Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 34

Jilid 34

Dalam pada itu. ketika malam tiba, Peng-say melayang lagi kepuncak Pagoda Belibis itu dan melepaskan Sip-lik dari bawah genta.

Karena terkurung sehari penuh di dalam genta yang pengap, meski Hiat-to yang tertutuk sudah terbuka tapi terasa lemas juga seluruh badan. Diam2 Sip-lik Taysu hanya memendam rasa gusarnya didalam hati dan tidak berani diperlihatkan.

Peng-say menyodorkan satu bungkus rangsum kedepan paderi itu, katanya dengan menyesal, "Maafkan tindakanku yang tidak sopan ini. Soalnya kekuatan Ma-kau kalian teramat besar di daerah ini, Cayhe hanya sendirian dan masuk ke sarang harimau untuk memusuhi kalian, demi keselamatanku sendiri terpaksa harus kubikin susah padamu. Silakan dahar, silakan!”

Biarpun gusar, isi perut terlebih penting. Hanya sekejap saja Sip-lik Taysu telah menyikat bungkusan makanan itu.

"Taysu ternyata seorang yang lugu, sama sekali tidak takut kuracuni kau," kata Peng-say dengan tertawa.

"Aku kan sudah jatuh didalam cengkeramanmu, kalau mau dapat kau sembelih sesukamu, kenapa ku-takut diracun?" jawab Sip-lik Taysu.

"Ah, sama sekali tiada maksudku hendak mencelakai Taysu, lewat malam ini tentu akan kukembalikan kebebasan Taysu," ujar Peng-say.

"Dengan tipu daya yang kau atur ini, apakah tujuannya cuma untuk pertaruhan malam ini saja?”

"Betul. Kalau tidak demikian, rasanya tidaklah mudah bagiku untuk berjumpa dengan tokoh penting di dalam Ma-kau kalian seperti Taysu.”

"Jadi menurut perhitunganmu aku pasti akan masuk perangkapmu?" jengek Sip-lik.

"Ah, juga kebetulan saja," jawab Peng-say.

"Jika waktu Taysu mengangkut pulang genta ini dikawal orang, tentu Cayhe tidak berani bertindak apa pun terhadap Taysu.”

Dengan angkuh Sip-lik menjawab: "Selaku Tianglo terkemuka di dalan. Mo-kau kami, kenapa harus dikawal orang?" Peng-say tersenyum, pikirnya di dalam hati: "Justeru lantaran watakmu yang sok inilah. maka sudah kuperhitungkan hasil seperti sekarang ini.”

Sip-lik Taysu dapat meraba jalan pikiran anak muda itu, ia menjengek pula: "Hm, kau pun tidak perlu gembira, apa yang kau lakukan juga tidak berdasarkan kepandaian sejati." "Jadi Taysu masih penasaran?" tanya Peng-say.

"Bila benar2 dapat kau kalahkan diriku, biarpun tertawan juga tidak akan menyesal," ujar Sip-lik.

"Kutahu Taysu terhitung tokoh Mo-kau nomor satu dengan tenaga saktimu, sebab itulah sengaja kutetapkan pertaruhan malam ini, supaya Taysu akan kalah dengan takluk lahir batin.”

"Jika anda benar2 dapat meloncat ke atas Pagoda dengan membawa genta ini tanpa memperlihatkan rasa letih, tentu saja aku akan menyerah sepenuhnya. Cuma, dengan susah payah kau atur tipu muslihatmu ini. perlu juga kutanya apa maksud tujuanmu.”

"Tentang tujuanku, biarlah kita bicarakan setelah selesai taruhan," kata Peng-say.

"Baik, silakan mulai!" kata Sip-lik.

"Coba, kalau menurut perkiraan Taysu, berapa panjangnya kira2 sekeliling pagoda ini?" tanya Peng-say.

Sip-lik berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "Kurang lebih 20 tompak.”

"Betul, sudah kuukur, memang persis 20 tombak " kata Peng-say.

Habis berkata segera ia angkat genta besar itu. melompat turun setingkat demi setingkat, hanya sekejap saja ia sudah berada di dasar pagoda itu.

Semula Sip-lik Taysu rada sangsi apakah pemuda sebelia dia ini mampu mengangkat genta sebesar itu. Ia menduga orang yang mengangkat genta ini kedepan pintu Ban-sengpiau-kiok tentu tidak dilakukan oleh Peng-say seorang saja.

Sekarang terbukti Peng-say dapat mengangkat genta besar itu dengan enteng dan melompat ke bawah pagoda seenaknya, maka Sip-lik tidak sangsi lagi. Namun begitu dia masih ragu2 apakah anak muda itu mampu meloncat kembali keatas pagoda melebihi dirinya tadi dan tidak memperlihatkan rasa letih sedikit pun”

Ia memandang kebawah dari puncak pagoda, ia tidak melihat Peng-say meloncat lagi keatas. tapi anak muda itu mulai berlari cepat mengelilingi pagoda, maka pahamlah dia untuk apa Peng-say bertanya tentang panjang lingkaran pagoda itu tadi.

"Hm, bocah ini tidak tahu diri, berani dia bertanding dengan aku secara sama," demikian diam2 Sip-lik menjengek. Kiranya dia menganggap tenaga saktinya sangat kuat, asalkan Peng-say mampu mengangkat genta itu kembali keatas, maka iapun akan mengaku kalah, ia rela memberi jarak lima li. dari Ban-seng piau-kiok ke pagoda ini. Siapa tahu, Peng-say ternyata tidak mau menarik keuntungan ini.

Kalau satu li sama dengan seratus tombak, lima li berarti lima ratus tombak, Sedangkan sekeliling pagoda itu panjangnya 20 tombak, maka lima li sama dengan 25 kali mengitari pagoda itu.

Begitulah dengan cepat Peng-say terus mengitari pagoda itu, tidak sampai setengah jam 25 putaran sudah diselesaikannya.

Menyaksikan tenaga anak muda itu, mau-tak-mau Sip-lik Taysu menjulurkan lidah. Pikirnya, "Meski pun berlari cepat juga menghemat tenaga, tapi kalau aku diharuskan berbuat sama, apakah aku mampu?”

Rupanya waktu dia membawa genta besar itu dari Ban seng-piau-kiok kembali ke pagoda ini, di tengah jalan dia perlu beristirahat beberapa kali dan makan waktu tiga jam baru bisa tiba di tempat tujuan. Jika dia diharuskan mencapainya dalam waktu setengah jam, jelas tidak sanggup dilakukannya.

Sampai di sini, tidak perlu lagi Peng-say mengangkat genta itu keatas pagoda, diam2 Sip-lik Taysu sudah mengaku kalah. Akan tetapi taruhan mereka memakai patokan letih dan tidak, maka iapun ingin menyaksikan apakah pemuda itu mampu meloncat ke atas pagoda setingkat demi setingkat dan apakah takkan menerbitkan suara setiba di puncak pagoda" Dalam pada itu Peng-say sudah mulai meloncat ke atas dengan membawa genta raksasa itu. Setiba di tingkat ke-13, tampaknya dia masih gagah dan kuat, sedikit pun tidak kelihatan letih, waktu menghinggap di lantai juga tidak bersuara. Seketika Sip-lik Taysu merasa lemas, katanya di dalam hati: "Sudahlah, selanjutnya aku malu menggunakan nama 'Sip-lik' (tenaga sepuluh) lagi. Entah apa yang akan ditanyakan bocah ini" Ku kira persoalannya pasti tidak sederhana, kalau tidak masakah aku yang menjadi sasarannya" Apakah nanti harus kujawab atau tidak?”

Baru sekarang ia merasakan gawatnya urusan, Jika lawan nanti bertanya tentang urusan penting Mo-kau, kalau menjawab berarti mengkhianat, bila diketahui Kaucu pasti takkan bebas daripada hukuman mati.

Sebaliknya kalau urusannya tidak penting, tentu lawan tidak perlu bersusah payah mengatur tipu daya sejauh ini”

Ia mengira yang akan ditanyakan Peng-say nanti pasti urusan penting, daripada nanti dirinya menanggung risiko, akan lebih baik kalau sekarang bertindak secara untung2an.

Berpikir demikian, segera ia menghimpun tenaga pada kedua tangannya dan siap menghantam. Cuma lantaran sehari penuh meringkuk didalam genta dan Hiat-to baru saja lancar kembali, betapa pun tenaganya tidak sekuat semula. Padahal pihak lawan jelas memiliki Lwekang yang sempurna, tenaga dalamnya tidak pernah kering, makanya dapat berlari dengan mengangkat genta besar itu tanpa letih sedikit pun. Jadi apakah akan berhasil serangannya, sungguh sukar diduga.

Dengan hati berdebar ia menyaksikan Peng-say telah meloncat kelingkatan teratas dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, segera ia menyongsongnya sambil berseru: "Wah, sungguh Kungfu yang hebat! Ayolah kubantu pegang genta ini?”

Dengan lagak hendak bantu mengangkat genta yang dipegang Peng-say itu, diam2 ia mengerahkan segenap tenaganya dan mendorong pelahan ke depan.

Budur tingkat tertinggi ini lantainya juga lebih sempit, dengan mengangkat genta besar itu jelas Peng-say tidak dapat mengelak, baginya hanya ada pilihan antara menyambut tenaga dorongan Sip-lik Taysu itu atau ia pun mendorong genta itu ke depan dan mengharuskan Sip-lik memegang genta itu.

Bila genta itu didorong Peng-say, rupanya tindakan ini sudah diperhitungkan oleh Sip-lik Taysu, dia sudah mengambil keputusan takkan memegang genta itu, dia rela tertindih oleh genta itu, biar pun mati atau terluka parah dia tetap harus berhasil menghantam Sau Peng-say.

Diluar dugaan, Peng-say sama sekali tidak pedulikan apa maksud orang, ia pun tidak mendorong genta itu ke depan, tapi sebelah tangannya yang bebas itu mendadak mengebas ke depan untuk memapak tenaga pukulan Sip-lik Taysu sambil berkata: "Tidak usah Taysu ikut repot!”

Dia berlagak tidak tahu tujuan Sip-lik, tapi kebasan tangannya itu sebenarnya telah menggunakan segenap sisa tenaganya. Maksud Peng-say, bila lawan tidak berniat menyerangnya, maka ia pun akan menahan tenaga serangannya, tapi bila lawan menyerang benar2. maka ia pun akan menangkisnya dengan keras lawan keras agar Siplik tahu akan kelihayannya dan kalah tanpa penasaran.

Untung juga dia bertindak demikian, dari bahaya Pengsay jadi selamat malah. Kalau tidak, umpama dia dapat menindih Sip-lik hingga terluka parah atau mati, tapi karena tenaga dorongan itu, daya pertahanan sendiri tentu juga berkurang dan dia pasti akan binasa oleh pukulan Sip-lik yang dilancarkan sepenuh sisa tenaganya itu.

Keadaan sekarang tangan yang satu mengangkat sebuah genta raksasa, tenaga yang dapat digunakan pada sebelah tangannya hanya setengah saja. Sebaliknya tenaga Sip-lik belum pulih seluruhnya, kedua tangannya yang sedang menghantam itu hanya dapat mengerahkan tujuh atau delapan bagian tenaga yang biasa dimilikinya. Namun adu tenaga pukulan ini ternyata seimbang alias sama kuat.

Sebelah tangan Peng-say jadi melengket di antara kedua telapak tangan Sip-lik, kedua orang sama bertahan dan tidak mau mundur setengkah pun.

Dalam pada itu Sip-lik sudah mengerahkan sepenuh tenaga, dengan demikian barulah dia bertahan tanpa terdesak mundur, tapi seluruh badannya jadi tidak dapat berkutik pula. Sebaliknya dengan tangannya yang mengangkat genta itu, tenaga. Peng-say masih tersedia pada tangan itu.

Dia mengincar baik2 tempatnya, mendadak ia dorong genta itu kesana. ia kuatir bila genta itu jatuh ke lantai akan menimbulkan suara keras, maka tenaga yang digunakan mendorong itu cuma enam bagian saja.

Karena itu, tenaga tangan yang digunakan menahan serangan Sip-lik tadi lantas berkurang, seketika ia tertolak mundur dua-tiga tindak. Akan tetapi genta besar itu dapat melayang ke dalam pagoda dan menyentuh lantai tanpa menerbitkan suara apapun. Coba kalau genta itu menerbitkan suara nyaring keras, tentu akan mengagetkan seluruh penduduk kota Si-an.

Karena serangannya tidak berhasil, sebaliknya lawan sekarang telah melepaskan gentanya, apabila tenaga lawan yang digunakan mengangkat genta itu dipindahkan untuk menghantamnya, maka dirinya pasti akan binasa. Keruan Sip-lik menjadi kelabakan, butiran keringat memenuhi dahinya, ia bermaksud menarik tangannya, tapi sayang, tiada tersedia tenaga lagi, Rupanya Peng-say tidak bermaksud mencelakai Sip-lik Taysu, mendadak sebelah tangannya memotong ke-tengah2 ketiga tangan yang melengket itu sambil membentak: "Mundur!”

Kesempatan baik ini segera digunakan oleh Sip-lik Taysu untuk menarik tangannya.

Dengan tertawa Peng-say berkata pula: "Apakah Taysu memang sengaja hendak menjajal kemampuan Cayhe?”

"Setelah menjajal, Anda ternyata betul tidak letih sedikit pun, sungguh kagum!" jawab Sip-lik dengan kikuk.

"Kalau sudah menerima tanpa membalas tidaklah sopan!" seru Peng-say mendadak. sebelah pedangnya terus menusuk.

Selamanya Sip-lik bertempur dengan bertangan kosong, maka tidak pernah membawa senjata, segera ia pun membentak: "Bagus!”

Telapak tangan kanan terus menyampuk kedepan dan "plak", dengan tepat batang pedang Peng-say tersampuk.

Dia memang tidak malu menjabat Tianglo Ma-kau, serangan Peng-say itu cukup cepat, tapi batang pedang tetap tersampuk, untung tenaga dalam Peng-say lebih kuat sehingga pedang tidak sampai terlepas dari cekalan.

Ucapan Peng-say tadi masih belum selesai, maka sekarang ia menyambung: "Terimalah satu jurus Siang-liu-kiamku!”

"Siang liu-kiam?" Sip-lik Taysu terkejut oleh nama itu sehingga rada lena.

"Kena!" bentak Peng-say ketika pedang Kiri menyambar kedepan, secepat kilat ia menggores tanda silang di depan dada Sip-lik Taysu.

Sambil mendekap dadanya Sip-lik melompat mundur, tapi ia pun tahu cuma terluka luar saja dan tidak berbahaya, "Taysu menganggap aku seperti anak kecil umur tiga dan mencari susah sendiri, maaf, terpaksa aku bertindak kasar!”

kata Peng-say dengan tertawa.

Ber-ulang2 mengalami kekalahan, lenyaplah semangat Sip-lik Taysu, katanya kemudian sambil menghela napas: "Baiklah, apa yang ingin ditanyakan Anda, silakan bicara.”

"Ma-kau kalian kenapa mempunyai lima tempat Contong, masa begini banyak?" tanya Peng-say.

"Pimpinan pusat kami membawahi Ngo-heng-tong, lima seksi ini menduduki lima tempat, semuanya merupakan Congtong kami, makanya terdapat lima tempat," tutur Sip-lik.

"Rapi benar cara berpikir Ma-kau kalian, dengan cara menyebarkan markas pimpinan, bila satu tempat dimusnakan musuh masih tetap ada tempat pimpinan yang lain untuk meneruskan perlawanan.”

"Bukan begitu tujuannya, tapi untuk lebih luas penyebaran ajaran agama kami," kata Sip-lik. "Kecuali urusan penting harus minta keputusan kepada Kaucu, biasanya pekerjaan rutin dapat diputuskan oleh Ngo-hengtong sendiri.”

"Oo," Peng-say mengangguk. Lalu bertanya. "Dan entah Tonghong-kaucu kalian berdiam di markas pusat mana?”

"Sesungguhnya apa yang akan kau tanyakan menurut janji kita tadi?”

"Ialah tempat kediaman Tonghong-kaucu," jawab Peng-say.

"Sebenarnya ada urusan apa kau cari Kaucu kami?”

"Urusan pribadiku, tidak perlu kujelaskan bukan?”

"Ya, aku sudah kalah, sudah seharusnya kupegang janji dan kujawab setiap pertanyaanmu. yang kutanyakan ini hanya sepintas lalu saja.”

"Tempat kediaman Kaucu kalian ternyata sangat dirahasiakan, sudah beberapa anggota Ma-kau kutanyai dan tiada seorang pun yang tahu," kata Peng-say.

"Kaucu kami dipandang se-akan2 malaikat dewata oleh setiap anggota Ma-kau kami, sebagian besar anggota tidak pernah melihat wajah asli Kaucu, kecuali para Tianglo dan kelima Tongcu dari Ngo-heng-tong, selebihnya tidak ada yang tahu jejak dan tempat kediaman beliau.”

"Oo. makanya ingin kutanyai Taysu mengenai tempat kediaman Kaucu kalian," kata Peng-say dengan tertawa.

"Ini soal kecil," kata Sip-lik. "Dengan ilmu silat Anda yang hebat, biar pun langsung minta bertemu juga Kaucu kami akan menyambut sendiri kunjunganmu. untuk apa Anda memasang perangkap dan banyak membuang tenaga percuma?" "Hah, rupanya Taysu ingin memancing lagi maksud tujuanku mencari Kaucu kalian," ujar Peng-say dengan tertawa.

"Ilmu silat Tonghong-kaucu kami lain daripada yang lain, baik Lwekang mau pun ilmu pedangnya sudah mencapai puncaknya kesempurnaan, dengan kelihayan Anda memang tidak sulit untuk mengalahkan diriku, tapi kalau ingin berbuat sesuatu terhadap Kaucu, hm, kukira biar pun Siang-liu-kiam-hoat yang termashur juga tiada gunanya." "Jika demikian, tentunya tidak perlu kau kuatirkan Cayhe akan menyergap Kaucu kalian," kata Peng-say.

"Nah, hendaklah kau katakan tempat kediamannya.”

"Tempat kediaman Kaucu kami tidak berada di dalam kota. . . .”

"Taysu, ada satu hal ingin kukatakan lebih dulu," sela Peng-say. "Tentang kau terkurung satu hari dibawah genta serta dadamu terluka, Cayhe berjanji akan menjaga rahasia bagimu, pasti takkan kuceritakan kepada siapa pun juga.”

"Terima kasih," kata Sip-lik Taysu. "Tapi kau pun jangan kuatir, tidak nanti kutipu kau dengan sembarangan menyebut nama tempatnya. Nah, dengarkan, diluar pintu gerbang barat kota ada sebuah perkampungan bernama Jian-liu-ceng, di situlah tempat kediaman Kaucu kami.”

"Dan mengenai jejakku, hendaknya. . . .”

"Jangan kuatir, asalkan kau jaga rahasia bagiku, tentu akupun akan jaga rahasia bagimu," jawab Sip-lik, "Terima kasih," ucap Peng-say sambil memberi hormat.

"Soalnya Cayhe kuatir orang Mo-kau kalian menganggap diriku sebagai musuh, terpaksa kuminta jejakku dirahasiakan.”

"Jika demikian, jadi tujuanmu mencari Tong-hong Kaucu tidak bermaksud jahat?" tanya Sip-lik.

"Ya, sementara ini tiada maksudku handak memusuhi beliau," jawab Peng-say.

"Tapi selanjutnya?" tanya pula Sip-lik.

"Ada satu urusan penting, setelah kuselidiki dan ternyata tiada sangkut-pautnya dengan Kaucu kalian, maka seterusnya aku pun takkan memusuhi beliau,”

"Urusan apa yang hendak kau selidiki?”

"Maaf, ini urusan pribadiku.”

"Oo, maaf, akulah yang terlalu banyak bertanya. Cuma, bila Anda ingin mencari Kaucu, dalam waktu dekat ini mungkin sukar bertemu.”

"Sebab apa?" tanya Peng-say.

"Kaucu sedang pergi jauh dan entah kapan pulangnya,”

tutur Sip-iik. "Terima kasih atas keteranganmu, biarlah kumohon diri saja," ucap Peng-say sembari memberi hormat.

Sip-lik Taysu berdiri terkesima di puncak pagoda menyaksikan kepergian Peng-say, sampai lama ia termenung di situ.

"Entah apa sebenarnya maksud tujuan orang ini, apakah jejak orang ini harus kulaporkan kepada Kaucu atau tidak?”

demikian ia meminang-minang dengan ragu-ragu, sesungguhnya dia tidak takut anak muda itu akan menyerang Tonghong Put-pay secara menggelap, yang dikuatirkan adalah kalau Peng-say tertangkap oleh sang Kaucu Pikirnya: "Bila apa yang kualami ini tidak kulaporkan, jangan-jangan dia tertangkap oleh Kaucu, lalu mengaku bahwa akulah yang memberitahukan padanya tempat kediaman Kaucu, kan bisa celaka diriku ini mengingat betapa tegasnya hukum agama kita.”

Tapi lantas terpikir pula olehnya: "Jika sudah begitu, jiwa saja sukar diselamatkan, apa artinya lagi nama segala?”

Mendadak ia mengepal dan mengambil keputusan: "Peduli nama apa segala" Jiwa selamat paling penting.

Biarlah apa yang terjadi ini harus kulaporkan kepada Kaucu dengan terus terang dan sejelasnya.”

Akan tetapi sejenak kemudian ia geleng-geleng kepala pula dan berpikir: "Nama Sip-lik Taysu yang sudah terkenal selama berpuluh tahun ini mana boleh musnah dalam sekejap dengan begitu saja" Bilamana diketahui Kik Koan bahwa aku dikalahkan oleh seorang anak muda yang baru berumur likuran, bukankah aku akan ditertawakannya hingga giginya copot, lalu kemana pula akan kutaruh mukaku?" Kik Koan yang dimaksud adalah saudara muda Kik Yang, tertua Ma-kau yang mati bersama Wi Kay-hou dahulu itu. Kik Koan, Kik Yang, Go Hui dan Sip-lik. Taysu berempat adalah empat tertua Ma-kau yang berpengaruh.

Akan tetapi empat orang terbagi menjadi dua grup, Kik Koan dan Kik Yang di satu pihak sering perang dingin dengan Go Hui dan Sip-lik Taysu di lain pihak.

Perang dingin antara mereka terjadi karena pertentangan pendapat, Kik Yang dan Kik Koan adalah golongan "lunak", yaitu ingin berdamai dan hidup berdampingan dengan orang Bu-lim umumnya. Sebaliknya Go Hui dan Sip-lik Taysu termasuk golongan "keras". mereka ingin merajai dunia persilatan. ambisi pribadi mereka sangat besar. Karena terbaginya dua grup saling bertentangan ini, mereka akur diluar tapi sirik di dalam. Sebagai Kaucu, sedapatnya Tonghong Put-pay berusaha menengahi mereka. Tapi ia pun cenderung pada Kik Yang bersaudara, sebab itulah dia mengutamakan prinsip "orang tidak melanggar diriku, aku pun tidak mengganggu orang lain.”

Akan tetapi setelah Kik Yang meninggal dunia pengaruh grup Go Hui dan Sip-lik Taysu lambat laun mulai mengatasi Kik Koan, Sering mereka menghasut agar Tonghong Put-pay menaklukkan dunia dan merajai dunia persilatan. Karena sering dikili-kili, tentu saja hati Tonghong Putpay tergerak, apabila Kik Koan tidak mengalanginya, tentu sudah lama terjadi banjir darah di dunia persilatan.

Karena maksud mereka tak sampai, dengan sendirinya Go Hui dan Sip-lik sangat benci terhadap Kik Koan. Cuma sayang, Kungfu mereka berdua bukan tandingan Kik Koan, mereka hanya benci di dalam batin dan tidak berani melawannya secara terang-terangan.

Mendingan kalau kekalahannya hanya ditertawakan oleh Kik Koan saja, kalau kejadian ini tersiar, lalu apakah wibawaku dapat ditegakkan untuk memimpin anak buah yang berpuluh ribu jumlahnya ini" Jika kekuatanku merosot, apalagi yang kuandalkan untuk menjagoi Bu-lim”

Setelah dipikir dan pikir lagi. akhirnya dia bergumam sendiri, "Toh lebih baik tetap kututup saja rahasia ini!”

Cuaca mulai remang-remang, fajar sudah tiba. Akhirnya Sip-lik meninggalkan pagoda itu dan pulang ke tempat kediamannya untuk mengatur kebohongannya.

Bahwa Peng-say sengaja memberi kebebasan kepada Siplik Taysu, tindakan ini boleh dikatakan terlampau berani.

Kalau dipikir sebenarnya bukan tindakan yang bijaksana, tapi soalnya dia terpaksa.

Begitulah tentang hilangnya Sip-lik Taysu telah membikin geger Mo-kau, di mana-mana kelihatan keadaan tegang, pencarian dan penggeledahan dilakukan dengan cermat dan hati-hati.

Dalam keadaan demikian Peng-say jangan harap akan dapat memperlihatkan dirinya dimuka umum dan mencari Tonghong Kui-le, sebab ia pasti akan kepergok oieh anggota Ma-kau. Dengan begini untuk menyelidiki seluk-beluk pembunuhan ayahnya sementara ini menjadi terkatungkatung dan sukar terlaksana.

Agar dapat bertemu dengan Tonghong Kui-le, terpaksa Peng-say harus bertindak dengan menyerempet bahaya. Ia pikir. Sip-lik Taysu tentu sayang pada namanya, demi nama baik dan kehormatannya Hwesio itu pasti takkan membocorkan kedatangannya ini. Maka diam-diam ia mendatangi Jian-liu-ceng, tempat kediaman Tonghong Putpay sebagaimana diterangkan oleh Sip-lik Taysu itu.

= ooOdwOoo = Jian-liu-ceng, artinya perkampungan beribu pohon Liu.

Sesuai namanya, perkampungan ini penuh dengan pepohonan Yang-liu yang rindang. Dibalik pepohonan itu tertampaklah bangunan yang megah, itu kalau dipandang dari kejauhan, tapi kalau sudah masuk kehalaman perkampungan itu, tertampaklah rumah gedung ber-deret2 dan bersusun. Yang paling menyolok adalah sebuah gedung berloteng yang dicat berwarna merah, pada sebuah kamar loteng dengan jendela terbuka menghadap pagar pekarangan sana tatkala mana sedang berduduk berhadapan dua gadis jelita, yang satu berbaju hitam dau yang lain berbaju putih. Yang berbaju hitam itu tampak berusia lebih tua, yaitu sang kakak. dia inilah Tonghong Kui-le, rupanya dia sedang mengajar memetik kecapi kepada adiknya, Tonghong Kuijin. Saat itu Tonghong Kui-le sedang memberi contoh memetik kecapi, Tonghong Kui-jin mengikuti gerak jari sang Taci dengan cermat, terkadang jari jemarinya ikut ber-gerak2 menjentik kecapi lain yang terletak di meja kecil di sebelahnya.

Belum lagi selesai mengajar, mendadak Tong-hong Kuile berhenti sambil menghela napas.

"Kenapa berhenti, Cici?" tanya Tonghong Kui-jin.

"Kau tidak mau berlatih semadi dan menyakinkan tenaga dalam sekuatnya, tapi hanya gerak jari yang kau pelajari, manabisa membawakan lagu Siau-go-yan-he ini dengan baik, maka aku menjadi malas untuk mengajar lagi," kata Kui-le.

- o -d o -w o "Bukannya aku tidak mau berlatih dengan giat, Cici,”

kata Tonghong Kui-jin, "usiaku lebih muda, Lwekangku lebih cetek daripada latihanmu, mana dapat kuyakinkan ke-18 macam gaya semadi itu secepat engkau" O, Cici yang baik, ajarkan lagi, tentu aku akan berlatih semadi dengan tekun, tapi kalau gerak jariku sudah apal, caraku belajar kan dapat maju lebih cepat?”

Namun Tonghong Kui-le tampak lesu dan kesal, ucapnya: "Sudahlah, aku sudah lelah, besok kuajari lagi.”

"Baru saja mengajar setengah jam, mengapa sudah lelah?" tanya Kui-jin.

"Ya, rasanya aku kurang bersemangat," jawab Kui-le.

"Hihi, kau ini. . ." Kui-jin tertawa nyekikik, lalu menyambung pula, "setiap hari senantiasa bilang tidak bersemangat, entah mengidap penyakit apa Cici ini. . . .”

"Ya, setiap hari selalu lesu, makan tidak nafsu, duduk tidak tenang, rasanya seperti kehilangan sesuatu, apa pun tidak menarik bagiku, aku sendiri tidak tahu mengidap penyakit apa," ucap Tonghong Kui-le dengan termangu-mangu.

"Kutahu penyakit apa yang menghinggapi Cici ini," ujar Tonghong Kui-jin dengan tertawa.

"Oo" Kau tahu?" Tonghong Kui-le menegas. "Coba katakan, apa penyakitku?”

"Tapi jangan kau marah jika kukatakan," kata Kui-jin.

"Penyakitmu ini namanya sakit rindu!”

"Apa betul"!" gumam Tonghong Kui-le, lalu ia berpaling ke luar jendela dan bersenandung beberapa bait syair cinta, akhirnya dia menghela napas pelahan, lalu berkata: "Moaymoay, kau adalah satu2nya orang yang tahu akan isi hatiku.

Dalam keadaan begini, apa artinya pula hidup ini bagiku”

Menurut kau, apa yang harus kulakukan?”

"Sederhana sekali," ujar Tonghong Kui-jin. "Pergilah dan cari dia!”

"Ti. . . .tidak. tidak bisa. . . ." Tonghong Kui-le menggeleng.

"Kalau begitu. boleh suruhan orang mencari dia dan menyampaikan rasa rindumu kepadanya," kata Kui-jin pula, "Ini pun tidak bisa," ujar Kui-le.

"Lalu bagaimana, ini tidak bisa, itu pun tidak bisa, terpaksa harus tunggu sampai dia datang sendiri mencari Cici," kata Kui-jin.

"Menurut kau, apakah dia akan. . .akan datang mencari diriku?" tanya Kui-le.

"Sukar untuk kukatakan," jawab Kui-jin. "Apa bila dia juga sakit rindu, tentu besar sekali kemungkinannya dia akan datang, kalau tidak. . . .”

Mendadak Tonghong Kui-le mendesis: "Eh, coba dengarkan!”

"Suara apa?" tanya Kui-jin.

"Suara seruling," jawab Kui-le.

Waktu mereka pasang telinga dan mendengarkan dengan cermat, benarlah terdengar suara seruling sayup-sayup di kejauhan.

"Siapa itu, besar amat nyalinya, berani main2 disini?”

ujar Kui-jin, "Dia!" kata Kui-le.

"Maksud Cici, pemuda yang kita temui di Thay-san itu?”

tanya Kui-jin dengan bersemangatTonghong Kui-le mengangguk.

"O, kiranya orang yang telah mengakibatkan Cici sakit rindu itu, sekarang ia pun datang kemari," Tonghong Kui-jin berhenti sejenak, lalu menyambung, "Jika demikian, tampaknya dia juga sakit rindu.”

"Masa?" ucap Kui-le dengan tersenyum riang.

"Bila betul dia, kuyakin dia pasti juga rindu kepada Cici,”

ujar Kui-jin. "Kuatirnya bukan dia melainkan anak muda kampung tetangga yang coba2 main gila ke sini.”

"Tidak, kutahu pasti dia," kata Tonghong Kui-le. "Cukup kudengar beberapa nada saja segera dapat kupastikan dia atau bukan. Di dunia ini selain dia tiada orang kedua lagi yang mampu meniupkan seruling semerdu itu “

Pada saat ituiah mendadak suara seruling terputus, menyusul lantas terdengar suara orang bersenandung, menyanyikan syair cinta yaug menyatakan rasa rindunya.

Dengan tertawa Tonghong Kui-jin berkata: "Nah. betul tidak" Tebakanku ternyata tepat. Dari syair lagunya itu, bukankah sudah jelas dia juga menanggung rasa rindu seperti halnya Cici?”

Dengan malu-malu Tonghong Kui-le berkata: "Jika dia sudah datang kemari, boleh. . .boleh kau pergi mengundangnya kesini. . . .”

"Aku"!" Tonghong Kui-jin menegas sambil menuding hidungnya sendiri. "Kenapa aku yang mengundangnya”

Kan bukan diriku yang merindukan dia" Ah, emoh aku.

Jangan-jangan akan menimbulkan salah sangkanya bahwa kita kakak beradik bersama-sama telah mencintai dia.”

"O, adik yang baik, hendaklah kau bantu satu kali saja dan mengundangnya kemari," pinta Tonghong Kui-le.

"Satu kali saja" Memang betul cukup satu kali saja, masakan lain kali perlu pakai mengundang lagi?" ujar Tonghong Kui-jin sambil mencibir. "Satu kali mungkin masih asing, dua kali tentu sudah apal, lain kali masakan dia tidak datang sendiri"'“

"Baiklah, adik yang baik, bantulah Taci, pergi sana!”

pinta Kui-le pula.

Namun Tonghong Kui-jin sengaja jual mahal, jawabnya: "Ah, tidak mau! Pernah aku ditutuk Hiat-to sehingga menggeletak tak bisa berkutik. untuk ini dia belum lagi minta maaf padaku, mana boleh aku merendahkan diri untuk mengundangnya kesini malah?”

"O, adikku yang manis. biarlah Cici mintakan maaf padamu! Nah, pergilah sana, selanjutnya jika ada peluang tentu akan kuajarkan lagu Siau-go-yan-he padamu, tentu aku tidak malas lagi.”

"Huh, belum lagi bicara dengan dia masa sudah kau anggap seperti anggota keluarga sendiri, cepat amat akrabnya," Tonghong Kui-jin ber-olok2 sambil menggeleng.

"Baiklah, mengingat kau takkan malas lagi dan akan mengajar dengan sungguh-sungguh, terpaksa kulakukan tugas yang tidak menyenangkan ini. Cuma, awas. jangan lupa akan janjimu kelak.”

Habis berkata ia terus melangkah turun kebawah.

Tonghong Kui-le lantas sibuk berdandan dan bersolek, hatinya berdebar keras, sampai sekian lama menyisir rambut saja belum rapi.

Tidak lama kemudian datanglah Tonghong Kui-jin kembali, begitu muncul dia lantas mengomel. "Huh, semuanya gara-gara Cici, bikin kheki orang saja. Melihat lagaknya yang tengik itu, sungguh aku gemas.”

"He, kenapa dia?" tanya Tonghong Kui-le dengan tidak sabar.

"Dia apa" Sudah pergi! Tanpa bicara apa pun terus pergi begitu saja!" omel Kui-jin pula.

"Ah, mana...,, mana bisa jadi" Apakah betul begitu?”

tanya Tonghong Kui-le dengan gelisah.

"Masa kudusta padamu?" jawab Tonghong Kui-jin.

"Coba kau terka apa yang dilakukannya tadi?" Begitu melihat diriku, dia masih tetap bersyair segala, kudengar dia menyebut 'Di bawah Yangliu seberang, angin sepi bulan suram. . . .' dan entah apa artinya, lalu dia pergi begitu saja.

Coba apa tidak mendongkol?”

Tiba-tiba Tonghong Kui-le tertawa, katanya: "O, begitu”

Ya, pahamlah aku!”

"Paham" Paham apa?" tanya Tonghong Kui-jin dengan melenggong.

"Di bawah Yangliu di seberang, tatkala angin sepi dan bulan suram. Pantas senandungnya sampai di sini lantas terhenti," kata Tonghong Kui-le.

"Mestinya tidak perlu kusuruh kau pergi mengundangnya, kan sebelumnya dia sudah meninggalkan janji pertemuan pada tempat tertentu.”

"Bilakah dia meninggalkan janjinya" Kenapa aku tidak tahu sama sekali?" tanya Tonghong Kui-jin.

"Coba pikir, "kata Tonghong Kui-le. "Syiar yang disenandungkan itu adalah syair perpisahan gubahan Liu Yong, yaitu waktu Liu Yong mengadakan pertemuan dengan kekasihuya di bawah pohon Yangliu di seberang jembatan Pah-kio. Dengan perantaraan syair ini, bukankah dia juga menyatakan hasratnya akan bertemu denganku di bawah pohon Yangliu di seberang jembatan tempat kediaman kita ini.”

"Ya, betul, pintar juga Cici," ujar Tonghong Kui-jin sambil mengangguk. "Penyair jaman Tang itu menyatakan rasa beratnya untuk berpisah dengan kekasihnya di jembatan Pah-kio disekitar jembatan itu penuh dengan pepohonan Yangliu. Memang betul dia juga bermaksud mengajak Cici menemuinya diseberang jembatan yang banyak pepohonannya diperkampungan kita ini. Tapi entah kapan dia berjanji akan menemui Cici?”

"Yaitu pada waktu angin sepi dan bulan suram," kata Tonghong Kui-le. "Artinya tatkala jauh malam dan keadaan sunyi.”

"Ai, Cici yang pintar, kalau aku, selama hidup juga tak dapat menangkap maksudnya," ujar Toaghong Kui-jin dengan gegetun. "Orang ini pun aneh, kenapa tidak bertemu di siang hari, tapi sengaja mengajak Cici menemuinya ditengah malam buta. memangnya pertemuan ini harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak boleh dilihat orang?”

"His, jangan sembarang omong dan berpikir yang bukan2," omel Tonghong Kui-le dengan muka merah.

"Habis, ingin kutanya padamu, sebab apa pertemuan kalian harus dilakukan pada waktu larut malam!" tanya Tonghong Kui-jin pula.

Dengan membayangkan keindahan yang akan terjadi, Tonghong Kui-le menjawab: "Pada waktu malam sepi, bukankah saat yang paling baik untuk mengobrol?”

"Kata mengobrol kukira tidak tepat, harus kau pakai istilah untuk asyik masyuk," kata Tonghong Kui-jin dengan tertawa, "sebab ...,.”

"Ayo, jangan sembarangan omong?" omel Tonghong Kui-le, sebab ia tahu kata2 lanjutannya tentu tidaklah enak didengar.

Tonghong Kui-jin meleletkan lidahnya, lalu bertanya: "Dan Cici akan memenuhi ajakannya atau tidak?”

"Sesungguhnya aku ingin pergi, tapi .... tapi takut diketahui ayah. . . .”

"Ayah kan tidak di rumah, apa alangannya?" ujar Kui-jin.

"Kita tahu, dia adalah orangnya Tionggoan Sam-yu yang menjadi lawan kita," kata Tonghong Kui-le, "apabila aku mengadakan pertemuan dengan dia, kan bisa susah kalau sampai diketahui oleh ayah.”

"Asalkan aku tidak omong, kaum hamba juga tak ada yang berani banyak mulut, kenapa Cici takut?" ujar Kui-jin.

"Ah, bagus sekali jika Moay-moay berjanji takkan omong," seru Kui-le dengan senang dan lega.

"O, rupanya Cici kuatir kulaporkan kapada ayah, begitu bukan?" tanya Kui-jin sambil mengernyitkan hidung. "Nah, jangan kuatir. Biarpun dia pernah bertindak kasar padaku di Tay-san dahulu, tapi karena Cici sudah menyukai dia, terpaksa kuanggap selesai persoalan ini. Adik kan tidak dapat menyaksikan Cici dirundung rindu terus menerus.

Hanya saja, kalau nanti Cici pergi memenuhi janji pertemuannya hendaklah kau hati-hati, jangan sampai di. .

." dia tidak melanjutkan ucapannya, tapi memberi muka setan, lalu berlari keluar kamar.

oOo o ^dw^ o oOo Seperti sudah diceritakan, di kota Si-an banyak terdapat tempat-tempat tamasya yang indah dan terkenal.

Di luar gerbang timur, kira2 belasan li jauhnya terdapat sebuah sungai Pah, konon disitu ada sebuah jembatan dan disebut Pah-kio atau jembatan Pah.

Pah-kio inilah yang sering di sebut-sebut dalam syair para pujangga jaman dahulu. Sebab menurut cerita, dulu bila orang bepergian jauh, para pengantarnya, terutama kekasih atau isterinya sering mengantar dan berpisah dibatas jembatan ini.

Jembatan ini dibangun dari balok batu yang kuat, panjang jembatan ini ribuan kaki dengan tiang-tiang ukir yang indah. Selama berabad-abad jembatan ini banyak mengalami perbaikan, tapi bentuk aselinya masih tidak beruhah. Di kedua sisi jembatan ini memang banyak pepohonan Yangliu yang rindang, suasana indah dan romantis, makanya selalu menjadi obyek penyair di jaman dahulu.

Malam itu Tonghong Kui-le telah pergi ke jembatan indah itu untuk memenuhi janji, sampai siang hari esoknya baru dia pulang.

Tentu saja Tonghong Kui-jin rada gelisah menantikan pulangnya sang Cici, ia berjalan mondar-mandir di kamar dengan cemas, hatinya menjadi lega setelah Kui-le pulang.

Segera ia bertanya, "Kenapa baru pulang sekarang”

Sungguh kukuatir kalau-kalau Cici telah digondol lari oleh dia.”

Tonghong Kui-le tidak menjawabnya, dia tampak agak linglung, sebentar berduduk, segera berbangkit lagi, lain saat berbaring, tapi tak bisa tidur, bangun lagi. Namun air mukanya jelas menampilkan senyuman kepuasan yang tak terhingga. Tonghong Kui-jin memandangi sang Taci dengan rada bingung. Akhirnya ia coba bertanya, "Cici, semalam suntuk kalian bicara, sesungguhnya apa saja yang kalian perbincangkan?”

"Ah, tidak memperbincangkan apa-apa," jawab Tonghong Kui-le dengan lirih.

"Habis, ap..... apa yang kalian yang kalian lakukan di sana". . ." tanya pula Tonghong Kui-jin dengan agak kuatir.

"Juga tidak melakukan apa-apa kecuali dia meniup seruling dan aku memetik kecapi," tutur Kui-le.

"Masa cuma itu saja, lebih dari itu?" tanya Kui-jin.

"Hanya itu saja," jawab Kui-le.

Tonghong Kui-jin menggeleng-geleng kepala sebagai tanda tidak habis mengerti. Ucapnya, "masa cuma begitu saja" Lalu apa artinya?”

"Sekarang kau memang tidak paham, tapi kelak bilamana kau sudah nenguasai lagu Siau-go-yan-he, lalu main bersama dia, maka kau tentu akan paham segalanya.

Pendek kata, Sukar mencari orang yang tahu benar-benar akan suara hatimu.”

"O, kiranya begitu," Tonghong Kui-iin manggutmanggut. "Lalu adakah janji pertemuan selanjutnya?”

"Ada, malam nanti," tutur Kui-le.

= oOo =dw= oOo = Dan begitulah, berturut-turut tiga malam Tonghong Kuile selalu pergi dan baru pulang pada keesokan harinya.

Pada siang hari keempat, saking ingin tahu tanyalah Tonghong Kui-jin kepada sang Taci, "Semalam tentunya kalian berbicara apa2 bukan?”

Tak terduga, Tonghong Kui-le hanya menggeleng saja.

"Aneh, kenapa masih tetap begitu" Masa sampai sekarang namanya saja tidak diketahui, lalu terhitung sahabat macam apa?" ujar Tonghong Kui-jin.

Tonghong Kui-le tertawa, katanya, "Baiklah, malam nanti akan kutanya namanya." Esoknya, begitu Tonghong Kui-le pulang, dengan tidak sabar Kui-jin lantas bertanya, "Bagaimana, sudah kau tanyai dia, siapa namanya?”

"Sau Peng-say," tutur Kui-le.

"Setelah kau buka suara lebih dulu, tentunya dia tidak dapat berlagak bisu lagi," ujar Kui-jin.

"Ya, dia telah bicara padaku. Tapi dia hanya bilang: 'Nama nona sudah kuketahui di Thay-san tempo hari.

Sebab itulah dia tidak balas tanya namaku.”

"Dan apapula yang kau katakan padanya?" tanya Kui-jin.

"Kubilang: 'Adik perempuanku ingin bertemu dengan Kongcu, entah Kongcu sudi berkunjung tidak ke kediaman kami?" "Aha, bagus caramu ini!" seru Tonghong Kui-jin. "Kau sendiri yang ingin mengundang dia berkunjung kerumah kita, tapi kau gunakan alasan diriku yang mengundang dia.

Hm, tampangnya yang tengik itu kan sudah pernah kulihat di Thay-san dahulu, aku menjadi malas untuk melihatnya lagi." "Bila tidak memakai cara begitu, bagaimana alasanku untuk mengundang dia kesini?" ujar Tonghong Kui-le dengan tertawa.

"Lantas bagaimana jawabnya?" tanya Kui-jin.

"Dia bilang tentu saja dia sangat berharap akan memenuhi undanganku. Cuma dia pikir agak tidak leluasa, lebih-lebih dia merasa pernah bersalah kepada adik, persoalan ini pasti takkan dimaafkan oleh ayah. Yang dimaksudkannya adalah kejadian di Thay-san dahulu, di mana dia telah menggagalkan rencana kita akan membunuh Tionggoan Sam-yu, untuk ini tentu ayah tak dapat mengampuni.”

"Memang betul. jiwa Tionggoan-sam-yu sebenarnya sudah tergenggam di tangan kita, gara-gara dia sehingga usaha kita berantakan dan gagal total. tentu saja ayah takkan mengampuni dia." ujar Tonghong Kui-jin. "Sungguh besar juga nyalinya, demi menjenguk Cici jauh-jauh dia berani datang ke Si-an sini. Tapi untuk berkunjung kerumah ini, kukira dia pasti tidak berani.”

"Kau salah terka." kata Tonghong Kui-le. "Dia justeru menerima undanganku dan berjanji lohor nanti pasti akan datang kemari.”

"Oo?" Tonghong Kui-jin bersuara heran, sungguh keterangan sang Taci diluar dugaannya. Segera ia bertanya pula, "Cara bagaimana Cici mengundang dia sehingga dia berjanji akan datang nanti?”

"Kujelaskan padanya tentang tindakannya kepada adik di Thay-san dahulu, sesudah kubujuk kini adik sudah tidak memikirkan lagi kejadian itu," tutur Tonghong Kui-le.

"Mengenai ayah, karena saat ini beliau sedang pergi jauh, tentu tidak beralangan apabila dia sudi berkunjung kemari.”

"Wah, rupanya kata2 terakhir Cici tentang 'tak beralangan' itu telah menjaminnya, jika dia tetap menolak.

jelas kelihatan akan sifat penakutnya," kata Kui-jin dengan tertawa.

"Sebenarnya tiada maksudku hendak memancing keberaniannya, namun setelah telanjur kukatakan barulah kurasakan ucapanku itu mungkin menyinggung perasaannya," tutur Tonghong Kui-le. "Tapi dia telah menjawab: Tanpa pikir nona telah memenuhi undanganku ke sini, kalau sekarang nona balas mengundang diriku. bila kutolak, rasanya juga kurang hormat. Baiklah. tolong tanya bilakah nona sempat menerima diriku. Cayhe pasti akan hadir tepat pada saatnya.”

"Maka Cici lantas mengundangnya datang pada waktu lohor agar sekalian makan siang disini bukan?" tukas Tonghong Kui-jin dengan tertawa.

"Jauh-jauh dia datang ke Si-an sini untuk mencari diriku, kan pantas jika kupenuhi kewajiban sebagai tuan rumah?”

kata Kui-le. "Ya, betul juga, sekalian Cici dapat pertunjukkan beberapa sajian yang menjadi kemahiran Cici untuk menarik kesan baiknya, begitu bukan?”

"Jika kumasak sendiri sekadar memperlihatkan kesungguhanku, apa tidak boleh?”

"Sudah tentu boleh, sudah tentu boleh!" seru Kui-jin dengan tertawa. "Cuma, tiba saatnya nanti bila Cici tidak menjelaskan, bisa jadi dia akan mengira santapan yang dihidangkan itu adalah buatan koki kita, mana dia mengetahui akan maksud Cici turun ke dapur sendiri demi memberi pelayanan yang baik kepadanya.”

Dia mengikik-tawa. lalu menyambung: "Untuk ini kukira perlu adikmu ini ikut propaganda bagimu agar diketahuinya, bila kelak dia memperistrikan Cici. paling sedikit dalam hal kenikmatan makan pasti akan terpenuhi.”

Muka Tonghong Kui-le menjadi merah, ucapnya setengah mengomel: "Budak nakal, biarlah hari ini kau menggoda diriku, kelak bila kau punya teman laki-laki pasti akan kubalas.”

Tonghong Kui-jin berlagak tak acuh. jawabnya: "Untuk itu entah kau mesti menunggu beberapa tahun lagi.”

"Huh. masa perlu beberapa tahun lagi?" Ujar Tonghong Kui-le. "Pemuda mana yang tidak ter-gila2 pada gadis cantik seperti kau. Kukira tidak lama lagi pasti akan tiba giliranmu.”

"Ai, Cici benar-benar sangat cepat membalas olok olokku," kata Kui-jin dengan tertawa. "Sudahlah. lekas kau turun ke dapur, sudah dekat waktunya, bisa jadi tamunya sudah datang dan kau belum lagi rampung menyiapkan sesuatu yang perlu.”

Kakak beradik ini sejak kecil sudah kehilangan ibu, Tonghong Put-pay sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan organisasinya, selain menyebar ajaran agama juga harus memimpin anggota yang ber-puluh2 ribu jumlahnya. Maka kecuali pada waktu mengajarkan ilmu silat kepada kedua anak perempuannya ini. biasanya jarang berkumpul dan memberi bimbingan tentang kehidupan berumah tangga.

Padahal Ma-kau berasal dari luar negeri, ajaran tentang hubungan laki2 dan perempuan jauh lebih bebas daripada tata adat di daerah Tionggoan Umumnya asalkan si perempuan suka, maka boleh langsung menyatakan rasa cintanya. Berbeda dengan perempuan daerah Tionggoan yang terikat oleh adat istiadat kolot, biarpun cinta luar biasa, paling2 hanya dipendam di dalam hati dan tidak berani mengutarakannya kepada siapa pun.

"oOo" O d-w O"oOo”

Akhirnya tibalah lohor yang ditentukan.

Meja perjamuan sudah disiapkan di ruangan tengah di atas loteng. Benarlah Sau Peng-say hadir tepat pada waktunya Tonghong Kui-le dan Tonghong Kui-jin mengiringi berduduk di kedua sisi Peng-say.

Kedua kakak beradik itu tidak minum arak, Peng-say sendiri tidak enak untuk minum arak sendiri, seketika ketiga orang hanya duduk termangu. suasana menjadi rada canggung. Setelah masing-masing menyumpit semacam hidangan dan dimakan, Tonghong Kui-jin lantas berbangkit meninggalkan meja perjamuan itu, katanya. "Sau-kongcu, Cici sendiri telah turun ke dapur untuk mengolah santapan ini bagimu, janganlah engkau hanya duduk termenung dan lupa dahar, Silakan kalian makan sebanyak-banyaknya, adik tidak menemani lagi.”

Cepat Tonghong Kui-le berseru, "He, Moay-moay, jangan pergi. . . .”

Namun Tonghong Kui-jin lantas berkata dengan tertawa, "Aku dan Sau-kongcu tidak terlalu akrab, bila aku hadir disini tentu dia tidak leluasa untuk dahar dan minum.”

Habis berkata ia terus berlari keluar.

Muka Tonghong Kui-le menjadi merah. ucapnya malumalu, "Kongcu silakan dahar.”

"Kiranya nona sendiri yang mengolah hidangan ini, wah, aku membikin repot saja padamu," kata Peng-say.

"Ah, pekerjaan biasa. repot apa?" ujar Tonghong Kui-le.

Berturut-turut Peng-say mencicipi beberapa macam hidangan. lalu memuji, "Nona sungguh mahir masak,”

Diam-diam Tonghong Kui-le merasa senang, katanya pula, "Silakan Kongcu minum arak.”

Tanpa sungkan lagi Peng-say menenggak setengah cawan arak yang tersuguh di depannya, lalu berkata, "Sesungguhnya Cayhe ingin tanya sesuatu kepada nona, entah nona sudi mendengarkan atau tidak?”

"Silakan Kongcu bicara," jawab Tonghong Kui-le, sambil menjulurkan tangannya yang putih mulus itu untuk mengangkat poci dan menuangkan arak bagi anak muda itu. "Ingin kutanya, kepandaian nona memetik kecapi itu dapat belajar dari siapa?" kata Peng-say.

"Ajaran mendiang Kik-tianglo, salah seorang tertua Ma-kau kami," tutur Tonghong Kui-le.

"Kik Yang maksud nona?" Peng-say menegas.

"Betul," jawab Kui-le. "Sejak berumur tujuh sudah belajar memetik kecapi dengan Kik-tianglo, tapi lantaran bakatku jelek dan pembawaanku bodoh, hakikatnya belum ada sepersepuluh bagian kepandaian Kik-tianglo yang kuperoleh.”

"Ah, nona terlalu rendah hati," ujar Peng-say. "Kik-tianglo adalah ahli kecapi, guru yang pandai mana ada murid yang bodoh. Kukira bicara tentang kemahiran memetik kecapi, di dunia ini tiada yang kedua lagi kecuali nona sendiri.”

"Ai, mana berani kuterima pujian Kongcu ini," jawab Tonghong Kui-le dengan tertawa. "Justeru kemahiran seruling Kongcu itulah kuyakin terhitung nomor satu di dunia." Sambil minum arak dan bersantap, Peng-say sembari bicara pula, "Sungguh sangat kebetulan jika diceritakan, sebuah lagu yang kupelajari juga berjudul 'Siau-go-yan-he", sama dengan lagu kecapi nona.”

"Oya, apa betul?" tanya Kui-le.

"Betul, yaitu lagu yang kumainkan bersama dengan kecapi nona itu," kata Peng-say.

"Pantas setiap kali bila kumainkan kecapiku bersama tiupan seruling Kongcu, rasanya permainan kita itu seolah-olah ditakdirkan suatu pa. . . ." mendadak nona itu tidak melanjutkan ucapannya.

Peng-say tahu yang akan diucapkan si nona adalah "pasangan", maka dia tertawa dan bertanya pula, "Entah lagu Siau-go-yan-he yang dipelajari nona itu pun ajaran Kik-tianglo atau bukan?”

Caranya bertanya seolah olah tidak sengaja, padahal di dalam hati dia sangat tegang. Maklumlah, pertanyaan ini menyangkut duduk perkara yang sebenarnya mengenai sakit hati kematian ayahnya.

Seperti diketahui, kedatangannya ke Si-an, pusat kekuasaan Mo-kau ini adalah untuk menyelidiki kejadian yang sebenarnya yang menyangkut pembunuhan segenap anggota Lam-han. Apabila kitab nada kecapi yang tadinya berada pada Sau Peng-lam itu terbukti berada pada Tonghong Put-pay sekarang, maka tidak perlu disangsikan lagi si pembunuh segenap anggota Lam-han itu ialah Tonghong Put-pay dan bukan dilakukan Ting Tiong dan Liok Pek dari Say-koan.

Begitulah maka didengarnya Tonghong Kui-le telah menjawab; "Ya. . . .”

Hati Peng-say terasa lega, sebab apa pun juga tidak berharap bahwa Tonghong Put-pay adalah musuh yang membunuh ayahnya sehingga akan terjadi suatu jurang pemisah yang mendalam dengan nona pemaham isi hatinya yang selama hidup ini sukar dicarinya ini.

Tak terduga, setelah berhenti sejenak tiba-tiba Tonghong Kui-le menyambung pula, "Namun bukan ajaran langsung dari Kik-tianglo, tapi hasil pelajaranku menurut sebuah kitab nada tinggalan beliau.”

Sekujur badan Peng-say tergetar mendadak, hampir saja cawan arak yang dipegangnya jatuh berantakan. Sedapatnya ia menahan guncangan perasaannya, tanyanya pelahan, "Apakah kitab nada itu diberikan langsung dari Kik-tianglo?”

"Tidak," tutur Tonghong Kui-le. "Kik-tianglo meninggal di tempat jauh, beliau tidak meninggalkan kitap nada apa pun bagiku. Tapi adalah karena mengetahui mendiang Kik-tianglo telah menciptakan satu buku nada kecapi yang tiada bandingannya, ayah telah berusaha mencarinya ke-mana2, akhirnya dapatlah ditemukan pada jenazah Kik-tianglo.”

Cerita ini jelas tidak benar, nyata Tonghong Put-pay tidak pernah menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada anak perempuannya ini.

Seketika air muka Peng-say berubah menjadi pucat, dalam hati dia menjerit: "O, sakit hati pembunuhan ayah sedalam lautan! Wahai Tonghong Put-pay, demi mendapatkan satu buku nada kecapi, tanpa segan-segan kau telah menumpas segenap anggota Soh-hok-han kami, sakit hati ini harus kutuntut, antara kau dan aku tidak mungkin hidup bersama, kalau bukan kau yang mampus biarkanlah aku yang gugur.”

Tonghong Kui-le terkejut oleh perubahan air muka Pengsay itu, serunya kuatir, "He, kenapa kau" Air mukamu sungguh menakutkan. apakah kau sakit?”

Peng-say tidak ingin bertengkar dan bermusuhan dengan si nona, tapi ia pikir barang musuh tidak boleh lagi kumakan. Maka ia lantas meletakkan cawan araknya dan menjawab: "Mendadak aku merasa kurang sehat, biarlah kumohon diri saja!”

Habis berkata mendadak ia berbangkit. Karena gerakan ini, ditambah lagi rasa dukanya yang hebat, seketika ia merasa kepala pusing dan mata gelap, ia sempoyongan dan akan roboh. "Ai, tampaknya kau memang sakit, lekaslah berbaring saja di tempat tidur!" seru Tonghong Kui-le.

"Ti. . .tidak!" teriak Peng-say. "Sedetik pun tidak boleh kutinggal lagi disini!”

Tapi mendadak terdengar seorang bergelak tertawa diluar, "Hahaha! Sau Peng-say, kau sudah makan Bonghan-yo (obat tidur), kau bisa datang tak bisa lagi pergi!”

"Ayah!" seru Tonghong Kui-le.

Rupanya yang tertawa dan berseru diluar itu adalah Tonghong Put-pay, gembong nomor satu Ma-kau.

Seketika Peng-say menjadi murka, dengan melotot ia tanya Tonghong Kui-le, "Bukankah kau bilang ayahmu. . .

.ayahmu tidak berada di rumah?”

Mendadak ia duduk lagi dengan lemas, katanya dalam hati: "Untuk apa pula kutanya, mana ada anak yang tidak condong kepada ayahnya sendiri. Aku sendiri yang kelewat tolol, masa mengira tidak bakalan mencelakai diriku?”

Bong-han-yo adalah sejenis obat tidur atau bius yang sangat sederhana, dengan semacam bubuk dan dicampurkan di dalam arak, bila diminum dengan segera akan tertidur. Tapi kalau pengaruh alkohol hilang, segera pula orangnva akan mendusin Bila tenaga dalam orang yang minum Bong-han-yo itu sangat kuat dan dapat mendesak keluar pengaruh arak, biarpun minum obat bius itu pun tidak akan jatuh tidur! Sebab itulah Bong-han-yo tidak besar khasiatnya, pada umumnya jarang digunakan oleh orang Kangouw.

Tapi lantaran obat tidur ini kalau sudah tercampur didalam arak sama sekali tidak kelihatan sesuatu perubahan warna dan juga tidak ada bau, sangat mudah untuk mengelabui mata seorang ahli sekalipun. Rupanya demi kelancaran tujuannya, Tonghong Put-pay tidak menggunakan obat bius lain yang lebih keras, tapi justeru menggunakan Bok-han-yo paling sederhana ini.

Tonghong Put-pay tahu Lwekang Peng-say sangat hebat, hanya dalam waktu singkat pengaruh itu dapat dibuyarkan olehnya. Maka dia harus bekerja cepat. pada waktu anak muda itu sedang berduduk dan mengerahkan tenaga dalam, secepat kilat dia menyelinap masuk kedalam ruangan terus hendak menutuknya.

"Jangan, ayah!" jerit Tonghong Kui-le dengan kuatir, segera ia menubruk maju hendak menghadang di depan Sau Peng-say agar anak muda itu tidak sampai ditutuk sang ayah. Akan tetapi Tonghong Put-pay sudah telanjur, tangan kiri terus menyampuk, kontan Tonghong Kui-le dihantamnya hingga terlempar keluar ruangan. Menyusul jari tangan kanan terus menutuk dan tepat mengenai "Kin-sok-hiat" di pinggang Peng-say.

Karena Hiat-to penting itu tertutuk, seketika tenaga dalam Peng-say yang sedang bekerja itu menjadi buyar, belum lagi dia sempat mendesak keluar hawa arak, tahutahu ia sudah roboh terkulai dan tertidur pulas. . . .

^ o dw o ^ Waktu Peng-say siuman, ia merasa dirinya terkurung di dalam penjara batu dengan kaki dan tangan terbelenggu.

Petangnya, ia dengar pintu penjara di buka orang. Waktu ia menengadah, dilihatnya Sip-lik Taysu melangkah masuk dengan membawa lentera. Karena Tonghong Kui-le telah berusaha membelanya pada saat dia diserang Tonghong Put-pay, tahulah Peng-say bahwa yang membocorkan rahasia kedatangannya bukanlah Tonghong Kui-le.

Melihat munculnya Sip-lik Taysu, segera ia paham duduknya perkara. Jelas Sip-lik inilah yang membocorkan jejaknya sehingga Tonghong Put-pay lantas mengatur tipu muslihat untuk menjebaknya dengan menaruh obat di dalam arak yang akan diminumnya, sudah barang tentu semuanya itu dikerjakan di luar tahu Togghong Kui-le.

Dia menghela napas, katanya, "Taysu, akhirnya kau mencelakai diriku.”

Sip-lik Taysu juga tidak menyangkal, ucapnya, "Maklumlah, selaku Mo-kau-tianglo, adalah jamak jika aku harus setia kepada agamaku, segala sesuatu harus kulaporkan kepada Kaucu. Untuk ini hendaklah kau suka memaafkan diriku.”

Sekali sudah salah langkah, maka runtuhlah segalanya, siapa yang mesti disalahkan" Mau tak mau Peng-say harus menerima nasib. Cuma ia tidak habis mengerti mengapa Sip-lik Taysu yang berwatak tak mau kalah bisa melakukan hal-hal di luar dugaannya”

Ia coba bertanya, "Jadi Taysu tidak sayang pada nama baikmu yang sudah termashur selama berpuluh tahun dan sekarang dibiarkan hanyut begitu saja?”

Sip-lik Taysu menjawab: "Kau berani memusuhi Kaucu, dengan kesaktian Kaucu, cepat atau lambat kau pasti akan tertangkap. Dari pada nanti kau mengaku dihadapan Kaucu tentang apa yang terjadi dan tidak urung aku pun bisa dihukum mati terpaksa kulaporkan lebih dulu tanpa menghiraukan soal nama baik dan kehormatan lagi.”

"Kedatangan Taysu ini apakah hendak menyampaikan sesuatu pesan Kaucu kalian?" tanya Peng-say.

"Bicara terus terang," jawab Sip-iik, "Kaucu menyuruh aku melakukan pahala untuk menebus dosa, asalkan dapat kubujuk kau, maka beliau berjanji akan menutup rahasia kekalahanku oleh dirimu ini.”

"Berpahala untuk menebus dosa?" Peng-say menegas.

"Ya," kata Sip-lik. "Kaucu memang maha pintar begitu beliau pulang dan mendapat laporan tentang genta raksasa yang dipindahkan orang ke depan pintu Ban-seng-paiu-kiok itu, beliau lantas menyangsikan lenyapnya diriku selama satu hari itu, beliau bertanya padaku apakah ada sesuatu yang sukar untuk dibicarakan terus terang.”

Baru sekarang Peng-say menyadari tindakannya yang keliru. Pikirnya: "Kupasang perangkap dan berhasil menawannya, hal ini rasanya mudah diterka oleh setiap orang yang cerdas. Apalagi Kaucu mereka, sudah tentu cukup kenal watak anak buahnya, terutama sifat Sip-lik yang suka menang ini. Ai, memang akulah yang salah langkah." Dalam pada itu Sip-lik telah bercerita pula, "Semula aku berusaha menutupi apa yang terjadi dan menyangkal telah terjadi sesuatu. Namun Kaucu terus mendesak dan bertanya. Demi teringat kepada akibatnya nanti, akhirnya kulaporkan segalanya. Sebab kalau tidak segera kulaporkan, apalagi Kaucu sudah mendesak dan bertanya, bilamana kejadian ini tetap tidak kulaporkan akan berarti berdusta dan mengelabui Kaucu. Padahal dalam Ma-kau kami Kaucu kami junjung seolah-olah raja, biarpun kedudukanku adalah Tianglo juga tidak terhindar daripada hukuman mati lantaran telah berdusta kepada sang Kaucu. Syukurlah, Kaucu cukup bijaksana dan welas asih, beliau mau mengerti akan kesukaranku dan tidak segera menjatuhkan hukuman padaku, sebaliknya malah memberi kesempatan padaku agar mencari pahala untuk menebus dosaku.”

"Dan apa yang kau harapkan dariku?" tanya Peng-say.

"Sejilid kitab nada seruling." jawab Sip-lik.

"Apakah kitab nada seruling yang berjudul 'Siau-go-yan-he'?" tanya Peng-say.

"Betul," jawab Sip-lik Taysu. "Kitab nada seruling itu sudah lama dicari Kaucu, beliau telah menggeledah seluruh Lam-han dan tidak berhasil menemukannya.”

"Hanya satu buku nada seruling saja, apa artinya?" ujar Peng-say.

"Jika demikian, sudilah berikan padaku," kata Sip-lik Taysu. "Sudah barang tentu tidak akan kuterima tanpa balas jasa. dengan jiwaku akan kujamin keselamatanmu.”

"Kitab nada seruling itu tidak kubawa," kata Peng-say.

"Habis dimana kau menyimpannya?" tanya Sip-lik Taysu.

"Sudah kuapalkan dengan baik, tiada gunanya lagi kusimpan kitab nada itu, maka sudah kubakar.”

"Jika begitu, mohon sudilah engkau merekamnya kembali satu buku," pinta Sip-lik.

"Coba jawab dulu, darimana Kaucu kalian mengetahui pentingnya kitab nada seruling ini?" tanya Peng-say.

Sip-lik mengira anak muda ini sudah mau menyalin lagi satu buku nada itu, untuk mengambil hatinya, tanpa pikir ia memberi penjelasan: "Lagu Siau-go-yan-he itu tercatat masing-masing pada nada seruling dan kecapi. Kaucu sudah mengetahui betapa hebat dan pentingnya kitab nada kecapi, dengan sendirinya beliau juga sangat menghargai kitab nada seruling. Sebab itulah, asalkan Kongcu dapat menyalin lagi satu buku nada seruling itu, kutanggung jiwamu pasti takkan diganggu.”

"Darimana pula Kaucu kalian mengetahui betapa hebatnya kitab nada kecapi?" tanya Peng say pula.

"Barang hasil karya Kik-tianglo dari Mo-kau kami masakan Kaucu tidak mengetahui betapa nilainya?" ujar Sip-lik.

"Aku justeru tidak tahu apa maksud tujuan Kik-tianglo kalian menciptakan buku nada kecapi" tanya Peng-say "Baiklah, biar kuceritakan terus terang." tutur Sip-lik Taysu. "Pada jaman kerajaan Goan, Ma-kau kami berkembang dengan jaya. hal ini disebabkan pada waktu itu Ma-kau kami menggunakan panji mengusir musuh negara dan bangkit melawan penjajah (dinasti Goan atau Yuan dalam sejarah kerajaan Tiongkok dianggap sebagai terjajah oleh rakyat Tiongkok, sebab rajanya adalah bangsa Mongol, Khan). Dengan semboyan mempersatukan bangsa untuk melawan penjajah, dengan sendirinya Ma-kau kami banyak mendapat pengikut. Cuma sayang, keadaan jaya itu tidak bertahan lama, kerajaan Goan runtuh, tanah air kembali lagi dikuasai bangsa Han sendiri, maka semboyan kami itu lantas ketinggalan jaman, ditambah keparat Cu Goan-ciang (cakal-bakal dinasti Beng atau Ming), itu ternyata seorang yang khianat dan tak berbudi. Dengan mati-matian Ma-kau kami bantu dia merampas kembali tanah air ini dari Mongol, sesudah dia naik tahta, dia berbalik menuduh Ma-kau kami adalah agama asing dan golongan jahat, ia melakukan penyembelihan besar2an terhadap anggota Ma-kau kami. Kalau ada yang beruntung tidak terbunuh, ber-ramai2 sama terusir keluar Kwan-gwa (diluar tembok besar).

-Selama ratusan tahun ini Ma-kau kami hanya tersebar di daerah Kwan-gwa dan tidak berani melintasi perbatasan (sejak berdirinya tembok besar, pada umumnya bangunan raksasa itu dianggap sebagai perbatasan negeri Tionggoan yang dikuasai bangsa Han dengan suku bangsa lain yang bercokol diluar tembok besar). Baru pada waktu Tonghongkaucu menjabat pimpinan kami, berkat kepintaran beliau yang jarang ada bandingannya, lambat-laun Ma-kau kami bangkit kembali dan secara rahasia berpindah pula ke Kwan-lay (di dalam tembok besar).

-Akan tetapi, dengan kekuatan Ma-kau kami sekarang, hendak melawan kerajaan Beng juga tidak mungkin. Sakit hati terhadap keluarga Cu yang lupa budi dan ingkar janji itu terang sukar terbalas. Jalan lain terpaksa kami tempuh, yaitu menjagoi dunia Kangouw dan menyebar luaskan ajaran agama, menanamkan kepercayaan dikalangan rakyat, itulah tujuan utama kami sekarang. Namun dibawah kekuasaan keluarga Cu yang khianat itu, jelas kami tidak dapat menyebarkan agama kami sesara terang terangan, kami juga tidak mempunyai semboyan lagi yang gemilang seperti dahulu, lalu dengan cara bagaimana kami dapat menarik perhatian umum" Maka terpaksa kami berjalan menyimpang. Dengan perkataan lain, kami menyebarkan ajaran yang mengelabui rakyat. Padahal tindakan ini terpaksa kami lakukan demi mempertahankan hidup berpuluh ribu anggota Ma-kau kami, supaya bisa hidup terpaksa tidak memikirkan cara lagi.

-Padahal kalau kita melihat sejarah, sudah banyak kerajaan berganti kerajaan, dinasti ini mengantikan dinasti itu. Demi untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan rakyat, penguasa baru tidak segan-segan menggunakan segala cara untuk memikat rakyat, juga raja baru sering menggunakan cara-cara yang dianggap oleh raja lama sebagai propaganda untuk mengelabui rakyat" Walaupun begitu, untuk menempuh jalan menyimpang agar dipercaya oleh rakyat juga bukan pekerjaan yang sederhana. Demi menyebar luaskan pengaruh Mo-kau kami, Kaucu harus memeras otak dan berjuang mati-matian, maka timbul suatu pikirannya yang aneh, yaitu hendak memperalat kemahiran memetik kecapi Kik-tianglo itu untuk menarik perhatian umum, maka Kik-tianglo diminta menciptakan satu lagu. -Menurut pendapat Kaucu, setiap manusia membutuhkan hiburan, hiburan itu dapat melalui mata dan telinga, yaitu suara dan kecantikan. Kalau kami menghibur sambil memikat hati umum, bukankah cara ini lebih cepat untuk mengumpulkan pengikut" Dalam hal main kecapi Kik-tianglo memang sangat mahir, hanya dalam beberapa tahun saja sudah tidak sedikit lagu ciptaannva menjadi populer dan disukai, baik para Tongcu dan anggota setia kami hampir semuanya gemar belajar lagu baru Kiktianglo. Malahan waktu menyebarkan ajaran agama kami gunakan pula dengan memetik kecapi sehingga menarik perhatian berjuta pengikut dikalangan rakyat, hal ini pun mendatangkan banyak keuntungan bagi perbekalan dan kebutuhan lain bagi agama kami.

-Meski agama kami sudah semakin maju, namun Kaucu masih belum puas, Kik-tianglo diperintahkan menciptakan lagu baru yang lebih bagus lagi. Tidak lama kemudian Kik-tianglo memberi laporan bahwa ada sebuah lagu baru yang sangat lihay telah dirancangnya. katanya bilamana lagu tersebut dimainkan, jangankan khalayak ramai akan kesima dan termangu-mangu, sekalipun tokoh Bu-lim bila mendengar lagunya itu juga akan terjerumus ke alam khayal dan melupakan segalanya. Kaucu sangat girang, setiap beberapa hari beliau tentu bertanya apakah Kik-tianglo sudah selesai menciptakan lagu tersebut. Dan begitulah beberapa tahun telah berlalu dengan cepat, Kaucu pun tahu lagu baru ciptaan Kik-tianglo itu berjudul "Siau-go-yan-he", cuma sejauh itu Kik-tianglo belum lagi serahkan buku nada lagu ciptaannya itu. Kaucu tahu lagu itu sudah berhasil diciptakan Kik-tianglo dengan baik, cuma entah mengapa belum lagi dilaporkan kepadanya, Kaucu menjadi curiga jangan2 kesetiaan Kik-tianglo terhadap Ma-kau sudah mulai goyah. Akan tetapi selama ini kesetiaan Kik-tianglo cukup diketahui setiap anggota kami. biarpun curiga tanpa bukti yang nyata, betapapun Kaucu tidak berani menegurnya, beliau kuatir kalau-kalau membikin sirik Kik-tianglo dan benar-benar memberontak, kan urusan bisa bertambah runyam. Maka kaucu hanya menyelidiki gerakgerik Kik-tianglo secara diam-diam saja. . . Akhirnya diketahui bahwa Kik-tianglo mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan tokoh Thay-san-pay yang menjadi sekutu Ngo-tay-lian-beng yaitu Wi Kay-hou. Padahal persekutuan Lima besar itu bertujuan memusuhi Ma-kau kami. Kik~tianglo berhubungan dengan musuh, jelas ada tanda-tanda berkhianat. Satu hari, Kaucu menangkap Kiktianglo dan ditanyai mengenai hubungannya dengan Wi Kay-hou. Kik-tianglo memberi penjelasan bahwa persahabatannya dengan Wi Kay-hou itu tidak bertujuan mengkhianati agama, tapi dia dan Wi Kay-hou justeru bersama-sama sedang menggubah lagu Siau-go-yan-he.

-Dengan terus terang dia menyatakan kesetiaannya terhadap agama, karena itu Kaucu menjadi terharu dan beliau sendiri yang membebaskan Kik-tianglo dari ringkusan serta minta maaf padanya. Lalu minta Kiktianglo menyerahkan buku nada Siau-go-yan-he itu. Namun Kik-tianglo bilang lagu itu belum sempurna digarap, untuk menyelesaikannva masih diperlukan sedikit hari lagi. Kaucu percaya sepenuhnya kepada Kik-tianglo dan suruh dia lekas merampungkannya bersama Wi Kay-hou. Diluar dugaan.

beberapa bulan kemudian, pulanglah Kik Fi-yan, yaitu cucu perempuan Kik-tianglo, dan melaporkan bahwa kakeknya telah meninggal dunia, -Kaucu menanyai Fi-yan apa yang telah terjadi, dari cerita Fi-yan baru diketahui bahwa lagu Siau-go-yan-he ciptaan gabungan antara Kik-tianglo dan Wi Kay-hou itu sebenarnya sudah lama jadi tapi pada waktu hendak mengembuskan napas penghabisan, buku nada kecapinya oleh Kik-tianglo telah diserahkan kepada Sau Peng-lam, murid Lam-han yang juga menjadi musuh Ma-kau kami.

Meski tahu sampai matipun Kik-tianglo tiada bermaksud mengkhianat, tapi Kaucu juga tahu persahabatan antara Kik-tianglo dan Wi Kay-hou telah terjalin sedemikian erat dan akrabnya melalui musik mereka, rupanya Kik-tianglo tidak ingin kaucu mendapatkan lagu Siau-go-yan-he itu yang akibatnya akan membikin celaka saudara seperguruan kawan-kawan sahabat karibnya, makanya sejauh itu buku nada Siau-go-yan-he belum lagi diserahkannya kepada Kaucu. -Kaucu menjadi sakit hati karena Kik-tianglo menyerahkan buku nadanya kepada seorang murid Lamhan, dalam gusarnya beliau terus membunuh cucu perempuan Kik-tianglo, lantaran itulah sampai sekarang Kik Koan, yaitu saudara muda Kik Yang masih merasa menyesal terhadap Kaucu.

"Namun dibawah kekuasaan keluarga Cu yang khianat itu, jelas kami tidak dapat menyebarkan agama kami secara terang terangan, kami juga tidak mempunyai semboyan lagi yang gemilang seperti dahulu, lalu dengan cara bagaimana kami dapat menarik perhatian umum" Maka terpaksa kami berjalan menyimpang. Dengan perkataan lain, kami menyebarkan ajaran yang mengelabui rakyat. Padahal tindakan ini terpaksa kami lakukan demi mempertahankan hidup berpuluh ribu anggota Ma-kau kami, supaya bisa hidup terpaksa tidak memikirkan cara lagi.

-Padahal kalau kita melihat sejarah, sudah banyak kerajaan berganti kerajaan, dinasti ini mengantikan dinasti itu. Demi untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan rakyat, penguasa baru tidak segan-segan menggunakan segala cara untuk memikat rakyat, juga raja baru sering menggunakan cara-cara yang dianggap oleh raja lama sebagai propaganda untuk mengelabui rakyat" Walaupun begitu, untuk menempuh jalan menyimpang agar dipercaya oleh rakyat juga bukan pekerjaan yang sederhana. Demi menyebar luaskan pengaruh Mo-kau kami, Kaucu harus memeras otak dan berjuang mati-matian, maka timbul suatu pikirannya yang aneh, yaitu hendak memperalat kemahiran memetik kecapi Kik-tianglo itu untuk menarik perhatian umum, maka Kik-tianglo diminta menciptakan satu lagu. -Menurut pendapat Kaucu, setiap manusia membutuhkan hiburan, hiburan itu dapat melalui mata dan telinga, yaitu suara dan kecantikan. Kalau kami menghibur sambil memikat hati umum, bukankah cara ini lebih cepat untuk mengumpulkan pengikut" Dalam hal main kecapi Kik-tianglo memang sangat mahir, hanya dalam beberapa tahun saja sudah tidak sedikit lagu ciptaannva menjadi populer dan disukai, baik para Tongcu dan anggota setia kami hampir semuanya gemar belajar lagu baru Kiktianglo. Malahan waktu menyebarkan ajaran agama kami gunakan pula dengan memetik kecapi sehingga menarik perhatian berjuta pengikut dikalangan rakyat, hal ini pun mendatangkan banyak keuntungan bagi perbekalan dan kebutuhan lain bagi agama kami.

-Meski agama kami sudah semakin maju, namun Kaucu masih belum puas, Kik-tianglo diperintahkan menciptakan lagu baru yang lebih bagus lagi. Tidak lama kemudian Kik-tianglo memberi laporan bahwa ada sebuah lagu baru yang sangat lihay telah dirancangnya. katanya bilamana lagu tersebut dimainkan, jangankan khalayak ramai akan kesima dan termangu-mangu, sekalipun tokoh Bu-lim bila mendengar lagunya itu juga akan terjerumus ke alam khayal dan melupakan segalanya. Kaucu sangat girang, setiap beberapa hari beliau tentu bertanya apakah Kik-tianglo sudah selesai menciptakan lagu tersebut. Dan begitulah beberapa tahun telah berlalu dengan cepat, Kaucu pun tahu lagu baru ciptaan Kik-tianglo itu berjudul "Siau-go-yan-he", cuma sejauh itu Kik-tianglo belum lagi serahkan buku nada lagu ciptaannya itu. Kaucu tahu lagu itu sudah berhasil diciptakan Kik-tianglo dengan baik, cuma entah mengapa belum lagi dilaporkan kepadanya, Kaucu menjadi curiga jangan2 kesetiaan Kik-tianglo terhadap Ma-kau sudah mulai goyah. Akan tetapi selama ini kesetiaan Kik-tianglo cukup diketahui setiap anggota kami. biarpun curiga tanpa bukti yang nyata, betapapun Kaucu tidak berani menegurnya, beliau kuatir kalau-kalau membikin sirik Kik-tianglo dan benar-benar memberontak, kan urusan bisa bertambah runyam. Maka kaucu hanya menyelidiki gerakgerik Kik-tianglo secara diam-diam saja. . . Akhirnya diketahui bahwa Kik-tianglo mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan tokoh Thay-san-pay yang menjadi sekutu Ngo-tay-lian-beng yaitu Wi Kay-hou. Padahal persekutuan Lima besar itu bertujuan memusuhi Ma-kau kami. Kik~tianglo berhubungan dengan musuh, jelas ada tanda-tanda berkhianat. Satu hari, Kaucu menangkap Kiktianglo dan ditanyai mengenai hubungannya dengan Wi Kay-hou. Kik-tianglo memberi penjelasan bahwa persahabatannya dengan Wi Kay-hou itu tidak bertujuan mengkhianati agama, tapi dia dan Wi Kay-hou justeru bersama-sama sedang menggubah lagu Siau-go-yan-he.

-Dengan terus terang dia menyatakan kesetiaannya terhadap agama, karena itu Kaucu menjadi terharu dan beliau sendiri yang membebaskan Kik-tianglo dari ringkusan serta minta maaf padanya. Lalu minta Kiktianglo menyerahkan buku nada Siau-go-yan-he itu. Namun Kik-tianglo bilang lagu itu belum sempurna digarap, untuk menyelesaikannva masih diperlukan sedikit hari lagi. Kaucu percaya sepenuhnya kepada Kik-tianglo dan suruh dia lekas merampungkannya bersama Wi Kay-hou. Diluar dugaan.

beberapa bulan kemudian, pulanglah Kik Fi-yan, yaitu cucu perempuan Kik-tianglo, dan melaporkan bahwa kakeknya telah meninggal dunia, -Kaucu menanyai Fi-yan apa yang telah terjadi, dari cerita Fi-yan baru diketahui bahwa lagu Siau-go-yan-he ciptaan gabungan antara Kik-tianglo dan Wi Kay-hou itu sebenarnya sudah lama jadi tapi pada waktu hendak mengembuskan napas penghabisan, buku nada kecapinya oleh Kik-tianglo telah diserahkan kepada Sau Peng-lam, murid Lam-han yang juga menjadi musuh Ma-kau kami.

Meski tahu sampai matipun Kik-tianglo tiada bermaksud mengkhianat, tapi Kaucu juga tahu persahabatan antara Kik-tianglo dan Wi Kay-hou telah terjalin sedemikian erat dan akrabnya melalui musik mereka, rupanya Kik-tianglo tidak ingin kaucu mendapatkan lagu Siau-go-yan-he itu yang akibatnya akan membikin celaka saudara seperguruan kawan-kawan sahabat karibnya, makanya sejauh itu buku nada Siau-go-yan-he belum lagi diserahkannya kepada Kaucu. -Kaucu menjadi sakit hati karena Kik-tianglo menyerahkan buku nadanya kepada seorang murid Lamhan, dalam gusarnya beliau terus membunuh cucu perempuan Kik-tianglo, lantaran itulah sampai sekarang Kik Koan, yaitu saudara muda Kik Yang masih merasa menyesal terhadap Kaucu.

-Akan tetapi segala persoalan harus dikembalikan kepada awal mulanya, jika Kik Yang tidak cari penyakit sendiri, buku nadanya itu boleh dibakar saja andaikan tidak suka diberikan kepada Kaucu, kan urusan menjadi beres dan cucu perempuan yang tak berdosa tidak akan ikut menjadi korban" Kaucu tidak lupa kepada buku nada Siau-go-yan-he itu, beliau tidak tinggal diam, berangkatlah beliau ke Huiciu, akhirnya dapatlah ditemukan buku nada itu pada Sau Peng-lam, akan tetapi buku nada seruling tidak dapat ditemukan, meski Kaucu sudah menggeledah setiap pelosok Soh-hok-han tetap tidak menemukan kitab itu.”

"Jika demikian, jadi lebih dari 20 jiwa perguruanku itu adalah korban keganasan gembong iblis Ma-kau kalian"!”

ucap Peng-say dengan mengertak gigi "Segenap anggota Lam-han kalian dibunuh oleh Ting Tiong dan Liok Pek dari Say-koan, siapa didunia ini yang tidak tahu akan peristiwa tersebut?" jawab Sip-lik Taysu.

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar