partai itu menyahut serentak seperti mendapat aba-aba "Aku merasa bersalah dan rela menerima hukuman partai!” seru beberapa orang serentak. Hingga suara itu mengatasi suara desir angin dan desauan daun-daun liu yang ditiup angin kencang saat itu.

Belum lagi orang-orang itu melanjutkan kata-katanya, kakek berjanggut panjang dan putih itu membentak.

"Dengar baik-baik perkataanku !”

Kemudian diam lagi dan tampak dia memandang ke langit, setelah menghela napas dia berseru lagi. "Sebelum aku menghukum kalian, aku harus menjumpai Pek-hi-siu-si terlebih dahulu. Mungkin kalian belum mengetahui tentang persoalanku dan hubunganku dengan pendekar budiman itu? Mungkin kalian ingin mendengarnya dan juga Tong Siauwhiap ingin mendengar kisahnya ?” kakek itu terhenti lagi dan mengamati orang-orang yang berada di tempai itu.

Apa yang diucapkan oleh kakek itu sangat menarik bagi Tong Kiam Ciu. Dia merasa ingin mengetahui kisah hubungan antara suhunya dengan ketua partai Kim-sai sehingga ketua partai itu rela mengasingkan diri ke gunungan terpencil dan sepi. Serta kelihatan sangat menghargai suhunya itu. Juga gadis yang manja Kuk Li Kun itupun ingin mendengar kisah dan latar belakang pengasingan ayahnya. Sekitar tiga puluhan tahun yang silam. Partai silat Kim-sai telah diwariskan kepada Kuk Kiak. Dia telah menerima kepercayaan untuk memimpin partai silat itu dengan sepenuh hati. Kuk Kiak ternyata adalah seoraog yang berjiwa ulet dan disiplin. Dengan bantuan kawan-kawan serta saudara seperguruan dia berhasil membina partai silat Kim-sai menjadi partai sitat yang besar dan kuat.

Bahkan boleh dikatakan partai Kim-sai adalah partai silat yang terkuat di kalangan Kang ouw. Pada suatu hari, dikalangan Kang-ouw muncul seseorang yang berkepandaian tinggi, yang kemudian terkenal dengan julukan Pek-hi-siu-si.

Semua tokoh membicarakannya.

Pada pertemuan Bu-lim-ta-hwee yang diselenggarakan sepuluh tahun sekali, dimana para jago silat mengadu kepandaian memperebutkan pedang Oey Liong Kiam. Pada saat itu muncul pula Pek-hi-siu-si.

Dengan mengandalkan ilmu pedang Lik-siang-kiam-hoat (ilmu pedang berobah-robah corak) serta ilmu Bo-kit-sin-kong, Pek-hi-siu-si berhasil keluar sebagai juara dan merebut pedang Oey-liong-kiam.

Dua puluh tahun berturut-turut pedang 0ey Liong Kiam berhasil dipertahankan oleh Pek-hi-siu-si. Sehingga namanya bertambah harum dan disanjung-sanjung orang. Sejak munculnya Pek-hi-siu-si sebagai pemegang pedang Oey Liong Kiam itu. Mendadak pamor partai silat Kim-sai merosot. Kuk Kiat menjadi sangat iri melihat Pek-hi-siu-si seorang diri sanggup mengalahkan jago-jago silat.

Dengan diam-diam Kuk Kiat menemui Pek-hi-siu-si dan menantang untuk mengadu kepandaian ditempai yang terpencil, Tantangan itu diterima oleh Pekhi-siu-si.

Hari yang ditentukan telah tiba. Dua orang yang akan saling berhadapan dan mengadu kepandaian ilmu serta ketangkasan kini telah bertemu di tempat yang terpencil. Tempat yang mereka tentukan sebelumnya. Sebelum dimulai tampak Pek-hi-siu-si tersenyum memandang kepada Kuk Kiat serta berseru.

"Seseorang yang menginginkan menjadi jago silat yang terkalahkan selain ilmunya harus tinggi, juga harus mempunyai kesempurnaan budi yang luhur dan kemurahan hati” seru Pek-hi-siu-si dengan suara tenang dan berwibawa.

Sebenarnya Kuk Kiat telah dapat mengukur kepandaian Pek-hi-siu-si dalam pertemuan itu. Teiapi karena dia berhati keras dan sombong maka perasaan itu disingkirkannya dan dia bertekad untuk mengalahkan Pek-hi-siu-si.

Pertempuran itu segera berjalan. Ternyata Kuk Kiat dapat dikalahkan oleh Pek-hi-siu-si. Namun dengan baik hati dan berwibawa sekali kakek itu telah memberikan kesempatan kepada Kuk Kiat. Terserah untuk mematuhi perjanjian sabagai syarat sebelum pertempuran adu kepandaian itu dijalankan, pokoknya Pek-hi-siu-si tidak ambil peduli. Pek-hi-siu-si segera berlalu.

Sebagai syarat yang telah mereka persetujui ialah barang siapa yang kalah harus menyingkir dari dunia Kang-ouw dan tinggal di suatu tempat yang terpencll. Ternyata saat itu yang kalah ialah Kuk Kiat. Karena kemurahan hati serta keluhuran budi Pek-hi-siu-si dia merasa sangat malu sekali. Orang yang semula sangat congkak itu ternyata dapat mematuhi perjanjian dan dengan ikhlas meninggalkan segala kemewahan dan kebahagiaan, Kuk Kiat harus pergi meninggalkaa partai Kim-sai dan dia harus mengasingkan diri di tempat yang terpencil. Lalu dipanggilnya menghadap puteri tunggalnya itu. Untuk menerima pelimpahan pimpinan partai silat Kim-sai. Dipesankan kepada Kuk Li Kun agar dia mematuhi peraturan dan menjunjung nama baik partainya. Jangan menyerang orang yang tidak bersalah begitu pula dilarang mencampuri urusan orang atau partai lain. Ternyata Kuk Li Kun telah melanggar semua perintah ayahnya. Dia telah dua kali akan membinasakan Kiam Ciu, begitu pula hari itu akan berusaha membinasakan Kiam Ciu pula. Kuk Li Kun telah menyeret orang-orangnya dalam peristiwa itu. Dia telah mengajak orang-orangnya untuk menyerang Tong Kiam Ciu. Semuanya itu dapat dipahami, karena gadis yang belum memahami hal-hal yang sebenarnya terjadi antara ayahnya dengan Pek-hi-siu-si itu telah menganggap bahwa Pek-hi-siu-si adalah orang yang menyebabkan dia harus berpisah dengan ayahnya. Maka dia mempunyai rasa dendam kepada siapa saja yang mengaku ada hubungan dengan Pek-hi-siu-si. Sedangkan Tong Kiam Ciu yang membawa pedang Oey Liong Kiam, sudah terang adalah murid Pek-hi-siusi ketika pertemuannya pertama dulu maka gadis itu menganggap Kiam Ciu itupun termasuk musuhnya.

Untung hal itu belum berlarut-larut lebih jauh sehingga menimbulkan pertumpahan darah. Kuk Kiat telah mendengar berita itu. Maka segeralah kakek itu turun gunung untuk mencari puterinya dan menyelesaikan kesalahan itu.

Lagi pula dia harus menghukum puterinya menurut hukum partai silat Kim-sai karena melanggar peraturan Kuk Li Kun dipersalahkan menyerang orang tanpa kesalahan. Setelah mendengar kata-kata kakek itu yang akan menjatuhkan hukuman kepada puterinya dan orang orang Kim-sai dengan hukuman yang amat berat.

Kiam Ciu melangkah kedepan dan memberi hormat.

"Locianpwee, aku anak muda yang bodoh ini menghargai kebijaksanaan serta keluhuran budi locianpwee. Setelah aku mendengar penuturan locianpwee tadi, maka kini aku dapat menarik kesimpulan mengapa orang-orang partai silat Kim-sai dan puterimu selalu berusaha menyerang diriku. Maka setelah itu aku memohonkan kepada locianpwee untuk mempertimbangkan hukuman itu” seru Kiain Ciu dengan hormat. Tetapi Kuk Kiat terperanjat mendengar seruan dan penuturan Kiam Ciu itu, Dengan dahi berkerut dan mata melotot dia membentak.

"Tong Siauwhiap ! Ini adalah urusan partai silatku, kau tidak berhak turut campur tangan dalam urusan ini ! Dikalangan kang-ouw orang harus memegang janji. Orang-orangku telah melanggar peraturan partai, mereka harus menerima hukuman karena pelanggarannya itu !”

Mendengar dirinya dibentak itu Tong Kiam Ciu dapat menekan kesabarannya, kemudian dia menghormat lagi kearah Kuk Kiat serta berseru.

"Locianpwee maafkan aku anak muda yang bodoh ini ! Locianpwee sebagai ketua partai Kim-sai, sudah selayaknya berhak atas segala orang-orang Kim-sai tanpa ada orang luar dapat turut campur tangan. Tetapi aku Tong Kiam Ciu memberitahukan kepada locianpwee sukalah kiranya untuk mengurus segala sesuatunya itu dengan kebijaksanaan. Orang-orangmu bertindak demi tegaknya partai Kim-sai. Dia telah menyerangku karena mereka tahu bahwa saya ini murid Pek-hi-siu-si, kalau seandainya Pek-hi-siu-si dapat terbunuh bukankah kau dapat bebas dari pengasingan ? Maka disitulah yang kumaksudkan dengan kebikjaksanaan. Kuk Socia menyerangku demi untuk menolong membebaskan ayahnya dari pengasingan", seru Kiam Ciu yang mengharap agar hati Kuk Kiat menjadi lunak dan membatalkan hukumannya terhadap orang-orang Kim-sai.

Apa yang dikatakan oleh Tong Kiam Ciu itu adalah suatu alasan untuk membebaskan Kuk Li Kun dan orang-orang Kim-sai dari hukuman partai. Diamdiam mereka telah memuji keluhuran hati pemuda yang akan dicelakakan itu.

Kuk Li Kun adalah seorang gadis, seorang perempuan yang walaupun bagaimana mudah sekali merasa terharu. Maka ketika mendengar pembelaan Kiam Ciu itu dia sangat menyesal dan terharu sekali.

"Tong Siauwhiap ! Aku peringatkan kepadamu sekali lagi ! Kalau kau masih hendak turut campur dalam urusan Kim-sai ini. aku terpaksa harus memberikan pelajaran padamu !” seru Kuk Kiat dengan suara marah dan gusar. Tetapi apa yang diucapkan oleh Kiam Ciu diluar dugaan mereka.

"Locianpwee, kau telah terlanjur berbuat keliru. Mengapa akan membuat kekeliruan sekali ini ?! Sebenarnya apa untungnya aku turut campur dalam urusan partai Kim-sai yang akan membunuhku itu ? Tetapi aku merasa bahwa perbuatanmu itu tidak adil dan tidak bijaksana ! Lagipula sangat disayangkan seandainya partai silat Kim-sai yang telah didirikan dan dibina dengan susah payah itu akan menjadi hancur dan berantakan !” seru Kiam Ciu dengan nada tenang dan hormat, "kehancuran yang diakibatkan. karena locianpwee terburu nafsu” Semua orang yang mendengarkan segala tutur kata Kiam Ciu itu menjadi kagum dan khawatir. Mereka khawatir kalau sampai Kuk Kiat menjadi gusar dan langsung bertindak untuk menghajar Kiam Ciu. Bahkan Ji Tong Bwee yang sejak tadi telah diam dan memperhatikan segala pembicaraan itu, kini telah siaga pula untuk memberikan bantuan kepada kekasihnya bilamana dipandang perlu nanti.

Sampai sesaat suasana menjadi tenang. Sedangkan Kuk Kiat hanya diam tetapi memandang kepada Kiam Ciu dan memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk berbicara dan mengeluarkan isi hatinya.

"Lagi pula,, Kuk Siocia tidak melanggar peraturan Kim-sai” seru Kiam Ciu dengan suara tenang dan pasti.

Justru kata-kata terakhir inilah yang membuat Kuk Kiat menjadi terheranheran karena dia sama sekali tidak mengetahui apa maksud pemuda itu "Tong Siauwhiap, aku tidak mengerti penjelasanmu” kata Kuk Kiat.

Tong Kiam Ciu tersenyum mendengar seruan kakek iu. Dia juga merasa mempunyai harapan karena menyebabkan kelunakan wajah Kuk Kiat saat ini.

Maka sambil menghormat terlebih dahulu, Kiam Ciu meneruskan pembicaraannya. "Locianpwee bagaimanakah perjanjiannya dengan suhuku Pek-hi-siu-si dulu?” tanya Kiam Ciu "Yang kalah harus menyingkir dari kalangan Kang-ouw, selama yang menang masih hidup” seru Kuk Kiat sambil kerutkan kening.

"Oh, kalau begitu . . . .” sambung Kiam Ciu tetapi tertahan kata-katanya.

Dipandangnya Ji Tong Bwee dan gadis itu tersenyum, mengangguk tetapi tampak sinar matanya redup.

Perbuatan kedua orang itu menjadikan Kuk Kiat lebih ingin tahu. Belum sampai ketua partai Kim-sai itu bersuara, telah didahului oleh Kiam Ciu meneruskan penuturannya serta menghormat dan dengan kalimat-kalimat yang berhati-hati sekali. "Barusan adikku Ji Tong Bwee memberikan kabar padaku, bahwa suhu Pekhi-siu-si tiga tahun yang lalu telah meninggal dunia” Tong Kiam Ciu tidak sanggup untuk berbicara lebih panjang lagi, karena tertahan oleh ganjelan di tenggorokannya, karena pemuda itu kembali teringat kebaikan-kebaikan hati suhunya selama dia dalam asuhannya.

"Hah ? Apa betul kata-katamu itu Tong Siauwhiap ?” seru Kuk Kiat terperanjat dan matanya terbeliak. Tetapi Tong Kiam Ciu tidak menjawab, pemuda itu hanya mengangguk.

"Ai ! . . . . . .” Kuk Kiat menghela nafas kemudian melanjutkan kata-katanya dengan nada rawan, "tidak kuduga kalau dia telah mendahuluiku, Jika seandainya dia masih hidup, aku akan menjumpainya dan akan menghaturkan rasa terima kasihku bahwa ternyata nasehatnya itu benar”

"Nah karenanya kini sudah kujelaskan kepada locianpwce bahwa Kuk Siocia dan orang-orang partai Kim-sai ternyata tidak bersalah dan tidak ada yang melanggar janji atau peraturan . . . . . . .” seru Kiam Ciu.

Tidak menunggu jawaban dari Kuk Kiat terlebih dahulu, Kiam Ciu telah memutar tubuh dan menyambar tangan adiknya untuk diajak berlalu.

"Ayolah kita pergi !” seru Kiam Ciu sambil menarik tangan Ji Tong Bwee untuk diajak berlalu” "Tong Siauwhiap tunggu ! Jika saat ini partai Kim-sai masih utuh. Ini adalah jasamu. Dahulu aku menghormati Pek-hi-siu-si dan sekarang akupun menghormatimu yang ternyata tidak kalah luhur budimu” seru Kuk Kiat dengan suara ramah dan enak didengar.

"Locianpwee semua perbuatanku itu adalah sewajarnya, lagi pula Locianpwe jangan mempersamakan perbuatanku itu dengan suatu jasa” seru Kiam Ciu sambil berhenti dan memutar tubuh menghadap kearah kakek itu.

Lalu kakek itu berpaling kepada orangnya serta memberikan perintah kepada mereka untuk meoghormat Tong Kiam Ciu.

"Ayoh kalian memberi hormat dan terima kasih kepada Tong Siauwhiap !”

seru Kuk Kiak dengan suara perintah.

Begitu selesai perintah itu maka tampaklah orang-orang Kim-sai dan termasuk juga Ceng Yun Leng dan Kuk Li Kun memberi hormat. Tong Kiam Ciu merasa kikuk sekali diperlakukan semacam itu. Maka pemuda itu lalu membongkokkan tubuhnya serta berseru.

"Baiklah. . . . sampai kita berjumpa lagi !” seru Kiam Ciu.

Kemudian Kiam Ctu mengangkat wajahnya dan menarik tangan adiknya untuk diajak berlalu dari tempat itu. Baru saja Kiam Ciu melangkah, tiba-tiba terdengar sebuah seruan lantang dan berwibawa.

"Tunggu !” Kemudian tampak dua telah berloncat dan berdiri diantara mereka. Dua orang itu berpakaian sebagai tojin, kedua-duanya telah lanjut usianya dan mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu. Salah seorang dari kedua tojin itu mengangkat tangan dan memberi hormat kepada Tong Kiam Ciu.

"Aku bernama Hian Cin Tianglo. Aku adalah suhu dari Hiong Hok Totiang, pemimpin partai silat Bu-ting, Hiong Hok Totiang telah tewas dalam keadaan yang mengerikan, kematiannya itun sampai sampai padaku. Maka aku sengaja turun gunung untuk menyelidiki seluk beluk kematiannya itu, kemudian aku akan mengadakan perhitungan yang setimpal. Kini di tempat ini kebetulan aku menjumpai orang-orang Kim-sai-pay dan Tong Siauwhiap. Mungkin juga diantara kalian aku akan mendapat keterangan yang pasti tentang kematian muridku Hiong Hok Totiang itu ?”

Kemudian kakek itu berpaling kearah Tong Kiam Ciu dengan sorot mata tajam menuduh dan membentak kearah Tong Kiam Ciu.

"Tong Siauwhiap, apakah kau yang telah menganiaya Hiong Hok Totiang ?”

seru kakek itu dengan wajah mengerikan dan mata memancar.

Teiapi karena Tong Kiam Ciu merasa tidak berbuat salah maka pemuda itu dengan tenang menjawabnya.

"Locianpwee. kalau menanyakan masalah kematian Hiong Hok Totiang. Aku pernah menceritakan kepada Li Hok Tian murid kesayangan Bu-tong-pay itu.

Jauh hari aku telah merasa khawatir kalau sampai aku yang dituduh sebagai pembunuhnya. Tetapi Hiong Hok Totiang telah memberikan suatu tanda padaku yang berupa pening partai Bu-tong. Tetapt sayang ketika pertemuanku dengan Li Hok Tian itu . . . .” belum lagi selesai kata-kata Tong Kam Ciu telah ditukas oleh kakek itu. "Baiklah ! Tunjukkan pening partai Bu-tong itu padaku !” seru Hian Cin Tianglo sambil menyodorkan tangannya kearah Kiam Ctu.

Tong Kiam Ciu merogoh sakunya dan mengeluarkan pening partai Bu-tong kemudian mengulurkannya ke tangan Hian Cin Tianglo.

Hian Cin Tianglo menerima pening kuningan itu kemudian memeriksanya sejenak, ketika megamati itu dia telah yakin bahwa pening itu adalah pening partai Bu-tong sebenarnya.

"Baiklah, kau telah bebas dari tuduhanku. Tetapi pening ini kuminta kembali”

seru kakek itu sambil menyimpan pening itu kedalam sakunya.

Kemudian Hian Cin Tianglo menghadap kearah Kuk Kiat memandang dengan pandangan penuh tanda tanya. Kuk Kiat tahu apa yang akan ditanyakan oleh orang itu. Tetapi dia tidak mau mendahului maksud seseorang, "Pangcu Kim-sai-pai apakah muridku Hiong Hok Totiang telah dianiaya oleh orang-orangmu ?” seru Hian Cin Tianglo.

Kematian Hiong Hok Totiang tidak diketahui oleh Kuk Kiat. Karena pada saat itu Kuk Kiat telah menjalani pengasingan diri. Maka dia lalu memanggil-manggil putrinya untuk minta keterangan.

"Li Kun ! Li Kun” seru Kuk Kiat.

Li Kun telah melangkah mendekati ayahnya untuk memberikan keterangan.

Tetapi tojin yang menyertai Hian Cin Tianglo terdengar tertawa gelak-gelak dengan wajah penuh ejekan sambil berseru : "Hey Kuk Kiat. kau adalah pemimpin partai Kim-sai yang telah malang melintang di kalangan Kang-ouw kau telah lama merajai. Sekarang kau tidak mengetahui tindak tanduk anak buahmu, apakah memang kau berlagak pilon ?”

seru Cok Hok Lo to. Tojin yang gegabah bicaranya itu adalah adik seperguruan Hiong Hok Totiang. Memang kadang-kadang senang berbicara seenaknya dan sedikit blcaranya tetapi kalau mulai bicara senang menyakiti hati orang yang diajak bicara. Kata-kata yang diucapkan oleh tojin itu membuat hati Kuk Kiat menjadi sangat gusar. "Sebenarnya kau akan berbuat apa terhadap partai Kim-sai ?!” seru Kuk Kiat dengan suara gusar. Ciok Hok Lo-to masih mencibir dan menuding kearah Kuk Kiat dia berseru dengan kata-kata yang tajam : "Hutang uang dibayar dengan uang, hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa pula. Sekarang kalau kau dapat menyeret sipembunuh keluar, maka aku akan merasa berterima kasih padamu !” seru Ciok Hok Lo-to.

Sesaat suasana menjadi sepi. Kuk Kiat tampak memandang kearah Tong Kiam Ciu seolah-olah minta pertimbangan. Tetapi belum lagi pemuda itu membuka suara Kuk Kiat telah berbicara.

"Baik ! Aku akan segera menyelidiki dan menyeret pembunuhnya !”

"Kau pergilah sekarang !” seru Ciok Hok Lo-to Mendengar kata-kata itu Kuk-Kiat menjadi sangat gusar. Kemudian memperlihatkan wajah kurang senang dan membentak kearah Ciok Hok Lo-to dengan kata-kata keras, bersifat menantang "Kau terlalu menghina ! Apakah kau anggap bahwa aku takut untuk melawanmu ?” "Aku ingin kau mengikuti kami kepegunungan Bu-tong dan menanti disana sampai pembunuhnya tertangkap I” seru Ciok Hok Lo-to.

"Hey kau jangan berbicara seenakmu ! Bukankah aku telah menyanggupi untuk mengurus persoalan pembunuhan ini dan menyelidikinya. Kemudian untuk menangkap pembunuhnya untuk kuserahkan kepada partai Bu-tong agar mendapat peradilan semestinya?. Tetapi kau terlalu lancang berbicara dengan seenakmu sendiri, kalau berani mengutik orang-orang Kim-sai maka aku akan menyapu bersih partai Bu-tong ! seru Kuk Kiat dengan suara keras dan gusar.

Memang partai silat Kim-sai itu adalah partai silat yang besar serta kuat, lagi pula telah lama menjagoi kalangan Kang-ouw. Namun partai silat Bu-tong itu tidak dapat dipandang ringan, kalau sampai Kuk Kiat terlanjur mengucapkan kata-kata yang bersifat menantang itu hanya didorong oleh emosinya saja.

Tong Kiam Ciu yang sejak tadi hanya menyaksikan saja pertengkaran mulut itu, kini telah dapat mempertimbangkan segala yang didengarnya itu dengan baik. Ternyata apa yang telah dikatakan oteh Ciok Hok Lo-to ini memang terlalu kasar dan menyinggung kehormatan seseorang. Maka dia telah mengambil kesimpulan bahwa Ciok Hok Lo-to itu tidak benar. Walaupun Kiam Ciu menghormati Hiong Hok Totiang, tetapi dia selama mengembara itu belum pernah mendengar hal-hal yang baik dari partai silat Bu-tong.

Seperti juga yang telah dialaminya, pertempurannya dengan Li Hok Tian.

Salah seorang dari partai Bu-tong juga, perbuatannya ternyata sangat kejam dan keji. Maka jika sampai terjadi pertempuran Kiam Ciu pasti akas memihak kepada Kuk Kiat. Dalam keadaan tenang itu tiba-tiba Ciok Hok Lo-to telah meloncat menyerang Kuk Kiat. Namun pemimpin partai Kim-sai itu dapat mengegoskan tubuhnya hingga serangan itu tidak mengenai sasarannya.

Ciok Hok Lo-to terhuyung namun untung tidak terjungkal, sebelum Kuk Kiat mengirimkan hantaman kearah punggung penyerangnya itu. Tiba-tiba Hian Cin Tianglo mengebutkan lengan jubahnya kearah Kuk Kiat. Angin yang ditimbulkan oleh kebutan lengan jubah itu menderu dan bertenaga hebat. Maka segeralah Kuk Kiat meloncat kesamping dengan mengirimkan pukulan untuk menangkis serangan jarak jauh itu. Kini terjadilah suatu pertempuran dua orang mengerubuti seorang. Untuk sesaat lamanya orang-orang yang berada ditempat itu hanya sebagai penonton.

Tetapi ketika Kiam Ciu meloncat ke gelanggang membantu Kuk Kiat. Orang-orang dari partai Kim-sai segera berloncatan pula menyerang kedua tojin itu.

Maka dalam waktu sebeniar saja telah terjadu keributan. Sebenarnya Kuk Kiat akan mencegah pengeroyokan itu. Namun setelah dipertimbangkan bahwa hal itu telah dimulai dulu oleh orang-orang Bu-tong itu maka dibiarkannya keadaan itu terjadi. Bahkan Kuk Kiat sendiri telah meloncat keluar dari gelanggang. Namun beberapa saat kemudian tampaklah bayangan dua orang yang langsung masuk ke gelanggang pertempuran itu. Bahkan mereka menyerang orang-orang Kim-sai yang telah mengepung Hian Cin Tianglo dan Ciok Hok Loto. Mereka itu ialah Li Hok Tian dan Hian Biauw Cinjin, orang-orang dari Bu-tong yang telah datang membantu.

Ketika itu Kiam Ciu telah memperhatikan kelebatan sinar pedang yang dibawa oleh Li Hok Tian. Pemuda itu sangat terperanjat menyaksikan pedang yang dipegang oleh Li Hok Tian, karena pedang yang dibawa oleh Li Hok Tian itu tiada lain adalah pedang Oey Liong Kiam.

Padahal pedang Oey Liong Kiam beraba di tangan Cit Siocia atau siwanita jelita yang selalu berkereta itu. Apakah gadis itu telah dapat dibinasakan oleh Li Hok Tian ? Atau dengan cara bagaimana maka hingga pedang pusaka itu dapat jatuh ketangan orang Bu-tong itu.

Setelah menyaksikan yang datang itu adalah Li Hok Tian dan Hian Biauw Cin jin maka Kiam Ciu berseru girang.

"Bagus kau datang !”

"Susiok l Akhirnya aku berhasil menjumpai Susiok. Apakah pening Bu-tong sudah diambil kembali dari tangan orang she Tong itu ?” seru Li Hok Tian dengan suara lantang. "Sudah ! Mengapa kau tanyakan hal itu ?"“ seru Hian Cin Tianglo.

"Syukurlah !” seru Li Hok Tian dengan wajah berseri-seri, "Kini serahkanlah pening itu kepadaku Susiok. Karena menurut keputusan Dewan Tertinggi pimpinan partai Bu-tong kini aku yang diangkat menjadi ketua partai . . . . .”

Hian Gin Tianglo dan Ciok Hok Lo-to menjadi terperanjat mendengar pernyataan itu, Karena mereka tahu bagaimana peraturan partainya dalam pemilihan ketua partai silat Bu-tong itu. Maka Hian Cin Tianglo lalu menyahutnya dengan nada terperanjat. "Apa ? Dewan telah memilihmu sebagai ketua partai Bu-tong”

"Kau sekarang yang memimpin Bu-tong Pay ?” sambung Ciok Hok Lo to.

Menurut peraturan dari partai silat Bu-tong, setelah ketua partai meninggal maka akan digantikan oleh adik seperguruan ketua partai itu dan dibicarakan dalam rapat orang-orang gagah dalam partai itu. Ciok Hok Lo-to adalah sute dari Hiong Hok Totiang. Maka dialah yang berhak untuk memegang jabatan sebagai ketua Bu-tong Pay itu. Tetapi kenyataannya didalam tubuh Bu-tong Pay itu ada seorang yang berambisi untuk menjadi ketua partai. Ialah Li Hok Tian. Dia berusaha untuk merebut kedudukan pangcu itu.

Dengan bangga orang itu berseru kepada suhu dan subengnya itu.

"Jika kau tidak percaya, silahkan tanyakan saja kepada Hian Biauw Sik kong ini !” seru Li Hok Tian dengan menuding kearah pamannya itu.

Hian Cin Tianglo menatap adik seperguruannya itu sejenak. Ternyata Hian Biauw Cin jin menganggukkan kepala yang berarti apa yang telah dikatakan oleh Li Hok Tian tidak berdusta.

"Aku tidak setuju !” seru Hian Cin Tianglo dengan suara lantang.

"Aku juga tidak setuju !” seru Ciok Hok Lo-to. "Li Hok Tian tidak pantas menjadi seorang pemimpin, dia tidak akan dapat melindungi nama partai Bu-tong dan lagi apakah dia lebih unggul ilmu silatnya dari pada ilmu silatku ? Apakah dia lebih berwibawa dari padaku? Pokoknya aku tidak setuju dengan keputusan itu!”

seru Ciok Hok Lo-to dengan bersemangat.

Suasana dari mengurus kematian Hiong Hok Totiang kini beralih kearah urusan partai Bu-tong. Orang-orang Kim-sai diam begitu pula Kiam Ciu. Ji Tong Bwee dan Kuk Kiat mereka hanya mendengarkan saja pembicaraan dan perdebatan orang-orang Bu-tong itu. Bahkan mereka seolah-olah sama sekali telah melupakan bahwa ditempat itu sebenarnya kurang pantas untuk berdebat tentang kedudukan. Karena didengarkan orang lain, namun mereka adalah orang-orang yang berwatak keras dan tidak begitu memperhatikan aturan dalam pergaulan. Terdengar Li Hok Tian tertawa terbahak-bahak kemudian berseru : "Pada dewasa ini, dikalangan Kang-ouw aku telah mendapat banyak sokongan, lagi pula pedang pusaka yang terkenal nomor Wahid di kolong langit ialah Oey Liong Kiam telah berada ditanganku. Lihat !” seru Li Hok Tian sambil mencabut pedang Oey Liong Kiam dari sarungnya.

Kemudian Li Hok Tian memutar-mutarkan pedang itu, tampaklah kilauan sinar pedang pusaka itu. Diputar-putarnya hingga terdengar suara mendesing.

Kiam Ciu menyaksikan itu semua jadi terpesona.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara nyaring mengejek Li Hok Tian dan suara itu sanggup menembus suara tawa Li Hok Tian dan desauan angin yang ditimbulkan oleh putaran-putaran pedang Oey Liong Kiam itu.

Li Hok Tian mendengar suara itu akhirnya menghentikan permainannya, tampaklah wajahnya yang bangga dan gembira itu mendadak menjadi sangat pucat dan tegang. Berdirinya jadi goyah, dia tampak gemetar kakinya, tangan yang tadi tampak kuat dan memegang pedang Oey Liong Kiam dengan sombong itu kini tampak menggelantung seperti tidak bertenaga.

Bukan hanya Li Hok Tian saja yang bersikap seperti Itu. Tetapi segenap orang-orang yang berada di tempat itu tidak kecuali Kuk Kiat dan Hian Cin Tianglo seperti kehilangan semangatnya. Tetapi ketika Kiam Ciu dapat mengatasi pengaruh itu dia berpikir dan mengingat-ngingat.

"Nada suara ejekan itu tiada asing lagi bagiku” pikir Kiam Ciu.

Kemudian Kiam Ciu menoleh kearah datangnya suata tadi. Ternyata apa yang diduganya benar juga.

Di tempat itu tampak sebuah kereta yang sangat indah. Entah dengan cara bagaimana kereta itu dapat tiba di tempat itu begitu saja tanpa menimbulkan berisik kemudian tampaklah pintu kereta itu terbuka.

Semua mata memandang kearah pintu kereta yang sedang terbuka itu.

Tampaklah sepasang kaki putih mulus keluar menuruni tangga kereta, kemudian tampaklah seorang gadis jelita yang sangat menggiurkan wajah dan potongan tubuhnya. Semua orang mengagumi keadaan gadis itu, juga Tong Bwee sidara jelita kekasih Tong Kiam Ciu itu merasa iri menyaksikan kejelitaan gadis yang baru turun dari kereta indah itu. Gadis yang jelita itu ialah Cit Siocia.

Dengan suara lantang gadis itu lalu berseru : "Minggir !"“

Semua orang yang berada ditempat itu seperti terpukau. Mereka semuanya menyibak memberikan jalan kepada wanita muda yang jelita itu. Dengan tersenyum wanita jelita itu melangkah dengan sikapnya yang agung. Tiada seorangpun yang berani mengeluarkan suaranya. Mereka semuanya terbungkam, walaupun didalam hati mereka akan berbicara, namun mereka segan untuk membuka mulutnya. Ketika Cit Siocia berjalan didepan Tong Kiam Ciu, tampaklah dia memandang dan tersenyum kepada Tong Kiam Ciu. Tong Kiam Ciu mengangguk pula menjawab teguran halus gadis rupawan itu.

Cit Siocia melanjutkan langkahnya dan menghampiri Li Hok Tian. Adapun Li Hok Tian berdiri bagaikan patung yang tiada bernyawa, wajahnya pucat bagaikan kertas. Hanya tubuhnya tampak tergoyang, dia telah tahu apa yang akan terjadi atas dirinya.

"Li Hok Tian !” seru Cit Siocia sambil menuding kearah laki-laki yang dibentak itu, "Ternyata sifatmu sangat curang dan keji ! Kau telah berani menganiaya salah seorang pelayan wanitaku. kemudian kau telah berani mencuri pedang Oey Liong Kiam ! Semuanya itu terbukti dan apakah kau akan memungkiri ?”

Semua perkataan Cit Siocia itu menggebu-gebu otak Li Hok Tian. Dia tiada berani berbuat apa-apa lagi. Karera apa yang dituduhkan kepadanya itu adalah benar semuanya. Maka Li Hok Tian hanya pasrah dan tanpa dapat berbicara dia telah tampak lunglai, karena dia tahu hukuman apa yang bakal diterimanya.

"Ayoh kembalikan pedang Oey Liong Kiam itu kepadaku ?” seru warita jelita itu membeliakkan matanya sambil menuding.

Li Hok Ttan seperti anak kecil yang berbuat kesalahan, kemudian dibentakbentak dan menurut saja, dengan langkah-langkah yang tampak kaku Li Hok Tian melangkah maju mendekati Cit Siocia. Li Hok Tian telah terkena pengaruh Pan-yok-sin-im sehingga semua perbuatannya itu dilakukan diluar kemauannya sendiri. Dia tidak berdaya lagi untuk menentang segala perintah Cit Siocia.

Dergan mengangkat kedua tangan Li Hok Tian mengangsurkan pedang itu kepada Cit Siocia. "Serahkan pedang itu kemari !” perimah Cit Siocia.

"Tahan !” seru Hian Cin Tianglo Bersamaan dengan itu tampaklah Tojin itu melompat menerkam leher Cit Siocia. Namun gadis jelita itu telah siap siaga. Bersamaan dengan lompatan Hian Cin Tianglo, dia telah memekik sambil menggerakkan ilmu Pan-yok-sim-im.

Hian Cin Tianglo melesat kesamping Cit Siocia terkamannya meleset bahkan dia sendiri telah terkena pengaruh ilmu pelenyap sukma iiu. Sesaat seperti orang linglung yang tidak mampu uutuk berpikir secara wajar, sedangkan Cit Siocia dengan sekali loncat telah menyambar pedang Oey Liong Kiam dari tangan Li Hok Tian. Kemudian Cit Siocia telah mencabut pedang itu dan dengan cepat pula telah menusuk kearah Hian Cin Tianglo.

Karena terperanjat dengan datangnya serangan itu, Hian Cin Tianglo berusaha untuk menyentil jari jemarinya. Tetapi tidak berhasil bahkan jari tangan terkena goresan pedang Oey Liong Kiam hingga mengucurkan darah.

Bagi Cit Siocia baru untuk pertama kalinya dia turun tangan sendiri untuk melukai lawan. Tetapi dia tidak bermaksud untuk membinasakan orang itu.

karena dia tidak merasa mempunyai ikatan permusuhan.

Tetapi Hian Cin Tianglo sendiri merasa heran mengapa dia tidak mampu untuk menyerang gadis itu. Menurut perasaannya dia dalam keadaan sadar Tetapi mengapa niatnya untuk menyerang gadis itu menjadi buyar dan tidak bertenaga. Padahal ingatannya sadar. Apakah dirinya kena terpengaruh ilmu Pan-yok-sin-im ? "Tua bangka gila dan curang ! Itulah adalah peringatanku ! Adakah kau masih mau dihajar lagi ? Hayo pergi dari sini sebelum aku mengubah keputusanku !”

bentak Cit Siocia yang menjadi gusar karena diserang dengan sikap yang curang itu. Mendapat bentakkan itu sebenarnya bagi seorang tua seperti Hian Cin Tianglo yang sudah banyak malang melintang di dunia kang-ouw seharusnya menjadi marah tetapi saat itu Hian Cin Tianglo tidak dapat berbuat apa-apa, Dengan diluar kemampuannya sendiri dia telah ngeloyor pergi dan diikuti oleh Ciok Hok Lo-to dan Hian Biauw Cin jin., Adapun Li Hok Tian masih tetap berdiri mematung didepan Cit Siocia seolah-olah tak bernyawa lagi.

Sambil menudingkan pedang Oey Liong Kiam kearah Li Hok Tian, wanita itu memerintahkan kepada laki-laki penghianat itu untuk berlutut.

"Hayo berlutut dihadapanku !” bentaknya Li Hok Tian seperti kehilangan sifat kejantanannya. Telah menurut saja segala perintah. Dia telah berlutut dengan wajah tetap menunduk. Suasana sesaat menjadi sepi sekali. Cit Siocia juga diam dan hanya memandang kearah Li Hok Tian. Seolah-olah wanita itu sedang memberikan kesempatan kepada Li Hok Tian untuk berdoa atau mengingat kembali segala perbuatan laki-laki itu.

Memang betul kini Li Hok Tian telah teringat kembali segala perbuatannya.

Dia terbayang satu persatu apa yang telah diperbuat. Bermunculan peristiwaperistiwa kekejiannya. Mula-mula Pit Ki yang telah dia aniaya, kemudian pelayan wanita Cit Siocia yang telah dia lukai, namun dia tidak berhasil untuk menguasai Cit Siocia dengan nafsu kebinatangannya itu. Hanya mampu mencuri pedang Oey Liong Kiam kemudian dia kabur. Sekarang semuanya berantakan, gagal ! Kemudian suasana yang sepi itu digetarkan oleh sebuah suara yang merdu sekali. Tampaklah Cit Siocia telah menatap Li Hok Tian dan menyanyikan sebuah lagu yang sangat menyedihkan dan iramanya menyayat, Cit Siocia mengalunkan irama lagu menyayat hati dan mengerahkan ilmu Pan-yok-sin-im, dengan maksud untuk menyiksa Li Hok Tian.

Li Hok Tian mula-mula masih dapat bertahan mendengarkan alunan lagu itu.

Namun lama-lama tampak keringat mengucur diwajahnya. Nafasnya mulai memburu, bibirnya kering tampak memutih dan matanya sayu memandang kearah Cit Siocia. Kemudian tampak menggeliat-geliat bagaikan cacing kepanasan. Dagingnya terasa bagaikan ditusuk-tusuk dengan pedang. Seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit sekali. Li Hok Tian terjatuh bergulung-gulung dan melejit-lejit tak keruan, tanpa sepatah kata yang sempat dikeluarkan, lakilaki yang bersifat khianat dan keji itu lelah jatuh tertelungkup dihadapan Cit Siocia. Jatuh tidak akan bangun untuk selamanya, Dia tewas akibat dari kedurhakaannya. Binasa dalam keadaan yang memalukan sekali.

Keiika menyaksikan bahwa Li Hok Tian telah binasa. Maka Cit Siocia lalu menghentikan nyanyiannya, kemudian dia memandang kearah Tong Kiam Ciu.

"Tong Siauwhiap, Bukanlah kau ingin menukar pedang Oey Liong Kiam? Ayolah ikut aku !” seru Cit Siocia dan berlalu dari tempat itu.

Tong Kiam Ciu yang sudah waspada dan telah mengerahkan ilmu Bo-kit-sinkong, pura-pura terpengaruh ilmu Pan-yok-sin-im, Maka dia menurutkan saja ajakan Cit Siocia menuju ke kereta yang indah itu. Begitu sampai didepan pintu kereta maka Kiam Ciu dipersilahkan masuk kemudian disusul oleh Cit Siocia.

Ketika kedua orang itu telah berada didalam kereta maka seorang dayang telah menutupnya pintu kereta. Kemudian kereta itu bergerak.

Orang-orang yang berada ditempat kejadian itu semuanya terkena pengaruh ilmu Pan-yok-sin-im. Maka mereka untuk sesaat bagaikan tidak sadarkan diri, tetapi ketika itu Ji Tong Bwee telah mendahului dapat menguasai diri. Dia sadar bahwa selama ini dia mencari Tong Kiam Ciu. Sudah setengah tahun dia mengembara untuk bertemu dengan kekasihnya itu. Kerena dorongan cinta kasih itulah maka Ji Tong Bwee telah menyadari bahaya yang akan mengancam Tong Kiam Ciu. Dengan mengembangkan ilmu lari Cian-li-pauw-bouw (terbang di angkasa) Ji Tong Bwee mengejar kereta yang membawa Tong Kiam Ciu dan Cit Siocia tadi. Kereta itu ternyata meluncur dengan cepatnya. Bertambah cepat lagi ketika tiba di jalan yang arak rata, ternyata bukan kereta biasa, semuanya telah terlatih dan dikendalikan dengan ilmu yang luar biasa. Sedangkan Ji Tong Bwee telah membentangkan Ginkang dan ilmu lari cepat untuk mengejar kereta didepannya itu. Rupa-rupanya ilmu lari Cian-li-pauw-hong yang dikuasai sepenuhnya sejak kecil itu dapat menandingi larinya kereta Cit Siocia.

Beberapa saat kemudian Ji Tong Bwee telah dapat mengejar hanya tinggal beberapa langkah lagi dia telah dapat memegang kereta itu.

Ketika pengawal kereta itu melihat bahwa Tong Bwee telah dekat maka kuda yang menarik kereta itu lalu dicambuknya dengan bertubi-tubi hingga lari kudanya bertambah kencang. Beberapa saat kemudian Tong Bwee telah tertinggal lagi. Tiba-tiba dari dalam kereta itu terdengar suara gemboran keras. Ji Tong Bwee terperanjat dan menduga-duga, karena gemboran itu adalah gemboran Kiam Ciu. Belum lagi dia dapat kepastian, tahu-tahu kereta itu terguling. Seorang pengawal dan seorang dayang serta kusir kereta itu terpelanting. Empat ekor kudanya meringkik-ringkik kemudian jatuh terguling pula.

Dari dalam kereta itu tampak meloncat Tong Kiam Ciu dengan menggenggam pedang Oey Liong Kiam, kemudian meloncat menjauhi kereta den sambil mengembangkan ilmu lari Cian-li-pauw-hong melesat masuk kedalam hutan. Disusul kemudian oleh Cit Siocia meloncat dari kereta itu, sambil lari beberapa langkah, kemudian menahan langkahnya dan memanggil-manggil Kiam Ciu. Namun pemuda itu telah bertambah jauh dan tidak memalingkan wajahnya bahkan menggubris saja tidak.

"Hemm untuk yang ketiga kalinya aku gagal menguasainya” gerutu Cit Siocia sambil menghentak-hentakan kakinya dan memecahkan batu di jalanan itu dengan kakinya. Bibirnya memberengut dan melangkah menuju ke kereta, Cit Siocia telah benar-benar jatuh cinta kepada Kiam Ciu.

Tetapi ketika dia telah mendekati kereta, dia melihat seorang gadis yang tadi dilihatnya berdiri didekat Kiam Ctu. Gadis itu ialah Ji Tong Bwee.

Ji Tong Bwee menahan langkahnya dan memandang kearah Cit Siocia. Kedua gadis itu saling berpandangan.

"Hey tunggu dulu !” seru Cit Siocia ketika melihat Tong Bwee akan berbalik kearah dimana Kiam Ciu tadi menghilang.

"Apa maksadmu ?” seru Ji Tong Bwee sambil bertolak pinggang dan bersikap seolah-olah menantang. "Apakah kau kekasihnya Tong Kiam Ciu?” seru Cit Siocia dengan rupa bersikap menantang juga. "Itu urusanku. mengapa kau mau tahu?” jawab Ji Tong Bwee gusar.

"Oh aku hanya ingin tahu, apakah kau betul-betul menyintainya” sambung Cit Siocia sambil tersenyum, Tetepi Ji Tong Bwee tidak menjawab pertanyaan itu. Gadis itu wajahnya menjadi merah padam dan matanya melotot memandang Cit Siocia, seolah-olah dia sangat benci dan ingin menampar pipi Cit Siocia.

"Hmm, aku sebenarnya yang terlalu tolol - Mengapa aku masih menanyakan karena dari sinar matamu saja aku telah dapat menduga bahwa kau sangat mencintai pemuda itu. Sayangnya, akupun mencintai dia juga” suara yang terakhir itu diucapkan oleh Cit Siocia seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri. Pengakuan yang berterus terang itu membuat Tong Bwee bertambah cemburu. Karena menahan gejolak hatinya, gadis itu hingga bergetar tubuhnya.

Seribu satu perasaan bercampur baur dalam dirinya. Cemburu dan benci kepada wanita jelita itu. Cit Siocia masih belum cukup berbicara begitu saja. Kemudian dengan nada mengejek dan menantang dia berseru.

"Kita berdua mencintai seorang pemuda, maka salah satu diantara kita harus mati. Agar yang hidup dapat merebut hatinya. Aku takkan menggunakan ilmu Pan-yok-sin-im untuk bertempur melawanmu. Aku menantang kau untuk bertanding dengan bersenjatakan pedang” seru Cit Siocia.

"Hey aku tidak menduga, dibalik parasmu yang jelita itu ternyata hatimu buruk sekali? Kakakku Tong Kiam Ciu tidak dapat direbut dengan senjata dan kekerasan apa lagi mempertaruhkan nyawa. Kalau dia mencintaimu aku rela mengalah” seru Ji Tong Bwee dengan suara serak tetapi matanya tajam mengawasi Cit Siocia. Apa yang dikatakan oleh Ji Tong Bwee itu sebetulnya sangat menusuk perasaannya. Kata-kata gadis itu ternyata diterima sebagai makian dan hinaan, tetapi disamping itu dia memang membenarkan kata-kata Tong Bwee itu benar.

Dia memang merasa bahwa dialah yang telah merebut kekasih orang lain.

Merebut hati Kiam Ciu. Namun karena perasaan cinta kasihnya terhadap pemuda itu sudah terlanjur mendalam. Walaupun dengan segala usaha ternyata oleh Tong Kiam Ciu selalu ditolaknya. Namun dia merasakan bahwa Kiam Ciu selalu menolak itu karena dia mempunyai kekasih yang cantik itu. Maka menurut pikiran Cit Siocia dia harus membinasakan Ji Tong Bwee agar tidak menjadi perintang. Dia yakin setelah Ji Tong Bwee binasa pastilah Kiam Ciu akan jatuh dalam pelukannya.

Setelah itu dengan diam-diam dia telah mencabut pedang dari sarungnya, dan menantang Ji Tong Bwee untuk menghadapinya.

"Sudah kukatakan aku tidak akan melawanmu kalau hanya karena dia ! Bukankah sudah kukatakan kalau memang dia menyintaimu, aku rela mengalah!”

kata Ji Tong Bwee dengan suara penuh kesungguhan.

"Ji Tong Bwee ayo cabut pedangmu !” seru Cit Siocia menantang.

Namun Ji Tong Bwee tetap berdiri tegak diiempatnya, Matanya hanya memandang Cit Siocia yang sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi.

Namun wajah Ji Tong Bwee masih tetap tenang dan tidak tampak takut ataupun marah. Seolah-olah dia telah rela untuk menerima apapun yang akan terjadi dan akan menimpa dirinya. Dalam saat itu Cit Siocia sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi. Karena pedang sudah terlanjur dicabut, dia harus mendapatkan satu sasaran. Maka dia dengan cepat meloncat dan berbareng dengan itu ditusukkannya kearah Ji Tong Bwee. Ternyata gadis itu tidak mengadakan perlawanan dan menghindarpun tidak.

Maka tusukan pedang yang sedianya akan dihujankan kearah jantung Ji Tong Bwee itu akhirnya digerakkan keatas dan mengenai pundak gadis itu, segera tampaklah baju Ji Tong Bwee robek dan bernoda merah, darah mengucur dari bahu Ji Tong Bwee. Tiada lama kemudian tampaklah tubuh Ji Tong Bwee condong dan jatuh.

Untuk sesaat lamanya Ji Tong Bwee jatuh pingsan. Sedangkan Cit Siocia dengan mata terbelalak memandang kearah korbannya itu, dipandanginya mata pedang yang masih bernoda darah, kemudian memandang kearah tubuh Ji Tong Bwee yang menggeletak. Ketika dia menginsapi apa yang telah terjadi maka Cit Siocia segera menubruk kearah Ji Tong Bwee dan pedangnya dilempar ke tanah.

"Adik Bwee, maafkan aku ! Maafkan aku ! Mengapa kau tidak mau melawanku? Mengapa ? Mengapa kau tidak mengelakkan seranganku ? Mengapa ? Adik Bwee . . . ? adik Bwee maafkan aku.. apakah kau mendapat luka berat ?” seru Cit Siocia yang kini telah kembali sadar dan menjadi manusia yang berperasaan dan terdiri dari darah tulang dan daging yang dilengkapi dengan budi dan perasaan. Beberapa saat kemudian Cit Siocia telah membebaskan jalan darah Ji Tong Bwec yang tertotok. Ji Tong Bwee membuka matanya dan tampaklah butiranbutiran air mata meluncur dari sudut mata gadis jelita itu. Hati Cit Siocia tercekam rasa haru, kemudian timbul rasa sesalnya.

Beberapa orang dayang dan pengawalnya telah menghampiri Cit Siocia, salah seorang dayang telah membawa kotak yang berisi obat-obatan. Setelah itu Cit Siocia merawat luka-luka dibahu Ji Tong Bwee. Kemudian Cit Siocia memberikan sebuitr pil kepada Ji Tong Bwee untuk segera ditelannya.

Bertepatan itu pula Tong Kiam Ciu yang telah lari meninggalkan kereta Cit Siocia langsung ke tempat pertemuannya dengan Ji Tong Bwee. Ditempat itu dia hanya menemukan bekas tempat-tempat pertempuran saja. Tetapi Kiam Ciu tidak menemukan Ji Tong Bwee. Maka pemuda itu menjadi bingung dan memanggil-manggil. "Adik Ji Tong Bwee, Adik Bwee!” pemuda itu memanggil-manggil kekasihnya dengan perasaan cemas. Namun tiada jawaban yang terdengar hanyalah suara pantulan suaranya sendiri. Tong Kiam Ciu berlari-lari seperti orang kebingungan kemudian tinjunya mengepal dan dipukulnya batang pohon yang berada didepannya itu dengan sekuat tenaga untuk menghilangkan kekesalan hatinya.

Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa. Tong Kiam Ciu terperanjat mendengar suara tawa itu. Belum sempat dia berpikir tahu-tahu sebuah benda berwarna putih telah melayang kearab tubuh pemuda itu. Benda itu adalah selembar kertas yang dilipat sangat rapih.

Dipungutnya kertas yang terlipat rapih itu. Kemudian dibukanya oleh Tong Kiam Ciu. Ternyata kertas itu bertulisan rapi.

"Aku disini..” tertera huruf-huruf yang tersusun rapi dalam guratan yang sangat menarik sekali tetapi huruf-huruf yang itu Kiam Ciu pernah melihatnya.

Kiam Ciu tersenyum karena sekali lagi Sio Bie Hu murid dari Shin Kai Lolo. Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda itu telah membayangi dirinya.

Seketika itu urusannya untuk mencari Ji Tong Bwee agak tersingkirkan.

Karena kini perhatiannya dipusatkan kepada gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda itu. Kiam Ciu pura-pura tidak mengetahui sandiwara itu.

Sementara itu Sio Bie Hu Sudah berada didekat Kiam Ciu seraya berseru kepada pemuda itu dengan senyuman yang manis.

"Kita telah bertemu lagi” seru Sio Bie Hu yang telah menyamar sebagai seorang pemuda yang rambutnya panjang terurai.

"Hmmm, kita telah bertemu lagi” sambung Kiam Ciu sambil mengangguk, "Sebenarnya aku ingin mencari kau, pertama untuk mengucapkan rasa terima kasihku padamu karena peringatanmu tentang bahaya yang menghadangku, kedua aku ingin mengembalikan sebuah kertas yang ada gambarnya seorang gadis” "Kau tak usah mengucapkan rasa terima kasihmu padaku, lagi pula hal gambar itu tak usah kau kembalikan padaku karena gambar itu tak penting. Aku ingin menjumpai kau karena aku ingin memberitahukan tentang suatu urusan padamu."“ sambung Sio Bie Hu sungguh-sungguh.

"Oh. tetapi aku juga ingin memberitahukan padamu tentang satu urusan yang penting. Belum lama ini aku telah dijumpai oleh Ceng Yun Leng. Dia bilang gambar yang kau lemparkan padaku itu adalah gambar tunangannya. Apakah kau telah mengenal gadis itu?” sambung Kiam Ciu.

Mendengar penuturan Kiam Ciu itu, wajah Sio Bie Hu menjadi merah.

"Kalau kau jumpai Ceng Yun Leng lagi tolong kau sampaikan kabar bahwa dia tidak perlu mengambil perhatian dengan gadis tunangannya itu lagi” jawab Sio Bie Hu dengan nada seolah-olah tertekan.

Mendengar jawaban gadis itu Kiam Ciu tersenyum. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya.

"Kita sudah sering bertemu, tetapi kita belum saling berkenalan. Kenalkan aku Tong Kiam Ciu dan siapa namamu,”

"Panggil saja aku Teng Loote.” jawab Sio Bie Hu. Kemudian gadis itu melanjutkan kata-katanya "Tong Heng, bukankah kau ingin pergi ke telaga Ang tok-ouw di kota Pek-seng di propinsi Anhwei untuk mencari kitab pusaka Pekseng? Aku mendapat kabar bahwa orang yang mencari kitab itu harus mempunyai peta Pek-seng. Padahal menurut beritanya peta itu kini telah jatuh ditangan Gan Hua Liong. Sedangkan Gan Hua Liong itu mempunyai ilmu silat yang sangat lihay diatas suhuku. Saat ini orang-orang gagah telah menuju ke telaga Ang-tok-ouw untuk mencari kota yang telah hilang itu. Juga kulihat Ciong Taysu dan beberapa orang-orang lainnya. Kukira kau Tong Heng kalau ingin mempertahankan pedang Oey Liong Kiam kau harus juga dapat menguasai kitab pusaka Pek-seng itu.”

Mendengar keterangan itu Kiam Ciu sebenarnya tertawa dalam hati karena sebenarnya peta Pek-seng telah berada ditangan Tong Kiam Ciu. Gan Hua Liong telah menyerahkan peta Pek-seng sebelum dia meninggal.

Tetapi Tong Kiam Ciu merasa agak kecut juga kalaau-kalau Kwi Ong juga telah menuju ke telaga itu ! Walaupun bagaimana dia telah mencoba kehebatan orang itu. Ternyata pemimpin suku bangsa Biauw itu tidak dapat dipandang ringan. Bukan saja ilmunya tinggi, tetapi sifatnya keji pula.

"Aku telah minta kepada suhu untuk membantu Tong Heng untuk menuju ke telaga itu, bahkan sampai mendapatkan kitab pusaka Pek-seng itu. Menurut keterangan suhu, beliau pernah tiba di telaga itu pada dua puluh tahun yang lalu, bahkan beliau pernah menolong Ouw Hin Lee pemimpin partai silat Ouw Pang (Bendera Hitam) di daerah tersebut, jalan menuju ke telaga Ang-tok-ouw itu suhu masih ingat benar, lagi pula kalau Ouw Hin Lee masih hidup, dia pasti mau membantunya !” seru Sio Bie Hu.

"Teng Lotee !” sambung Kiam Ciu sambil menghela nafas "aku telah banyak menerima bantuan dan pertolonganmu serta Shin Kai Lolo.

"Aku sangat berterima kasih . . . .” tetapi kata-kata itu belum sampai selesai telah dipotong oleh Sio Bie Hu.

"Sudah ! Sudah !” seru Sio Bie Hu dengan mengangkat tangannya kearah Tong Kiam Ciu "aku sudah katakan kau tak usah mengucapkan kata-kata itu lagi.

Aku malu mendengar ! Nah kini karena aku masih banyak sekali urusan maka kita berpisah sampai disini saja ! Sampai kita bertemu lagi di telaga Ang-tokouw !” Setelah berkata begitu tampaklah Sio Bie Hu akan pergi meninggalkan tempat itu. "Teng Lotee tunggu !” seru Kiam Ciu sambil mengangkat tangan kanan mencegah Sio Bie Hu pergi, "kalau kau akan pergi ke telaga Ang-tok-ouw apakah tidak lebih baik kalau kita pergi bersama-sama saja ?".
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar