Warisan Jenderal Gak Hui Jilid 2

Jilid ke 2 

BEGITU berbareng pula munculnya seorang laki-laki bertubuh tegap dan berkumis tebal. Kiam Ciu begitu melihat kehadiran laki-laki itu segera menarik kembali serangannya yang telah disalurkannya sepertiga, namun tak urung dia terbanting. Pek-hi-siu-si waspada, dengan tangkas menyambar tubuh Kiam Ciu yang telah limbung dan terhantam oleh kekuatannya sendiri yang tadi telah dipersiapkan untuk menyerang kakek itu.

"Ha.. ha.. .ha.. . anak bagus” seru Pek-hi-siu-si dengan meletakkan kembali tubuh anak itu diatas tanah dan sekilas dipandanginya anak itu sambil tersenyum dan mata bersinar-sinar.

Sedangkan Kiam Ciu menunduk dengan wajah bersemu merah. Kemudian menghormat orang yang menegurnya yang tiada lain adalah ayahnya ialah Ji Han Su pemimpin ketiga Sin-ciu-sam-kiat ialah sitangan baja.

Ketika Ji Han Su berada didekat Pek-hi-siu-si segara membongkok memberi hormat. Yang juga disambut oleh kakek berjubah putih dan berjanggut panjang seraya tersenyum. "Tayhiap mohon dimaaf atas kelancangan bocah ini. Rupa-rupanya waktu berlalu sangat pesat sekali. Hingga tak terasa sepuluh tahun telah berlalu. Kedua bocah ini adalak Kiam Ciu dan yang perempuan ini adatah Tong Bwee kini mereka telah meningkat menjadi besar dan bertambah nakal, hingga dengan orang tua berani kurang ajar! sekali lagi aku Han Su mohon pada Tayhiap sudilah untuk memaafkan atas kekurang ajaran Kiam Ciu !” seru Han Su sambil menghormat. "Ha.. . .ha.. . .ha! Memang waktu berlalu sangat cepatnya dan ternyata orang she Ji masih tidak mengubah adatnya yang suka menghormat dan merendah hati.

Bertambah tua bertambah ganteng pula dan kini karena kumismu itu tampak lebih seram dan lebih jantan ha.. .ha.. .ha!” seru Pek-hi-siu-si.

"Ah Tayhiap berolok-olok!” seru Ji Han Su tampak menutup kumisnya.

"Janganlah kau berkata yang bukan-bukan, aku sengaja datang kemari untuk memenuhi janjiku.. bocah itu tidak bersalah, akulah yang bersa)ah karena aku telah menggodanya sehingga terjadi pertarungan yang hebat tadi. Haa.. haa.. ha”

seru Pek-hi-siu-si sambil memperhatikan Kiam Ciu. Kiam Ciu menundukkan kepala dan wajahnya bersemu merah karena merasa malu. Kakek itu melangkah menghampiri Kiam Ciu dan memegang bahu anak itu kemudian menepuknya.

Tampaklah Pek-hi-siu-si tersenyum pula dan matanya yang bening itu tampak bersinar bergairah. Sekilas Ji Han Su dapat menyaksikan keadaan itu.

Walaupun bagaimana dada si Tangan Baja bergetar juga.

"Tayhiap aku yang bodoh mohon maaf dan petunjuk !” serunya sambil menghormat. "Memang waktu sepuluh tahun telah berlalu sangat pesat, Namun aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri aku puas sekali bahwa hasil yang dicapainya oleh kedua bocah itu sangat bagus” seru kakek aneh berjubah putih Pek-hi-siu-si dan selanjutnya sambil tersenyum meneruskan kata-katanya, "aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua suami isteri yang telah dikaruniai seorang anak yang jelita ini !".

Sehabis berkata begitu Pek-hi-siu-si memandang kearah Kiam Ciu dan tersenyum. Seolah-olah kakek itu telah melihat kembali gambaran sepuluh tahun yang lalu di dasar jurang Liong-houw-ya dimana pada masa itu seorang bayi mungil berumur sebulan telah menggelepar-gelepar menangis, sedang ayahnya telah binasa dengan sangat mengerikan.

Kini dihadapannya telah berdiri seorang bocah, calon pendekar yang luar biasa hebatnya, seorang bocah yang sangai berbakat dan budinya sangat menarik. Rupa-rupanya Pek Giok Bwee telah mendidik bocah itu dengan baik.

Lalu dengan tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang kakek itu berseru. "Memang tangan wanita lembut dan dingin makhluk yang halus dan penuh dengan curahan kasih sayang, Jika sepuluh tahun yang lalu aku tidak menemukan kalian, hemmm . . . aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat saat itu dan apa akan jadinya. Sekarang kenyataannya aku telah merasa puas dan bergembira sekali menyaksikan kehebatan bocah itu.. . “ seru Pek-hi-siu-si sambil melirik kearah Kiam Ciu dengan senyuman yang lucu lekali.

Tampaklah kedua bocah itu tertawa senang juga dan mereka memandang kearah kedua orang tua dan pamannya yang juga tersenyum-senyum gembira dalam pertemuan itu. Maka tahulah kedua bocah itu kini bahwa kakek itu adalah Pek-hi-siu-si yang selalu diceriterakan ayahnya maupun ibunya dan juga oleh pamannya. "Ayo kalian berdua menghaturkan hormat kepada Twa-supee (paman guru yang tertua) !” seru Ji Han Su memerintahkan kedua anaknya dengan suara penub kasih sayang dan memegang bahu kedua anaknya itu.

Kiam Ciu merasa heran menyaksikan ayahnya begiiu sangat megghormati kakek aneh itu. Maka kedua anak itupun tersipu sedangkan, Kiam Ciu yang lebih tua telah berlutut dihadapan Pek-hi-siu-si serta menjura.

"Aku Ji Kiam Ciu yang bodoh, memberikan hormat dihadapan Twa-supee.

Aku mohon diampuni karena telah berani kurang ajar", seru Kiam Ciu dengan suara penuh hormat kepada Pek-hi-siu-si.

Ji Tong Bwee juga berlutut disisi Kiam Ciu, tetapi gadis cilik ini tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun.

"Baik-baik, kau baik sekali . . . Hemmmm . . bangkitlah!” seru Pek-hi-siu-si sambil mengusap kepala Kiam Ciu dan Tong Bwee bergantian. Dada kakek itu tergoncang juga menahan keharuan itu tetapi dia adalah tokoh sakti yang sudah mumpuni, maka dengan segera kakek itu dapat mengusir kegetiran dan keterharuan yang saling menggempur dadanya itu.

Walaupun kedua bocah itu telah mendengar perintah Pek-hi-siu-si yang terucapkan tegas dan datar itu, namun kedua bocah itu tidak berani bangkit berdiri dan beranjak dari tempat itu. Mereka tetap masih berlutut dihadapan Pek-hi-siu-si dan kepala mereka masih tertunduk.

Menyaksikan hal itu yang hadir ditempat itu tersenyum, mereka tersenyum dalam angan pikiran masing-masing.

"Sudahlah kalian sudah disuruh bangkit berdiri !” seru Ji Han Su.

Kedua bocah itu telah berdiri dan mereka diajak oleh Siauw Liang dan Pek Giok Bwee mendahului pulang, sedangkan Ji Han Su dan Pek-hi-siu-si masih bercakap-cakap di tepi telaga yang berhawa segar itu.

"Kau telah berhasil memelihara dan mendidik anak itu dengan baik sekali.

Aku merasa sangat puas sekali.. . uh.. . uh.. . .” belum lagi kata-kata kakek itu selesai terucapkan tiba-tiba terbatuk sambil mengerutkan keningnya.

"Twako.. . kita jarang bertemu, tetapi kini aku mengharapkan sudilah tetap tinggal bersama kami. Sehingga kami dapat rmemelihara kesehatanmu karena setelah kudengar Twako tadi terbatuk-batuk itu yakin bahwa twako menderita luka dalam yang mengendap” seru Ji Han Su dengan sangat berhati-hati penuh harapan. Saat itu Pek-hi-siu-si mmandaag Ji Han Su sambii tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. "Penglihatanmu memang tajam sekali dan kau menduga dengan tepat. Aku memang menderita luka dalam, mujur sekali bahwa aku telah menguasai ilmu Bo-kit-sin-kong sehingga dapat kuatasi pergolakan didalam tubuhku karena pukulan tenaga dalam yang saling membentur. Jika engkau hanya mengandalkan obat-obatan saja mungkin aku telah binasa karena luka dalam ini! Aku masih bersyukur dengan demikian masih dapat menepati janjiku untuk datang ketempat ini.. .!” seru Pek-hi-siu-si dengan suara mendatar dan bibirnya tetap tersenyum, tiada terlupalan pula mengelus-elus janggutya yang panjang itu. "Apakah luka dalam tubuh twako itu sudah sembuh seluruhnya?” seru Ji Han Su sambil mengajak kakek itu untuk berjalan menuju kepondoknya seraya berpaling kepada kakek yang berjalan perlahan-lahan.

"Sibetulnya luka ini hebat sekali” sahut Pek-hi-siu-si sambil berjalan dan tangan kanannya memegang dada sesaat, "Tetapi janganlah kau beritahukan hal ini kepada istrimu ataupun Siauw Liong! Aku tidak mau mereka berdua menjadi gelisah, aku sudah tua.. . . Tetapi aku yakin bahwa aku tidak mudah lekas-lekas mati.. . .” sambung kakek aneh itu selanjutnya dan sesaat kemudian kakek aneh itu memandang keatas telaga yang indah dengan berkilau-kilauan pantulan sinar matahari diatas air telaga.

Seielah kedua orang itu melewati hutan pohon bambu, mereka tiba di sebuah lembah membentang. Pemandangan disekitar lembah itu sangat indah sekali, terdengar burung-burung beraneka macam tengah berkicau. Didepan mereka tampak sebuah bangunan rumah yang besar. Rumah kayu itu tampak sangat megah dan pengkuh sekali.

Pek Giok Bwee, Siauw Liong dan kedua bocah yang telah mendahului mereka tadi kini telah berdiri didepan pintu Seolah-olah mereka sedang menunggununggu kedatangan tamunya ini. Dengan wajah berseri-seri mereka menyambut kedatangan mereka itu. "Selamat datang dipondok kami twako” seru Pek Giok Bwee dengan hormat dan terlihat pula sederetan giginya yang putih kecil-kecil bagaikan mutiara dan sejuk dipandang mata. Pek-hi-siu-si tersenyum, sekilas matanya menyapu pandang kearah kedua bocah yaag terseyum pula. Bahagialah kakek itu bertemu dengan keluarga bahagia itu. Selama hidupnya hingga menjadi kakek-kakek baru kali itulah merasakan kebahagiaan yang luar biasa.

"Hemmmm . . terimakasih . . terimakasih. . . . “ seru Pek-hi-siu-si sambil manggut-manggut dan menghentikan langkahnya didepan pintu.

"Mari Twako !” seru Ji Han Su sammbil memberikan isyarat kepada kakek itu dengan tangan kanan untuk memberikan jalan masuk kedalam pondok besar kebanggaan keluarga Sin-ciu-sam-kiat.

Bangunan rumah itu dilihat dari luar memang tidak begitu menarik.

Tampiknya hanya mengutamakan kekuatan saja. tetapi setelah orang masuk kedalamnya, barulah tahu babwa dalam rumah itu diatur sangat rapi dan semarak sekali. Ternyata Pek Giok Bwee kecuali seorang wanita pendekar tetapi juga pandai membina dan memajang rumahnya sedemikian rupa. Hingga siapapun betah tetap tinggal didalam rumah itu.

Setelah Pek-hi-siu-si berada didalam ruang tamu sedangkan mereka semua telah mengambil tempat duduk masing-masing. Kakek itu memandang kedua bocah itu sambil tersenyum puas dan berkata kepada Pek Giok Bwee.

"Apakah kau mengetahui.. . kedua anak itu tadi sedang bermaln-main apa.. . ?”

seru kakek itu dengan senyum lebar.

"Blasanya mereka bermain kejar-kejaran diatas daun Teratal” jawab Pek Giok Bwee dengan senyum yang manis sekali.

"Semula mereka bermain-main kejar-kejaran di atas daun teratai diatas telaga kemudian mereka bertengkar . . ha ha hah.. “ seru Pek-hi-siu-si dengan tertawa dan mengelus-elus janggutnya yang putih Mendengar kata-kata kakek itu Ji Tong Bwee terperanjat, wajahnya bersemu merah sampai ke telinga, kemudian menyahut dan mengadu kepada ibunya sambil cemberut. "Ibu, Twa-supee jail sekali. Kita hanya bertengkar tetapi tidak sampai berkelahi . .” seru gadis cilik yang manis dan ayu itu sambiI cemberut kearah Pek-hi-siu-si dan mengerling kearah Kiam Ciu.

Ji Kiam Ciu hanya menundukkan kepala memandang ke lantai dan mempermainkan kakinya, sikap bocah itu membuat semua yang berada di tempat itu jadi tertawa gembira.

"Twa-supee hanya menggoda kalian.. .” seru Pek Giok Bwee sambil mengusap rambut Tong Bwee, nah . . . sekarang kalian berdua boleh bermain-main lagi diluar dan awas.. . .! jangan kalian bertengkar!” seru Pek Giok Bwee sambil menudingkan telunjuknya seolah-olah mengancam kedua bocah yang lucu-lucu itu sambil tersenyum. Semua yang hadir dalam ruang tamu itu tersenyum pula. Tetapi kedua bocah itu tertunduk malu. Mereka berdua sebenarnya lebih senang meniggalkan ruang tanu dan menjauhkan diri dari orang-orang tua dan lebih-lebih Twa-supeenya yang selalu menggodanya itu.

"Koko.. . . kemana kita akan bermain-main?” tanya Ji Tong Bwee setelah sampai diluar dan berdiri dibawah pohon yang rindang dihalaman rumah.

Dengan pernyataan itu, Ji Kiam Ciu hanya berpaling mrmndang adiknya dan tersenyum. Tetapi tidak memberikan jawaban. Ketika itu dengan tiba-tiba Ji Kiam Ciu telah meloncat dan lari meninggalkan adiknya seorang diri. Walaupun adiknya menjerit memanggil-manggil namun Kiam Ciu terus lari dengan kencangnya hingga adiknya menjadi kecewa dan sangat gusar sekali hatinya.

"Hemmmmmn, koko sangat berlagak. Baiklah ! jika demikian akupun tidak sudi menyusulnya.. .” gumam Ji Tong Bwee dengan cemberut dan tidak mau lagi melihat kearah mana Ji Kiam Ciu tadi berlalu.

Sesaat kemudian Ji Tong Bwee memutar tubuh dan bergerak menuju kerumah dan memutuskan untuk tidak akan mengikuti kakaknya yang angkuh itu menurut perasaan gadis cilik yang perasa itu. Tetapi ketika sampai dekat jendela ruang tamu, tiba-tiba telinganya mendengar sesuaiu pembicaraan yang sangat mengejutkan dan gadis cilik itu jadi sangat tertarik untuk menguping pembicaraan didalam. "Sebenarnya mereka berdua merupakan satu pasangan yang tepat sekali.. “

Tong Bwee dapat menduga bahwa kata-kata itu terucapkan oleb Pek-hi-siu-si.

Hati gadis itu bergetar, walaupun dia masih sangat bocah tetapi kecerdasan otaknya dan perasaannya yang menyebabkan bocah itu tahu maksud kata-kata Pek-hi-siu-si tadi. Memang sering sekali bocah cilik yang jelita itu merasakan bahwa kakaknya sangat sayang pada dirinya. Hanya sayang itu memang kadang-kadang disertai dengan sikap yang sangat ganjil. Sedangkan dia sendiri juga merasa sangat senang dengan sikap yang sangat ganjil itu.

Ucapan Pek-hi-siu-si yang dapat didengarnya itu menimbulkan hasratnya unuk mendengarkan lebih lanjut. Maka gadis cilik itu membatalkan niatnya untuk masuk kedalam rumah. Saat itu dia dengan berjingkat dan berusaha untuk berhat-hati dan jangan sampai terdengar oleh orang-orang yang berada didalam. Ji Tong Bwee menyelinap kebawah jendela dan menguping percakapan Pek-hi-siu-si yang berada di ruang tamu dengan tanpa curiga apa-apa.

"Bagus . . bagus sekali, kalian tclah berhasil memelihara bocah itu dengan sempurna. juga kalian telah merahasiakan asal-usul bocah itu hingga sekarang.. .”

terdengar tegas suara Pek-hi-siu-si.

Ji Tong Bwee berdegup jantungnya mendengar kata-kata itu. Berdebar hebat mendengar kata-kata Pek-hi-siu-si yang lembut dan bcrdesah dari dalam ruang tamu. Dia lebih mendekat lagi dibawah jendela untuk mendengarkan lebih jelas.

"Apa yang kalian lakukan itu adalah baik sekali. Tetapi kita tidak akan mungkin menyembunyikan rahasia itu terus menerus. Pada suatu hari kita harus memberitahukan juga . .” sambung kakek itu dengan suara yang bercampur dengan desahan perasaan tertahan.

Mendengar kata-kata kakek itu, hati Ji Tong Bwee jadi sangat gelisah dan jantungya berdegup sangat kencang.

"Dia bukan saudara kandungku ?” pikir Ji Tong Bwee dengan perasaan tegang dan dengan berhati-hati sekali dia meninggalkan tempat itu menuju kejalan dimana tadi Kiam Ciu berlari-lari meninggalkan dirinya.

Saat Tong Bwee berlari-lari mencari kakaknya itu, bocah cerdik dan penberani Kiam Ciu tengah duduk diatas sebuah batu dibawah sebatang pohon yang rindang di tepi telaga. Bocah itu mencoret-coretkan ujung ranting kering diatas tanah basah, coret-coret iiu membentuk gambar seekor naga. Saat itu Ji Kiam Ciu merasa menyesal akan perbuataanya yang baru saja. Perbuatan yaog mungkin menimbulkan rasa jengkel kepada adiknya, karena dia dengan serta merta telah meninggalkan adiknya berlari dan berlari kencang sekali. Dia merasa heran mengapa dia dapat berlaku masa bodoh kepada adiknya.

Dalam keadaan Ji Kiam Ciu sedang melamn dan berangan-angan itu, telinganya telah mendengarkan derap langkah orang yaag bertambah dekat.

Langkah kaki itu disertai seribitan angin dan perasaan bocah itu yang telah terlatih ditempat tenang dan sepi sangat pekat sekali.

Maka tahulah Ji Kiam Ciu bahwa dirinya telah dihampiri seseorang. Maka dengan cepat dia telah berpaling dan ketika itu Tong Bwee telah berada disisinya samtll tersenyum memandang kearah Ji Kiam Ciu.

"Koko . . “ seru gadis cilik yang manis senyumannya itu kepada Ji Kiam Ciu, “

aku telah mendengar suatu rahasia besar.. . ?”

Saat itu Ji Kiam Ciu pura-pura tidak mendengar dan masih menggores-gores tanah dengan ranting kering. Perbuatan itu memang yang selalu diperbuat oleh Ji Kiaci Ciu untuk mcnggoda adiknya. Tiap saat memang mereka selalu bertengkar, kemudian tertawa bersama dan bertengkar.

"Koko , , , kau sebenarnya bukan saudara kandungku , , !” seru gaJis cilik itu dengan suara lantang dan nafas terengah menaban gejolak hati.

Ketika Ji Kiam Ciu mendengar kata-kata itu, barulah dia menjadi sangat terperanjat, Maka terlonjaklah pemuda itu, dia meloncat berdiri menghampiri Tong Bwee sambil memegang kedua bahu gadis cilik itu dan mata Ji Kiam Ciu mendelik, menggoyang-goyangkan bahu adiknya.

"Tong Bwee.. . . apa katamu ?” seru Ji Kiam Ciu dengan mata melotot, Tetapi gadis ilu tidak berani menentang mata kakaknya. Maka dengan wajah tertunduk gadis cilik itu menjawab. "Aku bukan adik kandungmu, kau tidak dilahirkan oleh ibuku.. .”

Ji Kiam Ciu mendengar kata-kata itu jadi terperanjat dan gugup sekali.

Digoncangkannya bahu Tong Bwee dan dipandanginya g.adis cilik itu dengan penuh keheranan. "Katakanlah adikku, katakanlah apa yang kau katakan tadi?” seru Ji Kiam Ciu dengan apa yang baru saja didengarnya tadi.

"Kau bukan saudara kandungku!” seru Ji Tong Bwee mengulaogi kata-katanya sekali lagi. tetapi kali ini dia berani menatap wajah dan sorot mata Ji Kiam Ciu.

"baru saja aku mendengar Twa-supee bercakap-cakap dengan ayah di ruang tamu". Ketika mendapat penjelasan itu. sesaat kemudian keadaan menjidi sepi dan hanya terdengar desahan napas kedua bocah itu. Ji Kiam Ciu melepasksn bahu adiknya dan memutar tubuh meninggaJkan tempat itu.

Dengan tidak mempedulikan Ji Tong Bwee yang melongo ditepi telaga dan ditinggalkan lari dengan kencang sekali menuju kepondo. Bocah itu dengan sangat tergesa-gesa telah menerobos masuk kedalam pondok dan langsung menuju ke ruang tamu. Hal itu membuat orang-orang yang berada didalam ruang itu jadi terperanjat.

"Kiam Ciu, mengapa kau . . . ?” tanya Ji Han Su dengan sangat heran melibat tingkah laku Ji Kiam Ciu yang sangat mengejutkan.

Sesaat Ji Kiam Ciu memandang kepada ayahnya, kemudian kepada ibunya dan kepada pamannya. Dengan pandangan mata yang sangat aneh, kemudian dengan suara bergetar bocah itu berseru dengan hormat. "Ayah, adik bilang aku bukan kakak kandungnya. Apakah betul ?".

Sesaat menjadi sepi, hanya terdengar nafas mereka yang berada diruangan tamu itu saja terdengar. Kemudian angin sejuk semilir menyelinap berhembus kedalam ruang tamu. Pek-hi-siu-si melirik kearah ketiga bersaudara Sin-ciusam-kiat. Mereka saling berpandangan dan tak menentu.

"Kiam Ciu.. . . sebetulnya pagi-pagi aku akan menceritakan hal itu padarnu.. .”

teiapi sebenarnya berat hatiku untuk menceritakan. Apa yang dikatakan adikmu adalah benar, kau memang bukan anak kandung kami. . . kau memang tidak dilahirkan oleh ibumu. Tetapi kau adalah anak angkat kami yang semenjak berumur sebulan telah kami ambil sebagai anak kandung kami sendiri... . . Kau sebenarnya bukanlah kelahiran dalam keluarga she Ji, tetapi kau adalah she.. . .”

seru Ji Han Su dengan suara tersekat dala.m tenggorokannya dan terputus sejenak. Ji Kiam Ciu tidak menunggu iebih lanjut kata-kata dari Ji Han Su. Hati pemuda itu merasa terguncang hebat dan sedih sekali. Dengan serta merta dia lari keluar tanpa memperhatikan kehadiran Pek-hi-siu-si ditempat itu. Kemudian setelah sampai diluar, segeralah dia lari terus meninggalkan halaman pondok itu masuk kedalam hutan yang telah menghijau.

Kiam Ciu lari dan berlari terus memasuki hutan yang masih lebat. Hingga dia tiada merasa telah seberapa jauh dia berlari meninggalkan pondok ayah angkatnya. Pokoknya dia tidak mau tahu dan ingin lari dari kenyataan. Hingga kini, akhirnya kaki kanan bocah itu tersandung akar pohon yang melintang ditanah dan pemuda kecil itu jatuh bergulung ditanah berumput tebal.

Dibiarkannya dirinya menggeletak ditanah dan sebagian tububnya tertimpa cahaya matahari yang telah menyengat sambil memejamkan matanya dia melepaskan lelah dan pikirannya menerawang memikirkan peristiwa yang baru saja berlalu. Hatinya tergoncang ketika mendengar bahwa ayah dan ibu yang selama ini dianggap orangtuanya itu ternyata bukan orang tua kandung.

Teringat pula kepada paman Siauw Liang yang telah banyak mengajarkan ilmu silat padanya dan akhirnya dia teringat kepada Ji Tong Bwee yang sangat dicintai itu , , , semuanya membuat jantungnya berdebar hebat dan pikirannya jadi sangat kacau. Tlba-tiba dalam keadaan itu, Kiam Ciu sangat terkejut karena seekor kelinci hitam telah menerjang kakinya. Meskipun terkejut, teiapi dia sempat menangkap tubuh kelinci itu dengan tangau kanannya. Saat itu dia menyaksikan bahwa kaki kiri belakang binatang itu tampak berdarah yang telah mengential. Ketika diamatinya ternyata tampak sebatang jarum masih menancap pada luka itu.

"Ohhh . . . kasihan , , , kelinci yang manis, tenanglah aku akan menolongmu mcncabut jarum keparat ini dari lukamu . , , “ seru Kiam Ciu dengan penuh kasih sayang. Hati bocah itu memang welas asih dan belum pernah dia membunuh binatang karena dia merasa kasihan kepada segala macam makhluk. Penuh rasa kasih dan mudah terharu.

Sesaat kemudian dirobeknya pinggir bajunya setelah jarum yarg menancap dikaki be!akang kelinci itu tercabut, lalu dibalutnya. Kelinci itupun dengan tenang tidak meronta dalam cekalan Kiam Ciu.

Yang sangat mengherankan ternyata ketika kelinci itu diletakkan ditanah, binatarg yang manis itu tidak mau lari. Malah tampak dari mulut binatang itu mengeluarkan sebuah benda merah. Benda itu ternyata sebuah buah yang berbau harum sekali. "Hey kelinci, apakah kau ingin memberikan buah ini padaku ?” seru Kiam Ciu sambil memungut buah berwarna merah itu dan menunjukkannya kepada binatang yang jinak dan lucu itu.

"Hemm apakah kau ingin aku makan buah ini.. ?” gumam bocah itu sambil mencium buah yang berwarna merah dan harum sekali baunya.

Keiika itu Kiam Ciu sangat berhasrat untuk mengulum buah merah ditangannya. K.etika hampir saja buah itu masuk ke mulutnya, terdengarlah sebuah bentakan yang sangat mengejutkan.

"Jaugan kau makan, tahanl” bentak suara lantang dan mengejutkan.

Sejenak kemudian tampaklah sebuah kelebatan melayang didepannya beberapa langkah. Ternyata orang itu adalah seorang kakek kira-kira berumur tujuh puluh tahun telah berdiri dengan tegap dihadapan Kiam Ciu. Wajah kakek itu berwarna kuning dan seram dan sepasang matanya bersinar abu-abu.

"Ayo berikan buah itu padaku ! Lekas.. . “ bentak seram laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya kearah Kiam Ciu. Kiam Ciu sangat terkejut dan merasa berdiri bulu kuduknya mendengarkan suara kakek yang keras besar dan melengking tinggi. Kiam Ciu hanya melolong saja menyaksikan gerak gerik kakek itu. Diamatinya dari kepala hingga kaki kakek itu. Tampak kakek itu bergerak maju dengan kakinya yang timpang, "Hay bocah bandel. apakah kau tidak mendengar permintaanku, atau memang kau tuli dan pegal? “ seru kakek itu dengan suara lebih seram sedangkan wajahnya memperlihatkan gambaran bahwa kakek itu sangat kejam.

Sorot mata yang abu-abu itu seolah-olah pusaran maut.

"Hayo berikan lekas buah merah ditanganmu itu, atau kubinasakan dirimu yang bandel?” bentak kakek itu dengan sejangkah maju lagi serta mengulurkan tangan kanan untuk meraih genggaman Kiam Ciu.

Menyaksikan sikap dan suara kakek yang seram itu, lama-lama Kiam Ciu merasa ngeri dan takut sekali. Namun demikian bocah iiu belum juga mau menyerahkan buah merah yang berbau harum itu kepada orang yang bertambah dekat di depannya itu. Tahu-tahu kakek seram itu telah meloncat dan menerkam dada Kiam Ciu dengan sekali loncatan. Diangkatnya tubuh bocah itu ditatapnya, dengan sorot tajam. Namun Kiam Ciu masih tidak perduli dan buah merah itu tetap digenggaranya erat-erat.

Ketika itu Kiam Ciu telah meronta, tahu-tahu tubuhnya telah merosot jatuh ketanah. Entah dibantingkan, atau karena gerakan bocah itu. Ketika kakek seram itu menyadari bahwa bocah itu mempunyai keistimewaan gerakkan maka sekali lagi diterkamnya. Namun dengan sigap pula Kiam Ciu meloncat dengan jurus Pek Ciok tiauw ki atau Burung gereja terbang diudara yang telah dapat diyakini dengan baik dari Pek Giok Bwee. Namun ternyata gerakan tangan menyambar orang tua itu begitu cepat dan luar biasa hingga terpaksa terjambret juga ujung baju bocah itu dan robek.

Menyaksikan gerakan hebat dan dahsyat itu maka Kiam Ciu teringat kembali atas cerita-cerita ibunya Pek Giok Bwee. Ji Han Su maupun pamannya Siauw Liang, orang yang mempunyai gerak dan kepandaian itu ialah berjuluk Kun-si Mo-kun atau si Iblis jahat yang mengacau dunia.

Pada dua tahun terakhir ini, Kiam Ciu telah sering mendapat ceritera tentang Kun-si Mo-kun ini yang telah banyak merajalela dan berbuat keji dan terkutuk di kalangan Kang-ouw selama berpuluh-puluh tahun lamanya.

Tiba-tiba pada sekira empat puluh tahun yang silam orang berhati keji dan ganas itu telah menghilang dari kalangan Kang-ouw. Lenyapnya Kun-si Mo-kun dari kalangan Kang-ouw itu membuat keadaan menjadi tenang, tetapi bersamaan dengan itu pula dikalangan Bu-lim telah kehilangan seorang tokoh silat yang perkasa dan ilmunya sangat sempurna tetapi berjiwa arif dan bikjaksana. Lenyaplah kedua tokoh itu bagaikan ditelan bumi dan tiada seorangpun tahu kemana mereka pergi.

Kiam Ciu telah diberi gambaran jelas tentang ciri-ciri Kun-si Mo-kun, iblis berwajah seram dengan sepasang mata berwarna abu-abu dan kakinya panjang sebelah sehingga kalau berjalan agak pincang. Padahal tanda-tanda itu persis seperti yang dimiliki oleh orang yang berada dihadapannya.

"Hey bocah ! Apakah betul-betul kau tidak mau menyerahkan buah itu!”

bentak Kun-si Mo-kun dengan wajah lebih bengis kelihatannya, Kiam Ciu tidak menyahut, hanya dengan sebuah loncatan yang lincah bocah itu melarikan diri. Sedangkan buah berwarna merah yang berbau harum itu masih dalam genggamannya.

Diperlakukan seperti itu, Kun-si Mo kun menjadi sangat gusar. Sambil menggertak giginya kakek berwajah kuning dan seram itu memutar tubuh dan jubahnya yang kuning berkelebat melambai kemudian tampaklah kakek itu dengan cepat telah melesat mengejar Kiam Ciu.

Sampai beberapa saat Kiam Ciu dapat mengandalkan ginkangnya dan mengembangkan ilmu lari cepat masuk kehutan lebih dalam lagi. Berbelok-belok diantara pohon-pohon besar dan semak belukar yang rimbun. Begiiu pula Kunsi Mo-kun berusaha untuk mengejarnya.

Karena perasaan jengkel dan gusar yang tiada tertaban lagi, Kun-si Mo-kun menggembor nyaring berbareng dengan sebuah loncatan dan bocah itu teiah diterkamnya. Kiam Clu terbanting ketanah dan tidak berkutik lagi! "Aku akan serahkan buah merah yang kau minta ini !” seru Kiam Ciu sambil meronta akan melepaskan diri, "tetapi kau jangan menggangguku lagi!”

"Haaa.. Haaaa.. .haaah.. kau telah berlaku cerdik anak bandel!” seru Kun-si Mokun dengan suara cekakakan dan menyeramkan.

Sambil melepaskan cengkeraman punggung Kiam Ciu dan bocah itu dibanting ditanah kemudian Kun-si Mo-kun dengan sangat cepat menyambar buah merah yang telah diperlihatkan oleh Kiam Ciu tadi, dengan cepat pula buah itu lalu dikulumnya dalam mulut.

"Ha ha ha hahhh” kakek seram itu tertawa setelah mcnelan buah merah, kau telah memberikan buah merah padaku, tetapi kau harus mati juga ditanganku.

Meskipun dengan menyerahkan buah merah itu kau telah menolong jiwaku.. . !”

seru iblis itu dengan suaranya yang kasar.

Kiam Ciu terperanjat mendengar kata-kata itu, namun dia adalah seorang bocah yang berani dan cerdik, walaupun digertak akan dibunuh tetapi dengan sikap tenang dan berkacak pinggarg didepan Kun-si Mo-kun dia berseru lantang pula, "Mengapa kau masih ingin membunuhku ?!” seru Kiam Ciu dengan sikap tabah berani. "Karena.. . seumur hidupku aku tidak menerima budi orang lain!” sahut Kunsi Mo-kun dengan tenang tetapi kejam.

"Hemmmm . . . “ gumam Kiam Ciu dengan mata tetap memandang wajah kuning dan seram itu tanpa takut sedikitpun.

"Aku telah terluka dalam yang sangat hebat dan hanya dengan buah merah tadi luka itu dapat sembuh. Walaupun kau telah menolong jiwaku dengan memberikan buah merah tadi, tetapi aku tidak sudi menerima budimu. Maka kau harus mati ditanganku. Untuk budimu itu aku akan membunuhmu dengan cara kematian yang cepat!” seru iblis ganas dan keji itu dengan suara lantang dan seram kedengarannya. Ji Kiam Ciu pernah mendengar ceritera tentang kekejaman Kun-si Mo-kun selama menjagoi dunia persilatan. Walaupun bulu kuduknya merasa bergidik, namun bocah ini tidaklah memperlihatkan rasa takutnya didepan orang! Bahkan tampaklah wajah bocah itu bersirat merah dan mengepalkan tinju! Sesungguhnya dia sangat gusar mendengar penuturan orang yang tidak mengenal budi itu! "Aku paling benci melihat orang yang keji dan jahat semacam kau ini !” seru Kiam Ciu dengan nada suara sengit sekali, "jangan kau kira bahwa kau dapat membunuhku dengan mudah!”

Diam-diam Kun-si Mo-kun mengagumi juga keberanian bocah itu. Namun iblis itu dasar seorang yang berhati kejam dan keji tidak menggubris segala seruan bocah cilik itu. "Haaa haaahhh . . . Mungkin kau belum tahu aku ini siapa, sehingga kau beranl menantang aku sedemikian kasarnya!” seru Kun-si Mo-kun dengan suara bernada marah menganggap ringan bocah dihadapannya.

"Aku tahu kau ini siapa! Kau adalah Kun-si Mo-kun yang terkenal kejam dan keji dikalangan Kang-ouw. Tetapi meskipun demikian aku tetap tidak gentar akan ancamanmu!” seru Kiam Ciu dalam keadaan siap siaga menghadapi segaia kemungkinan yang akan dilakukan oleh Kun-si Mo-kun.

Mendengar dan menyaksikan sikap bocah berani dan cerdik itu. Kun-si Mokun menyengir. Kemudian tertawa gelak-gelak dan berseru lantang, "Kalau kau telah tahu bahwa aku ini jahat dan terkutuk yang kau benci, mengapa kau telah memberikan buah merah itu?” seru Kun-si Mo-kun dengan tertawa-tawa. "Karena.. . . . Karena aku tidak begitu yakin bahwa kau adalah orang yang begitu kejam” jawab Kiam Ciu sambil menundukan kepala, "aku mengira bahwa cerita itu cerita tentang kejahatanmu hanyalah dilebih-lebihkan orang.. . “ Kiam Ciu menatap wajah kakek seram itu dengan mata penuh selidik.

Anehnya orang yang terkenal kejam dan keji itu kedengaran menarik nafas panjang, seakan-akan ada sesuatu yang dipendam dalam hatinya.

"Hemmm.. . aku tidak menyangka bahwa di kolong langit ini masih ada orang yang menganggap diriku ini tidak jahat . .” gumam Kun-si Mo-kun dengan suara keluar dari hidungnya. Kemudian wajah kakek itu telah berubah dan memandang wajah Kiam Ciu dengan sorot mata aneh pula, sorot mata yang lain dari saat-saat pertama dia bertemu tadi, "Hey bocah baik, siapakah namamu ?” seru kakek itu kedengaran ramah.

"Namaku Ji . . ohh . . Tong Kiam Ciu , . . “ sahut sibocah sambil menundukkan muka. Walaupun kini kelihatannya Kiam Ciu sangat lemah, namun bocah itu telah siaga juga, untuk menghadapi segala kemungkinan.

"Tong Kiam Ciu ? Nama yang bagus ! Nama yang bagus.. . !” kata Kun-si Mokun sambil melangkah maju selangkah dan kepalanya manggut-manggut "aku akan ingat-ingat namamu dan kemudian hari kita pasti bertemu lagi !”

Dengan berakhirnya kata-kata itu Kun-si Mo-kun telah melangkah lagi. Tong Kiam Ciu telah siaga sambil meloncat kesamping dan tangannya telah mengepal disamping tubuhnya. Namun kakek itu terus saja berjalan tanpa menoleh lagi dan meninggalkan Kiam Ciu seorang diri.

Tong Kiam Ciu termangu dengan rasa heran, karena kakek itu ternyata tidak berbuat apa-apa dan meninggalkan dirinya begitu saja.

"Aneh.. . . sesuggguhnya dia tidak sekejam sangkaan orang” pikir Kiam Ciu sambil membetulkan pakaiannya dan menepiskan dari kekotoran.

Beberapa saat kemudian ketika Kiam Ciu berada ditempat itu seorang dtri dan masih membersihkan dari daun-daun dan tanah yang melekat dipakaiannya. Terasalah hembusan angin dari arah belakang.

"Hemm.. . . kau telah nyaris dari tangan keji Kun-si Mo-kun meskipun kau telah kehilangan biji merah yang sebenarnya sangat berguna dan sukar dicari, tetapi kau telah menolong jiwamu sendiri . . “ terdengar tiba-tiba sebuah suara dari arah belakang punggung bocah itu, Dengan sangat terkejut bocah itu memutar tubuh dan alangkah kagetnya ketika diketahui yang berada di tempat itu tidak lain adalah Pek-hi-siu-si yang tekah berdiri dengan tersenyum dan penuh rasa kasih sayang. Sambil tersenyum mengelus janggutnya yang panjang berurai.

"Twa-supee.. . . !” seru Kiam Ciu sambil menghormat.

Pek-hi-siu-si melangkah maju mendekati Kiam Ciu yang masih membongkok hormat, kemudian dielusnya kepala bocah itu dengan rasa haru.

"Kiam Ciu kau harus lekas-lekas pulang, Meskipun ibu dan ayahmu yang sekarang itu adalah orangtua angkatmu. namun ternyata mereka memandangmu sebagai anaknya sendiri. Mereka sangat menyayangimu dengan setulus hati. Maka sekarang pulanglah. Kelak aku akan menceritakan padamu tentang riwayat hidupmu.” sejenak Pek-hi-siu-si berhenti dengan tarikan nafas panjang. "Kau harus banyak belajar ilmu, karena banyak tugas yang harus kau lakukan. Pula kau jangan mengecewakan harapan orangtuamu dan juga orang-orang yang menyayangimu. Kau mempunyai musuh besar yang harus kau binasakan kelak kalau waktunya telah tiba.. . . .”

Kemudian Kiam Ciu telah membenamkan wajahnya ke dada kakek itu, namun tiada isak an tangis yang terdengar. Kiam Ciu telah menahan semua perasaannya dengan ketabahan hati. Pek-hi-siu-si merangkul bocah itu dan mengajaknya untuk pulang kepondok. Dalam pada itu tampaklah Pek-hi-siu-si tertawa-tawa sambil menunjuk ke suatu tempat. Kedua orang itu berjalan menuju kepondok dimana ketiga Sin-ciu-sam-kiat menantikan dengan perasaan cemas! Begitu pula gadis cilik yang manis Ji Tong Bwee tampak sangat gelisah dan akan keluar saja untuk mencari Kiam Ciu! Mulai saat-saat berikutnya dan pada hari-hari berikutnya Pek-hi-siu-si telah mengambil alih dari tangan ketiga bersaudara Sin-ciu-sam-kiat untuk menurunkan ilmu pedang yang tiada tandingan dikalangan Kang-ouw! Pada suatu pagi ketika itu seperti biasanya Kiam Ciu akan berangkat berlatih silat dan menemui gurunya. Tiba-tiba terdengar sebuah teguran pada dirinya.

Teguran yang sangat halus dan sangat dikenalnya. "Koko Twa-supee memerintahkan kau untuk menemuinya dirumah besar pagi ini!”

seru suara merdu yang segera dapat dikenal oleh Kiam Ciu adalah suara Tong Bwee adik angkatnya yang sudah menjadi seorang gadis remaja puteri, gadis remaja yang cantik jeliia.

Kiam Ciu tersenyum manis dan memandang tegas kepada Tong Bwee seraya bersera "Terima kasih adik manis, aku akan segera kesana!”

Mereka berdua dengan sangat tergesa-gesa berjalan bersama menuju ke bangunan rumah besar. Dimana sat itu diruangan tamu telah duduk Pek-hi-siusi dan ketiga Sin-ciu-sam-kiat yang tampak tersenyum ketika menyaksikan Kiam Ciu dan Tong Bwee memasuki ruangan.

"Kiam Ciu . . apakah kau mengetahui mengapa aku memanggilmu ?” seru Pek-hi-siu-si sambil tersenyum dan masih duduk sambil mengelus janggutnya yang putih dan panjang. "Kiam Ciu bersedia menerima segala perintah suhu.. . .” jawab Kiam Ciu sambil membongkok memberi hormat.

Pek-hi-siu-si tersenyum bangga dengan matanya yang tiada mau lepas dari mengamati pemuda dihadapannya itu. Rupa-rupanya Kiam Ciu benar-benar telah memikat hati Pek-hi-siu-si. Seorang murid yang sangat disayanginya disamping memang pemuda itu mempunyai latar belakang yang menyedihkan dimasa lalunya. Maka sudah selayaknya kalau kakek itu menyayanginya dengan ketulusan hati. Bukan saja Pek-hi-siu-si yang sangat sayang kepada Kiam Ciu tetapi juga ketiga Sin-ciu-sam-kiat sangat bersyukur dapat turut memelihara dan mendidiknya. "Kiam Ciu.. . . . . selama sembilan tahun teakhir ini kami berempat telah menurunkan ilmu silat padamu. Segala ilmu yang kami punyai telah kami ajarkan semuanya kepadamu, Ternyata kau sangat pandai dan cerdik sehingga semua ilmu itu telah kau kuasai semua. Bahkan kami sendiri telah jauh ketinggalan dengan ilmu yang kau miliki sekarang” Pek-hi-siu-si berseru dan sejenak terhenti karena gangguan batuk-batuknya.

Batuk-batuk yang menyerang Pek-hi-siu-si itu adalah akibat luka dalam yang masih mengendap dalam tubuhnya. Luka dalam itu telah diderita oleh Pek-hisiu-si selama lebih dari delapan tahun. Berkat ilmu Bo-kit-sin-kong maka dia masih dapat bertahan. Tetapi dalam keadaan itu entah tinggal berapa lama lagi kakek itu dapat bertahan, karena ternyata luka dalam yang dideritanya itu sangat luar biasa. Menyaksikan hal itu Tong Kiam Ciu sangat terkejut. Karena selama dia dibawah asuhan Pek-hi-siu-si dalam segala ilmu khususnya ilmu pedang dan melatih Sin-kang bahkan memperdalam Siu-lan. Namun sama sekali kakek itu tiada menyinggung sama sekali tentang luka dalam itu.

"Twa-supee . . apakah . . ?” seru Kiam Ciu dengan kerutkan kening.

"Sekarang . . . . !” Pek-hi-siu-si sambil mengangkat tangan kanan kearah Kim Ciu, demi kepentinganmu dan juga untuk aku. Kau telah cukup membekal ilmu.

Maka sudah waktunya kau untuk memulai dengan pengabdianmu.. . . “ demikian Pek-hi-siu-si berhenti lagi dan ditatapnya wajah pemuda itu dengan helaan napas dalam. Kiam Ciu merasa terperanjat dengan kata-kata itu, kemudian menunduk kembali seolah-olah melihat ke ujung kaki kakek yang duduk dihadapannya seraya menghormat. "Aku akan segera melaksanakan perintah. sekarangpun aku telah bersedia jika itu kehendak Twa-supee” seru Kiam Ciu dengan penuh hormat dan halus.

"Kiam Ciu, kurasa kinilah saatnya kau untuk mengetahui suatu rahasia yang selama ini kami simpan. Rahasia tentang musuh besarmu, juga musuh besar keluargamu.. !” seru Pek-hi-siu-si. "musuh besarmu itu tiada tentu tempat tinggalnya dan mempunyai watak yang sangat ganas.. Terus terang aku sendiri belum pernah melihat mukanya, hanya mendengar nama gelarnya dan sepak terjangnya serta kehebatan ilmunya dikalangan Kang-ouw. Maka kau harus mencarinya sendiri. Carilah orang yang bergelar Ciam Gwat!” seru Pek-hi-siu-si seolah-olah telah menjadi lega dadanya telah mengeluarkan segala apa yang selama ini disimpannya dalam dada.

Kiam Ciu mendengarkan penuiuran gurunya itu dengan penuh perhatian.

Bergolaklah harinya penuh kegusaran dan seolah-olah pemuda itu ingin dengan cepat meloncat untuk mencari musuh besarnya yang telah membinasakan seluruh keluarganya itu. "Baik aku telah pahan semuanya Twa-supee” sahut Kiam Ciu.

"Tunggu! Masih ada lagi pesanku . . . “ seru Pek-hi-siu-si ketika menyaksikan pemuda itu tampak tidak sabar lagi, "Pergilah kau terlebih dahulu untuk mencari pemimpin golongan persilatan Bu-tong dan temui Hiong Hok Totiang. Ketika aku mengundurkan diri dari kalangan Kang-ouw aku telah menitipkan pedang pusakaku kepadanya, Oey-Liong-Kiam (pedang pusaka naga kuning). Aku juga berpesan kepadanya bahwa sembilan tahun kemudian pedang putaka itu akan kuwariskan kepada seorang pemuda yang bernama Tong Kiam Ciu, dan pedang itu akan diambilnya. Muridku Kiam Ciu, tiga bulan lagi para pemimpin partai persilatan dan para pendekar kenamaan akan bertemu dalam Bu lim-tahwee di puncak Ciok yong-hong diatas pegunungan Heng-san yang hanya diselenggarakan tiap sepuluh warsa sekali. Dengan . . . dengan.. . membekal Oeyliong-kiam kau dapat mewakili aku dalam pertemuan itu” kakek itu sekali lagi terhenti karena gangguan batuknya.

Kemudian Pek-hi-siu-si mengambil sebuah bungkusan yang terletak diatas meja seraya melanjutkan kata-katanya ; "Didalam bungkusan ini terdapat sebuah kitab catalan kelahiranmu yang telah kusimpan selama enam belas tahun lamanya. Disamping kitab catatan itu terdapat juga sebuah kotak hitam yang berisi dua belas buah golok Liu-gian-to hadiah dari pamanmu Siauw Liang. Juga perak sebanyak seratus tahil untuk ongkos selama kau dalam perjalanan , , , “

seru Pek-hi-siu-si sampai disitu terhenti dan terbatuk lagi.

Tong Kiam Ciu menundukkan kepala dengan terharu atas segala kebaikan itu, Dia sebenarnya tidak tega untuk meninggalkan Pek-hi-siu-si yang kelihatan payah itu. walaupun kakek itu telah berusaba sedapat mungkin untuk menyembunyikan penderitaan karena luka dalam. Pula pemuia itu sangat berat untuk meninggalkan orangtua angkatnya, paman Siauw Liang dan adik angkat yang sangat dicintainya Tong Bwee.

Bergemuruhlah dalam dada pemuda itu, berbagai-bagai perasaan bersambung menjadi satu menghantam indranya menggempur jiwanya.

Berperanglah jiwanya antara kewajiban sebagai seorang jantan dan satria sejati, Tiba-tiba dalam kegemuruhan kegoncangan jiwanya itu terdengar suara Pek-hisiu-si menegurnya.

"Kiam Ciu,” tegur Pek-hi-siu-si datar, "dikalangan rimba persilatan nanti kau akan mengalami banyak kejadian. Itu lebih baik bagimu untuk menambah pengalaman dan menghayati hidup dan mendarmakan kepandaianmu untuk sesama umat. Kau harus bersikap sabar dan berhati-hati, kenalilah dirimu sendiri.. .". Nah kini saatnya kau harus berangkat !” sampai disitu Pek-hi-siu-si berhenti dan memejamkan matanya menaban air mata keharuan yang tiada terbendung lagi. Dalam keadaan itu Siauw Liang telah menghampiri Kiam Ciu dan memegang bahu pemuda itu seraya berkata: "Kiam Ciu semenjak kau masih bayi aku sering menggendongmu kau tahu bukan bahwa aku tidak pandai berkata panjang lebar.

Aku hanya dapat berdoa semogg kau dapat berhasil dalam segala usahamu . . . . . “

Dengan air nata berlinang Tong Kiam Ciu berlutut dihadapan Pek-hi-siu-si, kemudian menghampiri Ji Han Su dan Pek Giok Bwee berlutut seraya berkata: "Ayah, Ibu, aku telah melelahkanmu mengasuhku selama sembilan belas tahun lamanya. Sekarang aku akan segera meninggalkan kalian orang budiman . . . Aku mohon diri". demikian kata-kata iiu tidak dapat keluar dengan lancar seolah-olah tersekat didalam kerongkongannya.

"Kiam Ciu , , “ kata Pek Giok Bwee. "Aku berharap semoga kau berbesar hati dan menghalaukan kesedihan karena perpisahan ini. Orang hidup tidak selamanya harus berkumpul, ada waktunya kita harus bepisah. Lagi pula se!ain kau harus menunaikan tugas baktimu, kau harus banyak mencari pengalaman dikalangan Kang-ouw.” sampai disitu Pek Giok Bwee menasehati Kiam Ciu dan menghiburnya agar pemuda itu menghilangkan perasaan hatinya yang sedih karena akan berpisah. WaJaupun sebenarnya Pek Giok Bwee sendiri merasakan betapa beratnya untuk berpisah dengan pemuda itu. Karena telah sembilan belas tahun dia mendidik dan mengasuh pemuda itu dengan penuh kasih sayang sebagai anaknya sendiri.

"Kiam Ciu.. kau dapat segera berangkat !” seru Ji Han Su. “ Semakin lama kau berdiam diri, bertambah sedih hati ibumu nanti. Setelah kelak kau berhasil menunaikan tugasmu aku yakin kita masih banyak waktu untuk berkumpul kembali. Hanya pesanku, pesanku anakku.. . kau baik-baiklah menjaga dirimu!”

Setelah Ji Han Su diam, maka tempat itu jadi hening. Hanya terdengar angin mendesau bertiup menghembus tirai ruang tamu. Saat itu juga Tong Kiam Ciu telah bangkit perlahan-lahan. Kemudian memutar tubuh dan meninggalkan rumah itu tanpa menoleh lagi.

Makia lama dia melangkah maka tidak lama telah sampai dihutan bambu dan cepat-cepat ia menuju ketepian telaga Cui-ouw. Kiam Ciu berdiri dibawah pohon Liu. Matanya nanar memandang keatas air telaga yang bening, Melihat kembang-kembang teratai yang daunnya menghijau pemuda itu mengenangkan masa lampau meengenangkan masa kanak-kanak dimana dia sering bermainmain di telaga dengan Tong Bwee. Masa kanak-kanak yang sangat menyenangkan dan sangat berkesan didalam hatinya.

Lama juga pemuda itu melamun dan mengenangkan masa lampau, tetapi lamunannya itu menjadi buyar ketika dirasanya ada seseorang yang mendekati.

Disamping itu hidungnya telah mencium bau harum yang tiada terlupakan bau harum itu. Karena tiada lain adalah keharuman rambut Ji Tong Bwee.

Dengan tiba-tiba pula Kiam Ciu memutar tubuh dan berseru : "Moy!” Hanya sampai disitu kemudian tiada sepatah katapun yang terucapkan. Hanya pandangan mata mereka saling bertemu dan senyuman manis gadis itu yang menyentuh kedalam lubuk hati Kiam Ciu.

Sembilan tahun yang lalu Kiam Ciu mencintai Tong Bwee sebagai adiknya.

Tetapi kemudian setelah mengetahui bahwa gadis itu bukan adik kandungnya maka rasa cinta kasih itu telah berubah sangat berlainan.

Ji Tong Bwee melangkah lebih dekat dan tersenyum manja yang sangat menyejukkan hati Kiam Ciu. Sesaat pemuda itu menarik napas panjang. Ketika langkah kaki gadis itu bertambah dekat maka terlihatlah dengan nyata bahwa gadis itu dikedua belah matanya yang bulat berkaca-kaca membendung luapan tangis. "Moy . . . aku belum berpamitan padamu tadi, karena terasa berat harus kuucapkan kata-kata perpisahan itu padamu” seru Kiam Ciu dengan senyuman dibuat-buat, hatinya berat mengatakan kata-kata itu seolah-olah pemuda itu akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Ji Tong Bwee melepaskan sebentuk cicin dari jari manisnya, sebentuk cincin berwarna merah deiima. Kemudian gadis itu memegang tangan kanan Kiam Ciu untuk memasukkan cincin itu ke jari kelingkingnya dan dibiarkan air matanya membasahi pipi yang putih kemerah-merahan.

"Koko . . . aku tidak mempunyai kenangan yang lain kecuali cincin yang tiada berharga itu. Namun aku berharap semoga koko suka memakainya terus hingga perjumpaan kita kelak.. . .” seru Tong Bwee dengan rasa penuh keharuan harus berpisah. "Bwee Moy.. . . cincin ini bukannya barang yang tiada berharga, tetapi cincin ini kau berikan dengan penuh kasih sayangmu padaku. Maka percayalah bahwa aku akan menjaganya dengan segenap jiwa dan ragaku” sambung Kiam Ciu dengan memandangi cincin manikam merah itu dengan bergantian memandang kearah orang yang memberikannya.

"Koko . . berangkatlah dengan hati yang tenang dan jagalah diri Koko baikbaik !” sambung gadis itu lagi dan membiarkan butiran-butiran air matanya itu membasahi pipinya. Digenggamnya tangan gadis itn dengan sangat erat seolah-olah tidak akan dilepaskan lagi. Diusapnya air mata yang membasahi pipi gadis itu dengan perasaan sayang. Kemudian Kiam Ciu memutar tubuh dan meninggalkan tempat pertemuan mereka ditepi telaga Cui-ouw dengan cepat.

Dalam sekejap saja Kiam Ciu telah berjalan jauh dan Tong Bwee ditinggalkannya seorang diri ditepi telaga dan memandanginya hingga bayangan Kiam Ciu lenyap dibalik bayangan pepohonan didalam hutan.

Ji Tong Bwee menghela nafas panjang dan mengusap air matanya. Dengan langkah lesu ditinggalkannya tepian telaga itu dengan hati penuh kenangan ke masa-masa lalu. Sedangkan Tong Kiam Ciu terus menempuh hutan menuju kemarkas partai persilatan Bu-tong. Untuk menunaikan perintah gurunya menemui ketua partai Bu-tong ialah Hiong Hok Totiang dan untuk minta titipan Twa-supeenya berupa sebuah pedang pusaka yang bernama Naga Kuning, Oeyliong-kiam.

Tiada terasa Kiam Ciu telah sampai disebuah hutan di pegunungan Tay-piesan yang terletak dipropinsi Ouw pak. Hutannya yang lebat dengan perengpereng jurang yang curam dan batu-batu gunung yang besar. Tiba-tiba terdengar suara petir menyambar dengan kilatan api yang mengerikan. Dengan suara desau angin kencang, tiba-tiba telah turun hujan lebat sekali.

Tong Kiam Ciu yang mengenakan jubah putih telah mengembangkan ilmu meringankan tubuh dan lari menyusup hutan. Hujan terus bertambah hebat seolah-olah air dicurahkan dari langit disertai badai dan halilintar seolah-olah dunia akan kiamat Suasana yang sangat mengerikan beberapa pohon telah tumbang dan dahan-dahan besar tertimpa sambaran petir patah dan salah saiu hampir saja menjatuhi Kiam Ciu tetapi untung pemuda berpakaian serba putih yang telah basah kuyup itu dengan tangkas dapat meloncat menghindar meninggalkan bekas terlalu dalam. Kiam Ciu turun mengembangkan ilmu Ginkangnya untuk menuju kearah sebuah gua.

Karena hujan yang sangat lebat itu walaupun bagaimana Kiam Ciu butuh kehangatan dan berteduh. Maka dengan terlihatnya mulut gua itu dia sangat ingin secepat-cepatnya untuk mencapainya.

Dengan sebuah loncatan yang sangat indah pemuda berpakaian serba putih itu telah berdiri didepan pintu gua. Tetapi ketika kakinya baru saja menginjak tanah didepan pintu gua, tiba-tiba sebuah hembusan angin keras kearah dirinya.

Tahulah Klam Ciu bahwa angin yang menerpa itu adalah sangat berbahaya mengandung hawa panas, Maka dengan mendadak pula pemuda itu melejit diudara dan angin hembusan itu menghantam batu besar yang berada didepan pintu gua dan terdengarlah sebuah derakkan riuh sekali dan batu besar itu hancur. Kini tahulah Kiam Ciu bahwa angin yang menerpa keluar itu adalah sebuah tenaga pukulan jarak jauh yang sangat luar biasa..

"Luar biasa !” seru Kiam Ciu dalam hati. Pemuda itu telah menduga bahwa didalam gua telah ada seseorang, tetapi gegabah menyerang tanpa menegur terlebih dahulu. "Siapa diluar!” terdengar suara tajam mengguntur dari dalam, tetapi jelas terdengar bahwa suara itu keluar dengan sangat tertahan dan Kiam Ciu telah dapat menduga bahwa yang berada didalam gua itu adalah seorang sakti tua yang luar biasa. "Aku . . Tong Kiam Ciu. Aku datang akan berteduh dalam hutan lebat ini. Jika aku telah mengganggu Locianpwee maka aku minta maaf!” sahut Kiam Ciu dari luar dengan suara keras tetapi sopan.

Walaupun Kiam Ciu berlaku sangat merendah dan hormat tetapi ruparupanya orang yang berada didalam gua sama sekali tidak menggubris akan kata-kata pemuda itu. Maka sekali lagi Kiam Ciu berseru, "Locianpwee apakah aku diperbolehkan masuk?!”

"Anak muda yang diluar siapa namamu ?!” seru suara orang dari dalam gua itu sekali lagl, "Aku bernama Tong Kiam Ciu” jawab Kiam Ciu dari luar gua dengan suara keras dan sopan. "0hh.. . Kau Tong Kiam Ciu.. . kalau begitu kau boleh masuk!” seru suara itu sekali lagi. Mendengar jawaban itu Tong Kiam Ciu melangkah kedepan untuk memasuki pintu gua. Sekali lagi terasa datangnya angin pukulan yang berhawa panas dari arah dalam gua. Tetapi kali ini Kiam Ciu sudah mengelakan serangan itu seperti yang dilakukan diluar gua tadi. Keiika dirasakan angin pukulan itu telah dekat maka Kiam Ciu mengangkat kedua tangannya dengan tapak tangan kedepan sambil mengerahkan ilmu Bo-kit-sin-kong yang telah diyakini ajaran dari Pekhi-siu-si. ternyata ilmu yang telah diyakini itu dapat membuyarkan tenaga pukulan lawan. Kemudian Kiam Ciu melangkah lebih kedalam lagi.

Suasana didalam gua itu sangat sepi sekali samar-samar dia melihat bentuk tubuh seorang kakek berjenggot panjang dan rambut yang awut-awutan, sedang pakaiannya telah terkoyak-koyak dan tampak noda-noda darah.

Kakek itu tengah mengawasi Kiam Ciu dengan pandangan mata yang suram.

Sedang rambutnya yang awut-awutan bertebaran ke wajahnya tertiup angin keras dari luar. "Rupa-rupanya kakek ini dalam keadaan terluka dalam” pikir Kiam Ciu.

"Torg Kiam Ciu?! Kau yang bernama Tong Kiam Ciu? Terimalah ini hadiahku!”

seru kakek itu diakhiri dengan sebuah pukulan dahsyat kearah dada Tong Kiam Ciu. Tong Kiam Ciu hanya memiringkan tubuhnya sedikit tanpa membalas menyerang. Tetapi orang tua itu mengirimkan pukulan dengan kekuatan luar biasa, ketika pukulannya ternyata memukul tempat kosong hingga dia tidak dapat menguasai tubuhnya lagi. Kakek itu terhuyung kedepan dan jatuh tersungkur, dan pada saat itu juga dia memuntahkan darah segar dari mulutnya.

Tetapi kakek itu lekas-lekas meloncat kembali berdiri memutar tubuh menghadap Kiam Ciu dan tertawa cekakakan.

"Hemmmm.. . mengapa tertawa? Apakah kakek ini telah tergoncang hebat otaknya hingga menjadi gila?” pikir Kiam Ciu dengan sangat heran memandang kearah kakek itu. "Bo-kit-sin-kong! Tidak salah lagi kau telah dapat menguasai Bo-kit-sin-kong dengan sempurna!” kakek itu berteriak-teriak seperti orang gila. Kemudian menatap Kiam Ciu dengan pandangan mata seksama. "Hey, Tong Kiam Ciu bagaimana kau dapat berada di pegunungan ini ?” sambung kakek itu dengan kerutkan keningnya. Segala gerak dan tingkah kakek itu sangat aneh, sehingga pemuda itu menjadi bingung dan tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang tiba-tiba dan sangat ramah itu. Kemudian diamatinya orang tua yang berada dihadapanya itu. Tetapi ketika matanya menyaksikan sebilah pedang yang bergantung dipinggang kakek itu sebilah pedang kepala Naga berwarna kuning.

Diam-diam Kiam Ciu jadi terperanjat.

"Hey Tong Kiam Ciu! Apakah kau tahu aku ini sapa ?” seru kakek awut-awutan itu dengan lantang dan tiba-tiba pula.

"Apakah Locianpwee . . . bukan Hiong Hok Totiang ?” jawab Kiam Ciu dengan hormat dan ragu-ragu sambil mengawasi mata kakek itu.

"Ha ha-ha. dari mana kau tahu bahwa aku Hiong Hok Totiang ? Hemmm . . “

seru kakek itu dan tampak keningnya berkerut seolah-olah kakek itu sedang menahan perasaan sakit yang luar biasa.

"Dengan melihat pedang Oey-liong-kiam yang bergantung dipinggang Locianpwee, Locianpwee terimalah hormatku, sudilah Cianpwee memaafkan segala kekurang ajaranku tadi.. . . “ seru Tong Kiam Ciu sambil membungkuk memberi bormat Sesaat kemudian Tong Kiam Ciu telah berlutut dihadapan Hiong Hok Totiang dan menghormat. "Sudahlah berdirilah dan jangan terlalu banyak memakai peradatan begitu”

seru Hiong Hok Totiang sambil mengangkat bahu Kiam Ciu Sesaat lamanya suasana menjadi sepi lengang hanya napas kedua orang itu yang terdengar. Diluar gua masih hujan dengan lebatnya dan sesekali gebyaran sinar halilintar menerangi dalam gua.

"Sekarang dengarlah baik-baik pesanku ini Kiam Ciu! Sebenarnya aku harus menantikan kedatanganmu dipegurungan Bu-tong. Tetapi pada sekira setengah bulan yang lalu aku telah menerima sepucuk surat yang menyuruhku datang di pegunungan ini untuk menyerahkan pedang pusaka Oey-Liong-Kiam. Maka saat ini aku berada disini. Apakah kau telah pergi ke pegunungan Bu-tong untuk mencariku?” "Ya. Tetapi aku mendapat keterangan bahwa Locianpwee telah berangkat ke pegunungan T"ay-pie-san tiga hari yang lalu.. . . “

"Hemm.. . . aku sama sekali tidak menduga kalau akan masuk perangkap. Aku telah ditawan didalam gua ini dalam keadaan terluka dalam selama dua hari.. . “

kakek itu berhenti sebentar sambil meringis menahan rasa sakit kemudian meneruskan; "Pedang Oey-Liong-Kiam ini adalah pedang pusaka Jenderal Gak Hui, dikalangan Kang-ouw pedang itu termasuk pedang nomor satu di kolong langit ini. Kini aku serahkan pedang ini kepadamu atas pesan gurumu Pek-hisiu-si dan aku minta padamu agar kau dapat menggunakannya dengan baik pula dapat melindunginya. Nanti sekira lima belas hari lagi di puncak pegunungan Heng-san akan diadakan pertemuan para tokoh persilatan dalam pertemuan Bu-lim-tahwee diatas puncak Ciok yong-hong. Pesan gurumu bahwa dengan pedang pusaka ini kau diharapkan untuk mewakilinya. Baiklah kau harus menjunjung nama baik gurumu Pek-hi-siu-si yang telah menjagoi dunia persilatan selama tiga puluh tahun lebih itu", kakek itu dengan menahan rasa sakit yang amat sangat didadanya dan tampak meringis dan mengucurkan keringat dingin. Setelah menyaksikan pedang pusaka, kemudian kakek itu merogoh dari saku jubahnya sebuah benda mengkilat kuning selebar tiga jari tangan, diatas lebaran berwarna kuning itu tertera ukiran seorang tojin (pendeta) tua yang berjenggot panjang. Sambil menyerahkan benda mengkilat berwarna kuning itu Hiong Hok Totiang berkata: "Aku kini aku sudah tidak lama lagi akan binasa, luka-lukaku sangat hebat sekali didalam tubuh. Ohhh . . kuserahkan benda ini padamu Kiam Ciu, benda ini adalah suatu tanda pengenal dari partai persilatan Bu-tong. Bila kau menemui kesulitan dan menjumpai orang-orang dari partai persilatan Butong maka dengan memperhatikan tanda pengenal kuningan itu kau akan segera mendapat bantuan . . .". Setelah kakek itu menyelesaikan kata-kata dan menyerahkan dua benda itu kepada Kiam Ciu maka terhentilah sejenak dan hening. Tiba-tiba terdengar kakek itu terbatuk dan meringis menahan rasa sakit tetapi Hiong Hok Totiang memuntahkan darah bergumpal-gumpal dan tersungkur jatuh ditanah, kedua tangannya menahan rasa sakit dengan menekan dada. Kemudian terdengar pula jeritan panjang yang mengerikan kakek itu menggeliat, matanya terbelalak Hiong Hok Totiang binasa dalam keadaan yang sangat mengerikan.

Saat itu berbareng pula petir menyambar dengan suara dahsyat. Hujan belum lagi reda. Sinar kilatan petir itu sesaat menyinari wajah Kiam Ciu yang kelihatan tegang dan ngeri ketika menyaksikan mayat Hiong Hok Totiang dalam keadaan yang sangat mengerikan itu. Baru saat itu dia menyaksikan seseorang binasa dengan sangat mengerikan akibat siksaan. Sekali lagi kilatan petir itu menerangi dekat pintu gua dimana Kiam Ciu masih merenung dekat jenasah pemimpin partai persilatan Bu-tong.

Tetapi ketika dia menyadari bahwa masih banyak tugas yang harus diselesaikan, maka segeralah dia menggali lubang lahat didalam gua itu untuk merawat mayat Hiong Hok Totiang. Semuanya itu dikerjakan dengan sangat cepat dan mengerahkan tenaganya yang luar biasa. Maka tidaklah mengherankan kalau dalam waku tiada lama telah selesai menyempurnakan jenazah kakek itu dengan sangat sederhana, Setelah selesai memakamkan jenazah pemimpin Bu-tong tadi, maka pemuda itu memutar tubuh dan masih dengan kening berkerut dan tubuhnya lesu karena sesalan dan rasa duka atas kejadian yang mengerikan itu, Kiam Ciu meninggalkan gua itu. Tetapi langkahnya terhenti sejenak ketika dia menyadarinya bahwa dibawah sebatang povon yang tinggi dan rindang didepan mulut gua tampak berdiri lima orang Iaki-laki gagah berpakaian terbuat dari kulit singa. Orang-orang itu tampak mengawasinya, mereka tampak seram dan geram dengan sorot mata menyalanyala.

"Tentu mereka inilah yang telah menjebak dan menganiaya Hiong Hok Totiang . . “ pikir Tong Kiam Ciu sambii melirik kearah kelima orang itu.

Kemudian Tong Kiam Cu membentak kearah kelima orang itu dengan suara lantang dan tangan menuding kearah kelima orang dihadapannya.

"Hey kalian berlima harus bertanggung jawab atas kematian Hiong Hok Totiang! Kalian harus mengganti jiwa atas kematian Hiong Hok Totiang !” seru Tong Kiam Ciu dengan suara lantang dan gusar.

Mendengar jeritan Kiam Ciu yang lantang dan marah itu membuat suasana yang dingin karena hawa pegunungan dan hujan itu menjadi panas. Salah seorang dari kelima orang itu yang bertubuh besar pendek segera meloncat kedepan diantara kawan-kawannya sehingga kelihatan lebih nyata. Orang itu berseru dengan suara yang tinggi dan seperti suara wanita.

"Apa katamu anak muda ? Kami harus membayar dengan nyawa ? Seenaknya saja kau bersuara dihadapan kami, batok kepalamu yang akan kami copoti !” bentak orang itu dengan suara melengking seperti suara wanita.

"Ayoh kita pergi !” serunya kspada keempat kawan-kawannya.

Tetapi sebelum orang-orang itu pergi meninggalkan dengan segeralah Kiam Ciu berseru pula lebih lantang dan tandas membentak keras.

"Tunggu.. .!” bentak Kiam Ciu dengan keras dan berwibawa, "Akulah yang mewakili Hiong Hok Totiang untuk membuat perhitungan dengan kalian !”

"Kau pernah apa dengan si keparat Totiang itu ?” seru sipendek gemuk yang rupa-rupanya adalah pemimpin diantara keempat orang-orang yang berpakaian kulit singa itu. "Peduli apa dengan kalian, hubunganku dengan Hiong Hok Totiang adalah urusanku . . . !” seru Kiam Ciu dengan suara gusar, tetapi diam-diam pemuda itu telah siap siaga. Sesaat Kiam Ciu memperhatikan gerak-gerik kelima orang yang berada didepannya itu. Mereka tampak sangat mencurigakan sekali. Dengan berloncatan mereka membentuk sebuah gerakan dan tahu-tahu mereka telah berdiri sederet dihadapan Kiam Ciu. Ketika keadaan mereka telah siap sama sekali, maka mereka dengan berbareng telah meloncat menyerang Kiam Ciu. Serangan dengan serentak dengan loncatan dan serangan tangan berbareng keempat orang-orang berpakaian kulit singa itu kearah dada dan bagian-bagian kelemahan Kiam Ciu.

Sedangkan Tong Kiam Ciu yang telah siaga secara diam-diam tadi kini telah mempersiapkan sebuah hantaman kedua tinjunya untuk menggempur hardik serangan lawan. Maka kedua tinju Kiam Ciu berbareng dengan datangnya serangan itu memukul kedepan.

Angin pukulan yang hebat telah mendampar dan menghalaukan serangan pihak lawan dengan hebat sekali. Angin pukulan Kiam Ciu yang dilambari tenaga dalam luar biasa itu sangat hebat pengaruhnya terhadap kelima orang lawan yang kelihatan seram dan tegas itu.

"Kepandaian yang dahsyat sekali !” seru laki-laki bertubuh pendek gendut itu dengan loncatan surut kebelakang tanpa sadar. "Ternyata kau dapat menahan serangan kami tanpa kamu menderita luka dalam! Kitapun akan menyudahi urusan ini jika kau sudi pula menyerahkan pedang pusaka Oey-Liong-Kiam kepada kami.. .!” pemimpin orang-orang itu dengan nada membujuk dan mengulurkan tangan kanan kedepan seraya mesem.

Tong Kiam Ciu merasa yakin bahwa dia dapat menundukkan lawannya dalam beberapa jurus saja. Maka dia sangat berani untuk menantang dan mendamprat kelima orang berbaju kulit singa itu.

"Menyerahkan pedang ini ? Hmmm . . kau seenaknya saja berbicara. Dengan dalih apakah kau menghendaki penyerahan senjata pusaka ini?” seru Kiam Ciu dengan kerutkan kening dan merasa gusar. "Pedang Oey-Liong-Kiam ini adalah pedang warisan dari guruku, maka aku lebih berhak untuk menguasai benda ini..!” sesaat Kiam Ciu terhenti karena menyaksikan gerak mencurigakan dari kelima orang lawannya itu.

"Lagi pula kalau aku tidak sudi menyerahkan pedang ini kalian akan berbuat apa terhadap diriku ?” seru Kiam Ciu dengan suara dampratan keras.

"Anak muda! Kau kira bahwa kau akan dapat lolos dari perangkap kami ?”

seru laki-laki pendek bertubuh gendut itu dengan mata mengkilat dan tidak luput mengawasi terus pedang Oey-Liong-Kiam yang bergantung dipinggang Kiam Ciu. Pedang berhulu kepala naga berwarna kuning.

"Kalian sudah berlima, masih juga akan menggunakan perangkap untuk menangkap diriku seorang ?” seru Kiam Ciu dengan mata melotot dan mulut dibulatkan kearah kelima orang berbaju kulit singa itu.

Tetapi kelima orang itu kini tidak menanggapi kata-kata Kiam Ciu, seo!aholah kata-kata itu tidak didengarnya. Kelima orang itu dengan tenang telah memutar tubuh dan dengan tenangnya meninggalkan tempat itu.

Kini Kiam Ciu menjadi sangat heran dan tidak tahu maksud orang-orang yang berada didepannya itu. Sama sekali dia tidak memahami segala macam sifat kelima orang yang dianggap aneh itu oleh Tong Kiam Ciu.

Sebenarnya Kiam Ciu akan meloncat menerjang kelima orang itu dengan tendangan dan pukulannya. Bahkan dia betul-betul ingin lekas-lekas membinasakan kelima orang itu. Karena dia yakin benar bahwa Hiong Hok Totiang telah dibinasakan oleh kelima orang berbaju kulit singa itu, Namun dengan tiba-tiba dia teringat pesan gurunya Pek-hi-siu-si yang memesankan dengan sangat ditandaskan.

"Hmmm.. . kalau begitu aku harus sangat berhati-hati menghadapi lima orang ini, aku harus sabar dan teliti untuk mengusut kelima orang ini sebelum bertindak lebih lanjut.. . “ pikir Tong Kiam Ciu dengan menahan hasratnya untuk menerkam dan membinasakan kelima laki-laki itu.

Kelima orang itu meninggalkan depan gua dimana Hiong Hok Totiang terkubur dan Kiam Ciu berdiri melompong dan membisu dengan menahan gejolak amukan amarahnya. Kelima orang itu berjalan sangat cepat, kemudian memasuki semak belukar. Ketika langkah itu berjarak lima puluh depa maka muncullah dua orang yang berpakaian sama pula dengan kulit singa dan menjura kepada kelima orang itu. Kemudian setelah kelima orang itu berlalu segeralah mereka berdua meloncat kembali masuk ke dalam gerumbulan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar