Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 33

Jilid 33

Memang tidak salah, Sisi yang dimaksudkan ini bukan lain ialah Liu Ji-si, itu perempuan "P" yang cuma menjual seni tanpa menjual tubuh di rumah pelacuran "Kun-hong-ih" di Song-toh dahulu.

Air mata tampak meleleh di pipinya dengan kepala tertunduk, tampaknya tidak kepalang menyesalnya dan malu bertemu dengan Sau Peng-say.

Mendadak bertemu dengan kenalan lama, melengak juga Peng-say sehingga lupa ber-jaga2 terhadap Ho-hoa yang berjengkok di sampingnya. Selagi ia hendak tanya cara bagaimana sampai Liu Ji-si dijadikan selir si bangsat tua Ciamtay Cu-ih. mendadak tangan Ho-hoa meraba sesuatu di bawah kursinya, seketika terdengar bunyi pegas. Tentu saja Peng-say merasakan gelagat jelek, namun sudah terlambat, tahu2 kedua tangan dan kedua kakinya telah terbelenggu oleh alat rahasia yang mendadak jeplak keluar dari kursi.

Sebelumnya Lui Ji-ji tidak tahu apa2, karena takut kepada Ciamtay Cu-ih, meski waktu keluar sudah dilihatnya Peng-say yang berduduk di situ, namun dia tidak berani menyapa. Kini melihat anak muda itu terperangkap, la menjadi kaget dan kuatir, cepat ia berjongkok dan me-raba2 di bawah kursi, maksudnya hendak mencmukan tombol untuk membuka alat rahasianya.

Ciamtay Cu-ih bergelak tertawa, katanya: "Kun sian-ih (kursi pengikat dewa) dari Hong-hoa-wan selain Wancu sendiri tiada orang lain yang mampu membukanya.”

Dia melangkah maju, sekali cengkeram seperti elang mencengkeram anak ayam, Liu Ji-si diangkatnya ke samping kursinya dan dibanting ke lantai sambil membentak: "Layani tuanmu dengan baik2, jangan cari penyakit sendiri!”

Tidak kepalang gusar Peng-say, ia meronta sekuatnya, namun borgol di kaki dan tangannya tidak rusak sedikitpun, sebaliknya kursi besar itu lantas terguling karena rontakannya itu.

"Bangun kau," kata Ciamtay Cu-ih kepada Ho-hoa, "tidak kecil jasamu, ambil gelang kemala itu!”

Ho-hoa menjura dan mengucapkan terima kasih, lalu berbangkit, dengan genit ia melirik Peng-say sekejap, lalu dengan mengegol pinggul ia melangkah ke ruang dalam.

Peng-say mengertak gigi, tak terkatakan gemesnya terhadap perempuan rendah itu.

"Ci-ho, Ci-kang, bangunkan Sau-kongcu!" seru Ciamtay Cu-ih, Dari dalam segera berlari keluar dua orang muridnya, kursi itu cukup besar, ditambah bobot Peng-say, beratnya cukup membuat kedua orang itu menggeh2, dengan susah payah barulah mereka menegakkan kursi bersama Peng-say.

Sesudah kedua muridnya mengundurkan diri. dengan tertawa Ciamtay Cu-ih berkata: "Karena kau tidak sudi makan, maka boleh kau tunggu saja dengan sabar, kalau ingin hidup, segalanya harus turut kepada perintahku.”

Melihat Liu Ji-si berada di bawah ancaman Ciamtay Cuih, tahulah Peng-say maksud tujuan orang. Diam2 iapun sudah siap dengan akalnya untuk menghadapi lawan. Ia lantas duduk tenang dan tidak meronta percuma lagi.

Ciamtay Ca-ih lantas membentak Liu Ji-si yang menggeletak di lantai itu: "Bangun dan tuangkan arak, perempuan hina! Tidak perlu kau pura2 mampus di situ!”

Sekujur badan Liu Ji-si terasa sakit pegal. dengan air mata berlinang ia merangkak bangun.

Kontan Ciamtay Cu-ih menempelengnya sambil membentak: "Tuangkan arak,”

Pipi Liu Ji-si yang halus itu seketika timbul lima jalur merah, darahpun merembes keluar dari ujung mulutnya, dengan menangis ia mangangkat poci arak. Tapi lantaran masih kesakitan oleh bantingan Ciamtay Cu-ih tadi, ia tidak kuat memegangi poci arak, baru saja arak tertuang, segera berceceran di atas meja.

Dengan marah Ciamtay Cu-ih rampas poci itu. kakinya mendepak perut Liu Ji-si dan membuatnya jatuh terguling-.

"Bangun!" bentak Ciamtay Cu-ih sambil menggabrukkan poci arak di atas meja. "Tuang lagi, awas, tercecer setetes saja segera kubikin kau rasakan lagi tubuh digeragoti berlaksa semut.”

Kiranya Liu Ji-si pernah ditutuk bagian Thian-tut-hiat, akibatnya ia merasa didalam tubuh seperti dirayapi berlaksa ekor semut, sungguh lebih menderita daripada disiksa dengan alat macam apapun.

Ciamtay Cu-ih sangat kejam, bisa bicara berani berbuat, Liu Ji-si menjadi takut akan disiksa lagi, maka sekuatnya ia merangkak bangun dan menuang arak pula, sedapatnya ia menuang dengan hati2 dan dapatlah diisi secawan penuh.

Ciamtay Cu-ih mengangkat cawan dan menenggaknya habis, ia menyumpit sayur, sembari makan sambil bicara: "Perempuan hina ini kubeli dengan seribu tahil perak, kukira dia akan meladeni diriku dengan baik, siapa tahu, neneknya, sepanjang hari hanya murung melulu, kerja tidak beres, sialan! Bila teringat kepada seribu tahil perak terbuang percuma, aku menjadi keki. Makanya kuharap saudara Sau maklum.”

"Maklum atau tidak, yang pasti orang sudah kau beli, tentu boleh kau perlakukan sesukamu," jengek Peng-say.

Mendengar ucapan anak muda itu, Liu Ji-si merasa lebih sakit daripada dicambuki, air matanya berderai, ia pikir anak muda itu tidak bersimpatik lagi padaku, jangan2 dia mengira aku ikut bantu si tua bangka ini mencelakai dia.

"Keparat, menangis lagi!" damperat Ciamtay Cu-ih, Sekali raih, ia jambak rambut Liu Ji-si terus disengkelit ke lantai dan berdarahlah kepala Liu Ji-si.

Hampir meledak dada Peng-say menyaksikan kekejaman Ciamtay Cu-ih itu, namun sedapatnya ia bersabar, ia berlagak seperti tidak ambil pusing.

Rupanya Ciamtay Cu-ih tidak percaya anak muda itu berhati baja, segera ia angkat Liu Ji-si. serunya dengan bergelak tertawa: "Lepaskan pakaianmu hingga telanjang, iringi tuanmu minum arak, jika dapat kau bikin gembira hatiku, mungkin akan kuampuni jiwamu!”

Rambut Liu Ji-si yang panjang itu terurai, ditambah lagi mukanya penuh darah, keadaannya jadi mirip setan gentayangan. Keras kepala juga dia, ia tetap berdiri tegak dan tidak mau buka pakaian.

"Eh, apakah kau malu?" teriak Ciamtay Cu-ih.

"Neneknya, pakai berlagak suci segala, memangnya belum pernah kau buka pakaian di depanku, pakai malu apa" Nah kuberi waktu sepuluh kali, bila sepuluh kali kuhitung habis dan kau tetap ttdak buka baju, rasakan nanti!" Lalu ia mulai menghitung: "Satu.....dua......tiga......empat......”

Liu Ji-si tahu bila tidak buka pakaian, tentu tak terhindar dari siksaan kejam lagi, akan tetapi di hadapan Sau Peng-say, betapapun ia tidak mau telanjang sehingga akan dipandang hina oleh anak muda itu.

"Lima......enam.....”

Ciamtay Cu-ih masih terus berhitung, "delapan.....sembilan. . . .”

Sampai disini mendadak ia tidak melanjutkan lagi, tiba2 ia bergelak tertawa: "Haha, hebat, sungguh pemberani! Tapi aku pun tidak menyalahkan kau. Di depan tamu, dengan sendirinya tak dapat dipersamakan bila berada berduaan denganku. Baiklah, tidak jadi telanjang, baik, baik!”

Nadanya se-olah2 dia dapat memaklumi isi hati Liu Ji-si.

Akan tetapi mendadak ia menarik muka pula dan berkata: "Di depan tamuku kau berani membangkang perintahku dan membikin malu padaku, jika tidak kuhajar adat padamu kan dapat ditertawakan Sau-lote. Boleh begini saja, berlututlah kau di depan Sau-lote dan minta maaf kepadanya, Asalkan kau menurut, segera kuampuni kau.”

Selagi Liu Ji-si merasa ragu2, Ciamtay Cu-ih menjadi gusar, se-konyong2 sepasang sumpitnya disambitkan dan tepat mengenai dengkul Liu Ji-si, kontan perempuan itu bertekuk lutut.

Menyusul Ciamtay Cu-ih lantas melompat maju, dijambaknya pula rambut Liu Ji-si terus ditekan ke lantai, teriaknya dengan gusar: "Ayo omong, ayo bicara!”

Tapi aneh, Liu Ji-si justeru tetap tutup mulut tanpa gentar. Diam2 Peng-say menghela napas, pikirnya: "Mungkin dia menyesal karena aku tidak menggubrisnya, maka matipun dia tidak mau bicara. Dia tidak tahu aku sengaja berlagak ketus padanya agar dia tidak diperalat oleh si bangsat tua ini untuk memeras diriku. Padahal kalau aku dapat mengadu jiwa dengan bangsat tua itu, mana mungkin kutinggal diam dan menyaksikan dia tersiksa di depanku?”

Didengarnya Ciamtay Cu-ih lagi membentak "Perempuan hina, satu patah kata saja masa kau tidak mau bicara" Jika tidak kuhajar adat padamu selanjutnya tentu aku akan kau remehkan!" " Habis bicara, segera ia angkat tubuh Liu Ji-si.

Tiba2 Peng-say bersuara: "Kutahu kau pintar menghajar kaum hambamu, kan tidak perlu kau pamerkan padaku"!”

Diam2 Ciamtay Cu-ih merasa senang, ia kira hati Pengsay sudah mulai goyah. Ia berlagak tambah gusar, segera ia tutuk Thian-tut-hiat di tubuh Liu Ji-si, seketika perempuan itu ber-geliat2, waktu Ciamtay Cu-ih membantingnya kelantai segera Liu Ji-si ber-guling2 seperti orang sekarat.

"Kejam amat, bangsat tua!" damperat Peng-say.

Ciamtay Cu-ih pura2 tidak dengar. sama sekali ia tidak pedulikan penderitaan Liu Ji-si itu, ia berteriak: "Ayolah bicara, kalau tidak tahan, lekas bicaralah!”

Liu Ji-si benar2 tidak tahan lagi, ia membuka mulut, tapi yang keluar hanya suara "ah-uh-ah-uh" saja.

Betapapun tersiksanya semula Liu Ji-si tetap tutup mulut rapat2, sekarang ia membuka mulut sehingga dapat dilihat oleh Peng-say, seketika anak muda itu merinding.

"Oya, kulupa bahwa sebenarnya kau memang tidak dapat bicara, ai, pantas!" kata Ciamtay Cu-ih. Lalu ia mendekati nona itu, ia depak Hiat-to yang ditutuknya tadi dan berucap pula: "Kenapa tidak sejak tadi2 kau buka mulut, mestinya kau tidak perlu menderita begini." " Ia bicara se-olah2 ia benar2 lupa pada perbuatannya sendiri.

Dengan gusar Peng-say lantas membentak: "Bangsat tua, ada permusuhan apa antara dia dengan kau" mengapa kau potong lidahnya"!”

Dengan cengar-cengir Ciamtay Cu-ih menjawab: "Agaknya Sau-lote tidak tahu, perempuan hina ini sudah punya seorang kekasih, meski aku telah membelinya dengan seribu tahil perak dari induk-semangnya. tapi matipun dia tidak mau menuruti kehendakku. Katanya dia selama hidup mau menjadi kerbau atau kuda, hendak memukul dan membunuhnya juga dia bersedia, hanya satu saja permintaannya, yaitu mempertahankan kesuciannya.

Neneknya, coba kau pikir, kubeli dia, kalau tidak untuk menemani aku tidur apa gunanya kubeli?”

Setelah berhenti sejenak, lalu ia menyambung pula: "Namun aku pun bukan orang baik, dia tidak menurut, terpaksa kumain paksa. Tapi dia memang bandel dan tetap ingin mempertahankan kesuciannya, ia hendak mengertak lidah sendiri untuk membunuh diri. Untung keburu diketahui dan cepat kututuk Hiat-tonya sehingga dia gagal membunuh diri. Akan tetapi aku menjadi kuatir dia akan mencari mati lagi, bisa2 seribu tahil perak akan terbang tanpa hasil apa2, maka sekalian kupotong saja lidahnya, soal dia akan bunuh diri dengan cara lain tentu masih dapat kuawasi lebih ketat.”

Tidak kepalang rasa murka Peng-say, tapi dengan hambar ia lantas berkata: "Aku menjadi kasihan padanya, begini saja, kubayar kau seribu tahil perak dan berikan kebebasan padanya, bagaimana?”

"Wah, tampaknya tuan muda dari Soh-hok-han mendadak menaruh belas kasihan kepada perempuan ini.”

seru Ciamjay Cu-ih dengan tertawa. "Baiklah, kuterima, rasanya aku pun sudah bosan, kalau setiap hari harus menyaksikan wajahnya yang masam melulu mungkin dadaku bisa meledak. Kalau dapat kuterima kembali harga pokok sudah lumayanlah.”

"Padaku ada Ginbio (surat uang, seperti cek jaman sekarang) bernilai seribu tahil lebih, boleh kau ambil saja,”

kata Peng-say. "Nanti dulu, tidak perlu buru2," ujar Ciamtay Cu-ih.

"Kau sudah kutawan, masa kukuatir kau akan lari" Apa yang kukatakan tentu kulaksanakan, akan kulepaskan dia dihadapanmu agar kelak kau tidak menuduh aku menyembunyikan dia lagi setelah menerima pembayaran darimu." Lalu ia berpaling kepada Liu Ji-si dan berkata: "Nah, selanjutnya dapatlah kau lakukan segala apa yang menjadi cita2mu, lekaslah kau mengaturkan terima kasih kepada Sau-kongcu!”

Liu Ji-si mengira Cirmtay Cu-ih benar2 akan memberi kebebasan padanya, biarpun sekarang badannya tidak bersih lagi, tapi bisa terlepas dari cengkeraman iblis, jelas semua ini adalah pertolongan Sau Peng-say, segera ia berlutut dan hendak menyembah.

"Sudahlah, pergi sajalah kau, tidak perlu banyak adat,”

kata Peng-say cepat.

Liu Ji-si berbangkit, dipandangnya anak muda itu sekejap dengan mengembeng air mata, lalu putar tubuh hendak melangkah pergi.

"Nanti dulu," kata Ciamtay Cu-ih tiba2, "dahulu kau selalu minta agar aku mengampuni kau agar kau dapat menjadi Nikoh, meski sekarang Sau-kongcu sudah menebus tubuhmu, kau pun tetap menjadi Nikoh. Kau tahu, perempuan yang sudah pernah kupakai, selama aku masih hidup, selama itu pula dia tidak boleh disentuh lelaki kedua.

"Sekarang atas permintaan Sau-kongcu kuterima seribu tahil perak dan kubebaskan kau, tapi hanya ada satu jalan bagimu, yaitu kau harus menjadi Nikoh. Kalau tidak. lebih baik seribu tahil perak ini kukembalikan kepada Sau-kongcu. Nah, bagaimana, mau menjadi Nikoh atau tidak?”

Liu Ji-si pikir selama hidupnya jelas tidak mungkin menikah lagi, kalau diharuskan menjadi Nikoh kan kebetulan malah" karena itulah ia lantas mengangguk tanda mau.

"Bagus," kata Ciamtay Cu-ih dengan tertawa. "Nah, kesini, akan kucukur rambutmu agar ku-tahu pasti kau telah menjadi Nikoh.”

Tanpa menghiraukan kehendak Liu Ji-si lagi, segera ia menariknya ke sampingnya sambil berseru: "Ci-ho, ambil pisau cukur!”

Ber-gegas2 Ci-ho berlari masuk dan menjawab: "Suhu, disini tidak ada tukang cukur, darimana ada pisau cukur?”

"Tidak ada kan bisa beli. ayolah lekas pergi!" teriak Ciamtay Cu-ih.

Ci-ho merasa serba susah, katanya; "Tengah malam buta, toko sudah tutup pintu semua......”

Seketika Ciamtay Cu-ih mendelik, "Goblok, tak berguna, lekas enyah!”

Dengan takut Ci-ho lantas mengundurkan diri.

Ciamtay Cu-ih mendengus: "Hm, tanpa pisau cukur juga dapat kucukur rambutmu"!”

Mendadak ia melolos golok sabitnya, "sret", secomot rambut Lin Ji-si yang panjang segera ditabasnya putus.

Liu Ji-si berduduk dilantai dengan gemetar.

"Jangan bergerak, beberapa kali tabas saja tentu kepalamu akan kelimis!" bentak lagi Ciamtay Cu-ih sambil mengerjakan goloknya.

Sinar golok terus berkelebat di atas kepala Liu Ji-si, keruan nona itu ketakutan, Peng-say juga kebat-kebit, kuatir kalau2 golok Ciamtay Cu-ih itu kurang hati2 dan buah kepala Liu Ji-si bisa terbelah.

Hanya beberapa kali tabas, rambut Liu Ji-si sudah tinggal satu-dua senti saja panjangnya, tiba2 Ciamtay Cu-ih tidak menabas lagi, ia menggeleng dan bergumam sendiri: "Wah, tidak, tidak boleh jadi. Kalau cuma dicukur saja tentu akan tumbuh lagi. Bila kembali seperti biasa, perempuan ini tentu akan mencari kekasihnya yang lama dan aku pun tak dapat berbuat apa2. Jalan paling baik adalah cabut saja sampai akar2nya, dengan demikian tentu tidak dapat tumbuh lagi dan perempuan hina ini-pun pasti akan menjadi Nikoh untuk selamanya.”

Baru habis ucapannya, dengan lengan kiri ia memiting Liu Ji-si, dengan dua jari tangan kanan ia terus menarik beratus utas rambut yang sudah pendek itu, sekali betot, kontan rambut berikut kulit kepala lantas terkelupas.

Keruan tidak kepalang sakit Liu Ji-si, ia merintih tertahan. Ber-ulang2 Ciamtay Cu-ih mencabut lagi dengan cara yang sama sehingga kulit kepala Liu Ji-si terkelupas disana sini. Meski sekuatnya ia bertahan, tidak urung ia merintih juga dan badan menggelepar.

Dengan kejam Ciamtay Cu-ih masih terus mencabuti rambut Liu Ji-si. Padahal rambut tidak terhitung banyaknya, dicabuti cara begitu, setengah jam juga belum rampung. Dan bila habis dicabut rambutnya, andaikan Liu Ji-si tidak mati kesakitan tentu juga akan mati kehabisan darah.

Tidak kepalang murka Peng-say, ia mengerahkan segenap tenaga dengan maksud menghancurkan kursi itu, akan tetapi kursi itu ternyata dibuat dari kerangka besi, kaki kursi sampai ambles ke dalam ubin, namun kursinya tidak rusak sedikitpun Ciamtay Cu-ih tidak memandang Peng-say, ia berkata sambil terbahak: "Kun-sian-ih ini adalah pusaka Hong-hoa-wan kami, entah betapa banyak jago dan tokoh yang telah menjadi korban kursi ajaib ini. Ingin kau rusak" Huh, hanya sedikit Lwekangmu saja masa mampu?”

Mendadak Peng-say menghela napas panjang, katanya: "Bangsat tua, sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?”

"Siang liu-kiam-boh!" jawab Ciamtay Cu-ih.

"Sediakan kertas dan pencil!" kata Peng-say.

Baru saja dia bersuara, segera Ci-ho mengiakan didalam, hanya sekejap saja ia sudah berlari keluar dengan membawa alat2 tulis yang diperlukan dan ditaruh di atas meja, lalu ia mengundurkan diri lagi Mendadak Ciamtay Cu-ih mengentakkan Liu Ji-si hingga jatuh terjungkal, katanya dengan tertawa: "Jika sejak tadi kau mau begini kan gendakmu tidak perlu menderita?”

"Gendak apa katamu" Hendaklah mulutmu di-sikat bersih, bangsat tua!"! damperat Peng-say dengan gusar.

Ciamtay Cu-ih cengar-cengir, katanya: "Waktu kubeli perempuan ini, dia masih barang orisinil. Ya, memang akulah yang salah omong, cuma meski kalian tidak ada hubungan cinta, sedikitnya ada hubungan persahabatan, tentunya tak dapat kau-saksikan dia mati begitu saja.

Memang sudah kuperhitungkan selama perempuan ini berada padaku, pada suatu hari tenlu kau akan menyerah padaku. Benar juga, haha, sikapmu tadi yang ketus itu hampir saja membuatku putus asa.”

"Jadi dari nona Liu kau tahu kubelajar Siang-liu-kiam dengan Soat Koh?" tanya Peng-say.

"Memang betul." jawab Ciamtay Cu-ih. "Kutahu kau dan Soat Koh sama2 menguasai setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat, dengan sendirinya tidak kudiamkan. Sayangnya dunia sangat luas, Soat Koh sukar kutemukan, terpaksa padamu kucurahkan harapanku untuk mendapatkan Kiamboh itu. "Waktu kau pergi bersama Sau Ceng-hong, kujeri padanya, dengan sendirinya tak dapat kurintangi kau, terpaksa hanya mengirim orang mengawasi kau. kusangka sedikitnya akan beberapa tahun kau tinggal di Soh-hok-han, siapa duga cuma sebulan saja kau lantas meninggalkan sana. Waktu itu mestinya dapat kutangkap kau, tapi lantas kupikir tiada gunanya melulu menawan kau saja, memancing ikan besar harus mengulur tali pancing yang panjang, asalkan kukuntit kau, akhirnya pasti juga akan kutemukan Soat Koh. Benar juga, sampai di Liong-bun-tin, demi melihat Sau Peng-lam dibawa pergi oleh Thio Yan-coan, kau lantas bertekad akan mempelajari Siang-liu-kiam dengan lengkap agar dapat kau tolong Sau Peng-lam dari tangan Thio Yan-coan. Kau pakai semboyan menjual seni mencari isteri, kau jelajahi berbagai propinsi, tentu saja kami ikut capai mengintil kau kemana pun kau pergi.

Syukurlah jerih-payahmu tidak sia2, akhirnya dapat kau temukan Soat Koh. Tapi lantaran muridku Ong Ci-kang yang kutugaskan mengawasi kau ikut berpengaruh oleh suara serulingmu sehingga lupa daratan, kemana perginya dirimu ternyata tidak diketahuinya. Salahmu sendiri, kau pamer kepandaianmu lagi di Kun-hong-ih, dari tamu yang habis main di rumah pelacuran itu kudengar hal itu. Segera kami menyusul ke Kun-hong-ih, tapi, keparat, terlambat selangkah, kau dan Soat Koh sudah pergi. Cepat kusuruh orang menyusul kalian, aku sendiri tinggal di Kun-hong-ih, kupanggil perempuan hina ini untuk melayani diriku, kutanyai dia apa yang terjadi selama kau berada di Kunhong-ih, maksudku ingin tahu kemana kalian pergi. Tak tersangka, dasar perempuan hina, dia justeru membela kau, mati pun dia tidak mau memberi keterangan.”

Peng-say memandang Liu Ji-si sekejap, katanya kemudian: "Kemana Soat Koh hendak membawaku pergi, aku sendiri pun tidak tahu, apalagi dia?”

"Kalau dia tidak tahu kemana kalian pergi tidaklah menjadi soal, tapi apa maksud kedatanganmu di Kun-hongih masakah iapun tidak tahu" Jelas dia sengaja hendak melindungi kau," kata Ciamtay Cu-ih dengan gemas.

"Sudah tentu waktu itu aku tidak tahu untuk apa kau datang ke Kun-hong-ih, kutanyai dia apakah disitu kau menemui seorang perempuan bernama Soat Koh, tapi perempuan hina ini matipun tidak mau buka mulut.

terpaksa kukerjai dia.”

Peng-say menghela napas, katanya terhadap Liu Ji-si; "Nona Liu, akulah yang bikin susah padamu, hendaklah maafkan sikapku yang dingin tadi.”

Muka Liu-Ji-si penuh keringat dan air mata, sama sekali tidak diusapnya, ia hanya menggeleng saja. Ia ingin meminta maaf pula, sebab akhirnya toh ia menceritakan apa yang ditanya bangsat tua itu, akibatnya sekarang anak muda itu tertawan. Mestinya ia ingin mencegah Peng-say menuliskan Siang-liu-kiam-boh, cuma sayang, ia tidak dapat bicara lagi.

Ciamtay Cu-ih berkata pula: "Kupikir perempuan hina ini tentu masih merahasiakan sesuatu, maka kucoba geledah kamarnya. Haha, banyak juga tabungannya, kutemukan sebuah peti uang di bawah tempat tidurnya.

Dengan uang itulah kugunakan seribu tahil perak untuk menebus perempuan hina ini dari induk-semangnya dan kujadikan selir.”

"Hm, tadinya kukira dengan uangmu sendiri kau beli nona Liu, tak tahunya kau telah menjadi perampok, dengan uang tabungan nona Liu sendiri kau gunakan untuk menebus dia, sungguh kejam kau.”

"Kalau perampok benar, untuk apa kubeli dia dengan seribu tahil perak kepada induk semangnya" Aku memang bukan orang bajik. terserah penilaianmu atas diriku, demi menemukan dirimu, apa salahnya kugunakan segala akal.

Keparat, larimu ternyata sangat cepat, anak muridku yang ku-kirim menyusul kau kehilangan jejakmu.”

Peng-say tidak menggubrisnya, ia tahu sebabnya orang tidak dapat menemukan jejaknya adalah karena dia terluka dalam sehabis meniup lagu Siau-go-yan-he dan mondok di tengah jalan, dengan sendirinya murid Ciamtay Cu-ih tak dapat menemukannya.

"Karena tak dapat menemukan kau, rasa gusarku kulampiaskan atas diri perempuan hina ini. kupaksa dia mengaku apa tujuanmu pergi bersama Soat Koh, kiranya maksudmu ingin belajar Siang liu-kiam secara lengkap. Aku menjadi ngeri membayangkan hanya dalam lima jurus saja aku telah dikalahkan Leng-hiang-caycu, aku menjadi kuatir bilamana kelak kau berhasil menguasai ilmu pedangnya yang sakti itu, pasti aku bukan tandinganmu. Terpaksa kusuruh ambil kursi ajaib ini dari laut timur sana dan kuatur segala sesuatu untuk menanti kemunculanmu," Bicara sampai di sini Ciamtay Cu-ih ter-bahak2 gembira, lalu menyambung: "Dan akhirnya terkabul juga cita2ku. Nah, tulislah sekarang!”

Peng-say tidak bersuara melainkan memandang tangannya yang masih terbelenggu.

Ciamtay Cu-ih tahu maksudnya, katanya: "Jangan kuatir, sudah tentu akan kulepaskan dulu," ia pandang Liu Ji-si dan membentak: "Kemari kau!”

Cepat Peng-say berseru: "Boleh kau tutuk Hiat-to penting tubuhku agar aku tidak dapat berkutik, untuk apa kau gunakan dia untuk mengancam diriku" Dia harus kau bebaskan seperti janjimu tadi, habis itu barulah akan kutuliskan Kiam-boh untukmu.”

"Bila tulisanmu benar, tentu akan kubebaskan dia," kata Ciamtay Cu-ih.

"Lepaskan dia lebih dulu, kalau tidak, mati pun aku tidak mau menulis," jawab Peng-say ketus.

Setelah berpikit sejenak, kemudian Ciamtay Cu-ih berkata sambil menyeringai: "Boleh juga! Nah, perempuan hina, bolehlah kau pergi sendiri.”

"Tapi jangan kau pakai tipu muslihat, bangsat tua!" kata Peng-say pula.

"Apalagi maksudmu?" tanya Ciamtay Cu-ih.

"Tidak seberapa jauh dia pergi, bukan mustahil muridmu akan membekuknya kembali, dan darimana kutahu?”

"Sebagai seorang pemimpin besar suatu perguruan ternama, masa sedikit kepercayaan saja tidak ada padaku?”

"Betapapun aku tetap sangsi,"jawab Peng-say.

"Habis apa kehendakmu?" tanya Ciamtay Cu-ih dengan mendongkol.

"Setelah kutuliskan Kiam-boh yang kau minta, lalu aku bakal mati atau tetap hidup?" tanya Peng-say.

"Bila kuperiksa tulisanmu memang benar, segera kulepaskan kau. Kelak kalau Siang-liu-kiam sudah berhasil kukuasai sepenuhnja, masa kutakut kau akan menuntut balas padaku?”

"Jika demikian, biarkan nona itu ikut bersamaku nanti,”

kata Peng-say. Ciamtay Cu-ih tertawa, katanya: "Hah, tampaknya kau merasa berat ditinggal pergi lebih dulu. Boleh juga, asalkan kau suka, aku pun takkan memaksa dia menjadi "Nikoh", boleh dia ikut bersamamu. Selain cantik, soal tehnik tempat tidur budak ini pun tergolong kelas tinggi. Bersama dia, Sau-lote setiap malam pasti dapat naik surga.”

Diam2 Peng-say memaki kekotoran pikiran bangsat tua itu. Tapi iapun tidak berbantah dengan dia dan biarkan dia mengoceh sesukanya.

Karena sekarang Ciamtay Cu-ih mengharapkan rekaman Kiam-boh dari Peng-say, sedapatnya ia mengambil hati anak muda itu, kembali ia berkata kepada Liu Ji-si: "Nah, lekas gosokkan bak (tinta) bagi Sau-kongcu dan menuangkan arak, ladeni yang baik, Kedua ribu tahil perak tabunganmu itu bilamana kau akan pergi tentu akan kukembalikan. Yang penting, jangan sampai Sau-kongcu salah tulis, kalau tidak, hehe. . . .”

Sembari bicara, mendadak ia tutuk tujuh Hiat-to penting Sau Peng-say, lalu mengeluarkan kunci, diputarnya lubang kunci rahasia dibawah kursi, "krek", seketika keempat borgol terbuka seluruhnya Peng-say berdiri dengan lemas, karena sedikit menggunakan tenaga, segera kepala terasa pusing dan mata ber-kunang2, lekas2 ia berduduk kembali.

"Lewat 12 jam segalanya akan pulih kembali seperti biasa," kata Ciamtay Cu-ih dengan tertawa. "Kupercaya dalam waktu 12 jam tentu kau dapat menyelesaikan tulisanmu.”

"Tidak tentu," ujar Peng-say.

"Sebaiknya dalam waktu 12 jam harus kau selesaikan, kalau tidak, terpaksa harus kututuk lagi Hiat-to penting tadi dan hal ini tentu tidak baik bagi kesehatanmu.”

"Syukur dapat kuselesaikan dalam batas waktu. kalau tidak, boleh saja kau tutuk lagi diriku, tidak perlu kau pura2 baik hati memikirkan kepentinganku," jengek Peng-say.

Ciamtay Cu-ih menyengir untuk melepaskan diri dari kekikukan, lalu ia pindahkan kursinya kesamping, ia duduk berbaring disitu sambil memejamkan mata untuk istirahat.

Tampaknya dia tidak menguatirkan Peng-say, padahal diam2 ia mengawasi dengan ketat, asalkan anak muda itu memperlihatkan sesuatu gerak-gerik mencurigakan, segera ia akan turun tangan untuk menangkapnya, Tapi iapun yakin betapapun lihay Lwekang anak muda itu di dalam waktu 12 jam pasti tidak mampu melepaskan diri dari ilmu Tiam-hiatnya yang khas, untuk menangkapnya tentu saja seperti menangkap anak kecil yang tak dapat memberi perlawanan.

Liu Ji-si lantas menyingkirkan mangkuk piring kesisi meja sana, ia lantas menggosokkan tinta, tiba2 ia ambil pit (pensil bulu) yang dipegang Peng-say.

Selagi anak muda itu heran apa yang akan dilakukan si nona, dilihatnya Liu Ji-si telah menulis di atas kertas: "Kutahu setelah menulis, tentu si bangsat tua takkan pegang janji untuk melepaskan kau.”

Peng-say mengangguk sebagai tanda sudah tahu.

Lalu Liu Ji-si menulis pula: "Jika demikian. akhirnya toh tetap mati, untuk apa mesti memenuhi kehendak si bangsat tua?”

Peng-say angkat bahu sebagai tanda apa boleh buat, terpaksa menulis.

Akhirnya Liu Ji-si hanya menulis empat huruf saja: "Biarlah kupergi lehih dulu!”

"Jangan!" seru Peng-say.

Mendengar suara itu, Ciamtay Cu-ih lantas membuka mata dan berpaling, dilihatnya Liu Ji-si sedang membenturkan kepalanya kepada sandaran kursi Sau Pengsay. Untuk bergerak saja sulit, dengan sendirinya Peng-say tidak mampu mencegah tindakan nekat Liu Ji-si itu.

Sedangkan Ciamtay Cu-ih memang cukup cepat reaksinya.

tapi juga tetap terlambat selangkah, waktu ia menarik Liu Ji-si, dilihatnya batok kepalanya sudah pecah, otak berceceran keluar.

Seperti diketahui, kursi yang diduduk Peng-say itu terbuat dari baja. Rupanya Liu Ji-si sudah bertekad akan bunuh diri agar Peng-say tidak dipaksa berbuat sesuka hati Ciamtay Cu-ih. Maka sekuatnya ia membenturkan kepalanya kepada kerangka kursi baja itu, dengan sendirinya batok kepalanya lantas pecah.

Sedetik sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan, Liu Ji-si masih sempat memandang Peng-say sekejap sambil menggeleng.

Ciamtay Cu-ih sempat merampas kertas yang dibuat menulis tadi, setelah dibaca sekadarnya, ia lantas memaki: "Perempuan hina, memangnya aku Ciamtay Cu-ih kau anggap manusia yang tidak dapat pegang janji"!”

Saking gemasnya jenazah Liu Ji-si yang dipegangnya itu akan dibanting kedinding. Tapi segera teringat olehnya bahwa dalam keadaan demikian tidak boleh lagi membangkitkan rasa gusar Peng-say, bisa jadi segala urusan akan runyam.

Maka pelahan ia lepaskan jenazah Liu Ji si itu, lalu beseru: "Ci-ho!”

Segera Ih Ci-ho berlari masuk. Ciamtay Cu-ih lantas memberi pesan: "Angkat keluar mayat perempuan hina itu, besok belikan sebuah peti mati yang paling bagus dan tanam dia agar tidak sampai di makan anjing hutan!”

Ci-ho mengiakan dan membawa pergi mayat Liu Ji-si.

"Nah, Sau Peng-say," kata Ciamtay Cu-ih kemudian, "sekarang kau mau menulis atau tidak?”

Peng-say lagi berduka, seketika ia tidak dapat menjawab.

"Tulislah!" kata Ciarmay Cu-ih pula. "Mayat nona Liu itu tidak sampai dimakan anjing hutan. apalagi aku bersumpah, nanti sehabis kau menulis, bila kucelakai nyawamu dan tidak melepaskan kau, biarlah aku Ciamtay Cu-ih terkutuk dan mati tak terkubur.”

Meski di mulut ia bersumpah, tapi di dalam hati ia membatin; "Asalkan kupunahkan Kungfumu tak perlu kubunuh kau kan berarti tidak melanggar sumpah!”

Sejenak kemudian ia berkata pula: "Kalau kau tidak menulis, akan kugunakan cara keji, betapa pun kerasnya tulangmu pasti juga tak tahan. Nah, bagaimana, menulis atau tidak?”

Dengan air mata berlinang Peng-say menjawab pelahan; "Akan kutulis. . . .”

Ciamtay Cu-ih tertawa puas, katanya: "Orang yang bisa melihat gelagat adalah seorang yang pintar. Nah, bolehlah kau menulis, janganlah kau berduka lagi perempuan hina itu. Dunia ini masih luas, di-mana2 terdapat perempuan cantik. Hanya seorang perempuan yang sudah tidak suci lagi, sudah mati biarkanlah, kenapa mesti dipikirkan”

Ayolah lekas menulis, biarkan kugosokkan tinta bagimu.”

"Hm, tidak perlu kau ikut repot, duduk saja di samping sana," jengek Peng-say.

"Masa tidak mau kugosokkan tinta bagimu?". kata Ciamtay Cu-ih dengan cengar-cengir.

"Melihat tampangmu saja aku lantas muak." kata Peng-say. "Jika kau berdiri disini, satu huruf saja tidak dapat kutulis. Lebih baik kau menyingkir sejauhnya,”

Diam2 Ciamtay Cu-ih sangat gusar, napsu bunuhnya timbul pada air mukanya, tapi segera ia bersabar sedapatnya, katanya dengan tertawa: "Baik-baik, aku akan menyingkir se-jauh2nya.”

Ia lantas berduduk kembali di kursinya, memejamkan mata dan mengumpulkan semangat.

Peng-say berduduk tegak di kursinya, lalu ia benar2 menulis satu huruf demi satu huruf dengan tekun.

Semula Ciamtay Cu-ih kuatir anak muda itu tidak mau menulis, tapi setelah diketahui Peng-say benar2 mencurahkan pikirannya buat menulis, ia merasa senang.

Tidak lama kemudian, ia merasa mengantuk dan akhirnya dia tertidur, bahkan mendengkur.

Apakah orang benar2 mengorok atau cuma pura2 tidur, betapapun Peng-say tidak berani berbuat sesuatu atau melarikan diri, ia tahu disekitar rumah itu dijaga ketat oleh anak murid Ciamtay Cu-ih, sebelum tenaga sendiri pulih jelas tidak mungkin dapat melarikan diri.

Dia menulis dengan sangat lambat, seperti bekicot merayap. Bukannya sengaja, tapi karena sebagian besar perhatiannya digunakan untuk mengerahkan tenaga dalam untuk membuka Hiat-to yang tertutuk. Syukur usahanya membawa hasil, kira2 setengah jam kemudian ada satu tempat Hiat- to itu telah dipunahkannya.

Menurut perhitungan, untuk membuka tujuh tempat Hiat-to yang tertutuk itu diperlukan tiga empat jam. Tatkala mana pagi sudah tiba, tentu Ciamtay Cu-ih juga akan mendusin. Sebab itulah dia tidak dapat mencurahkan seluruh pikirannya untuk membuka Hiat-to, sedikit2 dia juga harus menulis agar tidak menimbulkan curiga Ciamtay Cu-ih.

Rupanva dia salah hitung, baru empat Hiat-to berhasil dilancarkan, tahu2 hari sudah terang tanah. Keruan ia menjadi gelisah, Bila sebentar lagi Ciamtay Cu-ih bangun tidur dan melihat kelambatan menulisnya, tentu dia tidak dapat mengelabui bangsat tua yang licin dan cerdik itu. Jika orang mengetahui sebagian Hiat-to sudah lancar, maka kesempatan kedua tentu sukar diperoleh lagi. Karena itulah ia ambil keputusan bila Ciamtay Cu-ih mendusin, segera pula ia akan menghentikan usahanya membuka Hiat-to yang lain. Selagi berpikir, benarlah Ciamtay Cu-ih telah mendusin, cepat ia berhenti mengerahkan tenaga dan berlagak lagi menulis, tapi tulisnya tetap tidak cepat, masih menuruti kecepatan semula.

"Selamat pagi!" sapa Ciamtay Cu-ih begitu bangun tidur.

"Apakah kau perlu tidur sebentar baru nanti menulis lagi?”

"Ya, kukira perlu tidur dulu agar tidak salah menulis,”

jawab Peng-say.

"Sudah berapa banyak yang kau tulis?" tanya Ciamtay Cu-ih.

"Sedapatnya kutulis se-baik2nya, dengan sendirinya agak lambat.”

Ciamtay Cu-ih mendekatinya dan melihat hasil tulisannya itu, ia berkerut kening dan berkata: "Kenapa baru sekian" Terlalu lambat!”

"Lebih cepat juga bisa, cuma tulisannya tentu kurang rajin, jangan2 tak dapat kau baca?" kata Peng-say.

"Eh, kenapa tiba2 kau memikirkan kepentinganku?”

tanya Ciamtay Cu-ih dengan sangsi.

"Kalau mau menulis tentunya perlu ditulis se-baik2nya, tidak boleh kutulis secara coret-coret sehingga tak dapat kau baca.”

"Ehm, bagus, bagus, kau serius, aku pun serius, sekarang juga kupesan kepada Ci-ho agar mengubur nona Liu dengan baik," kata Ciamtay Cu-ih dengan tertawa.

Segera dia keluar, sejenak kemudian dia masuk lagi, tanyanya dengan tertawa: "Apa jadi tidur dulu?”

Tidur, tentu saja sangat penting bagi Peng-say Sebab dengan berlagak tidur. diam2 ia dapat mengerahkan tenaga untuk melancarkan sisa Hiat-to lain yang belum tembus, untuk itu mungkin tidak sampai satu jam sudah dapat diselesaikannya, Karena itulah ia berlagak acuh-tak-acuh dan berkata: "Boleh juga kutidur sebentar.”

Tapi mendadak Ciamtay Cu-ih menjengek: "Hm, beberapa huruf terakhir ini barulah benar2 rajin.”

Hati Peng-say terkesiap, rupanya barusan dia memang menulis dengan lebih rajin sehingga berbeda jauh dengan tulisan permulaan.

Cepat ia menjawab: "Semalam terasa sangat mengantuk, sesudah pagi baru tambah semangat, dengan sendirinya goresan pensilku berbeda.”

"Jika begitu, bolehlah kau tidur dulu," kata Ciamtay Cu-ih.

"Tidur dimana?" tanya Peng-say.

"Duduk saja disitu kau sama saja!" ujar Ciamtay Cu-ih.

"Aku tidak biasa tidur dengan berduduk. Hanya buang2 waktu percuma saja jika tidak dapat pulas.”

"Jika begitu, mudah saja, kututuk Hiat-to tidurmu dan tentu kau dapat pulas dimana pun juga.”

Peng-say berdehem, jawabnya kemudian: "Kalau. ..kalau begitu, sudahlah, biar kuteruskan menulis.”

"Hm, jika tidak jadi tidur, ayolah lekas menulis," jengek Ciamtay Cu-ih. "Aku tidak percaya kau benar2 ingin tidur.

Padahal setelah bangun tidur lalu kututuk lagi ketujuh Hiat-to semula, kan merugikan kesehatanmu sendiri?”

"Ya, betul juga," kata Peng-say.

Tiba2 Ciamtay Cu-ih mendengus: "Hm, jiwamu sekarang tergenggam di tanganku, jangan kau bertingkah.

Memangnya kau kira aku tidak tahu, kau ingin main gila dengan pura2 tidur, betul tidak?”

Peng-say menjawab dengan kurang senang: "Tidak boleh tidur ya sudahlah, apa yang perlu kau rewelkan?”

"Rewel" Hm, tanpa alasan kau minta tidur, teatu ada muslihat dibalik permintaanmu ini," jengek Ciamtay Cu-ih.

Mendadak ia meraba "Yang-kau-hiat", "Co-pin-hiat dan Ki-bun-hiat", ketiga Hit-to ini belum sempat dipunahkan oleh Peng-say, sebab itulah Ciamtay Cu-ih tidak merasakan sesuatu kelainan pada Hiat-to itu.

Apabila dia meraba Hiat-to lain lagi, maka celakalah Peng-say. Dalam gugupnya tiba2 timbul akalnya, mendadak ia menyebut: "Saluran tenang menembus Samkoan. . . .”

Ciamtay Cu-ih melengak demi mendengar ucapan itu, dia berhenti meraba lebih jauh dan bertanya: "Apa itu yang kau sebut?”

"Itulah rumus Lwekang pada jurus kelima Siang-liukiam." jawab Peng-say.

"Rumus Lwekang jurus kelima" Apakah setiap jurusnya terdapat rumus Lwekang tersendiri?" tanya Ciamtay Cu-ih dengan sangsi.

"Ya, disinilah terletak kelihayan Siang-liu kiam-hoat,”

tutur Peng-say. "Satu jurus serangan membawa dua arus tenaga kanan dan kiri, seluruhnya meliputi 98 serangan dan terdiri dari 49 rumus Lwekang.”

"Apa gunanya rumus Lwekang segala?" kata Ciamtay Cu-ih.

"Sudah tentu besar gunanya," kata Peng-say. "Tenaga setiap jurusnya berbeda, menghadapi keadaan demikian, betapapun luas pengetahuan musuh juga sukar meraba kemana perubahan serangan Siang-liu-kiam.”

Ciamtay Cu-ih termenung sejenak, katanya kemudian: "Pantas setelah jurus pertama, jurus kedua lantas banyak berubah dan rada membingungkan, malah jurus ketiga semakin sukar diraba. Kiranya Siang-liu-kiam-hoat menempuh cara yang tidak pernah digunakan orang lain, sampai2 cara mengerahkan tenaga juga berbeda setiap jurusnya.”

Sejenak kemudian, tiba2 ia berkata pula: "Hm. dahulu waktu Leng-hiang-caycu hadir dalam pertemuan di Ki-lian-san, waktu bicara tentang Siang-liu-kiam-hoat, yang ditonjolkan hanya mengenai keunggulan ilmu pedangnya, jika dia berani membuka rahasia ilmu pedangnya ini, masa aku sampai dikalahkan hanya dalam lima jurus saja"!”

Peng-say tidak sudi berbantah dengan dia, cepat ia menulis istilah2 yang disebutnya tadi dengan berbagai perubahannya. Caranya menguraikan satu jurus itu memerlukan satu halaman penuh. Sementara itu Peng-say sudah selesai menulis keterangan empat jurus, tapi semuanya belum sempat dibaca oleh Ciamtay Cu-ih.

Sekarang yang dilihat Ciamtay Cu-ih justeru jurus kelima yang disebut tadi, dilihatnya uraian Peng-say itu makin lama makin bagus, jurus inilah yang pernah mengalahkannya di Ki-lian-san dahulu. Ia jadi tertarik dan terus membacanya dengan penuh perhatian, sebab itulah tangannya yang meraba tubuh Peng-say itu masih tetap terletak di atas Ci-ju-hiat.

"Ci-ju-hiat" ini adalah salah satu Hiat-to yang telah dibuka oleh Peng-say tadi, kalau rabaan Ciamtay Cu-ih itu diteruskan, tentu akan ketahuan ada kelainan. Karena itulah ia berusaha memancing membelokkan perhatian orang, maka begitu jurus kelima selesai ditulisnya, tanpa berhenti ia membalik halaman kertas lain dan mulai menulis lagi jurus keenam.

Melihat Ciamtay Cu-ih asyik mengikuti tulisannya dan lupa pada tangannya yang masih meraba di atas Ci-ju-hiat, Peng-say tidak berani berhenti, ia menulis terus jurus ketujuh dan jurus kedelapan.

Sampai disini dahi Peng-say mulai berkeringat. Soalnya, setelah jurus ini ditulis, ia sendiri tidak dapat menulis sambungannya lagi. Sebab jurus kesembilan hakikatnya memang belum pernah dipelajarinya secara lengkap, cara bagaimana ia dapat menguraikannya.

Diam2 ia berdoa semoga sebelum selesai ia menulis jurus kedelapan itu tangan Ciamtay Cu-ih sudah meninggalkan Ci-ju-hiatnya. Akan tetapi Ciamtay Cu-ih seperti lupa daratan membaca tulisan Peng-say itu sehingga sama sekali tidak bergerak. Beberapa kali Ci-ho bertanya apakah sang guru tidak sarapan pagi dulu juga tidak digubrisnya.

Agar lebih menarik perhatian orang, Peng-say agak tidak berani menulis lambat, akhirnya jurus kedelapan juga ditulisnya, kini dia harus menulis jurus kesembilan dan disinilah dia mengalami kesulitan, sebab pada hakikatnya ia sendiri belum paham jurus kesembilan itu secara lengkap.

Diam2 ia membatin: "Orang ini adalah seorang gurubesar ilmu silat, jika aku sembarangan menulis dan mengarang tentu akan diketahuinya. Tulisan empat jurus bagian depan tadi belum sempat dibacanya, andaikan jurus kesembilan ini kuulangi tulisan jurus pertama mungkin takkan diketahuinya untuk sementara waktu. Bisa jadi selagi kutulis ulang empat jurus pertama dan tangannya.

akan ditarik kembali sehingga lupa memeriksa Ci-juhiatku." Karena pikiran itu, segera ia bekerja, pada halaman berikutnya ia terus menulis lagi jurus pertama.

Baru habis jurus pertama ini ditulisnya, mendadak Ciamtay Cu-ih bersuara heran, kontan ia ambil halaman kertas itu dan bertanya: "Kenapa jurus kesembilan ini tidak bersambung dengan jurus kedelapan?”

"Siapa bilang?" jawab Peng-say. "Kau sendiri belum paham benar, hanya membacanya sepintas lalu tentu rasanya tidak sambung"menyambung. Bilamana sudah kutulis seluruhnya dan kau baca lagi satu kali tentu akan menjadi jelas bagimu.”

"Jika begitu lekas kau tulis lagi menurut kecepatan ini, tidak perlu terlalu rajin, hanya buang2 waktu belaka, kukira tulisanmu cukup jelas untuk dibaca biarpun tulis cepat,”

kata Ciamtay Cu-ih.

Diam2 Peng-say menghela napas lega, sebab pada waktu merampas halaman kesembilan tadi sekaligus Ciamtay Cuih telah menarik tangannya dari Ci-ju-hiat yang sedang dirabanya itu. Maka ia tidak ayal lagi, menyusul ia menulis ulang jurus kedua pada halaman kesepuluh. Hanya kecepatannya agak berkurang, sebab dia harus membagi perhatiannya untuk melancarkan sisa Hiat-to yang belum terbuka tadi.

Ciamtay Cu-ih berdiri di belakangnya dan asyik rmembaca dan mempelajari halaman kesembilan itu.

Sebagai seorang ahli ilmu silat, dengan sendirinya ia merasakan kejanggalannya, makin dibaca makin merasakan tidak cocok, tiba2 ia ambil pula halaman kedelapan dan disesuaikan. Melihat orang tetap sangsi, Peng-say menyadari lama2 tentu urusan bisa runyam, diam2 ia sangat gelisah.

Mendadak ia berhenti menulis sekalian dan mengerahkan sepenuh perhatian untuk membuka Ki-bun-hiat, salah satu Hiat-to yang belum lancar.

Karena sedang menekuni kelanjutan antara jurus kedelapan dan jurus kesembilan, Ciamtay Cu-ih jadi tidak mengetahui kalau anak muda itu telah berhenti menulis, Setelah merasa sambungan antara jurus kedelapan ke jurus kesembilan tidak cocok, ia coba menyesuaikan pula antara jurus ketujuh dan jurus kedelapan.

Pada jurus ketujuh dan kedelapan ini ia merasa ada kaitannya, tapi mengapa antara jurus kedelapan dan kesembilan se-akan2 terputus, se-olah2 tangan disambung pada kaki, jelas tidak cocok. Waktu ia periksa antara jurus keenam dan ketujuh, satu dan lain juga berkaitan dengan baik. Diam2 ia berpikir: "Jika kedelapan lainnya ber-turut2 dapat sambung menyambung dengan baik, hanya jurus kesembilan ini saja tidak dapat berkaitan dengan jurus kedelapan, jelas bocah she Sau ini sengaja hendak menipu aku.”

Segera ia mencocokkan lebih teliti pada jurus2 pemulaan. Ketika mem-balik2 sampai pada halaman kedua, Pengsay merasa Ki-bun-hiat yang ingin cepat2 dilancarkan itu belum berhasil dengan baik. ia menjadi kecewa dan juga takut. Setelah membalik halaman pertama, baru membaca beberapa baris saja, mendadak Ciamtay Cu-ih berteriak: "Kurang ajar! Kiranya demikianlah halnya.”

Usahanya jelas gagal total, Peng-say menghela napas panjang, ia hanya memejamkan mata dan menunggu ajal belaka. Merasa dirinya ditipu seperti anak kecil umur tiga, Ciamtay Cu-ih sangat murka, mendadak ia menghantam sehingga Peng-say mencelat dari ujung meja sini ke ujung sana.

Selangkah demi selangkah Ciamtay Cu-ih mendekatinya, bentaknya: "Apa maksud tujuanmu dengan menulis ulang begini?”

Se-konyong2 Peng-say merasakan tubuh bagian atasnya penuh tenaga. Rupanya ketujuh Hiat-to yang ditutuk Ciamtay Cu-ih itu sebagian besar terletak di tubuh bagian atas.

Tadi Ciamtay Cu-ih meraba dan memeriksa Hiat-to yang ditutuknya itu, sudah tiga Hiat-to yang diperiksanya kembali, yaitu Hiat-to yang terletak di bagian tujuh bagian bawah, antara pinggang dan paha, ia berhenti ketika meraba Ci-ju-hiat di bagian pinggang.

Semalam Peng-say telah berhasil melancarkan Hiat-to bagian atas, tinggal Ki-bun-hiat saja yang belum tembus, bilamana Hiat-to ini pun lancar, maka tubuh bagian atas akan penuh tenaga murni lagi.

Perawakan Ciamtay Cu-ih itu pendek, waktu dia menghantam tadi, kebetulan yang kena dihantam adalah Ki-bun-hiat di bagian dada Peng-say. Padahal waktu itu Peng-say sedang mengerahkan tenaga untuk melancarkan Hiat-to yang macet itu, Hiat-to itu seperti ditumbuk hingga terbuka, tenaga lantas lancar dan dapat bekerja penuh.

Lantaran tenaga sudah dapat dilancarkan di seluruh tubuh bagian atas, kedua tangan Sau Peng-say lantas penuh tenaga pula. Hanya saja Hiat-to bagian bawah belum terbuka, maka dia belum sanggup berdiri, terpaksa ia duduk bersila disitu.

Melihat gerak-gerik anak muda itu seperti sudah dapat melancarkan Hiat-to sendiri yang tertutuk tadi, Ciamtay Cu-ih terkejut. Tanpa ayal lagi ia memburu maju, kedua tangannya menghantam, ia bermaksud melukai Peng-say dahulu, habis itu baru menutuk lagi Hiat-to seperti tadi.

Akan tetapi sekarang Peng-say tidak mau pasrah nasib dan menanti ajal lagi, cepat tangan kirinya juga menghantam untuk menahan kedua tangan lawan, sedangkan tangan kanan terus meraba kebelakang, untung kedua pedangnya masih tersandang di punggung dan belum dilucuti oleh Ciamtay Cu-ih.

Ketika ketiga tangan beradu, "blang", kontan Ciamtay Cu-ih tergetar mundur beberapa tindak, ia berteriak kaget: "He, kau . . . kau ...,.”

Sungguh ia tidak menyangka Peng-say memiliki tenaga dalam sehebat itu.

Serentak Peng-say melolos kedua pedangnya sambil membentak: "Bangsat tua, sambutlah kedelapan jurusku!”

"Delapan jurus?" Ciamtay Cu-ih menegas dengan sangsi.

"Jangan2 hanya delapan jurus saja yang dapat kau pelajari dengan lengkap?”

"Betul," jawab Peng-say, "melulu delapan jurus saja sudah cukup untuk memenggal kepala anjingmu sambil berduduk!”

"Hahahaha!" Ciamtay Cu-ih mendongak dan ter-bahak2.

"Hanya delapan jurus saja yang kau kuasai, apa yang mesti kutakuti?”

Sementara itu Ci-ho dan anak murid Tang-wan lainnya sama berlari masuk kesitu demi mendengar suara ribut2.

Tapi Ciamtay Cu-ih lantas memberi tanda dan berseru; "Kalian keluar semua! Ingin kulihat cara bagaimana dia memenggal kepalaku sambil berduduk?”

Habis berkata, segera ia mengitari Peng-say. secepat kilat golok sabitnya telah menyabat sembilan kali.

Akan tetapi Peng-say telah mengerahkan tenaga dalam kedua pedangnya, ia pasang tabir pedang sedemikian rapatnya sehingga sukar ditembus serangan Ciamtay Cu-ih itu, sejurus demi sejurus ia lantas melancarkan Siang-liu-kiam-hoat.

Ciamtay Cu-ih telah menyerang berpuluh kali, tapi tetap sukar mendekati anak muda itu, tentu saja ia sangat gusar.

Ketika melihat Peng-say melancarkan jurus kelima yang disebut "Tam-jian-tit-ci" atau menghadapinya dengan tak acuh, ia menjadi nekat, tanpa pikir terus menerjang kedalam tabir sinar pedang, sekuatnya ia berniat mematahkan jurus yang pernah mengalahkan dia di Ki-liansan dahulu. Sudah hampir tiga puluh tahun dia merenungkan jurus kelima yang lihay ini, ia telah menemukan satu jurus aneh untuk mematahkan jurus ini. Ia yakin, sekalipun Sau Ceng-in sendiri masih hidup juga dia sanggup membobol jurus serangannya yang kelima ini dengan jurus aneh penemuannya ini.

Maklumlah, karena dia pernah dikalahkan pada jurus kelima Siang-liu-kiam-hoat ini, dengan sendirinya kesan Ciamtay Cu-ih pada jurus ini sangat mendalam.

Bagi orang yang belajar ilmu silat, lebih2 tokoh atau ahli silat kelas tinggi, hampir boleh dikatakan selama hidupnya selalu mencurahkan segenap pikirannya untuk menciptakan jurus serangan yang aneh, terutama untuk mematahkan setiap jurus serangan musuh yang lihay. Dan bilamana pada saat berhasil, maka sama halnya seorang menjadi kaya mendadak, girangnya tak terhingga.

Secara ilmu jiwa, orang kaya mendadak tentu ingin pamer untuk memperlihatkan kekayaannya. Kalau tidak demikian, mau diapakan kekayaan yang datang mendadak itu" Dan seperti inilah jalan pikiran Ciamtay Cu-ih sekarang.

Bagi Peng-say, dalam keadaan kaki belum cukup kuat untuk berdiri, ia hanya ingin bertahan saja sehingga Hiat-to lancar seluruhnya, habis itu barulah dia akan menandingi Ciamtay Cu-ih secara resmi.

Tapi sekarang secara nekat Ciamtay Cu-ih telah menerjang masuk ke dalam tabir pertahanannya, terpaksa ia mengerahkan tenaga sepenuhnya, ia putar pedangnya sedemikian kuat sehingga menimbulkan suara gemercit, sekujur badannya se-akan2 lapisi oleh dinding yang tak berwujud, Terjangan Ciamtay Cu-ih itu hanya sampai setengah jalan dan segera terbendung olah lapisan dinding tak berwujud itu, jadi sia2 saja jurus aneh yang sudah disiapkan itu, kalau tak dapat menembus tabir pertahanan lawan, apa yang dapat dilakukannya”

Melihat gelagat tidak menguntungkan, seketika runtuhlah semangat Ciamtay Cu-ih, segera ia bermaksud melompat mundur untuk menyelamatkan jiwa, akan tetapi angin pedang Peng-say yang dahsyat itu se-olah2 menimbulkan daya tarik sehingga ketika ia hendak melompat mundur, gerak-geriknya menjadi agak lamban.

Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Sau Peng-say, jurus keenam Siang-liu-kiam segera bekerja, "cret", kaki kiri Ciamtay Cu-ih tertabas putus oleh pedang Kiri.

Namun Ciamtay Cu-ih juga tidak tinggai diam2, dalam keadaan terapung di udara, meski kaki sudah buntung, sekuatnya goloknya membacok, sebisanya ia melawan mati2an. "Lihat pedang!" teriak Peng-say.

Tentu saja Ciamtay Cu-ih kelabakan, sebisanya ia menangkis, akan tetapi tenaganya sudah jauh berkurang, mana dia sanggup menahan serangan pedang Kanan, "cret", kembali lengan kanan yang memegang golok itupun tertabas buntung sebatas siku. Sampai disini ia tidak bisa nekat lagi, ia menjerit dan roboh terbanting.

Dahulu setelah dia dikalahkan jurus kelima Siang-liukiam-hoat, ia merasa kekalahan itu sebagai penghinaan selama hidup, tak terduga sekarang kembali ia dikalahkan oleh jurus keenam Siang-liu- kiam yang dimainkan oleh anak murid Sau Ceng-in. bahkan jauh lebih mengenaskan kekalahannya. Setelah menabas buntung sebuah kaki dan sebuah tangan musuh. betapapun Sau Peng-say belum puas sebelum membunuh Ciamtay Cu-ih untuk membalaskan sakit hati Cin Yak-leng dan Liu Ji-si. Menyusul pedangnya menyabat pula, sekarang kepala Ciamtay Cu-ih yang diincar, Untung bagi Ciamtay Cu-ih, pada detik paling gawat itu sesosok bayangan kelabu melayang tiba, jari telenjuk lantas menjentik. "Cring", pedang Peng-say tahu2 terselentik patah, Berbareng itu si bayangan kelabu terus berjongkok untuk mengangkat tubuh Ciamtay Cu-ih.

"Lepaskan!" bentak Peng-say, pedang lain terus menusuk.

Tapi kembali bayangan kelabu itu menyelentik dengan jarinya sambil memutar tubuh. tahu2 pedang Sau Peng-say terselentik patah pula.

Selentikan kedua ini dapat dilihat Peng-say dengan jelas, berbareng itu ia pun dapat melihat potongan tubuh si bayangan kelabu, dengan terkejut dan heran ia bertanya: "He, kau. . . .kau anak murid Ci-tiok-to di Tang-hay?”

Tapi si baju kelabu tidak menghiraukan tegurannya itu, ia bawa tubuh Ciamtay Cu-ih terus melayang keluar.

"Berhenti! Lepaskan!" bentak Peng-say pula.

Segera ia bermaksud berdiri untuk mengejar tapi apa daya, maksud ada tenaga kurang, terpaksa dia berduduk kembali. "Nikoh bangsat," dia mencari-maki, "berani kau bawa lari bangsat tua itu, pada suatu hari tentu akan kupotong jarimu itu!”

Walaupun begitu dia memaki, tapi didalam hati ia membatin: "Apakah aku mampu?"“

Jelas selentikan tadi adalah ilmu sakti "It-sian-ci atau Jari sakti" yang termashur di dunia persilatan dan diketahui sebagai ilmu sakti andalan Keng-goat Sinni, seorang Nikoh tua yang maha sakti yang bermukim di Ci-tiok-to atau pulau bambu ungu sebuah pulau yang jauh terletak di lautan timur. "It-ci-sian," pelahan Peng-say menyebut nama itu sambil menggeleng, ia menyadari betapa pun tidak mampu menandingi ilmu sakti itu.

Ia berduduk tenang hingga lama, akhirnya dapatlah dia melancarkan Hiat-to lain dan berdiri ia pikir tadi kalau tidak berkat "Ci-he-kang" dari mendiang ayahnya itu, tidak mungkin dia mampu membuka sendiri ketujuh Hiat-to yang ditutuk Ciamtay Cu-ih itu.

Memang, kalau bukan Ci-he-kang yang merupakan rajanya Lwekang, di dunia ini memang tiada seorang pun yang mampu membuka Hiat-to yang ditutuk Ciamtay Cuih. Dia menjemput kembali kedua pedangnya yang patah, teringatlah dia kepada Nikoh tadi, sungguh ia tidak paham dari manakah orang dan sekarang sudah jelas Nikoh itu bukan orang kiriman Sam-lo yang ditugaskan untuk melindunginya, Ia menjadi sangsi, pikirnya: "Jangan2 selentikan tadi bukan It-ci-sian melainkan Pek-niau-tiau-long (beratus burung menyembah burung Hong) dari Mo-kau?”

Bahwa tadi dia mengira ilmu si Nikoh adalah It-ci-sian, soalnya gaya serangan Nikoh itu mirip sama Kik Fi-yan menyelentik pulungan kertas yang disambitkan Ciamtay Cu-ih kepadanya di ruang pendopo kediaman Wi Kay-hou dahulu, Saat itu Kik Fi-yan mengaku ilmu jarinya adalah It-ci-sian dan tidak diragukan orang.

Padahal sebenarnya Kik Fi-yan adalah anggota Ma-kau, jelas ilmu jarinya itu adalah "Pek-niau-tiau-hong" dari Mo-kau yang terkenal dan bukan It-ci-sian. Cuma di antara kedua ilmu sakti itu pasti sangat mirip.

Akan tetapi waktu itu agar tidak menimbulkan kemurkaan orang banyak, maka Kik Fi-yan telah sengaja mengaku ilmu jarinya adalah It-ci-sian, hal itupun dipercayai semua orang. Jika tidak ada kemiripan di antara It-ci-san dan Pek-niau-tiau-hong, mana para tokoh terkemuka yang hadir di tempat Wi Kay-hou itu dapat dikelabui”

Jadi seharusnya sekarang Peng-say memperkirakan ilmu jari Nikoh tadi adalah Pek-niau-tiau-hong, akan tetapi setelah dipikir, orang adalah Nikoh, dengan sendirinya ada kemungkinan anak murid Keng-goat Sin-ni, si Nikoh sakti di lautan timur itu.

Berdasarkan ini pula sama sekali dia tidak berpikir bahwa Nikoh tadi ada sangkut-pautnya dengan Mo-kau, langsung dia anggap ilmu jari orang adalah ilmu sakti dari Ci-tiok-to.

Tapi sekarang, setelah direnungkan lagi lebih teliti, kembali ia menyangsikan ilmu jari si Nikoh tadi adalah Pek-niau-tiau-hong.

Namun ia pun belum berani memastikannya, sebab kalau betul ilmu jari itu Pek-niau-tiau-hong dari Ma-kau, mengapa Nikoh itu tidak menyergapnya, sebaliknya ada tanda2 hendak membantunya”

Begitulah ia menjadi serba salah memikirkan asal-usul Nikoh itu. hanya satu hal sudah pasti, yaitu Nikoh pasti bukan orang kiriman Sam-lo, sebab sudah jelas Kungfu si Nikoh tidak di bawah Sam-lo mana mungkin dapat diperintah oleh Sam-lo, Ia coba melangkah keluar, dilihatnya di luar sana menggeletak anak murid Ciamtay Cu-ih, rupanya mereka telah tertutuk Hiat-to tidurnya, pantas tiada seorang pun yang masuk lagi kesana untuk membantu gurunya.

Diam2 Peng-say bersyukur dirinya terlepas dari malapetaka, Bayangkan saja betapa bahayanya, andaikan anak murid Ciamtay Cu-ih itu tidak tertutuk Hiat-to yang membuat mereka tak bisa berkutik, lalu salah seorang di antaranya menyalakan api sehingga perkampungan itu terbakar. Dalam keadaan tak bisa berjalan, bukankah Pengsay akan mati terbakar hidup2”

Karena itulah, tindakan si Nikoh tadi sama seperti telah menyelamatkan lagi Sau Peng-say. anak muda ini jadi menyesal telah memakinya sebagai Nikoh bangsat.

Tapi apapun juga dia tetap tidak paham sebab apa orang menolongnya. Waktu ia periksa lagi ruangan depan, benar juga, peti mati memang sudah dibelikan oleh Ci-ho, Sendirian Peng-say mengubur Liu Ji-si, ia pun tidak membikin susah Ci-ho dan begundalnya, dibiarkan Hiat-to mereka terbuka dengan sendirinya. Ia berdiri mengheningkan cipta hingga lama di depan kuburan Liu Jisi, habis itu barulah dia melangkah pergi, melanjutkan perjalanan ke Si-an.

OoOd wOoO Si-an adalah sebuah kota besar di propinsi Siamsay, di barat-laut Tiongkok. Sebuah kota yang paling lama dijadikan ibu kota dari berbagai dinasti kerajaan di Tiongkok, di antaranya dinasti Ciu selama 342 tahun, Han selama 215 tahun, Tang 290 tahun, boleh dikatakan memakan waktu hampir seribu tahun selama sejarah kerajaan di Tiongkok.

Kota yang berbentuk lonjong ini cukup ramai dengan jalan raya dan istana yang megah, Banyak pula terdapat tempat2 bersejarah dan tempat tamasya yang terkenal.

Diantara tempat2 terkenal itu terdapat "Gan-tah" atau Pagoda Belibis.

"Pagoda Belibis" ini ada dua, dibedakan dengan besar dan kecil, semuanya terletak di kota selatan. Pagoda Belibis besar berada di lingkungan biara Cu-in-si, konon di pagoda inilah Hian-cong, paderi yang juga terkenal dengan Sam-cong, pernah berdiam menyalin kitab pelajaran Buddha yang dibawanya pulang dari negeri Hindu.

Sedangkan Pagoda Belibis kecil terletak di biara Pianhok-si. Pagoda di dalam agama Buddha dikenal sebagai Budur atau candi. Gan-tah kecil di Pian-hok-si ini tingkat lima belas, tingginya lebih 300 kaki, dibangun pada jaman kerajaan Keng-hong dinasti Tang.

Konon pada jaman kaisar Kah-ceng, dinasti, Beng jadilah gempa bumi, Pagoda Belibis kecil ini telah rusak menjadi dua, tapi tahun berikutnya terjadi lagi gempa bumi dan pagoda itu pun rapat menjadi satu lagi. Dan begitu seterusnya bila terjadi gempa bumi, pagoda itu selalu retak dan rapat kembali. Hal ini benar2 sesuatu keajaiban alam.

Pada Gan-tah kecil itu terdapat pula sebuah genta raksasa yang terkenal dan dipandang sebagai delapan keajaiban di Tiongkok.

Konon genta raksasa itu ditemukan di tepi sungai ketika seorang perempuan dusun lagi mencuci pakaian di tepi sungai, waktu baju yang dicucinya itu dibanting pada sepotong batu cadas yang menonjol di tepi sungai, tiba2 menimbulkan suara gemerantang nyaring dan berkumandang jauh.

Orang yang berlalu lalang di situ merasakan keanehan tersebut, ketika diperiksa dan digali, diketahui batu cadas besar itu ternyata sebuah genta saksasa.

Genta itu lantas dipindahkan ke puncak Pagoda Belibis kecil dan menjadi tempat tamasya yang terkenal di seluruh negeri.

"0O0d w0O0”

Di kota Si-an terdapat sebuah Ban-seng-piau-kiok, sebuah perusahaan ekspedisi yang terkenal, merupakan satu2nya Piaukiok yang ada di Si-an.

Sebab apakah di kota Si-an yang besar ini hanya terdapat sebuah Piaukiok saja”

Sudah tentu ada alasannya. Sebab selain Piau?kiok ini, siapa pun tidak berani membuka Piaukiok di daerah kekuasaan Ma-kau ini. Dan cukong dibelakang layar Banseng-piau-kiok ini dengan sendirinya ada hubungan erat dengan Ma-kau, makanya dapat berdiri dan berusaha dengan aman dan makmur.

Pemimpin umum Ban-seng-piaukiok itu bernama Tan Tiang-hoat. Pagi hari ini, baru saja Ban-seng-piau-kiok membuka pintu, petugasnya yang bernama Ci Ji itu seketika kaget dan pucat, ia ber-lari2 ke ruangan belakang sambil berteriak2; "Wah, celaka! Celaka.”

"Ada apa, Ci Ji?" tanya Tang Tiang-hoat, itu Cong-piauthau atau pemimpin umum Ban-seng-piau-kiok yang baru bangun tidur.

Sampai lama Ci Ji tidak sanggup bersuara, akhirnya ia menjawab dengan menggeleng sambil menuding keluar: "Ada gen. . .genta. . . .”

"Genta apa?" tanya pula Tang Tiang-hoat. Ada kejadian apa, tuturkanlah dengan pelahan, jangan gugup!”

Ci Ji berganti napas dulu, akan tetapi belum juga dia dapat melapor dengan jelas, ucapnya dengan rasa takut: "Genta. . .genta raksasa di Gan-tah itu telah.... telah berpindah kedepan pintu perusahaan kita!”

Tanpa bertanya lagi Tan Tiang-hoat terus berlari ke depan. Genta raksasa itu tingginya kira2 sama dengan tinggi dua orang, besarnya tidak cukup untuk dipeluk dua orang.

Sekarang genta itu bertengger di depan pintu Ban-seng-piaukiok dengan tegaknya. sungguh mengejutkan dan membingungkan. Air muka Tan Tiang-hoat berubah kelam, ia berdiri termangu2 didepan pintu. Pikirnya: "Gan-tah kecil sedikitnya lima li jauhnya dari sini, untuk bisa sampai disini diperlukan berlari. Tapi untuk mengangkat benda berbobot ribuan kati ini saja sudah sulit, apalagi harus menurunkannya dari pagoda yang tingginya lebih 300 kaki, lalu semalam suntuk berlari kesini dengan mengangkat genta ini, jelas maha sulit, kecuali orang yang mempunyai tenaga dalam yang sukar ada tandingannya, kalau tidak jangan harap akan mampu melakukannya.”

Hampir setiap penduduk kota Si-an kenal genta raksasa ini, kalau diangkut disiang hari pasti akan membikin gempar seluruh penduduk kota. Jadi jelas orang melakukannya diwaktu malam sehingga belum sampai dilihat orang.

Untung hari masih sangat pagi, jalan raya belum ada orang berlalu-lalang. Apabila kejadian ini sampai diketahui orang dan tersiar, maka papan merek Ban-seng-piau-kiok pasti akan runtuh.

Diam2 Tan Tiang-hoat juga berpikir: "Tenaga dalam orang yang membawa genta ini jelas sangat mengejutkan, pasti bukan sembarangan tokoh persilatan. Mungkin sasarannya bukan diriku orang she Tan ini, bisa jadi ada sangkut-pautnya dengan Mo-kau, rasanya perlu cepat2 kulaporkan.”

Tan Tiang-hoat memang berpengalaman dan cekatan, menghadapi urusan apa pun tidak menjadi gugup, setelah dipikir dan direnungkan lagi, segera tahu apa yang harus diperbuatnya, Padahal ilmunya tidaklah tinggi justeru lantaran kecekatan bekerja dan pintar berpikir inilah, maka dia diserahi tugas memimpin Ban-seng-piau-kiok oleh Ma-kau.

Dalam pada itu Ci Ji sudah memberitahukan yang terjadi itu kepada seluruh anggota Piau-kiok sehingga berbondong2 mereka sama keluar. yang belum bangun, begitu mendengar geger2 tanpa berbaju mereka terus memburu keluar. Melihat orang banyak itu, Tan Tiang-hoat berkerut kening, katanya. "Kejadian ini tidak boleh tersiar, lekas kalian pergi mengambil sebuah layar kerundungi saja genta ini, biarkan kupergi kepada pimpinan Ma-kau.”

Setiba di Congtong atau markas pusat, segera ia beritahukan peristiwa ini kepada Hiangcu (pemimpin seksi) yang dinas piket.

Hiangcu yang berpiket itu pun hampir tidak percaya apa yang terjadi itu, lekas2 ia melaporkan hal itu kepada salah seorang Tianglo (tertua) Ma-kau, yaitu Go Hui.

Setelah mendapat laporan lebih jelas dari Tan Tianghoat, Go Hui ternyata sependapat dengan Tan Tiang-hoat, yaitu orang yang sengaja pamer kekuatan dengan memindahkan genta raksasa dari Gan-tah kecil kedepan pintu Ban-seng-piau-kiok itu, tujuannya bukan terhadap Ban-seng-piau-kiok.

Yang menjadi persoalan adalah kebetulan yang Kaucu lagi pergi jauh dan belum pulang. Maka Go Hui lantas memutuskan akan pergi sendiri ke Ben-seng-piau-kiok, ia menduga orang yang bersangkutan itu hari ini pasti akan mencari perkara ke Piau-kiok.

Di antara ketiga Tiangio Ma-kau sekarang, ilmu silat Go Hui terhitung yang paling tinggi. Jika Tianglo ini mau pergi kesana, tentu saja Tan Tiang-hoat tidak perlu kuatir apa2 lagi. Diluar dugaan, meski Go Hui sudah menunggu hingga senja tiba, tetap tidak nampak munculnya si penyatron.

"Go-tianglo, kata Tan Tiang-hoat kemudian, kukira genta ini tidak boleh tertinggal di sini.?”

Sehari penuh sudah banyak kedatangan orang yang ingin tahu barang apakah yang dikerudungi layar besar itu, malahan ada yang bermaksud mengintip.

Untung penjagaan orang2 Piau-kiok cukup ketat apalagi orang luar juga tahu Ban-seng-piau-kiok adalah usaha Makau, maka tidak ada yang berani bertanya lebih lanjut.

Akan tetapi bila keadaan demikian terus berlarut. kertas tentu tak dapat membungkus api, akhirnya kejadian itu tentu juga akan bocor. Apalagi pintu gerbang Ban-sengpiau-kiok tertutup oleh layar, lalu mau usaha apa" Sedikit hari lagi jika hal itu tersiar tentu juga akan memalukan nama perusahaan.

Rusaknya nama baik Ban-seng-piau-kiok tidak jadi soal, tapi setiap orang tahu Cukong Ban-seng-piau-kiok yang sebenarnya adalah Ma-kau, apakah hal itu tidak berarti Ma-kau ikut kehilangan muka”

Maka setelah berpikir, kemudian Go Hui berkata: "Maksud tujuan orang itu memindahkan genta ini ke sini, jelas dia sengaja hendak membikin malu Mo-kau kita. Hm, dia menyangka Mo-kau kita tiada seorang pun yang sanggup memindahkan kembali genta ini ke tempat asalnya?" "Bagaimana kalau malam nanti kusuruh sepuluh orang kuat memindahkan kembali genta ini ke Gan-tah kecil?”

tanya Tan Tiang-hoat Go Hui menggeleng, katanya: "Meski sepuluh orang kuat mampu menggotong genta ini, tapi mereka tak dapat berlari, dalam waktu semalam tetap tidak dapat mencapai tempat tujuan. Kita tidak perlu tahu berapa orang pihak lawan membawa genta ini kesini, yang jelas Ma-kau kita pasti akan ada orang kuat yang sanggup mengangkat sendirian genta ini ke tempat asalnya.”

Tan Tiang-hoat mengiakan. ia tidak berani bertanya siapakah orang kuat yang dimaksudkan.

Tapi pagi2 esoknya, baru saja remang fajar akan menyingsing, tertampaklah di bawah Gan-tah kecil itu datang seorang Hwesio berjubah kelabu dengan tangan mengangkat genta raksasa itu.

Seperti sudah diceritakan, pagoda atau candi bertingkat lima belas, tinggi setiap tingkatnya dua tombak (empat meteran). Hwesio jubah kelabu itu menarik napas panjang lalu meloncat ke atas, tanpa bersuara dapat ia mencapai tingkat kedua. Begitulah ber-turut2 ia meloncat ke atas hingga tingkat kesembilan, sampai disini, waktu hinggap di lantai sudah menimbulkan suara pelahan. Waktu dia naik lagi lebih keatas, ketika hinggap di lantai, suara yang ditimbulkan juga tambah keras. Sampai tingkatan terakhir, yaitu tingkat ke-15, suara yang ditimbulkan sudah mirip tubuh orang terbanting, berbunyi "blang" dengan keras.

Air Muka Hwesio jubah kelabu itu pun ber-ubah2 dari merah berubah menjadi pucat, dari pucat kembali merah.

Dia harus mengerahkan tenaga dan air muka berubah tiga kali barulah cukup kuat mencapai tingkat tertinggi itu, lalu pelahan dia menurunkan genta raksasa yang dibawanya.

Pada saat itulah tiba2 seorang berkata di belakangnya: "Anda ini tentunya Ma-kau-tianglo Sip-lik Taysu adanya!”

Hwesio jubah kelabu itu memang betul Sip-lik Taysu.

salah seorang Tianglo yang terkenal bertenaga raksasa di dalam Ma-kau.

Pelahan Sip-lik Taysu membalik tubuh, lalu bertanya: "Darimana anda kenal akan diriku?”

"Kalau bukan Sip-lik Taysu, siapakah di dunia ini yang mampu mengangkat genta besar ini sambil ber-lari2 sejauh lima li lalu meloncat keatas candi setinggi lima belas tingkat ini tanpa lelah?" demikiah jawab orang itu.

"Siapakah nama anda yang terhormat?" tanya Sip-lik Taysu dengan tersenyum.

"Cayhe Sau Peng-say," kata orang itu.

Orang ini memang benar Peng-say adanya. Melihat Siplik Taysu menyambut pujiannya dengan tersenyum, tahulah dia orang bukan seorang paderi yang memandang kosong segalanya sesuai ajaran agama Buddha. Maka diam2 ia sudah mempunyai akal.

Maklumlah, sudah jelas dia kelihatan sangat lelah, hal ini terbukti dari suara yang diterbitkannya ketika hinggap ditingkatan teratas tadi, mana dia dapat menerima pujian Peng-say sebagai tidak letih.

Karena itulah Sip-lik Taysu lantas berkata: "Sau Peng-say, apakah kau yang memindahkan genta besar ini ke depan pintu Ban-seng-piau-kiok sana?”

Ia lihat Peng-say masih muda belia, namanya tidak terkenal, betapa pun ia tidak percaya hal itu dapat dilakukan olehnya.

Maka Peng-say lantas menjawab: "Jadi Taysu tidak percaya" Padahal Cayhe cukup yakin akan diriku sendiri pasti sanggup melaksanakannya tanpa letih sedikitpun.”

Dengan ucapan "pasti sanggup" itu dia se-akan2 hendak menyindir pihak lawan yang jelas2 tidak sanggup.

Sudah tentu Sip-lik Taysu tahu arti ucapan anak muda itu, ia berdehem, lalu menjawab: "Melompat turun dengan membawa genta itukan jauh lebih mudah daripada membawanya keatas.”

Di balik ucapannya itu ia pun ingin ber-olok2 bahwa membawa genta itu ke bawah mana dapat dibandingkan dengan membawanya ke atas.

Peng-say tertawa, katanya: "Melompat ke atas dengan membawa genta itupun tidak sulit dan tidak perlu letih.”

"Ya, memang tidak sulit," jengek Sip-lik Taysu.

"Jika begitu, boleh coba. . . ." belum habis ucapannya, mendadak sebelah tangan Peng-say menghantam ke depan.

Cepat Sip-lik Taysu menangkis sekuatnya, tapi belum lagi kedua tangan beradu benar. mendadak ia jatuh terduduk karena dorongan tenaga lawan yang maha dahsyat. Peng-say tersenyum dan tidak bersuara.

Tentu saja senyuman Peng-say itu dirasakan sangat menusuk perasaan oleh Sip-lik Taysu, ucapnya dengan geram: "Hm, pada saat tenagaku sudah lemah baru kau menyerang, kenapa mesti senang?”

"Tenaga lemah" Kalau tidak letih, kenapa tenaga sampai lemah?" kata Peng-say. Sejenak kemudian ia menyambung pula: "Katanya tidak sulit" Haha, lucu, sungguh menggelikan.”

Kelam air muka Sip-lik Taysu saking gemasnya, mendadak ia berteriak: "Jika kau benar2 tidak letih meloncat keatas dengan membawa genta itu, biarlah kuberikan kepalaku ini!”

"Apa gunanya kepalamu yang gundul itu?" ujar Peng-say.

"Habis apa kehendakmu?" jawab Sip-lik Taysu.

"Aku cuma ingin tanya satu hal padamu.”

"Hanya begitu saja?”

"Betul.”

"Kalau tidak dapat kau lakukan?”

"Terserah kepada kehendakmu, apa pun akan kusanggupi.”

"Baik, setuju!" kata Sip-lik Taysu. "Nah. bertepuk tangan sebagai tanda akan pegang janji!" kata Peng-say.

Setelah kedua orang mengadu tangan, mendadak jari Peng-say menutuk Siok-kin-hiat di pinggang Sip-lik Taysu sehingga roboh tak berkutik.

"Bocah busuk. . . ." belum habis Sip-lik memaki, kembali Peng-say menutuknya pula Hiat-to bagian bisu.

"Maaf, terpaksa bikin susah kau satu hari." kata Peng-say dengan tertawa. Dia menyingkap genta raksasa itu dan mendorong Sip-lik Taysu kedalam genta, habis itu barulah ia melayang turun pagoda itu dan berlari pergi secepat terbang. Menghilangnya Sip-lik Taysu tentu saja membuat panik segenap anggota Mo-kau hampir seluruh pelosok kota Si-an telah digeledah dan dicari secara rahasia oleh anak murid Mo-kau. Akan tetapi semua usaha hanya sia2 belaka, bayangan Sip-lik Taysu tetap tidak ditemukan. Siapapun tidak sangka bahwa Sip-lik Taysu disembunyikan di genta raksasa di puncak Pagoda Belibis itu.

Go Hui paling akrab dengan Sip-lik Taysu, keduanya sama2 Mo-kau-tianglo, dia yang minta Sip-lik Taysu agar membawa kembali genta itu ke tempatnya yang semula.

Ketika hal itu dilaksanakan Sip-lik, diam2 ia merasa urusan tidak sederhana, maka ia bermaksud melindungi Sip-lik secara diam2. Namun ia pun tahu Sip-lik Taysu rada tinggi hati dan suka menang, maksud Go Hui itu bisa jadi dianggapnya sebagai suatu penghinaan. Apalagi ia pun yakin di dunia ini jarang ada yang mampu menandingi Sip-lik, maka maksudnya mengawal Sip-lik lantas dibatalkan.

Tapi ketika keesokannya Sip-lik tidak kelihatan pulang, Go Hui menjadi gelisah. Cepat ia menyusul ke Gan-tah kecil, dilihatnya genta itu sudah kembali di tempat asalnya, namun Sip-lik tetap tidak kelihatan bayangannya.

Diam2 ia lantas memerintahkan anggota Ma-kau menyelidiki seluruh pelosok kota, setiap orang yang sekiranya mencurigakan juga diawasi. Tapi sampai petang hari tetap tidak diperoleh sesuatu petunjuk yang memuaskan. -ooo0dw0ooo- 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar