Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 31

Jilid 31

Rupanya waktu menulis surat Soat-koh juga dapat meraba pikiran Peng-say bila membaca sampai di sini, maka selanjutnya ia menulis: "Memang, ada maksud ibuku akan menukar kan kitab palsu ini padamu, padahal kitab yang tulen sudah lama dibakar oleh ibu, kitab palsu ini sengaja ditulis untuk ber-jaga2 kalau2 ada orang main rebut. Menurut pendapat ibu. bila tidak sanggup melawan, kitab palsu ini akan dapat menyelamatkannya, sedangkan kitab palsu inipun takkan berguna bagi si perampasnya. Perlu diketahui, ibu sama sekali tidak setuju jika kau membalaskan sakit hati Soh-hok-hancu yang telah membikin sengsara hidup ibumu itu, sebab itulah beliau tidak ber-sungguh2 akan mengajarkan Pedang Kanan padamu. Tapi aku tidak setuju dengan pendirian ibu itu, diam2 pernah kuputuskan akan merekam sejilid kitab asli bagimu untuk memenuhi janji ibu padamu. Akan tetapi tindak tandukmu sangat mengecewakan aku, kau terlalu banyak memikirkan untung-ruginya sehingga tidak berani menyatakan sikapmu dengan tegas, sungguh kau pengecut.

Kau sendiri yang me-nyia2kan kesempatan mendapatkan kitab aslinya, kesempatan ini tidak mungkin datang lagi. Hendaknya tidak perlu buang2 tenaga untuk mencari diriku, betapapun alasannya tidak nanti aku mau lagi merekam sejilid kitab aslinya untuk seorang pengecut dan munafik. Sudah tentu, jika kau berkeras akan mencari diriku juga tidak ada yang dapat merintangi kau, tapi ingin kukatakan padamu, segala ikhtiarmu hanya akan sia2 belaka, sekalipun dengan wajahmu yang menyeringai kudukku akan kau-ancam dengan pedangmu juga tetap takkan menggoyahkan pendirianku ini!”

Peng-say menggeleng kepala sehabis membaca surat itu, gumamnya: "Jangan kuatir, Soat-koh, aku Sau Peng-say bukanlah manusia yang tidak tahu malu!”

Dengan perasaan berat ia memandang sejenak keadaan di dalam gua, lalu ia mengundurkan diri dengan perasaan hampa. Ia bertekad akan menggunakan kedelapan jurus Siang-lui-kiam untuk menuntut balas kepada gembong2 Tang-wan dan Say-koan sekalipun harus mempertaruhkan nyawanya. Ingin menuntut balas, dengan sendirinya harus membalas dulu sakit hati sang ayah. Apalagi Ngo-hoa-koan terletak di Sinkiang, jaraknya lebih dekat dengan Kamciu, hanya belasan hari saja mungkin dapat mencapai tempat tujuan. Kalau pergi kelautan timur jelas akan lebih jauh.

Tapi yang dituju Peng-say sekarang justeru kearah timur.

Sungguh aneh, masa dia memilih tempat yang lebih jauh untuk membalas sakit hati Piaumoaynya”

Ternyata bukan begitu, betapapun Peng-say takkan mencari Ciamtay Cu-ih untuk mengadu jiwa. Hanya dengan delapan jurus Siang-liu-kiam-hoat yang dikuasainya tidak mampu membunuh Ciamtay Cu-ih. Jangan2 dia sendiri akan mati terbunuh dilautan timur sana, lalu siapa pula yang akan membalaskan sakit hatinya" Kalau mau mengadu jiwa harus dimulai mengadu jiwa dengan Ngohoa-koancu Coh Cu-jiu, jika beruntung tidak mati barulah nanti berusaha menantut balas bagi Piaumoaynya.

Hal inipun tidak boleh dikatakan dia tidak mementingkan sakit hati Piaumoaynyar sebab buktinya dia menuju ke timur lebih dulu.

Kiranya keberangkatannya ke jurusan timur adalah untuk minta bantuan kawan. Kalau ada yang membantu tentu akan jauh lebih baik daripada dia pergi sendirian ke Say-koan.

Lantas siapakah kawan yang hendak dimintai bantuan”

Kalau kawan itu tidak kuat, apa gunanya" Rupanya di Bulim sekarang telah berdiri satu kekuatan baru yang selain memusuhi Ma-kau juga ber lawanan dengan Say-koan.

Selama setahun dia mencari Soat-koh tempo hari, Pengsay mendengar kabar bahwa dunia persilatan yang tadinya terbagi menjadi dua pihak yang bermusuhan antara Ma-kau dan Ngo-tay-lian-beng atau Lima Besar, kini telah terpecah sehingga terbagi menjadi tiga pihak dan kekuatan ketiga itu dipimpin oleh Tionggoan-samyu, tiga serangkai tokoh Tionggoan. Seperti sudah diceritakan, Tionggoan-samyu terdiri dari Bok Jong-siong, si kakek kecapi, ketua Thay-san-pay.

Thian-bun Totiang, ketua Yan san-pay dan Ting-sian Suthay, si Nikoh penyair, ketua Siong-san-pay.

Tadinya ketiga perguruan terkenal itupun anggota "Lima Besar", tapi kini persekutuan lima besar itu sudah pecah dan bubar, kini di dunia Kongouw tiada sebutan Lima Besar lagi. Sejak Lam-han terbasmi oleh Say-koan. Tionggoansamyu lantas bermusuhan dengan Say-koan yang bermula adalah sesama anggota persekutuan.

Di dunia persilatan sekarang, kecuali Ma-kau yang tidak ada perubahan, kaum persilatan yang tergolong aliran "Ceng" atau asli kini telah pecah menjadi dua, satu golongan tetap di bawah pimpinan Say-koan, golongan lain adalah perserikatan antara Tionggoan-samyu ini.

Apa yang terjadi ini sebenarnya adalah kemalangan bagi golongan Ceng-pay di dunia persilatan, untung meski golongan Ceng-pay pecah menjadi dua, baik golongon yang dipimpin Say-koan yang terus memupuk kekuatan itu serta golongan yang dipertahankan oleh Tionggoan-samyu itu, keduanya tidak sampai ditumpas oleh Ma-kau yang tergolong Sia-pay atau golongan yang dianggap jahat.

Hanya kekuatan dan pengaruh Ma-kau sekarang tambah maju daripada semula.

Setelah kehilangan anggota sekutunya, yaitu Tionggoansamyu, demi memperkuat dirinya, tanpa penyaringan lagi Say-koan menerima anggata se-banyak2nya, dengan sendirinya cara memupuk kekuatan demikian banyak menimbulkan kerugian, karena diantara murid baru dengan sendirinya terdapat anasir2 jahat yang menimbulkan malapetaka bagi dunia persilatan tiada ubahnya seperti perbuatan Ma-kau.

Coh Cu-jiu hanya seorang gembong yang mementingkan dirinya sendiri, pada hakikatnya kekuatan Bu-lim di bawah pimpinannya itu sukar dibedakan antara golongan hitam dan putih, yang dipikirnya cuma merajai dunia Kangouw melulu. Sejak Tionggoan-samyu bertengkar dengan Say-koan, lambat-laun dapatlah mereka mengetahui wajah asli Coh Cu-jiu, mereka tahu bilamana kekuasaan orang ini berhasil tumbuh, di bawah pengaruhnya dunia persilatan pasti tidak pernah aman lagi. Daripada nanti dia tumbuh menjadi besar dan menimbulkan petaka bagi umum, akan lebih baik jika sekarang ditumpasnya, sekalipun untuk itu mereka harus berserikat dengan Ma-kau.

Akan tetapi Ma-kau juga bukan golongan baik, ditambah lagi Tionggoan-samyu turun temurun bermusuhan dengan Md-kau, belum pernah timbul pikiran mereka akan berserikat dengan Ma-kau, biarpun kekuatan mereka masih lemah, namun mereka tetap ingin menegakkan keluhuran dunia persilatan.

Singkatnya, dunia persilatan sekarang terdiri dari tiga kelompok besar yang saling gontok2an dan tidak kenal kompromi. Peng-say tidak tahu apa sebabnya Tionggoan-samyu bermusuhan dengan Say-koan, waktu itu dia sibuk mencari Soat-koh sehingga tidak sempat menyelidiki. Namun ia merasa gembira setelah tahu di dunia persilatan sekarang berdiri kekuatan ketiga itu. Ia pikir hal ini sedikitnya membuktikan tindakan Say-koan membunuh segenap anggota Lam-han yang menjadi sekutunya itu tidak dibenarkan oleh Tionggoan-samyu, bukan mustahil dari situ pula timbul bibit permusuhan mereka.

Kepergian Peng-say ini ingin menggabungkan diri dengan Tionggoan-samyu, bagi pribadinya dengan demikian akan mendapat bantuan untuk membalas sakit hati orang tua, bagi bepentingan umum juga dia dapat ikut menegakkan kebenaran dan keadilan Bu-lim, jadi sekali jalan dua tujuan.

Setiba di kota Cu-joan di daerah Soatang mau-tak-mau ia menjadi sangat terharu. Teringat olehnya dahulu ia menyamar sebagai orang bungkuk, kebetulan kepergok oleh anak murid ayahnya, tapi sekarang para Suheng itu tidak tertinggal seorangpun.

Waktu ia lalu dijalan yang terletak kediaman keluarga Wi, tanpa terasa ia masuk ke rumah minum yang terletak tidak jauh di situ, sampai lama ia mernandangi meja yang pernah diduduki rombongan Kiau Lo-kiat itu, sayup2 ia seperti mendengar suara tertawa si kera Kang Ciau-lin yang kocak itu.

Sampai lama ia melamun di situ, akhirnya ia menaruh uang minum di atas meja dan meninggalkan kedai minum itu. Dilihatnya gedung keluarga Wi itu masih tetap megah.

Rupanya sejak Wi Kay-hou mati, semua harta bendanya telah diambil-alih oleh Suhengnya, yaitu Bok Jong-siong, si kakek kecapi.

Sebenarnya Wi Kay-hou masih mempunyai seorang anak lelaki bernama Wi Kin, tapi bocah itu berjiwa pengecut, pada saat bahaya dia mengorbankan sang ayah demi mencari selamat sendiri. Karena itu setiap orang Thay-san-pay tidak lagi mengakui dia sebagai anak Wi Kay-hou dan tidak berhak menerima harta warisan sang ayah.

Untuk menghindarkan tuduhan orang luar, Bok Jongsiong tidak mengangkangi sepeserpun harta tinggalan Wi Kay-hou, semuanya menjadi milik Thay-san-pay, gedung keluarga Wi yang megah inipun dijadikan sebagai tempat tamu. Tionggoan-samyu diketuai oleh Bok Jong-siong, sejak Tionggoan-samyu bermusuhan dengan Say-koan, bila anak murid Sam-yu berkumpul, selalu tempat Thay-san-pay lni digunakan sebagai pangkalan.

Sebabnya Yan-san-pay disebut aliran Yan-san dan Siongsan-pay disebut aliran Siong-san adalah karena tempat kediaman ketua masing2 berada di Yan-san dan Siong-san, kedua gunung yang cukup ternama.

Kini demi pemusatan tenaga, "Ciu-to" atau Tojin arak Thian-bun Totiang serta "Si-ni" atau Nikoh penyair Ting-sian Suthay, tidak segan2 meninggalkan pangkalan masing2 dan hijrah ke Thay-san. Dari sini dapat diukur betapa kukuh persatuan mereka, sebab itu juga, biarpun "Lima Besar' sudah hilang dua dan tinggal Tionggoan-samyu yang lemah, toh Mo-kau tidak berani meremehkannya dan sembarangan mengganggu, begitu juga Say-koan tidak berani menyatroninya.

Dengan pemusatan kekuatan ketiga aliran itu, dengan sendirinya harta kekayaan ketiga aliran itupun terhimpun disitu. Maka gedung keluarga Wi yang dijadikan tempat tamu Thay-san-pay ini lantas berubah menjadi tempat resmi penerimaan tamu bagi Tionggoan-samyu, selama ini sudah banyak juga orang gagah yang telah menggabungkan diri, Begitulah setelah jelas keadaannya, segera Peng-say menuju ke Thay-san untuk menggabungkan diri. Thay-san terletak tidak jauh dari kota Cu-joan, penjagaan sangat keras, tanpa melampaui penyambutan Cu joan-hwe-koan, yaitu gedung tamu bekas kediaman Wi Kay-hou itu, jangan harap orang akan dapat naik ke atas gunung. Oleh sebab itu Peng-say mendatangi juga gedung keluarga Wi itu.

Tiga hari dia tinggal disitu, petugas mengatur pada hari ini Peng-say boleh naik ke Thay-san, maka anak muda itu diberitahu agar siap untuk berangkat, agar Peng-say tidak menyesal, petugas itu memberitahu pula bahwa selain Peng-say masih ada juga tamu lain yang menunggu lebih dari tiga hari.

Rupanya untuk bertemu dengan Sam-yu telah diadakan peraturan yang cukup ketat, begitu pula bagi peminat yang ingin menggabungkan diri dengan persekutuan tiga serangkai itu, selain harus diuji langsung oleh Sam-yu, habis itu harus bersumpah setia dengan minum arak berdarah.

Meski Tionggoan-samyu bukan suatu organisasi, tapi setiap orang yang masuk perserikatan dengan sendirinya dianggap sebagai anak buah Samyu dan harus memakai baju yang bersulam simbul Siong (cemara), Tiok (bambu) dan Bwe (sakura). Bila melihat simbul itu, orang Kangouw akan segera tahu orang ini adalah anggota perserikatan Tionggoan-samyu.

Siong adalah tanda pengenal Bok Jong-siong, Tiok mewakili Thian-bun Totiang dan Bwe mewakili Ting-sian Suthay, biasanya ketiga macam pepohonan itu dapat tumbuh semarak di musim dingin, maka perserikatan mereka juga disebut Hwe-han-sam-yu atau tiga serangkai di ujung tahun yang dingin. Meski perserikatan Tionggoan-samyu itu tidak diberi nama organisasi, tapi orang Kangouw lantas menyebutnya sebagai Sam-yu-pang atau klik tiga serangkai.

Tionggoan-samyu kuatir orang jahat menyusup kedalam perserikatan dan mungkin akan merugikan nama baik mereka, maka pada waktu menguji peminat yang ingin menggabungkan diri digunakan cara2 yang ketat, pedoman mereka adalah "lebih baik kurang daripada mendapatkan aib". Biasanya Sam-yu sendiri yang langsung menguji, sikapnya kereng, pertanyaannya jelas, sehari hanya beberapa orang saja yang dapat diterima, sebab itulah bilamana peminatnya membanjir, terpaksa harus menunggu giliran. Waktu Peng-say datang di kantor penyambutan tamu, ia pikir dirinya bukan kenalan Sam-yu, dengan sendirinya tidak dapat mengunjungi mereka sebagai sahabat, maka ia minta bertemu dengan alasan hendak menggabungkan diri, ia pikir dirinya adalah angkatan muda, tidaklah salah jika mesti menuruti peraturan.

Petugas yang menerimanya menganggap dia sama seperti peminat yang lain sehingga dia harus menunggu menurut nomor gilirannya. Sudah tentu petugas tidak tahu bahwa dia sesungguhnya adalah anak Sau Ceng-hong, kalau tidak, tentu akan diantar ke atas gunung secara khusus dan diladeni pula tersendiri.

Maklumlah, setelah Sau Ceng-hong mati, kini Peng-say merupakan tokoh utama Lam-han, sedangkan setiap tokoh utama suatu aliran selalu disambut dengan tingkatan yang sama oleh Tiong goan-samyu, hal ini disebabkan antara ketua atau pemimpin satu aliran dengan aliran lain selalu dipandang sama derajat, maka asalkan benar tokoh utama sesuatu aliran, dengan sendirinya akan disambut dengan hormat oleh Tionggoan-samyu.

-00 de-wi 00- Peng-say tidak tahu aturan ini, disangkanya Tionggoansamyu sama angkatannya dengan mendiang ayahnya, maka dirinya sendiri pun terhitung Wanpwe atau angkatan lebih muda. Ia tidak tahu bahwa orang Kangouw membedakan tingkatannya berdasarkan ketua sesuatu aliran atau golongan yang masih hidup dan tidak bergantung pada Umurnya. Sekarang Sau Peng-lam tidak diketahui jejaknya, orang Kangouw menganggap Lam-han sudah tamat, betapapun petugas penyambut tamu Thay-san-pay itu tidak tahu bahwa selain anak angkat Sau Peng-Lam sebenarnya Sau Ceng-hong masih mempunyai anak darah dagingnya sendiri sebagai Sau Peng-say ini. Apalagi Peng-say sendiri juga tidak memberi keterangan, sebab itulah Peng-say diharuskan antri juga untuk bertemu dengan Tionggoansamyu. Thay-san adalah pegunungan ternama, salah satu gunung terbesar dari lima gunung besar di Tiong-kok, letaknya di barat kota Cu-joan. banyak puncak-puncak terkenal diatas gunung itu, di antaranya ada sebuah Tiang-jin-hong atau puncak bapak mertua, disitulah Tionggoansamyu berdiam. Setiba diatas pnncak, Peng-say melihat sebuah bangunan besar dan megah, diam2 ia membayangkan betapa sulitnya mengangkut bahan2 bangunan ke puncak setinggi ini, tanpa terasa ia menghela napas gegetun.

Ia ikut petugas penyambut tamu itu masuk keruangan pendopo, disitu sudah menuggu berpuluh orang, ada yang berjubah ringkas, semuanya menyandang pedang, gagah dan kereng, semuanya berdiri di kanan dan kiri, pada ujung tengah sana terdapat tiga kursi besar, disitulah berduduk tiga orang tua.

Orang yang duduk di tengah tampak kurus kering, kedua bahunya rada menjumbul mirip seorang penderita sakit asma. Diam2 Peng-say membatin: "Orang ini adalah Khim-lo Bok Jong-siong yang merupakan tokoh nomor satu diantara Tionggoan-samyu.”

Duduk di sebelah kiri Bok Jong-siong adalah seorang Tosu tua bemuka merah, orang inipun sudah dikenal Pengsay dahulu di rumah Wi Kay-hou, ia tahu Tosu ini adalah Thian-bun Totiang dari Yan-san-pay.

Di sebelah kanan Bok Jon-siong adalah seorang Nikoh tegap tapi berwajah welas-asih, usianya kelihatan baru setengah umur. Peng-say tidak kenal Nikoh ini, tapi ia dapat menduga tentulah si Nikoh penyair Ting-sian Suthay.

Waktu itu di depan Tionggoan-samyu berdiri satu orang.

Si pengantar membisiki Peng-say dengan suara tertahan: "Ber-turut2 sudah datang lebih dulu beberapa kawan yang ingin masuk menjadi anggota dan diantar oleh kawanku, kau harus tunggu sebentar sampai giliranmu nanti.”

Peng-say mengangguk dan berdiri disamping, ia coba memandang kearah ketiga takoh pimpinan itu. Didengarnya Bok Jong-siong lagi berkata kepada orang yang berdiri di depannya: "Sobat ini disilakan berduduk.”

Orang itu bersenjata golok. di sampingnya tersedia sebuah kursi kosong, tapi dia hanya memandang kursi itu sekejap, lalu menggeleng, katanya dengan hormat: "Di depan Sam-lo (tiga tertua). Wanpwe Ih Ka-oh tidak berani berduduk.”

"Ih Ka-oh" Apakah Ih-heng yang berjuluk Golok nomor satu dari Tiongtiau?" tanya Bok Jong-siong dengan tersenyum. "Nama itu adalah pemberian kawan Kangouw, sesungguhnya Wanpwe tidak sesuai menerima julukan itu.

Orang gagah di Tiongtiau sangat banyak, mana berani kuterima gelar Golok nomor satu dari Tiongtiau?" demikian jawab orang yang mengaku bernama Ih Ka-oh.

Betapapun gemilangnya Ih-heng menjagoi daerah Tiongtiau, tapi sekarang kau datang kemari untuk mengabdi kepada Sam-yu dan harus tunduk kepada perintah kami, apakah hal ini tidak membuat penasaran padamu?" kata Bok Jong-siong pula.

"Karena terpaksa, mau-tak-mau Wanpwe harus menggabungkan diri dengan Sam-lo," kata Ih Ka-oh, Pada umumnya orang yang ingin menyumbangkan sedikit tenaganya, tidak pernah ada yang bilang "karena terpaksa" seperti Ih Ka-oh ini, tentu saja semua orang merasa heran.

Bok Jong-siong juga melengak, katanya: "Coba jelaskan lebih lanjut.”

"Justeru karena nama golok nomor satu itulah tahun yang lalu Say-koan telah mengutus orang mengundang Wanpwe masuk ke Ngo-hoa-koan dan disambut sebagai tamu terhormat," demikian tutur Ih Ka-oh. "Waktu itu kupikir adalah suatu kehormatan besar bagiku kalau diriku juga menarik perhatian Ngo-hoa-koancu, maka kuterima dengan baik undangan itu. Siapa tahu Ngo-hoa-koan sekarang sudah bukan Ngo-hoa-koan yang dulu lagi.

Maksud tujuan Coh Cu-jiu mengundang diriku bukanlah untuk bersahabat, tapi aku hanya akan digunakan sebagai pembunuh!”

"Apakah Coh Cu-jiu menyuruh kau membunuh anak murid Sam-yu kami?" tanya Bok Jong-siong.

"Dengan upah besar dia menghendaki kubunuh anak murid Sam-lo, bahkan juga membunuh anak murid Makau. Padahal aku Ih Ka-oh sudah terbiasa hidup bebas, jika aku diharuskan terikat dan menurut perintah, betapapun aku tidak sudi, apalagi perbuatan membunuh dengan upah yang berlumuran darah. Jangankan membunuh murid Samlo, biarpun disuruh bunuh murid Ma-kau yang tak berdosa juga tak dapat kupenuhi. Maka aku lantas meninggalkan Ngo-hoa-koan, Coh Cu-jiu mengirim orang mencegat diriku agar kembali kesana. Ku tahu kalau sudah kembali kesana dan tidak menurut perintahnya, bisa jadi jiwaku akan melayang. Demi mencari selamat, terpaksa kudatang kemari dan mohon Sam-lo sudi menerima diriku.”

Bok Jong-siong mengangguk, katanya: "Terima kasih atas penghargaan Ih-heng kepada kami, jika kami tidak menerima dirimu, rasanya se-olah2 kami takut kepada Coh Cu-jiu. Akan tetapi jika kau sudah berada disini, mau-tak-mau kau mesti menerima perintah kami. Demi pemusatan tenaga, setiap orang dilarang bertindak sendiri2, padahal kau sudah biasa hidup bebas, apakah kau tahan?”

"Di dunia persilatan sekarang terbagi menjadi tiga kekuatan dan harus kupilih satu di antaranya," jawab Ih Ka-oh. "Sebelum kemari Wanpwe sudah menyelidiki dengan jelas setiap tindak-tanduk murid Sam-lo, kuyakin di bawah pimpinan Sam-lo tentu tidaklah berlawanan dengan hati nurani." "Bagus! Ambilkan arak!" seru Bok Jong-siong.

Segera seorang murid mengiakan dan menuang semangkuk arak serta disodorkan ke depan Bok Jong-siong.

Lebih dulu Bok Jong-siong mencocok ujung jari sendiri sehingga darah menetes ke dalam mangkuk. Lalu murid itu menyodorkan mangkuk arak itu ke depan Thian-bun Totiang dan Ting-sian Suthay, kedua or ng juga mencocok ujung jari dan meneteskan darah ke dalam arak.

Akhirnya murid itu menyodorkan mangkuk itu ke depan Ih Ka-oh, tanpa ragu Ih Ka-oh juga mencocok ujung jari dan meneteskan darah kedalam arak, lalu mangkuk itu diterimanya. Sekarang coba perhatikan, saudaraku, jika dengan jurus Hong-tiam-thau (burung Hong manggut kepala) kutusuk Liam-coan-hiatmu, lalu cara bagaimana kau sambut seranganku ini?" tanya Bok Jong-siong tiba2.

"Dengan gerakan Soat-pau-nio-wi (lepas jubah berikan tempat), golokku mematahkan tusukan pedangmu. berbareng kugeser kesamping, tangan kiri menghantam Gihay-hiat di pinggangmu," jawab Ih Ka-oh dengan mantap.

Begitulah Bok Jong-siong mulai menguji kemampuan Kungfu Ih Ka-oh secara lisan, dengan sendirinya ilmu pedang ketua Thay-san-pay itu sangat hebat, tapi Ih Ka-oh juga dapat melayani dengan sama kuat.

Ketika sampai pada jurus ketujuh, Bok Jong-siong melancarkan jurus serangan "Coh-yu-hong-goau" atau kanan-kiri menemukan rejeki.

Terpaksa Ih Ka-oh termenung sejenak, kemudian menjawab: "Sungguh hebat serangan ini, tangan kiriku tidak sempat menolong diri sendiri, sebelah kanan dapat dipertahankan, tapi sebelah kiri pasti terserang, rasanya aku pasti kalah dan terluka.”

"Jarang ada anak muda yang mampu menyambut seranganku hingga belasan jurus, tampaknya Ih-heng memang tidak malu sebagai golok nomor satu dari Tiongtiau," kata Bok Jong-siong. "Silakan minum arak berdarah itu, selanjutnya kita adalah orang sekeluarga.”

Tanpa ragu Ih Ka-oh mengangkat mangkuk arak tadi dan ditenggaknya hingga habis.

Lalu Bok Jong-siong menyuruh muridnya membawa Ih Ka-oh kebelakang untuk tukar pakaian yang bertanda Siong, Tiok dan Bwe.

Setelah Ih Ka-oh mengundurkan diri, lalu petugas mengantar maju seorang pemuda berjubah sulam dan berpedang. "Silakan duduk," kata Bok Jong-siong terhadap pemuda perlente itu.

Pemuda itu bernama Ho Bu-cit, terkenal dengan julukan "Bu-eng-kongcu", si Kongcu tanpa bayangan. Ia tahu kursi yang dimaksud itu hanya sekadar panjangan saja, untuk menghormati Sam-yu, sudah tentu tidak ada yang berani berduduk di situ. Maka seperti juga Ih Ka-oh tadi, dengan tertawa ia memperkenalkan namanya dan menyatakan tidak berani berduduk. Walaupun di mulut bicara demikian, namun sikapnya tampak agak pongah se-akan2 tidak memandang sebelah mata kepada Tionggoan-samyu.

"Anda berasal dari perguruan mana?" tanya Bok Jong-siang pula.

Ho Bu-cit kurang senang, pikirnya: "Begitu kau dengar nama Ih Ka-oh lantas tahu asal-usulnya, memangnya aku Bu-eng-kongcu kalah terkenal daripada orang she Ih itu?”

Padahal Bu-ong-kongcu hanya terkenal di daerah selatan, termashur juga baru2 saja, jaraknya dengan Soatang juga terlalu jauh sehingga Bok Jong-siong memang tidak tahu namanya, berbeda dengan Ih Ka-oh yang memang sudah lama menonjol di dunia Kangaow daerah Tionggoan. Ho Bu-cit berkerut kening, jawabnya kemudian: "Wanpwe tidak mempunyai perguruan, sejak kecil hanya ikut belajar pada ayah sendiri sehingga mungkin tiada sesuatu yang dapat kutonjolkan.”

"Bolehkah kutahu nama ayahmu?" tanya Bok Jong-siong pula.

"Ayahku bernama Gi-peng?" jawab Bu-cit.

"Aha, kiranya Lam-hong-taykun?" seru Bok Jong-siong.

"Kiranya kau ini putera Ho-heng. Baikkah ayahmu?”

"Selamanya ayahku tidak pernah sakit. beliau sehat2 saja," jawab Bu-cit.

"Tentu saja dia sehat2 saja, kalau tidak masakah bernama Gi-peng (bebas sakit)?" ujar Bok Jong-siong dengan tertawa.

"Wanpwe juga ingin menyumbangkan tenaga disini, entah Sam-lo sudi memberikan minum arak darah atau tidak?" kata Bu-cit pula.

"Apakah kedatanganmu ini sepengetahuan ayahmu?”

tanya Bok Jong-song. "Apapula cita2mu?”

"Ayah jauh di selatan sana dan tidak urus persoalan Kangouw lagi, kedatangannya ini adalah kehendak Wanpwe sendiri," jawab Bu-cit, "Saat ini dunia persilatan terbagai menjadi tiga kekuatan, tapi kuyakin perpecahan ini tidak akan lama, akhirnya dunia persilatan pasti akan dipersatukan lagi. Untuk itulah Wanpwe bermaksud ikut membantu kalian menaklukkan dunia.”

"Kau anggap pihak kami ini lebih besar harapannya?”

tanya Jong-siong dengan tertawa, "Tapi Tionggoan-samyu hanya bersatu untuk menghadapi serangan dari luar, bukan maksud kami akan merajai dunia persilatan. Kelak bila orang2 yang berambisi besar menaklukkan dunia itu sudah lenyap, Sam-yu kamipun akan bubar dan hidup mengasingkan diri seperti ayahmu.”

Ho Bu-cit tampak kecewa, katanya: "Sesungguhnya aku memang menaruh harapan besar kepada pihak kalian, maka kudatang membantu, tak terduga, Sam-lo ternyata tidak ada maksud menjagoi Bu-lim, terpaksa Cayhe mohon diri saja.”

"Menurut pendapatku, lebih baik Kongcu pulang ke selatan saja dan jangan mimpi akan merajai Bu-lim.

Hendaklah tahu, di atas orang pandai ma-sih ada yang lebih pandai, dunia seluas ini, tidak mungkin dapat diperintah oleh seorang saja. Kukira, Ho Bu-cit, lekas kau sadar dan pulanglah!”

"Itu bukan urusanmu!" jawab Ho Bu-cit dengan ketus, segera ia membalik tubuh dan bertindak pergi dengan langkah lebar. "Lihat pedang!" nendadak Bok Jong-siong membentak, Dengan cepat Ho Bu-cit membalik tubuh dan hendak melolos pedang. tak terduga hanya sarung pedang saja yang masih tersandang di punggungnya, pedangnya sudah terbang tanpa sayap. Dalam pada itu sinar pedang gemerdep sedang menyambar tiba ia terkejut dan melompat mundur sebisanya.

Setelah menusuk satu kali, Bok Jong-siong tidak menyusulkan serangan lain, ia lemparkan pedangnya dan membentak: "Tangkap pedangmu ini!”

Waktu Ho Bu-cit menangkap pedang yang dilemparkan kepadanya itu, dilihatnya pedang itu adalah miliknya sendiri dan entah cara bagaimana telah berada di tangan Bok Jong-siong.

Habis melemparkan pedang Bok Jong-siong membalik tubuh dan kembali ke kursinya.

Bu-cit menjadi gusar, ia menyendal pedangnya sehingga mendengung, nyata tenaga dalamnya tidak lemah, ia melompat maju sambil berteriak: "Kem....”

Belum lagi kata "kembali" terucapkan, mendadak ia merasakan dadanya rada silir2 dingin, waktu ia menunduk, kejutnya tak terkatakan lagi.

Rupanya cuma sekali tusuk tadi Bok Jong-siong telah menggores tujuh lingkaran kecil di dada Ho Bu-cit. Sebelum bergerak tidaklah ketahuan, begitu Bu-cit bergerak, seketika kain kecil2 bundar sama rontok sehingga kelihatan daging tubuhnya, dan barulah Bu-cit tahu apa yang terjadi.

Setelah duduk kembali di kursinya, Bok Jong-siong mendengus: "Ho Bu-cit, terimalah nasihatku, lebih baik kau pulang saja!”

"Maaf, tak dapat kuterima," jawab Bu-cit, namun nadanya sudah jauh lebih lunak, malahan ia lantas memberi penjelasan: "Tujuanku keluar ini adalah menjelajahi dunia, maka dalam waktu singkat tidak mungkin kupulang ke selatan." "Semoga tujuanmu benar2 hanya pesiar menjelajah dunia saja," kata Bok Jong-siong, "kalau tidak, hm, kukira kau sendiri sudah tahu, Antar tamu!”

Segera petugas yang bersangkutan mengiakan dan mendekati Ho Bu-cit.

Diam2 pemuda itu sangat penasaran, pikirnya didalam hati: "Hm, memangnya hanya satu jurus. ilmu pedangmu dapat menggertak diriku" Justeru aku akan menggabungkan diri ke pihak lawanmu untuk memusuhi kalian!”

Sudah tentu jalan pikirannya itu tidak berani diperlihatkan, betapapun kecepatan pedang Bok Jong-siong tadi telah membuatnya keder.

Lalu orang ketiga yang diajukan adalah seorang pemuda bermuka pucat, bajunya yang berwarna biru itu meski masih baik, namun kelihatan sudah tua, warnanya sudah luntur, tampaknya orang ini tidak begitu beruntung berkecimpung di dunia Kangouw. Akan tetapi petugas penyambut tamu tidak berani menilai orang dari pakaiannya, maka tanpa pilih bulu iapun dibawa menghadap Sam-lo.

Begitu maju pemuda itu lantas memberi sembah kepada Sam-lo. Menurut pengakuannya ia bernama Ci Tay-yu, anak murid Eng-jiu-bun, perguruan yang tersohor dengan cakar elang, kedatangannya ingin mengabdi bagi kepentingan Bu-lim umumnya untuk menghadapi Mo-kau dan Say-koan yang di-anggapnya se-wenang2.

Namun Bok Jong-siong cukup pengalaman dan tajam pandangannya, sekali pandang saja ia tahu orang she Ci ini tidak berisi. Maka ketika mengujinya dengan mangkuk penuh arak, dari jauh Bok Jong-siong meluncurkan mangkuk itu kepada Ci Tay-yu, serunya: "Minumlah arak ini, Ci-heng.”

Melihat mangkuk arak itu menyambar tiba dengan pelahan, Ci Tay-yu mengira tidak sulit untuk menangkapnya, tapi iapun tidak berani gegabah, dengan tenaga Eng-jiau-kang segera mangkuk itu ditangkapnya.

Tak tersangka, meski mangkuk itu tampaknya sudah terpegang, tapi mendadak bisa meronta seperti binatang kecil yang tertangkap, sekuatnya Ci Tay-yu berusaha memegangnya, namun mangkuk itu masih berontak.

Akhirnya meski mangkuk itu tidak sampai terbanting jatuh, namun isi mangkuk sudah berceceran dan tak dapat diminum lagi. "Ci-heng," kata Bok Jong-siong kemudian dengan kurang senang, "berbicara hendaklah yang jujur. Jika benar kau sudah memahami Eng-jiau-kang, mustahil tidak mampu minum arak dalam mangkuk itu?”

"O, aku. , . , aku kurang hati2 sehingga....." Ci Tay-yu masih mencari alasan.

Tapi Bok Jong-siong lantas membentak: "'Kau belum mau bicara terus terang" Hakikatnya kau bukan murid Engjiau-bun, betul tidak?”

Melihat tuan rumahnya marah, Ci Tay-yu menjadi ketakutan, jawabnya: "Ya, aku. . . .aku hanya mencuri belajar be.....berapa jurus......”

"Maaf," kata Bok Jong-siong, "Tionggoan-samyu kami bukan kaum hartawan, anggaran belanja kami terbatas dan tidak sanggup memberi makan kepada kaum penganggur, silakan kau cari tempat lain saja.”

Ingin mencari makan, akhirnya gagal, dengan malu Ci Tay-yu lantas angkat kaki.

Selagi petugas tadi hendak mengantar kepergian orang she Ci itu, mendadak Bok Jong-siong berteriak: "Kemari kau!”

Dengan takut petugas itu memberi hormat dan bertanya: "Ada pesan apa, Suhu?”

"Kau bukan orang baru, mengapa seorang cecunguk yang cuma ingin cari makan begitu kau bawa kesini?" omel Bok Jong-siong. "Meski Hwe-koan kita menerima siapa pun juga dan tidak pandang bulu, tapi sedikit cermat saja tentu akan kau lihat orang ini sama sekali tidak punya Kungfu apa2, sebaliknya kau bawa dia kesini, buang2 waktu dan tenaga percuma.”

Petugas itu ketakutan sebab mengira sang guru akan menjatuhkan hukuman padanya, cepat ia berlutut dan menyembah ber-ulang2 dan minta ampun.

"Sudahlah, pergi sana, lain kali harus lebih awas," kata Bok Jong-siong.

Sesudah kejadian ini, berikutnya adalah giliran Sau Peng-say. Orang yang membawa Peng-say kemari itu menjadi ragu2 terhadap kemampuan anak muda itu, dengan suara pelahan ia bertanya: "Sau-heng, jangan.....janganlah kau serupa orang she Ci tadi"! Jika.....

jika kau tidak yakin akan sanggup marilah kita turun gunung saja agar nanti aku tidak kena damperat.”

Namun Peng-say diam2 saja tanpa gubris.

"Cu-gi, mana kawan yang kau antar, silakan maju kesini," seru Bok Jong-siong.

Cu-gi adalah nama pengantar Peng-say itu, dengan gugup ia menjawab. "Suhu, kukira..... kukira kawan ini tidak jadi.....”

Belum lanjut ucapannya, tahu2 Peng-say sudah maju ketengah. Karena Lwekangnya sangat tinggi dan sudah bersatu dengan jiwa-raganya, maka lahiriah Peng-say kelihatan seperti pemuda yang tidak memiliki kepandaian apa2. Dengan sendirinva Bok Jong-siong tidak pernah membayangkan Lwekang pemuda didepannya bisa sehebat ini, sebab dalam usia muda belia begini tidak mungkin menguasai Lwekang yang berpadu dengan jiwa-raganya sehingga tidak kelihatan dari luar. Ia pandang Peng-say sejenak, ia mengira anak muda ini tentu juga tidak lebih baik dari pada Ci Tay-yu tadi. Maka iapun tidak menyilakan Peng-say berduduk, dengan dahi berkerut ia lantas tanya: "Siapakah nama Anda terhormat ?”

"Wanpwe Sau Peng-say!" jawab Peng-say sembari memberi hormat.

Meski nama Peng-say dan Sau Peng-lam hanya beda satu huruf saja, namun Bok Jong-siang tidak pernah berpikir bahwa di antara kedua orang ini ada hubungan apa2.

Maklumlah, ilmu silat Sau Peng-lam terhitung nomor satu di antara anak murid Lima Besar, bahkan sudah dapat menjajari para ketua Lima Besar. Sedangkan Sau Peng-say di depannya sekarang tiada kelihatan memiliki sesuatu kepandaian. bedanya seperti langit dan bumi jika dibandingkan Sau Peng-lam, sebab itulah nama Peng-say tidak menimbulkan perhatiannya.

Maka Bong Jong-siang lantas bertanya pula: "Sau-heng berasal dari perguruan mana?”

"Wanpwe anak murid Soh-hok-han," jawab Peng-say.

Thian-hun Totiang menjadi gusar, katanya: "Eh, saudara cilik, jika kau mengaku murid perguruan lain mungkin kami akan percaya, tapi kau mengaku sebagai murid Soh-hok-han, setan yang mau percaya padamu!”

Nyata, Thian-bun Totiang juga menyangsikan kepandaian Sau Peng-say dan mengira iapun serupa Ci Tayyu tadi yang cuma ingin cari makan belaka.

"Tapi Wanpwe benar2 anak murid Soh-hok-han," kata Peng-say pula.

Ting-sian Suthay menjadi curiga, ia pikir anak muda ini jelas bukan orang dungu. masa sengaja mengaku sebagai anak murid Soh-hok-han yang sudah musnah itu" Jangan2 ucapannya ini memang beralasan. Maka dengan tertawa ia bertanya: "Cara bagaimana kau memanggil Sau Peng-lam?”

"Dia adalah Gihengku (kakak angkatku)," jawab Peng-say.

"Dan apa sebutanmu kepada Soh-hok-hancu Sau Cenghong?" tanya Ting-sian pula.

"Beliau adalah mendiang ayahku," kata Peng-say tegas.

"Ayah sedarah?" tanya Ting-sian.

"Betul, ayah sedarah," jawab Peng-say.

"Jika demikian, jadi Leng Tiong-cik ialah ibu kandungmu?" tanya Ting-sian lebih lanjut.

Asal Peng-say mengangguk atau mengiakan, maka kontan Sam-lo bisa mendepaknya keluar. Sebab setiap orang Bu-lim mengetahui Leng Tiong-cik itu mandul, tidak pernah melahirkan bagi Sau Ceng-hong. Dengan pertanyaannya itu Ting-sian ingin membuktikan kebohongan Peng-say.

Bok Jong-siong dan Thian-bun Totiang tahu maksud tujuan kawannya itu, maka dengan mata terbelalak merekapun menantikan jawaban Peng-say.

Namun mereka sama kecewa, Peng-say tidak mengangguk, sebaliknya malah menggeleng dan berkata: "Bukan, dia bukan ibuku.”

"Tapi apakah kau tahu Leng Tiong-cik itu ialah isteri Sau Ceng-hong?" tanya Ting-sian pula.

"Tahu," jawab Peng-say.

"Nah, kalau kau mengakui Sau Ceng-hong sebagai ayah, kenapa tidak mengakui isterinya sebagai ibumu?" kata Thian-bun Totiang.

"Ucapan Totiang memang tepat, sepantasnya akupun harus mengakui dia sebagai ibu," ujar Peng-say, "Cuma dia bukan ibu-kandungku, ibu-kandung Wanpwe sendiri ialah....”

"Siapa"!" bentak Sam-lo berbareng.

"Ibu Wanpwe sudah meninggal pada waktu Wanpwe berumur sepuluh, ibu she Soat, keturunan keluarga Soat di Say-Pak.”

"O, jadi pamanmu ialah Say-pak-beng-to Soat Ko-hong?”

Bok Jong-Siong menegas.

"Betul," jawab Peng-say.

Ketiga orang tua itu lantas saling tukar pikiran dengan suara bisik2, sejenak kemudian, Bok Jong-siong berkata pula: "Sekarang kami percaya kau memang benar putera Sau Ceng-hong dari Lam-han. Ayolah, sediakan tempat duduk bagi saudara cilik ini!”

Hanya sekejap saja dua lelaki kekar telah membawakan sebuah kursi besar bersandaran seperti ketiga kursi besar yang diduduki Sam-lo itu. Kursi ini jelas berbeda dengan kursi yang terletak di depan Sam-lo tadi.

"Silakan duduk," kata Bok Jong-siong.

Peng-say ingin mengucapkan sesuatu, tapi Bok Jongsiong lantas menggoyangkan tangan dan berkata: "Jangan menolak, orang lain boleh sungkan, kau tidak perlu sungkan2.”

Peng-say jadi melengak oleh sikap tuan rumah yang berubah 180 derajat itu.

Didengarnya Bok Jong-siong telah memberi penjelasan: "Selama ini jabatan ketua Soh-hok-han diwariskan turun temurun kepada anak, tidak beruntung ayahmu telah meninggal, meski sebelumnya dia tidak mengumumkan siapa yang akan menerima jabatan ketua yang ditinggalkannya, namun meninggalnya ayahmu secara mendadak, menurut aturan kedudukan Ciangbunjin adalah hakmu. Jadi sekarang kau adalah ketua suatu perguruan, silakan duduk agar kita tidak kehilangan tata adat sesama orang Kangouw.”

Peng-say menjadi agak ter-sipu2, ucapnya dengan ragu: "Tapi . . . tapi di atas Wanpwe masih . . . masih ada kakak Sau Peng-lam.”

"Sau Peng-lam hanya anak angkat ayahmu, bila di dunia ini tiada kau Sau Peng-say, sudah tentu jabatan ketua Soh-hok-han dapat diwariskan kepadanya," kata Bok Jongsiong. "Sekarang setelah kami berunding, kami mengakui kau adalah anak sedarah Sau Ceng-hong, dengan sendirinya harus mengikuti peraturan perguruanmu dan sekaligus mengakui kau sebagai ketua Lam-han. Jika kau menolak, hal ini akan menandakan kepalsuanmu, bisa jadi akan menimbulkan curiga kami bahwa kau sebenarnya bukan anak Sau Ceng-hong.”

Karena alasan ini, mau-tak-mau Peng-say harus menerimanya dan berduduklah dia di kursi besar yang disediakan bagi setiap ketua perguruan itu.

Hanya tanya jawab beberapa kalimat saja, semula tidak percaya Peng-say adalah anak murid Soh-hok-han, tapi mendadak lantas mengakui dia sebagai pejabat ketua Lamhan, perubahan tiba2 ini selain membuat Peng-say rada heran, bahkan semua orang yang menyaksikan juga merasa bingung. Setelah Peng-say mengaku sebagai anak Sau Ceng-hong, kalau semula Sam-lo mencurigai dia sebagai murid Lamhan, kenapa tidak meragukan pula pengakuan Peng-say itu”

Sungguh teka-teki yang sukar dipecahkan oleh semua orang. Hanya Sam-lo saja yang paham duduknya perkara, mereka percaya Sau Peng-say memang betul2 adalah anak Sau Ceng-hong. Rupanya kuncinya terletak pada pengakuan Peng-say bahwa ibunya berasal dari keluarga Soat di Say-pak, hal inilah yang meyakinkan Sam-lo dan tidak sangsi lagi.

Di dunia Kangouw sekarang memang cuma beberapa orang sahabat lama Sau Ceng-hong saja yang tahu bahwa selain isterinya, Leng Tiong-cik, sesungguhnya Sau Cenghong masih mempunyai seorang kekasih gelap lagi.

Kawan2 lama Sau Ceng-hong, terutama yang karib seperti Tionggoan-samyu, tentu saja tahu jelas siapa kekasih Sau Ceng-hong itu serta asal-usulnya.

Begitulah, maka Tionggoan-samyu secara resmi telah mengakui Sau Peng-say sebagai pejabat ketua Lam-han sekarang. Akan tetapi baru saja Peng-say menduduki kursinya, kesulitan segera timbul.

Didengarnya Bok Jong-siong bertanya padanya: "Sau Peng-say, selaku Ciangbunjin Soh-hok-han, seharusnya kau bertanggung jawab atas peristiwa yang menyangkut perguruanmu. Sekarang ingin kutanya apakah perguruanmu memang diam2 bersekongkol dengan Makau." Dengan kehormatan seorang Ciangbunjin, Peng-say menjawab dengan tegas; "Ingin kutanya juga, siapakah yang bilang perguruan kami bersekongkol dengan Ma-kau?”

"Ting Tiong dan Liok Pek dari Say-koan," kata Bok Jong-siong.

"Ingin kutanya pula, apakah Sam-lo dapat mempercayai kepribadian mendiang ayahku?" tanya Peng-say pula.

Bahwa Sau Ceng-hong mencari kekasih lagi karena ingin mendapatkan keturunan, hal ini dapat dimengerti oleh siapapun juga, apalagi menurut adat kuno, Leng Tiong-cik telah melanggar hukum adat. yaitu tidak dapat melahirkan, untuk ini Sau Ceng-hong tidak menceraikan dia, pada umumnya sikap Sau Ceng-hong itu malah dipuji sebagai seorang ksatria sejati.

Karena itulah Bok Jong-siong lantas menjawab: "Kami percaya penuh terhadap pribadi ayahmu.”

"Bagaimana kalau dibandingkan kepribadian Ting dan Liok dari Say-koan itu?" tanya Peng-say pula.

Bok Jong-siong tahu maksud pertanyaan anak muda itu, dengan tertawa ia menjawab, "Dengan sendirinya jauh lebih unggul.”

"Jika begitu, kan seharusnya Sam-lo jangan percaya kepada ocehan Ting dan Liok berdua dan merendahkan kepribadian mendiang ayahku.”

"Ucapan yang tepat, sesungguhnya kami memang tidak percaya ayahmu bisa bersekongkol dengan Ma-kau," ujar Bok Jong-siong dengan tertawa. Ia menghela napas, lalu melanjutkan: "Cuma, setelah ayahmu meninggal, saksi hidup tidak ada lagi, orang lantas percaya kepada desasdesus yang disebarkan Ting dan Liok berdua. Apalagi waktu itu demi persatuan antara persekutuan Lima Besar, mau-tak mau kita percayai apa yang dikatakan mereka.”

"Sudah membunuh orang, masih memfitnah lagi," kata Peng-say dengan gemas. "Wahai Ting Tiong dan Liok Pek, keji amat cara kalian itu?”

"Coh Cu-jiu juga berjiwa sempit, sedikit urusan saja tentu dijadikan alasan untuk bikin geger." kata Bok Jong-siang.

"Sekarang kami sudah tahu Coh Cu-jiu dendam kepada ayahmu karena dahulu ayahmu telah berusaha mengalangi dia terpilih sebagai Bengcu persekutuan kita. Mengenai pembunuhannya secara keji terhadap segenap anggota keluarga perguruanmu, permusuhan berdarah ini. setiap sahabat ayahmu kelak pasti akan membantumu untuk membikin perhitungan dengan mereka.”

"Kedatangan Wanpwe ini justeru ingin memohon bantuan Sam-lo terhadap sakit hati mendiang ayahku itu,”

kata Peng-say. "Jangan kuatir." jawab Bok Jong-siong sambil mengangguk, "biar pun kau tidak datang memohon, tidak nanti kami Sam-yu menyudahi persoalan ini,”

"Apakah karena urusan ayahku itulah Sam-lo memutuskan hubungan dengan Coh Cu-jiu?" tanya Pengsay. "Bukan," jawab Bok Jong-siong.

"Habis sebab apa Sam-lo bermusuhan dengan Coh Cujiu?" "Untuk ini hendaklah kau harus bertanggung jawab “

kata si kakek kecapi itu.

"Aku" Aku bertanggung jawab?" Peng-say menegas dengan terkejut.

"Ya," tutur Bok Jong-siong. "Kau tahu musuh kita nomor satu ialah Mo-kau, tujuan persekutuan Lima Besar juga untuk menghadapi Ma-kau. Dua tahun yang lalu kami mendengar segenap anggota perguruaanmu terbunuh, tatkala mana kami sudah tahu Coh Cu-jiu yang sengaja mencari alasan untuk menumpas Lam-han, tapi mengingat persatuan kita harus menghadapi Ma-kau, maka kami tidak bertindak apa2. Akan tetapi sikap kami yang lebih mementingkan persatuan ini berbalik malah dianggap lemah oleh Coh Cu-jiu, diam2 ia hendak membikin celaka Tionggoan Sam-yu kami.'“

"Memangnya apa alasannya?" tanya Peng-say.

"Hendaklah kau beritahukan dulu kepada kami dimana beradanya Sau Peng-lam sekarang?" tanya Bok Jong-siong.

"Apakah sengketa antara Sam-lo dengan Coh Cu-jiu ada sangkut-pautnya dengan Gihengku?" tanya Peng-say.

"Betul, maka Sam-yu kami minta pertanggungan jawabmu untuk menyerahkan Sau Peng-lam.”

"Sesudah itu, lalu apa yang akan Sam-lo lakukan terhadap Gihengku?”

"Akan kutanya dia, mengapa dia lupa budi mengingkar janji"!" kata Bok Jong-siong.

"Lupa budi dan ingkar janji?" Peng-say menegas dengan bingung. "Gihengku adalah seorang lelaki sejati, masa dia pernah lupa budi dan ingkar janji?”

"Apakah kau tahu peristiwa terbunuhnya Hui Pin. Sute Coh Cu-jiu yang terkenal sebagai jago pukulan Tay-jiu-in itu?" tanya Bok Jong-siong.

"Tahu, cuma entah siapa yang membunuhnya?”

"Akulah yang membunuhnya," kata Jong-siong.

"Sebab apakah Bok-lo membunuh Hui Pin?”

"Sebab kalau tidak kubunuh dia tentu ada lima orang lain yang akan terbunuh," tutur Bok Jong-siong. "Di antara kelima orang termasuk pula Sau Peng-lam. Tak tersangka Gihengmu ternyata tidak dapat jaga rahasia, walau pun akupun bersalah karena waktu itu tidak kujelaskan betapa berbahayanya urusan, tapi Gihengmu adalah seorang jago yang telah ternama, mustahil tidak dapat membedakan bahava atau tidaknya sesuatu perkara?”

"Sebab itulah maka Bok-lo menuduh Gihengku lupa budi dan ingkar janji?" tanya Peng-say.

"Betul, kalau dia tidak membocorkan rahasia peristiwa itu sehingga diketahui Coh Cu-jiu, tentu urusan tidak berubah menjadi seperti sekarang ini," kata Bok Jong-siong.

"Betapa sempitnya jiwa Coh Cu-jiu, lantaran kematian Hui Pin itu, secara besar2an dia telah mengerahkan segenap kekuatan Say-koan untuk menyatroni kami, untunglah kawan2 dari Yan-san dan Siong-san pay keburu datang menolong, kalau tidak tentu saat ini Thay-san-pay sudah runtuh habis2an.”

"Tionggoan-samyu sudah bersatu padu, senasib setanggungan, demi membela seorang Sutenya yang durhaka itu dia tidak segan2 merusak persatuan kita, dia pandang rendah Bok-lo berarti meremehkan Sam-yu pula, yang untung adalah Ma-kau." demikian sambung Thianbun Totiang. "Apabila kami tidak bertahan mati2an.

Tionggoan-samyu tentu sudah hancur sejak lama. Namun Say-koan juga tidak mendapatkan keuntungan apa2, Coh Cu-jiu tidak mau menjadi Bengcu tapi lebih jika merusak persatuan, meski selama setahun ini Say-koan banyak menambah anggota-baru, namun anak muridnya juga tidak sedikit yang menjadi korban keganasan pihak Ma-kau.”

Ting-sian Suthay menggeleng, katanya; "Coh Cu-jiu membela urusan kecil sehingga kehilangan yang besar, mendingan cuma kehilangan kawan sekutu. yang celaka ialah anak buahnya makin lama makin gado2 tak keruan sehingga banyak merugikan nama Say-koan sendiri.”

"Orang ini terlalu ambisius." kata Thian-bun. "Demi menjagoi Bu-lim, dia tidak memikirkan namanya lagi yang tercemar. Tapi kita menjadi kenal juga wajah aslinya.”

"Tapi harus diceritakan juga, bila Sau Peng-lam tidak membocorkan rahasia terbunuhnya Hui Pin, tentunya urusan takkan berantakan seperti sekarang," kata Bok Jong-siong. "Betapapun Coh Cu-jiu adalah tokoh perguruan ternama, Ngo-hoa-koan sudah termashur selama ratusan tahun, hal ini diketahui oleh siapapun juga, kalau tidak terpaksa, kukira tidak nanti Coh Cu-jiu memperlihatkan ambisinya yang gede itu.”

Peng-say menjadi kurang senang, tanyanya: "Memangnya Gihengku yang mengakibatkan Coh Cu-jiu meninggalkan jalan yang baik dan menuju ke jalan sesat?”

"Kau penasaran bagi Gihengmu, bukan?" ujar Ting-sian dengan tersenyum. "Setiap urusan tentu ada sebab dan akibatnya. Dalam hal ini, memang berawal oleh karena Gihengmu membocorkan rahasia kematian Hui Pin, maka urusan menjadi runyam begini. Tapi mungkin juga sudah takdir, andaikan tiada persoalan Sau Peng-lam sehingga Say-koan putus hubungan dengan Sam-yu kami, kukira akhirnya Coh Cu-jiu juga akan memusuhi kami.”

"Tapi kuyakin Gihengku tidak nanti membocorkan rahasia kematian Hui Pin," kata Peng-say.

"Berdasarkan apa kau berkata demikian?" tanya Thian-bun.

"Kalau Giheng mau berbuat begitu, tidak nanti Gi-lim membunuh diri di Soh-hok-han," tutur Peng-say, "Hah, Gi-lim mati di Soh-hok-han?" seru Ting-sian kaget.

"Sebab apa dia bunuh diri?”

"Supaya tidak ada orang dapat memaksa dia memberi keterangan tentang siapa yang membunuh Hui Pin," tutur Peng-say.

"Sesungguhnya bagaimana kejadiannya, coba ceritakan sejelasnya," pinta Bok Jong-siong.

Peng-say lantas menceritakan apa yang terjadi Soh-hokhan dahulu, dimana Ting Tiong dan Liok Pek dengan anak buah Say-koan hendak menawan Sau Peng-lam dan memaksanya supaya dia memberi keterangan siapa yang membunuh Hui Pin, Akhirnya ia berkata: "Namun Giheng tidak mau mengaku, sedangkan Gi-lim telah jatuh ditangan orang Say-koan, Nikoh cilik itu terharu melihat sikap tegas Gihengku, ia kuatir dirinya tidak tahan disiksa Ting Tiong dan Liok Pek dan akhirnya mungkin akan mengaku terus terang apa yang terjadi, maka dia terus membunuh diri untuk menghindari siksaan musuh. Kemudian rombongan Ting Tiong meninggalkan Soh-hok-han. tapi malamnya segenap anggota perguruan telah mengalami penyembelihan habis2an, meski Giheng tidak mati, namun terlalu berat terkena racun bius sehingga otaknya menjadi kurang waras dan melupakan segala kejadian di masa lalu, dengan sendirinya tidak mungkin lagi membocorkan rahasia yang diketahuinya.”

"Aneh," kata Thian-bun Totiang. "Mengapa Coh Cu-jiu sengaja bilang Sau Peng-lam yang memberitahukan hal terbunuhnya Hui Pin itu.”

Bok Jong-siong berpikir sejenak, samar2 ia dapat meraba duduknya perkara, katanya kemudian sambil manggut2: "Tahulah aku, agaknya Coh Cu-jiu mendengar desas-desus Hui Pin mati di tanganku, tapi dia tak dapat membuktikan, maka Ting Tiong dan Liok Pek diperintahkan mengusutnya ke Lam-han, meski Sau Peng-lam tidak membocorkan apa yang terjadi, tapi mereka tahu Sau Peng-lam mengetahui kejadian yang sebenarnya dan sengaja tidak mau mengaku.

Kemudian Coh Cu-jiu membawa anak buahnya ke Thaysan dan mencari diriku, dia sengaja bilang Sau Peng-lam yang memberitahukannya tentang kematian Hui Pin itu, tanpa menyelidiki lagi kukira benar2 Peng-lam yang membocorkan rahasia itu, aku menjadi gusar dan dendam, maka tanpa banyak susah lagi Coh Cu-jiu pun yakin berita yang didengarnya itu memang betul, maka Thay-san kami telah diobrak-abrik oleh orang Say-koan.”

"Gi-lim sudah mati, Sau Peng-lam kurang waras, darimana pula Coh Cu-jiu mendapatkan berita tentang kau yang membunuh Hui Pin?" tanya Thian-bun.

"Siapa lagi kalau bukan pihak Mo-kau," kata Bok Jong-siong.

"Mo-kau" Darimana pula Mo-kau tahu?" Thian-bun merasa bingung.

"Kan sudah kukatakan, waktu kubunuh Hui Pin, seluruhnya ada lima orang yang ikut menyaksikan. Wi-sute dan gembong Mo-kau Kik Yang kemudian mati, sisa tiga orang lagi, Gi-lim dan Peng-lam jelas tidak membocorkan kejadian itu, lalu siapa lagi kalau bukan cucu perempuan Kik Yang, Kik Fi-yan yang membocorkannya" Kik Fi-yan masih kecil dan tidak mungkin diperalat orang, sepulangnya di markas Mo-kau, tentunya dia melaporkan tentang kematian kakeknya kepada sang Kaucu, mau-tak-mau tentu ia ceritakan pula terbunuhnya Hui Pin itu. Nah, kesempatan baik ini apa dapat di-sia2kan oleh Tonghong Put-pay, dengan sendirinya ia terus menyebar-luaskan berita tentng terbunuhnya Hui Pin olehku.”

"Ya, jadi selama ini kita telah salah menuduh Sau Peng-lam," kata Ting-sian.

"Untuk itu hendaklah Sau-heng suka memaafkan,”

segera Bok Jong-siong berbangkit dan memberi hormat kepada Peng-say.

Cepat Peng-say berdiri dan membalas hormat.

Selagi kedua orang itu berjengkang-jenking saling memberi hormat, tiba2 seorang murid Thay-san-pay berlari masuk dan berteriak: "Musuh menyerbu tiba!”

Serentak anak murid Thay-san-pay sama melolos senjata sehingga terdengar suara gemeratang-ramai dengan sinar pedang berkilauan.

Tiba2 terdengar suara seorang perempuan berkata dengan tertawa: "Wah, ramai sekali disini!”

Waktu semua orang memandang ke sana. tertampaklah di depan pintu berdiri seorang gadis jelita berambut panjang, usianya baru 20 tubuhnya yang bernas terbungkus di dalam baju sutera hitam yang tipis, jelas kelihatan tidak membawa senjata apapun.

Dengan lemah gemulai gadis itu melangkah ketengah ruangan, lalu mengikik tawa sambil mendekap mulutnya dengan lengan bajunya yang longgar, katanya: "Hihi, apakah anak murid Sam-yu biasanya menyambut kedatangan tamu dengan senjata terhunus?”

Melihat lawan hanya seorang gadis lemah, para murid yang sudah telanjur melolos pedang itu sama menyadari ketegangannya sendiri, maka be-ramai2 mereka menyimpan kembali senjata masing2.

Segera Bok Jong-siong berkata: "Sam-yu tidak menerima tamu yang sembarangan menerobos tanpa permisi, silakan nona pulang!”

"Tidak menerima tamu yang terobosan, apakah juga tidak menerima musuh yang berterobosan?" jawab gadis rambut panjang dengan tertawa.

"Nona datang sendirian, apakah kau tidak terlalu meremehkan orang?" jengek Bok Jong-siong.

"Tidak, aku membawa serta seorang teman," kata nona itu.

"Jika begitu, silakan menghadap sekalian," kata Jong-siong.

"Ah, dia hanya seorang hamba saja, tidak berani berdiri sejajar dengan para ksatria yang hadir di sini," ujar si nona.

Dia bicara dengan selalu tersenyum simpul, sedikitpun tiada tanda2 hendak mencari perkara.

Bok Jong-siong menjadi tidak enak sendiri, terpaksa ia tanya dengan ramah: "Lalu apa maksud kedatangan nona?”

Mata si nona yang jeli itu mengerling sekejap sekelilingnya, lalu menjawab dengan tertawa: "Kedatanganku hanya ingin mempertunjukkan sedikit kepandaian seni yang tidak berarti kepada tuan2 disini.”

Lalu ia bertepuk tangan pelahan, seorang genduk cilik berdandan sebagai pelayan lantas melangkah masuk dengan cepat, tangan genduk cilik mengusung sebuah kecapi tujuh senar lalu berdiri di samping nona tadi.

Sesudah menerima kecapi itu, nona rambut panjang itu berkata: "Aku baru saja belajar metik sebuah lagu baru dan ingin kupertunjukan kepada tuan2, apabila Anda sudi, silakan mendengarkan.”

"Apakah nona sengaja hendak pamer dan mencari gara2 ke sini?" tegur Bok Jong-siong dengan menarik muka "Yang baik takkan datang, yang datang tentu bermaksud tidak baik, kedatanganku mana berani kukatakan hendak pamer, mencari gara2 sih memang betul," jawab nona itu dengan tertawa.

"Siapa yang mendalangi kau kesini?" tanya pula Bok Jong-siong.

"Tidak ada yang suruh atau mendalangi, aku sendiri yang suka kemari," jawab nona itu. "Cuma sebelumnya ayahku sudah tahu, tadinya beliau mencegah niatku, tapi karena tekadku sudah bulat, terpaksa beliau meluluskan.”

"Siapa nama ayahmu yang terhormat?" tanya si kakek kecapi Bok Jong-siong.

Seperti anak kecil yang merasa penasaran, nona itu menjengkitkan mulut dan berkata: "Ai, mengapa Bok-lo tidak tanya namaku, tapi cuma tanya nama ayahku”

Memangnya namaku tiada harganya untuk ditanya?”

"Baiklah, mohon tanya siapakah nama harum nona?”

kata Bok Jong-siong dengan tertawa.

Nona rambut panjang itu tertawa senang sehingga kelihatan barisan giginya yang rajin dan putih bak biji ketimun. Jawabnya: "Aku she Tonghong dan bernama Kui-le.”

"Tonghong Kui-le?" Bok Jong-siong mengulang nama itu sambil berkerut kening. "Kau kenal Tonghong Put-pay tidak?”

"Ah, tanpa kukatakan juga dapat kau terka dengan tepat," ujar si nona rambut panjang alias Tonghong Kui-le.

"Tonghong Put-pay ialah ayahku.”

Keterangan ini membuat semua orang saling pandang dengan kejut dan heran, beberapa orang diantaranya lantas saling bisik2: "Berani amat budak ini datang sendirian ke sini!”

Tajam juga telinga Tonghong Kui-le, sorot matanya yang tajam menatap orang yang bersuara itu ia bertanya: "Memangnya kenapa aku tidak berani datang kesini?”

Orang yang ditatap itu adalah anak murid Thay-san-pay yang usianya sebaya dengan Tonghong Kui-le, anak muda ini ternyata lebih pemalu daripada anak perempuan, seketika mukanya menjadi merah dan tak dapat menjawab.

Tongliong Kui-le lantas menjawab pertanyaannya sendiri: "Ya, antara Ma-kau dan Tionggoan-samyu boleh dikatakan seperti api dan air, kalau bertemu. bila bukan membunuh tentu akan terbunuh Mungkin aku memang tidak tahu diri dan berani datang kesini sendirian, nyaliku memang agak besar, tapi....." dia tersenyum, lalu menyambung, "akupun tahu tuan2 adalah ksatria ternama yang berbuat luhur, tentunya kalian takkan menganiaya seorang anak perempuan yang tidak dapat melawan.

berdasarkan pikiran inilah aku lantas berani datang ke sini.”

Mendadak Thian-bun Totiang mendengus: "Hm.

perempuan lain mungkin akan kami lepaskan, tapi kau adalah anak Ma-kau-kaucu, kau boleh datang dan tidak boleh pergi!”

"Eh, Totiang yang bermuka Kwan Kong (seorang panglima perang terkenal jaman Sam Kok yang bermuka merah) ini apakah Thian-bun Totiang adanya?" tanya Tonghong Kui-le dengan tertawa.

Kembali Thian-bun hanya mendengus saja.

Tonghong Kui-le berkata pula: "Waktu aku hendak berangkat, ayahku memang merasa kuatir, kata beliau: 'Anak Le, kepergianmu ke Thay-san tanpa bersenjata, meski pihak lawan kebanyakan adalah tokoh2 pendekar ternama dan berbudi luhur dan takkan bertindak kasar padamu, tapi mendingan bila kau ketemu orang lain, jika kepergok Thian-bun Totiang, biarpun kau tidak melawan juga dia takkan melepaskan kau.' " Sudah tentu aku tak percaya, kataku: 'Ayah, Thian-bun Totiang memandang kejahatan sebagai musuh, orangnya jujur dan adil, jangan kau menakut-takuti aku agar aku tidak berani pergi.' " Ayah berkata pula dengan menyesal: 'Anak Le, mungkin kau tidak tahu bahwa guru Thian-bun Totiang tewas ditanganku, bencinya padaku tentu merasuk tulang, tapi iapun tidak mampu berbuat apa2 terhadapku. Selama berpuluh tahun ini dia tidak dapat menuntut balas padaku.

Sekarang kepergianmu ini tentu sangat kebetulan baginya, seperti anak domba yang disodorkan ke mulut harimau, tentu kau takkan dilepaskan, dia pasti akan membunuhmu untuk melampiaskan dendamnya.”

Merah padam wajah Thian-bun Totiang, bentaknya dengan gusar; "Betul, aku tidak dapat membunuh Tonghong Put-pay, terpaksa kubunuh anak perempuannya!”

Namun Tonghong Kui-le tidak gentar sedikit-pun, ucapnya dengan tertawa: "Dengan ucapannya tadi ayah mengira aku dapat di-takuti, tak tersangka aku telah menjawab; 'Ayah, engkau yang telah membunuh guru orang, syukur jika kepergian anak ini dapat dilepaskan oleh Thian-bun Totiang, kalau tidak, ya nasib. Pendek kata anak sudah bertekad akan berkunjung ke Thay-san.”

Karena nada si nona tidak menyetujui sikap ayahnya yang telah membunuh guru orang, rasa gusar Thian-bun rada berkurang, tapi ia lantas mendengus; "Hm, anak perempuan sudah bosan hidup barangkali.”

"Betul juga, sejak kutahu ayah banyak membunuh orang, aku memang rada2 bosan hidup." kata Tonghong Kui-le.

"Maka dengan menyerempet bahaya kudatang kesini untuk melerai permusuhan ayah dengan Sam-lo agar kedua pihak tidak lagi saling bunuh membunuh dan menimbulkan korban yang tak berdosa.”

"Cara bagaimana akan melerai permusuhan ini?" tanya Bok Jong-siong.

"Caranya sangat sederhana," jawab Tonghong Kui-le dengan tertawa. "Asalkan Sam-lo mengalah kepada ayahku, kan urusan menjadi beres.”

"Hm, mengapa nona tidak minta ayahmu yang mengalah kepada kami?" jengek Bok Jong-siong.

"Sudah tentu telah kumintakan, kalau tidak untuk apa kudatang kesini untuk mempertunjukkan kepandaian apa segala?" kata si nona. "Malahan ayahku sudah berjanji segenap kekuatan Ma-kau akan dipindahkan keluar dari Tionggoan dan mundur ke Kwan-gwa.”

Selama ini Mo-kau malang melintang di Kwan-lay, (didalam perbatasan tembok besar) dan Kwan-gwa (di luar perbatasan), sudah lama dunia persilatan Tionggoan mengalami gangguannya. Kalau terjadi Kwan-gwa, karena tempatnya terlalu jauh, Tionggoan-samyu tidak dapat ikut campur, tapi kalau terjadi sesuatu di Kwan-lay, betapapun Sam yu tidak bisa tinggal diam sehingga permusuhan kedua pihak makin mendalam, soal bunuh membunuh juga sudah sering terjadi, Sekarang kalau pihak Mo-kau mau mundur keluar perbatasan, sudah tentu hal ini sangat menguntungkan dunia persilatan daerah Tionggoan, suasana dapatlah aman tenteram dan Sam-yu juga tidak perlu banyak ikut campur urusan lagi. Bila Ma-kau hijrah keluar Kwan-gwa, disana yang akan dihadapinya hanya Say-koan saja, keduanya sama2 kejamnya dan keras, bila terjadi gontok2an diantara mereka dan akhirnya sama2 hancur, itulah sangat kebetulan bagi dunia persilatan umumnya.

Karena itulah Bok Jong-siong sangat menarik perhatian terhadap uraian Tonghong Kui-le tadi, segera ia bertanya: "Dengan syarat apa ayahmu menyanggupi akan mengundurkan kekuatan Mo-kau dari daerah Tionggoan?”

"Syaratnya" Kan sudah kukatakan kedatanganku ini hendak memberi pertunjukkan, apabila Sam-lo sanggup mendengarkan satu lagu kecapiku. segera kupulang untuk memberitahukan kepada ayah, lalu apa yang sudah dijanjikan segera dapat dilaksanakan.”

"O, kiranya kedatangan nona ini hendak menguji kekuatan Sam-yu kami?" Bok Jong-siong mengangguk.

"Tidak menjadi soal bagi kami untuk mendengarkan kecapimu, tapi apakah kau dapat menjamin ayahmu akan menepati janji?”

"Urusan orang tua mana orang yang menjadi anak berani memberi jaminan?" jawab Tonghong Kui-le. "Namun janji ayah memang sudah jelas dan pasti, bilamana kalian sudah mendengar bunyi kecapiku dan kuatir ayahku ingkar janji, nanti boleh kalian tawan diriku untuk dijadikan sandera.

Hendaklah kalian maklum, ayah hanya mempunyai anak perempuan diriku ini satu2nya, aku dipandangnya lebih berharga daripada jiwa beliau, dengan sandera diriku pasti dapat memaksa beliau menepati janji.”

"Baik, akan kami dengarkan lagu kecapimu. kata Bok Jong-siong. "Tapi ingat, lebih baik kita bicara buruk di muka, nanti kami takkan segan2 bertindak padamu, demi mengusir Ma-kau keluar dari Tionggoan terpaksa akan kami tawan kau sebagai sandera. Pula kami takkan peduli apakah tindakan kami ini akan dapat memaksa ayahmu atau tidak. kalau kami bunuh kau sedikitnya akan dapat menghibur arwah para ksatria yang telah menjadi korban keganasan Ma-kau kalian.”

"Boleh saja, terserah apa kehendak kalian nanti," ujar Tonghong Kui-le. "Akan tetapi bagaimana tindakan kalian apabila kalian tidak sanggup mendengarkan bunyi kecapiku?”

Sudah tentu Bok Jong-siong tidak percaya akan terjadi sesuatu yang luar biasa pada bunyi kecapi si nona, maka dengan tegas ia menjawab: "Bila begitu, seterusnya Sam-yu dan anak muridnya tak-kan mengganggu-gugat apa vang dilakukan pihak Ma-kau.”

Tonghong Kui-le menggeleng pelahan, katanya: "Tidak perlu begitu. Pernah kudengar ayahku berkata: Asalkan Tionggoan-sam-yu mati semua, yang lain2 tidak ada artinya lagi, hanya di bawah pimpinan Tionggoan-samyu barulah mereka berani mengadakan perlawanan terhadap agama kita." "O, maksudmu, jika kami tidak sanggup mendengarkan bunyi kecapimu, kami harus membunuh diri, begitu?" tanya Bok Jong-siong.

Melihat cara bicara Tonghong Kui-le begitu yakin dan pasti, walaupun sukar dipercaya bahwa dengan usia semuda ini nona ini mampu mengerahkan Lwekangnya kedalam suara kecapinya untuk membunuh orang. Namun buktinya dia hanya membawa seorang pelayan dan mampu menerjang keatas gunung, jelas kepandaiannya memang tidak boleh dipandang enteng, bukan mustahil di tengah suara kecapinya ada sesuatu kekuatan gaib, hal ini yang harus dijaga. Untuk menjaga agar anak muridnya serta Sau Peng-say yang tampaknya tidak memiliki kekuatan Lwekang itu tidak menjadi korban, segera ia memberi perintah: "Kecuali aku dan Thian-bun Toheng serta Ting-sian Suthay, yang lain2 semuanya mundur keluar.”

"Tidak, siapapun tidak boleh pergi," kata Tonghung Kui-le mendadak.

Bok Jong-siong berkerut kening, katanya dengan kurang senang: "Bila kami Sam-yu tidak sanggup mendengarkan bunyi kecapi nona, anak murid kami yang berada disini tentu juga sukar lolos dari kematian. Kalau nona tidak menyetujui ayahmu saling membunuh dengan kaum persilatan kami dengan sendirinya nona juga takkan senang membunuh orang, mengapa anak murid kami harus kau suruh tetap tinggal disini?”

Tonghong Kui-le tertawa, jawabnya: "Mereka harus tetap tinggal disini untuk menyaksikan-cara bagaimana ketika guru mereka mati agar nanti tidak mencurigai aku menggunakan akal licik. Namun Bok-lo janganlah kuatir.

suara kecapiku ini kubunyikan tertuju kepada sasaran tertentu, kecuali Sam-lo pasti takkan kulukai orang lain.”

Sam-lo memang tidak percaya di dunia ada suara kecapi dapat membunuh orang, sekarang si nona bahkan membual bahwa suara kecapinya dapat dikendalikan sesuka hatinya terhadap musuh yang dituju, hal ini lebih2 sukar dipercaya.

Maka sambil menengadah dan tertawa Bok Jong-siong lantas berkata: "Bagus, jika nona mempunyai kesaktian begitu, agaknya kamilah yang terlalu banyak berkuatir.

Ayolah sediakan meja dan bakar dupa, marilah kita siap mendengarkan.”

"Tidak perlu repot," ujar Tonghong Kui-le, Dengan lengan bajunya yang lebar segera ia mengebat lantai beberapa kali, lalu berduduk dengan gayanya yang manis, kecapi tujuh senar yang dibawanya lantas ditaruh didepannya, terjulur tangannya yang putih mulus dengan jari jemarinya yang lentik dan mulailah dia menyetel senar kecapinya sesuai nada yang diperlukan.

"Lagu ini bernama Siau-go-yan-he, harap para hadirin mendengarkan!" katnnya kemudian dan mulailah memetik kecapinya, seketika terdengar suara kecapi yang merdu berkumandang menyusup ke telinga setiap orang.

Tionggoan-samyu tidak berani gegabah. mereka mengira si nona akan meleburkan kekuatan Lwekangnya kedalam suara kecapi untuk menyerang mereka, maka diam2 merekapun mengerahkan tenaga dalam untuk ber-jaga2.

Mereka pikir betapa pun tinggi kekuatan si nona juga sukar melawan mereka bertiga, jika perlawanan demikian terus berlangsung, andaikan nona itu mengeluarkan segenap kemahirannya juga takkan berbahaya bagi mereka.

Dengar dan dengar lagi, tanpa terasa timbul perasaan sedih Bok Jong-siong, pikirnya: "Kepandaian memetik kecapi budak ini sudah mencapai tingkatan tertinggi, selama hidup aku pun belajar main kecapi, tapi belum pernah sanggup membawakan lagu sedemikian mengharukan" Percuma aku mendapat julukan si kakek kecapi!" Lambat-laun ia menjadi lupa mengerahkan tenaga perlawanan, pikirannya ikut terhanyut oleh alunan suara kecapi yang menggetar sukma itu.

Kalau Bok Jong-siong sampai terpengaruh oleh suara kecapi Tonghong Kui-le, jangan ditanya lagi anak murid Sam-yu, barang tentu Thian-bun Totiang dan Ting-sian Suthay juga tidak terkecuali. Mereka sama lupa mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, malahan mereka merasa kurang jelas mengikuti Irama kecapi, kalau bisa tumbuh lagi sepasang suling tentu dapat lebih meresapi bunyi kecapi yang mengharukan itu. Seketika semua orang jadi melupakan bahaya apa yang sedang dihadapinya.

Lagu "Siau-go-yan-he" sendiri sebenarnya tidak dapat membunuh orang, kelihayannya terletak pada suaranya, biarpun telinga kau tutup juga tetap akan terpengaruh oleh iramanya yang merdu, betapapun kekuatan tenaga dalam seseorang, apabila sudah terpengaruh, maka longgarlah kewaspadaan dan tentu saja dalam keadaan demikian tentu saja tak bisa berkutik dan akan disembelih orang sesukanya.

Diantara semua hadirin itu kecuali Tonghoug Kui-le sendiri, hanya ada dua orang lagi yang tidak terpengaruh oleh irama kecapi itu, yang satu adalah genduk cilik yang ikut datang bersama Tonghong Kui-le. Sebenarnya dia bukan babu atau pelayan biasa melainkan adik perempuan Tonghong Kui-le sendiri, namanya Tonghong Kui-jin. Dia sengaja berdandan sebagai genduk agar tidak menarik perhatian musuh. Sebabnya dia tidak terpengaruh oleh suara kecapi adalah karena dia sendiri juga pernah belajar lagu Siau-go-yan-he itu, hanya saja tidak semahir sang kakak. Seorang lagi yang tidak terpengaruh irama kecapi ialah Sau Peng-say. Dia masih duduk tenang2 dikursinya, malahan dia sangat getol mengikuti irama kecapi itu, tanpa terasa jari jemarinya ikut ber-gerak2 mengetuk lutut sendiri sungguh ia ingin mengeluarkan serulingnya dan membawakan lagu itu bersama Tonghong Kui-le.

Sejenak kemudian, tiba2 Tonghong Kui-le berseru: "Moaymoay (adik), sudah waktunya boleh turun tangan!”

Usia Tonghoug Kui-jin baru 15-16, kulit badannya hitam manis, meski tidak semulus kakaknya, tapi juga tergolong cantik.

Sambil mendengus ia mengeluarkan sebilah belati, selangkah demi selangkah ia mendekati Tiong-goan Samyu. Sudah tentu ketiga orang itu tidak menyadari bahaya yang sedang mengancam, mereka masih kesemsem oleh irama kecapi dan tidak bergerak sedikitpun.

"Bila mati kubunuh janganlah Sam-lo menyesal salah kalian sendiri karena berani bermusuhan dengan ayahku!”

gumam Tonghong Kui-jin dengan pelahan, belati berkelebat, segera ia hendak menikam ulu hati Bok Jongsiong. Namun Sau Peng-say sudah ber-siap2, mendadak ia melompat maju. secepat kilat ia pegang pergelangan Tonghong Kui-jin, katanya sambil menggeleng: "Eh, mana boleh kau berbuat demikian?”

"He, kau.....kau...." Tonghong Kui-jin menjerit dengan mata terbelalak. Nyata kejutnya tak terkatakan, seperti melihat hantu saja.

"Aku" Aku sangat baik," kata Peng-say dengan tertawa.

"Eh. duduk, silakan duduk, jangan mengganggu gairah permainan kecapi Tacimu!”

Habis berkata Peng-say tarik Tonghong Kui-jin dan menyuruhnya berduduk. Sia2 saja Tonghong Kui-jin memiliki ilmu silat yang tinggi, karena pergelangan tangannya terpegang, sama sekali ia tak dapat bergerak. ia hanya menjerit: "Lepaskan. lepaskan aku!....”

Sekuatnya ia meronta, tapi tenaga yang dikerahkan itu segera sirna terbendung oleh tenaga dalam lawan yang menyalur masuk tangannya. Tahulah dia Lwekang lawan sangat tinggi dan sukar dilawan. Jika banyak tingkah lagi, bila tergetar oleh tenaga dalam lawan yang kuat itu, bisa jadi dirinya sendiri yang akan runyam.

Terpaksa ia berdiri dan tidak meronta lagi, jeritannya berubah menjadi memohon: "Harap..... harap lepaskan aku.....”

"Jangan bicara dulu, kalau pikiran Tacimu terkacau, mungkin irama kecapi akan sumbang dan Sam-lo akan segera mendusin, jika demikian jadinya tentu celakalah kalian," kata Peng-say dengan tertawa.

Dalam pada itu Tonghong Kui-le juga melihat adik perempuannya tertangkap oleh Peng-say sebabnva dia tidak berani memberi pertolongan justeru sesuai apa yang dikatakan Peng-say itu. Ia tahu Lwekang Tionggoan-samyu tidaklah lemah. kalau irama kecapi mengendur sedikit tentu mereka akan sadar kembali. Dan kalau Sam-lo turun tangan sekaligus, tentu mereka kakak beradik tak dapat lolos lagi.

Karena itulah Tonghong Kui-le tetap main kecapi tanpa berhenti, tapi pandangannya tertuju kearah Sau Peng-say. ia heran orang macam apakah pemuda tak dikenal ini.

ternyata tidak terpengaruh oleh suara kecapinya yang lihay itu.

Tapi hanya sejenak ia mengamati anak muda itu, diam2 ia terkejut: "Pantas dia lebih kuat dari pada Sam-lo, kiranya Lwekangnya sudah terlebur hingga bersatu dengan jiwaraganya dan tidak kelihatan.”

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar