Warisan Jenderal Gak Hui Jilid 5

Jilid ke 5

NAMUN Kiam Ciu telah kenal dengan irama dan nada suara itu. Sejenak berdebar hati Kiam Cu mendengar suara iiu. Namun kemudian dia telah ingat menguasai diri kembali. Segeralah dia mengerahkan ilmu Bo-kit-sin-kong agar ia menjadi kebal terhadap pengaruh rayuan wanita jelita yang kini telah mendatanginya itu. "Tong Kiam Ciu. mengapakah kau menjauhkan diri dari padaku ? Sekarang tiada orang lain, kita hanya berdua saja kan kita bebas untuk bercakap-cakap dan berbuat apapun tiada orang lain yang mengganggu lagi.” bujuk wanita jelita itu sangat manis dan lunak sekali.

Namun pengaruh ilmu Bo-kit-sin-kong telah menguasai Kiam Ciu. Pemuda itu tanpa berbicara telah mengamatinya. Ditatap wajah wanita muda itu dengan mulut tetap membisu. Karena kekakuan dari Kiam Ciu itu maka wanita muda yang jelita dan menggairahkan itu jadi bergusar hati.

"Sio Cin ! Ambil pedangku ! Ambil pedangku !” seru wanita muda dan jelita itu. Dengan serentak tampaklah tiga orang telah berloncatan ditempat itu.

Seorang wanita muda membaw sebilah pedang yang bersarung. Kelihatan pula dua orang pendekar yang telah dikenai oleh Kiam Ciu.

Mereka yaitu ialah Pit Ki dan Li Bok Tian Mereka telah terdiri menghampiri wanita muda itu. Mereka bertiga menantikan perintah tuannya.

"Hmmm.. . rupa-rupanya Pit Ki dan Li Hok Tian telah dapat menundukkan para pengawnl wanita itu dan sekarang dia terpilih sebagai pengawalnya". pikir Kiam Ciu dan memandang kearah kedua pendekar itu.

Kedua laki-laki itu memandang Kiam Ciu dengan sinar mata beringas. Tetapi mereka tidak berani berbuat lebih lanjut sebelum mendapat perintah wanita muda itu. Wanita muda itu mengambil pedangnya dan berdiri dalam sikap menantang kearah Kiam Ciu. "Semenjak aku terjun dikalangan Kang-ouw pedangku ini belum pernah keluar dari sarungnya. Sekarang aku cabut pedang ini dari sarungnya!” seru wanita muda itu dan tampaklah mata pedang yang baru saja dicabut itu.

Sekilas Kiam Ciu mengawasinya tetapi pemuda iiu masih tetap membisu dan masih terus mengerahkan ilmu Bo-kit-sin-kong. Wanita itu bertambah gusar dan membentak lagi. "Aku ingin mencoba kehebatan ilmu pedangmu dan kehebatan Oey Liong Kiam !” seru wanita itu, dibarengi dengan berakhirnya kata-kata itu dia telah menusuk kearah Kiam Ciu. Tong Kiam Ciu melompat kebelakang satu tindak. Tusukan pedang wanita itu mengenai tempat kosong. Tetapi wanita muda itu tidak meneruskan serangannya. Kemudian wanita jelita itu tersenyum dan menegurnya.

"Anak bandel ! Mengapa kau tidak membalas menyerang dengan pedangmu?” Tetapi Tong Kiam Ciu tidak membalasnya. Pemuda itu hanya menatap mata wanita muda itu serta menahan amarahnya. Ketika itu wanita muda dan jelita itu telah menghampirinya dan membujuk.

"Hey Tong Kiam Ciu, mengapa kau selalu membisu. Apakah kau mendapat luka dalam !” bisik waniia muda itu seraya menghampirinya.

Belum lagi wanita muda itu menyentuh kulit Kiam Ciu, tahu-tahu pemuda itu telah menggerakkan tangan kanan dan memukul kearah wanita itu hingga terpental karena angin pukulannya.

Diam-diam wanita jelita itu merasa heran karena kehebatan Kiam Ciu yang tidak terpengaruh ilmu Pan-yok-sin-im atau ilmu Suara melenyapkan sukma yang telah dilancarkannya itu. Dia berpikir apakah ilmunya itu sudah tidak berguna lagi. Menyaksikan wanita muda dan jelita yang selalu dipuja-pujanya itu telah diperlakukan sedemikian rupa oleh Kiam Ciu, maka tanpa menunggu perintah Li Hok Tian telah memukulkan ilmu pukulan mautnya kearah kepala Kiam Ciu dengan tenaga penuh. Namun Kiam Ciu dapat berkelit dengan cepat dan meloncat beberapa tindak, dan tidak berusaha untuk membalas atau mengimbangi perbuatan Li Hok Tian itu.

Sejak tadi Kiam Ciu telah mengerahkan Ilmu Bo-kit-sin-kong yang mengutamakan penyaluran tenaga dalam segenap pembuluh darahnya. Maka tidaklah mengherankan kalau pemuda itu bagaikan mandi. Tubuhnya basah kuyup dan Kiam Ciu meloncat kebelakang sambil menahan luka dalam yang dideritanya akibat pertempuran dengan Tok Giam Lo tadi.

Tiada seberapa lama tampaklah darah meleleh dari lubang hidung dan sudut mulut pemuda itu. Menyaksikan keadaan Kiam Ciu itu maka kini Li Hok Tian tertawa gelak-gelak. Dibarengi dengan meluncurnya enam butir bola besi beracun yang dilemparkan oleh Pit Ki. Serangan Pit Ki itu sangat cepat hingga Kiam Ciu tidak sempat lagi untuk mengelakkannya. Namun bertepatan dengan meluncurnya butiran-butiran bola beracun itu kearah tubuh Kiam Ciu, tampaklah wanita muda itu mengebutkan lengan bajunya kearah benda-benda itu.

Wanita muda itu berhasil menghalaukan ke enam bola. Kiam Ciu terhindar dari timpukan senjata rahasia yang ganas yang dilemparkan oleh Pit Ki.

Namun sebaliknya, baik Pit Ki maupun Li Hot Tian menjadi sangat heran menyaksikan sikap wanita muda itu, karena sebelumnya wanita muda itu telah mengejar-ngejar Kiam Ciu dan akans memberikan hajaran kepada pemuda itu.

Tetapi sekarang mengapa justru menolongnya ?.

"Hey mengapa kalian menyerang Kiam Ciu tanpa perintahku !” seru wanita itu dengan suara lantang.

Baik Pit Ki maupun Li Hok Tian tidik berani menyahut. Mereka hanya menundukkan kepala untuk menghindari tatapan mata wanita jelita itu. Mereka berdua memang sungguh-sungguh telah dibuat tidak berdaya dan menjadi sangat lunak sekali. Selanjutnya wanita itu telah menghampiri Kiam Ciu dan membujuk, "Tong Kiam Ciu, rupa-rupanya kau telah mendapat luka dalam hingga kau mengeluarkan darah dari hidung dan mulut. Marilah kutolong".” lalu betul-betul wanita muda itu memegang lengan kanan pemuda itu. tampaknya sangat mesra kekali seolah-olah Kiam Ciu itu adalah kekasihnya.

Namun pemuda itu tetap berkeras hati untut tidak memperdulikan bujukan dan rayuan wanita muda itu. Dengan sigap sekali wanita itu telah menotok jalan darah didekat jantung Kiam Ciu. Hingga pemuda itu tidak berdaya.

Wanita muda itu berpendapat bahwa dia tidak mammpu untuk mengalahkan dan menundukkan Kiam Ciu dengan ilmu Pan-yok-sin-im. Maka kini dia terpaksa harus berbuat itu. Dia harus menotok jalan darah dan melumpuhkan pemuda itu hingga tidak berdaya. Setelah pemuda yang keras hati itu tidak terdaya lagi, maka dia bertekad untuk menolong memulihkan tenaga dan semangat, serta menyembuhkan luka dalam Kiam Ciu. Maka dengan tidak menghiraukan keadaan disekitarnya, wanita itu telah membopong tubuh Kiam Ciu untuk dibawa ke keretanya yang sejak tadi telah menunggu dipinggir jalan.

Semua orang yang menyaksikan kejadian itu merasa sangat heran sekali, Mereka ialah para pengikut pengawal dan pengiring wanita itu, merasa heran mengapa majikannya sudi membopong Kiam Ciu, Lebih-lebih lagi Pit Ki dan Li Hok Tian merasa heran dan bercampur cemburu menyaksikan kejadian itu.

Dengan sangat berhati-hati wanita muda itu meletakkan Kiam Ciu kedalam keretanya! Dari dalam saku bajunya dikeluarkan dua butir pil yang berwarna perak. Kemudian pil itu disuapkannya ke mulut Kiam Ciu. Pil yang berwarna perak itu bernama Cin-leng-sai-wan. Adalah pil yang mempunyai khasiat luar biasa untuk mengembalikan tenaga dalam dan mengobati luka dalam. Pil itu adalah pemberian ibunya, semuanya berjumlah enam butir dan kini tinggal empat butir! Kiam Ciu setelah menelan dua butir pil Cin-leng-sai-wan itu maka dia menjadi tertidur sangat pulasnya! Bahkan dia bermimpi sangat mengasyikkan hingga tiada terasa goncangan-goncangan tubuhnya karena kereta yang ditumpanginya. Wanita jelita itu terus menungguinya dengan tekun dan tersenyum-senyum gembira.

Beberapa saat kemudian barulah Kiam Ciu tersadar bangun. Ketika itu terasa seseorang telah mengulapi keringat diwajahnya, ketika Kiam Ciu membuka kelopak matanya yang terlihat adalah wanita muda dan jelita itu, dengan tersenyum manis sekali mengawasinya.

Kiam Ciu merasa bahwa dirinya sudah kem bali sehat dan semangatnya pulih kembali. Maka dengan serentak pula dia telah membuka pintu kereta dan meloncat keluar. Kiam Ciu lari memasuki hutan.

Pit Ki dan Li Hok Tian memburunya. Namun wanita muda itu berseru melarang. "Biarkan dia pergi !” seru wanita muda itu dengan suara lantang.

Kedua jaso silat yang kini telah betul-betul terjerat dan menjadi budak wanita muda itu tak berani membantah lagi. Dengan perasaan gemas dan cemburu namun mereka tak berani membantah lagi perintah wanita itu. Bagaikan anjinganjing yang tak berguna, mereka menurut.

Wanita muda itu berdiri diambang pintu kereta yang tengah berhenti dipinggir jalan. Matanya mengikuti panggung Kiam Ciu yang bertambah jauh dan memasuki hutan kemudian menghilang.

"Hemmm Kiam Ciu, kau betul-betul seperti seekor kuda liar yang sukar untuk dijinakkan. Sekali ini aku gagal lagi untuk menguasai kau tetapi lain waktu aku pasti berhasil.. ."“ pikir wanita jelita itu sambil memandang kedalam hutan yang menelan Kiam Ciu. Wanita itu memutar tubuh kemudian tersenyum menatap pedang Oey Liong Kiam yang ditinggalkan oleh Kiam Ciu.

"Aku tak usah bersusah payah mencarinya lagi. Kau pasti akan kembali kepadaku untuk menanyakan pedang pusaka ini” bisik wanita itu sambil mengelus-elus hulu pedang pusaka itu.

Semua pengawal dan pengiring wanita itu tiada yang berani berbicara.

Mereka sangat patuh dan takut untuk mengeluarkan pendapat. Begitu juga Pit Ki dan Li Hok Tian. Mereka membisu dan hanya berbicara dengan hati mereka sendiri-sendiri. Sedangkan Tong Kiam Ciu yang tidak ingin memperhatikan dan tidak ingin terlibat dalam jaringan wanita itu telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghindarinya. Kini untuk yang sekian kalinya Kiam Ciu dapat terlepas dari jaring-jaring wanita muda dan jelita itu.

Kiam Ciu tahu bahwa dirinya tidak ada yang mengikutinya. Maka dia merasa sangat bergirang hati. Ketika dia melihat kearah kanan maka tampaklah bangunan gubuk yang sadah tidak terpelihara lagi. Dihampirinya gubuk itu, Ditempat itu tadi dia telah beristirahat sebelum kedatangan wanita jelita dan yang selalu mengejar-ngejarnya itu.

Maka kini Kiam Ciu berhenti dan berteduh ditempat itu. Dia hendak bermaksud untuk beristirahat dan memulihkan kembali tenaganya. Karena pil Gin leng-sai-gwat-wan maka luka dalamnya telah sembuh. Sebenarnya Kiam Ciu harus berterima kasih kepada penolongnya. Ialah wanita muda yang berkereta indah itu. Namun hatinya keras dan selalu berhati-hati dalam urusan itu. Karena dia tahu cita-citanya akan kandas karena urusan wanita. Lebih-lebih wanita muda itu tampak luar biasa.

Kembalilah dia terkenang wajah wanita jelita yang menolong mengobati luka dalam dengan pil Cin-leng-sai-wan. Tetapi dengan segera dia menghalaukan bayangan itu dari ingatannya.

"Bunga mawar itu sangat indah tetapi banyak durinya “ dengusnya seorang diri dan tersenyum sambil memandang langit, "aku harus berhati-hati.. . “

Tak terasa tangan Kiam Ciu meraba cincin yang melingkar di jari manisnya, Cincin pemberian adiknya Ji Tong Bwee, Kiam Ciu membayangkan adiknya yang mungil, cantik dan jelita serta menyenangkan itu. Kemudian teringat akan pedang pusaka Oey Liong Kiam yang selalu dibawanya kemana-mana itu, Pedang itu lalu diraihnya. Alangkah terperanjatnya Kiam Ciu ketika meraba hulu pedang itu ternyata lain bukannya Oey Liong Kiam. Dengan perasaan gugup Kiam Ciu bangun dari pembaringannya dan dipegangnya pedang itu. Diamatinya pedang itu, kemudian dicabutnya ternyata Kim-kang-sai-giok-kiam atau pedang baja biasa, Dia yakin bahwa Oey Liong telah ditukar oleh wanita yang berkereta itu. "Sungguh-sungguh wanita yang selalu membuat celaka saja” gumam Kiam Ciu dan mengeluh. Dia masih teringat pesan suhunya bahwa dia harus menjaga Oey Liong Kiam dengan berhati-hati. Tetapi kini ternyata pedang itu telah hilang lalu apa kata suhunya nanti? Pedang itu harus dapat kembali lagi.

Diamatinya Kim-kang-sai-giok-kiam sekali lagi. Terlintas pula wajah wanita muda yang jelita itu. Kiam Ciu jadi gelisah. Bagaimana nanti dia akan menghadapi suhunya kalau dia tidak membawa pedang pusaka Oey Liong Kiam itu ? Kemana pula dia akan mencari wanita berkereta itu ? Berbagai pertanyaan silih berganti. Hatinya bertambah gelisah. Sebenarnya ditempat itu Kiam Ciu bermaksud untuk tidur dan istirahat, tetapi karena kegelisahan hatinya dia tidak dapat tidur. Didalam hutan dan ditempat yang terpencil itu suasananya sangat sunyi.

Pada saat itu mendung telah menebal, kilat gemerlapan bersambung-sambung.

Kemudian turun hujan. Angin deras menggebu-gebu pepohonan.

Dalam suasana hujan itu, tiba-tiba Kiam Ciu menangkap suara gerisik ranting-ranting terpijak. Ketika Kiam Ciu memasang tajam pendengarannya, maka terdengarlah dua orang yang tengah bercakap-cakap sambil berjalan dibawah bujan dalam hutan ditempat yang tiada begitu jauh dari tempat dimana Kiam Ciu berteduh itu. "Bagaimana sekarang? Hujan ini bertambah besar juga, pakaianku sudah basah kuyup semuanya. Padahal untuk mencapai kuil Pao-yan-ta masih sepuluh lie lagi jauhnya. Apakah kita berteduh di rumah bobrok itu dulu sambil menunggu hujan reda?” seru seseorang.

Kiam Ciu duduk dan mengamati kedua orang yang mendatangi tempat dimana dia sedang berteduh itu.

"Betul, betul", sahut yang lain dengan juara bersugguh-sungguh, "kau tak usah merasa kuatir dan gelisah. Partai silatku mempunyai peraturan yang sangat keras. Maka sejak kudirikan selama dua puluh tahun ini belum pernah ada yang berani melanggarnya. Berita tentang peta itu kuterima dari muridku, maka aku berani menjamin kalau berita itu benar. Hanya saja untuk mendapatkannya kita harus sampai selekasnya di kuil itu dan kita dapat mengambilnya"“ seru orang itu dengan suara menekankan keyakinan.

Mereka itu ialah Eng Ciok Taysu dan Tie Kiam-su-seng. Dua orang tokoh silat yang ternama pada masa itu.

"Betul begitu. Tetapi karena tempat penyimpanan peta rahasia Pek-seng itu dapat diketahui oleh muridnya, apakah tidak mungkin kalau tempat itu diketahui juga oleb orang lain ? Jangan-jangan kita terlambat !” seru Eng Ciok Taysu raguragu.

"Makanya kita harus cepat-cepat dan tidak usah berteduh !” seru Tie-kiamsu-seng bersungguh-sungguh.

"Peta rahasia Pek-seng itu sangat penting bagi partai silat Siauw-lim. Jika kita berhasil memperolehnya, aku takkan melupakan jasa-jasamu. Dengan kitab Pek seng ditangan, maka sama saja kita mempunyai Oey liong kiam dan dapat menjagoi dikalangan Bu lim.” seru Eng Ciok Taysu dengan bersemangat.

Mendengar percakapan kedua orang itu Kiam Ciu merasa girang sesali.

Ternyata dengan tidak sengaja dia telah mendapat petunjuk dimana letak kuil Pao-yan-ta. Ternyata letaknya sudah dekat sekali.

Kiam Ciu juga sudah mengetahui bahwa peta rahasia penyimpanan kitab Pek seng itu terpendam didalam kuil Pao-yan-ta dan dijaga sangat kuat. Selama puluhan tahun tak ada seorangpun yang sanggup untuk merebutnya. Namun Kiam Ciu juja ingin mencobanya.

Dalam percakapan antara Eng Ciok Taysu dengan Tie kiam su-seng, Kiam Ciu dapat menarik kesimpulan bahwa Eng Ciok Taysu ingin menjadikan partai silat Siauw-lim menjadi partai silat yang menjagoi dan tak terkalahkan di kalangan Bu lim, Maka sudah selayaknya kalau kakek itu dengan nekad dan berani untuk menempuh kuil Pao-yan-ta yang terkenal itu.

"Sute..” semenjak kau mendirikan pariai silat Tie kiam, kau sudah tidak menaruh perhatian sama sekali dengan partai silatku, Olah karena itu, jika kau menganggap bahwa kau tidak perlu mengikutiku, maka kukira kau lebih baik tidak usah ikut dan aku dapat pergi sendirl I” seru Eng Ciok Taysu.

Namun mereka berjalan terus. Mereka tetap berdua. Tampak seperti dua orang sahabat yang saling membutuhkan dan tiada keretakan. Entahlah kalau sikap itu hanya sikap berpura-pura dari ketua partai silat Tie kiam.

Sebenarnya mereka memang bersaudara seperguruan. Ketika puluhan tahun yang lalu ketua partai Siauw-lim meninggal dunia. Pimpinan partai silat Siauw-lim diserahkan kepada Eng Ciok Taysu. Sebenarnya yang sangat mengharapkan untuk menjadi pimpinan Siauw-lim-pay itu ialah Tia-kiamsuseng. Kenyataannya dia memang malas dan ilmu silatnya dibawah ilmu Eng Ciok Taysu. Maka karena peristiwa itu menjadi kecewa. Namun tidak dapat berbuat apaapa! Maka dia lalu pergi menyingkirkan diri dan berlatih sendiri untuk menambah kekurangannya! Beberapa tahun kemudian dia telah sempurna dan merasa kuat. Maka dia lalu mendirikan partai silat sendiri yang diberi nama Tie kiam-pay. Akibat dari perpecahan itu melemahkan partai Siauw-lim. Sehingga Eng Ciok Taysu harus berusaha dengan susah payah untuk menegakkan kekuatan Siauwlim-pay kembali.

Bertepatan pula pada saat itu muncul seorang jago silat yang luar biasa ilmunya. Dengan mengandalkan ilmu Bo-kit-sin-kong pendekar luar biasa yang berpakaian serba putih itu telah berhasil menjagoi dunia persilatan. Bahkan dia telah berhasil merebut Oey-liong-kiam. Perebutan senjata pusaka itu diadakan setiap sepuluh tahun sekali dalam pertemuan yang diberi nama Bu Lim Ta Hwee, sedangkan pendekar yang berpakaian serba putih dan terkalahkan itu ialah guru Kiam Ciu yang terkenal dengan sebutan Pek-hi-siu-si.

Perpecahan di kalangan Siauw-lim-pay rupa-rupanya hampir berakhir, terbukti dengan kesadaran Tie kiam su-seng yang sengaja menghadap kepada Eng Ciok Taysu sangat tertarik dengan kitab silat Pek seng itu, Maka dengan tidak menghiraukan hujan dan panas dia telah berjalan untuk menuju ke kuil Pao-yan-ta dimana menurut kabar dari murid Tie kiam dalam kuil tersimpan peta rahasia tempat penyimpanan kitab pusaka Pek seng itu.

"Suheng, jika kau mendesak untuk meneruskan perjalanan, akupun tidak berkeberatan, suheng tak usah menjadi gusar hati” seru Tie-kiam su-seng.

Suara kedua orang itu bertambah jauh kedengarannya. Mereka telah meninggalkan tempat itu dan melalui tempat dimana Kiam Ciu berteduh.

Kebetulan juga hujan telah bereda, tinggal gerimis lembut. kedua saudara seperguruan itu menuju kekuil Pao-yan-ta.

Ketika Kiam Ciu yakin bahwa orang-orang itu telah berjalan jauh. Maka dia lalu keluar dari rumah itu dan memanjat pohon untuk melihat kedua orang tadi, ketika diperhatikan ternyata mereka telah jauh, maka Kiam Ciu segera meloncat dan mengikuti jejak mereka.

Kiam Ciu sendiri juga akan menuju kekuil Pao-yan-ta mempunyai tujuan yang sama dengan kedua orang itu. Maka dengan berhati-hati sekali Kiam Ciu mengikuti jejak mereka berdua.

Tiada lama kemudian mereka telah sampai di kaki sebuah pegunungan itu.

Tampak sebuah bangunan kuil yang megah, disamping kuil itu terdapat sebuah bangunan pagoda. Eng Ciok Taysu Tie-kiam-su-seng berhenti sejenak. Mereka memandang keatas puncak pegunungan itu dengan mata melotot dan heran. Karena dipuncak pegunungan itu tampak berpuluh-puluh obor. Eng Ciok Taysu memandang kearah sutenya. Seolah-olah dia mengatakan bahwa rahasia peta Pek seng telah diketahui orang banyak. Tie kiam su-seng maklum dengan pandangan mata itu. Kiam Ciu juga tertahan langkahnya. Namun dia tetap bersembunyi, karena dia tidak mau membuat kegaduhan dan berisik dalam tugasnya itu. Dia harus mendapatkan peta itu tanpa banyak keributan.

Suasana diatas puncak pegunungan itu sangat gaduh sekali. Banyak sekali orang-orang dari suku Biauw yang membawa obor dan bersenjata lengkap sedang mengepung kuil Pao-yan-ta. Tetapi Eng Ciok Taysu dan Tie kiam su-seng bertekad untuk mendaki juga.

Kuil Pao-yan-ta terletak diatas puncak pegunungan. Sangat luar biasa bangunannya dan di samping kuil itu dibangun juga sebuah pagoda yang berpintu satu dan terletak dibagian bawah.

Setelah tiba diatas, mereka dapat menyaksikan banyak sekali orang-orang dari suku Biauw yang tengah berusaha untuk menggempur kedalam kuil itu.

Mereka bersenjata dan bertubuh sangat kuai, Sebentar-sebentar terdengar suara tertawa dari dalam kuil itu. Tampak beberapa orang telah binasa dan menggeletak dengan kepala pecah dan otaknya bercampur darah meleleh.

"Kalau aku tidak salah dengar suara tawa itu adalah suara tertawanya Kwa Si Lokoay” bisik Eng Ciok Taysu kepada Tie kiam su-seng. "Lihay benar ilmu silatnya. Coba sute perhatikan sudah berapa banyak orang-orang Biauw itu yang binasa . . .” "Betul juga, rupa-rupanya tidak mudah lagi bagi kita untuk merebut kitab Pekseng” jawab Tie kiam-suseng tegas dan was-was.

Beberapa saat kemudian tampaklah sebuah kelebatan bayangan, Tahu-tahu didepan pintu kuil itu telah berdiri Tok Giam Lo yang berwajah bengis dan bertambah tampak bengis karena sinar obor itu. Kakek yang bertubuh pendek itu menantang kearah orang-orang Biauw.

"Bah! Karena obor kalian aku jadi terganggu! Hayo menyingkir semua kalau masih ingin hidup!” seru Tok Giam Lo sambil mengirimkan pukulan Im-hong ciang kearah orang-orang didepannya. Mereka berjungkalan ! Orang-orang suku Biauw merasa ngeri melihat kehebatan pukulan beracun Tok Giam Lo itu. Mereka melarikan diri dan meninggalkan kawannnya yang telah binasa. Kemudian Tok Giam Lo meloncat agak ke belakang sambil berkacak pinggang menantang kearah kuil. Menantang Kwa Si Lokoay dengan suara lantang dan penuh keberanian.

"Hay Kwa Si Lokoayl Aku telah menyaksikan ilmu silatmu yang luar biasa itu. Kau ternyata dapat membinasakan beberapa orang suku Biauw hanya dari dalam kuil saja. Aku Tok Giam Lo telah datang kesini dengan maksud untuk mengambil peta rahasia Pek seng. Jika kau bersedia untuk menyerahkan peta itu padaku, maka kita dapat bersahabat dan kesalamatanmu kujamin!” seru Tok Giam Lo dengan suara lantang.

"Aku mengerti ucapanmu! Memang peta Pek seng berada didalam pagoda ini, tersimpan didalam guci abu jenazah suhuku. Aku segan untuk bersahabat denganmu, karena menurut pendapatku kau mempunyai watak tidak baik. Jika kau memang mempunyai kepandaian, maka kau dapat mencobanya untuk mengambil kedalam !” seru dari dalam dengan suara bergema.

Tok Giam Lo masih kurang puas dengan jawaban itu. Dia telah menghampiri pintu itu dan berseru lagi.

"Hey.. kau !” Apakah kau tidak menyadari bahwa kau telah menyekap diri didalam pagoda itu untuk menjaga peta Pek-seng selama lima puluh tahun ? Ilmu Pek seng sama sekali tidak ada artinya dan tak kau pergunakan apa-apa.

Maka jika kau menyerahkan peta rahasia Pek-seng itu kepadaku kau akan kuajak bergembira dan mengembara menikmati keindahan dan kemuliaan tahu ?” seru Tok Giam Lo dengan lantang.

Kwa Si Lokoay tidak menjawab apa-apa. Hanya tidak lama kemudian Tok Giam Lo terdorong kebelakang. Karena ternyata terasa suatu tenaga hembusan hebat dari dalam pagoda itu yang dilancarkan oleh Kwa Si Lokoay.

"Hey Tok Giam Lo itu suatu peringatan bagimu ! Jika kau masih membandel maka jiwamu akan segera melayang diatas puncak gunungan ini !"“ seru Kwa Si Lokoay dengan suara lantang.

"Hah !” sahut Tok Giam Lo "Jika kau menganggap dapat membunuhku dengan mudah itu maka kau adalah ibarat katak dalam sumur. Apakah belum tahu aku ini siapa ? Aku dapat mengirim kau keakhirat hanya dalam pertempuran dua jurus saja !” seru Tok Giam Lo.

"Hey kau ! kini palang besi pintu pagoda ini telah kuhancurkan !” seru Tok Giam Lo dengan suara lantang. "Kalau kau tidak berani keluar kau tunggulah aku akan masuk dan menyeretmu keluar !”

Begitu selesai kata-kata Tok Giam Lo, tahu-tahu ada sesosok tubuh telah meloncat dari dalam pagoda. Tok Giam Lo terkejut dan mundur beberapa langkah. Bukan saja Tok Giam Lo yang merasa terperanjat menyaksikan kehadiran Kwa Si Lokoay yang menyeramkan itu, tetapi juga Eng Ciok Taysu, Tie Kiam su-seng, dan juga Tong Kiam Ciu yang masih bersembunyi merasa kagum dan terpesona. Orang yang baru menerjang keluar itu bertubuh ceking dengan rambut terurai berwarna putih seluruhnya. Wajahnya kerut merut tetapi matanya memancarkan sinar aneh yang memukau. Tangannya seolah-olah melebihi betis panjangnya, seperii seekor kera. Mirip kera daripada manusia.

"Hay jahanam-jika aku tidak memberikan pelajaran padamu, kau tidak akan tahu aku ini siapa !” seru Kwa Si Lokoay dengan gusar.

Kwa Si Lokoay mengangkat kedua tangannya. Tok Gam Lo merasakan tubuhnya tertarik kedepan. Dia yakin bahwa kakek itu telah menyerang dengan ilmu Bo sing-kong ki atau tenaga gaib tanpa bentuk. Juga tidaklah mengherankan kalau orang-orang Biauw banyak yang binasa dan terbentur dinding pagoda karena sedotan tenaga sakti kakek itu.

Mendapat kenyataan itu maka dengan cepat pula Tok Giam Lo telah melancarkanilomu Cit Sing Lian Hua Po Hoat atau langkah gaib, untuk menghindari serangan lawan kemudian dia melancarkan serangan susulan dengan membentangkan ilmu Hong Ciang kearah Kwa Si Lokoay.

Dengan susah payah Tok Giam Lo menghadapi serangan Kwa Si Lokoay.

Ilmu Bon sing-kong ki memang sangat hebat, sehingga dengan susah payah Tok Giam Lo dapat mengatasinya kemudian mengirimkan ilmu pukulan beracunnya kearah kakek itu. Begitu pula Kwa Si Lokoay merasakan hahwa serangan pembalasan itu mempunyai tenaga gempur yang luar biasa.

Maka kakek itu meloncat kesamping untuk menghindari serangan lawan.

Angin pukulan menyambar lengan jubah kakek itu. Namun dengan kebutkan lengan jubahnya maka serangan Tok Giam Lo dapat terhalau.

Sambil berloncatan dan bergerak selalu Tok Giam Lo mencari kelengahan lawannya. Seolah-olah dia ingin membuat kakek itu menjadi pusing karena gerakannya itu. Namun kenyataannya, Kwa Si Lokoay tetap tenang dan waspada.

Karena dia telah banyak makan garam dalam pertempuran. walaupun dia telah menyekap diri didalam pagoda itu puluhan tahun.

Tok Giam Lo selalu waspada pula akan serangan dalam yang luar biasa dari ilmu Bo sing-kong ki yang tidak kentara itu. Namun begitu dia terengah juga.

Kwa Si Lokoay telah menggerakan kedua lengannya kearah Tok Giam Lo orang bertubuh pendek gemuk itu bertahan dan dengan susah payah mengerahkan ilmu Cit Sing Lian Hua Po Hoat untuk menghindari serangan tenaga sinkang Kwa Si Lokoay itu. Hingga mandi keringatan dan wajahnya menjadi merah padam, dia bertahan. Tiba-tiba kakek itu membentak keras dan Tok Giam Lo terjengkang sampai beberapa tindak jauhnya. Namun begitu dia sempat pula mengirimkan pukulan Im-hong ciang kearah kakek itu.

Kwa Si Lokoay meloncat dan akan menerkam Tok Giam Lo. Namun laki-laki gendut yang barwajah dan berwatak keji itu telah melemparkan ular belangnya kearah Kwa Si Lok.ay. Ular berbisa ganas itu telah melilit betis dan tangan Kwa Si Lokoay. Bersamaan dengan keadaan itu tampaklah dua tubuh berkelebat menerjang masuk kedalam pagoda. Tok Giam Lo menahan rasa sakit didadanya dan meloncat menerkam orang yang baru menerobos masuk itu: Orang yang diterkam oleh Tok Giam Lo itu tiada lain ialah Eng Ciok Taysu.

Begitu pula Kwa Si Lokoay meloncat menerkam bayangan-bayangan yang satunya lagi yang tiada lain adalah Tie kiam-suseng. Tubuh otang itu dibantingkannya ketanah dan hampir saja tidak berdaya.

Mereka telah mengambil kesempatan itu untuk menerobos masuk dan akan mengambil peta rahasia penyimpan kitab Pek seng didalam kuil itu. Namun mereka keburu ketahuan oleh kedua orang yang tengah bertempur itu.

Ular belang milik Tok Giam Lo telah binasa. Hancur tubuh ular itu terkena pukulan Kwa Si Lokoay. Namun kakek itu juga tiada luput terkena gigitan beracun ular belang itu. Tong Kiam Ciu yang sejak tadi bersembunyi dalam kesempatan itu juga berhasil masuk kedalam pagoda. Bahkan dia menyaksikan kelebatan orang lain yaug menerobos masuk kedalam pagoda itu juga.

Terdengar Kwa Si Lokoay membentak degan suara lantang!. Suara bentakan itu terdengar sangat menyeramkan dan berpengaruh hebat terhadap orangorang yang berada didalam pagoda itu.

"Sekarang siapa lagi yang berani nekad masuk kedalam pagoda ini akan kuhancur leburkan dengan pukulanku ini!” seru kakek itu dan membuktikan katakatanya. Dengan Ilmu Bon sing-kong ki kakek itu memukul tanah didepannya.

Terdengarlah sekonyong-konyong gerakan hebat tanah bercampur batu berhamburan kemudian tampaklah tanah dalam pagoda itu berlobang dan dalam. Semua yang menyaksikan kejadian itu merasa ngeri.

Tok Giam Lo mengenal bahwa kakek itu telah terkena racun bisa ular belang yang sengat ganas. Namun karena kehebatan Ilmu Bon sing-kong ki maka kakek itu masih sempat bertahan terhadap bisa ular belang yang sangat ganas itu.

Suasana didalam pagoda itu menjadi sangat tegang. Tiba-tiba didalam ketegangan itu terdengar suara tertawa dari arah dalam pagoda. Semua orang terperanjat dan menjadi kagum.

Tiada seberapa lama tampaklah Tong Kiam Ciu telab meloncat dan berdiri dihadapan Kwa Si Lokoay. Menyaksikan kehadiran Kiam Ciu di tempat itu Eng Ciok Taysu merasa heran, begitu juga Tok Giam Lo merasa heran karena dia semula menyangka bahwa Kiam Ciu telah binasa terkera racun.

Namun Kiam Ciu tidak memperdulikaa mereka semua itu Dia menghadap Kwa Si Lokoay dan berseru dengan suara lantang tetapi hormat.

"Locianpwee pagoda ini telah kemasukan orang !” seru Kiam Ciu.

Kwa Si Lokoay terperanjat menyaksikan anak muda itu, apalagi ketika mendengar kata-kata pemuda itu. Maka kakek itu terbeliak dan wajahnya yang putih itu bagaikan menyala.

"Apa yang kau katakan anak muda ? Kau berdusta !” seru Kwa Si Lokoay dengan suara keras dan gusar.

"Locianpwee aku tidak berdusta !” seru Kiam Ciu menegaskan lagi.

"Hey anak muda kau tahu berbicara dengan siapa ? Jika apa yang kau katakan itu dusta, kau akan binasa ditempat ini !” seru Kwa Si Lokoay dengan mata melotot dan membara.

"Locianpwee boleh periksa kedalam. Aku akan menunggu ditempai ini jika ternyata kata-kataku adalah dusta, aku bersedia menerima hukuman ditempat ini !” seru Kiam Ciu dengan suara tegas dan meyakinkan.

Saat itu Kwa Si Lokoay menempelkan telinganya kedinding pagoda. Seketika itu tampaklah perubahan wajah kakek itu. Tanpa membuang waktu lagi kakek itu telah memutar tubuh dan mengebut lengan jubahnya berkelebat masuk kedalam pagoda itu. Menyaksikan hal itu Tok Giam Lo merasa gelisah. Dia ingin mengikuti masuk kedalam pagoda itu. Namun Kiam Ciu menahannya.

"Hey anak muda ! Kau terlalu besar nyalimu berani mencegahku!” seru Tok Giam Lo dengan suara bengis karena gusar.

Tong Kiam Ciu tidak mengimbangi kegusaran laki-laki bertubuh gendut itu.

Dia tersenyum dan memandang dengan tenang kewajah Tok Giam Lo, tetapi Tok Giam Lo tampak melototkan matanya.

"Sudahlah . . . aku tidak mau melawan orang yang sudah luka !” seru Tong Kiam Ciu sambil tersenyum.

Tetapi Tok Giam Lo menjadi bertambah gusar dan langsung mengirimkan sebuah pukulan kearah dada Tong Kiam Ciu.

Kiam Ciu telah siap siaga dengan ilmu Bo-kit-sin-kong, ketika hawa serangan pukulan Tok Giam Lo hampir menyentuh dadanya, pemuda itu memiringkan tubuhnya sediktt dan serangan itu berlalu.

Tok Giam Lo menjadl penasaran menyaksikan serangannya dapat dielakan dengan mudah oleh Kiam Ciu, maka dia segera melompat memasang kuda-kuda dan mengembangkan kesepuluh jari-jemarinya. Dari kuda-kudanya tampaklah semburat merah dan kepulan asap yang sangat tipis sekali. Tok Giam Lo berusaha untuk melukai Kiam Ciu untuk memasukkan racun. Namun Kiam Ciu pernah bertempur melawan Tok Giam Lo, jadi dia telah mempunyai pengalaman menghadapi lawannya itu. Maka dia mengerahkan ilmu Bo-kit-sin-kong untuk melawan pengaruh ilmu Han-tok-bo-kong yang dilancarkan oleh Tok Giam Lo itu. Dengan gerakan-gerakan bagaikan akan mencengkeram Tok Giam Lo mengerahkan ilmu Han-tok-bo-kong. Dari ujung jari jemarinya tampak sinar merah yang menyerang kearah Kiam Ciu. Sinar merah yang berhawa panas dan ganas itu sangat berbahaya. Maka dengan jeritan lantang Kiam Ciu meloncat kebelakang. Begitu kakinya menginjak tanah maka pemuda itu melancarkan sebuah pukulan dahsyat bertenaga penuh kearah Tok Giam Lo. Karena tubuh Tok Giam Lo telah mendapat luka dalam akibat bertempur dengan Kwa Si Lokoay maka dorongan serangan Kiam Ciu itu tak dapat ditahan lagi.

Tok Giam Lo terjengkang di tanah, wajahnya menjadi merah padam dan malu sekali mendapatkan kenyataan itu, ketika Tok Giam Lo terbatuk ternyata mulutnya memuntahkan darah segar.

Tok Giam Lo adalah seorang tokoh yang kesohor kehebatan ilmu silatnya.

Dia adalah seorang tokoh silat dari lembah lblis yang telah puluhan tahun malang melintang didunta Kang-ouw. kini dapat dijatuhkan oleh seorang anak muda yang belum punya nama.

Eng Ciok Taysu menyaksikan pertempuran yang hanya satu jurus itu menjadi sangat kagum, ternyata Kiam Ciu mempunyai kehebatan juga.

"Hey luar biasa lihaynya ilmu silat Kiam Ciu ini. Maka tidak mengherankan kalau dia berani melawan pemimpin partai silat Kong-tong dalam pertemuan Bu-lim-ta-hwee beberapa hari yang telah lalu” pikir Eng Ciok Taysu.

Kemudian Tong Kiam Ciu melirik arah Eng Ciok Taysu yang kelihatan gelisah, tanpa menunggu waktu lagi Kiam Ciu segera menegurnya.

"Locianpwee apakah kau juga ingin masuk kedalam pagoda ?” seru Kiam Ciu dengan suara lunak tetapi bernada ancaman.

Mendengar teguran itu Eng Ciok Taysu menjadi gugup, kemudian balas menanyakan kepada Kiam Ciu.

"Tong Siawhiap aku tidak melihat pedang Oey Liong Kiam dipinggangmu.

Apakah pedang nomor wahid dikolong langit itu telah jatuh ketangan orang lain?”

tegur Eng Ciok Taysu sambil mengerutkan kening dan menantikan jawaban.

Tong Kiam Ciu mendengar pertanyaan itu jadi tersenyum getir. Kemudian dia menyahut. "Locianpwee, pedang Oey Liong Kiam itu bukan pedang untuk pamer? Kurasa tidak harus kubawa-bawa kemana saja tetapi aku pasti membawanya dalam pertemuan Bu-lim-tahwee nanti !” seru Kiam Ciu tegas.

Sebenarnya pikiran Kiam Ciu sedang kacau kalau mengingat pedang Oey Liong Kiam itu jatuh ketangan wanita yang berkereta itu, namun dia telah bertekad untuk mengambilnya segera.

Pada saat itu juga terdengar suara gaduh dari dalam pagoda. Kemudian disusul dengan munculnya Kwa Si Lokoay dengan sempoyongan dan memondong guci dan wajahnya berkeringat serta pucat pasi.

Tok Giam Lo yang masih dalam keadaan terduduk dan terluka itu, ketika menyaksikan Kwa Si Lokoay membawa guci itu segeralah dia meloncat dan merebut guci dari tangan kakek itu.

Anehnya Kwa Si Lokoay diam saja, kakek itu tidak berusaha untuk bertahan atau mempertahanka. Tetapi keringat mengucur dari kening dan wajah kakek itu. Eng Ciok Taysu maupun Tie-ktam-suseng juga meresa heran akan sikap kakek itu. Tok Giam Lo tidak sabar lagi, maka segeralah guci itu dihancurkannya. Debu berhamburan. Tetapi peta Pek seng tidak tampak. Yang terdapat didalam guci itu hanyalah seekor burung yang terbuat dari perak.

"Hah ? Gan Hua Liong sudah datang kesini !” seru Tok Giam Lo. Kemudian orang itu meloncat pergi meninggalkan puncak gunung itu.

Seruan terperanjat Tok Giam Lo itu terdengar juga oleh Eng Ciok Taysu dan Tie Kiam suseng. Maka segerlah mereka berpaling kearah Tong Kiam Ciu.

"Rupa-rupanya peta Pek-seng itu telah didahului orang lain. Kurasa tak ada gunanya lagi kita berada disini. Ayolah lekas kita berlalu dari tempat ini !” seru Eng Ciok Taysu kepada Kiam Ciu.

Tong Kiam Ciu menganggukan kepala dan melangkah mengikuti kedua jago silat itu untuk meninggalkan puncak gunung.

Akhirnya tinggallah Kwa Si Lokoay seorang diri didepan pagoda itu. Kakek itu tertawa gelak-gelak seperti orang kehilangan ingatan. Mendengar itu maka Tong Kiam Ciu memalingkan kepala dan memandang kearah sikakek itu.

Sedangkan Eng Ciok Taysu dan Tie-kiam-suseng tak memperdulikan keadaan itu. Tong Kiam Ciu yang berhati welas asih itu ternyata merasa tidak sampai hati menyaksikan keadaan Kwa Si Lokoay yang dianggapnya tidak wajar atau mungkin berobah ingatan. Maka Kiam Ciu kembali menghampiri kakek itu dan bertanya. "Locianpwee, apakah aku dapat menolongmu ?” seru Kiam Ciu setelah dekat dengan kakek itu. Akhirnya Kwa Si Lokoay berhenti tertawa dan menatap kearah Kiam Ciu.

Menatap dalam-dalam kewajah pemuda itu. Hingga beberapa saat kakek itu memperhatikan Kiam Ciu. Kemudian terdengar tawanya lagi.

"Ha-ha-ha-ha. . . . apakah kau merasa heran anak muda ? Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku ini adalah Gan Hua Liong atau siburung perak !” seru kakek itu kepada Kiam Ciu. Tong Kiam Ciu merasa kaget dengan keterangan itu, tetapi kakek itu mengulangi lagi gelarnya dan akhirnya Kiam Ciu yakin juga.

Gan Hua Liong yang merasa bahwa ajalnya tinggal sedikit itu. Maka dia berbicara dengan sangat tergesa-gesa untik menjelaskan beberapa hal kepada Kiam Ciu. "Seperti katamu bahwa pagoda ini telah kemasukan orang dan orang itu telah kubinasakan. Aku pernah menjagoi kalangan Kang-ouw. Tetapi karena kesalahan-kesalahanku, aku dipenjarakan didalam pagoda ini. Ketika guruku akan meninggal dunia dia telah menyerahkan peta rahasia kitab Pek-seng kepadaku, dengan pesan untuk diserahkan kepada seseorang yang luhur budinya. Oh.. . aku telah terkena bisa ular ganas itu dan aku rasa tak dapat hidup lebih lama lagi.. .” kakek itu berhenti sejenak dan wajahnya tampak berkeringat terlalu banyak. Kiam Ciu menyaksikan itu dengan hati iba, tetapi kakek itu tampak berkeras kepala tidak mau ditolong.

"Hari iai aku telah melihat sikapmu dan aku yakin bahwa kau adalah seorang jago silat yang luhur budimu. Maka aku serahkan peta Pek-seng ini kepadamu untuk mengambil kitab pusaka ilmu silat Pek-seng !”

Kakek itu mengulurkan tangannya dan menyerahkan peta Pek-seng yang terbungkus dengan sutera. Dengan terharu Kiam Ciu menerima pemberian kakek itu. "Tetapi aku mempunyai satu permintaan yang harus kau penuhi” tertahan lagi karena kakek itu menahan rasa sakit.

Ketika menyaksikan keadaan itu, maka Kiam Ciu segera mengeluarkan rumput obat Lok-bwe-kim-keng dan diserahkan kepada kakek itu.

"Locianpwee aku mempunyai . , , “ seru Kiam Ciu sambil mengulurkan tangan untuk menyerahkan ramuan obat itu.

Tetapi Gan Hua Liong membentak: "Kau jangan banyak bicara ! Dengar baik-baik pesanku !”

"Tetapi Locianpwee, batang Lok-bwee-kim-keng ini dapat . . “ desak Kiam Ciu menyodorkan obatnya kepada kakek itu.

"Diam kataku !” seru kakek itu membentak.

Kiam Ciu mengkeret dan menundukkan mukanya. Dia tidak tahu maksud kakek itu. Kakek yang aneh dan baru kali ini ditemui oleh Kiam Ciu.

"Anak muda kau jangan bergusar hati. Aku tahu khasiat batang Lok-bwee kim-keng itu dapat menolong jiwaku dan memusnahkan pengaruh racun dalam tubuhku. Tetapi aku sudah ingin mati, maka tugas akan kuserahkan padamu! Sekarang kau tahu?” seru kakek itu bersungguh-sungguh dengan suara yang telah bernada lemah. Mendengar perjelasan itu maka akhirnya Kiam Ciu mengerti. Maka kini dia menundukkan kepala dan mengangguk.

"Nah, kini dengarlah baik-baik pesanku ini. Ketika suhuku akan meninggal dunia beliau telah mengatakan bahwa cucu perempuanku telah ditawan di kota Pek-seng. Terkurung di suatu tempat. Jika kau pergi kesana kau harus bebaskan dia. Tugas ini mungkin sukar dan berbahaya, namun aku yakin bahwa kau dapat melaksanakannya” suara kakek itu sudah sangat lemah kedengarannya.

Tiada lama kemudian setelah kata-kata terakhir itu tampaklah kakek itu memuntahkan darah terhuyung-huyung dan jatuh terjungkal dihadapan Tong Kiam Ciu. Dengan sekali loncat Tong Kiam Ciu telah memasukkan batang Lok-bweekim-keng ke mulut kakek itu, tetapi mulut kakek itu telah terkancing rapat.

Setelah berkelojotan sejenak maka kakek itu telah menghembuskan nafas yang terakhir. Tong Kiam Ciu lalu merawat jenazah Gan Hua Liong kemudian menguburnya.

Setelah mengadakan upacara penguburan yang sangat sederhana maka Kiam Ciu lalu masuk kedalam kuil untuk bermalam.

Walaupun malam itu mata Kiam Ciu sukar untuk dipejamkan, karena dia mengenangkan pengalaman sepanjang hari. Tetapi akhirnya dia terlena.

Ketika telinganya sayup-sayup menangkap suara kicauan burung. Maka dia agak terperanjat juga. Dirabanya saku jubah untuk meyakinkan babwa peta Pekseng itu masih ada. Hatinya merasa lega dan Kiam Ciu segera meloncat bangun.

Ketika kesadarannya telah penuh kembali, barulah dia menuju kepintu kuil.

Kiam Ciu menyadari dia harus cepat-cepat ke kota Pek-seng, dan sebelum semuanya berantakan harus dapat menemukan kitab pusaka Pek-seng itu. Maka segeralah dia mendorong batu penghalang didepan pintu kul Pao-yan-ta. Setelah dia melompati lubang besar yang dibuat oleh Kwa Si Lokoay maka simpailah pemuda itu di depan pagoda Pao-yan-ta. Terciumlah hawa sejuk pegunungan yang tertiup angin semilir.

Matahari tampak bersinar dengan berkas sinarnya yang menembus diselasela dedaunan di puncak pegunungan itu. Sekian lama Kiam Ciu memandang kearah makam Kwa Si Lokoay. Seolah-olah dia berjanji, kemudian tampak lengan jubahnya bergerak. Tahu-tahu pemuda itu telah melesat dan meninggalkan kuil yang bersejarah, kuil itu membisu dan tetap angker penuh keagungan.

Kiam Ciu telah memperhitungkan untuk menujuj ke kota Pek-seng. Dia harus seIekas-lekasnya sampai di kota itu sebelum tokoh-tokoh lain tiba di tempat penyimpanan kitab pusaka Pek-seng. Karena kitab pusaka Pek Seng itu yang kini sedang dicari oleh tokoh persilatan.

Dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat Pek Seng itu. Hingga sebagian besar tokoh Bu Lim sangat mengilerkan kitab pusaka itu. Karena mereka berpendapat, kalau toh mereka tidak berhasil merebut pedang pusaka Oey Liong Kiam tetapi dapat mendapatkan ilmu silat Pek Seng, itu sama saja hebatnya.

Ilmu silat Pek Seng Itu tiada terkalahkan. Sangat hebat dan langka.

Tong Kiam Ciu telah berhasil mendapatkan peta Pek Seng itu. Maka suatu milik yang luar biasa didapat dengan jalan yang sangat mudah tanpa mengadu kekuatan dan tanpa pertumpahan darah. Suatu yang jarang dapat terjadi. Maka dia sangat berhati-hati. Waspada akan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada saat-saat yang sangat penting dimana dia nanti akan mengambil kitab pusaka Pek Seng. Dirabanya sekali lagi saku kanan dimana peta Pek-Seng itu tersimpan. Tanpa sengaja Tong Kiam Ciu menarik nafas panjang.

Dengan meningkatkan ilmu meringankan dan tubuh berlari cepat Kiam Ciu cepat menuruni gunung dan melompati jurang-jurang yang menganga. Dengan tidak memakan waktu terlalu lama dia telah tiba disebuah kota kecil dalam propensi An-Hwei. Dalam kota kecil itu terdapat dua buah rumah makan yang telah buka. Namun perjalanan yang telah dilakukan oleh Kiam Ciu pagi itu sangat cepat.

Hingga sampai di kota kecil itu masih dalam keadaan sepi sekali. Hanya beberapa orang saja yang tampak di jalanan menuju ke pasar. Sinar matahari yang menembusi kota lewat pintu gerbang karena matahari masih sangat rendah. Bayangan rumah-rumah dan pepohonan masih tampak memanjang.

Kiam Ciu memandang kedua rumah makan itu, lalu dia melangkah menuju kesaah satu rumah makan itu.

Ketika dia menginjakkan kaki didepan pintu rumah makan itu, sejenak memandang kedalam. Keadaan masih sangat sepi. Beberapa kursi dan bangku masih terbalik tertumpuk dengan meja. Namun seorang pelayan rumah makan itu ketika mengetahui kedatangan Kiam Ciu dengan sangat tergopoh-gopoh menurunkan kursi dan menyiapkan tempat di dekat jendela untuk tamunya yang baru datang itu. Kiam Ciu melangkah masuk dan menuju ke tempat yang telah disediakan dan pelayan itu menghormat dengan membongkok-bongkok hormat. Tempat yang telah disediakannya adalah dua buah kursi. Kiam Ciu tidak begitu mengacuhkan keadaan itu. Beberapa pelayan rumah makan itu telah mempersiaphan tempat. Kiam Ciu hanya ingin makan pagi dan segera akan melanjutkan perjalanan. "Selamat pagi anak muda. Rupa-rupanya kau sangat lelah dan apakah kami dapat menolongmu ?” seru pelayan itu dengan hormat dan mendekati tempat dimana Kiam Ciu duduk. Kiam Ciu tersenyum mendapat kehormatan dan teguran yang sopan itu.

Diam-diam dia sangat memuji kesopanan pelayan rumah makan itu. Maka sambil tersenyum pula Kiam Ctu memesan makanan.

Beberapa saat kemudian Kiam Ciu melihat seorang nenek masuk kedalam rumah makan itu. Ketika pandangan mata mereka beradu, nenek itu tersenyum.

Kiam Ciu juga tersenyum. Tahu-tahu nenek itu telah duduk di kursi dekat tempat duduk Kiam Ciu. Mereka berdua saling berpandangan. Tiada lama kemudian pesanan makanan telah dihidangkan. Nenek itupun mendapat makaiau yang sama dengan makanan yang dipesan Kiam Ciu. Karena pelayan rumah makan itu berpendapat bahwa nenek yang baru masuk itu adalah keluarga Kiam Ciu.

Nenek itu makan dengan lahap dan cepat sekali. Ketika makanan yang berada didepannya telah dlsantap habis maka nenek itu lalu berdiri sambil berbicara kepada Kiam Ciu.

"Teruskanlah kau anak muda makan dan minum. Aku akan segera berlalu karena masih banyak urusan yang harus kuselesaikan !” bisik nenek itu kepada Kiam Ciu dan segera berlalu menunggu dan tanpa memberikan kesempatan kepada Kiam Ciu untuk berbicara lagi.

Kiam Ciu hanya memandangnya dengan mulut melompong kearah punggung nenek itu. Baru ketika pelayan rumah makan itu mendekati. Kiam Ctu dapat berbicara kepada pelayan itu.

"Berapa ?” Kiam Ciu menanyakan harga makanan yang telah dimakannya itu sambil berdiri. "Tujuh , , “ jawab pelayan itu seraya memberesi meja.

"Hah ? Tujuh apa?” tanya Kiam Ciu heran. "Ya tujuh Yen. untuk makan dan minum berdua , , “ jawab pelayan itu dengan hormat dan tersenyum.

"Berdua ? Oh , , “ Kiam Ciu segera menghentikan kata-katanya dan merogoh kantongya mengeluarkan uang tujuh Yen.

Ada-ada saja pengalaman yang telah dialami oleh Tong Kiam Ciu beberapa hari belakangan ini. Semuanya aneh dan lucu. Setelah membayar semua harga makanan itu dan memberikan persen kepada pelayan, maka Kiam Ciu lalu meninggalkan rumah makan itu. Dia bermaksud untuk cepat meninggalkan kota kecil itu dan menuju ke kota Pek-seng.

Tetapi baru beberapa saat dia berjalan, di sebuah tempat yang sepi serta terlindung dia dihadang oleh nenek tadi, Kiam Ciu menahan langkahnya dan memperhatikan nenek itu. "Locianpwee ada urusan apa menahanku ?” tanya Kiam Ciu tenang.

"Aku mendapat laporan bahwa kau menghina muridku ?” nenek itu menyiratkan sinar mata dari kedua matanya yang bersinar tajam kearah Kiam Ciu. Ketika itu Kiam Ciu juga sedang memperhatikan. Matanya tidak tahan menentang mata netek itu, kemudian Kiam Ciu teringat ceritera suhunya bahwa dirimba persilatan ada tokoh tua yang aneh, ialah seorang pendekar wanita yang mempunyai ilmu silat yang sangat llhay sekali. Maka Kiam Ciu lalu meregur dengan hormat "Apakah Locianpwee ini bergelar Shin Kai Lolo ?” tanya Kiam Ciu, "Oh ternyata kau telah mengenal nama gelarku. Nah, sekarang aku harapkan kau suka mengembalikan gambarku !” seru nenek itu sambil mengulurkan tangan kanan kearah Tong Kiam Ciu.

Tong Kiam Ciu teringat kembali dengan peristiwa didalam hutan, ketika seorang anak muda yang berambut awut-awutan menimpuknya dengan kertas bergambar gadis muda, kemudian gambar ituu disimpan baik-baik oleh Kiam Ciu karena dia ingin mengetahui makna gambar yang ditimpukkan kepada dirinya itu. "Oh, jadi anak muda itu adalah murid Locianpwee? Maafkan aku, aku sama sekali tidak bermaksud untuk menghinanya. Aku Tong Kiam Ciu sama sekali tidak bermaksud menghinanya, malah karena jasa-jasanya itu aku dapat berhati-hati dari bencana. Aku sangat berterima kasih kepada murid Locianpwee dan tidak bermaksud untuk menghinanya.” jawab Kiam Ciu dengan hormat dan ramah. "Ya aku tidak butuh keterangan panjang lebar. Sekarang gambar itu kuminta kembali. Karena gambar itu aku yang membuatnya, maka kini serahkanlah kepadaku!” seru nenek itu sambil menyodorkan tangan kanan kearah Kiam Ciu.

Sebenarnya Kiam Ciu memang merasa heran akan sikap nenek itu. Maka tanpa berpikir panjang lagi dia lalu meraba saku jubahnya dan dikeluarkannya lipatan kertas bergambar gadis jelita. Gambar itu lalu diserahkannya kepada Shin Kai Lolo. Nenek aneh itu menerimanya. Kemudian tanpa meninggalkan pesan berlalu. "Hemmu sama anehnya guru dan murid".” gumam Kiam Ciu sambil memperhatikan kepergian nenek itu.

Kemudian Kiam Ciu meneruskan perjalanan. Setelah berjalan sampai beberapa saat, terdengarlah suara derap kaki kuda. Dari arah depan tampak kepulan debu. Dua titik hitam mendekat! Titik itu sejajar seolah-olah mereka berlomba dan kebetulan mempunyai kecepatan yang sama.

Kiam Ciu memandang kearah dua ekor kuda yang bertambah dekat itu, kemudian lebih jelas lagi. Dua ekor kuda putih yang sangat bagus dan pakaian kuda itupun tampak sangat bagus. Diatas punggung kuda itu tampak masingmasing seorang gadis yang berparas jelita dengan kulit kuning dan segar, kuda itu mendekati Kiam Ciu, yang seekor pakaiannya serba perak sedangkan penunggangnya membekal senjata golok di pinggangnya Sedangkan satunya lagi berpakaian serba emas sedangkan yang menungganginya membekal senjata pedang. Semula Kiam Ciu sangat mengagumi kegagahan kuda putih itu, kemudian mengagumi kemulusan dan kejelitaan kedua gadis penunggang kuda itu, bagaikan bidadari-bidadari yang turun dari angkasa dan mengendarai kuda sembrani. Tetapi ketika bertambah dekat ternyata kedua gadis itu dengan sengaja menghadap didepan Kiam Ciu, hingga pemuda itu terpaksa menghindar jangan sampai ditubruk kuda mereka.

"Siocia, . . . maaf, mengapa menghadangku ?” tanya Kiam C;u dengan membongkok hormat. "Adikku ingin mencoba ilmu pedangmu, karena kami melihat kau membawa pedang dipunggungmu!” seru wanita yang bersenjata golok dan gadis itu masih duduk diatas puoggung kudanya.

"Oh, . . maaf siocia, Aku hanyalah seorang pengemhara yang tiada berilmu mana berani melawan bertanding ilmu pedang, Adapun, pedang yang kubawa ini hanya untuk melindungi diri dari binatang buas saja” jawab Kiam Ciu bernada sopan dan menghormat. Namun kedua gadis itu memandang Kiam Ciu dengan mata penuh terpesona, Seolah-olah mereka tidak mendengarkan kata-kata yang terucapkan dari mulut Kiam Ciu. Maka sekali lagi pemuda itu meneruskan kata-katanya sambil menghormat. "Karena itu aku , , ijinkanlah untuk berlalu siocia , , !” seru Kiam Ciu sambil membongkok dan melangkah maju "Tunggu !” seru gadis itu "Bukankah kau ini Tong Kiam Ciu yang telah berhasil menguasai Oey Liong Kiam ? Maka jika kau tidak mau bertanding melawan adikku, jangan kau harapkan kau dapat berlalu dengan mudah !” Kata-kata itu terucapkan dengan tegas tidak hanya bermain-main atau gertakan.

Kiam Ciu tampak terperanjat juga mendengar nada kata-kata yang bersikap menantang itu. Namun dia maklum kini bahwa namanya telah banyak dikenal orang karena gara-gara pedang Oey Liong Kiam pada pertemuan orang-orang gagah pada Bu Lim Tahwee. Namun pedang Oey Liong Kiam telah terlepas dari tangan Kiam Ciu belum ada orang yang tahu. Itu suatu keuntungan besar bagi Kiam Ciu. Menilik cara dandanannya terang bahwa kedua gadis itu adalah dari suku Biauw. Suku Biauw yang dipimpin oleh Kwi Ong atau si Raja Iblis, menurut kabar bahwa Kwi Ong memang sengaja memimpin orang-orangnya untuk mengganas kedaerah lain merembes dan mengacau. Kwi Ong memang sengaja untuk menguasai daerah lain serta menyebar luaskan wilayahnya. Raja Iblis yang berilmu sangat lihay. Namun untuk menghadapi mereka itu bilamana terpaksa Kiam Ciu juga tidak merasa gentar.

"Siocia, aku dan kalian berdua tidak mempunyai tali permusuhan. Urusanku masih banyak maka ijinkanlah aku untuk meneruskan perjalanan dengan damai.”

seru Kiam Ciu. Tetapi saat itu diseberang lain tampak ada seorang yang menerobos semak belukar kemudian sempoyongan jatuh dan bangun lagi menyusuri jalan raya, tetapi orang itu jatuh lagi.

Untuk sesaat kedua gadis yang menghadang Kiam Ciu itu tertegun. Mereka tidak menjawab seruan Kiam Ciu. Tiba-tiba gadis yang lebih muda dan bersenjata pedang berseru: "Cici ayo kita lihat orang itu".

Gadis yang bersenjata golok memandang Kiam Ciu seraya berseru; "kau dapat menunggangi kudaku. Ayo kita lihat orang itu !”

Bersamaan dengan selesainya kata-kata itu maka segeralah gadis itu meloncat turun dari punggung kudanya dan langsung meloncat kebelakang adiknya membonceng. Sedangkan Kiam Ciu telah berada pula dlpunggung kuda milik gadis itu. Ketiga orang itu segera memacu kudanya mendekati orang yang telah tersungkur dipinggir jalan. Mereka masih duduk dipunggung kudanya ketika berada dekat sekali dengan tubuh yang menggeletak dan bermandikan darah serta pakaian terkoyak-koyak itu.

Yang meloncat turun dari punggung kuda, adalah Kiam Ciu. Pemuda itu segera menghampiri dan membalikkan tubuh orang yang menggeletak itu.

Ketika Kiam Ciu menyaksikan wajah orang itu dia betul-betul sangat terperanjat hingga terpekik tertahan memanggil nama orang itu.

"Pit Ki !” Kiam Ciu tertahan.

Namun suara itu cukup terdengar oleh kedua gadis. Merekapun lalu turun dari punggung kuda dan menghampiri Kiam Ciu! Setelah melihat keadaan Pit Ki sejenak, maka gadis itu yang tua berseru kepada Kiam Ciu.

"Ohhh apakah dia ini kawanmu?” tegurnya, tampak wajah gadis itu membayangkan rasa belas kasihan.

Kiam Ciu tidak menjawab. Pemuda itu menatap wajah Pit Ki yang telah pucat.

Sudah terang bahwa laki-laki itu mendapat luka yang berat. Mungkin tidak akan tertolong jiwanya. Dalam keadaan itu tiba-tiba Pit Ki membuka mata. Ketika dia melihat bahwa orang yang berada didekatnya itu ternyata Tong Kiam Ciu. ialah seseorang yang pernah akan dibunuhnya dengan cara keji. Maka dengan penuh penyerahan Pit Ki memejamkan mata kembali. Dia telah pasrah karena tidak dapat berbuat apaapa lagi.

Kiam Ciu memikirkan nasib Pit Ki dan akan menolongnya. Tiba-tiba gadis yang bersenjata golok itu telah menyentuh lengan Kiam Ciu dan menyodorkan sebungkus bubuk dan dua butir pil.

"Ini adalah bubuk Lo-hua-leog isa (bubuk obat dewa) untuk menyembuhkan luka dibagian luar, sedangkan pil ini adalah untuk diminum guna menyembuhkan luka dibagian dalam. Aku yakin dengan obat-obat ini kawanmu akan segera dapat tertolong !”

Kiam Ciu menerima dua jenis obat itu, ialah bungkusan yang berisi bubuk Lo-hoa-leng-tan dan dua butir pil untuk menolong jiwa Pit Ki. Pemuda itu menarik nafas panjang dan merasa sangat bersyukur serta terharu sekali dengan sikap kedua tadi yang disangka sangat sombong itu. Namun kenyataannya gadis itu berjiwa mulia dan mempunyai sifat perikemanusiaan yang dalam juga, karena telah mendapat petunjuk-petunjuk itu tadi Kiam Ciu segera mengobatkannya. Setelah selesai dia segera berdiri dan memberi hormat kepada kedua gadis itu seraya mengucapkan rasa terima kasihnya.

"Aku menghaturkan rasa hormat dan terima kasih atas kebaikan hati siocia.

Untuk selanjutnya perkenankanlah kami berlalu dari tempat ini karena aku akan menyelamatkan jiwa kawanku ini.. .” seru Kiam Ciu sambil menghormat.

"Baiklah, baiklah ! Menurut pendapatku aku akan menunggang kuda berdua dengan adikku, Sedangkan kudaku dapat kau pakai !” seru gadis yang lebih tua seraya siap-siap mendekati kuda adiknya.

"Tet.. tetapi..” seru Kiam Ciu gugup.

"Tetapi apa lagi ?” seru gadis itu berpaling kearah Kiam Ciu.

"Tetapi dengan cara bagaimana aku mengembalikan kudamu. Atau kemana kita dapat mengembalikan kudamu nanti?” seru Kiam Ciu.

"Oh.. itu? Kau dapat mengembalikan kudaku ke desa Sing-kiauw-cong kirakra sepuluh lie jauhnya dari sini!” jawab gadis itu.

"Baiklah.” jawab Kiam Ciu.

Kedua sadis itu telah berada dipunggung kuda. Baru saja tali kekang di tangan kanan ditarik hingga kepala kuda putih itu terangkat ke kanan. Namun belum lagi kaki kuda itu melangkah maju, tiba-tiba Kiam Ciu berseru lantang tetapi penuh sopan dan hormat, "Socia! Malam ini juga aku akan mengembalikan kuda. Tetapi siapakah nama Siocia berdua?” Kiam Ciu berseru sambil menghormat.

"Aku ternama Gin Ciu dan adikku ini bernama Kim Ciu. Kalau kau telah sampai di desa Sing-kiauw-cong maka kau akan mudah mencari namaku. Karena semua orang telah mengenal namaku dan nama adikku", seru gadis yang tua dan ternyata bernama Gin Ciu itu.

Rupa-rupanya memang sudah suratan takdir bahwa umur Pit Ki tidak panjang hanya pendek. Dalam perjalanan untuk mencari tempat penginapan, Pit Ki telah menghembuskan nafas penghabisan. Tong Kiam Ciu kecewa.

Sebenarnya dia ingin menolong orarg itu dengan sepenuh hati. Tetapi kehendak Thian tidak dapat dibantah lagi Setelah mengetahui bahwa Pik Ki tidak dapat ditolong lagi, maka segeralah Tong Kiam Ctu menyempurnakan mayat orang itu, dikubir secara sederhana.

Beberapa saat kemudian Tong Kiam Ciu telah terdiri sambil memandang kemakam Pit Ki yang d.beri tanda sebuah batu. Maksud Kiam Ciu segera meninggakan tempat itu menuju ke kota Pek-seng.

Beberapa langkah kemudian terdengar ringkikkan kuda. Kiam Ciu yang pikirannya sedang kalut itu terhenti!. Dipandanginya kuda itu dan dia teringat kembali dengan janjinya kepada Gin Ciu.. Malam ini dia harus mengembalikan kuda itu ke desa Sing-kiauw-cong.

Tanpa menunda waktu lagi Kiam Ciu lalu menghampiri kuda putih itu, kemudian meloncat ke punggung kuda dan dikepraknya, kemudian tampaklah kuda itu lari dengan laju menerobos hutan lebat itu.

Samar-samar tampak gerbang desa Sing-kiauw-cong. Maka lari kudanya bertambah kencang seolah Kiam Ciu sedang terburu-buru. Karena pemuda ini ingin lekas sampai didesa itu mengembalikan kuda dan meneruskan perjalanannya. Ketika sampai didepan gerbang yang pengkuh itu dia berhenti. Diketukketuknya pintu gerbang berkayu tebal itu namun dari dalam tiada jawaban.

Diperiksanya benteng yang melindungi desa itu ternyata sangat tinggi dan kuat.

Hati Tong Kiam Ciu jadi gelisah dan didorong oleh emosi pula maka gelisahlah pemuda itu. Dicobanya sekali lagi untuk mengetuk gerbang itu. Namun hasilnya sama saja. Tiada jawaban dari dalam.

Ketika Kiam Ciu berpikir bahwa waktunya akan habis hanya untuk menunggu terbukanya pintu gerbang itu, maka dia lalu mengambil keputusan untuk merobohkan pintu gerbang itu saja dan menerobos masuk.

Dengan mengerahkan ilmu Bo-kit-sin-kong, Tong Kiam Ciu menebak kedepan kearah pintu gerbang itu. Terdengar derakkan hebat dan pintu yang terbuat dari papan tebal itu pecah dan roboh. Maka Kiam Ciu menghentakkan kaki kudanya.

Kuda putih itu meloncat kedepan dan menerobos pintu gerbang yang telah rusak itu. Tetapi baru beberapa langkah terlihat sebuah kelebatan bayangan dan tampak seseorang berdiri ditengah jalan menahannya.

"Tunggu dulu! Aku bernama Lee Cun, saudara seperguruan dengan Gin Ciu dan Kim Ciu. Aku dlperintahkan oleh suhu untuk menerima kedatanganmu..!” seru orang itu dengan hormat dan tersenyum.

Kiam Ciu memandang orang yang berdiri di depannya dan memegang tali kekang kudanya itu. Diamati dari rambut sampai ke kaki. Barulah Kiam Ciu menyahutnya dengan sopan pula.

"Aku merasa menyesal babwa aku harus merobohkan pintu gerbang itu! Aku ielab lama menunggu dan mengetuk pintu serta memanggil-manggil tetapi dari dalam tiada jawaban! Kedatanganku kemari hanya untuk mengembalikan kuda ini yaog kupinjam dari Gin Ciu Siocia. Lalu urusan tidak ada. Maka setelah kuda ini kuserahkan kepadamu, aku untuk berlalu!” seru Kiam Ciu sambil meloncat berdiri ditanah dan akan meninggalkan tempat itu! "Tunggu dulu ! Suhu Kwi Ong sedang menantikan kedatanganmu di ruang tengah!” seru Lee Cun sambiI meloncat berdiri didepan Kiam Ciu.

"Aku tidak ada urusan dengan suhumu. Maka aku tidak akan menemuinya !”

seru Kiam Ciu akan melangkah.

Tetapi Lee Cun menaban dan meneruskan kata-katanya.

"Tetapi ini adalah peraturan kita, barang siapa yang telah memasuki tempat ini harus menghadap dulu kepada suhu !” seru Lee Cun.

"Jika aku tidak sudi menghadap suhumu, kau dapat berbuat apa ?” seru Tong Kiam Ciu dengan suara seenaknya dan merendahkan Lee Cun.

Mendengar jawaban Kiam Ciu yang bernada menantang itu, maka Lee Cun kini merubah sikapnya menjadi ramah dan lunak sekali.

"Begini, aku tidak bermaksud berkelahi melawan kau. Tetapi, ada seseorang yang kecewa jika kau tidak mau masuk dulu, Gin Ciu telah meminjamkan kudanya kepadamu, jika hanya untuk menemui saja kau tidak sudi apakah itu tidak akan mengecewakannya ?” seru Lee Cun dengan berhati-hati sekali dan mengarah-arah kelemahan hati pemuda itu.

Ketika ternyata Kiam Ciu tampak agak jinak pula tetapi tiada jawaban dari pemuda itu maka Lee Cun meneruskan kata-katanya.

"Jika kau tidak akan membuat persoalan ini menjadi ruwet dan membuat suatu yang tidak menyenangkan dikemudian bari. Ialah kau tidak ingin membuat tali permusuhan antara kau dan suhuku, maka sebaiknyalah kau masuk dan menemui guruku. Baru kemudian menemui Gin Ciu yang juga menunggumu..”

sambung Lee Cun dengan penuh harapan semoga bujukannya itu dapat mengena. Benar juga Tong Kiam Ciu termakan dengan kata-kata Lee Cun itu.

Tampaklah kini Tong Kiam Ciu tersenyum dan memandang kearah Lee Cun sambil mengangkat bahunya dan tersenyum.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar