Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 32

Jilid 32

Kalau dipikir lagi, ia merasa hal tersebut sebenarnya tidak mungkin terjadi, usia pemuda ini selisih tidak banyak dengan dirinya, mana mungkin menguasai Lwekang setinggi itu, bahkan tingkatan yang belum juga dicapai ayahnya sendiri.

Namun bukti terpampang didepan mata, Tong-hong Putpay yang terkenal sebagai tokoh nomor satu di dunia juga tidak tahan oleh pengaruh irama kecapi anak perempuannya sendiri, tapi anak muda ini justeru sanggup bertahan. Jawabannya hanya satu, yaitu Lwekangnya sudah mencapai tingkatan yang sukar untuk dijajaki.

Diam2 Tonghong Kui-le menjadi nekat, pikirnya: "Dahulu kupaksakan memetik lagu ini hingga bagian keempat. akibatnya aku sakit parah dan hampir saja mati.

Sekarang, demi mengatasi lawan tangguh ini, terpaksa kupetik bagian keempat ini tanpa memikirkan akibatnya,”

Dia nengira daya pengaruh bagian keempat tentu jauh lebih kuat daripada ketiga bagian depan, asalkan bagian keempat ini dapat mempengaruhi pemuda itu dan membebaskan adik perempuannya. tentu pemuda itu dan Sam-lo dapat pula dibunuhnya.

Demi mencapai maksudnya, tanpa menghiraukan bahaya yang bakal dirasakannya sendiri, begitu bagian ketiga selesai, segera ia sambung pula bagian keempat.

Bagian keempat dari lagu Siau-go-yan-he ini baru satu kali saja pernah dimainkannya sejak dia belajar.

Ketika bagian keempat itu berlangsung setengah jalan, tertampaklah dahi Tonghong Kui-le berkerut, wajahnya sedih, napas megap2, jelas tidak kepalang siksaan yang dialaminya. Peng-say menjadi heran, pikirnya: "Tampaknya lagu yang dipetiknya ini bukan saja judulnya sama dengan lagu serulingku, bahkan juga tak dapat diselesaikan secara paksa.

Jangan2 antara lagu kecapinya ini dan lagu serulingku adalah satu lagu yang harus dibawakan bersama, jika dibawakan sendiri2 dengan kecapi atau seruling saja akan menimbulkan bahaya bagi si pemainnya sendiri?”

Sejak tadi ia memang heran mengapa dirinya tidak terpengaruh oleh irama kecapi si nona, se-olah2 setiap nada yang dipetik Tonghong Kui-le itu sudah apal baginya, tapi jelas juga tidak sama dengan apa yang dipelajarinya. Kini melihat penderitaan si nona ketika memainkan bagian keempat itu, maka timbul pikirannya tadi untuk memainkan lagu itu bersama si nona, ingin dicobanya apakah permainan bersama itu dapat menghilangkan penderitaan bagi si pemainnya atau tidak.

Segera ia menutuk Hiat-to Tonghong Kui-jin dan dibaringkan kelantai, dikeluarkannya seruling kemala tinggalan Cin Yak-leng dahulu, setelah mengingat kembali lagu yang pernah dipelajarinya itu, pada suatu nada tertentu segera seruling itu ditiupnya.

Begitu irama seruling bergabung dengan irama kecapi, seketika dalam hati Peng-say merasa "plong", seperti ikan mendapat air, seperti burung berkicau di hutan, gembira dan nikmat. Diam2 Peng-say berpikir; "Ternyata betul dugaanku, pantas dia memetik kecapinya sekian lama dan tidak dapat mempengaruhi diriku seperti halnya orang lain, sebaliknya aku malah seperti dirayu sehingga aku pun getol akan mernainkan lagu ini bersama dia.”

Dalam pada itu napas Tonghong Kui-le juga sudah mulai teratur lagi, rasa sedih pada wajahnya sudah lenyap, jari jemarinya me-nari2 diatas senar kecapinya, ia pun mengikuti irama seruling dengan kesemsem, rasa gembira dan nikmatnya tidak berbeda dari pada Peng-say. Makin lama bahkan seperti lupa daratan, ber-ulang2 nona itu mulai main mata terhadap anak muda itu.

Perasaan orang lain yang hanyut oleh irama kecapi itu ternyata tidak berubah, hanya saja dari duka nestapa tadi kini telah berubah menjadi riang gembira, air muka yang sedih sama hilang, kini semuanya memejamkan mata dengan tersenyum, se-olah2 sedang mengenangkan kejadian yang menyenangkan yang pernah dialaminya, Setelah lagu itu selesai dimainkan, sepasang muda-mudi yang baru kenal ini saling pandang seperti sahabat lama yang sudah lama berpisah, Baik Tonghong Kui-le maupun Peng-say berdiri dengan tersenyum simpul. keduanya sama2 bergirang se-olah2 baru mendapatkan sahabat karib, keduanya saling pandang tanna berkedip.

Tonghong Kui-jin merasa heran, pikirnya "Aneh, bilakah mereka berkenalan" Jangan2 orang ini adalah kekasih Cici”

Pantas Cici tidak gugup ketika melihat aku ditawan olehnya, sebaliknya dia juga cuma mencegah aku membunuh Sam-lo dan tidak bertindak kasar padaku.”

Dalam pada itu, Tionggoan-samyu dan anak muridnya yang bertenaga dalam kuat sudah mulai sadar dan membuka mata. Tonghong Kui-jin menjadi kuatir melihat Sam-lo sudah sadar kembali. Kakaknya sudah selesai memetik kecapi dan Sam-lo tidak kurang apapun, sebentar lagi mereka kakak beradik tentu akan ditangkap untuk memaksa ayahnya memenui janji yang telah dikemukakan kakaknya. Padahal kedatangan mereka ini hanya bertekad harus menang, tujuannya membunuh Tionggoan-samyu, sama sekali mereka lidak pernah membayangkan akan kalah dan untuk itu harus memenuhi janji apa segala.

Sekarang kekalahan sudah jelas di pihak mereka, terang mereka tak dapat memenuhi janji, jalan paling selamat adalah kabur saja selekasnya. Maka Tonghong Kui-jin lantas berteriak: "Cici, lekas minta kekasihmu melindungi kita lari!”

Melihat belati Tonghong Kui-jin tadi tergeletak didepan mereka, meski Bok Jong-siong tidak tahu sebab apa Hiat-to nona itu tertutuk, tapi pahamlah dia sekarang akan tipu muslihat kakak beradik itu. segera ia menjengek: "Lari”

Hm. sudah kalah lantas mau lari begitu saja?”

"Kami tidak kalah!" teriak Tonghong Kui-jin. "Kekasih Ciciku yang menyelamatkan kalian, kalau dia tidak campur tangan, tentu sejak tadi kalian bertiga sudah mati di ujung belatiku'“

"Oo?" dengan ragu Bok Jong-siong mengikuti sorot mata Tonghong Kui-jin kearah Peng-say, tanyanya: "Jadi dia yang mencegah perbuatanmu?”

Mulut Tonghong Kui-jin menjengkit, dengan angkuh ia berkata: "Memangnya! Kalau tidak ada dia, betapa lihay Sam-yu kalian juga akan kalah habis2an.”

"Suara kecapi kakakmu hakikatnya tidak dapat membunuh kami," kata Bok Jong-siong.

"Ya, tapi kami kan tidak menyatakan suara kecapi akan langsung membunuh orang," kata Tonghong Kui-jin. "Coba kalau tadi kekasih Taciku tidak ikut campur tangan, apakah kalian dapat lolos dari ujung belatiku?”

Sam-yu sama memandang kearah Sau Peng-say, tertampak anak muda itu dan Tonghong Kui-le masih saling pandang dengan mesra tanpa menghiraukan orang lain, jelas keduanya adalah sepasang kekasih yang cinta mencintai. Jadi mereka bertiga memang betul telah diselamatkan oleh kekasih musuh, meski tidak kalah, apa pun yang dapat mereka katakan”

Tonghong Kui-jin berkata pula: "Jika kalian bertiga terbunuh, meski tidak langsung mati di tangan Taciku, tapi asal mulanya adalah karena kalian terpengaruh oleh suara kecapi Taci dan secara tidak langsung kalian terbunuh.

Apabila kalian mampu, kalian harus menggunakan kekuatan batin sendiri untuk mendengarkan lagu Siau-goyan-he tadi, tapi kenyataannya kalian tidak sanggup melawannya, jadi kalau menurut aturan, jelas kalian yang kalah dan bukan kami.”

Diam2 Thian-bun Totiang merasa mulut nona cilik ini sangat tajam, sudah kalah berbalik menuduh pihak lawan yang harus menyerah. Betapapun hal ini lidak boleh diakui, kalau tidak, tentu nona itu akan mendesak mereka agar membunuh diri. Teringat kepada hal tersebut, cepat Thian-bun berkata: "Kami tidak suka banyak omong dengan kalian, kita hanya bicara menurut perjanjian, kami sudah mempertaruhkan jiwa dengan kakakmu, apakah kami harus mati di bawah suara kecapi Tacimu atau terbunuh oleh tipu muslihat, bila betul mati. tentunya kami tidak dapat omong apa2 lagi.

Tapi sekarang kami masih hidup segar bugar dan hal ini berarti kalian yang kalah. Dan kalau kalian kalah, kalian harus menjadi tawanan kami, baru akan kami bebaskan kalian apabila ayahmu sudah memenuhi janji dengan menarik seluruh kekuatan Ma-kau keluar dari daerah Tionggoan.”

Maksud Tonghong Kui-jin sebenarnya hendak putar lidah untuk membikin Sam-lo tidak dapat bicara lagi, dengan demikian mereka kakak beradik dapat meninggalkan Thay-san dengan selamat.

Tak terduga Thian-bun Totiang tidak pedulikan ocehannya dan tetap tidak mau mengaku kalah. Diam2 Tonghong Kui-jin menjadi kuatir kalau2 Tojin yang pemberang ini sampai naik darah dan main kasar, maka jangan harap lagi mereka akan pergi dengan aman.

Cepat ia menggunakan siasat lunak, katanya: "Baiklah, apa yang terjadi barusan tak dapat dikatakan Sam-lo yang kalah, tapi kami pun tidak kalah, bagaimana kalau kita anggap seri" Sam-lo adalah tokoh2 berbudi luhur dan orang tua welas asih, tentunya kalian tidak akan sembarangan menangkap anak perempuan yang datang tanpa membawa senjata seperti kami ini" Apalagi yang menolong kalian adalah kekasih Taciku sendiri, bagaimana kalau kalian memberi kelonggaran kepada kami mengingat pertolongannya tadi?”

Meski keras watak Thian-bun Totiang, tapi dia memang orang yang suka pada yang lunak dan tidak mau pada yang keras. Setelah si nona bicara secara halus, hatinya menjadi lemas dan tidak bersuara lagi.

Segera Bok Jong-siong menukas: "Baiklah, mengingat saudara Sau. bolehlah kalian pergi saja!”

Dengan tertawa girang Tonghong Kui-jin lantas berseru: "Ayolah, Cici, untuk apa bertengger disitu" Lekas bukakan Hiat-to adikmu ini!”

Tak terduga, mendadak Peng-say berkata; "Bok-lo.

selamanya aku tidak kenal kedua nona ini.”

"Hah, apa betul?" serentak Sam-lo menegas.

"Betul," sambung Tonghong Kui-le tiba2. "Memang betul selama ini kami tidak kenal Sau-kongcu ini. Apabila tidak keberatan, bolehkah kutahu nama Sau-kongcu yang terhormat?”

"Baru tadi kudatang kemari dan ingin mengabdi kepada Sam-lo, jadi aku adalah musuh dengan Mo-kau kalian, kukira tidak perlu saling memperkenalkan nama," jawab Peng-say ketus.

Rupanya ia lihat Sam-lo hendak membebaskan musuh penting karena dirinya, maka perlu ia menegaskan pendiriannya agar Sam-lo tidak salah paham padanya sehingga mempengaruhi persatuan mereka menghadapi Say-koan kelak.

Tonghong Kui-le melengak oleh jawaban Peng say itu, tapi ia lantas tersenyum dan berkata: "Jadi kau menghendaki Sam-lo menawan kami kakak beradik?”

"Cayhe tiada permusuhan dan dendam apa-pun dengan nona berdua, dengan menjelaskan pendirianku bukanlah maksudku agar kalian ditangkap oleh Sam-lo, soal kalian akan ditawan atau tidak yang penting Sam-lo harus mengesampingkan diriku dalam persoalan ini.”

Segera Bok Jong-siong berkata: "Jika demikian kedua nona Tonghong tidak boleh pergi dengan begitu saja.”

Dengan mendelik Tonghong Kui-jin lantas berteriak: "Habis akan kalian apakah kami berdua" Memangnya kalian mengira pihak yang menang dan kami akan ditawan untuk dijadikan sandera dan memaksa ayahku mengundurkan segenap kekuatan Mo-kau dari Tionggoan?”

"Sesuai kehendak nona tadi, biarlah kita mengakui apa yang terjadi tadi sebagai seri, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, kami pun takkan memaksa ayahmu melaksanakan janji Taci-mu tadi. Cuma kalian datang dengan muslihat keji, betapapun kalian tak boleh pergi seenaknya, kalian harus diberi tanda jasa sedikit agar segenap orang Kangouw tahu Thay-san bukan tempat yang boleh sembarangan disatroni.”

Baru habis ucapan Bok Jong-siong, mendadak diluar bergema gelak tertawa orang yang memekak telinga, serunya: "Jong siong, untuk apa membikin susah dua orang anak dara?" " Belum lenyap suaranya, sesosok bayangan hitam secepat anak panah terus melayang tiba.

"Tonghong Put-pay!" bentak Bok Jong-siong.

Mendengar pendatang adalah Ma-kau-kaucu Tonghong Put-pay, cepat Peng-say melompat ke depan Tonghong Kuijin, kedua tangan bersilang didepan dada dan siap menghadapi segala kemungkinan.

Cepat amat datangnya bayangan hitam tadi, belum lagi Peng-say melihat jelas wajah pihak lawan, tahu2 suatu arus angin dahsyat menyambar dari depan.

"Bagus!" teriak Peng-say. Berbareng kedua tangannya juga disodokkan ke depan.

Terdengar suara "blang" yang keras, Peng-say tetap berdiri tegak di tempatnya, sebaliknya bayangan hitam itu bersuara heran. Menyusul tangan kirinya terus menghantam seorang Tosu Yan-san-pay yang sedang berdiri di sebelah Peng-say.

Melihat Tosu itu tidak ber-jaga2, cepat Peng-say menolongnya, segera ia menggeser kesana terus mencengkeram sehingga serangan lawan dipatahkan.

"Haha! Tertipulah kau!" seru bayangan hitam tadi sambil bergelak tertawa. secepat kilat ia tarik kembali serangannya, lalu berjongkok dan mengangkat Tonghong Kui-jin sembari berteriak: "Ayo, pergi, anak Le!”

Sam-lo serentak menghantam, tak terduga bayangan hitam dapat melayang pergi secepat terbang, hanya ujung jubahnya saja tampak berkibar, hantaman mereka tidak mencapai sasarannya.

Thian-bun Totiang penasaran, segera ia hendak mengejar, tapi Bok Jong-siong lantas mencegahnya.

"Sudahlah, biarkan mereka pergi!”

Tadi semua orang hanya melihat bayangan hitam melayang masuk secepat terbang, mengenai caranya mengadu pukulan dengan Sau Peng-say dan menolong puterinya, gerakannya terlalu cepat sehingga tak terlihat jelas, habis itu dengan begitu saja bayangan hitam itu melayang pergi pula dengan memondong dan menggandeng dua nona, hanya sekejap itu kedua puterinya telah dibawanya lari.

Beberapa anak murid Tay-san-pay segera akan mengejar juga, tapi Bok Jong-siong segera membentak: "Semuanya kembali, tidak perlu mengejar!" " Ia tahu tiada seorangpun mampu melawan Tonghong Put-pay, jika mengejar, paling2 hanya mengantarkan nyawa.

Didengarnya di kejauhan bergema suara tertawa orang yang memekak telinga katanya: "Kedua anak perempuan ini tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, secara sembrono mereka menerjang ke atas gunung dengan maksud hendak mengembangkan namanya, maaf jika tindakan mereka telah mengganggu kalian!" " Pada waktu mulai bicara terasa orangnya baru di depan rumah, tapi pada akhir katanya rasanya orang sudah berada beratus tombak jauhnya.

"Sungguh tak terduga, selain Kungfunya nomor satu di dunia, iblis inipun memiliki Ginkang yang hebat!" kata Thian-bun Totiang sambil menyengir.

'Konon Ginkang Ban-li-tok-heng Thio Yan-cuan itupan ajaran Mo-kau-kaucu," kata Ting-sian.

"Apa betul?" Thian-bun terkejut.

"Akupun tidak begitu jelas, tanya saja kepada Bok-lo,”

kata Ting-sian.

"Waktu Mo-kau mula2 muncul di Kangouw, karena pengalamanku masih cetek, aku telah salah bergaul juga dengan Tonghong Put-pay," tutur Bok Jong-siong. "Ai, karena kesalahan yang tidak sengaja itu, jadilah penyesalanku selama hidup ini.”

Sesudah berhenti sebentar, ia berkata pula: "Memang betul, Ginkang si bangsat cabul Thio Yan-coan itu memang betul ajaran Tonghong Put-pay.”

Thian-bun Totiang menggeleng kepala, katanya dengan gegetun: "Pantas ketika kedua anak perempuannya menerjang ke atas sini, sepanjang jalan tiada berita yang kita terima, tampaknya betapa ketat penjagaan kita tetap sukar menahan serbuan anak murid Tonghong Put-pay.”

"Jangan Totiang terlalu percaya kepada bualan Tonghong Put-pay," kata Bok Jong-siong. "Hm, kedua budak itu sembarangan menerjang ke atas gunung sini.

kalau tidak dibawa sendiri olehnya mana mampu kedua budak itu sampai disini" Aku cukup kenal pribadi Tonghong Put-pay, lahirnya saja dia berlagak sebagai seorang ksatria sejati, padahal hatinya kejam luar biasa, tiada kejahatan yang tidak diperbuatnya. Kalau tidak, mana bisa nama Mo-kau menjadi sebusuk ini di bawah pimpinannya" Dia melihat Sam-yu kita bersatu-padu dengan kuat, ia tahu bila sembarangan menyerbu kesini pasti akan mengalami kegagalan total, sebab itulah sebegitu jauh dia tidak berani sembarangan bertindak. Sam-yu kita adalah seperti duri di dalam dagingnya, sebelum tertumpas dia tidak dapat tidur nyenyak, kalau menyerbu secara terang2an tidak berani, maka dia lantas mengutus kedua budaknya itu untuk melaksanakan tipu muslihat kejinya.

Ingin mengembangkan nama, itulah alasan yang dia berikan kepada anaknya, bila rencananya berlangsung dengan baik dan Sam-yu kita terbunuh, maka senanglah dia. Bila gagal, dengan alasan ingin menolong anaknya yang tidak menuruti nasihatnya dia lantas unjuk diri disini.”

"Ya, untung hari ini Sau-sicu berada di sini, kalau tidak Sam-yu kita pasti celaka," ujar Thian-bun sambil memberi hormat kepada Sau Peng-say.

"Ah, Wanpwe hanya hadir secara kebetulan saja, menjadi kewajibanku juga untuk membantu sekuatnya,”

kata Peng-say sambil membalas hormat.

Melihat Tonghong Put-pay telah mengadu pukulan dengan anak muda itu dan tidak dapat membuatnya tergetar sedikitnya, tahulah Ting-sian Suthay bahwa Lwekang Peng-say sukar dijajaki, dengan tertawa iapun berkata: "Nyata kita telah salah pandang semua. Sau-sicu terbukti tidak terpengaruh oleh suara kecapi jangan2 Lwekangmu sudah mencapai tingkatan penyatuan jiwa-raga seperti ayahmu?”

"Lwekangku sebenarnya sangat rendah," tutur Peng-say, "tapi mendiang ayahku diam2 telah menyalurkan segenap tenaga dalamnya kepadaku, aku sendiri tidak tahu apakah sudah mencapai tingkatan seperti apa yang dikatakan Suthay, yang terang, lantaran kehilangan Lwekangnya, maka ayah sampai dicelakai oleh Ting Tiong dan Liok Pek." "Omitohud!" Ting-sian bersabda. "Pantas Sau-tayhiap tertimpa musibah, kalau tidak begitu, siapa yang mampu membunuhnya?”

"Sakit hati ayah harus kubalas," kata Peng-say dengan perasaan berduka, "untuk itu, mohon Sam-lo sudi memberi bantuan dan Wanpwe pasti akan sangat berterima kasih “

"Kejahatan yang diperbuat Say-koan tidak kurang dari pada Ma-kau, musuh utama Sam-yu sekarang ialah Say-koan, sekali pun tiada permintaanmu, Sam-yu juga takkan tinggal diam terhadap biang-keladinya.”

Tiba2 Bok Jong-siong bertanya: "Tadi waktu kami bertiga hanyut oleh suara kecapi, lalu ada suara seruling mengiringi bunyi kecapi, apakah Sau-lote yang meniup serulingnya?”

Waktu mereka sadar, Peng-say sudah menyimpan kembali serulingnya sehingga tidak diketahuinya siapa yang meniup seruling, hanya samar2 mereka tahu ada suara seruling yang mengiringi kecapi yang dipetik Tonghong Kui-le. Maka Peng-say mengangguk: "Betul, Wanpwe yang meniup seruling.”

"Entah lagu yang dibawakan Sau-lote tadi dapat belajar dari siapa?" tanya Bok Jong-siong pula.

"Berdasarkan satu buku not pelajaran seruling yang bernama Siau-go-yan-he dan dapat kupelajari sendiri," tutur Peng-say.

"Pemberian siapa pula buku not seruling itu?”

"Dari Gihengku Peng-lam," kata Peng-say.

"Oo," Bok Jong-siong seperti menyadari sesuatu, "pantas rasanya sudah pernah kudengar, kiranya sebelum meninggal Wi-sute telah menghadiahkan buku nada Serulingnya kepada Gihengmu lalu dari Gihengmu diberikan pula kepadamu. Akan tetapi kemana perginya buku nada kecapi milik Kik Yang?" .

"Nada kecapi apa?" tanya Peng-say heran.

"Waktu mudaku pernah salah bergaul dengan orang jahat, tak tersangka Wi-sute telah mengulangi perbuatanku itu dan bersahabat dengan gembong Mo-kau Kik Yang.

Cuma Wi-sute tidak bergaul secara ngawur seperti diriku.

mereka bersahabat berdasarkan perpaduan suara seruling dan kecapi, nilai persahabatan mereka suci bersih dan tak dapat dibayangkan oleh orang awam. Sayang, antara aku dan Wi-sute ada selisih paham, aku tak dapat memahami dia sehingga waktu Coh Cu-jiu menyuruh ketiga Sutenya mencelakai Wi-sute, sekalipun sebelumnya aku sudah dengar, tapi aku tidak segera tampil untuk mencegahnya.

Sesudah itu, menjelang ajalnya, kudengar Wi-sute dan Kik Yang bersama membawakan lagu 'Siau-go-yan-he' diluar kota Cu-joan, dari suara musik mereka itulah kutahu persahabatan mereka sangat akrab dan bersih. Cuma sayang, keadaan sudah terlambat, biarpun pada saat berbahaya dapat kubunuh Hui Pin toh tetap tak dapat menyelamatkan jiwa mereka. Dengan kematian mereka kupikir lagu Siau-go-yan-he yang sukar dicari itu selanjutnya pasti akan lenyap dari muka bumi ini, siapa tahu dua tahun kemudian dapat kudengar pula disini.”

Dia berhenti sejenak, lalu berkata pula: "Waktu nona Tonghong menyebut nama lagunya tadi, tergetar juga hatiku. Kupikir mungkin cuma judulnya saja yang sama, tapi bukan lagu Siau-go-yan-he ciptaan Kik Yang dan Wisute. Akan tetapi setelah kau mengiringinya dengan suara serulingmu, nadanya lantas berubah dan mirip waktu lagu itu dibawakan oleh Wi-sute dan Kik Yang. Cuma waktu itu mereka dalam keadaan terluka parah, badan lemah dan tenaga kurang, tentunya tidak seperti permainan kalian tadi yang dapat menghanyutkan para pendengarnya dan melupakan segala apa disekitarnya. Sekarang kutahu dari buku nada seruling pemberian Wi-sute itulah kau dapat belajar lagu Siau-go-yan-he ini, tentunya pada Kik Yang juga ada buku nada kecapi yang sama, jangan2 sebelum mati Kik Yang telah memberikan buku nada itu kepada cucu perempuannya, yaitu Kik Fi-yan, nona cilik itu membawa pulang buku nada itu kepada Ma-kau dan sekarang nona Tonghong itu berhasil pula mempelajarinya seperti halnya kau.”

"Tidak," tutur Peng-say, "Wi-susiok memberikan buku nada seruling kepada Peng-lam Giheng, Kik Yang juga memberikan buku nada kecapi kepadanya.”

"Oo" Darimana kau tahu?" tanya Jong-siong.

"Giheng sendiri pernah berkata kepadaku bahwa padanya masih ada satu buku nada kecapi dengan judul 'Siau-go-yan-he', maksudnya aku disuruh mengajar Siausumoaynya, yaitu Leng Hiang. kemudian berhubung sesuatu hal Leng Hiang Sumoay tidak jadi belajar, seterusnya buku nada itu pun tidak pernah diperlihatkan padaku. Setelah diingatkan Bok-lo barulah kuingat kepada kejadian dahulu itu,”

Bok Jong-siong merasa bingung, katanya: "Kalau begitu, mengapa buku nada tersebut bisa beredar sampai ditangan puteri Tonghong Put-pay sehingga dia berhasil mempelajarinya" Jangan2....." tapi mengingat persoalan ini sangat penting, segera ia tutup mulut dan tidak berani sembarangan meramal.

Menurut perkiraanku, bisa jadi buku nada itu beredar ketangan orang Ma-kau melalui tangan Ban-li-tok-heng Thio Yan coan," tutur Peng-say.

"Aneh, kenapa berhubungan lagi dengan bangsat cabul itu?" tanya Bok Jong-siong.

Peng-say merasa malu bila teringat kepada kejadian dahulu, ia menceritakan sekadarnya apa yang pernah dialaminya, lalu berkata: "Ilmu pedang Wan-pwe terlalu rendah dan jauh bukan tandingan ilmu golok kilat Thio Yan-coan itu sehingga kusaksikan dia menawan pergi Gihengku tanpa dapat bertindak apa2.....”

"Ilmu golok Pi-hong-cap-sah-to Thio Yan-coan itu memang juga ilmu golok kebanggaan Tonghong Put-Pay dan jarang ada yang sanggup menandinginya," ujar Jong-siong.

"Bicara sejujurnya. Suteku Te-coat Tojin juga tewas di tangan bangsat she Thio itu dengan golok kilatnya," sela Thian-bun Totiang.

Peng-say tahu maksud mereka adalah untuk menghiburnya, ia mengangguk dan berkata pula: "Kupikir setelah Gihengku jatuh dalam cengkeraman murid Mo-kau seperti Thio Yan-coan itu, dengan sendirinya buku nada kecapi yang dibawanya juga telah digeledah oleh Thio Yan coan dan kemudian dipersembahkannya kepada gurunya.”

Bok Jong-siong menggeleng, katanya: "Tidak, tidak mungkin. Kejahatan bangsat she Thio itu sudah kelewat takaran dan terlalu berani, hal ini tidak disukai Tonghong Put-pay, maka sudah lama dipecat dari perguruannya, sudah lama dia mencari dunianya sendiri dan tidak mungkin dia pulang ke Ma-kau untuk mempersembahkan sejilid nada kecapi. Setahuku, dia telah di-uber2 oleh Tingyat Suthay, saking kepepetnya dia telah kabur ke daerah selatan, bila dia berani kembali lagi ke Ma-kau, tentu dia tidak perlu ngacir jauh keselatan melainkan pulang dan minta perlindungan kepada Tonghong Put-pay.”

"Demi mencari murid kesayangannya si Gi-lim. sampai sekarang Sumoayku masih sibuk mencari jejak bangsat she Thio itu bila dia lari pulang dan minta perlindungan kepada Mo-kau, betapapun tabahnya Sumoay tentu juga tidak berani mencari perkara kesana." kata Ting-sian Suthay.

"Sekarang kita sudah merasakan lihaynya lagu Siau-goyan-he, kitab nada kecapi itu tiada ubahnya kitab pusaka ilmu silat dan tak ternilai harganya, bukan mustahil bangsat Thio Yan-coan itu akan menggunakan kitab berharga ini sebagai persembahannya kepada Tonghong Put-pay agar dia dapat diterima kembali kedalam Ma-kau?" kata Thian-bun Totiang.

"Kutahu Thio Yan coan itu jahat lagi tamak," kata Bok Jong-siong. "Bilamana dia tahu kitab nada kecapi yang berada pada Sau Peng-lam itu tak ternilai harganya, tentu akan dikangkangi dia sendiri, tidak nanti dibawanya pulang ke Ma-kau dan dipersembahkan kepada gurunya.”

"Jika begitu, cara bagaimanakah kitab nada kecapi Sau Peng-lam itu bisa jatuh ke tangan orang Ma-kau?" tanya Thian-bun.

Bok Jong-siong termenung sejenak, katanya kemudian: "Waktu kita dengar berita terbunuhnya segenap anggota Lam-han, bagaimana perasaan To-heng ketika itu?”

"Tatkala mana betapapun aku tidak percaya Ting Tiong dan Liok Pek mampu membunuh Sau Ceng-hong, tapi sekarang baru kutahu lebih dulu dia sudah kehilangan Lwekangnya," kata Thian-bun Totiang.

"Sau-lote," tanya Bok Jong-siong kepada Peng -say, "kabarnya sebelum anggota perguruanmu terbunuh, lebih dulu mereka telah dikerjai orang, apa betul?”

"Ya, Ting Tiong dan Liok Pek benar2 kotor dan rendah, mereka telah menggunakan obat bius," tutur Peng-say dengan gemas.

Bok Jong-siong manggut2, lalu ia bertanya kepada Thian-bun Totiang: "Menurut pendapat To-heng, apakah mungkin Leng-lihiap dapat dicelakai Ting Tiong dan Liok Pek segampang itu?”

"Jangankan cuma Sutenya, biarpun dengan Gin kang Coh Cu-jiu sendiri juga jangan harap akan dapat mendekati kamar tidur Sau Ceng-hong untuk meniupkan obat bius diluar tahu Sau Ceng-hong." kata Thian-bun. "Mengenai Leng Tiong-cik, ilmu silatnya tidak dibawah kita, terang Ting Tiong berdua juga sukar mencelakainya.”

"Aku pun berpikir begitu," ujar Bok Jong-siong. "Bagiku di dunia ini hanya ada Ginkang seorang yang mampu berbuat sesuatu didepan kamar tidur Leng-hiap dan berlangsung diluar tahunya.”

"Tonghong Put-pay!" seru Thian-bun Totiang.

"Bagaimana pendapat Suthay?”

tanya Jong-siong terhadap Ting-sian.

"Kalau Tonghong Put-pay tidak takut perbuatan kejinya itu akan menimbulkan kemarahan dunia persilatan umumnya, tentu tindakannya itu mempunyai alasan yang kuat, cuma tidak diketahui apa tujuannya dia menempuh bahaya dengan menyatroni Lam-han?" kata Ting-sian Suthay. Di balik ucapannya itu jelas dia telah mengakui hanya Tonghong Put-pay saja yang mampu berbuat apa2 diluar kamar tidur Leng Tiong-cik tanpa kuatir dipergoki pendekar perempuan yang lihay itu.

"Persekutuan Lima Besar kita memang harus diakui kurang beruntung karena dipimpin oleh ketua yang kurang bertanggung-jawab, tapi apapun juga persekutuan kita tetap membuat kepala pusing Tonghong Put-pay," ucap Bok Jong-siong. "Bilamana dia ingin memperluas pengaruh Ma-kau, sedikitnya dia harus menghancurkan dulu persekutuan Lima Besar kita. Lihat saja caranya dia memperalat jiwa Coh Cu-jiu yang sempit itu dengan menyebarkan berita tentang terbunuhnya Hui Pin olehku, jelaslah Tonghong Put-pay sengaja hendak memecah belah dan mengadu domba diantara Lima Besar kita untuk kemudian satu persatu dihancurkan. Betapapun harus kita akui, Sau-heng terhitung paling kuat diantara kelima aliran kita, cuma sayang caranya menerima murid hanya mengutamakan kwalitas dan tidak kwantitas, karena itulah sejauh itu kekuatan Lam-han terhitung paling lemah diantara persekutuan kita. Kalau Tonghong Put-pay ingin menggempur Lima Besar tentu akan dipilihnya bagian yang paling lemah, jadi Soh-hok-han pasti akan dijadikan sasaran pertama.”

"Ya, mungkin itulah alasan pokok Tonghong Put-pay menumpas Lam-han lebih dulu, tapi tak dapat dikatakan Sau-tayhiap terlalu sedikit muridnya dan lemah kekuatannya, maka lebih dulu menjadi sasaran pihak Makau," kata Ting-sian. "Maklumlah, Lam-han mempunyai hubungan yang erat dengan Bu-tong-pay. anak murid Bu-tong-pay berjumlah ribuan dan siap untuk diperbantukan kepada Sau-tayhiap, sesungguhnya kekuatan kami sendiri tak dapat menandingi Lam-han, jika betul Tonghong Putpay hendak menghancurkan Lima Besar satu persatu, maka sasarannya yang pertama seharusnya Siong-san-pay kami.”

"Bicara tentang kekuatan masing2, sesungguhnya Yansan kami pun lebih lemah daripada Siong-san," kata Thian-bun Totiang. "Tapi Tonghong Put-pay tidak berani menyerang Yan-san, sebab ia tahu, bila Yan-san hancur, sisa empat aliran lain tentu akan bersatu lebih erat untuk menghadapi Ma-kau. Tonghong Put-pay tidak gentar terhadap salah satu aliran kita, yang ditakuti adalah kita bersatu-padu menghadapi dia, Tonghong Put-pay tidak terlalu ambisius seperti Co Cu-jiu, yang diutamakan adalah perkembangan Ma-kau, agaknya dia tidak mau sembarangan mengorbankan jiwa sebagian besar anak buahnya dengan menyerang Lam-han dan sisa keempat aliran lainnya.”

"Betul," Bok Jong-siong mengangguk tanda setuju.

"Disinilah letak perbedaan Tonghong Put-pay dengan Coh Cu-jiu. Tonghong Put-pay tegas2 menyatakan bahwa pedomannya adalah orang tidak menyatroni dia, maka dia pun tidak mengganggu orang. Cuma ajaran agamanya yang disebarnya itu berlawanan dengan dasar hidup dunia persilatan kita, maka mau-tak-mau kita harus mencegah perluasan pengaruh Ma-kau. Jika dia sendiri yang menumpas Lam-han, bukan mustahil persoalannya di timbulkan oleh kitab nada kecapi itulah,”

"Apakah maksud Bok-lo. demi mendapatkan kitab nada kecapi yang berada pada Giheng-ku itu, maka Tonghong Put-pay tidak segan2 bertindak keji dan kotor?" sela Peng-say.

"Ehm, besar kemungkinan memang begitu," kata Bok Jong-siong.

"Tapi cara bagaimana menjelaskan bekas pukulan Tayjiu-in yang terdapat pada para anggota Lam-han yang terbunuh itu?" tanya Peng-say.

"Tonghong Put-pay sangat pintar. hampir setiap Kungfu andalan berbagai aliran dan perguruan lain juga dipelajarinya, lebih2 Lima Besar kita yang jelas2 memusuhi dia, tentu saja dia lebih2 giat berusaha menjajaki ilmu silat andalan kita. Tay-jiu-in adalah Kungfu andalan Say-koan yang sukar dilatih, tapi mungkin dia berhasil mencuri belajar sedikit. Setelah kawan2 Lam-han kalian dikerjai dengan obat bius, dalam keadaan tak sadar tentu mudah terpukul olehnya, maka tidak sulitlah baginya untuk meninggalkan bekas pukulan Tay-jiu-in di tubuh setiap korbannya.”

"Dan Ting Tiong dan Liok Pek mengapa mau menerima tuduhan orang yang sesungguhnya bukan diperbuat oleh mereka?" tanya Peng-say.

"Ting Tiong dan Liok Pek itu serupa Suheng mereka, sama sombong dan tinggi hati, anggapan mereka hanya Say-koan saja yang paling hebat, aliran lain bukan tandingan mereka. Bisa jadi Peng-lam oleh Tonghong Putpay sengaja dibiarkan hidup, tapi lebih dulu merusak syarafnya sehingga pikirannya menjadi tidak waras, dalam keadaan linglung Peng-lam lantas menyiarkan peristiwa terbunuhnya segenap anggota Lam-han adalah perbuatan Ting Tiong dan Liok Pek. dengan begini perhatian orang dapat dialihkan sehingga orang tidak mencurigai dia dan terhindarlah dia dari kerubutan umum. Rupanya kedua keparat Ting Tiong dan Liok Pek itupun mau saja menanggUng tuduhan orang, mereka mengira dengan demikian nama mereka akan tambah terkenal sehingga Ngo-hoa-koan juga bertambah wibawa dan termashur.”

"Apakah Bok-lo tahu antara Coh Cu-jiu ada sengketa apa2 dengan mendiang ayahku?" tanya Peng-say, "Memangnya kenapa?" tanya Bok Jong-siong.

Peng-say tidak ingin bercerita tentang pertemuan Ki-lian-san dahulu, maka ia hanya menjawab: "Menurut Kiausuheng, dahulu ayah tidak setuju Coh Cu-jiu dipilih sebagai Bengcu persekutuan Lima Besar, entah betul tidak hal ini?”

"Ayahmu memang lebih tahu daripada orang lain," kata Jong-siong dengan gegetun. "Kalau dipikir sekarang baru diketahui sebab musababnya dia anti terpilihnya Coh Cn-jiu dahulu, kiranya dia sudah dapat mengetahui Coh Cu-jiu berjiwa kotor dan bukan Bengcu yang tepat. Sayang dahulu Sam-yu kami tidak mau menerima nasihatnya, akhirnya kami tetap mendukung Coh Cu-jiu dan terpaksa ayahmu menyetujuinya.”

"Bok-lo sendiri tahu kesempitan jiwa Coh Cu-jiu.

persoalan kecil saja pasti dituntutnya, apakah tidak mungkin dia dendam kepada ayah, lalu menyuruh Ting Tiong dan Liok Pek membikin celaka segenap anggota Lam-han kami?”

Bok Jong-siong terdiam sejenak, katanya kemudian: "Tapi kecurigaan terhadap Tonghong Put-pay jauh lebih besar daripada Coh Cu-jiu, buktinya anak perempuannya mahir memetik lagu Siau-go-yan-he, inilah soal yang sukar dipecahkan.”

"Tapi buku nada kecapi berada pada Gihengku Peng lam, darimana Ma-kau-kaucu bisa tahu?" tanya Peng-say.

"Tentu saja Kik Fi-yan yang melaporkan padanya," kata Jong-siong. "Pendek kata, setiap kejadian sebelum kakeknya mati tentu akan dilaporkannya kepada Tonghong Put-pay." "Lalu darimana pula Tonghong Put-pay mengetahui bahwa lagu itu mempunyai daya pikat terhadap musuh?”

tanya Peng-say pula.

"Inilah kuncinya yang utama," kata Jong-siong. "Jika sebelumnya Tonghong Put-pay memang sudah tahu lagu kecapi itu ada daya pikat terhadap musuh, maka terbunuhnya anggota perguruan Lam-han kemungkinan adalah perbuatannya, kalau sebaliknya memang tiada alasan untuk menuduhnya.”

"Betul," tukas Ting-sian Suthay, "memang disinilah letak kunci utama tindakan Tonghong Put-pay. Bila sebelumnya dia tidak tahu apa manfaat kitab nada itu, rasanya tidak perlu menyerempet bahaya dengan mencelakai Sau-tayhiap.”

"Kik Yang adalah gembong Ma-kau, demi kejayaan agamanya sudah tentu ia ingin menciptaksn sesuatu senjata yang ampuh untuk mengalahkan musuh, maka menurut pendapatku, Tonghong Put-pay adalah biangkeladi daripada terbunuhnya segenap anggota Lam-han," kata Thian-bun Totiang. "Sebab itulah, selaku Kaucu tentunya iapun tahu usaha Kik Yang akan menciptakan lagu mautnya itu, bisa jadi dia sendiripun memberi dukungan akan daya cipta Kik Yang itu.”

"Kalau cuma untuk mengatasi musuh, Ma-kau mereka tidak kurang tokoh2 tangguh," kata Bok Jong-siong. "Cita2 Kik Yang sendiri mungkin tidak terbatas cuma untuk mengatasi musuh saja, dengan lagu maut Siau-go-yan-he itu dia ingin mempengaruhi daya tempur tokoh Bu-lim yang memusuhi mereka, bahkan dengan lagu itu ia ingin memikat khalayak ramai agar menyembahnya sebagai malaikat dewata. Dengan kekuatan anggota Ma-kau yang fanatik tentu pengaruh mereka akan lebih disebar luaskan.

Sayang Wi-sute telah diperalat tanpa sadar untuk ber-sama2 menciptakan lagu itu, bilamana ia tahu dialam baka tentu juga akan menyesal.”

Peng-say ternyata tidak sependapat, katanya sambil menggeleng: "Jika betul begitu, kenapa Kik Yang tidak menyerahkan kedua kitab nada itu kepada sang Kaucu, tepi diberikan kepada Gihengku malah" Memang bisa terjadi Wi-susiok keburu mengetahui muslihatnya, maka buku nada seruling sebegitu jauh belum diserahkan kepada Kik Yang, tapi paling tidak kitab nada kecapi milik Kik Yang sendirikan seharusnya diberikan kepada cucu perempuannya agar dapat dibawa pulang ke Ma-kau?”

Karena uraian Peng-say cukup masuk diakal dan beralasan, terpaksa Sam-yu tidak dapat bicara lagi.

"Maka menurut pendapatku," demikian ucap Peng-say lebih lanjut, "sebabnya Tonghong Kui-le mahir memetik lagu Siau-go-yan-he, besar kemungkinan sejak kecil dia ikut belajar nada Kik Yang, dengan sendirinya lagu ciptaan Kik Yang itu....”

Mendadak ia berhenti, sebab ia merasa uraiannya ini kurang tepat. Setelah menciptakan lagu "Siau-go-yan-he”

itu, tentu Kik Yang juga tahu berbahayanya bilamana lagu tersebut dibawakan sendirian, mana mungkin diajarkannya kepada Tonghong Kui-le dan membikin susah nona itu.

Didengarnya Thian-bun Totiang telah membenarkan uraiannya tadi: "Batul, betul, besar kemungkinan budak itu belajar memetik kecapi langsung dengan Kik Yang dan bukan belajar melalui kitab nada. tentunya kitab nada kecapi itu masih berada pada Sau Peng-lam.”

Dengan ucapannya ini, ia sendiri telah menyangkal kepastian tentang Tonghong Put-pay adalah biangkeladai pembunuhan segenap anggota Lam-han tadi.

Bok Jong-siong lantas berkata pula: "Tapi kalau Tonghong Kui-le tidak belajar melalui kitab nada, tentunya dia sudah mahir memetik lagu itu sejak dua tahun yang lalu, tidak mungkin baru sekarang dia menyatroni kita. hal inipun sangat mencurigakan.”

Bicara sampai di sini, Peng-say jadi kehilangan pegangan. Padahal urusan ini menyangkut sakit hati pembunuhan ayahnya, betapapun harus diselidikinya sejelas2nya dan pasti dapat diketahui siapa sebenarnya si pembunuhnya. Mendadak ia berbangkit dan memberi hormat kepada Sam-yu, katanya: "Maaf. Wanpwe mohon diri sekarang juga. " "He, Sau-lote hendak kemana?" tanya Bok Jong-siong.

"Ma-kau," jawap anak muda itu.

"Ma-kau?" Thian-bun terkejut, mendadak ia pun berdiri dan menegas: "Mau apa ke sana?”

"Untuk menyelidiki duduknya perkara yang sebenarnya,”

jawab Peng-say.

Bok Jong-siong manggut2, katanya: "Ya, hanya ke Makau saja segala persoalannya dapat diselidiki dengan jelas.

Cuma kukira apa pun juga tidak nanti Tonghong Put-pay mau membeberkan rahasianya kepadamu, kepergianmu seorang diri ini perlu dipikirkan dengan masak2.”

"Demi menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya musibah yang menimpa perguruanku, terpaksa Wanpwe menyerempet bahaya tanpa menghiraukan urusan lain,”

jawab Peng-say.

Si kakek kecapi menggeleng kepala, katanya pula: "Tonghong Put-pay ini sangat jahat dan licin, tidaklah mudah bagimu untuk memancing pengakuan dari mulutnya. Akan lebih baik jika kau tunggu lagi setahun dua tahun. bila kekuatan Sam-yu kami sudah terpupuk lebih kuat, biarlah kami pergi bersamamu agar kau tidak menghadapi bahaya seorang diri. Tapi sekarang kekuatan Sam-yu belum cukup kuat untuk menghadapi Ma-kau, kuharap Sau-lote dapat bersabar samentara waktu.”

"Ya, betul juga," berbareng Thian-bun dan Ting-sian mendukung usul kawannya.

"Terima kasih atas maksud baik Sam-lo," kata Peng-say.

"Tapi Wanpwe sudah memutuskan akan pergi sekarang juga, bukannya aku kepala batu, soalnya ingin cepat2 mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Soal bahaya, biarlah Wanpwe sedapatnya menghindari kontak langsung dengan Ma-kau.”

"Apakah kau takkan langsung mencari Tonghong Putpay?" tanya Bok Jong-siong, "Kungfu iblis ini memang maha sakti, kalau tidak perlu, demi keselamatanku sendiri tentunya kuhindari bertemu dengan dia.”

"Tapi kalau tidak langsung kau temui dia, cara bagaimana akan kau dapatkan keterangan yang sebenarnya?" ujar Bok Jong-sion. "Hendaknya diketahui bahwa tindak-tanduk Tonghong Put-pay biasanya sangat hati2, jika benar dia sendiri yang membunuh segenap anggota perguruanmu, mungkin tiada orang kedua lagi yang tahu kejadian ini.”

"Maksud Bok-lo, dia sendiri yang langsung membunuh ayahku dan lain2?" tanya Peng-say "Kalau bukan dia sendiri, tiada orang kedua lagi di Ma-kau yang memiliki Ginkang begitu tinggi dan mampu menyusup ke Lam-han tanpa diketahui oleh Leng Tiong cik dan para Suhengmu. Jika dia turun tangan sendiri. hal ini menandakan dia sangat memandang panting urusan ini, untuk menghindarkan rahasia tindakan diketahui orang, sangat mungkin hanya dia sendiri yang turun tangan.”

"Ya, memang dia sendiri saja yang mampu membunuh segenap anggota perguruanku." kata Peng-say setelah termenung sejenak. "Tapi Wanpwe tidak percaya bahwa peristiwa ini ditutupnya rapat2 hingga anak perempuannya juga tidak diberitahu,”

"Apa katamu" Jadi kau takkan mencari Tonghong Putpay melainkan akan mencari anak perempuannya?" seru Thian-bun Totiang "Ya, kupikir selain langsung mencari Tonghong Put-pay, jalan lain hanya cari anak perempuannya saja kalau aku ingin tahu duduknya perkara yang sebenarnya," kata Peng-say.

Bok Jong-siong mengangguk: "Betul juga, dari anak perempuannya itu kukira juga dapat dikorek keterangan yang diharapkan. Cuma untuk menanyai Tonghong Kui-le, bahayanya juga tidak lebih sedikit daripada langsung mencari Tonghong Put-pay.”

"Ah, masa begitu," ujar Thian-bun, "Kungfu anak perempuan itu mana dapat dibandingkan dengan ayahnya”

Kuyakin budak itu pasti bukan tandingan Sau-sicu.”

"Sesungguhnya, dengan kemampuan Sau-lote sekarang memang tidak perlu gentar lagi terhadap Tonghong Putpay," kata Bok Jong-siong. "Paling2 Sau-lote bukan tandingannya, tapi untuk menyelamatkan diri jauh daripada cukup. Tapi untuk menghadapi seluruh kekuatan Ma-kau, hendaklah sedapatnya Sau-lote menghindari kontak langsung dengan Ma-kau, hendaklah merahasiakan jejak dan jangan sampai kepergok Tonghong Put-pay dan kedua anak perempuannya.”

"Wah, kalau begitu, lalu kepada siapa Sau-sicu akan mencari keterangan?" Thian-bun.

"Menurut pendapatku, sebaiknya......”

Belum lanjut ucapan Bok Jong-siong. dengan tertawa Peng-say menukas: "Jangan kuatir Bok-lo, ku kira tidaklah berbahaya jika kutemui Tonghong Kui-le.”

"Apakah dia tidak bakal membongkar asal usulmu bila melihat kau?" tanya Bok Jong-siong.

"Wanpwe percaya dia takkan membikin susah padaku,”

jawab Peng-say pasti.

"Oo?" Bok Jong-siong menjadi ragu2, ia pikir jangan2 anak muda ini ada hubungan istimewa dengan nona Tonghong itu. Maka iapun tidak banyak omong lagi.

Padahal antara Peng-say dan Tonghong Kui-le tidak ada sesuatu hubungan istimewa apapun. Bahkan merekapun baru bertemu satu kali saja. Cuma Peng-say mempunyai firasat dan percaya bilamana bertemu lagi tentu Tonghong Kui-le takkan memandangnya sebagai musuh, sama halnya ketika Tonghong Put-pay muncul menolong kedua puterinya itu, yang dipikir Peng-say hanya merintangi pertolongannya kepada Tonghong Kui-jin dan tidak mencegah Tonghong Kui-le akan ditolong ayahnya, malah dalam lubuk hatinya ia justeru berharap Tonghong Kui-le lekas2 dibawa pergi. Maka Peng-say lantas berkata pula: "Terhadap seluk-beluk Mo-kau, sama sekali Wanpwe tidak tahu, sebelum berangkat, kuharap Sam-lo sudi memberi petunjuk seperlunya.”

Bok Jong-siong lantas menguraikan susunan organisasi Ma-kau. dibawah pimpinan sang Kaucu terdapat Su-taytianglo atau empat tertua, di bawahnya lagi terdapat Ngoheng-tong, lima seksi yang dibagi menurut lima unsur, yaitu air, api. emas, kayu dan bumi. Kungfu para Tongcu atau kepala Ngo heng-tong itu tidak seberapa hebat yang lihay adalah barisannya yang mahir mengepung musuh dan sukar untuk lolos. Di antara Su-tay-tianglo itu termasuk pula Kik Yang, sekarang Kik Yang sudah mati sehingga tiga orang tertua saja, ilmu silat mereka rata2 tergolong kelas satu, meski tidak selihay kaucu sendiri, yaitu Tonghong Put-pay, tapi semuanya memiliki ilmu gaib sehingga Peng-say diminta menaruh perhatian terhadap mereka.

Lalu Bok Jong-siong menjelaskan ilmu andalan ketiga Tianglo itu disertai kemahiran perang dari pasukan Ma-kau di bawah pimpinan Ngo hong-tong.

Sudah tentu pengetahuan susunan organisasi Ma-kau itu sangat berfaedah bagi Sau Peng-say, tapi sekarang bukan maksudnya hendak perang dengan Ma-kau, yang perlu segera diketahuinya adalah hal2 yang paling utama, maka dengan ragu2 ia bertanya; "Entah di.....di manakah letak markas Ma-kau itu?”

"Hah, masa tempat Ma-kau saja tidak tahu?" seru Thian-bun heran.

Peng-say merasa kikuk, jawabnya: "Pengetahuan Wanpwe memang sangat cetek, meski sudah beberapa tahun berkelana di dunia Kauouw, tapi.....tapi jarang ikut campur urusan besar sehingga pengetahuanku sangat terbatas......”

"Kau pun tak dapat disalahkan," ujar Bok Jong-siong dengan tertawa. "Ma-kau memang sebuah organisasi rahasia, jangankan kau tidak banyak ikut campur urusan Kangouw, sekalipun orang Kangouw kawakan juga cuma tahu anggota Ma-kau tersebar di-mana2 namun jarang yang tahu seluk-beluk Ma-kau yang sebenarnya. Berbeda dengan golongan kita, lantaran kita bermusuhan langsung dengan Ma-kau, dengan sendirinya keadaan musuh harus ketahui se-jelas2nya.”

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung: "Ma-kau berasal dari negeri asing, dari wilayah barat merembes ke Tionggoan, sebelumnya markas mereka berada di daerah Sinkiang, jadi sebenarnya sekampung halaman dengan Ngo-hoa-koan. Tapi itu gunung tidak mungkin ada dua raja hutan, sebab itulah anggota Ma-kau dan orang Say-koan sampai sekarang tetap bermusuhan, keduanya saling gencet dan ingin menghancurkan lawan. Kira2 baru 23 tahun markas Ma-kau pindah kedaerah Tionggoan dan bercokol di Cong-lam-san yang terletak di selatan kota Si-an. Pesat juga ajaran mereka, rupanya Tonghong Put-pay tidak tahan hidup kesepian di pegunungan dan ingin juga menikmati kehidupan di dunia ramai, maka dia telah pimpin anak buahnya masuk ke kota Si-an. Meski secara resmi pihak yang berwajib melarang berdirinya Ma-kau (agama Ma atau paham Mani berasal dari Persia), namun kota Si-an dan hampir seluruh wilayah Siamsay telah menjadi pangkalan Ma-kau yang kuat. Jika sekarang kau pergi ke tempat Makau sana, kau harus melalui propinsi Holam dan Hopek, di sana masih termasuk wilayah pengaruh Tionggoan-samyu kita, maka dapat kau jelajahi dengan aman, diam2 anak murid kita tentu akan memberi bantuan padamu. Tapi setelah masuk ke wilayah Soasay. maka kau perlu hati2 dan waspada sebab kebanyakan orang Kangouw di daerah ini diam2 ada hubungan dengan Ma-kau. -Maju lagi adalah wilayah Siamsay,di sana boleh dikatakan termasuk dunianya Ma-kau, kau mesti tambah hati2 dan jangan sekali2 menimbulkan curiga orang. Sebaiknya jangan membawa senjata, berdandanlah sebagai rakyat jelata, ditambah lagi Lwekangmu sudah sempurna, tentunya tidak mudah dikenali sebagai orang persilatan.

Jika sepanjang jalan aman dan sampai di Si-an, tentu tidak sulit bagimu untuk menemukan jejak musuh, sebab setiap orang yang agak lain daripada rakyat biasa di kota itu pastilah anggota Ma-kau. Mengenai markas besar Ma-kau memang sukar disebut, kelinci saja membuat lubang sarang se-banyak2nya, apalagi Ma-kau yang licik itu. Untuk mencarinya diperlukan kecerdasanmu sendiri, pokoknya kau harus waspada dan gesit.”

Peng-say mengucapkan terima kasih atas keterangan itu lalu ia mohon diri dan berangkat.

Dari Soatang ia masuk ke propinsi Hopak, beberapa hari kemudian ia sudah sampai di Holam, sepanjang jalan orang persilatan yang ditemuinya hampir seluruhnya memakai baju bertanda pengenal Tionggoan-samyu, yaitu pakai gambar cemara, bambu dan sakura.

Setelah masuk wilayah Soasay, Peng-say tidak berani melarikan kudanya terlalu cepat, ia pun ganti baju sebagai seorang pelajar, tapi sayang membuang kedua pedangnya yang sudah biasa digunakan, apa lagi tanpa membawa senjata, bila ketemu musuh cara bagaimana akan membela diri" Maka kedua pedang itu dibungkusnya bersama dengan uang perak dan pakaian sehingga berwujud satu bungkusan panjang, lalu ditaruh di belakang pelana kuda. Ia pikir seumpama orang mengetahui dia membawa senjata, melihat dandanannya sebagai seorang Suseng (kaum pelajar) yang membawa pedang, mungkin orangpun takkan curiga. Kalau berdandan sebagai Suseng, maka meski berlagak lemah-lembut dan sopan santun. maka pelahan Peng-say menjalankan kudanya, hanya terkadang saja kudanya dilarikan, itupun terbatas kecepatannya. Berbeda dengan orang Kangouw yang kasar, bila melarikan kudanya tentu berpacu dan menimbulkan debu tebal.

Jinghoa adalah sebuah kota kecil di perbatasan Holam dan Soasay, baru sampai disini Peng-say lantas merasakan gelagat tidak enak. Ia merasakan sebuah kereta kuda selalu mengintil di belakangnya. jika kereta itu tidak sengaja menguntitnya, tidak seharusnya jaraknya selalu bertahan sekian jauhnya. Apalagi umumnya penumpang kereta itu ingin cepat2 sampai ditempat tujuan, mengapa kereta tidak dilarikan secepatnya”

Ketika Peng-say berhenti bersantap di Jinghoa. ia lihat kereta kuda itu lalu kesana dengan pelahan dan tidak ikut berhenti. Diam2 ia mentertawakan dirinya sendiri yang terlalu perasa.

Habis makan ia melanjutkan perjalanan pula. Tidak lama, dilihatnya kereta kuda tadi berhenti dibawah pohon rindang di tepi jalan sana. "Hah, bukankah aku yang sedang ditunggu?" demikian ia membatin.

Tapi iapun tidak berani memastikannya, bukankah kuda penarik kereta itu telah dilepas dan sedang makan rumput disamping sana" Apalagi orang berhenti mengaso dibawah pohon kan juga kejadian biasa”

Waktu lalu disamping kereta itu, Peng-say sengaja turun dari kudanya, ia mengusap keringat sambil berguman sendiri: "Wah, alangkah panasnya!" Seperti tidak sengaja, ia melirik ke dalam melalui jendela yang terbuka, sekilas dilihatnya bayangan seorang Nikoh didalam. Kusir kereta itu adalah seorang tua kurus, ia menanggapi gerundelan Peng-say tadi: "ya, hawa bulan enam ini panasnya memang luar biasa.”

Peng-say hanya tertawa saja, segera ia menaiki kudanya dan melanjutkan perjalanan. Dia tidak curiga lagi, walaupun tidak lama kemudian kereta tadi kembali menyusulnya. Petangnya sampailah dia di kota Yang-sia, bila maju lagi akan sampai di pegunungan Tiong-tiau, didepan kelihatan jelas lereng gunung ber-deret2.

Karena jalan pegunungan lebih sulit dilalui, hampir kebanyakan tamu sama berhenti di Yang-sia, begitu pula Peng-say, ia lantas mencari hotel untuk bermalam.

Esoknya pagi2 sekali Peng-say sudah bangun, kebanyakan tamu masih tidur lelap, ia kuatir mengejutkan Nikoh yang bermalam di kamar depan sana, maka diam2 ia membayar rekening hotel dan menyuruh pelayan membukakan pintu terus berangkat.

Kabut pagi masih tebal, meski musim panas hawa terasa sejuk juga, Peng-say melarikan kudanya lebih cepat, tak lama kemudian mulailah menanjak jalan pegunungan, akhirnya dapatlah ia melintasi pegunungan itu, sementara hari sudah terang benderang.

Setiba di jalan datar, segera Peng-say melarikan kudanya lagi, ia pikir setelah sejauh ini, orang yang dikirim Sam-lo itu pasti sudah ketinggalan.

Rupanya kemarin setelah mengetahui penumpang kereta itu adalah seorang Nikoh, maka ia mengira pasti anak murid Siong-san-pay yang sengaja dikirim Sam-lo untuk melindunginya. Siangnya sampailah dia di Bun-hi, suatu kota agak besar.

Sejak pagi Peng-say belum sarapan, perutnya sudah keruyukan. Maka begitu melihat rumah makan segera ia turun dari kudanya dan menyuruh jongos memberi makan kepada kudanya, ia sendiri lantas naik ke atas loteng restoran itu. Tapi begitu sampai di atas, Peng-say jadi terkejut: "Aneh, mengapa dia bisa berada disini lebih dulu?”

Kiranya Nikoh penumpang kereta itu dilihatnya sudah berduduk didekat jendela, meski Nikoh itu duduk menghadap kesana, tapi dari bayangan punggungnya segera dikenalnya sebagai Nikoh kemarin itu.

Kalau Peng-say melenggong memandangi Nikoh itu, tak diperhatikannya bahwa disamping sana ada dua lelaki juga telah melihat kedatangannya, cuma kedua orang itu cepat2 menunduk kepala dan memakai sesuatu pada muka masing2, jelas mereka takut dikenali Peng-say.

Kalau Peng-say tidak melihat perbuatan kedua orang itu.

namun si Nikoh tejah dapat melihat semuanya itu.

Agaknya kedua orang itu tetap kuatir dikenali Peng-say, mereka meningalkan sepotong uang perak di atas meja, lalu ber-gegas2 berbangkit dan meninggalkan restoran itu.

Ketika mereka lewat disamping Peng-say, sekilas anak muda itu dapat melihat kedua orang ini bermuka bopeng.

Tempat yang ditinggalkan kedua orang itu berjajar dengan tempat duduk si Nikoh, agar dapat melihat wajah orang lebih jelas, Peng-say lantas menuju ke tempat duduk itu.

Segera pelayan mendekatinya untuk membersihkan meja sambil tanya santapan apa yang dikehendaki tamunya.

Peng-say minta seadanya disediakan dua macam sayur dan satu porsi kuah. Diam2 ia melirik si Nikoh, tapi sayang, muka orang tertutup kain cadar, kain tipis penutnp muka untuk menahan debu, yang kelihatan cuma matanya saja sehingga sukar dikenali.

Di meja Nikoh itu tertaruh semangkuk mi dan dan dua mangkuk sayur dan tahu, isi mangkuk sudah tinggal separoh, agaknya sejak tadi orang sudah makan kenyang.

Peng-say melongok keluar jendela, ternyata setiap orang yang berlalu lalang di bawah dapat terlihat jelas dari atas.

Tergerak hatinya, pikirnya: "Habis makan dia tidak terus berangkat, jangan2 dia sengaja menunggu aku untuk kemudian menguntit lagi?”

Mestinya Peng-say bermaksud menyapa si Nikoh untuk menjelaskan bahwa dirinya tidak memerlukan perlindungan, namun Nikoh itu sama sekali tidak memandang kearahnya, hakikatnya seperti tidak tahu bahwa di sebelahnya berduduk seorang Sau Peng-say.

Dengan sendirinya Peng-say tidak berani sembarangan menyapa, bila orang tidak menggubrisnya, kan runyam”

Apalagi belum pasti juga apakah Nikoh ini orangnya Samlo. Menurut perkiraan Peng say, sebabnya si Nikoh dapat mendahuluinya sampai disini, tentu waktu dia meninggalkan hotel tadi sempat diketahui olehnya, Tapi cara bagaimana pula orang mendahuluinya kesini”

Kecepatan kereta kuda jelas tidak dapat menyusulnya, apalagi di bawah sana juga tidak terdapat kereta, lalu apakah orang menggunakan Gin-kang untuk menyusulnya”

Jika demikian halnya, maka kehebatan Ginkang si Nikoh sungguh sangat mengejutkan.

"Bisa jadi dia Sumoaynya Ting-sian Suthay, kalau tidak mana bisa mempunyai Ginkang setinggi ini?" demikian pikir Peng-say.

Jago yang dikirim Sam-lo untuk melindunginya sudah tentu tokoh seangkatan dengan ketiga orang tua itu, maka Peng-say yakin si Nikoh pasti Sumoay atau adik seperguruan Ting-sian Suthay. Iapun heran Ting-sian yang sudah tua itu masih mempunyai Sumoay semuda ini”

Dari dahi orang yang kelihatan diluar kain cadar itu, Peng-say memperkirakan umurnya baru likuran saja.

Pada saat itulah pelayan datang membawakan santapan pesanan Peng-say. Nikoh itu seperti sengaja menghindari pandangan Peng-say, pada saat pandangan Peng-say teraling2 oleh si pelanan, cepat si Nikoh lantas meninggalkan restoran.

Waktu Peng-say tahu apa yang terjadi, terpaksa ia hatinya melongo saja menyaksikan kepergian Nikoh itu.

Habis makan, Peng-say meninggalkan restoran itu, lebih dulu ia pandang kanan kiri jalan benar juga, dilihatnya sebuah kereta menunggu disana. Bukan kereta yang kemarin. mungkin baru disewa.

Peng-say terus melarikan kudanya dengan pelahan, benarlah kereta itu lantas menyusul kearahnya. Ia ragu apakah mesti membentaknya agar Nikoh itu pergi saja”

Tapi segera ia merasa tidak pantas berbuat demikian jangankan orang mungkin adalah Sumoay Ting-sian Suthay, seumpama murid Ting-sian juga tidak boleh membentaknya pergi secara kasar.

Tapi kalau Nikoh itu tidak disuruh pergi rasanya tidak enak kalau selalu dikintil orang. ber-ulang2 Peng-say menoleh. satu kali dilihatnya kebelakang kereta si Nikoh terdapat pula dua orang penguntit penunggang kuda, meski mereka menguntit dari jauh dan main sembunyi2, namun dapatlah Peng-say mengenali mereka adalah kedua orang bermuka bopeng yang meninggalkan restoran lebih dulu tadi. "Tidak mungkin akulah yang dikuntit." Demikian pikirnya. Tapi segera teringat olehnya "Ah, sepuluh orang bopeng sembilan diantaranya pasti gasang, jangan2 mereka ini adalah tukang mengganggu perempuan dan sekarang mereka sedang mengincar Nikoh muda ini?”

Sekarang ia berbalik kuatir bagi keselamatan Nikoh itu.

Setiba di satu kota berikutnya, ia berhenti didepan sebuah hotel, ia turun dari kudanya dan menunggu, kereta tadi juga berhenti di depan hotel, dengan maksud baik ia mendekati pinggir kereta dan membisik ke dalam: "Suhu di dalam kereta ini, malam nanti hendaklah waspada, ada dua orang yang mencurigakan menguntit jejakmu.”

Terdengar Nikoh di dalam kereta hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya.

Karena tidak mendapat tanggapan orang, Peng-say merasa risi, ia pikir orang kan jagoan, masa perlu kuikut kuatir" Salah sendiri cari penyakit.

Di hotel itu. tengah malam tiba2 didengarnya suara genteng bergerak, ia tahu datanglah gituan. Cepat ia melompat bangun dan pasang kuping untuk mendengarkan apa yang terjadi di kamar sebelah.

Kiranya kamar Nikoh itu kebetulan bersebelahan dengan dia, Peng-say merasa kuatir, maka sejauh itu belum tidur.

Syukurlah dugaannya tidak meleset, yang di-tunggu2 itu benar2 datang. Dia hanya berkuatir bagi orang lain, sama sekali ia tidak memikirkan dirinya sendiri terancam bahaya atau tidak, ia hanya memperhatikan keadaan kamar sebelah dan lupa memperhatikan kamarnya sendiri.

Ketika mendadak didengarnya diluar jendela kamar sendiri berbunyi "blak-bluk", waktu ia menengadah, terkejutlah dia. Kiranya kertas jendelanya itu telah dilubangi orang dengan air ludah, jelas ada orang bermaksud menjulurkan alat peniup obat bius.

Cepat ia membuka jendela dan melompat keluar, Apa yang dilihatnya membuat dia merasa malu sendiri. Segera ia menjinjing kedua maling yang menggeletak tak berkutik didepan jendela itu ke dalam kamar, setelah diperiksa, siapa lagi kalau bukan kedua orang bopeng itu.

"Plak-plok", kontan Peng-say menempeleng kedua orang itu sembari membentak dengan suara tertahan: "Bangsat! Siapa yang suruh kalian meniup dupa bius ke sini?”

Pada saat itulah tiba2 dari luar jendela setitik sinar menyambar masuk, cepat Peng-say menangkapnya, Waktu diperiksa, kiranya sepulung kertas, dibukanya kertas kecil itu, diatasnya tertulis: "Bangsat itu memakai keduk kulit manusia, selanjutnya kau sendiri harus hati2.”

Peng-say menyengir sendiri sambil garuk2 kepalanya yang tidak gatal, terpaksa ia berseru ke kamar sebelah: "Terima kasih!”

Segera ia menarik kedok salah seorang bopeng itu, jeritnya tertahan: "He, kau, Ci Ci-hiong!" Waktu kedok seorang lagi juga ditarik. dengan gusar lantas ia menjengek: "Aha, selamat bertemu. Ji-tayhiap! Sudah hampir tiga tahun kita tidak bertemu setelah berpisah di Kun-giok-ih dahulu!”

Kiranya seorang lagi ialah Ji Ci-eng, murid tertua Ciamtay Cu-ih, Dahulu Ji Ci-eng dan Ci Ci-hiong ikut Ciamtay Cu-ih menggeledah rumah pelacuran Kun-giok-ih ketika mereka hendak mencari Gi-lim. Di rumah pelacuran itulah mereka menemukan Sau Peng-lam sedang mengeloni perempuan.

Hampir saja Ciamtay Cu-ih membinasakan Peng-lam apabila waktu itu Peng-say tidak keburu berteriak diluar dan memakinya.

Waktu Ciamtay Cu-ih berhasil menyusul Peng-say, Ji Cieng disuruhnya membunuh Peng-say, tatkala mana ilmu silat Peng-say sangat rendah, baru saja pedang terhunus golok Ci-eng sudah mengancam lebih dulu di depan dadanya dan hampir saja membuat jiwanya melayang.

Kemudian setelah Peng-say membuka samarannya sebagai si bungkuk cilik sehingga kelihatan wajah aslinya, tentu saja wajah Peng-say itu selalu di-ingat2 oleh Ci-eng dan Ci-hiong. Kebetulan siang tadi mereka melihat anak muda itu muncul di restoran Bun-hi, cepat Ci-eng berdua memakai kedoknya dan meninggalkan restoran, diam2 mereka menguntit perjalanan Peng-say dan bermaksud menawannya dengan obat bius. Tak terduga, usaha mereka gagal. sebaliknya mereka sendiri ditutuk roboh oleh si Nikoh. Begitulah, dengan memejamkan mata Ji Ci-eng menjawab: "Sayang di Kun-giok-ih dahulu gagal kubunuh kau, sekarang aku yang jatuh di tanganmu, nasibku sendiri yang buruk, mau bunuh lekas bunuh, mau sembelih boleh sembelih. tidak perlu banyak omong.”

"Jika kubunuh kau begini saja tentu kau penasaran," kata Peng-say. "Kepandaianku dahulu jauh di bawahmu sehingga sekali gebrak saja lantas kalah. Sekarang boleh kita bertanding lagi secara terbuka. coba saja siapa yang lebih unggul agar kau tidak mati penasaran.”

"Hm, kutahu sekarang kau sangat hebat, sampai-sampai guruku pun rada2 jeri padamu," jengek Ci-eng. "Tapi, kalau kau memang lihay, kenapa tidak coba bertanding dengan guruku?" "Hah, Ciamray Cu-ih berada dimana" Lekas katakan!”

teriak Peng-say dengan gusar sambil mengertak gigi.

"Beliau berada tidak jauh dari sini dan sedang menunggu kedatangan kami dengan mengundang dirimu," jawab Ci-eng.

"Mengundang diriku dengan cara yang kotor seperti tadi?" ejek Peng-say dengan menyeringai.

"Baiklah, anggap saja kepandaianmu terlalu lihay, dan anggaplah kami takut kepadamu dan tidak berani mengundang secara terang2an, terpaksa menggunakan cara begitu. Nah. puas?" jawab Ci-eng dengan ketus.

"Padahal, hm, tidak perlu kalian 'mengundang' segala,”

jengek Peng-say. "Bangsat tua Ciamtay Cu-ih telah memperkosa dan membunuh Piaumoayku, betapa dendamku kalau bisa ingin kuganyang dagingnya mentah2.

Kebetulan dia berada disini sekarang, akan kulabrak dia mati2an." "Ayolah berangkat, hanya bicara saja apa gunanya"!”

kata Ci-eng. Segera Peng-say menyandang kedua bilah pedangnya, ia jinjing tubuh Ci-eng dan Ci-hiong dengan satu tangan satu orang, dengan petunjuk Ci-eng berlarilah dia keluar kota.

Setiba di suatu perkampungan, dilihatnya di ruangan tengah sebuah gedung megah lampu menyala terang benderang, langsung ia masuk ke sana.

Mendengar suara langkah orang, terdengar suara Ciamtay Cu-ih bertanya dari dalam: "Apakah Ci-eng yang pulang?”

"Suhu!" teriak Ci-eng.

"Bangsat cilik itu berhasil kau tangkap atau tidak?" tanya Ciamtay Cu-ih pula.

"Sudah tertangkap, tapi kedua bangsat muridmu inilah,”

tukas Peng-say.

"Hahaha!" Ciamtay Cu-ih bergelak tertawa. "Masuklah, silakan masuk! Memang sudah kuduga kedua muridku yang tak becus itu takkan mampu meng-apa2kan dirimu. Eh, sehat2 sajakah ayahmu si Sau Ceng-hong?”

Padahal Sau Ceng-hong sudah terbunuh, mustahil dia tidak tahu. Jelas ucapannya itu hanya untuk menyindir saja.

Peng-say tidak menjadi gusar, sebaliknya malah heran: "Aneh, darimana bangsat tua ini mengetahui siapa ayahku?" Tentang rahasia asal-usul Peng-say memang sudah dibeberkan di Thay-san ketika dia berhadapan dengan Tionggoan-sam-lo, tapi tidak mungkin tersiar kedunia Kangouw secepat ini, apalagi Sam-lo tahu dia akan mendatangi Ma-kau untuk menuntut balas, tentu rahasia pribadinya itu akan di jaga rapat, anak muridnya pasti dilarang menyiarkannya.

Selain itu, yang tahu asal-usul Peng-say hanya Soat Koh saja, apakah mungkin nona itu telah ditawan oleh Ciamtay Cu-ih”

Teringat pada kemungkinan terakhir ini, Peng-say menjadi rada kuatir.

"Eh, kenapa tidak lekas masuk kemari?" terdengar Ciamtay Cu ih berseru pula. "Disini sudah tersedia arak dan ada juga perempuan cantik, sudah kusiapkan perjamuan untuk merayakan kedatanganmu ini.”

Dia sengaja mengucapkan istilah "perempuan cantik”

dengan lebih keras, hal ini membuat Peng-say tambah curiga, jangan2 yang dimaksud ialah Soat Koh”

"Ayolah, masuk sini," seru Ciamtay Cu-ih pula. "Kalau takut, boleh lekas pulang saja sana!”

Dengan gregetan mendadak Peng-say membanting Cieng dan Ci-hiong ke tanah, bentaknya: "Bangsat tua, akan kutagih nyawa adik Leng padamu!”

Berbareng itu ia terus melompat masuk kedalam.

Dilihatnya sebuah meja perjamuan sudah disiapkan ditengah2, Ciamtay Cu-ih berduduk sendirian di ujung sana, di sebelahnya ada sebuah kursi besar yang kosong dan tiada tempat duduk ketiga lagi, kursi kosong itu se-akan2 memang sengaja disediakan untuk kedatangan Peng-say.

"Silakan duduk, silakan!" kata Ciamtay Cu-i dengan tertawa sambil menunjuk kursi kosong itu.

Sudah tentu Peng-say tiada minat makan-minum dengan dia, segera ia melolos kedua pedangnya dan membentak: "Bangsat tua, tahukah kau adik Leng telah membunuh diri karena telah kau nodai"!”

Ciamtay Cu-ih tertawa, jawabnya: "Di dunia ini penuh perempuan cantik, mati satu masih ada seribu, kenapa mesti dipikir" Ayolah, silakan duduk, marilah kita sembari makan sambil bicara. Habis bicara, kujamin akan mengganti rugi adik Leng itu dengan sepuluh gadis yang lebih cantik.”

Peng-say menengadah dan tergelak, teriaknya, "Bangsat tua, membunuh orang harus mengganti nyawa. Sekarang juga kuhendak ambil kepalamu!”

"Boleh saja, silakan, silakan duduk dulu, segala urusan boleh dibicarakan lagi nanti," ujar Ciamtay Cu-ih.

"Tapi sekarang juga hendak kuambil kepalamu!" bentak Peng-say sambil mengacungkan pedangnya.

"Apakah kau tidak sudi makan minum dulu bersamaku?”

tanya Ciamtay Cu-ih, "Aku tidak berminat!" jawab Peng-say ketus "Lalu apakah berminat mendengarkan ceritaku cara bagaimana kutahu Sau Ceng-hong adalah ayah-mu?”

Hal ini memang sangat ingin diketahuinya, maka Pengsay bertanya: "Siapa yang memberitahukannya padamu?”

"Seorang perempuan!" jawab Ciamtay Cu-ih dengan lagak misterius.

"Perempuan she Soat?" Peng-say menegas dengan agak tegang.

"Apakah Soat Koh yang kau maksudkan?" tanya Ciamtay Cu-ih Tangan Peng-say sudah basah keringat dingin, dengan tersendat ia bertanya: "Di..... di mana dia sekarang?”

"Dari mana kutahu?" jawab Ciamtay Cu-ih dengan mendelik. "Sampai saat ini belum lagi kutemui dia untuk menuntut balas sakit hati anakku yang dibunuhnya itu.”

Diam2 Peng-say menghela napas lega, tanyanya kemudian dengan heran: "Habis siapa yang memberitahukan padamu kalau bukan Soat Koh?”

"Duduk, ayolah duduk dulu, sembari makan sambil mengobrol, kalau berminat boleh ikut makan jika takut keracunan boleh tidak makan, setelah makan kenyang dan puas mengobrol barulah kita berkelahi dengan baik2, bila mampu boleh kau ambil kepalaku ini.”

"Baik, akan kutunggu kau," kata Peng-say sembari berduduk dikursi kosong itu.

Melihat anak muda itu sudah berduduk, dengan tertawa barulah Ciamtay Cu-ih berkata: "Nah begini barulah enak.

Kau muncul lagi di dunia Kangouw, tentunya Siang-liukiam-hoat sudah lengkap kau pelajari" Bicara terus terang, Siang-liu-kiam-hoat itu memang tak dapat kutandingi, kalau tekadmu sudah bulat hendak membalaskan sakit hati adik Leng-mu, rasanya aku pun tidak sanggup melawan kau, Harap kau beri kesempatan padaku agar makan kenyang lebih dulu, andaikan sebentar lagi aku harus mati di tanganmu, di akhirat nanti akupun tidak akan menjadi setan kelaparan.”

"Boleh kau makan sekenyangmu," jengek Peng-say.

"Kapan kau selesai makan, saat itu pula kita mengadu nyawa.”

Segera Ciamtay Cu-ih mengangkat sumpit didepannya, tangan yang lain menunjuk santapan yang tersedia di atas meja, katanya: "Ayolah silakan makan, jangan sungkan2.”

"Hm, aku tidak makan barang musuh!" jengek Peng-say ketus.

"Tampaknya kemenangan sudah pasti berada di tanganmu sehingga boleh kau tidak makan, tapi aku adalah tuan rumahnya, sopan santun tidak boleh dikesampingkan.

mau makan atau tidak terserah padamu. yang penting kewajiban sebagai tuan rumah sudah kulaksanakan," habis itu mendadak ia bertepuk tangan sambil memanggil: "Ayolah kemari. tuangkan arak bagi Sau-kongcu!”

Terdengar suara gemerincing sebangsa perhiasan gelang dan lain2 serta suara langkah kaki yang pelahan sedang mendatang. Dengan suara tertahan Ciamtay Cu-ih berbisik kepada Peng-say: "Aku baru saja membeli dua selir cantik, kukuatir aku tidak sanggup satu lawan dua, jika sekiranya adik merasa cocok, boleh silakan kau ambil-alih mereka. Kan sudah kunodai Piaumoaymu, jadi tidak perlu kita hitung untung ruginya. Haha, mungkin ini namanya timbal balik.

Sayang isteri kawinku sudah meninggal, kalau tidak-bila kau ambil-alih sekalian barulah asooi!”

Habis berkata ia menengadah dan ter-bahak2.

"Binatang!" damperat Peng-say.

Ciamtay Cu-ih tidak menghiraukan, katanya pula: "Tapi umpama isteri kawinku itu masih hidup saat ini tentunya juga sudah tante2, kukira juga tidak Cocok dengan selera anak muda seperti kau ini. Justeru kedua selirku yang baru ini, kutanggung kau akan suka salah satu di antaranya.”

Tengah bicara, terendus bau harum menusuk hidung, suara seorang perempuan berkata: "Loya-Ho-hoa akan melayanimu!" " Dari suaranya yang genit dan di-bikin2 itu, jelas seorang perempuan yang jalang.

Ciamtay Cu-ih memberi tanda dan berkata: ' Kau melayani Sau-kongcu saja, biar Sisi yang menuangkan arak bagiku.”

Perempuan itu mendekati Peng-say dan tertawa, katanya: "Kongcu, hamba menuangi arak bagimu!”

Namun Peng-say duduk diam saja, matanya memandang hidung, hidung menghadap ulu hati, seperti orang bersemadi. Kedatangan perempuan itu sama sekali tak dipandangnya. Namun bau harum yang menyebar dari tubuh orang mau-tak-mau terendus juga olehnya. ia berkerut kening.

Perempuan itu masih tidak tahu diri, diangkatnya poci arak dan menempelkan tubuhnya, seperti tidak sengaja ia gosok2kan dadanya di bahu Peng-say.

Anak muda itu menjadi gusar, bentaknya tertahan: "Hendaklah kau tahu diri! “

Mungkin terkejut, "brak", poci arak antik yang dipegangnya itu jatuh dan pecah berantakan.

"Ho-hoa," jengek Ciamtay Cu-ih, "menuang arak saja tidak becus, untuk apa kedua tanganmu itu?”

Dengan ketakutan Ho-hoa lantas berlutut, katanya dengan suara gemetar: "Hamba kurang.....kurang hati2, mohon......mohon ampun. Loya!”

Tapi Ciamtay Cu-ih tidak menggubrisnya, hanya berulang2 mendengus.

Ho-hoa mengalihkan permohonannya kepada Peng-say: "Tolong Kongcu, tolong jiwaku, Kongcu..”

Peng-say ingin tahu sandiwara apa yang akan mereka mainkan, maka ia tidak menggubris, melirik saja tidak.

Ho-hoa mengesot ke samping kaki Peng-say terus menyembah ber-ulang2 sambil memohon: "Sudilah Kongcu memintakan ampun bagiku, kalau,..-..kalau tidak, kedua tangan hamba ini tentu......tentu tamatlah, . . .,”

Karena yakin perempuan ini sedang main sandiwara belaka, maka diam2 Peng-say ber-jaga2 sikapnya tetap dingin saja tanpa menghiraukan ucapan orang.

"Sisi." kata Ciamtay Cu-ih kemudian kepada perempuan satunya lagi, "kau saja yang menuangkan arak bagi Sau-kongcu!”

Sisi lantas mendekati Peng-say, tapi anak muda itu tetap duduk diam seperti seorang pertapa sedang bersemadi.

Sopan juga Sisi itu, ia angkat poci arak yang lain dan menuangi cawan arak di depan Peng-say Mungkin kuatir menghancurkan poci seperti Ho-hoa, tangan Sisi tampak gemetar, lantaran itulah cara menuangnya jadi rada gugup, sebagian arak tercecer di atas meja.

Meski pandangan Peng-say lurus ke bawah, tapi gerakgerik Sisi yang menuang arak itu dapat dilihatnya, ia merasa kegugupan Sisi itu agaknya tidak di-buat2, mau-tak-mau ia merasa kasihan padanya. Pikirnya: "Ciamtay Cu-ih yang tua bangka ini berhati keji dan buas seperti binatang, mana dia tahu mengasihi perempuan cantik segala, tentu dia pandang selirnya sebagai hewan sehingga mereka sudah terbiasa takut padanya. Mungkin Ho-hoa bukan lagi main sandiwara, kalau sebentar ke dua tangannya benar2 dipotong oleh bangsat tua ini, hal ini tidak boleh terjadi di depanku.”

Didengarnya Ciamtay Cu-ih telah mendengus pula dan berkata; "Sisi, cara bagaimana kau menuang arak”

Pikiranmu me-layang2 kelain tempat, apa artinya kau hidup di dunia ini?”

"Tua bangka, jangan kau main kuasa secara se-wenang2 di depanku," tiba2 Peng say menjengek.

Ia menyangka Sisi juga akan berlutut untuk minta ampun kepada Ciamtay Cu-ih, maka ia berpaling dan berkata padanya: "Jangan takut ....' mendadak suaranya terputus, sambungnya dengan terkejut: "He, kau ....kau Liu Ji-si!”

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar