Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 35 (Tamat)

Jilid 35 (Tamat)

Peng-say tidak ingin banyak omong lagi dengan dia, katanya dengan setengah berteriak, "Sudahlah, boleh kau katakan kepada pimpinanmu, mimpi pun jangan harap akan mendapatkan buku nada serulingku.”

"Dengan penjelasanku ini tujuanku agar kau dapat memahami maksud kami," kata Sip-lik Taysu. "Tentang buku nada seruling, Kaucu bertekad harus mendapatkannya. Jika tidak kau serahkan, jiwamu tak dapat dipertahankan lagi.”

"Hm, sejak dahulu sampai sekarang, orang hidup akhirnya pasti mati!" jawab Peng-say tanpa gentar.

"Daripada mati terpuji kan lebih baik hidup tercela!" ujar Sip-lik.

"Biarpun kuserahkan buku nada yang kalian inginkan, akhirnya akupun tidak terhindar dari kematian," kata Peng-say.

"Untuk ini tidak perlu kau kuatir, asalkan buku nada kau serahkan, bila Kaucu hendak membunuh kau, biarlah aku mati bersamamu!" kata Sip-lik tegas.

"Terima kasih," ucap Peng-say. "Tapi, kalau tidak sampai dibunuh. lalu bagaimana pula dengan nasibku nanti?" "Dengan sendirinya membebaskan kau," kata Sip-lik.

"Bebas dalam keadaan baik tanpa cedera sedikit pun?”

Peng-say menegas.

"Untuk ini.... . ." Sip-lik menjadi ragu-ragu untuk menjawab.

Sejenak kemudian, tiba-tiba ia berkata pula, "Kau tunggu sebentar, akan kutanyakan kepada Kaucu.”

"Pokoknya aku harus dibebaskan tanpa cedera apa pun, bahkan juga harus dijamin akan diperlakukan dengan baik dan diberi ketenangan, dengan demikian barulah dapat kutuliskan nada Siau-go-yan-he." kata Peng-say tegas.

"Kalau tidak,_hm, biarpun kalian akan menggunakan cara keji apa pun terhadapku boleh silakan laksanakan saja, jika aku berkerut kening sedikit saja jangan dianggap sebagai keturunan keluarga Sau dari Lam-han!”

Tanpa bicara lagi Sip-lik Taysu lantas meninggalkan Peng-say. Tidak lama kemudian dia datang kembali, katanya sambil menggeleng: "Kaucu tidak dapat menjanjikan tanpa cedera apa pun bagimu. Kata beliau. asalkan buku nada seruling sudah kau serahkan, jiwamu pasti diampuni dan memberi kemerdedkan padamu.”

"Jika tak dapat terhindar dari cedera sedikit pun, lalu cara bagaimana dia akan mencelakai diriku?" tanya Peng-say.

"Memunahkan ilmu silatmu," tutur Sip-lik Taysu.

Peng-say terbahak-bahak, teriaknya: "Hahaha! Kenapa tidak penggal saja kepalaku"!”

"Selama gunung masih menghijau. tidak perlu kuatir takkan ada kayu bakar," ujar Sip-lik Taysu berusaha membujuk. "Adik cilik, kau masih muda belia. . . .”

"Sudahlah, boleh kau pergi saja!" potong Peng-say dengan tidak sabar.

Tapi Sip-lik Taysu masih belum putus harapan, ia coba membujuk pula: "Adik cilik, kau. . . .”

Mendadak Peng-say mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu dan membentak dengan gusar, "Jangan banyak omong lagi, apa kau minta kuhantam mampus kau"!”

Sip-lik menjadi keder, ia menyurut mundur hingga diluar jangkauan Peng-say, setelah terdiam sejenak, kemudian ia berkata pula, "Kaucu memberi batas waktu satu malam bagimu untuk mempertimbangkannya, besok aku akan datang lagi.”

Tapi Peng-say terus berduduk bersandar dinding dan tidak menghiraukannya.

Sip-lik Taycu berkata pula: "Menurut Kaucu, dengan nada kecapi tinggalan Kik-tianglo saja sudah lebih daripada cukup untuk menundukkan tokoh Bu-lim mana pun.

mengenai buku nada seruling, ada syukur, tidak ada juga tidak menjadi soal. Kenapa kau berkeras kepala mempertahankan nada seruling yang sebenarnya tidak ada artinya lagi bagi Kaucu dengan mempertaruhkan jiwamu yang berharga?”

Namun Peng-say tetap tidak menggubrisnya.

Sampai agak lama, karena anak muda itu tetap tidak menghiraukannya, Sip-lik Taysu menghela napas, katanya: "Baiklah, boleh kau renungkan lagi nasihatku ini, besok aku akan datang lagi untuk minta jawabanmu. Selewatnya besok, siapapun tidak berani menyelamatkan kau lagi, sebab Kaucu sudah memerintahkan algojo agar siap pada malam hari besok.”

Setelah tertegun sejenak, akhirnya Sip-lik melangkah pergi sambil menggeleng.

Peng-say sudah bertekad akan menghadapi kematian dengan ikhlas. Pikirnya: "Daripada ilmu silatku dipunahkan musuh dan sakit hati kematian ayah dan segenap anggota perguruan tak terbalas, kan lebih baik mati saja bagiku!”

Baginya, tamak hidup di dunia ini sebagai pengecut takkan dilakukannya, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup ternista.

Seorang kalau sudah bertekad akan mati, hatinya akan menjadi tenang malah.

Begitulah Peng-say terus berduduk tenang bersandar dinding, ia tidak mau memikirkan apa2 lagi. Sang waktu berlalu dengan cepat, sedetik, semenit. . . .terus berlalu, akhirnya fajar pun menyingsing. Biasanya, pada waktu subuh, pada saat dekat fajar itulah tidur orang paling lelap.

Saat itu Peng-say masih tidur nyenyak, ketika tiba-tiba dirasakan sesuatu, mendadak ia terjaga bangun. Ia merasakan ada sesuatu perubahan yang luar biasa, suara langkah penjaga di pintu penjara itu entah mengapa mendadak tak terdengar lagi.

Selagi Peng-say merasa heran dan curiga, sekonyongkonyong seorang di dalam penjara menegur dengan suara tertahan, "Siapa itu?”

Peng-say tahu, kecuali di sekeliling luar penjara itu terdapat penjaga yang terus berputar tiada hentinya, di dalam penjara terdapat pula sembilan orang penjaga. Hal ini diketahuinya dari suara mendengkur mereka penjagapenjaga itu, dari suara mendengkur itu pula dapat diketahuinya penjaga-penjaga itu bukanlah perajurit biasa melainkan jago silat pilihan. Mungkin penjagaan terhadap Peng-say memang sengaja diperketat.

Orang yang menegur dengan suara tertahan tadi mungkin juga baru terjaga bangun seperti Peng-say dan sama merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Terdengar orang itu membuka pintu penjara, lalu suaranya bertanya pula, "Siapa itu?”

Agaknya delapan orang temannya yang sedang tidur itupun terjaga bangun, semunya lantas berbangkit dan siap siaga. Seorang di antaranya bertanya, "Lau Pek, ada kejadian apa?”

"Kukira ada sesuatu yang tidak beses," jawab orang she Pek yang ditanya itu.

"Kau keparat yang suka ngacau," demikian omel seorang lagi, "fajar saja hampir menyingsing, masakah bisa terjadi “

Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara "ngek" tertahan, hampir pada saat yang sama berturut-turut terdengar suara "blak bluk" sembilan kali, lalu sunyi kembali seperti semula.

Diam-diam Peng-say terkejut akan kelihayan pendatang ini, bila dirinya disuruh mengatasi sembilan jago pilihan Mo-kau dalam waktu sekejap itu rasanya sulit dilakukannya. Pendatang ini menggeledah tubuh kesembilan jago Mokau yang sudah tak bisa berkutik itu, dari salah seorang itu dapat ditemukan serenceng anak kunci, lalu pendatang ini memeriksa setiap kamar tahanan, ketika sampai di depan kamar tahanan Sau Peng-say, dia berhenti, lalu memasukkan anak kunci pada gemboknya.

Melihat pendatang ini bermaksud menolong dirinya, cepat Peng-say bertanya, "Siapakah Anda ini?”

Namun orang itu diam saja, rupanya anak kunci yang satu tidak cocok, segera ia ganti anak kunci yang lain.

Peng-say coba mengamat-amatinya, dalam kegelapan dilihatnya orang itu berpakaian hitam ringkas, sampai kepalanya juga memakai kedok kain hitam. seluruh kepala terkerudnng, hanya kelihatan kedua matanya saja. Kalau dipandang sepintar lalu dandanannya mirip -mirip seorang algojo, cuma perawakannya langsing kecil, jelas bukan lelaki. Setelah mencoba beberapa anak kunci, akhirnya pintu kamar penjara itu dapat dibukanya.

"Apakah kau ini.... nona Tonghong?" tanya Peng-say dengan sangsi.

Orang itu tetap diam saja, ia mendekati Peng-say, ia segera berjongkok dan bantu Peng-say membuka belenggu kakinya, tapi belenggu ditangan tidak dibukanya., anak kunci terus dimasukkan kedalam baju. Dia memutar tubuh keluar kamar tahanan sambil memberi tanda agar Peng-say mengikuti dia. Meski ragu-ragu, karena orang datang buat menolongnya, apapun juga maksudnya. yang penting kabur keluar penjara dulu.

Segera Peng-say melompat keluar dan mengikuti penolongnya itu. Mereka melalui sebuah lorong penjara, didepan mereka adalah sebuah ruangan besar masih didalam penjara itu. Di lantai ruangan tampak menggeletak disana sini beberapa sosok tubuh orang, semuanya berjumlah sembilan orang, semuanya tertidur nyenyak.

Waktu Peng-say memandang lebih cermat, agaknya pada Hiat-to tidur masing-masing itu terkena sebuah Am-gi atau senjata gelap yang sangat lembut, senjata halus demikian biasanya hanya dapat disambitkan dengan jentikan jari.

"It-ci-sian!" seru Peng-say dengan suara tertahan.

Pantas dalam sekejap saja kesembilan jago Ma-kau itu dapat dirobohkannya, kiranya mereka terkena oleh senjata rahasia kecil yang diselentikkan dengan jari. Hal ini cukup sederhana untuk dijelaskan, kalau bukan ilmu tenaga jari sakti It-ci-sian di dunia ini tiada orang yang mampu sekaligus menyambitkan sembilan biji senjata rahasia lembut itu dan dapat mengenai Hiat-to sembilan lawan dengan jitu. Mendengar suara Peng-say tadi, orang itu menoleh, biji matanya yang hitam pekat itu menatap Peng-say dengan sorot mata yang tajam.

"Di mana si bangsat tua Ciamtay Cu-ih?" tanya Peng-say dengan suara tertahan, rupanya sekarang dia sudah tahu siapa penolongnya ini.

Namun orang itu hanya menggeleng saja tanpa menjawab. "Maksudmu kau tidak tahu?" tanya Peng-say pula.

"Bukankah tempo hari telah kau bawa pergi dia?”

Orang itu menghela napas pelahan, ucapnya dengan suara lirih, "Satu tangan dan satu kakinya sudah buntung, kukira sudah cukuplah untuk menebus dosa selama hidupnya.”

Untuk pertama kalinya orang ini membuka suara. Pengsay merasa suara orang sudah pernah dikenalnya, cuma seketika tidak ingat dimana pernah mendengar suaranya.

Seingatnya, diantara orang yang pernah dikenalnya dengan baik tiada seorang pun yang menjadi Nikoh.

Maka tanpa banyak pikir ia lantas berkata, "Cayhe tidak mau menerima budi pertolonganmu tanpa sebab dan alasan."' Kesempatan ini cepat digunakan orang itu untuk berkata: "Kumohon agar engkau suka mengampuni jiwa Hong-hoawancu!" "Hanya membuntungi satu kaki dan satu tangannya saja belum cukup untuk menggantikan nyawa Yak-leng dan nona Liu, betapapun tak dapat kuterima permintaanmu,”

kata Peng-say. Habis berkata segera ia membalik tubuh dan hendak kembali ke kamar tahanannya tadi.

Dengan sekali melompat, secepat burung terbang orang itu telah mengadang di depan Peng-say, serunya cepat dan kuatir: "He, hendak ke mana kau?”

"Karena Cayhe tak dapat menerima permintaan nona, terpaksa kukembali ke kamar tahanan tadi dan menantikan hukuman mati yang akan dijatuhkan Tonghong Put-pay padaku," jawab Peng-say.

"Jika demikian, bila kau sudah mati, bukankah Honghoa-wancu tetap dapat hidup di dunia ini?" ujar orang itu.

"Daripada hidupku tidak dapat membunuh bangsat tua itu, akan lebih baik kalau kumati saja." kata Peng-say tegas.

"Ah, ini hanya alasan yang dicari-cari saja, tampaknya kau teramat kepala batu," ujar orang itu.

Tapi Peng-say lantas membentak: "Menyingkir!”

Berbareng ia terus menyeruduk ke depan, maksudnya hendak memaksa orang menyingkir agar dia dapat masuk lagi ke dalam kamar tahanan tadi.

Cepat orang itu mengegos ke samping, tapi pada waktu Peng-say berjalan lewat disisinya. secepat kilat ia tutuk Hiat-to tidur anak muda itu.

It-ci-sian adalah ilmu jari sakti termashur dari Ci-tiok-to di lautan timur, mana mampu Peng-say menghindarnya dalam keadaan tak ber-jaga2 begitu”

Ketika Peng-say siuman kembali, hari ternyata sudah lewat lohor, ia melihat dirinya berbaring di dalam sebuah rumah gubuk dengan tangan masih terbelenggu. Cepat ia melompat bangun dan keluar rumah gubuk itu.

Gubuk ini ternyata di bangun di tempat ketinggian .di bawah pepohonan yang rindang, dari atas memandang ke bawah sana dengan jelas dapat melihat Pah-kio yang membentang megah itu, dengan jelas juga dapat terlihat sebuah gubuk lain di bawah pohon sebelah sana, "Pantas dia tahu aku tertangkap Tonghong Put-pay, kiranya dia senantiasa mengintai dari sini, setiap gerak-gerikku jelas terlihat olehnya," demikian pikirnya.

Rupanya agar lebih leluasa mengadakan pertemuan dengan Tonghong Kui-le, selama di Si-an Peng-say tidak menginap di hotel agar jejaknya tidak mudah kepergok musuh. Untuk berteduh dia membangun sebuah rumah gubuk di suatu tempat ketinggian. Rupanya gubuk yang dapat dipandangnya dari sini adalah gubuk yang dibangunnya itu.

Sama sekali tak disangkanya bahwa di suatu perbukitan yang sama belum lama ini juga telah dibangun sebuah gubuk lain yang digunakan untnk mengawasi tindaktanduknya. "Secara diam2 dia selalu melindungi diriku, apakah tujuannya agar jiwa si bangsat tua Ciamtay Cu-ih itu dapat kuampuni" Untuk apakah dia berbuat demikian" Ada hubungan apakah antara dia dan Hong-hoa-wancu Ciamtay Cu-ih?" Demikian selagi Peng-say tidak habis berpikin mendadak orang yang berbaju dan berkerudung hitam yang menolongnya semalam muncul pula di belakangnya.

= = oo OdOwO oo = = Kini dia sudah kembali berdandan sebagai Nikoh, hanya mukanya masih pakai cadar kain hitam.

Dia melemparkan serenceng anak kunci kepada Peng-say dan berkata. "Bukalah sendiri belenggumu.”

Tapi Peng-say tidak menerima anak kunci itu, katanya, "Kau sengaja menolong diriku, tapi tidak pernah kujanjikan akan melepaskan Hong-hoa-wancu.”

Nadanya sekarang sudah agak sungkan, dia tidak memaki Ciamtay Cu-ih sebagai bangsat tua lagi di hadapan orang.

"Ingat, bila sekarang kubunuh kau semudah kubaliki tanganku sendiri," kata orang itu.

"Memangnya aku tak dapat hidup sampai saat ini, berkat pertolonganmu sehingga aku dapat menyambung hidup sampai sekarang. Karena jiwaku adalah hadiah darimu.

akan kau bunuh atau tidak boleh terserah kehendakmu, sedikitpun aku takkan melawan.”

"Aku memang dapat membunuh kau, tapi tidak akan kulakukan," kata orang itu, "Terima kasih. Tapi kau pun jangan lupa, setelah kubuka belenggu tanganku, jika kau hendak membunuhku tentu tidak gampang lagi.”

"Seyogianya harus kubunuh kau, sedikitnya harus kutabas satu kaki dan satu tanganmu.”

"Jika kau hendak membalaskan sakit hati Hong-hoawancu, silakan saja lekas turun tangan.”

Orang itu menjadi ragu-ragu dan berpikir sejenak, akhirnya ia menggeleng.

Peng-say menjemput anak kunci tadi, katanya, "Hendaknya dipikir lagi masak-masak, sebelum kubuka belengguku, hendak kau apakah diriku pasti aku tidak akan melawan.”

"Dan setelah belenggu kau buka?”

"Biarpun bukan tandinganmu juga akan kulawan sepenuh tenaga. Cuma. setengah tahun kemudian bila aku masih hidup dan kau juga tetap ingin menuntut balas bagi Hong-hoa-wancu, takkala mana aku tidak akan melawan lagi dan boleh kau bunuh diriku sesukamu sebagai balas budiku atas pertolonganmu sekarang ini.”

"Mengapa kau takkan melawan setelah lewat setengah tahun lagi?”

"Dalam waktu setengah tahun ini aku akan mencari Makau-kaucu untuk duel, bila beruntung aku masih hidup, sedikitnya sakit hati ayahku juga sudah terbalas, maka mati pun aku tidak menyesal lagi.”

"Kau dendam kepada Tonghong Put-pay karena dia membunuh ayahmu?”

"Betul. Maka bila sekarang kau tidak membunuh diriku berarti lebih berharga daripada kau telah menyelamatkan jiwaku." "Selamanya tiada maksudku hendak membunuhmu, sekalipun Hong-hoa-wancu adalah ayahku sedarah!" kata orang itu.

"Hah! Kau"!. . . ." seru Peng-say kaget.

"Aku. Sau Kim-leng, tentunya sudah kau ketahui Honghoa-wancu adalah ayah sedarahku" jawab orang itu sambil menanggalkan kain kerudungnya.

Memang betul, dia inilah Sau Kim-leng yang sudah berpisah selama tiga tahun itu.

"He, dan. . . .dan ilmu silatmu ini". . . ." seru Peng-say dengan tergegap.

Sungguh sukar untuk dipercaya bahwa hanya berpisah tiga tahun, Sau Kim-leng yang dulu lemah tak bertenaga, ibaratnya memotong ayam saja tidak kuat, tapi sekarang menguasai ilmu silat setinggi ini.

"Ilmu silatku adalah ajaran Keng-goat Sin-ni di Ci-tiok-to yang terletak di lautan timur sana," tutur Kim-leng.

"Ya, ilmu jarimu memang betul ilmu sakti It ci-sian yang terkenal dari Sin-ni, tapi ....tapi kau diketahui 'Lak-im-coatmeh' (buntu pada urat nadi bagian anggota badan), kenapa ....kenapa berhasil mempelajari ilmu silat" . . . . “

"Hong-hoa-wancu sendiri kan juga Lak-im-coat-meh?”

ujar Kim-leng. "Walaupun begitu juga cuma ilmu silat aliran Hong-hoa-wan saja yang dapat dipelajari oleh orang yang Lak-imcoat-meh, sedangkan ilmu silatmu bukan dari aliran Honghoa-wan, mana bisa jadi?”

"Di dunia persilatan umumnya hanya diketahui ilmu silat aliran Hong-hoa-wan lain daripada yang lain, tidak ada yang tahu bahwa ilmu silat Ci-tiok-to juga berbeda dengan ilmu silat umumnya," tutur Kim-leng.

"O, apakah maksudmu ilmu silat yang kau pelajari dari Keng-goat Sin-ni itu ada hubungannya dengan ilmu silat Hong-hoa-wan?" tanya Peng-say.

"Betul," tutur Kim-leng. "Sebelum menjadi Nikoh, asalnya Keng-goat Sin-ni she Ciamtay, jadi satu marga dengan Hong-hoa-wancu. Menurut cerita ibuku, Hong-hoawancu angkatan pertama dapat menjagoi dunia persilatan adalah karena dia berhasil mencuri belajar sebagian kungfu andalan Ci-tiok-to. Dan ibu kandung Keng-goat Sin-ni adalah isteri Hong-hoa-wancu yang pertama itu. Setelah ditinggal minggat sang suami, ibu Keng-goat Sin-ni lantas mencukur rambut dna menjadi Nikoh.”

"O, jika begitu, jadi Ciamtay Cu-ih terhitung apanya Keng-goat Sin-ni". . . .”

"Ciamtay Cu-ih adalah Hong-hoa-wancu angkatan ketiga, terhitung keponakan Keng-goat Sin-ni.”

"Apakah Hong-hoa-wancu yang pertama itu juga Lakim-coat-meh?" tanya Peng-say.

"Ya, justru karena dia juga Lak-im-coat-meh, maka biarpun cuma sebagian kecil saja ilmu silat Ci-tiok-to yang dicurinya, namun sudah cukup untuk menjagoi dunia persilatan," tutur Kim-leng.

"Lalu bagaimana selanjutnya dengan Ci-tiok-to?" tanya Peng-say pula.

"Ci-tiok-to telah mengisolasi diri dan putus hubungan dengan dunia luar," tutur Kim-leng. "Leluhur kami adalah pendekar di akhir dinasti Song, ketika bangsa Mongol menjajah Tionggoan, leluhur kami lantas kabur ke lautan timur sana, anak muridnya juga jarang menginjak Tionggoan lagi. Leluhur kami itu juga Lak-im-coat-meh sehingga keturunannya rata-rata juga begitu. Hong-hoawancu yang pertama asalnya adalah seorang nelayan, karena topan dia terdampar ke Ci-tiok-to dan diselamatkan oleh Tocu, lantaran nelayan itu pun Lak-im-coat-meh, Tocu menyukainya dan menjodohkan anak perempuan satu-satunya kepadanya. Setelah Tocu wafat, nelayan itu meninggalkan isterinya dan mendirikan Hong-hoa-wan.”

"Konon orang yang Lak-im-coat-meh tidak cocok untuk belajar silat, tapi kalau ketemu guru yang cocok, kemajuannva akau sangat pesat," tanya Peng say.

"Ya, mungkin betul," kata Kim-leng.

"Hal ini terbukti pada dirimu, hanya dalam waktu singkat selama tiga tahun saja, kemajuanmu sungguh sukar membuat orang percaya," ujar Peng say sambil menggeleng.

Mendadak Sau Kim-leng berlutut dan menyembah kepada Peng-say, katanya, "Kumohon engkau suka mengampuni jiwa ajahku.”

"He, cepat bangun," seru Peng-say dengan agak gugup.

Tapi Sau Kim-leng tetap memohon dengan sangat, katanya, "Meski dosanva tak dapat ditakar, tapi hendaklah kau pandang diriku, jelek-jelek dia adalah ayah-sedarahku, sudilah kau ampuni jiwanya.”

Peng-say tidak leluasa untuk membangunkan Kim-leng, terpaksa ia menghela napas, dan berkata, "Sudahlah! Di dunia ini siapa yang tidak sayang kepada ayah-bundanya sendiri" Malahan aku harus berterima kasih padamu karena kau tidak dendam atas diriku yang telah membuntungi kaki dan tangan ayahmu.”

Kim-leng berdiri, katanya. "Sesunggunnya kematian Piaumoaymu adalah gara-garaku.”

"Mengapa kau berkata demikian?" tanya Peng-say.

"Coba kalau Liok-ma tidak memalsukan Piaumoaymu sebagai diriku, mana dia bisa jatuh di tangan Ciamtay Boh-ko dan akhirnya terbunuh oleh ayahku" Jadi semuanya itu berawal dari diriku bukan?”

"Apa yang dilakukan Liok-ma itu kan bukan atas perintahmu. Liok-ma hanya tahu setia padamu, bukan salahmu." "Tapi jelas kutahu Liok-ma telah mengancam Piaumoaymu dengan keselamatanmu, terpaksa dia ikut pergi bersama Ciamtay Boh-ko, malahan aku sengaja mencemarkan nama baik Piaumoaymu dengan menuduh dia berjiwa kotor segala....." Kim leng meraba pipinya sendiri dan menyambung pula, "Lantaran ocehanku itu sehingga kau telah menggampar mukaku.”

"Maaf, waktu itu khilap sehingga sembarangan memukul kau," kata Peng-say dengan menyesal.

"Tapi tamparanmu itu sukar kulupakan," kata Kim-leng.

"Demi membalas dendam tamparan itu, aku sengaja mengembara ke lautan timur sana dan mohon Keng-goat Sin-ni mengajarkan ilmu sakti padaku.”

Bicara sampai di sini, ia merandek seperti hendak berbuat sesuatu.

Peng-say kuatir orang akan terus menamparnya, padahal tangan sendiri masih terbelenggu dan pasti sukar menangkis, maka cepat ia menyurut mundur dua langkah.

Tapi Kim-leng lantas berkata, "Kau tidak perlu kuatir, aku takkan membalas tamparanmu itu.”

Kalau sampai ditampar orang perempuan, sungguh Suatu penghinaan besar yang sukar dicuci, maka legalah hati Peng-say demi mendengar orang takkan menuntut balas padanya. Kim-leng berkata pula, "Setiba di Ci-tiok-to, Keng-goat Sin-ni mengharuskan aku menjadi ahli warisnya, kalau tidak beliau takkan mengajarkan ilmu sakti padaku.

Sebenarnya aku merasa berat meninggalkan dunia ramai ini, tapi setelah dibujuk dan dibina, aku menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini akhirnya adalah kosong belaka.

Maka dengan rela kucukur rambut dan menjadi Nikoh.

Sebab itulah dapat kupelajari ilmu sakti Sin-ni, selama tiga tahun ini tidak sia-sia jerih payahku, dulu aku diutus Sin-ni ke Tionggoan sini untuk menebus dosa dimasa lalu. Selama hidupku, satu-satunya dosaku adalah membikin celaka Piaumoaymu, sebelum urusan ini kuselesaikan dengan baik.

tidak nanti kupulang ke Ci-tiok-to lagi.”

"Kesalahan yang tidak sengaja bukanlah sesuatu dosa yang tak dapat diampuni, jangan kau pikirkan didalam hati," ujar Peng-say.

"Sebenarnya ingin kutemui Cin Yak-leng untuk minta maaf padanya, setelah dia memaafkan diriku barulah aku akan pulang ke Ci-tiok-to, tak tersangka dia tidak kuketemukan, malah kau yang kulihat lebih dulu. Kupikir bila aku mengikuti jejakmu, akhirnya pasti dapat bertemu dengan nona Cin. Siapa tahu dia sudah meninggal, bahkan mati di tangan ayahku. Apa yang dialami Liu Ji-si tempo hari juga kusaksikan sendiri, kusembunyi diatap rumah dan melihat dan mendengar semua perbuatan ayahku itu.

Sungguh tak tersangka ayahku adalah orang yang sedemikian kotor dan jahat, bahwa kau hendak membunuh dia untuk membalaskan sakit hati Piaumoaymu dan nona Liu, tindakanmu ini dapat dimengerti, tidak seharusnya kutolong pergi ayahku yang berdosa itu.”

Peng-say terdiam dan tidak menanggapi.

"Kau terima permintaanku agar mengampun jiwanya, tentunya sangat bertentangan dengan pikiranmu bukan?”

tanya Kim-leng.

"Sudahlah, urusan yang sudah lalu tidak perlu dibicarakan lagi," kata Peng-say.

"Aku masih ingat apa yang kau bicarakan tempo hari, karena kutolong orang yang hendak kau bunuh, kau mengancam pada suatu hari pasti akan memotong jariku, begitu bukan?”

"Ucapanku pada waktu gusar, hendaklah jangan kauanggap sungguh-sungguh." kata Peng-say.

Tapi Sau Kim-leng terus menjulurkan jari telunjuk kanannya dan berkata, "Tempo hari kugunakan jari ini untuk menyelentik patah pedangmu, dengan begitu dapatlah kuselamatkan ayahku. Jika karena terpaksa kau terima permintaanku agar mengampuni jiwa ayahku, biarlah kutabas sendiri jariku ini.”

Peng-say mengira orang hanya bicara sekadarnya, siapa tahu dia benar-benar memegang jari telunjuknya sendiri terus dipuntir, "krek", jari itu telah ditariknya hingga putus tulang berikut kulitnya darah pun lantas bercucuran.

Keruan Peng-say terkejut, tangannya masih terbelenggu, ingin mencegah pun tidak keburu lagi, serunya, "He, untuk apakah kau bertindak demikian"!”

Kim-leng tersenyum, ia pun tidak membungkus jarinya yang putus itu. katanya, "Piaumoaymu terbunuh oleh ayahku, tapi kumohon agar kau jangan menuntut balas kepada ayahku, terpaksa kugunakan jariku ini sebagai tanda terima kasihku kepada arwah Piaumoaymu, kelak aku masih akan berziarah lagi kemakamnya untuk memberitahukan segala apa yang terjadi dan memohon akan pengertiannya, dengan begitu dapatlah aku bertirakat di Ci-tiok-to dengan hati tenteram.”

Habis berkata, dengan kedua tangan terangkap di depan dada ia memberi hormat kepada Peng-say, katanya, "Hendaklah Sicu menjaga diri baik-baik." Lalu pergilah dia tanpa menoleh lagi.

Peng-say termangu-mangu memandangi potongan jari yang berlumuran darah di atas tanah itu, Tepat sang surya sudah terbenam di ufuk barat sana barulah ia menghela napas dan meninggalkan tempat itu.

"0O0--dw--0O0”

Dua bulan kemudian, pada setiap jalan raya penting di setiap kota besar tertampak papan pengumuman yang berbunyi sebagai berikut: Duel Maut Antara: Sau Peng-say, jago Lam-han dengan Siang-liu-kiam-hoatnya Melawan: Tonghong Put-pay, Ma-kau-kaucu Tempat : Lok-jit-keh, pegunungan Tiongtiau Waktu : Tanggal 1 bulan 12 jam 8 pagi Tidak ada yang tahu siapakah yang memasang papan pangumuman itu, tapi lantaran tertarik oleh nama "Lam-han", "Siang-liu-kiam-hoat", "Ma-kau-kaucu”

dan sebagainya, maka dunia Kangouw menjadi gempar.

Soalnya sudah lama orang Kangouw mengetahui anggota Lam-han sudah terbunuh habis oleh Ting Tiong dan Liok Pek, masa sekarang bisa muncul lagi orang Lamhan" Masakah Sau Ceng-hong masih mempunyai keturunan yang hidup di dunia ini”

Mereka tidak tanya siapakah gerangan Sau Peng-say itu”

Yang mereka herankan adalah Lam-han yang sudah terbasmi habis tiga tahun yang lalu mengapa sekarang bisa muncul kembali keturunannya”

Siang-liu-kiam-hoat" Apakah benar di dunia ada Siangliu-kiam-hoat”

Padahal semboyan "Siang-liu-kiam-hoat nomor itu di dunia" sudah tersiar semenjak 30 tahun yang lalu di dunia persilatan, tapi belum pernah ada orang memainkan ilmu pedang sakti itu, juga tidak pernah ada ahli pedang yang membuktikan kebenaran berita itu.

Sebab itulah di dunia Kangouw umumnya lantas timbul kesangsian akan kebenaran Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia itu, mereka menganggapnya cuma isyu belaka, hanya desas-desus saja.

Tapi sekarang ada orang secara terang-terangan menyatakan akan menggunakan Siang-liu-kiam-hoat untuk menantang Tonghong Put-pay dari Ma-kau, tentu saja hal ini seketika menggegerkan dunia Kangouw.

Mengenai Ma-kau-kaucu Tonghong Put-pay, terjadilah percakapan ramai orang ditepi jalan. Seorang bertanya kepada kawannya yang she Thio.

"He, Thio tua, menurut pendapatmu, pada tanggal 1 bulan 12 nanti, Tonghong Put-pay berani menerima tantangan Sau Peng-say atau tidak?”

"Pasti tidak berani!" jawab si orang she Thio.

"Tentang Siang-liu-kiam-hoat uomor satu didunia, siapa orangnya yang tidak tahu, kalau sekarang pihak lawan berani menantangnya dengan ilmu pedang sakti itu, maka dapat kuduga, jangankan menerima tantangan itu, mungkin saat ini Tonghong Put-pay sudah ketakutan setengah mati dan mengkeret di dalam sarangnya seperti kura-kura.

Malahan ia takut kalau si penantang yang ahli Siang-liukiam-hoat itu akan mencari kerumahnya.”

Nyata. orang she Thio itu seorang yang anti Ma-kau, bisa jadi ada sanak keluarganya yang pernah menjadi korban keganasan Ma-kau.

Akan tetapi kawannya agaknya seorang simpatisan Makau, kontan dia mendebat, "Ah, jangan kau menghina orang. Siapa bilang Mo-kau kaucu tidak berani menerima tantangan orang she Sau itu" Setiap orang Kangouw sudah sama-sama mengakui Ma-kau-kaucu adalah tokoh yang tak terkalahkan sesuai namanya yang Put-pay itu, masa beliau takut kepada seorang anak kemarin sore dari Lam-han”

Kukira bukannya Ma-kau-kaucu tidak berani terima tantangannya, yang benar ialah beliau tidak sudi bertempur melawan seorang anak muda begitu.”

"Apa dasarnya kau berani bilang gembong iblis itu tidak sudi bertampur?”

"Habis, coba kau pikir. Beliau adalah seorang pemimpin besar suatu agama ternama, namanya disegani dan dihormati baik didalam maupun diluar negeri, mana dia sudi menggubris tantangan orang yang tak terkenal begitu.

Kukira orang she Sau itu hanya ingin mencari nama saja, padahal cukup Mo-kau-kaucu mengirim salah seorang anak buahnya dan tentu orang itu akan dihajar hingga terbirit-birit.”

"O, jadi pendapatmu, sampai waktunya nanti gembong Ma-kau itu pasti tidak akan hadir ditempat?”

"Ya, paling banter beliau mengirim seorang pangcu saja untuk mewakili dia, ini pun mengingat penantangnya yang tidak tahu diri itu telah menonjolkan Siang-liu-kiam-hoat segala, agar orang tidak menyangka Kaucu takut kepada Kiam-hoat yang cuma bernama kosong itu, kalau tidak mana mau menggubris tantangan kaum keroco yang tidak ada artinya itu. Biarkan saja orang mendirikan papan pengumuman segala, untung kalau mereka tak kepergok anggota Mo-kau, bisa jadi akan dihajar hingga babak belur dan tunggang langgang.”

Sekali pun begitu, sebulan kemudian, papan pengumuman yang dipasang telah bertambah banyak.

Bedanya, papan pengumuman yang didirikan belakang ini semuanya dibubuhi tanda tangan "Tionggoan-samyu", tiga serangkai tokoh terkemuka Tionggoan.

Jelasnya, papan pengumuman yang didirikan belakangan itu didukung oleh Tionggoan-samyu.

Dengan demikian penilaian orang terhadap Sau Peng-say lantas berlainan. Banyak yang percaya orang yang mengaku ahliwaris Lam-han ini pasti berbobot dan mahir menggunakan Siang-liu-kiam-hoat, sebab itulah dia mendapat dukungan dan kepercayaan dari Tionggoansamyu. Maka percakapan orang di tepi jalan juga mengalami perubahan, betapapun anak buah Ma-kau atau simpatisannya membela Tonghong Put-pay. orang lain cukup bilang: "Pokoknya bila tiba waktunya nanti Tonghong Put-pay tidak hadir, maka berarti dia takut dan tunduk kepada Siang-liu-kiam-hoat yang nomor satu di dunia itu!”

Sudah tentu tidak kepalang rasa gusar Tong hong Putpay ketika mendengar desas-desus itu, hampir saja dia tumpah darah saking gemasnya. Tadinya dia memang merasa tidak ada harganya meladeni tantangan itu, tapi sekarang mau-tak-mau dia harus menerima tantangan itu.

"0O0-dw-0O0”

Kira-kira baru pertengahan bulan sebelas, yaitu setengah bulan sebelum tibanya hari yang ditentukan. kota-kota di sekitar pegunungan Tiongtiau serentak bertambah ramai daripada biasanya. Semua rumah penginapan penuh terisi tamu, yaitu orang persilatan yang datang dari seluruh negeri. Diantara mereka ada yang ingin menyaksikan Siang-liukiam-hoat yang konon nomor satu didunia itu, ada yang ingin tahu betapa lihaynya Ma-kau-kaucu yang katanya ilmu silatnya tak terkalahkan itu. Semuanya ingin tahu sesungguhnya siapa yang lebih lihay”

Yang-sia dan Sim-cui adalah dua kota yang berdekatan dengan Lok-jit-keh atau tebing matahari terbenam yang terletak di lereng pegunungan Tiongtiau itu.

Sudah semenjak sebulan sebelumnya, semua hotel yng berada di Yangsia telah diborong oleh Tionggoan-samyu.

Sedangkan pihak Ma-kau memborong semua rumah penginapan di Sim-cui.

Tiga hari sebelum tanggal satu bulan 12, Tionggoansamyu sudah berada di Yangsia. Pada saat yang sama Tonghong Put-pay juga sudah berada di Sim-cui.

Esoknya, kedua pihak. lantas saling mengirim utusan untuk mengadakan perundingan dan menanda-tangani perjanjian rahasia. Perjanjian itu menyatakan Tionggoansamyu menjagoi Sau Peng-say, pertarungan San Peng-say sama dengan pertarungan Tionggoan-samyu melawan Tonghong put-pay.

Pertarungan akan berlangsung satu lawan satu, kedua pihak tidak boleh menggunakan pembantu, bila Sau Pengsay kalah, Tionggoan-samyu berjanji akan mengundurkan diri dari dunia ramai dan takkan ikut campur urusan Kangouw apa pun. Sebaliknya kalau Tonghong Put-pay kalah, segenap anggota Ma-kau akan ditarik keluar perbatasan dan tidak boleh masuk lagi ke Tionggoan.

Perjanjian ini sangat menyenangkan Tonghong Put-pay, ia anggap dengan adanya perjanjian ini barulah pertarungan itu tidak sia-sia.

Atas permintaan Tionggoan-samyu agar kedua pihak tidak memakai pembantu, sejak mulai hingga akhir hanya Sau Peng-say dan Tonghong Put-pay berarung satu melawan satu, bilamana salah satu pihak tidak mematuhi kontrak ini, maka surat perjanjian itu akan diumumkan dan para ksatria dunia serentak akan mengerubutnya.

Sudah tentu Tonghong Put-pay menerima dengan baik usul itu karena dia yakin pihaknya pasti akan menang.

Perjanjian rahasia itu hanya diketahui oleh tokoh-tokoh penting kedua pihak, tapi tidak disiarkan pada umum, baik Tionggoan sam-yu yang mengundurkan diri dari dunia ramai atau Mo-kau akan keluar perbatasan, begitu pertandingan berakhir segera akan dilaksanakan secara rahasia. Hal ini dilakukan untuk mencegah segala kemungkinan yang tidak diinginkan, misalnya gangguan dari pengikut kedua pihak yang fanatik.

Pada hari ketiga, malam sebelum tanggal satu terakhir itu, selagi Tonghong-samyu berkumpul di suatu kamar hotel dan asyik membicarakan pertandingan esoknya, tibatiba masuk seorang murid dan memberi lapor bahwa Tonghong Kui-le ingin bertemu dengan Sam-lo.

"Silakan dia masuk," kata Bok Jong-siong tanpa curiga.

Sejenak kemudian tertampaklah Tonghong Kui-le muncul dengan membawa sebuah kantong sulam berbentuk panjang. "Ada urusan apa nona datang kemari" Ingin menemui Sam-yu kami?" tanya Bok Jong-siong.

"Dimanakah Sau-kongcu?" Tonghong Kui-le balas bertanya. Bok Jong-siong menggeleng, jawabnya, "Entah, kami tidak tahu.”

Sudah tentu Tonghong Kui-le tidak percaya, ia memohon pula, "Tolong pertemukan diriku dengan dia, hanya sebentar saja, aku cuma ingin bicara beberapa patah-kata dan pasti tidak akan mengganggu terlalu lama.”

Namun Bok Jong-siong menjawab dengan ketus, "Nona silakan pulang saja.”

"Mengapa aku tidak boleh menemuinya untuk penghabisan kalinya" Memangnya kau takut akan kubujuk dia agar mengundurkan diri dari pertandingan besok?" kata Tonghong Kui-le.

"Hm, biarpun kecantikanmu bak bidadari, mana dapat kau pikat dia dan menyuruhnya membatalkan balas dendamnya atas kematian ayahnya serta menggagalkan pertarungannya yang menyangkut sakit hati terbunuhnya segenap anggota perguruannya?" demikian Bok Jong-siong menjengek.

Ting-sian Suthay ikut bertanya, "Apa yang hendak kau katakan padanya dalam pertemuan penghabisan kali ini?”

Tonghong Kui-le menghela napas, ucapnya dengan hampa, "Bilamana dia kalah, hidup atau mati akan berpisah ditempat yang jauh. Kalau dia menang, kami sama-sama menanggung dendam terbunuhnya ayah, permusuhan antara kami akan tambah semakin mendalam. Jadi menang atau kalah, hidupku ini jelas tidak mungkin bersahabat lagi dengan dia. Jadi tinggal malam ini saja kami masih dapat bersahabat, besok keadaan sudah akan berubah sama sekali, bukankah pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir?”

"Tapi hendaklah kau maklum bahwa sampai saat ini kami benar-benar tidak tahu di mana beradanya Sau-sicu, jadi bukan kami yang sengaja merintangi pertemuanmu dengan dia." kata Ting-sian Suthay.

Tonghong Kui-le melenggong, ucapnya, "Habis bagaimana dengan pertarungan besok?”

"Beberapa bulan yang lalu kami menerima surat khusus dari Sau-sicu yang memberitahukan bahwa dia sudah berhasil menyelidiki dengan jelas, katanya Tonghong Putpay memang betul musuh yang membunuh ayahnya,”

demikian tutur Ting-sian Suthay. "Tapi dia tidak ingin orang lain ikut tersangkut dalam pertarungan maut ini, maka dia mendirikan papan tantangan sendiri. Meski dia menonjolkan Siang-liu-kiam-hoat untuk menarik perhatian khalayak ramai agar ayahmu mau-tak-mau harus menerima tantangannya, tapi kami tetap kuatir papan pengumumannya itu kurang efektif, maka kami juga mendirikan papan pengumuman baginya. Namun sampai saat ini kami belum lagi bertemu dengan dia. Cuma kami yakin, tepat pada waktunya besok pagi dia pasti akan berada di Lok-jit-keh.”

"Bilamana dia tidak hadir" Lalu bagaimana?" tanya Tonghong Kui-le.

"Kalau tidak hadir berarti melepaskan haknya dan dianggap kalah," sela Thian-bun Totiang.

"Lalu perjanjian rahasia kedua pihak yang sudah disetujui itu tetap dilaksnnakan atau tidak?" tanya Tonghong Kui-le.

"Sudah tentu dilaksanakan!" jawab Bok Jong-siong tegas.

Tonghong Kui-le menggeleng, ia merasa tidak mengerti, katanya, "Urusan sepenting ini, mana boleh diputuskan begitu saja tanpa keyakinan.”

"Apa yang dimaksudkan nona?" tanya Bok Jong-siong.

"Maksudku. mungkin besok pagi dia takkan hadir." kata si nona.

"Apakah benar kau sahabatnya?" Bok Jong-siong menegas "Berkat perantaraan kecapi dan seruling, meski kami cuma bersahabat selama beberapa hari, namun sudah mirip sahabat karib berpuluh tahun lamanya," kata Tonghong Kui-le.

"Jika demikian, jadi kau anggap sahabatmu ini seseorang yang tidak dapat dipegang janjinya?" jengek Bok Jong-siong.

Tonghong Kui-le menjadi bungkam dan tak dapat menjawab. Sejenak kemudian barulah ia berkata, "Apakah kalian yakin besok dia pasti akan menang?”

"Ilmu silat ayahmu lain daripada yang lain. betapapun kami tidak berani memastikan jago kami akan menang,”

ujar Bok Jong-siong.

"Lalu. kenapa kalian mengadakan perjanjian rahasia dengan ayahku?" tanya Tonghong Kui-le.

"Tanpa perjanjian yang mengikat, mungkinkah Tonghong Put-pay memberi kesempatan kepadanya untuk bertempur secara adil?" sela Thian-bun Totiang. "Hm, kedatanganmu ini kukira ada tipu muslihat tertentu.”

Tonghong Kui-le menghela napas pelahan, katanya, "Bicara terus terang, ayahku menyuruhku kemari untuk membujuknya agar dia melepaskan hak pertandingan besok." "Hehe, untung dia tidak berada disini!" Thian-bun Totiang tertawa dingin.

"Andaikan berada disini juga takkan kubujuk dia," ujar Tonghong Kui-le, "apalagi biarpun kubujuk juga tiada gunanya. Memang tepat seperti apa yang dikatakan Bok-lo tadi, mana dia mau membatalkan pertarungan yang menentukan itu demi menuntut balas kematian ayahnya serta terbunuhnya segenap anggota perguruannya?”

Bicara sampai disini, ia memberi hormat dengan lembut, lalu menambahkan, "Sam-lo sudi bicara secara blak-blakan, sungguh aku sangat kagum. Sekarang juga kumohon diri saja." Belum jauh meninggalkan tempat kediaman Sam-lo itu, tiba-tiba Tonghong Kui-le mendengar seseorang menegurnya dari belakang, "Apakah nona mencari diriku?”

Dari suaranya segera Tonghong Kui-le tahu siapa gerangannya, dengan girang ia berseru. "Sau-heng!”

Memang betul, orang yang menegurnva ini ialah Sau Peng-say. Kedua orang terus menuju ke luar kota, sepanjang jalan tidak ada yang bersuara.

Setiba di tempat yang sepi, sejauh mata memandang di sekeliling tidak ada orang lain lagi. Tonghong Kui-le lantas berduduk di atas tanah rumput, dibukanya bungkusan panjang itu dan dikeluarkannya sebuah kecapi tujuh senar.

Peng-say juga tidak bicara apa pun, ia mengeluarkan serulingnya dan duduk berhadapan dengan si nona.

Sejenak kemudian, terdengarlah suara paduan suara antara seruling dan kecapi, suaranya merdu meresap.

Habis membawakan satu lagu, malam pun sudah larut.

Mendadak sebelah tangan Tonghong Kui-le menghantam sehingga kecapinya pecah berantakan.

Peng-say menghela napas menyesal, ucapnya; "Sejak kini Siau-go-yan-he takkan bergema lagi!”

"Semoga Anda menjaga diri baik-baik," ucap Tonghong Kui-le, habis itu ia berbangkit dan melangkah pergi.

Sampai sekian lama Peng-say termangu-mangu, gumamnya kemudian, "Selamanya takkan bertemu lagi, untuk apa pula serulingku ini?”

Selagi seruling itu hendak ditekuknya patah, tiba-tiba teringat seruling itu adalah barang tinggalan Cin Yak-leng, sekian lama ia mengusap seruling itu, lalu disimpannya kembali dengan hati2. Seruling ini selanjutnya cuma benda kenang2an belaka dan takkan digunakannya untuk membawakan lagu "Siau-go-yan-he" lagi.

-0O0-dw-0O0- Fajar sudah menyingsing, suatu pagi yang cerah, Di Lokjit-keh di gunung Tiongtiau sudab ramai berjubel-jubel berpuluh ribu manusia.

Apa yang disebut Lok-jit-keh itu sebenarnya adalah sebuah tanah datar dilereng gunung, tingginya ratusan tombak, sangat luas dan cukup dibuat medan tempur berpuluh pasang jago silat.

Waktu itu di kanan-kiri tepi tanah datar itu berdiri seorang lelaki kekar dengan pakaian yang ringkas sebagaimana dandanan jago silat umumnya, keduanya adalah petugas yang dipilih pihak Sam-yu dan Mo-kau untuk berjaga di situ,kecuali kedua orang yang akan duel, orang lain dilarang naik ke atas.

Beberapa saat sebelum tiba waktu yang ditentukan, tertampaklah Tonghong Put-pay naik panggung lebih dulu.

Selama hidup, baru pertama kali inilah gembong Mo-kau itu memperlihatkan wajah aslinya didepan umum. Orang persilatan rata-rata tidak kenal dia, setelah bertanya dan diketahui orang inilah Mo-kau-kaucu, maka ramailah orang membicarakan kisah hidupnya.

Di sebelah timur dan barat di bawah panggung itu dibangun bangsal dengan atap rumput alang2. di bangsal timur berkumpul Tionggoan-samyu dan pengikutnya, di sebelah barat penuh anak buah Ma-kau.

Suasana kedua bangsal sunyi senyap, kalau ada suara ribut, semua itu datang dari para penonton yang berkerumun di depan panggung.

Beberapa detik lagi akan tiba waktu yang ditentukan itu, tapi Sau Peng-say masih belum nampak muncul. Sam-yu tidak gelisah, justeru orang luar yang tidak bersangkutan yang tidak sabar malah, "Mengapa belum lagi datang" Sudah hampir tiba saat yang ditentukan!" demikian orang ramai membicarakannya.

Maka anak buah Mo-kau dan simpatisannya sama menyindir, "Tentunya karena tahu bukan tandingan Kaucu, maka pada saat terakhir dia telah mengkeret!”

Sebagian penonton merasa penasaran bilamana pertarungan itu tidak jadi berlangsung, segera ada yang berteriak, "Wah, kalau ada yang tidak hadir, kan batal bertanding, padahal kita sengaja datang dari tempat jauh.”

"Apa mau dikatakan lagi?" ujar yang lain. "Kalau salah satu pihak terima menyerah, siapa yang dapat mengalanginya" Jika kau suka ramai2 dan tidak takut mati, silakan kau sendiri yang naik ke atas untuk bertanding.”

"Aku tidak ada sangkut-paut apa pun dengan orang she Sau itu, untuk apa kuantar kematian baginya" Yang jelas kita tidak boleh datang kesini dengan sia-sia. Kan Tionggoau-samyu ikut mendukung orang she Sau itu, biarlah salah seorang tua bangka itu yang mewakilkan orang she Sau itu untuk bertanding.”

"Jangan kuatir. sebentar pasti ada tontonan menarik, antara anak buah Mo-kau pasti akan terjadi pertempuran sengit dengan pengikut Sam-yu, senjata tidak kenal orang, jangan-jangan kita akan ikut kena getahnya dan mungkin jiwa ikut melayang.”

"Hah, lucu, kalau tidak percaya kepada kemampuannya sendiri, masa kita berani datang menonton" Bahwa antara pihak Sam-yu dan Mo-kau pasti akan terjadi pertempuran sengit memang sudah kita duga, biarlah kita saksikan cakar-cakaran diantara mereka.”

Bicara tentang persengketaan antara Tionggoan-samyu dan Ma-kau, segera ada orang bertanya, "He, sobat, kau pro pihak mana?”

"Tionggoan-samyu. Dan kau?”

"Mo-kau!”

Begitulah orang yang mengaku pro Tionggoan-samyu lantas berkumpul menjadi satu, sedangkan simpatisan Makau juga bergerombol ditempat lain, diam-diam kedua pihak juga bersiap siaga. Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar penonton murni, mereka juga bergerombol disuatu tempat, bilamana gelagat tidak enak segera mereka akan menyingkir ketempat yang aman agar tidak ikut keciprat malapetaka.

Jam 8 pagi tepat, semua orang merasa kecewa karena belum nampak munculnya Sau Peng-say, terdengar gerundelan di sana-sini: "Jelas tidak datang, pasti tidak bakal datang lagi!”

Ditengah suara ramai itulah tiba-tiba seorang pemuda melompat keatas panggung sambil berteriak, "Ini dia Sau Peng-say!”

Serentak sebagian besar penonton dibawah panggung sama berseru, "He, masih muda belia!”

Mereka terkejut pada usia Peng-say yang masih muda, tapi tiada yang berani meremehkan kemampuannya.

Mereka berpikir: "Waktu memperkenalkan namanya tadi suaranya menggelegar memekak telinga, jelas Lwekangnya sangat kuat dan tidak dapat diukur dari usianya.”

Menghadapi musuh yang pembunuh ayahnya, Peng-say tidak mau banyak omong lagi, serentak ia melolos kedua pedangnya, begitu maju segera ia melancarkan jurus pertama Siang-liu-kiam-hoat, yaitu "Kiong-siang-kut-thau.”

Tonghong Put-pay tidak berani ayal, cepat ia pun menghunus goloknya dan berseru, "Bagus!”

"Trang, trang," serangan Peng-say yang lihay itu telah ditangkisnya.

Bagi para penonton, biarpun tidak tinggi ilmunya juga dapat melihat serangan Peng-say itu sangat hebat.

Serentak terdengarlah suara sorak-sorai, "Siang-liu-kiam yang bagus!”

Ketika menyaksikan Tonghong Put-pay dapat menangkis serangan lihay itu dengan sama bagusnya, kembali penonton berteriak, "Asooi!”

Sekali mulai menyerang, Peng-say terus aktif dipihak penyerang, jurus pertama segera disusul dengan jurus serangan berikutnya, seketika sinar pedang berhamburan.

Bagi penonton yang bukan jago kelas tinggi, sukarlah untuk mengikuti jurus serangan Peng-say yang cepat dan aneh itu dan juga tidak diketahui bagus jeleknya, yang pasti Tonghong Put-pay kelihatan terdesak mundur berulang kali, nyata dia tidak sanggup lagi menangkis serangan Peng-say yang lihay itu.

Setelah kedelapan jurus Siang-liu-kiam-hoat yang dikuasainya habis dilancarkan, Tonghong Put-pay juga terdesak mundur lima tindak, maka mulailah Peng-say kehabisan "modal". Namun ia tidak patah semangat, menyusul jurus kesembilan lantas dilontarkan.

Pada kedelapan jurus pertama, baik Tionggoan-samyu maupun tokoh-tokoh pihak Ma-kau diam-diam sama bersorak memuji akan kelihayannya, mereka percaya pertarungan ini pasti akan dimenangkan oleh Sau Peng-say dan nyata Siang-liu-kiam-hoat memang nomor satu di dunia. Akan tetapi selewatnya jurus kedelapan, mau-tak-mau mereka sama berkerut kening, pikirnya, "Siang-liu-kiam-hoat ini ternyata cuma delapan jurus bagian permulaan saja yang kelihatan lihay, jurus serangan lainnya juga cuma biasa-biasa saja. Tampaknya Siang-liu-kiam-hoat belum memenuhi syarat untuk disebut nomor satu di dunia.”

Mereka tidak tahu bahwa mulai jurus kesembilan dan seterusnya adalah ciptaan Sau Peng-say sendiri, makanya berbeda daripada kedelapan jurus permulaan.

Seperti diketahui, dari Soat-koh baru sempat Peng-say belajar delapan jurus Pedang Kiri dan Pedang Kanan secara lengkap, namun begitu intisari daripada Siang-liu-kiam-hoat itu sudah dapat diselaminya dengan baik. ditambah lagi ke 49 jurus Pedang Kiri yang asli, lalu Peng-say memeras otak dan akhirnya berhasil diciptakannya tambahan 41 jurus Pedang Kanan sebagai pelengkap Pedang Kiri telah dikuasainya. Belum sampai setahun dia ditinggal pergi Soat-koh, dalam waktu sesingkat ini dia dapat menciptakan ke-4l jurus Pedang Kanan, kelemahan ilmu pedang ciptaannya ini tidak diketahui oleh Tionggoan-samyu, mereka mengira jurus serangan Siang-liu-kiam yang lain cuma biasa saja dan tidak se-lihay kedelapan jurus permulaan.

Padahal kalau dipikir kecerdasan Peng-say harus dipuji juga. Bila orang lain, biarpun sepuluh tahun juga belum tentu mampu menciptakan ke-41 jurus Pedang Kanan itu.

Dengan sendirinya ini ada hubungannya dengan kedelapan jurus Pedang Kanan ajaran Soat-koh serta setengah jilid Siang-liu-kiam yang telah dikuasainya. Kalau tidak, betapapun cerdasnya juga sukar menciptakan ke-41 jurus Pedang Kanan yang secara lahir dapat bekerja sama serapat itu dengan Pedang Kirinya.

Jadi, meski ke-41 jurus ciptaannya itu kurang kuat daya tempurnya, tapi karena dapat kerja sama rapat dengan Pedang Kiri, hal ini cukup digunakan untuk bertahan dan tak terkalahkan.

Begitulah sejurus demi sejurus Peng-say terus menyerang, setelah Siang-liu-kiam-hoat selesai dimainkan, sedikit pun tiada tanda dia akan kalah, hanya saja ke-41 jurus Pedang Kanan ciptaannya sendiri itu pun tidak berhasil mendesak mundur Tonghong Put-pay barang selangkahpun. Terpaksa ia mengulangi Siang-liu-kiam-hoat dari jurus pertama lagi, dengan delapan jurus permulaan kembali ia dapat mendesak mundur Tong?hong Put-pay hingga tiga tindak. Tionggoan-samyu tidak mengerti sebab apakah daya tekan mulai jurus kesembilan dan selanjutnya tidak sekuat delapan jurus sebelumnya, diam-diam mereka gegetun, pikirnya, "Jika jurus lanjutannya juga sehebat kedelapan jurus permulaan, tentu sejak tadi Tonghong Put-pay telah dikalahkan.”

Sekarang mereka tidak berani lagi memastikan Sau Pengsay akan menang, hati mereka menjadi sedih. Akan tetapi buktinya Sau Pang-say masih tetap dapat bertahan dan tak terkalahkan, hal ini pun tidak mudah. Coba kalau mereka sendiri, jelas tiada seorang pun di antara mereka yang sanggup menahan 50 jurus serangan golok Tonghong Putpay yang gencar dan lihay itu, Mereka pikir sekalipun Peng-say kalah dan mereka harus menepati janji dengan mengundurkan diri dari dunia persilatan. hal inipun tidak membuat mereka penasaran.

Hanya saja seketika pengikutnya akan kehilangan pimpinan, mirip ular yang mendadak kehilangan kepala, keadaanya tentu sangat kacau. Selanjutmya siapa pula di dunia persilatan yang akan memimpin kaum pahlawan untuk melawan Ma-kau serta pengaruh Say-koan”

Begitulah mereka bertambah sedih demi teringat pada masa depan dunia persilatan yang suram, maka diam-diam mereka sama berdoa semoga Thian memberkahi Peng-say dan supaya anak muda itu yang menang, Dalam pada itu Peng-say telah mengulangi Siang-liukiam-hoat untuk ketiga kalinya, kini satu langkah saja Tonghong Put-pay tidak terdesak mundur oleh kedelapan jurus permulaan Sau Peng-say. Hal ini menandakan daya perlawanan Tonghong Put-pay makin lama makin kuat.

Benar saja, ketika untuk keempat kalinya Peng-say mengulangi Siang-liu-kiam-hoat, dengan beberapa jurus serangan aneh Tonghong Put-pay berbalik mendesak mundur Sau Peng-say.

Diam-diam semua orang berpikir. "Kekuatan kedua pihak kini telah terbalik, pertarungan ini akhirnya akan dimenangkan juga oleh Tonghong Put-pay dan mempertahankan rekornya yang tak terkalahkan.”

Cuma orang pun tidak berani cepat-cepat memastikan Peng-say pasti kalah, sebab bukan mustahil anak mxida itu juga masih mempunyai jurus serangan simpanan lain.

Bagi Peng-say sendiri, sebelum pertarungan ini berlangsung sudah dirasakannya sukar menang dengan cepat, akan tetapi iapun tidak pernah berpikir akan kalah. Ia pikir, asalkan aku bertahan hingga tak terkalahkan, coba saja akhirnya siapa yang akan mati kehabisan tenaga”

Rupanya dia sudah bertekad akan bertempur lama, bila dia sanggup bertahan, dengan usianya yang muda, Lwekangnya juga tidak lebih lemah daripada lawannya, maka kemenangan terakhir pasti akan diraihnya.

Akan tetapi Kungfu Tanghong Put-pay ternyata beraneka macam ragamnya, mampukah dia bertahan dengan sebagian besar Siang-liu-kiam ciptaannya sendiri itu hingga Tonghong Put-pay kehabisan tenaga”

Pada saat Peng-say mulai lagi mengulangi Siang-liukiam-hoat untuk kelima kalinya, sekonyong-konyong seorang lelaki tua bercaping seperti orang udik melompat ke atas panggung.

Sudah tentu lelaki berpakaian ringkas yang berjaga ditepi panggung itu segera akan merintangi kedatangan kakek bercaping itu. Tapi sekali pedang kakek itu bekerja, kontan penjaga itu telah dirobohkannya.

"Im-kan-kiam-hoat!" teriak Tionggoan-samyu dengan suara tertahan.

Kalau ketiga tokoh itu dapat mengenali gaya ilmu pedang si kakek bercaping, tokoh-tokoh Ma-kau ternyata juga sudah dapat melihat ilmu pedang tu adalah Im-kankiam-hoat andalan Say-koan.

Serentak Peng-say dan Tonghong Put-pay lantas berhenti menyerang, mereka ingin tahu kakek itu akan membantu pihak mana. Dalam keadaan sukar menentukan kalah dan menang, siapa pun berharap kakek itu akan membantu pihaknya, karena itulah mereka pun tidak mencegah kedatangan si kakek. Tanpa bicara kakek itu terus menerjang ketengah pertempuran, pedangnya terus menusuk Tonghong Put-pay.

Maka ramailah orang Ma-kau membentak, "Huh, tidak tahu malu!”

Serentak kelima Tongcu Ma-kau berdiri dan bermaksud mengenyahkan kakek itu.

Tak terduga, serangan si kakek berikutnya lantas tertuju Sau Peng-say.

Seketika orang pihak Tionggoan-samyu juga geger, beratus orang sama berbangkit dan menyatakan protes.

Anehnya, ketika kakek itu menyerang lagi untuk ketiga kalinya, yang menjadi sasaran kembali ialah Tonghong Put-pay.

Jadi serangannya silih berganti, kalau Peng-say ditusuk satu kali, segera ia tusuk pula Tonghong Put-pay satu kali, nyata ia tidak membantu pihak mana pun. Kakek bercaping ini tak-lain-tak-bukan adalah Coh Cujiu, ketua Ngo-hoa-koan atau Say-koan.

Maka tahulah Tionggoan-samyu dan tokoh Ma-kau akan maksud tujuan Coh Cu-jiu. Rupanya din sengaja menunggu selagi pertarungan Tonghong Put-pay dan Sau Peng-say dalam keadaan saling bertahan dan sukar dipisahkan, segera ia ikut terjun ketengah kalangan untuk membereskan ke-dua orang itu, dengan demikian sekaligus namanya akan termashur dan disegani siapa pun juga. Sungguh seenaknya saja perhitungan suipoanya.

Maksud jahat dan kotor Coh Cu-jiu itu dengan sendirinya dapat diketahui Sam-yu, tapi mereka hanya dapat mencaci-maki akan kerendahan moral orang dan tidak berani ikut naik ke atas panggung untuk mengusirnya.

Sebab kalau mereka mengusirnya dalam keadaan demikian, jadinya mereka pasti akan ikut terjun di medan tempur. Dan kalau Sam-yu maju, pasti juga tokoh-tokoh Ma-kau akan ikut campur pula. Dan kalau pimpinan kedua pihak sudah sama-sama ikut bertempur, anak buah kedua pihak pasti akan panik dan turun tangan juga. Kalau cuma urusan Coh Cu-jiu, akibatnya terjadi pertempuran sengit secara beramai-ramai dan akhirnya kedua pihak akan rugi bersama, sebaliknya yang untung adalah Say-koan.

Karena pertimbangan ini, mereka tambah jelas akan muslihat keji Coh Cu-jiu, demi keamanan umum terpaksa mereka tidak menghiraukan ikut campur Coh Cu-jiu itu, apalagi biarpun Coh Cu-jiu cukup lihay juga belum pasti mampu mengalahkan Sau Peng-say dan Tonghong Put-pay berdua. Karena itulah kedua pihak lantas sama-sama menunggu dan melihat perkembangan selanjutnya. Tapi pertarungan di atas panggung telah bertambah ramai.

Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu adalah musuh bebuyutan, seperti api dan air yang tidak mungkin didamaikan. Maka begitu Coh Cu-jiu terjun ketengah kalangan, sebagian tenaga dan perhatian Tonghong Put-pay lantas disisihkan untuk melayani dia.

Peng-say kini sudah tahu bukan Ting Tiong dan Liok Pek yang membunuh segenap anggota perguruannya, maka dia tidak pandang Coh Cu-jiu sebagai musuh pembunuh ayahnya lagi, tekadnya sekarang adalah membunuh Tonghong Put-pay.

Tapi kalau Coh Cu-jiu menyerangnya, bila tidak menangkis, tentu dirinya akan binasa, dan kalau dirinya binasa. lalu cara bagaimana dapat menuntut balas lagi terhadap Tonghong Put-pay" Karena itulah terpaksa ia pun membagi setengah tenaganya untuk melayani Coh Cu-jiu.

Di tengah pertarungan segi tiga itu, sekonyong-konyong Coh Cu-jiu berseru, "Sau Peng-say, bagaimana kalau kubantu kau membalaskan sakit hatimu?”

Teringat orang she Coh ini bersama Ciamtay Cu-ih membikin celaka Toapek atau Pamannya, yaitu Sau Cengin, seketika Peng-say naik pitam, bentaknya murka, "Enyah kau! Manusia yang tak tahu malu!”

"Caci-maki yang tepat!" seru Tonghong Put-pay dengan tertawa. "Bocah she Sau, jika kau ingin menuntut balas kematian ayahmu, harus berdasarkan kepandaianmu sendiri untuk membunuh aku, dengan begitu barulah kau benar-benar seorang gagah sejati!”

"Jika demikian," tukas Coh Cu-jiu, "bagaimana kalau kubantu kau, Tonghong-kaucu?”

"Baik, silakan!" jawab Tonghong Put-pay.

Tapi ketika Coh Cu-jiu menyerang Sau Peng-say, tahutahu golok Tonghong Put-pay malah membacok Coh Cujiu. "He, apa-apaan kau"!" teriak Coh Cu-jiu kaget cepat ia menangkis, karena tidak berjaga-jaga tampaknya dia rada kelabakan. "Bila kau bantu aku membunuh dia, aku sangat berterima kasih," ucap Tonghong Put-pay dengan tertawa.

"Tapi kita adalah musuh turun temurun. jika tidak kubunuh kau, apakah aku harus menunggu setelah dia kau bunuh, lalu aku akan kau binasakan pula?”

Ia berhenti sejanak, kemudian berkata pula "Kalau sudah terjun dimedan tempur, maka keluarkanlah segenap kemahiranmu, jangan kau harap akan main tipu 'sekali timpuk dua burung'. Pendek kata, pertempuran hari ini kita bertiga mewakili tiga kekuatan besar di dunia persilatan saat ini, coba saja siapa yang roboh lebih dulu!”

Dalam pada itu, karena dia baru terjun, dengan sendirinya tenaga Coh Cu-jiu lebih kuat daripada Peng-say dan Tonghong Put-pay. Tapi pertempuran segi tiga, yang paling kuat tentu juga akan mendapat tekanan lebih hebat daripada dua pihak yang lain, hal ini adalah logis bagi kedua pihak yang lebih lemah itu yang ingin mempertahankan diri. Maka Tonghong Put-pay dan Sau Peng-say telah menyisihkan tujuh bagian tenaganya untuk melayani Coh Cu-jiu, sebaliknya cuma menggunakan tiga bagian sisa tenaga untuk saling labrak.

Dengan demikian, impian Coh Cu-jiu akan menjagoi dunia persilatan dengan menumpas kedua lawannya menjadi buyar. Sebaliknya karena 14 bagian tenaga kedua orang itu telah mendesaknya hingga hampir tak dapat bernapas, terpaksa ia melawan mati-matian, karena itu tenaganya juga terkuras lebih cepat, tidak lama kemudian. keadaannya sudah samasama payahnya seperti Peng-say dan Tonghong Put-pay.

Daya tekanan pedang kanan Peng-say tidak selihay pedang kiri, pada waktu satu lawan satu menghadapi Tonghong Put-pay tadi, pedang kirinya dapat membantu kelemahan pedang kanannya. Tapi sekarang dia harus melayani dua orang, pedang kiri tidak sempat membantu pedang kanan lama-lama jurus serangan ciptaannya sendiri kelihatan cirinya bila dibandingkan jurus serangan golok dan pedang kedua lawannya.

Melihat kelemahan Peng-say itu, dengan sendirinya Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu memanfaatkan titik kelemahan itu dengan baik, mereka selalu menyerang bagian Peng-say yang lemah itu dan menghindari pedang kirinya. Keruan Peng-say rada kelabakan dan kewalahan, apalagi jurus serangan ciptaannya sendiri itu memang juga belum terlatih dengan baik.

Pertarungan sengit itu terus berlangsung hingga lohor, keadaan Peng-say paling runyam, kedua lawannya belum ada yang terluka, tapi bahu kanan dan dibawah ketiaknya sudah tersayat oleh golok Tonghong Put-pay hingga darah bercucuran. Untung lukanya tidak parah. Walaupun begitu, melihat gelagatnya, setiap orang yakin orang pertama yang akan roboh pastilah Sau Peng-say.

Saking asyiknya menonton pertarungan sengit yang jarang terdapat didunia persilatan, maka semua orang sama lupa lapar meski hari sudah lewat lohor. Pandangan semua orang sama terpusat keatas panggung, tiada seorang pun yang bersuara, hanya terdengar suara gemerincing beradunya senjata.

Di tengah kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan lagi bersenandung, "Barang apa sebagai keemasan kehidupan manusia, cahaya sang surya ....”

Perhatian semua orang terpusat ke panggung pertandingan, tiada seorang pun yang urus suara senandung itu. Hanya Sau Peng-say saja yang kegirangan demi mendengar suara itu.

Ia tahu Soat-koh telah datang. Orang lain tidak paham arti syair itu, tapi dia tahu bahwa syair itu adalah petunjuk cara mengerahkan tenaga dalam guna memainkan Siang-liu-kiam-hoat.

Di antara ke 49 jurus Siang-liu-kiam-hoat, untuk gerakan tangan kanan dan kiri seluruhnya ada 98 bait syair petunjuk pengerahan tenaga. Untuk itu Peng-say hanya tahu delapan bait saja bagi Pedang kanan, ke-41 bait lainnya belum diajarkan oleh Soat-koh kepadanya.

Lantaran itulah, meski dia berhasil menciptakan sendiri 41 jurus serangan Pedang Kanan sebagai pelengkap Pedang Kiri, tapi sayang dia tidak tahu cara bagaimana mengerahkan tenaga dalam, padahal daya serangan Siangliu-kiam-hoat itu terletak pada cara mengerahkan tenaga menurut petunjuk setiap bait syair yang berbeda itu. Kalau tidak, biarpun dapat memainkan pedangnya. paling-paling hanya indah dipandang tapi tidak berguna untuk bertempur, bila ketemu lawan tangguh dengan mudah akan dipatahkan. Untung Lwekang Peng-say diperoleh dari Cihe-kang ayahnya, tenaga dalamnya lebih kuat daripada kedua lawannya, maka dia sanggup bertahan sampai sekarang. Kini demi mendengar senandung Soat-koh, tanpa pikir iapun yakin pasti Soat-koh sedang memberi petunjuk cara mengerahkan tenaga serangan pada jurus kesembilan.

Maka ketika tiba jurus kesembilan, segera ia mengikuti petunjuk itu, tenaga dikerahkan pada lengan kanan. kontan Coh Cu-jiu yang sedang menyerangnya didesak mundur.

Menyusul didengarnya pula Soat-koh lagi menembang, "Pikiran jernih seterang kaca, air mengalir. . . .”

Saat itu Peng-say telah memainkan pedangnya sampai jurus keempat-belas, tapi dia tidak mengikuti urutannya lagi, ia paksakan jurus kesepuluh sesuai petunjuk Soat-koh itu sebagai jurus kelima-belas, "trang", tahu-tahu golok Tonghong Put-pay yang sedang membacok dapat ditangkisnya ke samping dan hampir saja Coh Cu-jiu yang terbacok. Dalam pada itu Soat-koh menyambung pula tembangnya, begitu habis mendengarkan, segera Peng-say melancarkan serangannya, jurus kesebelas ini membuat Tonghong Put-pay terdesak mundur juga satu langkah.

Begitulah dalam waktu lima jurus serangan Peng-say didengarnya Soat-koh menembang satu bait syairnya, maka setiap lima jurus lantas keluar satu jurus serangan Peng-say yang maha dahsyat dari Siang-liu-kiam-hoatnya.

Sudah tentu para penonton terheran-heran menyaksikan serangan Peng-say itu, mereka tidak mengerti mengapa baru sekarang orang ini mengeluarkan tipu serangan simpanannya" Kalau saja sejak tadi dia mengeluarkan tipu serangan lihay ini, tentu dia tidak perlu terluka. Kalau dikatakan tipu serangan simpanan juga sukar dipercaya sebab pertarungan itu setiap saat dapat merenggut jiwanya, masakah dia bergurau dengan jiwanya sendiri dan sengaja mengalah pada lawan”

Betapapun mereka tidak mengerti bahwa kepandaian sejati Peng-say itu baru sekarang dipahaminya melalui tembang seorang anak perempuan.

Bahwa ada orang langsung mengajarkan ilmu dimedan tempur, hal ini sungguh sukar untuk dipercaya siapa pun.

Meski Tionggoan-samyu juga curiga terhadap tembang perempuan itu, tapi mereka tidak menyangka dan membayangkan bahwa tembang itu dapat memperkuat daya serang Sau Peng-say, mereka mengira Thian yang telah memberkati anak muda itu dan memberi kemenangan padanya. Bahwa setiap lima jurus serangan Peng-say pasti timbul suatu serangan dahsyat, hal ini tak diketahui oleh orang lain kecuali Tionggoan-samyu, para tertua Ma-kau dan sedikit jago kelas tinggi.

Diam-diam Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu mengeluh, mereka pun bersyukur bahwa hanya setiap lima kali serangan barulah Peng-say melancarkan satu kali serangan lihay, biarpun rada kelabakan mereka masih dapat bertahan mati-matian.

Mereka tidak tahu bahwa bila bait syair terakhir sudah ditembangkan Soat-koh, maka jurus serangan terakhir juga akan dilancarkan Peng-say dan celakalah bagi mereka.

Terdengarlah Soat-koh lagi menembang bait terakhir: "Jika sudah terikat tanpa ketahuan. . . .Alangkah sedih tuan rumah mengenyahkan tamu!”

Pada kalimat terakhir itu, mendadak Peng-say membentak dan juga mengulangi kalimat tersebut, "Alangkah sedih tuan rumah mengenyahkan tamu!”

"Cret-cret", sekaligus kedua pedangnya menusuk ke dada kedua lawan.

Untung Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu masih mempunyai jurus penyelamat simpanan, yang satu dengan gerakan "Kip-liu-yong-de" atau air mengalir menyurut cepat, seorang lagi dengan jurus "Si-lay-to-seng" atau menyelamatkan diri di tengah ancaman maut, berbareng kedua orang itu melompat mundur. Ketika mereka memeriksa dada sendiri, dada masing-masing ternyata sudah luka tersayat. Keruan muka mereka menjadi pucat.

"Wah, tampaknya tamu sukar dienyahkan!" demikian Peng-say bergumam sambil menggeleng.

Melihat gelagat tidak menguntungkan, cepat Coh Cu-jiu putar haluan, sambil menyengir ia berkata, "Pertarungan ini memangnya urusan kalian dan tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. biarlah kumohon diri saja!”

Tapi sebelum dia melangkah pergi, mendadak Peng-say membentak: "Mau kemana"!" Berbareng itu pedang kirinya lantas melintang untuk menghalangi kepergian orang.

"Kan lebih penting kau menuntut balas padanya, kenapa kau meributkan diriku?" kata Coh Cu-jiu.

Dengan pedang kanan menuding Tonghong Put-pay, dengan suara kereng Peng-say berkata, "Akan kubunuh kau untuk membalas sakit hati pembunuhan segenap anggota perguruanku!" Lalu dengan pedang kiri ia tuding Coh Cu-jiu dan menyambung pula, "Dan akan kubinasakan kau untuk membalas sakit hati kematian Toapek!”

"O, jika demikian jadi hari ini sekaligus hendak kau selesaikan dua kasus sakit hatimu?" tanya Coh Cu-jiu.

"Betul, agar setelah kubunuh Tonghong Put-pay tidak perlu lagi kupergi mencari dirimu," jawab Peng-say. "Kau sendiri yang mengantarkan jiwamu kesini, maka aku dapat menghemat tenaga dan tidak perlu bersusah payah mencari kau lagi.”

"Wah, Tonghong-heng, tampaknya mau-tak-mau kita harus bersatu untuk menghadapi dia," ujar Coh Cu-jiu kepada Tonghong Put-pay.

Namun Ma-kau-kaucu itu menolaknya dengan tegas, jengeknya, "Hm, siapa yang sudi berkomplot dengan kau"!”

Tanpa bicara lagi, langsung ia mendahulu menyerang Sau Peng-say. Dengan pedang kiri menangkis serangan Tonghong Putpay, pedang kanan Peng-say tetap melintang di depan Coh Cu-jiu sambil membentak, "Kau tidak boleh pergi!”

"Tidak boleh pergi juga tidak menjadi soal, memangnya kujeri padamu?" teriak Coh Cu-jiu, dari malu ia menjadi gusar. Segera ia pun melancarkan serangan terhadap Peng-say dengan sekuat tenaga.

Tonghong Put-pay tidak sudi menarik keuntungan daripada main kerubut itu, setelah dia menyerang Peng-say satu kali, berikutnya ia pun menyerang Coh Cu-jiu satu kali.

Coh Cu-jiu menjadi gemas, damperatnya, "Tua bangka, bila Siang-liu-kiam-hoatnya sudah lancar, ajalmu pun sudah di depan mata masakah kau masih berlagak gagah segala?”

Akan tetapi Tonghong Put-pay tidak gubris padanya dan tetap menyerang kesana dan kesini, terpaksa Coh Cu-jiu harus membagi perhatiannya untuk melayani dua orang.

Namun sekarang setiap daya serangan Peng-say sudah tambah kuat. belasan jurus kemudian, Tonghong Put-pay tidak sempat lagi menyerang Coh Cu-jiu, terpaksa ia menghadapi Peng-say dengan sepenuh tenaga.

Kekuatan Coh Cu-jiu lebih lemah daripada Tonghong Put-pay, tentu saja dia lebih2 payah, apalagi menghadapi keadaan gawat yang menentukan mati dan hidup, ia pun tidak sempat lagi menyerang Tonghong Put-pay dan terpaksa harus menangkis serangan Peng-say sekuatnya.

Dengan demikian, posisi sekarang sama dengan Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu berdua mengerubuti Sau Peng-say sendirian.

Maka para pengikut Tionggoan-samyu lantas mencacimaki, "Huh. keparat. dua lawan satu. tidak tahu malu!”

Tapi meski mereka mencaci maki dan penasaran, namun Sam-yu tetap melarang mereka memberi bantuan kepada Peng-say. Dengan satu lawan dua, Peng-say memperlihatkan keperkasaannya angin pedang mendesis-desis dan dapat didengar oleh para penonton, Segenap kemampuannya telah dikeluarkannya.

Tonghong Put-pay dan Coh Cu-jiu terdesak mundur melulu. Pada jurus terakhir Siang-liu-kiam-hoat yang disebut "Ki-ih-san-lim" atau tirakat digunung sepi, ditengah suara tembang "alangkah sedihnya tuan rumah mengenyahkan tamunya", pedang Peng-say menyambar secepat kilat, baik Tonghong Put-pay maupun Coh Cu-jiu, kedua-duanya tidak sempat. menggunakan jurus penyelamat masingmasing, Sekali pedang kanan Peng-say menabas, kontan kepala Coh Cu-jiu berpisah dengan tubuhnya. Waktu pedang kiri ditimpukkan, tembuslah dada Tonghong Put-pay.

Kedua orang itu hanya sempat menjerit ngeri, lalu roboh dan binasa. Tanpa menjemput kembali pedang kirinya, hanya memegang satu pedang saja Peng-say berdiri di tengah kedua sosok mayat itu dan menengadah sambil tertawa terbahak-bahak.

Kebanyakan orang menganggap tertawa anak muda ita terlalu latah, tapi jeri kepada kesaktiannya, tiada seoraug pun berani bersuara.

Hanya ada seorang saja yang merasa gemas terhadap sikap temberang Peng-say itu. Orang ini adalah anak perempuan berbaju ringkas berwarna kuning telur, dengan pedang terhunus ia melompat ke atas panggung sambil membentak, "Sau Peng-say, Goay-hoat-kiam keluarga Beng menantang duel padamu!”

Anehnya Peng-say tidak berani memandang anak dara itu, mendadak ia mendekap muka sendiri dan menangis sedih. Kiranya anak dara itu ialah Beng Siau-gi, cucu perempuan Beng Eng-kiat sebagaimana sudah kita kenal pada permulaan cerita ini.

Sampai sekian lama Peng-say menangis, katanya kemudian sambil mengusap air mata, "Nona Siau-gi. aku tidak mau bertempur dengan kau,”

"Apa katamu?" Beng Siau-gi menegas.

"Aku tidak mau bertempur dengan kau," Peng say mengulangi ucapannya.

"Kau tidak berani?" Beng Siau-gi sengaja berteriak.

"Baik, jika demikian kuampuni jiwamu!”

Maka bergemuruhlah suara tertawa para penonton di bawah panggung.

"Tertawa apa"!" tanya Beng Siau-gi sambil menyapu pandang para penonton dengan sebelah tangan bertolak pinggang. "Apa artinya Siang-liu-kiam-hoat bagiku" Dahulu Leng-hiang-caycu Sau Ceng-in, si pencipta Siang-liu-kiam ini. bukankah pernah dikalahkan oleh kakekku, Beng Engkiat, Beng-loenghiong. Jika kalian tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada bocah ini, Siapakah yang melukai muka Sau Ceng-in sehingga meninggalkan codet yang tak pernah terhapus dimukanya" Hm, ketahuilah, justeru kakekku yang melukai dia. Nah, kalau benar Siang-liukiam-hoat nomor satu di dunia, kenapa pencipta ilmu pedang sakti itu bisa dilukai oleh kakekku"!”

Codet di muka Sau Ceng-in memang betul dilukai oleh Beng Eng-kiat, itu terjadi sewaktu Sau Ceng-in masih muda, tatkala mana Beng Eng-kiat sendiri sudah menjadi guru silat ternama dan telah menciptakan sendiri ilmu pedang yang disebut Goay-hoat-kiam, ilmu pedang gembira ria. Beng Eng-kiat sendiri asalnya juga murid Pak-cay, terhitung Suhengnya Sau Ceng-in. Keduanya tidak akur dan berlain paham.

Pernah satu kali mereka berlatih, didepan sang guru Beng Eng-kiat sengaja melukai Sau Ceng-in. Sudah tentu gurunya, yaitu ayah Sau Ceng-in, menjadi gusar, Beng Eng-kiat dipecat dari perguruan. Setelah mengalami luka itu, Sau Ceng-in pikir ilmu pedang perguruannya sudah dikenal seluruhnya oleh Beng Eng-kiat, untuk mengalahkan Goay-hoat-kiam ciptaan Beng Eng-kiat dan untuk membalas dendam, ia sendiri harus juga menciptakan semacam ilmu pedang yang dapat mengalahkan Goay-hoat-kiam.

Beberapa tahun kemudian, ayah Sau Ceng-in wafat, sebagai ahliwaris Sau Ceng-in menggantikannya sebagai Leng-hiang-caycu. Tatkala mana Siang-liu-kiam-hoat buah pemikirannya sudah mulai ada kemajuan, maka dia menyatakan akan menggunakan ilmu pedang baru itu untuk melukai muka Beng Eng-kiat.

Diantara saudara seperguruan tentu ada juga yang pro Beng Eng-kiat, maka diam2 pernyataan Sau Ceng-in itu disampaikan pada Beng Eng-kiat. Hal ini tentu saja diperhatikan oleh Beng Eng-kiat. Tapi sebegitu jauh dia tidak melihat datangnya Sau Ceng-in.

Lewat beberapa tahun lagi, tersiar hilangnya Sau Cengin. Beng Eng-kiat mengira sakit hati sang Sute juga tidak perlu dipikirkan lagi.

Tak tersangka secara kebetulan muncul seorang Tio Taypeng yang mahir setengah bagian Siang-liu-kiam dan akhirnya Eng-kiat dan puteranya, Beng Si-hian berturutturut terbinasa di bawah ilmu. pedang Sau Ceng-in itu.

Karena Beng Eng-kiat berasal dari Pak-cay, meski dia tidak tahu sampai di mana lihaynya Siang-liu-kiam-hoat ciptaan Sau Ceng-in itu, tapi ia yakin Siang-liu-kiam pasti juga bersumber dari intisari ilmu pedang Pak-cay dan hanya Sau Ceng in saja sebagai satu-satunya ahliwaris yang dapat menciptakan ilmu pedang maha lihay yang tak dapat ditandinginya itu.

Untuk menjaga pembalasan dendam sang Sute, sebelumnya Beng Eng-kiat telah menceritakan riwayat hidupnya kepada anaknya sendiri. Malahan ia kuatir sang Sute tidak puas hanya menuntut balas padanya, bisa jadi puteranya juga akan ikut menjadi korban, maka dia tidak berani secara terbuka mengajar Kungfu kepada Beng Sihian. ia pikir kalau umum mengetahui anaknya tidak mahir silat. betapa kejamnya sang Sute tentu takkan mengganggu seorang Suseng atau pelajar yang lemah.

Padahal kekuatiran Beng Eng-kiat itu hanya berlebihan.

Sau Ceng-in bukan seorang yang berjiwa sempit, lebih-lebih setelah berhasil menciptakan Siang-liu-kiam-hoat, betapapun jadilah dia seorang maha-guru persilatan, mana dia sudi mengingat sakit hati yang tidak ada artinya.

Terbunuhnja Beng Eng-kiat dan Beng Si-hian oleh Tio Taypeng hanya terjadi secara kebetulan saja.

Tapi lantaran kematian kakek dan ayahnya itu. Beng Siau-gi bersumpah akan menuntut balas dan membunuh habis setiap orang yang mahir Siang-liu-kiam.

Akan tetapi Sau Peng-say, yaitu yang dahulu dikenalnya sebagai Soat Peng-say, kenal baik dengan dia, masa dia tega membunuh seorang yang diam-diam disukainya dan sebenarnya juga tidak bersalah apa pun terhadap dirinya ini" Apalagi kalau bertempur sungguhan, dengan Siang-liu-kiam-hoat yang maha sakti itu, biarpun sepuluh orang dirinya juga bukan tandingan anak muda itu.

Begitulah maka hapuslah hasrat Beng Siau-gi akan membunuh Sau Peng-say, untuk kepuasan, Peng-say hanya dihina dan dicemoohkannya saja di depan orang banyak.

Dalam pada itu para pengikut Tionggoan-samyu di bawah panggung lantas menanggapi ucapan Beng Siau-gi tadi dengan gelak tertawa, ada yang berteriak, "Seumpama betul kakekmu pernah melukai si pencipta Siang-liu-kiam-hoat, tapi jelas bukan kau yang melukainya. Jika mampu.

coba kau pun menyayat muka Sau-tayhiap hingga terluka, untuk apa kau sebut kakekmu yang sudah mati itu?”

Siau-gi terus mengangkat pedangnya dan membentak terhadap Sau Peng-say, "Nah. apa kau berani terima tantanganku"!”

Peng-say menghela napas, jawabnya, "Terbunuhnya kakek dan ayahmu adalah kesalahan guruku. . . .”

"Jangan banyak omong, kalau berani bertempur ayolah kita mulai!" teriak Siau-gi sambil mendesak maju satu langkah.

Mendadak Peng-say angkat pedangnya, semua orang mengira anak muda itu akan terima tantangan Beng Siau-gi.

Tak terduga, mendadak tangan Peng-say yang lain memegang batang pedang terus ditekuk, "ple-tak", pedang itu patah menjadi dua.

"Nona Siau-gi, Sau Peng-say tidak berani terima tantanganmu!" kata Peng-say kemudian sambil menggeleng.

Jawaban Peng- say ini seketika membikin gempar para penonton. "Huh, terhitung ahliwaris Lam-han macam apa itu?”

"Hah, pahlawan kita ternyata bernyali kecil seperti tikus!”

"Wah, sungguh sangat penasaran Tonghong kaucu terbunuh oleh pengecut macam begini!”

Begitulah macam-macam sindiran dialamatkan kepada Sau Peng-say, sudah tentu semuanya itu datang dari anak buah Ma-kau. Maklum, Kaucu mereka terbunuh, mumpung ada kesempatan, sedikit banyak terlampias dendam mereka dengan mencaci-maki.

Tapi bagi orang yang dapat berpikir, mereka tahu Pengsay tidak suka bertempur dengan Beng Siau-gi karena dia merasa gurunya memang bersalah, biarpun kehilangan pamor, tapi tindakannya itu sungguh bijaksana dan patut dipuji. "Fuh" Beng Siau-gi meludah, karena maksudnya menghina Sau Peng-say sudah tercapai, maka pergilah dia dengan puas. " 00O00"d w"00O00Dalam waktu sebulan. sesuai dengan perjanjian rahasia yang ditanda tangani bersama, di bawah pimpinan Tonghong Kui-le, segenap kekuatan Ma-kau di daerah Tionggoan telah ditarik keluar ke Kwan-gwa.

Coh Cu jiu sudah binasa, kekuatan Say-koan banyak berkurang, apalagi Ma-kau telah mundur ke Kwan-gwa, kedua golongan yang merupakan musuh bebuyutan itu harus selalu berjaga-jaga segala kemungkinan, maka Saykoan di bawah pimpinan Ting Tiong dan Liok Pek juga sukar mengembangkan lagi pengaruhnya ke daerah Tionggoan, Kalau di Kwan-gwa terjadi persaingan terus menerus antara Ma-kau dan Say-koan, sebaliknya di daerah Tionggoan suasana menjadi tenang, kecuali tindakan perorangan sampah persilatan, pada umumnya tidak terjadi lagi permusuhan dan bunuh membunuh antar golongan dan aliran. Soh hok-han dengan sendirinya bangkit kembali dan diketuai Sau Peng-say, namanya bertambah jaya dan disegani, bahkan jauh lebih cemerlang daripada masa hidup Sau Ceng hong.

Mestinya ada maksud Say Peng-say hendak mencari Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan untuk menolong Sau Penglam, kalau guru Thio Yan-coan. yaitu Tonghong Put-pay, juga terbunuh olehnya. tentu golok kilat Thio Yan-coan tidak perlu ditakuti lagi.

Akan tetapi kemudian Peng-say menerima sepucuk surat dari Sau Peng-lam yang dikirim dari daerah selatan yang jauh, katanya penyakit syaratnya sudah berhasil disembuhkan oleh Thio Yan-coan dan Peng-say diminta jangan menguatirkan dia.

Rupanya Thio Yan-coan tidak bermaksud jahat terhadap Sau Peng-lam, bahkan dia telah mengobati dan menyembuhkan penyakit gilanya. Tentu saja Peng-say sangat senang, kalau ketemu lagi dengan Thio Yan-coan tentu bukan lagi melabraknya melainkan akan mengucapkan terima kasih atas kebaikannya.

Meski Sau Peng-lam sudah waras, tapi dia tidak pernah muncul lagi di daerah Tionggoan, bahkan di daerah selatan juga tidak dikenal nama Sau Peng-lam, di dunia ini seolah-olah sudah tiada terdapat lagi orang yang bernama Sau Peng-lam. Satu kali Peng-say dapat menemukan Thio Yan-coan, orang she Thio ini sudah tidak pernah berbuat jahat lagi, tapi watak bangor sukar diperbaiki, ketika ditemui Peng-say, Thio Yan-coan lagi foya-foya di rumah lampu merah.

Dari Thio Yan-coan barulah Peng-say mengetahui keadaan kakak angkatnya. Kiranya Sau Peng-lam sekarang telah cukur rambut dan menjadi Hwesio, nama agamanya "Bong-tim", artinya melupakan dunia fana ini. Pantas nama Sau Peng-lam tidak dikenal oleh khalayak ramai.

Bong-tim tidak tinggal di suatu biara tertentu, dia adalah Hwesio pengembara. sebangsa fakir yang jejaknya tak menentu. Setiap kali Peng-say menyusulnya ke suatu tempat bila diterima kabar, selalu jejak Bong-tim sudah hilang. Sampai tua tidak pernah lagi Peng-say bertemu dengan dia.

OoO d w OoO Sepuluh tahun kemudian, Peng-say mempunyai tujuh anak lelaki dan lima anak perempuan. tahun kesebelas isterinya hamil lagi.

Tentu pembaca akan merasa beran dan ber-tanya2 mengapa cuma dalam sepuluh tahun Peng-say mempunyai 12 orang anak, padahal anaknya tidak ada yang lahir kembar. Begini ceritanya, setiap tahun isterinya pasti melahirkan.

Dan dua tahun diantara kelahiran itu terjadi lahir dua kali, yakni dalam bulan pertama melahirkan, pada bulan 12 atau akhir tahun lahir lagi anak berikutnya.

Makanya dalam sepuluh tahun isterinya melahirkan 12 anak. Dan pada kehamilan yang kesebelas ini entah akan lahir anak lelaki atau perempuan, entah lahir satu anak atau kembar dua atau mungkin juga kembar lima. Rekor melahirkan demikian ini entah akan terus berlangsung hingga kapan. Maklumlah, pada masa itu belum dikenal KB atau Keluarga Berencana alias pembatasan melahirkan anak. Dan siapakah nyonya Sau Peng-say”

Ialah Soat-koh yang Peng-say pernah bersumpah takkan memperisterikannya dengan upacara nikah itu.

Tanpa upacara kan juga dapat menikah" Untuk melahirkan anak kan tidak harus melalui upacara nikah”

Dan bilakah pendekar besar kita Sau Peng-say kawin”

Tidak ada yang tahu. Yang jelas dan nyata, perempuan yang melahirkan anak baginya itu bernama Tio Soat-koh.

Meski Tio Soat-koh adalah isteri Sau Peng-say tanpa upacara nikah alias isteri tidak resmi, tapi keduanya dapat hidup bahagia sampai hari tua.

= T A M A T = 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar