Warisan Jenderal Gak Hui Jilid 11

Jilid ke 11 

TETAPI sifatnya kadang-kadang kemanjaan dan memang dia adalah murid satu-satunya dari keluarga itu. Ibunya adalah seorang pendekar yang selalu sibuk dengan kependekarannya, selalu mengembara dikalangan Kang-ouw.

Hingga Cit Sio Wie atau yang biasa dipanggil hanya dengan sebutan Cit Siocia menurutkan kehendak hatinya dimana dia mau saja.

Gadis itu selalu mengembara dengan pakaian yang serba indah dan selalu mengendarai kereta bagus pula. Kecantikannya sebenarnya sangat menarik perhatian banyak tokoh-tokoh persilatan, namun karena dia memiliki ilmu yang lihay tiada yang berani mengganggunya. Cit siocia mempunyai ilmu yang hebat yang selalu dapat menundukkan lawannya atau orang-orang yang dikehendaki ialah ilmu Pan-yok-sin-im. Telah banyak dia menjatuhkan lawannya dengan ilmu itu. Namun dengan ilmu itu pula dia telah berusaha merebut dan menundukkan hati Kiam Ciu. Ternyata Kiam Ciu bagaikan kuda liar yang sukar untuk ditaklukan. Justru dengan kekerasan dia bahkan bertambah binal dan lari dari samping gadis itu.

Kini maksud Cit siocia hampir tercapai, justru gadis itu tidak begitu memikirkan lagi. Walaupun hatinya tetap tidak akan lenyap dari rasa cinta kasihnya terhadap Kiam Ciu. Tapi seolah-olah dia telah memandang biasa saja dalam persoalannya itu. "Aku sangat berterima kasih padamu Cit Sio Wie, kau telah berkali-kali menyelamatkan jiwaku” bisik Kiam Ciu dengan hati penuh dengan keharuan.

"Ah itulah hanya suatu perbuatan yang tak berarti. Siapapun orang yang berhati lurus akan menolongmu, karena kau adalah seorang pemuda yang budiman dan kesatria” jawab Cit siocia sambil memandang Kiam Ciu dan tersenyum. "Aku benar-benar merasa sangat berhutang padamu, entahlah kapan aku dapat membalasnya” sambung Kiam Ciu dengan bersungguh-sungguh dan menggenggam tangan Cit siocia.

Hati Cit siocia berdebar karen genggaman Kiam Ciu itu. Wajah gadis itu menjadi merah karena gejolak hatinya mendesak hebat. Namun Kiam Ciu tidak memperhatikan perasaan gadis itu. Kiam Ciu memang seorang pemuda yang masih polos dan belum banyak pengalamannya dalam pergaulan dengan wanita. Jadinya dia tidak dapat mengerti tentang keadaan wanita.

Keduanya terus berjalan, sedangkan langit bertambah merah karera matahari telah menyembulkan sinarnya dari balik pegunungan. Warna merah itu bertambah meredup dan angin halus membelai dengan kesejukan hawa pegunungan menjelang senja itu.

"Sudah kukatakan aku tidak mengadakan hutang-piutang dengan Tong siauwhiap. Apa yang telah kulakukan padamu berdasarkan rasa kasih sayang yang tulus.. . “ sambung Cit siocia dengan tersenyum dan kerling mata ke arah Kiam Ciu. Kebetulan saat itu Kiam Ciu juga sedang memandang kearah Cit siocia. Hati Kiam Ciu yang sebenarnya keras itu. dengan tiba-tiba saat itu telah mencair.

Berdebar hati Kiam Ciu. Pemuda itu membuang muka dan memandang ketempat lain. Cit siocia merasakan perubahan sikap Kiam Ciu itu.

"Karena aku telah sembuh kembali, kukira Cit siocia dapat melepaskan aku untuk pergi kekota Pek-seng” berkata Kiam Ciu kepada Cit Sio Wie.

Namun gadis itu tidak menjawab, hanya dipandangi wajah Kiam Ciu dengan wajah sayu dan sorot mata redup.

"Mengapa kau memandangku sedemikan rupa?” tanya Kiam Ciu heran.

"Kukira kau telah melupakan kitab Pek-seng-ki-su.” jawab Sit siocia dengan suara hambar. "Maksudmu?” tanya Kiam Ciu dengan kening berkerut.

"Kita dapat tinggal didesa sepi dan damai ini. Kemudian melupakan pergolakan dikalangan Kang-ouw. Kita hidup tenteram dan damai meninggalkan dunia persilatan.. .” bisik Cit Sio Wie dengan suara penuh rayuan dan bujukan.

Kiam Ciu tahu kemana arah pembicaraan Cit siocia itu. Namun Kiam Ciu tidak dapat menjawab pembicaraan gadis itu dengan cepat, dia hanya memandanginya dengan sorot mata penuh sayang.

Karena merasa bahwa dirinya telah banyak berhutang budi dan berkali-kali pula Cit siocia itu menolong menyelamatkan jiwanya. Maka Kiam Ciu tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan seringnya pula bergaul dan lama-lama Kiam Ciu dapat merasakan betapa Cit Sio Wie telah merawat dengan penuh kasih sayang pula.

Maka akhirnya Kiam Ciu hatinya jadi lemah dan terharu atas pernyataan gadis itu. "Aku masih banyak tugas yang belum dapat kuselesaikan” bisik Kiam Ciu dengan kening berkerut. Cit Sio Wie melepaskan cekalan tangannya dan lari meninggalkan Kiam Ciu.

Gadis itu lari terus kearah matahari tenggelam. Kiam Ciu berlari-lari pula mengejar gadis itu sambil memanggil-manggil namanya. Namun Cit Sio Wie tanpa memperdulikan seruan-seruan Kiam Ciu.

Kiam Ciu mengejarnya terus. Pemuda itu benar-benar tidak mengerti apa maksud gadis itu lari meninggalkannya. Sungguh Kiam Ciu tidak mengerti maksud gadis itu. Namun Kiam Giu lerus mengejarnya.

Ketika jarak mereka begitu dekat dengan tiba-tiba Cit Sio Wie berhenti. Tahutahu Kiam Ciu lelah berada didekatnya. Pemuda itu langsung menerkam punggung Cit siocia. Memegangnya dan menggoncang-goncangkannya.

"Mengapa ? Cit Sio Wie marahkah kau padaku ?” tanya Kiam Ciu sambil menggoncangkan bahu gadis itu.

Cit Sio Wie memutar tubuh dan kini mereka berhadapan. Keduanya saling bertatapan pandang. Namun gadis itu menundukkan wajahnya dihadapan Kiam Ciu. Sekilas Kiam Ciu melihat butiran air mata meleleh disudut mata gadis itu.

Maka dengan cepat-cepat dipegangnya dagu gadis itu dan ditengadahkannya.

"Kau menangis? Mengapa ?” tanya Kiam Ciu sambil mengusap air mata gadis itu dengan ibu jarinya. Namun Cit Sio Wie hanya menggelengkan kepala dan memaksakan diri untuk tersenyum. Melihat keadaan itu Kiam Ciu jadi bertambah bingung. Sama sekali dia tidak mengerti maksud gadis itu.

"Mengapa Cit Sio Wie ?” tanya Kiam Ciu.

"Karena aku belum rela melepaskan kau yang masih dalam keadaan belum sehat benar . . . “ jawab gadis itu.

"Kukira bukan itu alasannya !” sambung Kiam Ciu ragu-ragu.

"Tong Kiam Ciu, pandanglah diriku” berkata gadis itu seraya menekan bahu Kiam Ciu dan mendorongnya.

Tong Kiam Ciu seperti anak kecil yang penurut, dipadanginya kearah gadis itu. Wajahnya, rambutnya lehernya dadanya dan seluruh tubuhnya. Setelah itu Kiam Ciu bagaikan orang dungu, memandang Cit Sio Wie dengan pandang tajam.

Cil Sio Wie merasakan seolah-olah pandangan mata Kiam Ciu itu menembusi jiwanya. Serasa dia telah ditelanjangi. Tampaklah wajah gadis itu bersemu merah karena merasa malu. Namun Kiam Ciu tetap memegang dagu gadis itu dan tetap menatapinya dengan sinar mata yang tiada berkedip.

"Maafkan diriku Wie moay” bisik Kiam Ciu.

Betapapun saat itu senja yang cerah, namun karena kata-kata Kiam Ciu yang telah memanggilnya dengan perkataan "moay” tanpa disadarinya gadis itu terpekik perlahan. "Ai !” terdengar pekikan tertahan meluncur dari gadis itu.

Akhirnya Kiam Ciu tahu juga. Bahwa benar-benar gadis itu telah mencintainya. Terbukti dengan perawatan, pertolongan yang selalu diberikan padanya. Seolah-olah Kiam Ciu merasa bersalah besar karena dia selalu menyia-nyiakan gadis itu. Maka mulailah luntur benteng pertahanannya yang dia hanya mencintai Tong Bwee. Sesaat itu benar-benar telah mengambil keputusan. Kiam Ciu tidak sampai hati untuk menyia-nyiakan cinta kasih gadis itu. Cit Sio Wie sebenarnya akan melepaskan diri dari pandangan Kiam Ciu.

Namun pemuda itu memegang bahunya dengan erat genggaman tangan pemuda itu bertambah erat. Akhirnya sesuatu yang sama sekali tidak terduga tetapi selalu diharapkan telah terjadi. Cit Sio Wie terperanjat tetapi senang ketika bibir Kiam Ciu mengulum bibir gadis itu. Suatu reaksi yang datangnya dengan tiba-tiba ialah seolah-olah Cit Sio Wie menolak pelukan pemuda itu. Tetapi akhirnya dia menyerah dengan perasaan penuh gelora.

Saat itu Kiam Ciu telah memberikan kasih sayangnya kepada Cit siocia.

Bahagialah hati Cit Sio Wie menerima curahan kasih sayang Tong Kiam Ciu itu.

Pemuda yang selalu dikejar-kejarnya, pemuda yang telah dicintainya. Kini segala rindu dendam dan kasih sayang serta kerisauan hati telah terobatkan.

Kiam Ciu juga tidak merasa menyesal telah meninggalkan adiknya yang sangat dicintai ialah Tong Bwee karena dia juga tahu apa artinya kasih sayang ini.

Senja telah terhimpit malam dan di cakrawala masih tetap merah lembayung. Sedangkan burung-burung tetap berkicauan mencari tempat untuk berteduh. Awan berarak tertiup angin. Angin bertiup menimbulkan suara bagaikan siulan panjang, seolah-olah suara itu menyayat hati dan merisaukan perasaan. Namun Kiam Ciu dan Cit Sio Wie telah bergandengan tangan dan tangan mereka saling menggenggam. Sedangkan pandangan mereka memandang jauh kedepan. Bibir Cit Sio Wie tersenyum-senyum puas. Seolah-olah mereka berdua telah mendapat kemenangan. Namun Kiam Ciu juga tersenyum karena dia tidak merasa sebagai orang yang dikalahkan.

"Tong Ko, kukira kalau kau akan ke kota Pek-seng itu menunggu dulu sampai akhir tahun ini. Pada akhir tahun ibuku pasti pulang, aku bermaksud perjodohan kita ini direstui ibu sekalian kau akan kuperkenalkan dengan ibu” usul Cit Sio Wie sambil memandang wajah Kiam Ciu penuh harap.

Mau tak mau Kiam Ciu harus menganggukkan kepala juga. Ternyata Kiam Ciu tidak dapat menolak lagi segala permintaan Cit Sio Wie. Karena pemuda itu telah merasakan betapa kasih sayang yang telah diberikan oleh gadis itu kepadanya. Maka karenanya Kiam Ciu tidak menginginkan untuk menyakitkan hati gadis itu. Maka kini mereka berdua bersama-sama menuju ke rumah. Mereka berkejaran, seperti anak kecil. Tertawa dan berlari-lari. Sio Cin dan Peng Nio memandangi kedua muda-mudi yang sedang asyik dan bergembira itu. Mereka menyaksikan dengan rasa senang dan terharu sekali.

Mereka itu adalah orang-orang yang selalu memanjakan dan melayani segala kemauan Cit Sio Wie dengan penuh sayang.

Namun Kiam Ciu dan Cit Sio Wie tidak menyadari kalau mereka selalu diperhatikan oleh Sio Cin dan Peng Nio. Karena kegembiraan yang menyelubungi mereka itu. Mereka bergurau bagaikan anak kecil.

Ketika bahwa telah menjadi dingin, maka Kiam Ciu telah membopong Cit Sio Wie masuk kedalam ruangan tamu sambil mendorong pintu depan.

"Ha ha ha ha. Kan kenal Tong Ko!” seru gadis itu sambil menekan hidung Kiam Ciu dengan ujung jari telunjuk.

Mereka berdua tampak sangat gembira. Kiam Ciu tertawa-tawa dan berdiri dibelakang kursi panjang yang diduduki Cit Sio Wie. Karena mereka sedang gembira dan selama ini baru saat itu Sio Cin dan Peng Nio menyaksikan putri majikannya itu dapat bergembira. Maka mereka itu tanpa disadarinya telah menitikkan air mata karena rasa haru dan gembira.

Begitulah mulai saat itu Kiam Ciu telah mencurahkan kasih sayangnya kepada Cit Sio Wie dengan sepenuh hati. Semua pikirannya yang berat-berat telah dibuangnya jauh-jauh. Walaupun demikian dia telah tidak akan melalaikan tugasnya. Dia harus menemukan Ciam Gwat dan menunaikan tugasnya, ialah membalas dendam dan sakit hati orang tuanya serta saudara-saudaranya Sio Cin yang setia telah menyediakan minuman dan hidangan sore di kamar Cit Sio Wie, Karena dayang itu tahu bahwa mereka pasti menginginkan saatsaat kegembiraan itu jangan sampai terganggu.

Saat itu adalah hari-hari yang paling bahagia bagi Cit Sio Wie karena dia telah mendapatkan suatu kenyataan bahwa Kiam Ciu dapat menanggapi isi hatinya dan telah pula memberikan suatu imbangan cintanya. Maka keduanya kini telah terlibat dalam suatu permainan hati dan cinta asmara.

Sesuai dengan hawa yang dingin dan suasana yang syahdu saat itu.

Gemerisiknya angin meniup dedaunan serta gemuruhnya hati kedua remaja itu dalam pertemuan yang telah begitu masak. Kiam Ciu memandang wajah Cit Sio Wie dengan sorot mata tajam penuh arti. Gadis jelita yang kemanja-manjaan itu tersenyum. Manis sekali senyumannya itu. Sepasang bibirnya yang merah dan pipinya yang tampak semburat merah sampai ketelinganya, menandakan kalau gadis itu sedang dipengaruhi oleh suatu kegairahan.

"Kita harus menunggu sampai ibu dalang” bisik Cit Sio Wie.

"Hemm, apa yang akan kau katakan pada ibumu ?” tanya Kiam Ciu.

"Aku akan mohon idzin ibu untuk perkawinan kita” jawab Cit Sio Wie dengan senyum menggairahkan. Suasana menjelang tahun baru sangat berlainan dengan hari-hari biasa.

Walaupun bagaimana dan ditempat yang sesepi seperti di desa Cit Wi sekalipun, tampak juga suasana kemeriahan itu. Karena Peng Nio dan Sio Cin telah membuat keadaan dalam rumah itu benar-benar berubah dan bertambah semarak. Dengan hiasan lampion berwarna warni dan bermacam-macam bentuknya. Kiam Ciu dan Sio Wie tampak bergembira pula. Mereka belum pernah segembira saat itu. Maka ketika dua pelayan itu menyaksikan kegembiraan Cit Sto Wie dan Tong Kiam Ciu merekapun merasa terharu.

Tiba-tiba ketika Cit Sio Wi mengangkat cawan dan akan meneguk arak untuk menghangatkan badan, matanya melihat ke jendela. Di kejauhan tampaklah sesosok tubuh yang sedang mendekati rumah itu.

"Oh, itu ibu telah datang!” seru gadis itu dengan gembira.

Cit Sio Wie telah meletakan mangkuknya dan mengempit tangan Kiam Ciu untuk diajak keluar. Pemuda itupun menurutkan saja tanpa mengeluarkan katakata. Hatinya berdebar dan gelisah dengan tiba-tiba. Apalagi ketika pandangan matanya bertemu dengan pandangan wanita yang baru datang itu, Hati Kiam Ciu seolah-olah tercekam dan mulutnya terbungkam.

"Ibu, putrimu menghatur sembah.” seru Sio Wie menyambut kedatangan ibunya dengan menghormat.

Kemudian gadis jelita itu menubruk dada ibunya dan mereka berdua anak dan ibu berpelukan saling mencurahkan rasa kerinduannya! Kerena biasa gadis itu dimanjakan oleh ibunya dan oleh siapa saja yang selalu didekatnya.

Pertemuan itu adalah pertemuan yang sangat mengenangkan bahkan mungkin yang paling menyenangkan saat itu.

"lbu maafkan putrimu ingin memperkenalkan seoraag pemuda pada ibu”

bisik Cit Sio Wie, gadis itu masih dalam pelukan ibunya.

Tetapi dengan pelukan ibunya terasa mengendor Sio Wie telah dilepaskan dari pelukan ibunya, tampaklah wanita itu memandang kearah Tong Kiam Ciu yang telah membongkokan tubuhnya menghormat, "Toug Kiam Ciu” berkata Cit Sio Wie kepada ibunya sambil tersenyum memperkenalkan kekasihnya itu.

"Bibi terimalah salam hormatku!” sambung Kiam Ciu seraya mengucapkan kata-katanya itu dengan sikap taklim.

"Hemmm, ya aku telah mengetahui banyak tentang namamu Tong Kiam Ciu.

Tetapi . . . "seru ibu Cit Sio Wie sambil memandang tajam kearah Kiam Ciu.

"Mengapa ibu?” tanya Cit Sio Wie heran.

"Aku telah mendengar banyak tentang namamu di kalangan Kang-ouw.

Kemudian aku menyelidiki tentang dirimu, sekarang kita telah bertemu disini”

kata-kata ibu Sio Wie belum selesai telah disahut oleh anaknya.

"Ibu mengapa kita tidak omong-omong didalam saja. Hawa begini dingin?!”

usul Cit Sie Wie. "Hemmm, apakah kau mencintai dia?” tanya ibunya sambil memandang putrinya kemudian memandang wajah Kiam Ciu.

Gadis jelita itu terkesima malu dan memandangi ujung sepatunya sambil mempermainkan jari-jemari tangan, kemudian tersenyum matanya memancarkan sinar penuh arti.

"Aku tidak setuju!” seru ibu Sio Wie dengan suara lantang.

Cit Sio Wie terperanjat mendengar kata-kata ibunya itu. Gadis itu akan mengejar dan menubruk ibunya yang telah membelakangi mereka dan melangkah akan memasuki rumah.

"Ibu!” seru Cit Sio Wie.

Tetapi ibunya memutar tubuh lagi dan memandang kearah putrinya kemudian memandang kearah Kiam Ciu seraya mendamprat dengan suara serak dan bergetar. "Lupakan dia, dan suruh pergi.” seru wanita itu dengan suara lantang dan memutar tubuh lagi untuk kemudian melangkahkan kaki.

"Ibu, aku mencintai Ciu koko sepenuh hati!” seru Sio Wie sambil memburu ibunya. "Suruh pergi dia.” seru ibunya tanpa menggubris lagi kata-kata dan seruan Cit Sio Wie, Gadis itu jadi bingung menerima kenyataan dan perkataan ibunya itu. Hatinya tercekam dan bingung. Dipandangnya Tong Kiam Ciu kemudian memandang kearah ibunya yang telah memasuki rumah.

Dalam kegelisahan itu Kiam Ciu telah menghampirinya.

Baru kali itu Kiam Ciu mendapatkan hinaan yang sangat sedih. Sama sekali dia tidak mengetahui apa sebabnya ibu Sio Wie begitu benci kepadanya.

"Sudahlah Wie moay, kau jangan membuat suatu keretakan dengan ibumu”

bujuk Kiam Ciu sambil membelai rambut gadis itu.

"Tidak! Aku.. . Aku harus dapat melunakan hati ibu!” seru gadis itu sambil memandang kearah pintu rumahnya dan akan melangkah.

Tetapi Tong Kiam Ciu menahan dengan menggenggam tangan gadis itu.

Kemudian Sio Wie memalingkan wajahnya dan memutar tubuh menghadap Tong Kiam Ciu. "Cit Sio Wie!” bisik Tong Kiam Ciu sambil menarik lengan kanan gadis itu.

Sio Wie terdorong kedepan dan merebahkan tubuhnya kedada Tong Kiam Ciu sambit menangis. Pemuda itupun mendekapnya dengan mesra dan membelai rambut sambil membujuk.

"Sio Wie, tenangkan pikiranmu” bisik Tong Kiam Ciu halus.

"Oh, Ciu Ko, bagaimana sekarang?” bisik Sio Wie putus asa.

"Rupa-rupanya ibumu memang tidak menyukaiku.” sambung Kiam Ciu.

"Tidak ! Dia harus menyetujui perjodohan kita !” seru Sio Wie dengan suara lantang dan melepaskan dekapan Kiam Ciu.

"Mengapa kau marah padaku Wie moay ?” tanya Kiam Ciu.

"Aku tidak marah padamu, tetapi aku.. aku... oh.. .” jawab gadis itu dan tampak bingung sekali. Cit Sio Wie menarik tangan Tong Kiam Ciu untuk diajaknya masuk dan menemui ibunya didalam. Tetapi belum lagi mereka melangkah tiba-tiba terdengar ibu Cit Sio Wie membentak.

"Tong Kiam Ciu! Aku harapkan kau lekas menyingkir dari hadapanku!”

"Tidak! Jangan !” seru Cit Sio Wie. "lbu, mengapa ibu begitu kejam menghancurkan hati anakmu? Kau telah mengatakan bahwa aku bebas untuk menentukan perjodohanku sendiri, tetapi sekarang kenyataannya kau menghalangi hubunganku dengan Ciu Ko.” seru gadis itu selanjutnya dengan suara yang rawan kedengarannya.

"Diam kau atau pemuda itu kuhancurkan kepalanya !” bentak ibunya.

Tong Kiam Ciu sebenarnya merasa tersinggung perasaannya. Tetapi karena wanita itu adalah ibu Sio Wie, sedangkan gadis itu telah banyak berjasa dan diapun telah mulai menyintainya, maka dengan menekan rasa marahnya Tong Kiam Ciu menutar tubuh akan meninggalkan tempat itu.

"Sio Wie moay.. .” hanya itu kata-kata yang terucapkan dari mulut Tong Kiam Ciu. "Tong Kiam Ciu! Jangan tinggalkan aku!” seru Sio Wie dengan suara yang menyayat hati kedengarannya. Gadis itu mengejar Kiam Ciu.

"Sio Wie, sudahlah turutilah nasehat ibumu. Aku memang orang yang tidak berharga dan tidak setimpal menjadi sisihanmu.. . .” jawab Tong Kiam Ciu membujuk gadis itu. "Tidak, aku akan ikut kau!” kata-kata Sio Wie terucapkan dengan suara yang sangat memelas. Dilain pihak Sio Cin dan Peng Nio menyaksikan kejadian itu dengan hati terharu dan mereka meneteskan air mata. Maklumlah mereka sangat menyayangi Cit Sio Wie dan selalu memanjakan gadis itu, dengan demikian perasaan mereka sangat hanyut karena derita yang sedang dialami oleh Sio Wie. "Sio Wie minggir ! Atau kalian berdua kubinasakan !” seru ibu Sio Wie.

"Lebih baik bunuhlah kami berdua ibu !” seru Sio Wie menantang ancaman ibunya. "Sio Wie ! Sejak kapan kau berani menentang ibumu ?” bentak wanita itu dengan suara lantang dan matanya merah membara karena marah.

"Terserah apa yang akan ibu katakan terhadap diriku ! Aku sangat mencintai Tong Kiam Ciu dengan sepenuh hati !” seru Sio Wie sambil memeluk lengan pemuda itu. Tong Kiam Ciu tampak bengong. Dipandanginya Cit Sio Wie, kemudian memandang kearah ibunya dan kepada dua orang pembantu rumah itu.

Bimbang hatinya, karena Kiam Ciu masih mencintai Ji Tong Bwee, bayangan wajah gadis itu yang saat itu membayang terang dikelopak matanya. Dia raguragu.

"Hey Tong Kiam Ciu, apakah kau benar-benar menyukai anakku ?” tanya ibu Sio Wie dengan suara lantang dan nyaring.

Lama juga Tong Kiatn Cm diam dan hanya menundukkan kepala. Tetapi dia ketika mengangkat wajahnya dan matanya bertemu pandang deagan mata ibu Sio Wie, Tong Kiam Ciu berdebar hatinya.

"Ya !” hanya itu jawabannya, singkat dan tegas.

"Kau juga menyintai pemuda ini Sio Wie ?” tanya wanita itu kepada anaknya sambil menuding kearah Tong Kiam Ciu.

Cit Sio Wte mengangguk sambil menempelkan tubuhnya kebahu Tong Kiam Ciu. Sedangkan Tong Kiam Ciu memegang bahu gadis itu hingga keduanya tampak saling berhimpitan bahu.

"Aku melarangnya dan sama sekali menentang perjodohan ini !” bentak wanita itu dengan suara lantang dan marah.

"Ibu !” seru Sio Wie dengan suara lantang pula.

"Sio Wie kau minggir ! seru ibunya dengan suara keras membentak "Ibu mengapa ibu begitu kejam ? Aku menyintai Tong Kiam Ciu, apapun yang akau terjadi !” seru Sio Wie dengan suara pasti.

"Tidak! Kau harus binasa!” seru ibu Sio Wie sambil mengirimkan pukulan maut kearah Tong Kiam Ciu.

Tetapi Tong Kiam Ciu berhasil mengelak hingga pukulan itu meleset mengenai tempat kosong, Namun ketika wanita itu akan mengulangi perbuatannya, tiba-tiba Sio Wie telah meloncat menghalangi.

"Jangan!” seru gadis itu sambil membantingkan kedua tangannya.

"Sio Wie minggir!” seru wanita itu seraya mengayunkan tangan kanannya dan menotok urat dibahu dan leher Sio Wie.

Tanpa menjerit, gadis itu lelah jatuh terduduk dengan tubuh lemas karena terkena totokan. "Enyahlah dari depanku sebelum aku menurunkan tangan kejam padamu!”

seru wanita itu Kepada Kiam Ciu.

Tetapi Kiam Ciu tidak menggubris peringatan itu. Tong Kiam Ciu meloncat menghampiri Sio Wie dengan maksud akan menolongnya.

"Wie moay!” seru Kiam Ciu.

Tetapi tiba-tiba terdengar suara angin pukulan menderu mendampar Kiam Ciu. "Wut! "Kiam Ciu menangkisnya dengan lengan tangan kanan dan terlempar beberapa tombak jauhnya. Karena merasakan bahwa tidak ada artinya menghadapi wanita itu maka Kiam Ciu melompat menjauhinya dan lari meninggalkan tempat itu. Dengan hati yang gundah Tong Kiam Ciu meninggalkan tempat yang selama sebulan lebih telah banyak berkesan dan berarti dalam hidupnya. Ditempat itu dia telah mendapat perawatan dari Sio Wie, ditempat itu dia telah mendapatkan arti kasih sayang dan ditempat itu pula hatinya telah dihancurkan oleh ibu gadis yang dicintai. Namun dia harus pergi dan harus menghindarkan kemungkinankemungkinan yang akan merugikan cita-citanya sendiri. Dia harus dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Harus dapat menunaikan tugas keluarganya membalas dendam terhadap musuh besar keluarganya.

Mengemban amanat suhunya.

Dengan ilmu meringankan tubuh dan mengetrapkan ilmu Cin-li-piauw-hong menuruni desa Cit Wi. Maka bagaikan terbang dengan cepat sekali Tong Kiam Ciu telah meninggalkan desa Cit Wi.

Beberapa saat kemudian tampaklah ibu Sio Wie juga mengejar. Tetapi belum seberapa jauh dia telah berhenti dan memperhatikan kelebatan bayangan Tong Kiam Ciu yang telah lenyap dibalik bayangan pepobonan yang gelap.

Tujuan utama Tong Kiam Ciu ialah menuju ke perbatasan propinsi Yunan.

mendaki pegunungan Tiam-cong-san. Dihalaukannya kepedihan hati yang memepatkan pikirannya itu. Dia telah bertekad untuk menemui seorang pertapa sakti di puncak Jit-liauw-hong. Karena dengan menemui pertapa tua itu dia akan mendapatkan suatu keterangan yang berharga. Keterangan ciri-ciri orang yang selama ini dicarinya sebagai musuh besarnya.

Ketika Tong Kiam Ciu merasa badannya sangat payah maka pemuda itu lalu istirahat di bawah sebatang pohon besar dan dari lembah telah bertiup angin kencang sekali. Terasa amat dingin dan tiupan angin itu begitu kencang bagaikan menyayat kulit wajah Tong Kiam Ciu.

Tubuh Tong Kiam Ciu menggigil karena dingin, digosok-gosokannya sepasang tapak tangannya untuk menimbulkan rasa hangat. Seolah-olah tangannya menjadi beku karena kedinginan. Ketika dia telah menggosokkan kedua tapak tangannya itu terasalah kebekuan itu menjadi hilang dan hangat perasaannya. Tiba-tiba Kiam Ciu dikejutkan dengan suara gemerisiknya daun terpijak. Maka Kiam Ciu memasang kewaspadaannya dan berdiri untuk menghadapi segala kemungkinan. Suara gemerisik itu bertambah dekat dan Kiam Ciu telah bertambah waspada. Ketika suara itu telah dekat benar, maka terasalah suara angin menerpanya.

Kiam Ciu telah siap siaga menghadapi serangan. Tetapi ketika dia menyaksikan kelebatan sebuah bayangan lewat samping tubuhnya, tetapi bayangan itu tidak menyerangnya. Bahkan menegurnya dengan suara lantang dan ramah sekali "Tong Siauwhiap. Aku khawatir kalau tidak dapat menyusulmu!” seru sosok tubuh itu yang tiada lain adalah Sio Cin.

Walaupun Tong Kiam Ciu dalam keadaan kalut, tetapi ketika berhadapan dengan Sio Cin tersenyum juga.

"Oh, kau, kukira.. .!” seru Tong Kiam Ciu.

"Tons siauwhiap, aku telah mengikuti jejakmu untuk menyampaikan biji Cusik padamu!” seru Sio Cin sambil mengangsurkan sebuah bungkusan kecil kepada pemuda itu. "Biji Cu-sik? Dari mana kau mendapatkannya ?” tanya Kiam Ciu.

"Dari Cit siocia” jawab Sio Cin.

"Cit Sio Wie? Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Kiam Ciu dengan suara gugup dan tangannya menerima bungkusan biji Cu-sik.

"Ibunya memang kejam, Cit siocia dalam keadaan tertotok lumpuh dan ketika dia teringat apa yang kau butuhkan untuk mendapatkan kitab Pek-seng-ki-su maka Cit siocia lalu menyuruhku untuk mengambil biji Cu-sik itu dan untuk diserahkan kepadamu” sambung Sio Cin sambil menunduk dan wajah dayang setia itu tampak sayu. "Lalu bagaimana sekarang keadaan Cit siocia?” tanya Kiam Ciu.

"Entahlah, aku tidak yakin benar keadaannya, Ketika kuterima biji Cu-sik maka aku segera pergi mengejarmu” jawab Sio Cin dan tiba-tiba saja wajah dayang setia itu tampak gelisah.

"Mengapa kau tampaknya begitu gelisah” kata Kiam Ciu.

"Lekaslah kau menyingkir, dan pergilah ke kota Pek-seng untuk menolong cucu Gan Hua Liong!” berkata gadis pelayan itu.

"Ya, tetapi.. Cit Sio Wie bagaimana keadaannya? Apakah pantas aku harus pergi pada saat dia dalam keadaan menderita?” sambung Tong Kiam Ciu tampak bimbang. "Sudahlah! Kau pergi dulu, Cit siocia serahkan saja kepada kami! Kau harus menunaikan tugasmu dulu!” seru Sio Cin menganjurkan kepada Tong Kiam Ciu.

Tanpa berpikir panjang lagi Tong Kiam Ciu telah memutar tubuh dan bermaksud untuk pergi meninggalkan Sio Cin. Tetapi tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang membentak Sio Cin.

"Sio Cin pantas kelakuanmu ya ?!” terdengar suara menegur pelayan setia itu. Baik Sio Cin maupun Tong Kiam Ciu telah mengenal dengan baik suara itu yang tiada lain adalah suara ibu Cit Sio Wie. Saat itu wajah Sio Cin tampak memucat. Pelayan itu telah dapat memastikan bahwa umurnya tidak panjang lagi. Dia akan binasa ditangan ibu Sio Wie. Karena memang wanita itu bersifat kejam sekali. "Sio Cin apa yang kau perbuat ?” bentak wanita itu dengan suara lantang dan matanya bersinar tajam dan membara.

Namun Sio Cin membisu, gadis pelayan itu menundukkan mukanya tanpa memberikan jawaban. Karena menurut pikiran gadis pelayan itu dijawab ataupun tidak akibatnya sama saja. Dia harus mati! Itu sudah menjadi peraturan dan Sio Cin paham benar dengan watak ibu Sio Wie.

"Tong Kiam Ciu, insyapilah bahwa kedatanganmu dikeluargaku kau membawa bencana maka tak ada jalan lain bagiku kecuali hanya untuk membinasakan dirimu dan tanpa ampun lagi” seru wanita itu dengan suara lantang dan menuding-nuding kemuka Tong Kiam Ciu.

Wajah Tong Kiam Ciu menjadi panas, kini dia merasa dirinya terlalu mendapat hinaan dari wanita itu, tanpa mengingat bahwa wanita itu adalah ibu Sio Wie maka Tong Kiam Ciu telah naik pitam. Sikap berdirinya telah berubah dan sepasang tangannya telah tergenggam disisi tubuh dan matanya bersinar.

Dengan tatapan pasti Tong Kiam Ciu memandang kearah ibu Sio Wie.

"Aku dan bibi belum pernah bertemu tiada ikatan permusuhan diantara kita, tetap mengapa bibi begitu berhasrat untuk membunuhku dan tampaknya sangat benci ?” tanya Tong Kiam Ciu dengan kata-kata yang masih sopan dan teratur.

"Karena aku ingin membinasakanmu!” bentak wanita itu masih menyembunyikan alasan-alasannya yang tepat.

"Kalau memang aku mempunyai kesalahan. maka aku rela dibunuh tanpa melawan, tetapi jelaskanlah dulu kesalahan yang manakah ?” desak Tong Ciu.

"Baiklah, kau dengar baik-baik dan bersiap-siaplah untuk kukirim ke akherat!”

seru wanita itu dengan berkecak pinggang dan mata bercahaya memandang Tong Kiam Ciu. Baik Tong Kiam Ciu maupun Sio Cin terdiam. Bahkan Sio Cin tampak sangat ngeri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpa diri Tong Ktam Ciu. Untuk membela Tong Kiam Ciu diapun rela berkorban demi keselamatan orang budiman itu. Segala sepak terjang dan kebaikan Tong Kiam Ciu telah banyak disaksikan dan didengar oleh Sio Cin. Gadis pelayan itu menaruh hormat kepada pendekar muda itu bukan saja karena Tong Kiam Ciu adalah kekasih majikannya tetapi karena keluhuran budi pemuda itulah maka Sio Cin rela berkorban pula demi keselamatan Tong Kiam Ciu. Maka seandainya sampai terjadi sesuatu akan membantunya.

"Sebenarnya sejak aku mendengar namamu, aku telah menyelidikinya hingga sampai dimana kehebatanmu. Kau sebenarnya adalah orang yang harus kubinasakan karena kau.. .” belum selesai kata-katanya itu tiba-tiba terdengar suara orang mendekati dan wanita itu menghentikan kata-katanva.

Perhatian wanita itu beralih kepada orangyang baru datang. Beberapa saat kemudian telah tampak dua bayangan melesat dan tahu-tahu yang seorang telah menubruk Tong Kiam Ciu.

"Ciu Ko bawalah aku serta !” serunya dan ternyata yang menubruk Tong Kiarn Ciu itu tiada lain adalah Cit Sio Wie.

Ketika Peng Nio atau ibu pengasuh Cit Sio Wie menyaksikan peristiwa itu hatinya merasa sedih dan tercekam. Wanita pengasuh itu merasa terharu atas peristiwa yang menimpa diri Cit Sio Wie. Memang Peng Nio bukanlah ibu kandung gadis itu, tetapi sejak kecil dia telah mengasuhnya dengan penuh kasih sayang maka serasa bagai anak kandungnya. Cit Sio Wie selalu dimanjakan dan tak pernah dikecewakannya.

"Peng Nio ! Apa ini ?” seru ibu Sio Wie dengan mata melotot menyaksikan Cit Sio Wie didalam dekapan Tong Kiam Ciu.

"Biarlah puterimu pergi bersama pemuda yang dicintainya, kalau memang kau tidak ingin melihatnya dia berbahagia !” jawab Peng Nio.

Peng Nto adalah wanita yang berparas cantik juga. Dia telah bertahun-tahun mengikuti ibu Cit Sio Wie karena mengasuh Cit Sio Wie yang masih bayi, masih menyusui. Sedangkan ibu Cit Sio Wie selalu bepergian dan pulangnya dapat dikatakan hanya tiap tahun baru saja, maka Peng Nio merasakan seolah-olah Cit Sio Wie sebagai puteri kandungnya. Segala penderitaannya adalah penderitaan ibu pengasuh itu juga. Karena kasih sayangnya yang begitu mendalam. "Peng Nio kau tahu apa ? Ini adalah urusanku !” bentak wanita itu dengan marah. "Benar Cit Sio Wie adalah puterimu, kau yang melahirkannya, tetapi siapa yang mengasuhnya hingga sebesar ini ? Aku yang bersusah payah dalam keadaan apapun, kau tidak mengetahuinya dan tidak pernah membelainya. Kini kau akan menimpakan kekejaman padanya! Biarlah dia mengenyam kebahagian, hidup berbahagia bersama kekasihnya dan kita orang merestuinya” berkata Peng Nio. "Diam kau!!” sambil membentak ibu Cit Sio Wie meloncat menerjang Tong Kiaui Ciu. Namun Tong Kiam Ciu telah waspada pemuda itu dengan mendorongkan Cit Sio Wie kesamping dapat terhindar dari terkaman ibu Sio Wie.

"Tong siauwhiap bawalah Cit Sio Wie pergi menyingkir!” seru wanita pengasuh itu sambil melemparkan buntalan kearah Tong Kiam Ciu.

"Apa?” bentak ibu Cit Sio Wie sambil mengirimkan hantaman kearah Kiam Ciu. Untung Tong Kiam Ciu sambil melemparkan tubuh menyandak bungkusan dan sekaligus menghindari serangan ibu Sio Wie. Kemudian bersiap-siap untuk menghadapi berikutnya. "Tong siauwhiap lekaslah pergi jangan layani!” seru Peng Nio.

Begitu pula Cit Sio Wie tampak meraih tangan kanan kekasihnya dan mengapitnya diajak pergi. Namun pemuda itu masih ragu-ragu dan memandang kearah ibu Cit Sio Wie. Karena dia masih merasa heran mengapa ibu Cit Sio Wie begitu membencinya bahkan hingga rela bertindak kejam terhadap puterinya sendiri. Puteri tunggal yang selalu dimanjakannya itu.

"Ibu mengapa kau terlalu kejam? Baiklah kalau memang ibu telah merelakan”

seru gadis itu dengan suara penuh haru.

"Cit Sio Wie. kalau kau nekad aku rela kehilangan anak !” seru wanita itu saking marahnya. Sebenarnya Tong Kiam Ciu merasa bingung menghadapi kenyataan itu. Dia tidak ingin kekasihnya menjadi seorang durhaka. Maka sekali lagi Tong Kiam Ciu membujuk kekasihnya untuk kembali kepada orang tuanya.

"Wie moay, baiklah kau turutkan nasehat ibumu, mungkin kita memang tidak berjodoh . . . . . “ bujuk Tong Kiam Ciu.

"Tidak ! Aku lebih baik mati daripada harus berpisah dengan Ciu-ko !” seru Cit Sio Wie dengan suara lantang dan pasti.

"Gara2 kau!” seru ibu Cit Sio Wie berbareng kata-katanya itu dia telah mengirimkan hantaman kearah Tong Kiam Ciu.

Sekali lagi Tong Kiam Ciu berhasil menghindar. Namun kini tampaklah kemarahan wanita itu telah memuncak. Dari sinar matanya telah dapat diterka, karena sorot matanya tajam kearah Tong Kiam Ciu. Ibu pengasuh Cit Sio Wie waspada dan tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh ibu Cit Sio Wie itu. Maka wanita pengasuh itu telah siap-siap pula untuk menjaga segala kemungkinan.

Saat itu dengan gerakan cepat ibu Cit Sio Wie telah meloncat dan mengirimkan pukulan maut dengan ilmu Hian-hiong-kong-ki melesat sangat cepat dan berhawa panas. "Tong Siauwhiap menyingkir! Aduh.” terdengar seruan lantang dan pengasuh setia itu dan suaranya tertahan dengan keluhan. Kemudian tampaklah wanita pengasuh itu terjatuh dan tidak berdaya dan memuntahkan darah.

"Nai Ma!” seru Cit Sio Wie akan menubruk tubuh wanita yang terkapar mandi darah itu, namun Kiam Ciu menariknya.

"Kau mau pergi kemana ?!” seru ibu Cit Sio Wie dan bermaksud akan mengirimkan jotosan lagi kearah Tong Kiam Ciu.

Namun ketika wanita itu meloncat tiba-tiba Sio Cin telah meloncat pula untuk menerkam dan menahan ibu Cit Sio Wie.

"Lekaslah kalian lari dan menyingkir jauh dari tempat ini!” seru pelayan setia yang selalu mengikuti kemana saja Cit Sio Wie pergi.

Sio Cin telah dapat menahan ibu Sio Wie sampai beberapa saat lamanya dengan jalan memeluk kaki wanita itu. Sedangkan Tong Kiam Ciu serta Cit Sio Wie telah membulatkan tekad untuk meninggalkan tempat itu. Walaupun hatinya merasa sangat sedih dan ngeri menyaksikan peristiwa itu. namun demi untuk keselamatan dan karena Tong Kiam Ciu masih harus menyelesaikan banyak tugas maka dengan menyingkirkan segala perasaan itu mereka meninggalkan lereng gunung dekat desa Cit Wie itu.

Mereka berdua telah meninggalkan kedua orang yang seiia. Dua orang yang telah mencurahkan segala perhatian dan kasih sayangnya kepada Cit Sio Wie.

Mereka telah memanjakan dan telah memberikan segala kasih sayang kepada Cit Sio Wie. Selama bertahun-tahun telah bersama. Betapa berat rasa hari Cit Sio Wie sebenarnya untuk berpisah dan meninggalkan begitu saja kedua orang yang telah banyak pengorbanan itu.

Tetapi karena memang cintanya terhadap Tong Kiam Ciu begitu dalam, akhirnya semua sama lalunya bahkan ibunya sendiri dia telah rela untuk meninggalkannya. "Mulai hari ini aku bukan putri ibu lagi!", seru Cit Sio Wie sambil memandang ibunya yang masih kalap dan kakinya masih dipeluk oleh Sio Cin dengan erat.

Sio Cin sebenarnya berilmu sangat lihay setarap dengan ilmu Cit Sio Wie.

Maka tidaklah mengherankan kalau untuk sementara dia dapat menahan ibu Sio Wie yang kejam dan berilmu lihay.

Kesempatan itu telah dipergunakan oleh Tong Kiam Cin untuk menarik pergi kekasihnya. Kini tanpa ragu-ragu lagi Tong Kiam Ciu membawa Cit Sio Wie berlalu dari desa Cit Wie. Karena Tong Kiam Ciu telah menyadari betapa besarnya cinta Cit Sio Wie terhadap dirinya.

Dengan mengembangkan ilmu Cin-li-piauw-hong. Tong Kiam Ciu dan Cit Sio Wie telah kabur dari hadapan wanita kejam itu. Mereka tanpa memperdulikan lagi apa yang telah terjadi kemudian. Begitu pula telah memepatkan hati untuk melupakan Peng Nio dan Sio Cin. kenapa mereka menghendaki pengorbanan mereka untuk Tong Kiam Ciu dan Cit Sio Wie agar mereka tetap dapat mengurus perjodohannya. Sampai beberapa lamanya Tong Kiam Ciu dan Sio Wie berlari-lari menjauhi desa Cit Wie menuju kepegunungan Tiam-cong-san. Dengan tiada menghiraukan rasa lelah dan dahaga. Mereka berusaha untuk lari sejauh-jauhnya. Suatu keanehan pula, ternyata ibu Sio Wie tidak tampak mengejarnya. Mungkinkah telah dapat ditundukan oleh Sio Cin? Tong Kiam Ciu memandang wajah Cit Sio Wie. Namun gadis itu tersenyum dan belum memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia merasa lelah.

Maka Tong Kiam Ciu menggamit tangan gadis itu dan mereka berdua bagaikan sepasang burung Hong yang sedang beterbangan dan memadu asmara di pegunungan yang berhawa dingin itu. Mereka beterbangan dan melayang-layang dengan pesat sekali. Hanya kadang-kadang mereka berjalan biasa dan bergandengan tangan.

Begitulah selama setengah bulan mereka terus berjalan mengelilingi pegunungan Tiam-cong-san yang berpuncak sebanyak lima belas buah dan tinggi-tinggi itu. Mereka tanpa lelah-lelahnya mencari pertapa tua yang bergelar Kim-leng-ji-su. Untuk mencari puncak Jit-liauw-hong ternyata tidak mudah.

Ternyata selama beberapa hari mereka mengelilingi dan mendaki puncakpuncak yang terdapat disitu belum juga menemukan orang yang dicarinya itu.

"Adik Cit Sio Wie, selama setengah bulan kita berjalan terus menerus tanpa lelah tetapi mana puncak Jit-liauw-hong yang didiami oleh Kim-leng-ji-su ?” katakata itu terucapkan oleh Kiam Ciu ketika mereka berdua sedang beristirahat.

Setelah mereka merasa lelah dan beristirahat dibawah sebatang pohon besar yang rindang. Dari Pauw-hoknya telah dikeluarkan bekal makanan kering.

Mereka makan sedikit dan minum secukupnya, terasalah pulih kembali tenaganya. Saat itu siang yang sunyi, musim dingin dan angin deras berhembus dari lembah. Walaupun matahari tidak tampak namun terang tampaknya.

"Ya, kita harus sabar tetapi aku yakin bahwa kita tidak lama lagi pasti dapat menemukan tempat yang Ciu Ko cari itu” bisik Cit Sio Wie dengan senyum.

"Semoga, tetapi apakah kau tidak kesal dan menyesal bersamaku. Kau terlalu banyak menderita karenaku Wie moay” bisik Tong Kiam Ciu dengan suara yang dalam. Dipandanginya wajah Cit Sio Wie, hati Tong Kiam Ciu merasa haru menyaksikan keadaan gadis yang sangat mencintai dirinya itu. Betapapun keras hati Kiam Ciu, namun menyaksikan ketulusan dan pengorbanan Cit Sio Wie yang telah melepaskan ikatan keluarga ibunya demi cintanya kepada Tong Kiam Ciu.

"Hemmm, maafkan aku Wio moay". bisik. Tong Kiam Ciu.

"Ciu Ko, aku merasa bahagia kalau kau mencintaiku dengan benar-benar”

tukas Cit Sio Wie. "Kau banyak menderita karenaku” bisik Tong Kiam Ciu.

"Akupun bahagia karenamu Ciu Ko” bisik Cit Sio Wie dan tersenyum malu.

Tiba-tiba telinga Tong Kiam Ciu yang tajam telah mendengar sesuatu suara yang mencurigakan. "Kau dengar suara kelintingan Wie moay?” bisik Tong Kiam Ciu. "kukira bunyi kelintingan mas!” bisik Tong Kiam Ciu.

"Kalan begitu kita tidak salah lagi, disinilah tinggalnya Kim Leng ji-su tidak jauh lagi !” seru Tong Kiam Ciu dan tampaklah kegembiraan yang membayang diwajah Kiam Ciu. "Ya!” seru Cit Sio Wie.

"Mari kita cari dari mana asal suara itu! "ajak Kiam Ciu seraya berdiri dan tangannya menggamit tangan kekasihnya.

"Hey siapapun yang berada disana yang membawa kelintingan tunggu! "seru Cit Sio Wie sambil mengerahkan ilmu Pan-yok-slm-im.

Setelah selesai dengan kata-katanya itu mereka segera mengembangkan ilmu meringankan tubuh dan lari cepat menuju kearah tempat dimana suara kelintingan itu berasal. Beberapa saat setelah mereka berlari-lari itu terlihatlah disuatu tanah datar dan disekitarnya batu-batu besar menonjol. Batu-batu cadas putih dan gersang itu begitu tinggi dan besar. Dua orang kakek yang masing-masing mengenakan jubah putih. Seorang berambut putih dan berjanggut putih pula. Rambutnya digelung diatas kepala, sedangkan yang seorang lagi seorang kakek dengan tubuh tegap tetapi kepalanya licin tandas dan tidak berjenggot. Ditangannya menggenggam kelintingan yang berkilau-kilauan tampaknya.

Kakek yang bergelung telah melancarkan sebuah serangan dengan meloncat dan mengirimkan tendangan tumit kearah lawannya itu. Lawan kakek itu telah terlonjak terpental dan jatuh. Tangannya yang menggenggam kelinting emas diangkat tetapi jatuh terduduk lagi. Dari mulutnya memuntahkan darah segar. "Keparat kau !” hanya itu yang diucapkan oleh si kakek Botak.

"Ha ha-ba kini kau telah tidak berdaya. Sebentar lagi kau akan binasa, Kimleng-ji-su, Karena kau yang kalah maka kau harus meninggalkan tempat ini dengan segera !” bentak kakek berambut putih dan tertawa sinis.

"Cepat-cepat bunuhlah aku !” seru si kakek botak dengan suara lantang pula.

"Untuk membunuhmu semudah membalikkan tangan, tetap biarlah kau merasakan bagaimana orang menderita menjelang kematian. Sekarang aku akan pergi dan besok pagi aku akan datang kesini untuk mengubur mayatmu.. !”

seru kakek berambut putih.

Tahu-tahu tubuh kakek itu telah melesat pergi bagaikan menghilang karena cepatnya bergerak dan ilmu ringankan tubuh yang sudah sempurna. Sedangkan Kim-leng-ji-su hanya memandangnya dengan napas terengah-engah dan ingin berusaha berdiri tetapi tubuhnya terasa telah begitu lemah hingga dia terjatuh lagi dan memuntahkan darah kental serta napasnya sesak.

Tong Kiam Ciu dan Cit Sio Wie meloncat menghampiri kakek botak yang tengah berjuang untuk mempertahankan hidupnya itu. Tetapi karena dia adalah seorang sakti yang telah puluhan tahun menjagoi kalangun dunia persilatan maka tidaklah tampak dengan jelas penderitaannya itu.

"Apakah locianpwee bernama Kim-leng-ji-su?!” tanya Kiam Ciu sambil berlutut si samping tubuh kakek botak.

Kakek yang tengah menderita luka dalam yang sangat parah itu memandang kearah Tong Kiam Ciu kemudian memperhatikan Cit Sio Wie. Dari bibirnya tampuk sekilas senyuman.

"Kau siapa dan dari siapa kau mengenal namaku?” tanya kakek itu.

"Namaku Tong Kiam Ciu. aku mengenal locianpwee dari Shin Kai Lolo” jawab Tong Kiam Ciu. Kakek yang masih menggeletak ditanah berbatu-batu itu terkatup bibirnya ketika mendengar nama Shin Kai Lolo itu. Dipandanginya wajah Tong Kiam Ciu.

Kemudian kakek menganggukikan kepala, sikutnya menahan tubuh yang masih menggeletak. "Oh jadi dia masih hidup?” tanya Kim-leng-jie-su.

"Ya” sambung Tong Kiam Ciu.

"Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya kakek botak bersemangat sekali tampaknya. "Dia titip salam buat locianpwee” sambung Tong Kiam Ciu sambil tersenyum memegangi bahu kakek itu untuk membantu mendudukkannya.

Setelah sejenak kakek itu bersemedhi dan mengatur peredaran darah. maka dia kembali berbicara : "Sebenarnya ada keperluan apa siauwhiap menemuiku? tanya kakek Kimleng-ji-su dengan suaranya yang sangat dalam dan berat.

"Aku mendapat keteiangan dari Shin Kai Lolo tentang seseorang tokoh persilatan yang maha lihay, teiapi ada hubungannya dengan locianpwee”

sambung Tong Kiam Ciu menjelaskan.

"Maksudmu?” kakek itu tidak paham dengan kata-kata Tong Kiam Ciu.

"Aku mempunyai musuh besar yang telah membinasakan seluruh keluargaku, ayah dan ibu serta saudara-saudaraku tetapi aku tidak mendapat keterangan yang jelas dari suhuku siapakah sebenarnya orang itu. Aku hanya mengetahui namanya saja ialah Ciam Gwat, keterangan lainnya aku tidak paham.

Menurut Shin Kai Lolo, Locianpwee mengetahui” kata-kata Kiam Ciu diucapkan dengan jelas disamping Kim-leng-ji-su.

"Ciam Gwat? "sambung kakek itu tampak terperanjat.

"Ya” jawab Tong Kiam Ciu singkat.

"Oh, kalau tentang dia.. . .” terdiam dan memandang kearah Cit Sio Wie, kemudian ia memandang lagi kepada Tong Kiam Ciu "Katakanlah padaku siapakah sebenarnya Ciam Gwat itu? Wie moay tidak apa-apa mendengarnya. kita akan segera mengikat tali perkawinan setelah tugasku selesai nanti!” seru Tong Kiam Ciu menjelaskan dan mendesak kakek tua itu untuk memberikan keterangan.

"Sebenarnya Shin Kai Lolo juga mengetahui benar tentang Ciam Gwat. namun dia takut kalau menyinggung perasaan orang, memang dia lalu menyuruhmu untuk menanyakan hal itu kepadaku” sambung Kim-leng-ji-su menjelaskan.

"Lekaslah katakan siapa sebenarnya Ciam Gwat itu!” tanya Kium Ciu tidak sabar. Sesaat suasana menjadi sepi. Tong Kam Ciu menantikan keterangan Kimleng-ji-su dengan hati berdebar. Walaupun kakek tua telah berusaha untuk mengatasi segala penderitaannya dengan sekuat tenaga.

Namun tampak sangat payah juga. Kiam Ciu merasa khawatir menyaksikannya "Baiklah, sebelum aku menerangkan tentang Ciam Gwat, aku akan menjelaskan dulu tentang sesuatu. Bukankah ayahmu bernama Tong Kiam Seng yang bergelar si Tinju besi?” tanya Kim-leng-ji-su.

"Ya benar” jawab Tong Kiam Ciu menganggukkan kepala.

"Dan gadis ayu itu bukannya puterinya tunggal Cit Cai Hui ?” tanya kakek gundul itu lagi. "Ya benar.” jawab Kiam Ciu.

"Sabarlah, untuk menghadapi Ciam Gwat memang sangat sukar. Wanita itu mempunyai ilmu yang sangat lihay. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, palingpaling hanya janji yang dapat kusanggupkan karena aku akan segera mati karena luka dalam yang kuderita ini . . . “ sambil berkata begitu kakek itu terbatukbatuk dan memuntahkan darah kental.

"Janganlah locianpvvee berkata begitu !” seru Kiam Ciu.

"Apa yang akan kukatakan padamu tentang diriku dalam keadaan bagini. Aku tidak lama lagi akan mati. Sekarang dengarkanlah sebuah kisah yang telah berlalu lebih setengah abad.” sambung Kim-leng-ji-su mulai memberikan harapan kepada Kiam Ciu. Lebih dari setengah abad yang lalu ada sepasang pendekar yang maha sakti.

Pendekar muda belia dan yang laki-laki tampan sedangkan yang perempuan jelita. Mereka telah banyak menundukan orang-orang sesat dengan ilmu mereka berdua yang sangat lihay tanpa tandingan. Sehingga mereka mendapat gelar Liong-Hong-Hiap-lu. Hidup mereka sangat rukun dan serasi sekali. Tampak bahagialah mereka itu. Namanya harum dikalangan Kang-ouw karena budinya yang mulia. Tiba-tiba datang suatu bencana, dengan munculnya seorang wanita jelita yang berilmu tinggi pula. Rupa-rupanya wanita itu mempunyai sifat yang tidak baik dan keji. Dia adalah wanita yang haus napsu sex, bahkan condong kearah napsu sex yang menggila. Tiada puasnya mencari korban pemuda napsunya.

Karena dia berkeyakinan bahwa orang-orang gagah atau para pendekar itu mempunyai tenaga yang hebat maka dia berkeyakinan kalau nafsunya dapat terputuskan kalau berhubungan dengan pendekar-pendekar itu.

Mulailah ramai dibicarakan orang kemunculan pendekar wanita itu yang mempunyai paras cantik jelita dan mempunyai hasrat sex yang berIebihlebihan. Wanita seperti itu memang idaman para hidung belang atau para pendekar yang memang berjiwa kotor. Tetapi mereka satu persatu telah berjatuhan dan ditendang begitu saja oleh wanita itu karena ternyata tiada seorangpun yang dapat mengalahkan keinginannya.

Setelah wanita jelita itu mendengar kalau ada sepasang pendekar sakti. Maka dia lalu mencoba menggodanya. Mula-mula si pendekar muda itu dapat bertahan, tetapi akhirnya jebol pula benteng pertahanannya. Mulailah pemuda gagah itu bentrok dengan istrinya dan lama-lama karena istrinya merasa tidak betah dan patah hati lalu ditinggalkannya suaminya yang telah berubah itu.

Hancurlah rumah tangga sepasang pendekar remaja itu. Hancurlah Liong-HongHiap-lu.

Wanita jelita dan pendekar muda itu telah membentuk suatu ikatan kekeluargaan. Mereka telah membangun sebuah rumah yang bagus dan mereka hidup bersama dalam rumah itu sebagai-suami-istri.

Mula-mula memang mereka hidup bahagia dan tenteram. Pasangan itu tampak serasi dan mereka sangat bahagia. Pendekar muda itu telah melupakan istrinya yang pertama dan kini telah lenyap. Pikirnya semuanya itu tidak penting lagi toh dia telah mendapatkan seorang wanita yang sangat jelita dan seribu kali lebih memuaskan dari pada istrinya.

Namun kebahagiaan itu ternyata tidak lama. Mulailah kebosanan wanita iblis itu timbul kembali. Dia telah berkenalan dengan seorang pendekar perkasa yang terkenal dengan gelar si Tinju besi bernama Tong Kim Seng ialah ayah Tong Kiam Ciu. Wanita itu terus menggoda Tong Kim Seng. Walaupun bagaimana hebatnya benteng pertahanan Tong Kim Seng namun akhirnya karena digoyahgoyah terus jebol juga.

Tong Kim Seng telah mulai berhubungan dengan wanita itu. Benar-benar wanita iblis itu telah dapat menguasai Tinju besi. Memang wanita itu mempunyai paras yang cantik dan potongan tubuhnya yang menggairahkan serta pandai merayu dan merangsang laki-laki.

Suatu hari, ketika mereka sedang berbuat maksiat dirumahnya sendiri maka datanglah suaminya hingga perbua.an mereka itu kepergokkan dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Dengan hati patah laki-laki itu mencabut pedangnya dan akan membunuh mereka. Namun dengan tangkas istrinya dapat menghalangi tindakan suaminya.

Tong Kim Seng meninggalkan tempat itu. Ketika itu suaminya sebenarnya masih sangat marah dan akan dibunuhnya wanita iblis itu, namun ketika suaminya memandang kecantikan wanita itu maka lemahlah jiwanya.

Kesadarannya telah timbul, ketika laki-laki itu berpikir lebih lanjut tentang istrinya yang berjiwa bejat dan cabul itu, maka akhirnya bertekad untuk meninggalkannya. Hatinya telah sadar dan menyesali atas perbuatannya itu. Dia mencari istrinya kemana-kemana, istrinya yang pertama yang telah melarikan diri karena merasa terhina dan patah hati. Laki-laki yang tersesat itu telah membalik kepuasan untuk meninggalkan si wanita iblis dan cabul itu dengan membiusnya terlebih dahulu. Ketika wanita cabul itu tertidur maka dikeningnya telah diguratkan satu tanda berbentuk bulan sabit, dengan ujung pedang yang tajam. Kemudian ditinggalkannya.

Dahi wanita cabul dan keji itu membekas luka membentuk bulan sabit.

Akhirnya karena rasa dendamnya itu dia bukannya menjadi baik bahkan meraja lela. Dikalangan Kang-ouw dia disebut Ciam Gwat.

Adapun wanita yang malang dan terpaksa harus mengalah dan menyingkir dengan menanggung derita itu adalah Shin Kai Lolo. Wanita yang semula cantik jelita dan pernah mendapat gelar Liong-hong-hiap-lu bersama suaminya.

Adapun laki-laki yang malang dan sadar setelah semuanya berantakan itu adalah Kim-leng-ji-su. Seperti juga laki-laki lainnya yang telah diganggu ketenteramannya oleh Ciam Gwat. Maka Tong Kim Seng begitu juga telah menjadi berantakan, Mulamula terjadi kehebohan didalam itu, kemudian terjadilah pembunuhan dan akhirnya sampai Tong Kim Seng Tinju Baja itu telah binasa dihadapan Pek-hisiu-si.

"Lalu Ciam Gwat itu sekarang berada di mana Locianpwee ?” tanya Tong Kiam Ciu mendesak. "Dengarkan baik-baik, Ciam Gwat itu tiada lain adalah Cit Cai Hui yang kini tinggal di desa Cit Wi” jawab Kim-leng-ji-su.

"Oh jadi . . . .” sambung Tong Kiam Ciu berubah pucat wajahnya.

"Jadi ?” seru Cit Sio Wie pura-pura menutup mulutnya dengan tapak tangan kanannya. "Ya dan aku dapat selamat dari siksaannya berkat kelinting emas ini. Tiaptiap Ciam Gwat melontarkan ilmu Pan-yok-sin-im maka kubunyikan keliting emas ini dan ilmu itu akan buyar sendiri ! kakek itu menjelaskan dan tampaknya sangat payah. Setelah menceritakan tentang riwayat Ciam Gwat dan seluk beluk tentang Tong Kiam Ciu dan Cit Sio Wie maka kakek itu tampak bertambah payah.

Nafasnya mulai tampak sangat sesak dan tubuhnya telah mandi keringat karena mengerahkan tenaga untuk menahan pergolakan didalam tubuhnya. Kemudian terdengar dia terbatuk dan menuntahkan darah segar.

"Tong Siauwhiap terimalah kelintingan pusaka ini” belum selesai dengan kata-katanya dia telah tampah gemetar dan wajahnya menjadi sangat pucat kemudian lunglai. Kim-leng-ji-su telah jatuh terjungkal dan menghembuskan nafas yang penghabisan. "Locianpwee! Locianpwee!” seru Tong Kiam Ciu seraya menubruk tubuh kakek itu. Ternyata telah menjadi kaku.

"Sudahlah Ciu Ko! Marilah kita kuburkan janazah Kim-leng-ji-su dan kita meneruskan perjalanan!” bisik Cit Sio Wie.

"Cit Sio Wie. kau telah mendengar sendiri kisah yang diturunkan oleh Kimleng-ji-su cianpwee. Ternyata musuh besar yang kucari-cari selama ini adalah ibumu sendiri. Maka sekarang lebih baik kita berpisah sampai disini saja,” seru Tong Kiam Ciu dengan suara hampa.

"Ciu Ko! Mengapa kaupun bertindak begitu kejam padaku? Aku rela hancur demi cintaku padamu. Apakah ada halangannya aku untuk mencintai orang yang ternyata orang itu adalah musuh besar dengan ibuku? Lagi pula apakah Koko lupa bahwa aku telah bersumpah memutuskan ikatan kekeluargaan dengan ibuku?” tanya Cit Sio Wie.

"Ya aku tahu Cit Sio Wie. Tetapi Ciam Gwat adalah ibu kandungmu, aku tidak percaya bahwa seorang anak yang telah dikandung dan telah dilahirkan oleh wanita itu akan tega menyaksikanrya ibunya dibunuh oleh seorang didepan matanya sendiri!” seru Tong Kiam Ciu tetap pada pendiriannya untuk berpisah dengan Cit Sio Wie. "Tidak! Aku tetap akau mengikuti Tong Kiam Ciu Siauwhiap. Biarlah aku kau anggap sebagai pembantu atau sahayamu, asal aku boleh selalu bersamamu!”

seru Cii Sio Wie tetap pa da pendiriannya.

"Tiadakah kau menyadari bahwa kelak kau akan menderita karena tiap kali kau ingit bahwa ibumu yang membunuhnya adalah aku. Maka Wie moay, sebaiknyalah kita berpisah saja sampai disini dan lupakanlah bahwa kita pernah bahagia karena cinta kasih kita” bujuk Tong Kiara Ciu.

"Oh, Ciu Ko, mengapa kau begitu tega menyiksa dan menghancurkan hatiku hingga berkeping-keping karena kata-katamu itu” rintih Cit Sio Wie sambil memeluk tubuh kekasihnya itu.

Benar-benar Cit Sio Wie telah bertekad untuk selalu bersama sehidup semati, senang dan derita sama-sama dihayatinya. Dia telah bertekad bulat untuk mengarungi bahtera yang cintanya penuh derita itu.

"Wie moay, walaupun cintaku juga sangat besar padamu, namun aku pantang untuk mengingkari semua sumpahku dan semua amanah suhuku. Aku tetap akan membalas sakit hati keluargaku. Aku harus membunuh Ciam Gwat untuk menenteramkan roh ibu, ayah dan saudara-saudaraku di akherat” sambung Kiam Ciu dengan suara tegas dan tandas.

"Ya aku tidak akan menghalang-halangimu untuk membalas dendam dan membunuh ibuku. Tetapi ajaklah aku serta selalu bersama mu Ciu Ko !”

"Bagaimana dapat terjadi Wie moay? Maapkanlah diriku dan aias segala perawatan serta pertolonganmu aku ucapkan terimakasih sebesar-besarnya Wie moay” seru Tong Kiam Ciu.

Dengan berakhirnya kata-kata itu tiba-tiba Tong Kiam Ciu telah melesat pergi dengan mengerahkan ilmunya Cien-li-piauw-hong melesat bagaikan terbang, Sedangkan Cit Sio Wie pada saat itu saking gugupnya tanpa dapat mengejar.

Gadis itu hanya berseru sambil mengerahkan ilmu Pan-yok-sin-im.

"Ciu Ko tunggu !” seru Cit Sio Wie.

Saat itu Kiam Ciu mendengar seruan Cit Sio Wie yang dilambari dengan ilmu Pan-yok-sin-im maka benar-benar dia telah berhenti. Tetapi ketika ingat kelinting saktinya. Maka digerakannya kelintingan itu hingga terdengar bunyi nyaring dan bunyarlah pengaruh ilmu Pan yok stn im.

Begitulah berkali-kali terjadi dan akhirnya Tong Kiam Ciu lelah dapat kabur jauh sekali. Sedangkan Cit Sio Wie sudah tidak mampu untuk mengejarnya. Lagi pula dia tidaklah mengetahui kemana yang akan dituju oleh Tong Kiam Ciu.

Dalam pada itu Tong Kiam Ciu terus melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Pek-seng yang hilang itu. Dia masih ingat betul jalan-jalan yang harus dilaluinya. Ketika dia memasuki taman bunga hatinya berdebar. Tiada sambutan dari gadis she-Gan itu seperti pada waktu kedatangannya yang pertama, dimana gadis itu telah menyanyikan lagu sedih. Hari itu Tong Kiam Ciu merasakan seolah-olah dia telah berada ditempat itu seorang diri. Burung-burungpun ikutikutan tidak berkicau.

Dengan tergesa-gesa Tong Kiam Ciu berlari-lari menuju ke gedung mungil satu-satunya di tempa t itu. Tong Kiam Ciu akan menolong membebaskan gadis she Gan itu untuk keluar dari kota Pek-seng. Dia telah mendapatkan biji Cu-sik dari Cit Sio Wie, sedangkan akar pohon Lok-bwee-kim-keng lelah diterimanya dari pemberian Kun-si Mo-kun, kedua benda syarat pembebas gadis itu telah ada ditangan Tong Kiam Ciu saat itu. Maka dengan hati gembira Tong Kiam Ciu mendekati bangunan gedung itu.

Namun ketika beberapa langkah dia mendekati gedung mungil itu dia menjadi ragu-ragu dan menahan langkahnya. Karena ketika angin berhembus terciumlah bau yang memualkan dan hampir saja Tong Kiam Ciu tidak tahan lagi. Namun dia harus mendekati gedung dan harus mengetahui keadaan gadis she-Gan itu. Maka dengan mengenyahkan perasaan muak dan menahan pernafasan dia telah mendekati gedung. Bau yang memuakan itu bertambah menyolok, rupa-rupanya memang digedung itu ada mayat manusia atau binatang. Ketika Tong Kiam Ciu melangkah menghampiri ruang pintu depan dia telah dikejutkan dengan suatu pemandangan. Di tempat itu tampaklah mayat seorang gadis yang dalam keadaan menyedihkan. Tubuh mayat itu benar-benar telah menimbulkan bau yang memuakan hampir tidak tertahan.

Walaupun bagaimana Tong Kiam Ciu ingin pula untuk melihat wajah mayat itu. Tiba-tiba ketika dia menghampiri mayat itu terdengarlah pekikan tertahan.

"Oh Gan siocia !” seru Tong Kiam Ciu dan menutupi mulutnya dengan tapak tangan. Ternyata mayat gadis she Gan itu telah membusuk. Sedangkan debu bekas membakar kitab Pek-seng-ki-su masih berserakan di tempat itu, Maka dengan tangkas Tong Kiam Ciu lalu membuat liang dan menguburkan mayat Gan siocia.

Tong Kiam Ciu menggeledah tempat di dalam rumah gedung mungil itu dan mencari kitab Pek-seng-ki-su. Namun rupa-rupanya telah keduluan orang lain terbukti benda-benda pada berserakan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar