Warisan Jenderal Gak Hui Jilid 1

Jilid ke 1

PUCUK pohon cemara tampak melambai-lambai ditiup angin pegunungan yang sejuk. Bulan sabit menerangi dengan sinar keemasan tanpa terganggu oleh kabut dan awan, bintang-bintangpun bertaburan di angkasa, Pegunungan Go-Bie-San tampak tenteram dan damai. Semarak dengan pohon-pohon hutan ramping menjulang, jurang-jurang yang dalam dengan tebing-tebing berbatubatu menonjol.

Dari dasar jurang Liong-houw-ya yang berbatu-batu besar dan dinding jurang yang terdalam dan bila melihat keatas seolah-olah terkurung dalam himpitan dinding curam, terpisah dari dunia luar. Tampaklah samar-samar bayangan pohon-pohon cemara yang meliuk-liuk tertiup angin sejuk. Bayangan pohon-pohon yang hanya tampak samar-samar jauh diatas seolah-olah angan kita turut melambung ke angkasa dan hanyut terbawa terbang ke bintangbintang yang bersinar pudar.

Betapa dalamnya jurang itu hingga tak dapat terduga lagi seandainya bukan malam terang bulan dan tiada bintang-bintang dan gelap gulita maka tiada terkira lagi karena jurang Liong-houw-ya memang jurang yang sangat dalam.

Tiba-tiba suasana yang tenteram itu dengan tak terduga telah berubah menjadi gaduh. Terdengar suara gemuruh, batu-batu melayang dan meluncur ke dasar jurang. Gemuruh dan berhamburan pecahan-pecahan batu menimbulkan kepulan-kepulan debu dan jurang yang sepi itu dengan tiba-tiba menjadi sangat gaduh, sesaat kemudian kembali tenang dan sepi hanya suara kericik air terdengar sangat lembut.

Ketika itu tampaklah sebuah bayangan yang bergerak menuruni tebing jurang menuju ke suatu tempat. Rupa-rupanya bayangan itu adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi berdada bidang. Mukanya tampan dan rambutnya yang hitam panjang digulung diatas kepala. Hanya wajah yang tampan itu kelihatan tegang seolah-olah laki-laki itu menahan rasa sakit yang mengendap dalam tubuhnya. Dari sudut bibir dan lubang hidungnya meleleh darah segar.

Dengan langkah-langkah yang tertahan dan sempoyongan dia terus berusaha untuk mencapai dasar jurang Liong-houw-ya.

Tatkala kepalanya terangkat dan memandang jauh keatas tebing sedang kaki kanan menginjak sebuah batu yang menonjol, dengan tiba-tiba batu itu terlepas dan menggelundung meluncur kebawah. Untung laki-laki itu dapat menguasai diri dan keseimbangan tutuhnya hingga dia tidak terdorong jatuh. Namun demikian berdesir juga jantungnya dan kembali melihat kedasar jurang yang berbatu-batu. Kembali suasana tenang, hanya terdengar dengusan nafas laki-laki itu.

Kemudian terdengar suara jeritan tangis bayi. Jeritan tangis bayi itu makin menyayat dan keras sekali. Laki-laki yang menuruni tebing jurang itu berhenti lagi dan benda yang dibungkus dengan kain selimut berwarna kuning tua itu dibukanya. Bungkusan selimut kuning tua itu sejak tadi telah dipondongnya dan didekapnya, bahkan sekali dipandanginya dengan sinar mata sayu dan sedih.

Ternyata didalam selimut kuning tua itu adalah bayi lak-laki yang berparas bagus berkulit halus dan montok sekali. Namun bayi itu tiada henti-hentinya menangis. Bahkan selimut kuning tua itu kini telah bernoda darah yang telah membeku. Dipandangnya dasar jurang yang masih terlalu dalam dan gelap. Walaupun samar-samar sinar bulan telah menerangi dasar jurang namun tetap gelap.

Dengan menarik napas panjang laki-laki yang tampaknya sangat sedih itu meneruskan langkahnya sangat berat dan terpeleset-peleset menuruni tebing.

Diatas batu besar tampak seorang kakek berjubah putih. Kakek yang telah berambut putih digelung diatas kepala dengan janggutnya yang panjang dan putih melambai ditiup angin. Wajah kakek itu sangat tenang menggambarkan bahwa kakek itu berilmu tinggi dan sangat budiman. Seolah-olah kakek itu menunggu ke dataongan laki-laki yang sedang menuruni tebing jurang. Sesekali kakek berjubah putih itu mengerutkan keningnya dan memandang dengan pandangan mata lurus kearah laki-laki yang membopong bayi terbungkus dalam selimut kuning tua. Setelah jarak mereka telah begitu dekat dan telah mencapai dasar jurang, laki-laki itu dengan jantung berdebar telah memandang kakek berjubah putih yang masih duduk diatas batu dengan tenang dan memandang padanya juga.

Seolah-olah ada sesuatu hal yang tertahan didalam pikiran kakek itu.

Serta merta laki laki yang memondong bayi itu merebahkan diri menjura kearah kakek berjubah putih, sedangkan bayi dalam dekapannya itupun masih tetap menjerit-jerit menangis.

"Locianpwee aku telah mencari-carimu". mungkin tidak sepeminum teh lagi.. .

nyawaku telah.. “ seru laki-laki itu dengan suara tertekan dan terdengar sangat sedih. "Hemmmm . . .” terdengar gumam kakek berjubah putih dan tetap duduk diatas batu dengan tenang seolah-olah tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang didepannya itu. "Bencana telah menimpa keluargaku.. . . sudilah locianpwee mengulurkan tangan dan menerima anakku ini.. . anak yang malang ini kutitipkan padamu . . .”

tersendat kata-kata itu ditenggorokan dan dilihatnya bayi dalam bungkusan kain selimut berwarna kuning tua itu dengan perasaan sedih.

"Hemmmm.. . “ terdengar sekali lagi gumam kakek berjubah putih itu. Sikapnya masib tetap seperti tadi dan seolah-olah tidak merasakan apa-apa dengan peruturan laki-laki yang sangat merintih dan sedih itu. Bahkan kakek berjubah putih itu tidak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya.

Laki-laki yang tampak sangat malang dan memelas itu sekarang berlutut dihadapan kakek berjubah putih. Ditatapnya wajah kakek itu dengan sorot mata penuh iba dan mohon dikasihani. Sementara itu bayi dalam pelukannya itupun telah diam dari tangisannya.

"Apapun yang akan locianpwee lakukan terhadap bocah ini aku tidak perduli.. .

terimalah.. . . atau aku lebih baik membinasakannya daripada kelak bocah ini sengsara". seru laki-laki itu yang kedengaran suaranya sangat berputus asa dan sedih, sekali lagi dipandangnya bayi dalam pelukan itu dengan mata sayu dan sedih. Saat itu kakek berjubah putih hanya mendengus dan pandangan matanya dialihkan kearah sebuah batu besar yang terdapat dibelakang laki-laki yang berlutut didepan kakek berjubah putih itu.

".. . . . . aku telah berlutut dihadapanmu dengan penuh rasa hormat dan mengemis rasa belas kasihmu untuk bocah yang malang ini. Ternyata Locianpwee yang terkenal arif bijaksana dan penuh rasa kasih sayang itu ternyata sangat dingin dan hatinya beku seperti es---baiklah Locianpwee, kalau memang kau orangtua tidak sudi menerima bayi ini lebih baik binasa bersamaku daripada kelak menderita dan terhina--- “ seru laki-laki itu. Tiba-tiba bayi dalam pelukan tangan kanan itu kini telah dipindahkan ketangan kiri dan tahu-tahu tangan kanan telah menggenggam sebilah pedang yang berkilauan tertimpa sinar bulan. Kakek berjubah putih itupun merasa terkejut ketika melihat laki-laki itu menggenggam pedang mengkilat. Berdesirlah hati kakek itu dan menarik nafas panjang. Kemudian matanya memandang lagi kearah batu-batu dibelakang lakilaki yang menggendong bayi dan berlutut dihadapannya itu. Kemudian pandangan mata mereka bertemu. Laki-laki yang menggenggam pedang itu tidak tahan menatap pandangan mata kakek berjubah putih. Ditundukkannya kepala dan dipandanginya bayi dalam gendongan tangan kiri dengan perasaan sedih dan air mata berlinang.

Pedangnya diangkat dan akan ditikamkan kearah bayi itu, sedangkan kakek berjubah putih akan mencegahnya tetapi matanya memandang kearah batu besar dan menarik nafas panjang. Sekali lagi laki-laki itu tidak sampai hati untuk membunuh anak sendiri. Walaupun dia telah memutuskan lebih baik membunuh bayi itu daripada kelak hidup sengsara dan dihina orang. Namun dengusan nafas kakek sakti itu sangat berpengaruh dan membuat dia menjadi lemah seolaholah tangannya terkulai. Tangan yang menggenggam hulu pedang itu gemetar dan dipandangnya wajah kakek berjubah putih yang masih bersikap duduk seperti semula. Seolah-olah kakek itu tidak akan mencegah niat laki-laki yang berlutut dihadapannya itu. Walaupun tiada sepatah katapun yang terucapkan.

Ketika pandangan mereka bertemu ternyata sekali lagi laki-laki itu tidak tahan menentang pandangan mata kakek berjubah putih.

Ditundukkannya wajahnya dan memandang kearah batu-batu dasar jurang.

Batu yang berserakkan. Saat itu kakek berjubah putih memandang dengan tegas kearah batu besar dibelakang laki-laki yang berlutut dihadapannya.

Bertepatan dengan itu laki-laki yang malang itu telah mengangkat pedangnya dan akan ditikamkan kearah bayi dalam pondongannya.

Tiba tiba dari balik batu dibelakangnya telah berkelebat sebuah bayangan hitam dan langsung meloncat menyerang dengan sebuah hantaman bertenaga luar biasa kearah laki-laki yang telah putus-asa.

Terpentalah pedang dalam genggaman laki-laki itu. Sedangkan laki-laki itu sangat terkejut mendapat serangan dengan tiba tiba dan sempat menyaksikan pedangnya yang melayang kemudian berdentang jatuh ketanah membentur batu dan ternyata pedang itu telah patah menjadi dua.

Bertepatan dengan itu telah berdiri, dihadapan kakek berjubah putih seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berdada bidang dengan wajah tegang memandang kakek berjubah putih dan berganti-ganti memandang kearah laki-laki yang masih tercengang dan terduduk ditanah berbatu-batu.

Laki-laki yang baru datang dan luar biasa tenaganya itu masih muda dan berusia tidak lebih dari tiga puluhan tahun. Namun telah menguasai suatu ilmu yang luar biasa. Kakek berjubah putih memandang dengan tersenyum kearah laki-laki gagah yang berdiri dihadapannya itu. Dia merasa kagum dengan sikap gerakan dan kekuatan orang yang kini berdiri di hadapannya tu.

"Bagus-bagus, luar-biasal” seru kakek itu dengan manggut seraya menatap pandangan orang berdiri dihadapannya.

Sesaat lamanya suasana jadi sepi, hanya terdengar dengusan napas dan desauan angin pegunungan pula gemericik air yang sangat halus. Bayi itupun seolah-olah mengerti dan tiada jerit tangis lagi.

"Jika mata tuaku tidak salah, rupa-rupanya yang telah berdiri dihadapanku adalah ketua Sin-ciu-sam-kiat yang pada saat ini sangat menggemparkan kalangan Kang Ouw.. . ?” tegur kakek berjubah putih dengan suara tenang kearah laki-laki yang berdiri dihadapannya itu.

Bersamaan dengan teguran itu tampak berkeJebat dua bayangan tertimpa sinar bulan yang samar-samar. Dua bayanyan itu langsung berdiri sejajar dengan laki-laki yang sejak tadi berdiri dihadapan kakek berjubah putih.

Mereka adalah seorang wanita cantik jelita berusia sekirar dua puluh tahun berparas ayu dan kulitnya kuning mulus. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan rambut hitam panjang sampai kebahu serta berjambang bauk.

Kakek berjubah putih mengangkat wajahnya sesaat tetapi tetap duduk dengan tenang diatas batu gunung didasar jurang.

Dielusnya janggut yang panjang melambai dan putih itu. Dipandanginya satu persatu orang-orang itu. Kemudian kakek itu menarik nafas panjang seolah-olah menghalaukan suatu kenangan yang tersimpan dalam dadanya.

"Betul tidak keliru lagi penglihatanmu!” seru laki-laki yang ditegur tadi. Tetapi laki-laki itu masih bersikap tegang dan menyilangkan kedua lengannya didada.

Matanya yang hitam mengkilat mengawasi sikakek yang acuh tak acuh itu.

"Hem tidak kusangka kita akan bertemu di tempat ini. Ternyata dunia ini kecil sekali sehingga kita dapat bertemu dimana saja!” seru Pek-hi-siu-si dengan mengusap janggutnya. Ketiga orang yang kini berada dihadapan kakek berjubah putih itu adalah Thin-siu-sam-kiat yang terdiri dari Ji Han Su atau si Tinju Baja, Siauw Liang atau si Angin Taufan dan Pek Giok Bwee atau Dewi Gelombang, Mereka adalah murid dari satu perguruan, tetapi ilmu dan tingkat ilmu mereka berlainan.

Ji Han Su sangat menguasai tenaga dalam dan mabir mengerahkan tenaga dalam. Tenaga dalamnya demikian hebat dan dahsyatnya hingga hembusan angin pukulannya saja mampu mematahkan pedang baja.

Siauw Liang sangat pintar memainkan ilmu golok. Sedemikian hebatnya ilmu golok Siaw Liang hingga dia dapat melindungi dirinya dari percikan air hujan yang deras. Hingga dia mendapat julukan di rimba persilatan sebagai si Angin Taufan. Sedangkan Pek Giok Bwee memiliki ilmu tenaga dalam dan meringankan tubuh serta pandai memainkan senjata rahasia sambil meloncat memutar tubuh. Kehebatan ilmu meringankan tubuh si cantik jelita Pek Giok Bwee itu tiada taranya dikalangan Kang ouw.

Semenjak Sin-ciu-sam-kiat terjun di rimba persilatan, dalam waktu singkat mereka telah menonjol dan mendapat julukan yang luar biasa.

"Sudah lama kita mendengar Pek-hi-siu-si (orang sakti berjubah putih) yang tersohor sangat arif bijaksana disamping adalah seorang pendekar ilmu pedang yang tiada taranya dikalangan Bulim dan selama beberapa puluh tahun telah malang meintang dan menjagoi dikalangan persilatan” seru si jelita Pek Giok Bwee dengan tenang, "Kita harus selalu menghormatinya dan harus menjunjung tinggi nama kakek itu, tetapi kenyataannya setelah pertemuan ini kami menjadi sangat kecewa karena apa yang di kabarkan orang-orang itu ternyata kosong belaka. Kau membiarkan seseorang menjadi sangat kecewa, padahal kau dapat berbuat sesuatu untuk menolong orang itu. Pek-hi-siu-si orang tua yang disanjung dan dihormati orang itu ternyata adalah tidak lebih dari seorang yang berhati beku sebeku es”

Pei Giok Bwee telah mengucapkan kata-kata yang sangat menyinggung dan menghina kakek sakti berjubah putih itu dengan sengaja. Ia merasa sangat gemas dan jengkel dengan sikap dingin dan acuh tak acuh kakek berjubah putih itu kepada laki-laki yang telah menyembah-nyembah dan menggendong bayi dihadapannya itu. Sedangkan sikakek sakti berjubah putih atau Pek-bi-siu sin yang selalu dihormati dan disegani orang di lingkungan Kang-ouw, belum pernah dia mendapat hinaan dan dicaci orang sedemikian tajam itu. Maka mendadak jadi sangat terkejut dan gusarlah kakek itu. Namun demikian kakek sakti itu dapat juga menguasai perubahan wajahnya dengan sedikit deretan garis dahinya yang mengkerut dengan sinar mala melanya. Kemudian tersenyum.

"He Sin-ciu-sam-kiat! kita baru kali ini bertemu muka dan anrara kita tidak ada ikatan permusuhan dan kalian belum pernah mengadu tenaga dengan aku orang tua, tetapi kalian sengaja mendatangi jurang Liong-houw-ya untuk mencoba dan menghinaku!” bentak Pek-hi-siu-si kepada ketiga bersaudara itu.

Meskipun sikakek berjubah putih itu mengeluarkan kata-kata menantang tetapi kata-kata itu dikeluarkan dengan tersenyum dan bernada halus, mau tak mau ketiga pendekar itu menjadi sangat gusar. Karena seolah-olah kakek itu tidak memandang sebelah mata padanya. Yang paling gusar adalah si Angin Taufan atau Siauw Liang dengan wajah merah dan mata melotot meloncat kedepan kakek yang masih tetap duduk diatas batu besar dengan tersenyumsenyum dan mengelus janggutnya.

"Pek-hi-siu-si ! Kau adalah seorang tua budiman gadungan” seru Siauw Liang dengan suara lantang dan mata melotot sambil mengelus janggutnya yang putih. "Pek-hi-siu-si, sebenarnya Ji Twako telah menasehati padaku untuk tidak curut campur tangan dalam urusan ini. Namuo hati dan perasaan kemanusiaanku tidak tahan untuk memperdengarkan orang yang malang itu terus meratap dan memohonkan pertolonganmu. Namun kau kakek tua ternyata berpura-pura tuli dan tidak mendengarkan kesedihan orang lain. Kau seorang kakek sakti yang kejam dan tidak berperikemanusiaan!. Untuk bertempur melawanmu orangtua tidak perlu kami Sin-ciu-sam-kiat bersama-sama maju.

Cukuplah aku dengan golokku Hui-to ini...!” seru Siauw Liang dengun mata melotot dan wajah merah membara. Dengan selesainya kata-kata itu dia menggenggam golok Hui-to ditangan kanan dan meloncat menyerang kakek berjubah putih.

Namun Pek-hi-siu-si tersenyum dan tenang, walaupun didalam hati ia memuji akan keberanian laki-laki berambut awut-awutan dan berjambang itu.

Ketika serangan golok itu hampir menyentuh dadanya kakek itu sama sekali tidak bergeming dari tempat duduknya. Dia hanya menggerakkan kedua jarijarinya tangan kanan kearah mata golok. Terlihatlah Siauw Ling terperanjat.

Karena kenyataan yang ditemuinya dia menikam tempat koaong dan terhuyunghuyung meluncur hampir membentur batu tempat dimana kakek itu duduk.

Pek-hi-siu-si telah menjagoi dunia persilatan selama tiga puluh tahun lebih dengan banyak menjatuhkan lawan-lawannya. Hingga dengan demikian dia telah mendapatkan julukan "jago pedang nomor satu” dan kini dia harus berhadapan dengan Shin ciu-sam kiat jago-jago muda yang baru muncul dan sedang mengembangkan nama dikalangan Kang ouw. Dengan senang dan tersenyum serta mengelus janggutnya yang putih panjang itu Pek-hi-siu-si berseru kearah Siauw Ling.

"He Siauw Ling, aku orang tua yang keropos ini, telah mendengar kehebatan permainan ilmu golok Hui-to mu yang luar biasa itu".

Gerakan ilmu golok Hui-to yang dapat bergerak dan menyapu lawan bagaikan topan itu sangat luar biasa.

Namun aku orang tua tidak takabur dan sombong, tetapi aku hanya menurutkan tantanganmu sebagai orang-orang satria yang pantang menolak tantangan orang. Kalah dan menang itu bukan milik kita, maut ditangan Thian. Tetapi kalau sampai kau dapat memotong putus selembar bulu badanku saja maka aku akan menyerahkan pedang pusakaku ini padamu dan aku akan mengundurkan diri dari kalangan Kang-ouw !” seru si kakek berjubah putih dengan suara tenang.

Suara yang bernada tenang itu diselingi dengan desahan nafas Pek-hi-siusi diarahkan kepada Siauw Liang adalah nada suara yang penuh keangkuhan dan tantangan yang sangat menyakitkan hati Siauw Liang.

Mendengar kata-kata yang sangat memanaskan hati itu Siauw Liang yang bersifat berangasan menjadi sangat gusar dan wajahnya merah sampai ditelinga dan mata yang bersinar hitam itu menyala-nyala. Kelihatan sangat bengis karena diamuk kemarahan yang meluap-luap. Kemudian meloncat kebelakang satu langkah diatas tanah berbatu sambil tangan kanan masih menggenggam golok Hui-to dan tangan kiri menuding kearah Pek-hi-siu-si.

"Kau boleh membual sesuka hatimu! Sekarang buktikanlah kata-katamu itu!”

bentak Siauw Liang. Begitu selesai dengan kata-katanya itu dia telah meloncat dan golok Hui-to bergerak sangat cepat sekali menyambar Pek-hi-siu-si.

Siauw Liang menyadari sekarang dia sedang berhadapan dengan seorang pendekar kalangan tua yang luar biasa hebat ilmu silatnya. Maka dia bermaksud menyerang secepat mungkin sebelum lawannya sempat bersiap siaga. Dia yakin benar serangannya itu akan berhasil dengan baik karena dia menyerang PekOey Liong Kiam  9 bi-siu-sin dengan jurus permainan golok yang sangat dahsyat dan belum pernah dapat dihindari oleh lawan, ialah jurus Soan-hong-cui-long atau Angin taufan meniup gelombang yang telah membuat goloknya memancarkan cahaya kemilau dan mengeluarkan angin yang suaranya menderu-deru gemuruh.

Pek-hi-siu-si bersikap tenang dan meloncat berdiri ditanah dua langkah didepan batu tempat dimana kakek tadi duduk. Angin serangan golok itu menyambar sangat deras. Kakek berjubah putih dengan tenang menggerakkan lengan tangan kanan dan mengebutkan lengan jubahnya kearah datangnya serangan. Ternyata hembusan lengan jubah itu luar biasa akibatnya. Angin hembusan lengan jubah itu mampu menahan serangan golok Hui-to. Sekaligus hembusan lengan jubah itu menampar Siauw Liang hingga laki-laki itu terlempar mundur beberapa langkah. Selama Siauw Liang berkecimpung dikalangan Kang-ouw belum pernah gagal serangannya dengan jurus yang sangat diandalkan itu. Jurus Soan-hong cui-long selalu berhasil dengan baik dan lawan belum pernah dapat menghindari serangan itu. Namun kini setelah berhadapan dengan kakek sakti berjubah putih dia telah mengalami kenyataan pahit bahkan dirinya dapat ditampar mundur sampai beberapa langkah kebelakang. Bukan saja Pek-hi-siusi dapat menahan bacokan Hui-tonya malah hembusan tenaga angin pukulan lengan jubah kakek itu sangat luar biasa dan dapat memukul mundur tubuh Siauw Liang. Dengan kenyataan itu, laki-laki berangasan itu menjadi sangat gusar dan menggembor keras seraya meloncat dengan golok Hui-to mengarah ke arah leher Pek-hi-siu-si. Loncatan itu sangat hebat dan keras. Namun Pek-hi-siu-si dengan tenang menantikan datangnya serangan. Ketika serangan ujung golok itu hampir menyentuh tenggorokan kakek sakti, dengan tiba-tiba kakek itu menggeserkan kaki kanannya dan tubuhnya sedikit miring kekanan tangan kanan bergerak kearah lengan Siauw Liang. Gerakan kakek itu begitu cepat dan tiba-tiba. Siauw Liang sangat terperanjat dan dia hampir tersungkur karena dorongan tenaga serangannya sendiri. Dengan gerakan cepat kakek itu telah menggobang leher Siauw Liang hingga terpaksa Siauw Liang meloncat dan menggelundung ditanah berbatu-batu sampai beberapa tombak. Kemudian memutar tubuh sambil meloncat menghadapi Pek-hi-siu-si dan tangan kanan masih menggenggam golok Hui-to.

Kakek berjubah putih dengan mata tuanya dan kening dikerutkan memandang Siauw Liang. Dia yakin bahwa lawannya kini menjadi sangat gusar.

Sedangkan dua orang saudara Siauw Liang hanya mengamati jalannya pertempuran itu dengan pandangan mata penuh kekhawatiran. Karena mereka tahu bahwa kakek itu sebenarnya bukan tandingan Siauw Liang.

Sekali lagi Siauw Liang menggembor sambil meloncat menyerang Pek-hisiu-si. Bersamaan dengan alunan gemboran yang menggema didalam jurang Liong-houw-ya, sebuah batu besar telah hancur berkeping-keping terbentur kepala Siauw Liang. Tampaklah Pek-hi-siu-si mengegoskan tubuhnya kesamping dan mengebutkan lengan jubahnya kearah tubuh laki-laki itu. Begitu kepala Siauw Liang menumbuk batu, dan batu itu hancur berantakan, maka sesaat pemandangannya menjadi kabur pula, Namun dasar memang dia sangat keras kepala belul-betul maka keadaannya itu tidak dirasakannya. Sekali menggerakkan lengan tangannva maka berputarlah tubuh Siauw Liang dan menyerang kakek itu dengan Hui-to dalam jurus Soan-hong-cui-long kearah dada dan kaki Pek-hi-siu-si.

Kali ini kakek berjubah putih itu sangat kewalahan melayani gerakan membadai dan luar biasa jurus-jurus yang dimainkan oleh Siauw Liang. Jurus Soan-hong-cui-long yang sangat ganas dan luar biasa. Seolah-olah tangan pendekar golok itu menjadi enam buah banyaknya. Semuanya bergerak sangat cepat dan tampaklah kilatan yang menyilaukan mata. Golok Hui-to yang tajamnya luar biasa itu tampak mengerikan dan ketika digerakkan dengan cepat terdengarlah suara deru yang luar biasa serta angin dingin yang menyayat kulit.

Walaupun tiada tersentuh kulit Pek-hi-siu-si oleh mata golok Hui-to namun angin sambarannya saja terasa pedih, sedangkan Siauw Liang bertambah nekad dan meningkatkan gerakan ilmu golok jurus yang luar biasa Soan-hong-cui-long dan mendesak terus kearah kakek berjubah putih. Kini tampaklah kakek itu merasa kewalahan juga untuk mengadu kelincahan dan pernafasan dengan Siauw Liang yang masih muda itu.

Beberapa jurus lamanya kakek Pek-hi-siu-si melayani Siauw Liang dengan golok Hui-to kakek itu melayani kehebatan jurus-jurus ilmu golok Siauw Liang dengan tangan kosong. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh dan kelincahan kakek Pek-hi-siu-si. Walaupun kakek itu adalah seorang kakek sakti yang telah menjagoi dunia persilatan selama tiga puluhan tahun lebih, namun baru kali ini dia mendapatkan musuh yang masih berusia muda tetapi sangat luar biasa ilmunya. Biarpun sampai sekian lama belum dapat Siauw Liang menyentuh kulit Pekbi siu-sin namun kakek yang telah tua itu mandi keringat juga. Gerakan Siauw Liang bertambah hebat dan bagaikan ular melilit-lilit dengan suara menderuderu dan angin dingin yang ditimbulkan oleh golok Hui-to. Gerakan-gerakan cepat yang luar biasa itu bertambah mendesak Pek-hi-siu-si hingga kakek itu mandi keringat untuk menghindari gerakan ilmu golok lawannya.

Kakek berjubah putih yang menghadapl Siauw Liang dengan tangan itu dibuat sangat sibuk dengan menghindari bacokan-bacokan maut golok Hui-to.

Kakek itu mengegoskan tubuhnya kekanan dan kekiri, kadang-kadang mengebutkan lengan jubahnya dan membentur serangan lawan dengan kepalan tinju. Namun Siauw Liang tampaknya bertambah marah dan menyerang dengan serangan yang dipengaruhi hawa kemarahan itu tanpa memperdulikan keadaan lawan bahkan bertekad untuk membinasakan lawannya walaupun kakek itu tanpa senjata. Karena Siauw Liang menyerang dengan sangat nekad dan untuk menundukkan lawan yang telah nekad itu tidak mudah. Maka kakek berjubah putih itu kini telah mengubah serangannya dan meloncat mundur tiga langkah kemudian mencabut pedang pusakanya.

Pedang yang mengeluarkan perbawa luar biasa itu mengejutkan Siauw Liang. Namun tidak menggentarkan laki-laki yang nekad itu. Malah Siauw Liang tertawa gembira menyaksikan lawannya juga menggunakan pedang.

Pek-hi-siu-si berdiri dengan kuda-kuda lutut melengkung dan memitingkan tubuh kearah lawan. Kedua lengannya disilangkan didepan seolah-olah kakek itu sembunyi dibalik silangan lengan tangannya dari pandangan lawannya.

Sedangkan pedangnya yang bersinar kuning berkilauan itu cepat melindungi wajah keriput kakek berjubah putih.

Namun demikian kakek itu tetap tersenyum walaupun matanya yang bening tepat memancarkan sinar mengkilat kearah Siauw Liang. Tiba-tiba Siauw Liang menggembor dan meloncat dibarengi dengan dia meluncur dan berdiri diatas tanah berbatu didasar jurang Liong-houw-ya itu Siauw Liang membacokkan golok Hui-to kearah tubuh Pek-hi-siu-si.

"Tranggg.. . !” terdengar dua senjata tajam beradu dan tampak pijaran bunga api terpancar dari benturan senjata tajam itu.

Siauw Ling terkejut dan terlempar lima langkah wajahnya pucat. Ternyata Pek-hisiu-si mengangkat pedangnya melindungi bahu kanan dari bacokan Siauw Liang ketika Siauw Liang terlempar lima langkah kebelakang dan tampak terhuyung menahan rasa sakit dengan wajah pucat.

Maka kakek sakti itu telah meloncat mengubah sikap kuda-kudanya dan menghadang serangan Siauw Liang.

Kedua orang saudara Siauw Liang menahan nafas dan khawatir. Sampai beberapa saat mereka menunggu loncatan maut Pek-hi-siu-si, namun kaiek itu masih tetap berdiri ditempatnya dengan melengkungkan lututnya dalam sikap kuda-kuda dan menantikan serangan lawan.

Siauw Liang setelah dapat menguasai diri dan menarik nafas dalam, tampaklah wajahnya dari sedikit demi sedikit telah menjadi merah menjalar sampai ke telinganya. Detik-detik selanjutnya laki-laki yang berambut awutawutan dan berjambang itu menggembor dan meloncat menyerang Pek-hi-siusi.

Gemboran yang menggema dan keras itu menggetarkan pepohonan yang tumbuh di lereng jurang yang terjal namun kakek berjubah putih itu tetap berdiri dengan tenang dan bersikap menunggu dengan kuda-kuda kokoh bagaikan melekat diatas tanah berbatu-batu dasar jurang Liong-houw-ya. Ketika ujung golok Hui-to hampir menyentuh tenggorokan kakek itu, terdengarlah dentangan dua benda logam beradu. "Trang!” terdengar dentangan nyaring dan Pek-hi-siu-si tampak menekuk lutut dan pedangnya menyentuh hulu golok Hui-to. Seolah-olah golok itu terhisap dan melekat kuat sekali ke mata pedang Pek-hi-siu-si.

Bergetarlah tangan Siauw Liang. Laki-laki keras kepala itu berusaha untuk menarik atau mendesak lawannya. Namun sampai beberapa saat tanpa dapat bergerak bahkan tubuhnya bagaikan dialiri berjuta-juta semut dan menghantam dadanya hingga menyesakkan pernafasan.

Siauw Liang berusaha untuk melepaskan sedotan itu dengan mengerahkan tenaga singkang kearah goJok Hui-to. Tampaklah laki-laki itu wajahnya menjadi tegang dan dlsusul dengan bintik-bintik keringat di wajahnya. Namun Pek-hi-siusi tetap tenang dan tersenyum menghadapi Siauw Liang yang tegang itu.

Saat itu baik Ji Han Su maupun Pek Giok Bwee menjadi tegang juga, mereka menahan nafas khawatir akan keselamatan saudaranya. Namun mereka merasa heran juga, ternyata kakek berjubah putih yang sukar diduga pikirannya itu tidak bertindak lebih lanjut. Dalam keadaan Siauw Liang yang tidak berdaya itu sebenarnya mudah untuk membinasakan, namun diluar dugaan ternyata kakek itu hanya tersenyum dan ketika tangan Siauw Liang bergetar hebat dan wajah laki-laki itu tampak pucat tiba-tiba terdengar jeritan bayi melengking dan mengejutkan semua yang hadir di jurang Liong-houw-ya.

Ji Han Su dan Pek Giok Bwee meloncat menghampiri datangnya suara yang ternyata bayi dalam pondongan laki-laki malang itu, sedangkan Iaki-laki yang luka parah itu telah menggeletak. Ketika Ji Han Su membalikkan tubuh laki-laki itu ternyata telah binasa dengan mata masih melotot. Saat itu juga Siauw Liang dan Pek-hi-siu-si telah berada disisi laki-laki yang menggeletak, sedangkan Pek Giok Bwee langsung menyambar tubuh bayi yang baru berumur sebulan itu dan sesaat bayi itu masih menjerit menangis.

Ketika dalam pondongan Pek Giok Bwee dan dihibur dengan kemesraan seorang ibu, lama kelamaan tangis bayi itu menjadi reda. Sedang Ji Han Su berlutut mayat laki-laki itu dan memejamkan kedua mata yang terbalik nanar.

Tampaknya sangat mengharukan, dari mulut dan hidungnya masih tampak mengalir darah segar. Pek Giok Bwee tampak sangat sayang dengan bayi yang montok dan sepasang matanya yang sangat jeli dengan kulit putih dan bersih. Maka dengan diayun-ayunkan gendongan bayi itu kemudian bayi itupun terdiam dari tangisnya. Ji Han Su dan Pek Giok Bwee telah menjadi suami isteri selama tiga tahun dengan penuh kemesraaan, namun mereka belum dikaruniai putra, apakah mereka telah berjodoh untuk mengangkat putera saat itu, dengan diketemukan bayi yang telah ditinggalkan mati kedua orang tuanya itu? Memang dunia ini penuh hal-hal yang luar biasa dan silih berganti. Kejadian-kejadian yang tidak terduga-duga dapat terjadi dengan tiba-tiba, bahkan tanpa direncana akan terjadi sesuatu. Pek Giok Bwee berpaling dan sepasang matanya menatap mata Ji Han Su.

Sorotan mata wanita muda dan jelita itu sudah cukup berarti bagi Ji Han Su. Jika mereka telah memahami maksud satu dan lainnya, kiranya hanya dengan sorot mata saja cukup pengganti seribu patah kata yang terucapkan. Maka mengertilah Ji Han Su akan maksud isterinya yang tercinta itu, laki-laki yang berwajah halus itu hanya tersenyum sebagai jawaban dan memahami maksud Pek Giok Bwee. Sedangkan Siauw Liang membalikkan tubuhnya menghadap kepada kakek berjubah putih atau Pek-hi-siu-si yang sudah berdiri lagi diatas batu besar yang tadi, diatas batu besar itu Pek-hi-siu-si tampak bersedakep sambil tersenyumsenyum memandang kearah Siauw Liang.

"He Pek-hi-siu-si ! Kini ayah bayi itu telah binasa ! Apa yang kau perbuat terhadap bayi yang malang itu ?!” seru Siauw Liang dengan mata berapi-api sambil menuding kearah bayi yang dalam gendongan Pek Giok Bwee.

Tetapi kakek sakti berjubah putih atau Pek-hi-siu-si hanya tersenyum dan memandang dengan tenang kearah Siauw Liang, seolah-olah kakek itu tidak mendengar seruan Siauw Liang.

Saat itu Siauw Liang sudah tidak dapat menahan kegusarannya lagi. Lakilaki yang berangasan itu menatap mata Pek-hi-siu-si dengan pandang mata berapi-api karena kegusaran dan akan membentak. Tetapi Pek Giok Bwee telah melangkah maju. "Rupanya Pek-hi-siu-si tidak merasa kasihan dengan bayi yang malang melintang dan tidak berdosa ini. Kita sampai hati menyaksikan bayi ditelantarkan dan menderita. Maka jika kau orangtua merasa sungkan untuk merawat bayi ini seperti permintaan dari ayah bayi ini, maka kami Sin-ciu-samkiat yang akan merawatnya. Hanya sayang sekali bahwa setelah peristiwa ini, selanjutnya kau tak pantas lagi dipanggil dengan Pek-hi-siu-si dan orang-orang di kalangan Kang-ouw.. . “ seru Pek Giok Bwee dengan mata menyala bening dan sepasang bibir yang tipis merah jambu, tetapi kata-kata itu terputus sebelum selesai terucapkan karena Pek-hi-siu-si memberikan isyarat kepada wanita cantik itu untuk berhenti berbicara. Kemudian terdengar bentakan kakek itu dengan suara lantang. "Apakah kalian tahu, mengapa aku menjadi sungkan untuk mengangkat bocah itu menjadi calon muridku? Apakah kalian juga tahu siapakah musuh besar bocah itu?” seru Pek-hi-siu-si memberondong dengan nada gusar.

Kemudian diam menunggu jawaban dari ketiga pendekar yang berdiri saling berpandangan dihadapan kakek itu.

Tetapi ketiga orang Sin-ciu-sam-kiat tetap membisu. Mereka tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dengan sinar mata hitam dan tajam kakek sakti berjubah putih itu memandang mereka. Kemudian terdengar suara kakek itu lagi. "Aku orang tua sebenarnya bukannya tidak sudi untuk menerima bayi ini menjadi calon muridku, tetapi aku tidak sudi kelak mendengar dan menyaksikan dia binasa ditangan musuhnya. Padahal aku telah bersusah payah membimbing dan melatih ilmu padanya.. .!” seru Pek-hi-siu-si dengan suara datar. Kemudian kakek itu melirik lagi kepada ketiga pendekar yang berdiri saling berpandangan dihadapannya. Ketiga pendekar itu tidak paham dengan maksud kakek sakti itu. Mengapa justru kakek itu menceriterakan semuanya itu kepada mereka padahal mereka telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan ilmu pedang Pek-hi-siu-si. Apalagi telah menyaksikan jurus sakti Bo-kit-sin-kong atau tenaga dalam sakti tanpa tanding, yang ternyata telah mampu dengan mudah menahan tekanan bacokan golok Siauw Liang. Pula dengan ilmu pedag Lik-siang-kiam-hoat atau ilmu pedang yang benar-benar mukjizat yang telah berhasil melumpuhkan permainan golok Siauw Liang dengan mudah. Kedua jurus ilmu pedang dan sinkang itu yang telah berhasil mengangkat derajat kakek sakti Pek-hi-siu-si dikalangan Kang-ouw sebagai pendekar nomor satu yang tak terkalahkan selama tiga puluhan tahun.

Sesaat kemudian Ji Han Su melangkah dua tindak kedepan dihadapan Pekhi-siu-si berdiri dan pemimpin Sin-ciu-sam-kiat menghormat dengan membongkokkan tubuh kearah kakek sakti itu.

"Kita sudah mendengar nama besar dan keluhuran budi Pek-hi-siu-si dikalangan para pendekar baik dari kalangan putih maupun hitam. Tetapi jika.. . “

seru Ji-Han Su dengan suara mendatar dan sopan. Tetapi kata-kata itu tidak diteruskan karena dipotong oleh Siauw Liang.

"Twako!” seru Siauw Liang dengan suara keras memotong, "Jangan tanya panjang lebar lagi! Kita ingin tahu siapakah sebenarnya musuh besar bocah ini kelak yang begitu meragukan Pek-hi-siu-si akan kemampuannya. Padahal Pekhi-siu-si telah menjagoi dunia persilatan nomor satu dikolong langit, tetapi masih merasa khawatir juga.. . “ seru Siauw Liang dengan nada mencibir dan gusar.

Mendengar kata-kata yang kurang enak itu Pek-hi-siu-si bukannya marah atau tidak memperlihatkan kegusaran hatinya. Wajah kakek itu tetap tenang dan tersenyum serta mengelus-elus janggutnya dan matanya yang bersinar tajam itu memandang tajam kearah Siauw Liang.

"Hemm.. . . kalau kalian mendesak padaku untuk memberitahukan musuh besar bocah ini yang sangat kutakuti itu, baiklah.. “ seru kakek berjubah putih itu dengan suara datar dan sabar.

Sekali lagi dipandangnya wajah ketiga pendekar yang berdiri dihadapannya dengan sinar mata tajam dan sejuk. Ketiga orang itupun memandang Pek-hisiu-si dengan keinginan yang mendesak dan tidak sabar. Tiba-tiba Pek-hi-siu-si menundingkan jari telunjuk tangan kanan kearah langit. Dimana saat itu tampak bulan sabit yang baru saja ditinggalkan oleh awan.

"Ciam Gwat !” seru Siauw Ling tanpa terasa dan setelah itu dia membisu menundukkan wajahnya menatap pandang kearah batu-batu.

Ji Han Su dan Pek Giok Bwee juga terperanjat ketika mendengar seruan Siauw Liang menyebut "Ciam Gwat” tadi. Ciam Gwat atau bulan sabit dikalangan persilatan mempunyai arti tersendiri. Bukan dari segi keindahannya yang syahdu. Tetapi Ciam Gwat adalah gelar seorang pendekar wanita yang maha sakti ilmu silatnya lagi pula mempunyai sifat ganas dan keji.

Sejenak kemudian Pek Giok Bwee berpaling kearah Pek-hi-siu-si, sedangkan bayi dalam pondongan wanita jelita itu telah tertidur dengan tenangnya.

"Kita tidak menghiraukan tentang musuh besar bayi ini, juga kita tidak merasa gentar akan kesaktian dan kehebatan musuh besar bocah ini. Tetapi kita telah bertekad untuk memelihara bocah ini dan akan kita didik segala macam ilmu yang kita miiliki. Kita tidak ingin menyaksikan bayi ini terlantar di jurang ganas ini, sedangkan urusan dikemudian hari bukan ditangan kita.. .” seru Pek Giok Bwee dengan suara lancar dan melengking bersemangat, serta berkali-kali menyaksikan wajah bayi yang malang dan kini telah tertidur dalam pondongannya itu. Kemudian Pek Giok Bwee berpaling kepada Ji Han Su dan Siauw Liang dengan kilatan sudut matanya sambil berseru "Mari kita berlalu dari jurang ini!”

"Sabar” seru Pek-hi-siu-si sambil mengangkat tangan kanan kearah mereka bertiga, "Sebenarnya aku telah mempunyai sebuah rencana untuk memelihara bocah itu, baiklah kalian pelihara terlebih dahulu bocah itu dengan baik dilembah telaga Cui-ouw, sepuluh tahun lagi aku akan datang dan melanjutkan mendidiknya..!” seru Pek-hi-siu-si dengan suara datar dan bersungguh-sungguh.

Setelah selesai dengan kata-katanya itu dia mengelus janggutnya dan memasukkan tangan kiri kedalam saku jubahnya, keningnya berkerut seolaholah mengingat sesuatu.

Mendengar penjelasan itu ketiga Sin-ciu-sam-kiat tercengang. Mereka saling berrpandangan dan beralih memandang Pek-hi-siu-si dengan sorot mata heran karena baru saja kakek berjubah putih itu menyatakan bahwa dia tidak sudi memelihara bayi itu, mengapa sekarang dia telah berubah ? "Menurut pendapatmu, kita bertiga bersama memelihara bayi ini. Kemudian kaupun akan datang melanjutkan mendidik bocah itu dalam ilmu silat?” seru Ji Han Su dengan suara datar dan gembira.

Pek-hi-siu-si menganggukkan kepala dan tersenyum. kemudian menyambut dengan kata-kata pula "ya, itupun boleh, hanya aku yang sudah tua bangka ini merasa khawatir, apakah masih sempat menurunkan ilmu silatku pada bocah itu.” gumam kakek berjubah putih dengan suara lirih dan matanya berkilat memandang ke arah Pek Giok Bwee yang menggendong bayi malang itu.

"Haaa-haaa kau ini betul-betul sangat cerdik! Kau sengaja menjebak kita dan kau orang tua ternyata telah berhasil. Tak usahlah kau khawatir akan usiamu, karena usia tak dapat dijadikan naungan Thian!” seru Ji Han Su dengan suara mendatar dan terdengar cetusan rasa gembira dan bersahabat, walaupun tidak menghilangkan hormatnya kepada kakek itu.

Pek-hi-siu-si tersenyum mendengarkan penuturan itu. Dia merasa gembira dan tangan kirinya yang sejak dimasakkan kedalam saku jubah itu telah dikeluarkannya dan kakek menggenggam sesuatu benda.

"Kitab kecil ini adalah sebuah catatan tentang kelahiran bayi yang berada dltanganmu itu” seru Pek-hi-siu-si sambil memandang kearah Pek Giok Bwee serta memperlihatkan kitab kecil yang berada dalam genggaman tangan kiri.”

Bayi itu dilahirkan dari keluarga Tong bernama Kiam Ciu. Ayah bayi yang malang itu bernama Kim Seng dengan julukan Kun-tiat (sitinju besi) yang terkenal dikalangan persilatan pada masa-masa puluhan tahun yang lalu” seru Pek-hisiu-si seolah-olah menerawang pandangnya jauh kedepan. Sedangkan ketiga Shin-siu-sam-kiat bagaikan terpaku.

"Ohh Kun tiat.. .” guman Ji Han Su dan mereka memandang kearah Pek Giok Bwee. Pek-hi-siu-si tersenyum menyaksikan semuanya iu. Kemudian melanjutkan kata-katanya dengan suara sabar dan penuh bijaksana.

"Pada dewasa itu Tong Kim Seng atau Kun tiat pernah berkali-kali datang berkunjung kekediamanku, kemudian aku mengetahui bahwa dia telah mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sepuluh tahun aku tidak mendengar beritanya lagi, tiba-tiba kini dia telah muncul dan kudengar kabar bahwa semua keluarganya telah binasa. Keluarganya yang terdiri dari lima orang anak dan isterinya telah binasa. Tinggal bayi yang berumur sebulan itu yang selamat, atau berhasil diselamatkan.” seru kakek itu dengan suara penuh keharuan.

Pandangan mata kakek berjubah putih itu kosong menerawang ke langit.

Hatinya sangat terharu, sedangkan ketiga bersaudara Sin-ciu-sam-kiat tidak berani mengucapkan sepatah katapun.

"Hemmm.. . musuh besar bayi itu mempunyai ilmu silat yang luar biasa hebatnya. Jika kita berempat mendidik bocah itu dengan tekun dan bersungguhsungguh serta penuh kasih sayang, aku yakin bahwa kelak bocah itu akan menjadi seorang pemuda yang luar biasa. Aku telah minta kepada kalian untuk merawat bayi itu, karena aku yang sudah tua usia ini tidak dapat merawat bayi yang baru berusia sebulan itu. Aku belum mengundurkan diri dari dunia persilatan karena masih banyak tugas-tugasku yang harus kuselesaikan Oleh karena itu.. .” seru Pek-hi-siu-si dengan lancar, tetapi sebelum kata-kata itu selesai terucapkan telah disambut oleh Siauw Liang.

"Sudahlah!” seru Siauw Liang dengan suara mendongkol. "jika rencanamu memang tegitu, mengapa tidak sedari tadi kau katakan ?!”

"Hemmm.. .” hanya itu sambung Pek-hi-siu-si sambil tersenyum.

"Aku sudah terlanjur turun tangan dan mengadu kekuatan dan kekerasan tulang kekebalan kulit. Baiklah kelak aku masih akan mengadakan perhitungan denganmu?” seru Siauw Liang. Walaupun suaranya kasar dan kedengarannya seperti marah, namun ternyata kata-kata itu diucapkan dengan selingan senyuman yang bertambah melebar, kemudian terdengar tawa laki-laki berangasan itu. Menyaksikan hal itu Pek-hi-siu-si turut pula tertawa dan dengan suara tawa itulah berarti dia telah mengikat hubungan lebih erat dengan ketiga Sin-ciusam-kiat, "Maaf jika kita bertindak agak Iancang, kami Shin-chiu-sa-kiat menyatakan hormat setinggi-tingginya kepadamu dan dengan jalan ini aku berjanji akan memelihara dan merawat bocah ini dengan baik.” seru Ji Han Su dengan membongkok memberi hormat serta dengan suara penuh hati-hati.

"Akupun berjanji akan mewariskan ilmu silatku padanya” seru kakek berjubah putih dengan tersenyum tetapi nada suaranya bersungguh-sungguh dan didengarkan oleh ketiga Sin-ciu-sam-kiat dengan penuh perhatian. Mereka menunduk dan memperhatikan kata-kata yang terulangkan oleh Pek-hi-siu-si sebagai seorarg sakti dari golongan tua.

"Aku telah mengetahui bahwa kalian tinggal di suatu tempat di lembah telaga Cui-ouw. Sekarang aku masih mempunyai banyak urusan dan tak dapat menyertai kalian bertiga, Tetapi setelah lewat sepuluh tahun aku berjanji akan menemui kalian di lembah telaga Cui-ouw. Aku mengharapkan semoga kalian dapat memelihara bayi itu dengan baik” sambung Pek-hi-siu-si. Kemudian kakek itu menunjuk kearah mayat Tong Kim Seng yang masih menggeletak diatas tanah berbatu di dasar jurang Liong-houw-ya.

"Dia telah terluka parah dalam tubuhnya, telah disadarinya bahwa dirinya akan binasa. Hanya sayangnya dia harus meninggalkan dunia yang penuh lelakon ini dengan meninggalkan seorang bayi yang masih amat kecil dan baru berumur satu bulan.. . sungguh suatu kejadian yang sangat memilukan hati.. .

Hemmm. Marilah kalian bantu dulu untuk mengubur jenazah Tong Kim Seng dengan seksama” seru kakek berjubah putih dengan kerutkan kening dan meloncat turun dari atas batu besar menghampiri tubuh Tong Kim Seng yang telah lama menggeletak didasar jurang itu.

Setelah mengadakan upacara sembahyang secukupnya didepan kuburan Tong Kim Seng, maka Pek-hi-siu-si mengawasi keatas dan tampaklah langit sudah mulai terang menjelang fajar. Kakek itu mengangkat kedua tangannya dan mengembangkan jari jemari kedua belah tangan serta memberi hormat kepada ketiga Sin-ciu-sam-kiat.

"Nah, aku harus pergi sekarang! Selamat tinggal dan sampai kita bertemu kembali kelak.. .” seru Pek-hi-siu-si. Bersamaan dengan berakhirnya kata-kata itu dia telah berkelebat bagaikan terbang dan menghilang kebalik gunung.

Ketiga bersaudara Sin-ciu-sam-kiat memandang kearah menghilangnya kakek Pek-hi-siu-si. Mereka merasa kagum atas kehebatan kakek itu. Tanpa sengaja mereka serentak berseru memuji.

"Tidak mengherankan kalau dia disegani di rimba persilatan sebagai tokoh tua yang maha sakti. Dengan menyaksikan gerakannya itu saja kita telah dapat mengukur betapa tingginya ilmu meringankan tubuh Pek-hi-siu-si. Marilah kita pun harus cepat-cepat berlalu dari sini !” seru Siauw Liang sambil memutar tubuh kearah Ji Han Su. Ji Hau Su menganggukan kepala dan menghampiri Pek Giok Bwee yang masih menggendong bocah malang Tong Kiam Cu yang telah tertidur pulas.

Dengan langkah pasti mereka meninggalkan dasar jurang Liong-houw-ya. Paling belakang mengiringkan kedua suami isteri itu adalah Siauw Liang, sedangkan Pek Giok Bwee tampak berbabagia dan senang sekali mendapat seorang bayi yang bagus dan montok itu. Ditengah jalan berkali-kali wanita cantik itu menciumi pipi bayi dalam gendongannya itu. Namun bayi itu dengan tenang dan pulasnya tetap memejamkan mata dan tersenyum-senyum bibirnya yang tipis merah dan mungil itu.

Ketika itu didasar jurang Liong-houw-ya menjadi sepi. Hanya desir air gemericik dan desau angin yang meniup daun-daun cemara mengiris suasana sepi saat itu. Disana sini masih tampak darah membeku, ialah darah Tong Kim Seng yang telah binasa dan membisu di dasar jurang Liong-houw-ya.

Perubahan alam begitu tertentu dan tepat pada saatnya. Maka perlahanlahan tetapi pasti bulan sabit telah pudar dan tenggelam di cakrawala Barat.

Kemudian menyusul sinar merah jambu di ufuk Timur. Mentari pagi telah muncul menggantikan suasaaa malam yang gelap.

Demikianpun kehidupan manusia dari kegelapan berganti keterangan. Dari sedih berganti gembira, Silih berganti dan tidaklah layak berputus asa pada saatsaat menghadapi suatu perkara dan kesedihan.

***** Tahun-tahun lelah berlalu dengan cepatnya. Semenjak pertemuan ketiga saudara Sin-ciu-sam-kiat dengan Pek-hi-siu-si di Jurang Liong-houw-ya kini telah berlalu dengan cepatnya. Tahu-tahu telah mencapai sepuluh kali akhir musim semi. Sinar matahari menyinari bumi dengan sinarnya yang hangat. Burungburung berkicauan diatas pepohonan yang tumbuh disekitar telaga. Diatas air lelaga yang bening itu tampak bunga-bunga teratai yang beraneka warna.

Sedangkan sinar matahari yang menimpa air telaga dipantulkan kemilau dan memantulkan warna-warna sangat indah.

Demikianlah pemandaagan di telaga Cui-ouw pada akhir musim semi dan permulaan musim panas. Pemandangan yang sangat indah itu dapat mengenaskan rasa hanyut menerawang ke alam kenangan yang sukar dilukiskan. Suasana yang indah dan syahdu itu dengan tiba-tiba dipecahkan oleh sesuatu keributan. Terdengarlah bentakan-bentakan dan tawa dari atas air telaga, ternyata diatas bunga-bunga teratai diatas air telaga itu telah menjadi suatu yang luar biasa. "Hayo larilah, kau akan lari kemana sekarang ?” seru seorang bocah membentak sambil meloncat dari daun teratai yang satu keatas teratal yang lain diatas air telaga bening itu. Tetapi seorang gadis cilik yang cantik telah meloncat sangat indahnya dan mendarat dengan sangat lunak ditepi telaga.

Mereka tertawa sangat gcmbira. Ternyata kedua bocah itu sedang bersendau gurau dan melatih ilmu merirgankan tubuh atau Ging-kang. Dengan sangat gembira mereka berdua telah mengisi kesunyian disekitar telaga Cuiouw. Seperti juga burung-burung yang berloncatan diatas dahan-dahan pohon Liu disekitar telaga itu. Bocah laki-laki yang berusia sekira sepuluh tahun, wajahnya cerah dan matanya bersinar luar biasa. Dengan wajah putih bersih dan alis membentuk golok lebar. Sedangkan bocah perempuan yang meloncat ke darat itu adalah bocah yang sangat jelita dan halus kulitnya, pipinya montok dengan rambut hitam kelam dan panjang. Sepasang bibirnya tipis dan merah jambu selalu basah. Matanyapun berkilauan bagaikan kilatan golok jatuh tertimpa sinar surya. Bocah jelita itu berumur tujuh tahun.

Mereka berdua asyik berlatih dan bercanda. Berloncatan dan lari mengitari telaga Cui-ouw. Bahkan kadang-kadang mereka berloncatan diatas daun teratai diatas telaga. Gerakan-gerakan yang mereka lakukan sangat indah dan mempesonakan. Kalau dibandingkan dengan umur mereka yang masih sangat muda itu, sungguh sangat luar biasa.

Kedua bocah itu adalah kakak beradik, walaupun mereka bergembira bukan semata-mata hanya bersenang-senang bermain-main di hari cerah. Namun mereka sebenarnya sedang berlatih ilmu meringankan tubuh. Sikakak yang lebih tua tiga tahun itu telah menyaksikan adiknya meloncat kedararan. Maka dengan sekali genjot dibarengi sebuah pekikan melengking tahu-tahu bocah laki-laki itu telah melayang dengan jurus Cian-li-piauw-biauw atau melayang diangkasa sepanjang seribu lie, dia mengejar dan berhasil menangkap adiknya itu.

"Kau telah menangkap diriku, itu tidak mengherankan dan tidak luar biasa”

seru bocah jelita itu sambil memberengut dan mengibaskan lengan kiri yang digenggam oleh bocah laki-laki itu. "karena . . karena koko telah banyak belajar terlebih dahulu kepada ibu. Lagipula kalau aku dapat melepaskan diri tentu kau menjadi gusar.. .” sambung gadis cilik dan jelita itu seraya cemberut.

Kakaknya tertawa dan terlihatlah dengan jelas-jelas sederetan gigi-giginya yang putih dan teratur bagaikan mutiara berderet diantara sepasang bibirnya yang tipis. "Aku tak akan menjadi bergusar hati terhadap gadis cilik yang manis seperti kau.. “ seru kakaknya seraya melepaskan genggaman lengan adiknya dan tersenyum. "Cihhhh.. . “ sahut gadis cilik yang ayu itu sambil cemberut dan memalingkan wajahnya ke arah telaga, "sudah pintar kau sekarang!”

Setelah mereka bertengkar dan berolok-olok itu akhirnya mereka berdua istirahat diatas sebuah batu dan rerumputan yang hijau dibawah batang pohon liu. Bocah laki-laki itu menggigit-gigit batang rumput dan dipermainkan dimulutnya seraya matanya memandang jauh ke tengah-tengah telaga. Sedang gadis cilik yang jelita itu memegang jari manisnya yang tampak dilingkari sebentuk cincin bersinar merah. Sesaat gadis itu memandang cincin yang melingkar dijari manisnya dengan senyuman yang manis sekali. Kemudian tampaklah sepasang bibir gadis cilik itu bergerak.

"Cincin ini adalah pemberian ibu” seru gadis itu ketika diliriknya bocah lakilaki itu tampak memperhatikan cincin yang bersinar merah melingkar dijari manis adiknya. "Ibu menceritakan padaku babwa cincin ini adalah peninggalan nenek dan selain diwariskan kepada anak perempuan, kecuali.. .” belum selesai kata-kata itu dipotong oleh kakaknya.

"Kecuali apa!” seru kakaknya.

"Kecuali bila tidak mempunyai anak perempuan” sambung adiknya menjelaskan. "Oh.. jadi kalau ibu tidak melahirkan kau maka cincin itu diberikan kepadaku bukan?” kata kakaknya sambil tersenyum.

"Kira-kira begitulah.. “ seru adiknya. "aih.. . ternyata ibu lebih cinta padaku, lebih sayang buktinya cincin ini diberikan padaku.. “

"Tidak.. tidak! Ibu menyayangi kita berdua sama besarnya. Kasih ibu kepada kita tidak berbeda-beda, buktinya kita berdua diajarksn ilmu yang sama dan sangat baik.. “ seru kakaknya dengan tegas dan memandang wajah adiknya dengan sinar mata penuh sayang seorang kakak.

Sedang kedua bocah itu asyik berbicara dan berdebat. Tiba-tiba dikejutkan dengan suara ranting kering terpijak. Kemudian d.susul dengan suara tawa yang mengejutkan. Ketika kedua bocab itu berdiri dan berhimpitan tampaklah disamping mereka itu seorang kakek yang berwajah arif dan tenang. Kakek itu berdiri tegap sambll mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang melambai-lambai ditiup angin musim panas.

"Ha.. ha.. ha.. bocab, bocah yang baik dan pandai. Kalian rupanya kakak beradik yang lucu mengapakah kalian bertengkar ? Hemm.. siapakah namamu anak-anak yang manis.. .?” seru kakek berjubah putih dan berjanggut panjang putih melambai-lambai. "Aku Ji Tong Bwee dan ini kakaku bcrnama Ji Kiam Ciu..!” seru bocah jelita itu dengan berani dan tdak merasa sungkan-sungkan lagi. Bocah itu berhenti sejenak karena ketika dia memperhatikan wajah kakek itu tampak memperhatikan mereka berdua dengan sangat teliti dan mengherankan sekali.

Tetapi ketika diperhatikan bahwa kakek itu tampak kembali tersenyum maka Ji Tong Bwee melanjutkan kata-katanya, "Aku belum pernah mengenal dan melihat kakek. mengapakah kakek menanyakan nama kami?” setelah terhenti kata-kata Ji Tong Bwee maka dengan mendadak kakaknya menarik tangan gadis itu dan akan diajaknya berlalu. Tetapi tangan kakek berjubah putih itu mencegahnya.

"Kakek, kita dapat segera berlalu dari tempat ini jika kita mau” seru Ji Kiam Ciu sambil melototkan matanya, tetapi yang menarik hati mengapa kakek mencegah kami ?!” "Aku hanya ingin mengetahui sebetulnya kalian berdua ini anak siapa? Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu kalian berdua” sahut kakek itu dengan suara ramah dan tenang suaranya.

Tiba-tiba Ji Kiam Ciu telah meloncat tinggi sekali. Bocah laki-laki itu bermaksud melarikan diri dan meloncati melalui atas kepala kakek itu. Namun kakek itu dengan cepat sekali telah menggerakkan tangannya tahu-tahu Ji Kiam Ciu telah berada dalam dekapannya. Bocah itu meronta dan kedua kakinya menendang-nendang. Kakek berjubah putih hanya tertawa-tawa sambil memondong Ji Kiam Ciu yang meronta terus menerus dengan gerakan luar biasa. Diam-diam bocah itu merasa cemas dan heran. Ternyata kakek tua itu mempunyai gerakan luar biasa yang tidak terlihat oleh mata Ji Kiam Ciu. Hanya tahu-tahu dia telah berada didalam dekapan kakek itu padahal menurut pendapatnya bahwa didunia ini orang yang telah dia kenal sangat lihay hanyalah ibu dan pamannya yang telah mampu mengalahkan ilmu bocah itu. Tetapi kenyataannya kini dia harus berhadapan dengan kakek yang tampaknya sangat lemah itu ternyata mempunyai gerakan yang sangat cepat luar biasa.

Ji Kiam Ciu merasa kurang senang diperlakukan seperti itu dan dihalanghalangi maksudnya oleh sikakek berjubah putih itu. Maka dengan berani bocah itu membentak. "Jika kakek masih juga mencegah diriku maka aku terpaksa harus bertindak kurang ajar kepada kakek . .!” seru Ji Kiam Ciu dengan meronta dan kakek itu melepaskan pelukannya, hingga bocah laki-laki yang berani tetapi sopan itu terlempar beberapa tombak dan dapat berdiri dengan sangat lunak diatas rerumputan yang halus. Kakek berjubah putih yang kini sedang berhadapan dengan Ji Kiam Ciu dan Ji Tong Bwee dengan tenang dan tersenyum memandang kedua bocah itu.

Sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih itu selalu matanya yang bersinar tenteram itu mengamati segala gerak-gerik Ji Kiam Ciu.

"Bocah manja, mengapa kau ingin memukulku?!” seru kakek itu dengan senyum yang mempesona. "Apakah kau tahu aku ini siapa dan apakah ilmu silatmu sudah sedemikian lihaynya sehingga kau ingin mengukur kehebatan Ilmu silatku? Tetapi baiklah, majulah dan aku ingin mengukur sampai seberapa hebatnya ilmu pukulanmu.. .!” seru kakek berjenggot panjang itu sambil membongkok-bongkokkan tububnya dan kedua tangannya terbentang dengan jari-jemari terbentang pula.

Ji Kiam Ciu walaupun masih bocah berumur sepuluh tahun, namun dia adalah seorang bocah yang berani dan berjiwa satria. Mendengar tantangan itu sebagai seorang satria pantang mundur, Maka dengan meloncat kedepan tahutahu bocah itu teJah berdiri dihadapan si kakek berjanggut putih.

Ji Kiam Ciu telah siap siaga dengan kuda-kuda miring dan sepasang lututnya melengkung tapi kuat melekat diatas tanah telaga. Kedua tangannya mengepal tinju disisi tubuh dengan sikap siaga.

Ketlka diamatinya bahwa kakek berjenggot panjang itu dalam keadaan lengah maka sekali mengembor bocah itu telah meloncat mengirimkan tendangan dan pukulan beruntun silih berganti. Gerakan bocah itu sangat lincah dan bagaikan tupai berloncatan sangat indah sekali.

Diam-diam kakek itu merasa kagu.m juga menyaksikan gerak indah dan hawa pukulan luar biasa. Namun demikian kakek itupun dengan sangat tenang ternyata dapat luput dari segala serangan Ji Kiam Ciu. Hanya angin pukulan yang lemah dapat terasa menyerempet lengan dan wajahnya.

Ji Kiam Ciu merasa gusar juga karena beberapa jurus telah berlalu, tiada sebuah pukulanpun yang berhasll mengenai lawannya. Maka kini bocah itu mengikatkan ilmu pukulannya dengan meloncat mundur dua langkab kemudian menyilangkan kedua lengannya di dada. Ketika dia menarik kaki kanan digeser kebelakang seJangkah segeralah menggembor lantang dan meloncat dengan jurus Cui-siong-lok-hua menumbuk dada kakek berjanggut panjang dan putih didepannya. Jurus Cui-siong-lok-hua atau angin tofan meniup bunga itu sesungguhnya sebuah ilmu yang luar biasa hebatrya. Ilmu andalan Siauw Liang, pukulan itu kalau sudah diyakini benar mempunyai kehebatan yang luar biasa. Apalagi tubuh manusia sedangkan gunung saja dapat bancur lebur kalau terkena pukulan itu. Baru seorang bocah yang masih kecil tenaganya itu saja telah terasa perih serempetan angin pukulannya ke pipi kakek yang usilan itu. Namun kakek itu bukannya terkejut mendapat kenyataan itu, malah dia tersenyum dan memuji.

"Bagus! BigusT' seru kakek itu seraya memutar tububnya menghadap kearah Ji Kiam Ciu yang baru saja menginjak tanah dari loncatannya.

Ji Kiam Ciu begitu menginjak tanah segera memutar tubuh dan langsung menyerang kakek itu dengan kaki dan tangannya. Kemudian meloncat mundur menggeserkan kaki kanan dan sekali lagi mengirimkan pukulan dengan jurus Cui-siong-lok-hua kearah ulu hati kakek itu. Pukulan yang memerlukan tenaga hebat itu menarik tubuh bocah itu kedepan dan tahu-tahu tengkuknya terkena pukulan telapak tangan lawan.

Ketika dia dapat menguasai diri kembali, kakek. itu telah lenyap dari hadapannya. Segeralah Ji Kiam Ciu memutar tubuh dan ketika dia melihat kelebatan tubuh kakek iiu segeralah dia menggembor. Maka bersamaan dengan suara gemboran melengking itu tampaklah Ji Kiam Ciu meloncat. Tanpa raguragu dia mengirimkan dua pukulan sekaligus dalam jurus Liong-hong-hun-hui atau Naga dan Cenderawasih terbang berpisah.

Jurus Liong-hong-hun-hui atau Naga dan Cendrawaaih terbang berpisah adalah sebuah jurus pukulan dua tinju berbareng untuk memukul dua lawan sekaligus. Serangan dengan jurus itu dilancarkan oleh Ji Kiam Ciu dengan hebat dan gencar sekali. Ternyata bocah itu hampir sempurna melatih ilmu pukulan yang luar biasa itu. Namun kakek berjanggot panjang dan putih itu memang bukan lawan Ji Kiam Ciu. Sekali pukulan yang bertenaga hebat itu telah telah mendekati ulu hati dia sempat memiringkan tubuh dan ketika itu pula kakek aneh merasa kaget ternyata lambungnya hampir saja terkeca pukulan berikutnya.

"Luar biasal” seru kakek berjanggut putih itu sambil meloncat menghindari pukulan kembar yang luar biasa. Berkibarlah ujung baju jubah kakek berjanggut panjang dan putih itu. Ketika dia berhasil menghindari serangan beruntun kepalan tinju berputar bocah itu maka sempat pula orang tua itu memperhatikan kesungguhan Ji Kiam Ciu, si kakek itu mengelus janggutnya dan tersenyum. Justeru pandangan mata dan senyuman kakek itu yarg membuat hati Ji Kiam Ciu menjadi bertambah penasaran. Dengan loncatan pendek dan bersiaga serta melintangkan kedua lengannya didada. Kiam Ciu menghadang didepan lawannya. Dengan sinar mata mengkilat tajam diawasinya gerak-gerik aneh lawannya yang sudah tua. Tampak dimata Kiam Ciu bahwa kakek. itu sama sekali tidak mempunyai keistimewaan, namun pada saat-saat dia mengirimkan serangan baik tendangan maupun pukulan selalu dapat dihindari dengan cepat dan tidak terduga.

Keiika diketahuinya ada lubang kelengahan lawannya. maka segeralah bocah iiu meloncat. Loncatan itu ringan sekali dengan mengerahkan tumit kaki kanan kedepan mengarah tenggorokan lawan. Ji Kiam Ciu mengirimkan tendangan dan pukulan dengan jurus Liong-hong-hun-hui dengan lebih hebat dan cepat. "Bet-bet wut wut” terdengar suara pukulan bocah iiu menubruk sebuah benda dan angin pukulan mcndesak kearah kakek berjanggut. Tetapi Kiam Ciu menjadi sangat terperanjat. Karena kenyataannya pukulan tangannya serasa memukul benda berisi pasir. Sangat berat dan dengan tidak terduga pukulan berikutnya ternyata menyambar tempat kosong.

Kiam Ciu terhuyung karena tekanan tenaganya sendiri, hampir saja pemuda cilik itu jatuh. Namun dengan sebuah putaran tubuh yang sangat indah Kiam Ciu berhasil mengimbangi dan mengurangi tenaga dorong tububnya. Ketika dia berhadapan dengan kakek itu kembali, maka tidak menunggu lawannya siap siaga lebib lanjut. Menurut pendapat bocah cerdik itu, lebih baik dia mendahului menyerang sebelum lawan dalam keadaan siap siaga. Maka kini dia menggembor nyaring dan meloncat.

Limbungan tubuh bocah itu begitu tinggi dan seolah-olah terbang, sedangkan kakek itu memiringkan tubuhnya dan mengangkat tangan kanan keatas kearah mata kaki Kiam Ciu. Ketika kepalan tinju kakek itu berbentur dengan mata kaki bocah cilik yang bandel dan terdengarlah sutra jeritan.

"Aduh !” seru jeritan tertahan meluncur dari mulut mungil Kiam Ciu. Dengan memutar tubuh untuk mempercepat terjunnya bocah itu telah berdiri diatas tanah kemudian jatuh dan menggelundung kesamping.

Kakek itu menjadi heran dan terperanjat dengan perbuatan Kiam Ciu itu.

Betul-betul dia tidak tahu dengan ilmu Trenggiling itu Kiam Ciu berusaha mengelabui mata lawan dan sebelum kakek itu menadi sadar apa yang sedang dilakukan lawan, tahu-tahu bocah itu teiah meloncat berdiri dengan cepat dan langsung menyerang selangkah kakek itu dengan tendangan punggung kaki kanan. "Bagus !” seru kakek itu untung dapat segera meloncat tinggi serta mengirimkan hantaman sisi tapak tangan kepunggung Kiam Ciu.

"Buk !” terdengar benda berat jatuh, bersamaan dengan kaki kakek itu telah memijak kemball diatas tanah berumput halus.

Ji Kiam Ciu adalah seorang anak pemberani dan keras lepala. Walaupun dia terjatuh, jatuhnya tidak begitu keras namun tidak urung matanya berkunangkunang dan sejenak kepalanya menjadi pening. Anak itu telah bertekad tidak mau mengakui kalah melawan kakek berjubah putih. Dia berusaha untuk berdiri.

Ketika dia telah berhasil berdiri kembali dan tanpa membetulkan pakaiannya yang awut-awutan dan kotor, karena didorong oleh amarah yang telah memuncak. Maka Ji Kiam Ciu telah memasang kuda-kuda. Bocah itu bermaksud menyerang lawannya dengan mempergunakan jurus Liong-honghun-hui atau Naga dan Cendrawasih terbang berpisah.

Terlihat kakinya telah menancap kokoh diatas tanah Dalam kuda-kuda sepasang kaki terpentang. Kemudian menekuk lutut dan meloncat kearah Pekhi-siu-si.

Bertepatan dengan loncatan itu tiba-tiba terdengar suara menegur dengan nada suara keras dan sangat berpengaruh terhadap bocah itu.

"Tahan ! Kiam Ciu ! Jangan kurang terhadap seorang Locianpwee !”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar