Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 30

Jilid 30

SUATU hari sampailah mereka di Kamciu.

"Di mana Suhumu bertempat tinggal?" tanya Ciau-hoa.

"Di kaki puncak Ki-lian." tutur Peng-say.

Mereka bertiga menunggang kuda, maka Peng-say lantas mendahului melarikan kudanya ke kaki gunung.

Melihat suasana ditepi jalan, diam2 Soat Ciau hoa merasa gegetun.

Kiranya jalanan ini adalah jalan yang dahulu pernah dilaluinya bersama Tio Tay-peng waktu dari hotel mereka menuju ke Ki-lian-san. Kejadian itu sudah 20 tahun berselang, tapi pemandangan setempat masih serupa dahulu, sedikitpun tidak berubah.

Ia masih ingat, satu2nya yang berbeda adalah dahulu sedang turun salju, sedangkan sekarang cuaca terang benderang, namun urusan dan orangnya sudah tidak sama, bayangan kekasih di masa lalu itu kini entah berada di mana" Setiba di kaki gunung, Soat Ciau-hoa menunjuk sebuah jalan kecil dan berkata: "Dahulu aku dan Tio Tay-peng manjat ke atas melalui jalan ini, di atas puncak sana kutemukan Siang-liu-kiam-boh.”

"Di sebuah gua rahasia di sekitar puncak Sana guruku menetap," tutur Peng-say.

"Oo?" diam2 Soat Ciau-hoa merasa heran mengapa Tio Tay-peng memilih gua rahasia di sini sebagai tempat tinggalnya”

Didengarnya Peng-say bertutur pula: "Dua-tiga kali setiap bulan guruku pasti mendaki ke puncak gunung melalui jalan kecil ini. Suatu hari pernah kuminta Suhu membawa serta diriku main2 ke atas gunung, tapi Suhu tidak mengizinkan, katanya di puncak gunung hanya salju melulu, tiada sesuatu yang menarik. Karena penolakan Suhu itu, selanjutnya aku tidak pernah minta lagi, tapi diam2 kupikir Suhu terlalu mementingkan dirinya sendiri, diatas puncak tentu pemandangan sangat indah dan Suhu hanya ingin menikmatinya sendiri.”

"Hm, mana boleh kau berpikir begitu, masa ada guru yang tidak mau menikmati pemandangan indah bersama muridnya?" jengek Soat Koh mendadak. "Di puncak gunung sangat dingin dan memang salju melulu, jelas tiada sesuatu yang menarik, makanya gurumu tidak mau mengajak serta kau. Hanya orang udik saja yang tidak pernah lihat salju dan merasa tertarik oleh pemandangan di puncak gunung.”

"Aku memang orang udik, makanya ingin menikmati pemandangan salju yang memenuhi puncak gunung," kata Peng-say.

Soat Koh tampak kurang senang, katanya: "Kenapa akhir2 ini selalu kau bicara ketus padaku"!”

"Jika kau anggap ucapanku kasar, jangan kau gubris diriku," jawab Peng-say dengan tertawa.

"Hm, memangnya kau kira aku suka menggubris kau?”

jengek Soat Koh. "Hanya karena pendapatmu keliru, terpaksa aku menyeletuk untuk membetulkan jalan pikiranmu.”

"Bila pandanganku keliru dan kau suka memberi koreksi, tentu saja aku berterima kasih padamu," kata Peng-say.

"Tapi pendapatku atas kepergian guruku ke atas puncak itu mempunyai alasan tersendiri. Bibi bilang Siang-liu-kiam-boh ditemukan di atas puncak itu, hal ini mengingatkan padaku ketika setiap kali Suhuku turun dari atas puncak, beliau selalu kelihatan berduka, jelas kepergian Suhu ke atas puncak itu bukan untuk menikmati pemandangan segala.

Tentu beliau ada alasan lain sehingga aku tidak boleh ikut.”

"Alasan lain apa?" tanya Soat Koh.

"Bibi, jika aku salah omong hendaklah engkau jangan marah." pinta Peng-say.

"Katakan saja," ujar Ciau-hoa.

Maka Peng-say lantas menyambung: "Mungkin Suhu kuatir kuganggu ketenangannya di atas puncak, sebab beliau di sana hanya termenung mengenangkan kekasihnya di masa lampau. . . .”

"Maksudmu setiap kali gurumu pergi ke puncak sana hanya untuk mengenangkan Suhuku?" tanya Soat Koh dengan tertawa.

"Omong kosong!" omel Soat Ciau-hoa.

"Bukan murid yang omong, tapi dia," ujar Soat Koh sambil menuding Peng-say.

"Hm, kutahu sebab apa Tio Tay-peng sering naik ke atas puncak, tentu karena dia tidak puas dengan Pedang Kiri yang dilatihnya," kata Soat Ciau-hoa. "Meski dia tidak tahu kitab yang diperolehnya itu cuma setengah bagian, tapi dalam hati dia tahu hanya Pedang Kiri saja tidak mungkin mencapai nomor satu di dunia. Demi untuk menyelidikinya secara tuntas, maka dia sering mendatangi tempat wafatnya Sau Ceng-in dengan tujuan kalau dapat menemukan Kiam-boh yang benar2 dapat membuatnya menjadi jago pedang nomor satu di dunia.”

"Tapi selain Siang-liu-kiam-hoat, pamanku tidak mempunyai ilmu pedang lain lagi yang dapat dikatakan nomor satu di dunia, sedangkan guruku sudah tahu dengan pasti bahwa yang dilatihnya adalah Siang-liu-kiam-hoat, mana mungkin dia mencari Kiam-boh lain lagi" Betapapun tuduhan bibi kepada guruku ini tidak dapat kusetujui.”

"Aku tidak perlu minta persetujuanmu," jengek Ciau-hoa. "Jika tidak percaya, setiba di atas pun tak nanti tentu dapat kau buktikan bahwa ucapan bibimu tidaklah keliru.”

Begitulah mereka lantas turun dari kuda dan berjalan ke atas menyusuri jalan sempit itu.

Jalan itu jarang dilalui orang sehingga hampir tidak kelihatan sebagai jalan lagi, ditambah dari atas gunung sering ada salju yang cair dan mengalir turun melalui jalan itu, maka jalannya terasa lembab dan licin.

Tidak jauh, Peng-say meninggalkan jalan sempit itu dan melompat ke atas batu padas terus melayang ke atas. Hal ini segera ditiru oleh Soat Ciau-hoa dan Soat Koh, dengan Ginkang mereka terus melayang dan meloncat ke atas dengan cepat. Setiba di suatu tempat yang agak datar, tertampak di pojok sana ada sebuah gua, untuk memandang ke sini dari bawah harus dilakukan dengan mendongak, tapi dibandingkan puncak Ki-lian yang ribuan kaki tingginya, tempat ini tidak lebih hanya kaki gunung saja.

"Di dalam gua inilah guruku bertempat tinggal," kata Peng-say.

"Sungguh tak tersangka dibalik batu2 padas ada tempat datar begini, hebat juga gurumu dapat menemukannya,”

kata Soat Koh. Karena bakal bertemu dengan bekas kekasihnya, betapapun hati Soat Ciau-hoa rada berdebar, suaranya menjadi rada gemetar, dengan tergegap ia bertanya; "Apakah Su . . . .Suhumu sekarang berada di dalam gua?”

"Mungkin tidak ada," jawab Peng-say. "Kalau beliau ada di dalam gua, kedatangan kita tentu sudah dilihatnya.

Sekarang tiada terdengar sesuatu suara, agaknya Suhu telah naik ke atas puncak lagi.”

Diam2 Ciau-hoa menghela napas lega, ejeknya: "Hm, tentunya ke atas gunung untuk mencari pusaka pula.”

Peng-say mendahului masuk ke dalam gua, tapi mendadak ia bersuara heran: "He, tidak betul'“

"Tidak betul bagaimana"!" tanya Ciau-hoa dengan jantung berdetak.

"Tampaknya sudah lama sekali Suhu meninggalkan tempat ini," kata Peng-say. Dia meraba debu di atas meja batu, lalu berkata pula: "Inilah tempat yang kami gunakan sebagai meja makan, biasanya selalu dibersihkan, tapi sekarang debu setebal ini. jelas sudah cukup lama meja ini tidak pernah digunakan.”

"Mung . . . mungkinkah terjadi sesuatu?" tanya Ciau-hoa dengan kuatir.

"Kukira tidak sampai terjadi apa2," kata Peng-say.

"Mungkin kedatangan kita tidak kebetulan, Suhu sedang pergi ke tempat jauh dan sudah beberapa bulan tidak pulang." Ciau-hoa agak kecewa, tanyanya pula: "Apakah kau tahu dia pergi kemana?”

"Bila Suhu pergi jauh, beliau tentu meninggalkan pesan, boleh jadi dia akan memberitahukan padaku kemana beliau pergi," kata Peng-say sambil mendekati sebuah tempat tidur, ia coba menggerayangi bawah tempat tidur.

"Apa yang kau cari?" tanya Soat Koh.

Peng-say tidak menjawab, tapi dari bawah tempat tidur ditariknya keluar sebuah peti kayu. Ia membuka tutup peti, dilihatnya isinya cuma pakaian melulu dan tiada secarik kertas apapun. "Aneh," gumamnya. "Suhu pergi jauh tapi tidak membawa pakaian, juga tidak meninggalkan pesan.

Padahal waktu kuturun gunung, beliau telah berkata padaku bahwa bila beliau bepergian tentu akan meninggalkan surat di dalam peti ini.”

Soat Ciau-hoa tampak ikut prihatin, katanya; "Kukira mungkin terjadi sesuatu diluar dugaan. Apakah gurumu selalu membawa Siang-liu-kiam-boh di dalam bajunya?”

"Selamanya Suhu tidak pernah membawa benda2 penting dalam bajunya, milik beliau yang penting selalu disembunyikan di liang yang terletak di bawah tempat tidur," tutur Peng-say.

"Jika begitu lekas kau periksa adakah terdapat Siang-liu-kiam-boh," kata Ciau-hoa. "Kalau tidak ada, hanya ada dua kemungkinan. kitab pusaka itu dibawa serta oleh gurumu atau sudah ditemukan oleh musuh yang telah mencelakai gurumu." Segera Peng-say meraba lagi kebawah tempat tidur.

dipindahkannya sepotong batu, lalu ditariknya keluar satu bungkusan dan dibukanya, terlihatlah benda2 berharga sebangsa emas perak, tiada terdapat barang sejenis kitab dan sebagainya.

"Coba cari lagi!" kata Ciau-hoa dengan agak tegang.

Peng-say meraba pula agak lama, akhirnya ditemukan lagi satu bungkus kecil kain biru berbentuk segi empat, sekali pandang lantas tahu isinya pasti sebangsa buku.

Cepat bungkusan itu dibukanya, betul juga, isinya adalah beberapa jilid buku pelajaran silat serta cara2 bersemadi agar menjadi dewa segala, yaitu sebangsa primbon yang banyak terdapat di pasar. Tapi seselah diperiksa lagi, paling bawah adalah satu jilid buku kain tipis, sampul buku tiada tertulis apa2, hanya pada kanan-kiri terlukis sebatang pedang panjang.

"Itulah Siang-Hu-kiam-boh," seru Ciau hoa. "Jika kitabnya masih terdapat disini. tentunya gurumu juga tidak mengalami bahaya. Mungkin gurumu sedang pergi jauh dan belum pulang. Jika ada alangan, tidak nanti kitab pusaka yang diincar setiap orang ini masih tersimpan dengan baik disini.”

Peng say sendiri tidak pernah melihat kitab pusaka ini.

iapun tidak tahu apakah kitab ini tulen atau palsu. Ia coba membalik halaman pertama, tertampaklah di tengah2 halaman tertulis "Siang-liu-kiam-boh", sehalaman penuh hanya tertulis empat huruf-besar ini. hanya di bagian kanan atas diberi catatan oleh Tio Tay-peng yang berbunyi: "Kitab ini dihadiahkan kepada anakku Tio Peng-say, dari ayah".

Sekali pandang saja Peng-Say lantas mengenali tulisan tangan gurunya, ia tidak heran tentang salah paham gurunya yang menyangka dirinya sebagai anaknya.

Tapi Soat Ciau-hoa lantas gusar, tanyanya: "Siapa itu Tio Peng-say?”

Kiranya iapun dapat mengenali tulisan Tio Tay-peng, ia tidak menyangka laki yang tidak setia itu mempunyai pula anak yang bernama "Tio Peng-say", maka ia sangat marah.

Cepat Peng-say menjawab: "Yang dimaksud ialah diriku." "Kau. . . .kau. . . .jadi kau ini anak Tio Tay-peng?" teriak Ciau-hoa dengan suara melengking.

"Bukan, Suhu salah sangka ...,.”

Tapi Soat Ciau-hoa sudah kadung naik darah, ia tuding Peng-say dan memaki: "Bagus, kau memang nomor satu dalam hal berdusta. Hm, tadinya kau mengaku sebagai anak Sau Ceng-hong, dustamu ini sungguh sangat rapi, pantas kau tahu seluk-beluk keluarga Soat kami, kiranya kau ini anak haram yang dilahirkan adik perempuanku yang tidak tahu malu dengan keparat Tio Tay-peng itu.”

Dia tidak memberi kesempatan kepada Peng-say untuk memberi penjelasan, mendadak ia berpaling dan berkata kepada Soat Koh. "Lolos pedangmu dan bantu aku membunuh anak haram ini!”

Melihat sang guru benar2 murka dan mencabut pedang.

cepat Soat Koh berseru: "Suhu, bukankah sudah kau sanggupi takkan membunuh dia?”

"Aku berjanji takkan membunuh muridnya Tio Taypeng, tapi tidak pernah menyanggupi tidak membunuh anaknya," jawab Soat Ciau-hoa.

"Apa per. . . .perbedaannya?" ujar Soat Koh.

Ciau-hoa tahu sendirian sukar membunuh Peng-say, ia menjadi gusar melihat Soat Koh belum lagi melolos pedangnya, damperatnya dengan gusar: "Budak kurang ajar, tambah lama kau kau tambah tidak menurut perintah gurumu!" "Bukan murid tidak menurut perintah, tapi kita sudah berjanji tidak membunuhnya, kita tidak. . .. tidak boleh ingkar janji. . . .”

"Anak haram ini telah menipu kita, dosanya harus mati”

teriak Ciau-hoa, "Bibi," kata Peng-say, "dapatkah kau tenangkan diri dan dengarkan penjelasanku?”

"Bukti nyata terdapat di depan mata, apalagi yang akan kau jelaskan?" damperat Ciau-hoa.

"Suhu, berikan kesempatan padanya," Soat Koh ikut memohon.

Sambil mengangkat pedangnya, Soat Ciau-hoa berteriak dengan gusar: "Jika kau tidak segera melolos pedang dan membunuhnya, selanjutnya kita putus hubungan sebagai ibu dan anak.”

"Apa katamu, Suhu"!" teriak Soat Koh terkejut.

"Orang ini adalah kakakmu, kau telah mencintai kakaknya sendiri, kalau bukan dia yang mampus biarlah kau yang mati, sudah ber-ulang2 ibu memperingatkan agar jangan menggubris anak atau murid Tio Tay-peng, yang kukuatirkan justeru kejadian ini. Sekarang hal ini benar2 terjadi, bila kau merasa berat membunuh kakak sendiri.

boleh kau bunuh diri saja.”

Soat Koh tampak sedih, katanya: "Sekalipun dia memang kakakku dari satu ayah, tapi kami....kami tidak berbuat. . . .”

"Lolos pedangmu!" teriak Ciau-hoa dengan bengis.

Mendadak Peng say bergelak tertawa, katanya: "Hahaha, di dunia ini ternyata ada orang memaksa kakak adik saling membunuh, sungguh jarang terlihat.”

"Justeru sekarang boleh kau lihat!" bentak Ciau-hoa.

"Bibi, seumpama kau benci pada guruku yang tidak setia padamu dan anaknya harus kau bunuh untuk melampiaskan dendammu, tapi tidak seharusnya dalam keadaan demikian kau katakan rahasia ayah Soat Koh.

Perlu bibi ketahui, Soat Koh dan aku sama2 suci bersih, jangan kau gunakan alasan hubungan kami yang tidak senonoh dan mendesak dia membunuhku. Kini biarpun kau paksa dia. kukira dia takkan sampai hati membantu kau membunuh kakaknya sendiri.”

Mendadak Soat Ciau-hoa mengacungkan pedangnya sambil berteriak: "Tanpa bantuannya, aku sendiripun sanggup membunuh kau!”

Peng-say berlagak tak acuh untuk meredakan suasana yang tegang, katanya dengan tertawa: "Sudah tentu, aku memang bukan tandingan bibi, tapi kumohon sebelum bibi turun tangan sudilah berpikir lagi lebih cermat apakah mungkin aku ini anak Tio Tay-peng" Usia Soat Koh lebih muda dari padaku, apakah sebelum bibi kenal guruku. lebih dulu ibuku sudah kenal dia?”

Pertanyaan terakhir ini membikin pikiran Soat Ciau-hoa agak jernih, pikirnya: "Ya. memang tidak mungkin. Sejak kukenal Tio Tay-peng sehingga putus hubungan, belum pernah kami berpisah seharipun. Pada masa itu tidak mungkin dia kenal Kun-hoa, jika mereka kenal setelah hubungan kami putus tentu tidak dapat melahirkan anak yang lebih tua daripada Soat Koh. Jangan2 Tio-peng yang linglung itu benar2 salah mengenali bocah ini sebagai anak yang kulahirkan?”

Tiba" dilihatnya Peng-say mengeluarkan satu biji mutiara merah. Soat Ciau-hoa kenal mutiara ini, serunya: "He, Pi-tun-cu!”

"Betul, lantaran Pi-tun-cu inilah guruku salah sangka aku sebagai puteranya," kata Peng-say sambil menuding mutiara merah yang dipegangnya. "Hal ini tidak kuketahui sebelumnya, Kiau-jisuko yang membantuku menganalisa sebab-musabab guruku mau mengajarkan Siang-liu-kiam kepadaku. Kalau bukan disebabkan salah sangka guruku, biar pun dia mau terima aku sebagai muridnya tentu juga aku diharuskan memenggal lengan kanan sendiri seperti dia!" "Soat Koh," kata Ciau-hoa tiba2, "coba keluarkan Pi-tun-cu pemberian ibu itu.”

"Bibi, sudah jelas dia she Tio, mengapa masih memanggilnya Soat Koh?" ujar Peng-say.

"Mengapa ibumu dahulu juga menyuruh kau she Soat dan tidak memberitahukan bahwa sebenarnya kau she Sau?" jawab Ciau-hoa.

Peng-say menjadi bungkam. Soat Ciau-hoa berkata pula: "Akupun mempunyai pikiran yang sama dengan ibumu, tidak ingin anak kandung sendiri ikut she ayahnya yang tidak berbudi dan tidak setia. Sang ayah tidak memenuhi kewajiban sebagai orang tua, mana boleh menerima keturunan tanpa susah payah?”

"Kenapa tidak kau katakan sejak dulu", ibu. selama ini anak mengira dirinya adalah anak yatim piatu yang tidak punya ayah-ibu," kata Soat Koh.

"Sejak kecil kau sering tanya padaku mengenai ibumu,”

tutur Ciau-hoa dengan menyesal, "aku pura2 kenal ibumu, padahal yang kuceritakan adalah kisah hidupku sendiri.

Sebabnya tidak kukatakan siapa ibumu adalah karena aku mempunyai kesukaran sendiri. Aku lebih suka selama hidup tidak dipanggil ibu daripada kau mengetahui perbuatan busuk ayah-bundamu di masa lalu.”

"Tapi hubungan antara bibi dan guruku kan sudah diketahui olehnya?" sela Peng-say.

"Kuceritakan pengalamanku yang pahit itu kepadanya adalah supaya dia paham betapa busuknya kaum lelaki sehingga tidak sampai mengulangi sejarah ibunya. Kupikir, kalau dia tidak tahu aku ini ibunya, tentu hubungan kalian yang harus dibatasi ini tidak sampai mempengaruhi jiwanya, tak tersangka, meski kuperingatkan dengan susah-payah, tetap tidak ada gunanya," Ciau-hoa meng-geleng2, lalu menyambung pula: "O, anakku bila nasihat ibu tidak kau turut. kelak tentu kau akan tertipu pula oleh lelaki.”

Soat Koh tertawa, katanya: "Bu, jangan kuatir, anak cukup cerdik. kalau pihak lawan tidak ber-sungguh2 hati, tidak mudah anak tertipu.”

"Anak-cucu mempunyai rejekinya masing2, akupun malas lagi urus dirimu," ujar Soat Ciau-hoa. "Mana Pi-tun-cu itu, coba keluarkan!”

"Sampai sekarang apakah bibi masih sangsi padaku?”

tanya Peng-say.

"Ya, kalau Soat Koh tidak dapat memperlihatkan Pi-tun-cu, jelas ceritamu tentang Tio Tay-peng salah mengenali kau sebagai anaknya lantaran melihat mutiara merah ini tentu juga bohong besar.”

Soat Koh lantas membalik kesana untuk membuka baju luar, sampai lama barulah ia dapat mengeluarkan Pi-tun-cu yang disimpannya di dalam kutang.

Mutiara ini asalnya adalah milik Cui-hun Tojin, yaitu murid tertua Bu-tong-pay, bentuknya serupa dan besarnya juga sama seperti Pi-tun-cu milik Peng-say itu, andaikan ada sedikit perbedaannya, kalau tidak tahu bahwa mutiara itu ada dua biji, tentu mudah dikacaukan.

Dengan tertawa Peng-say berkata: "Untung mutiaramu tidak hilang, kalau tidak tentu bibi akan menyangka mutiaraku ini adalah pemberianmu.”

Soat Koh melotot padanya, katanya: "Manabisa kuhilangkan mutiara ini, lebih2 tidak nanti kuberikan padamu." Melihat mutiara anaknya masih tersimpan baik2, Ciauhoa merasa lega, katanya: "Kelak bila kau dapatkan orang yang dapat dipercaya, dengan sendirinya boleh kau berikan mutiara ini kepadanya seperti pernah kukatakan padamu.

Tapi harus hati2. jangan salah pilih orang,”

Peng-say lantas menggoda: "Pantas tidak nanti diberikan padaku. kiranya aku bukan orang yang dipenujui nona.”

Dengan gusar Ciau-hoa melototi anak muda itu dan mengejek: "Kurang ajar! Hendaklah kau bersikap sopan sedikit, mulai sekarang jauhi anak-perempuanku. Mana kitabnya" Setelah bertukar, pergilah kau ke arahmu sendiri dan jangan bertemu lagi dengan anakku.”

"He, seb. . . .sebab apa?" tanya Soat Koh cepat.

"Kenapa" Kau merasa berat berpisah dengan bocah ini?”

tanya Ciau-hoa.

"Ti. . . .tidak. . bukan. . . ." Soat Koh menjadi malu.

"Baik, ibu sangat senang karena Pi-tun-cu tidak kau berikan padanya, walaupun bocah ini tidak jelek, tapi kau harus paham dia murid siapa dan anak siapa" Satu saja cukup, apalagi dua2nya, baik guru maupun ayahnya adalah lelaki yang tak dapat dipercaya, lalu apakah dia ini dapat dipercaya" “

"Aku lebih suka kau kawin dengan seorang cacat daripada ikut dia." Dalam gugupnya Soat Koh menjadi lupa akan malu, serunya: "Peng-ko!”

"Ada apa?" tanya Peng-say.

"Ayolah. katakan isi hatimu kepada ibuku!”

"Isi hati apa?" tanya Peng-say pula.

"Tidak dapatkah kau nyatakan hatimu tetap tak kan berubah untuk selamanya?”

"Apa gunanya biar pun kukatakan?" Peng-say berlagak bodoh.

Berderailah air mata Soat Koh. katanya dengan terputus2: "Nyata dalam ....dalam hatimu hakikatnya .... tidak ada diriku . . . .”

"O, anakku, rupanya baru sekarang kau tahu. kata Ciau-hoa. "Bilamana dia memikirkan kau mustahil dalam keadaan begitu dia tidak bicara. Maksud tujuan bocah ini jelas cuma mengincar Pedang Kananmu, kini tujuannya hampir tercapai, mana dia pikirkan dirimu lagi" Kan sudah kukatakan betapapun dia tidak dapat dipercaya?”

"Makanya aku tidak perlu menyatakan isi hati segala,”

tukas Peng-say sambil menyengir.

Ciau-hoa kuatir dalam keadaan terangsang bisa jadi anak muda itu akan menceritakan terpaksa harus menjauhi Soat Koh karena ditekan oleh dirinya. Maka cepat ia menyela: "Lekas berikan kitab mu!”

"Apakah bibi tidak ingin menemui guruku lagi?" tanya Peng-say.

"Aku sengaja datang minta maaf padanya, tapi dia tidak ada di sini, mana mungkin kutunggu dia di sini" Biarlah pertemuan ini kubatalkan saja.”

"Bibi masih dendam pada guruku, bila bertemu tentu marah, boleh juga tidak jadi bertemu. Mengenai minta maaf segala kukira juga tidak perlu. Tapi bibi kan seharusnya memberi kesempatan kepada Soat-Koh untuk menemui ayahnya." Soat Koh gemas kepada Peng-say karena anak itu tidak berbudi, ucapnya sambil menggeleng: "Aku pun tidak ingin tinggal lebih lama lagi di sini.”

"Kau tidak ingin bertemu dengan ayahmu?" tanya Peng-say.

Soat Koh melengos, katanya dengan menahan air mata: "Marilah kita pergi, ibu!”

"Apakah kau bermaksud menahan kami di sini" tanya Soat Ciau-hoa. "Betul, sebaiknya kalian tunggu dulu sampai pulangnya guruku," kata Peng-say.

"Siapa tahu bilakah dia akan pulang?”

"Suhu tidak membawa pakaian segala, mungkin berangkatnya ter-gesa2, sepantasnya beliau takkan pergi terlalu lama, bisa jadi dalam satu-dua hari ini dia akan pulang.”

"Lalu bagaimana setelah dia pulang?" tanya Ciau-hoa.

"Kan kebetulan jika kalian memang bermaksud menemui guruku?" ujar Peng-say. "Selain itu, sebelum guruku pulang, betapapun aku tidak berani mengadakan tukar-menukar kitab." "Dalam pesannya jelas2 kitab itu telah diberikan kepadamu, mengapa kau tidak berani mengambil keputusan sendiri?" tanya Ciau-hoa.

"Aku bukan Tio Peng-say, tidak berani kuterima, harus kutemui dulu guruku untuk menjelaskan duduknya perkara, bilamana kemudian Suhu setuju diberikan kepada Sau Peng-say barulah kitab ini benar menjadi milikku.”

"Huh, omong melulu," omel Ciau-hoa. "Kau tidak berani mengambil keputusan, boleh juga batal tukar menukar. Kita berangkat, Soat Koh, orang macam ayahmu itu tidak bertemu juga tidak perlu menyesal. Mengenai ilmu pedang nomor satu di dunia, mungkin Sau Peng-say ini mengimpikannya bagi kita tidak ada artinya, tidak perlu mengandalkannya untuk membalas dendam apa segala.”

Sudah tentu Peng-say tidak ingin kehilangan kesempatan baik ini, sekali ibu dan anak itu pergi, ke mana lagi harus mencari mereka kelak”

Karena cemas, cepat ia berseru: "Nanti dulu, bibi!”

"Tukar atau tidak?" Ciau-hoa menegas.

"Kukira Suhu pasti tahu masih ada Pedang Kanan Siangliu-kiam, kuyakin beliau pasti akan menukarnya . . . .”

"Tentu saja, tak dapat tukar menukar pasti juga dia akan main rebut," jengek Cian-hoa.

"Janganlah bibi terlalu memandang rendah kepribadian guruku," protes Peng-say.

"Huh, kepribadian Tio Tay-peng itu berharga berapa satu kilo?" jengek Ciau-hoa. "Hm. kitab Pedang Kiri itu bukankah dapat dia rebut dariku dengan cara yang kotor”

Jangan kau banyak omong lagi. bilamana aku naik darah.

jangankan tukar menukar, mungkin akan kuminta kembali secara resmi, kalau perlu kamipun akan main rebut, main rebut juga kami tidak perlu malu karena kitab itu asalnya memang milikku,”

Peng-say mem-balik2 halaman kitab yang dipegangnya itu dan berkata: "Jika demikian, bila aku tidak menurut akan tukar menukar, kan boleh dikatakan orang paling goblok di dunia ini"!”

"Jangan kau salah omong, bukan kau menurut, tapi kau yang minta tukar menukar ini," kata Ciau- hoa.

"Meski bibi menggunakan akal mundur dulu untuk kemudian mendesak maju, padahal bibi sendiri sebenarnya sangat ingin mendapatkan kitab Pedang Kiri ini, sama halnya seperti hasratku ingin mendapatkan Pedang kanan,”

kata Peng-say dengan tertawa. "Baiklah, boleh kita tukar menukar sesuai kepentingan masing2, cuma .... .”

"Kenapa" Kau takut aku berdusta dan minta kukeluarkan juga kitabku untuk tukar menukar Secara koritan?" tanya Ciau-hoa.

"Jika bibi sudah berjanji akan tukar menukar, masa keponakan berani curiga lagi" Bila perlu boleh bibi ambil dulu kitabku ini, tapi hendaklah bibi tahu, kitab Pedang Kiri ini bukanlah palsu." sembari bicara ia terus mem-balik2 halaman kitab itu.

"Kupercaya tidak palsu, berikan sini!”

Selagi Peng-say hendak menyatakan agar jangan sang bibi nanti memberikan kitab Pedang Kanan palsu, mendadak dilihatnya dari dalam kitab yang dipegangnya itu melayang jatuh secarik surat. Cepat ia menjemputnya dan dibaca, ternyata tulisan tangan gurunya, Kiranya Tio Tay-peng memang bepergian jauh dan meninggalkan pesan. hanya suratnya diselipkan di dalam kitab pedang itu, kalau tidak di-balik2 setiap halamannya sukarlah menemukannya.

Dilihatnya surat itu tertulis: “

Peng-say anakku. Bila surat ini kau temukan, ayahmu pasti sudah tidak berada lagi di dunia fana ini. Mestinya tidak ingin kuberitahukan rahasia bahwa gurumu sebenarnya juga ayahmu, namun tidak dapat kukelabui kau selama hidup.

Anakku, di masa lalu ayahmu telah berbuat sesuatu yang sangat tercela, sebab itulah sejauh itu tidak berani kuakui kau sebagai anak. Peristiwa lama itu sampai kini ayahmu masih belum berani menuliskannya dengan jelas di sini, kukira lebih baik kau tidak perlu tahu. Mengenai aku ini ayah kandungmu, janganlah kau sangsi, ibumu sudah meninggal belasan tahun, ilmu pedangmu sudah jadi. ayah tidak perlu berkuatir apa2 lagi, biarlah kupergi menyusul ibumu. Aku bersalah padanya, biarlah kupergi ke tempat yang menimbulkan peristiwa duka itu untuk menghabisi hidupku ini agar bisa cepat2 bertemu dengan ibumu dialam baka untuk menyatakan rasa penyesalanku.”

Sampai terkesima Peng-say membaca surat itu.

Ciau-hoa juga ingin tahu apa yang tertulis dalam surat itu, ia bertanya: "Apa yang ditulis gurumu" Adakah dia memberitahukan ke mana dia pergi?”

Peng-say tidak menjawabnya. sikapnya kelihatan aneh.

Soat Ciau-hoa menjadi tidak sabar, mendadak ia sambar suat itu dari tangan Peng-say.

Ketika dibacanya kalimat "Peng-say anakku", ia mendengus dan anggap Tio Tay-peng sudah linglung sehingga salah mengenali orang lain sebagai anaknya. Tapi mendadak air mukanya berubah hebat ketika membaca lebih lanjut. gumamnya: "Tidak berada lagi di dunia fana ini" Ap . . . .apa yang hendak dilakukannya?”

Jantung Ciau-hoa mulai berdetak keras, ketika surat itu habis dibaca seluruhnya, seketika iapun kesima seperti kehilangan sesuatu surat itu terjatuh dari pegangannya juga tidak dirasakan lagi.

Dengan tersendat Peng-say berkata: "Bi. . .bibi.

tampaknya Suhu. . .Suhu sudah. . . .”

Mau-tak-mau Ciau-hoa meneteskan air mata ucapnya sambil menggeleng: "Masa si linglung ini tidak dapat membedakan ibumu bukan diriku dari nama kami?”

"Tapi Suhu tidak mengetahui nama ibuku," tutur Peng-say.

"Dia tidak pernah tanya padamu?”

"Pernah, tapi. . .tapi tidak kukatakan. . . .”

"Mengapa tidak kau katakan?" bentak Ciau-hoa.

"Apakah kau sengaja hendak menipunya?”

Peng-say lantas menceritakan kedatangan Tio Tay-peng di rumah keluarga Beng di Pakkhia dahulu. di mana Tio Tay-peng telah mendepaknya sehingga dia jatuh tersungkur, ia bertutur: "Ketika Suhu melihat dari bajuku jatuh keluar sebiji mutiara, beliau lantas mengira aku ini anaknya. Aku sendiripun tidak tahu seluk-beluknya, sebaliknya Suhu juga tidak langsung mengakui aku sebagai anak, beliau cuma bilang kenal ayahku. katanya aku bernama Tio Peng-say.

Dengan sendirinya aku tidak percaya, kutanya bila dia kenal ayahku apakah juga kenal ibuku" Dia bilang tentu saja kenal, katanya ibuku bernama Soat Ih-nio, kukatakan salah, dia lantas bilang ibuku ada nama lain Soat Ciau-hoa.

Kupikir mungkin dia ingin menipu mutiaraku. makanya sengaja menyebut beberapa nama. Maka ketika dia berbalik tanya siapa nama ibuku jika apa yang dikatakanaya itu keliru, aku menjadi tidak berani omong terus terang.

Kemudian Suhu memaksa diriku ikut ke sini untuk mengajarkan Siang-liu-kiam padaku, tadinya kukuatir kalau2 lengan-kananku juga akan ditabasnya seperti dia, maka aku berkeras tidak mau mengangkat guru padanya, tapi setelah dia memperlakukan diriku seperti anaknya sendiri, juga berjanji takkan menabas lenganku. barulah aku mulai belajar pedang padanya. Lima tahun kubelajar ilmu Pedang Kiri, selama itu Suhu tidak bicara tentang ibuku.

Pernah satu kali kutanya apakah betul dia kenal ayahku. dia mengangguk, katanya ayahku juga she Tio, jadi seharusnya aku ikut she ayah. Waktu itu aku tidak mau, tapi kuminta Suhu suka menceritakan segala sesuatu tentang ayahku.

Rupanya Suhu menjadi kurang senang dan tidak mau bercerita apa2 lagi, maka akupun tidak berani tanya lebih lanjut. Kupikir Suhu tidak bermaksud jahat padaku, akupun tidak berpikir hal lain dan tekun belajar Pedang Kiri dengan Suhu,”

Sampai di sini Peng say menghela napas, lalu sambungnya lagi: "Sayang waktu itu Suhu tidak tanya padaku siapa nama ibuku, selama berkumpul lima tahun, aku sudah cukup kenal kepribadian Suhu dari dekat, bila beliau tanya lagi tentang ibuku, tentu akan kukatakan terus terang nama ibu, dengan demikian mungkin Suhu akan menyadari kekeliruannya sendiri dan tidak menganggap bibi sudah meninggal sehingga bertekad menyusul bibi dialam baka seperti apa yang terjadi sekarang ini.”

Setelah tahu duduknya perkara, dengan tertawa getir Ciau-hoa berkata: "Dahulu aku bergaul rapat dengan gurumu, kukuatir dia memandang rendah padaku, maka kugunakan nama samaran Soat Ih-nio. Meski kemudian ia dapat menyelidiki nama asliku, tapi iapun tidak yakin apakah Soat Ciau-hoa itu namaku yang sebenarnya.

Seumpama kau beritahu nama ibumu juga dia takkan ragu Soat Kun-hoa bukanlah diriku, agaknya memang sudah takdir harus terjadi berbagai kesalah pahaman ini.”

"Dan kedatangan kita sekarang jelas sudah terlambat,”

kata Peng-say, "apakah bibi tahu tempat yang menimbulkan duka seperti apa yang dimaksudkan guruku ini?" "Kau sendiri sudah tahu bukan?”

"Entah betul tidak dugaanku, kukira yang dimaksudkan adalah suatu tempat di atas puncak yang didatangi Suhu beberapa kali setiap bulan untuk mengenangkan bibi itulah." Ciau-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian: "Betul atau tidak, setelah kita pergi kesana tentu akan mengetahuinya.”

Habis berkata ia lantas mendahulai melangkah keluar dan mendaki ke atas puncak.

Setiba di tempat tujuan, berdasarkan ingatan Soat Ciauhoa, dengan cepat dapatlah ditemukan tempat yang pernah didatangi rombongan Cui-hun dahulu, disitulah Cui-hun dan kawan2nya saling bunuh membunuh memperebutkan Siang-liu-kiam- boh.

Cui-hun tidak membawa lagi Pi-tun-cu. maka serupa Cu Hoay-tong. tubuhnya juga telah membeku terbungkus oleh salju sehingga terwujut tiang es.

Memandangi kedua tiang es berbentuk tubuh manusia itu, teringat kepada pertemuannya pertama kali dahulu, Ciau-hoa merasa terharu.

Peng-say dan Soat Koh tidak tahu siapa2 yang terbeku di situ, tapi mereka tahu tentu kedua orang itu mati saling labrak, jelas satu di antaranya pada waktu akan mati masih mengerahkan sisa tenaganya untuk membinasakan lawan sehingga akhirnya kedua orang gugur bersama.

Sesudah berhenti sejenak segera Ciau-hoa berlari ke gua yang dahulu ditemukan Siang-liu-kiam-boh itu. Dilihatnya di dalam gua mayat bergelimpangan, seluruhnya ada belasan, keadaan ini serupa dengan apa yang dilihatnya likuran tahun yang lalu, mayat2 itu masih menggeletak di tempat semula.

Hanya di dalam gua dahulu cuma ada sesosok mayat yang duduk menghadapi dinding gua, tapi sekarang mayat yang duduk menghadap dinding adalah dua sosok. Tempat di mana mayat kedua ini berduduk itu adalah tempat yang mudah tersorot cahaya dari luar, yakni tempat di mana Soat Ciau-hoa berduduk setelah menemukan kitab pusaka, karena kegirangan ia terus duduk membaca disitu.

Kotak kemala yang berisi kitab itu terletak di samping mayat itu, tempat kotak kemala itupun tidak bergeser, keadaan ini serupa Soa Ciau-hoa lagi asyik membaca kitab temuannya di masa likuran tahun yang lalu.

Memandangi mayat kedua itu, meneteslah air mata Soat Ciau-hoa yang terus membeku di pipinya dan tak dapat kering, ia tahu keadaan didalam gua yang tidak berubah itu sengaja dipertahankan oleh Tio Tay-peng, sekaligus iapun teringat kepada kunjungan Tio Tay-peng ke tempat ini beberapa kali setiap bulan seperti cerita Peng-say, tentunya Tio Tay-peng berduduk di tempat ini untuk mengenangkan dan menyesali kejadian dahulu.

Agaknya setelah Tio Tay-peng salah sangka Peng-say sebagai anaknya, lalu ia bertekad akan mati berduduk di tempat yang penuh kenangan ini. setiap bulan dia pasti datang kesini. mungkin dalam lamunannya ia telah bertemu dengan ibunya Peng-say.

Setelah Peng-say selesai belajar Pedang Kiri, Tio Taypeng merasa tiada sesuatu kekuatiran lagi, maka pada kunjungan terakhir ke gua ini, dia duduk disitu pula tanpa mengerahkan tenaga dalam sehingga membiarkan dirinya mati beku begitu saja.

Menurut jalan pikirannya. setelah sukma meninggalkan raganya tentu akan segera berkumpul dengan sukma ibunya Peng-say dan tak terpisahkan lagi. Cuma sayang ibu Sau Peng-say bukanlah Soat Ciau-hoa, apabila cerita sukma atau roh memang ada, tentu roh Tio Tay-peng akan kecelik dan kecewa hingga sekarang, sebab sampai saat ini tentu dia masih belum berhasil bertemu dengan arwah Soat Ciau-hoa di alam halus. Mendadak Soat Ciau-hoa tertawa aneh, katanya terhadap mayat Tio Tay-peng: "Tio cilik, sewaktu hidupmu kau salah sangka keponakanku sebagai anakmu, sesudah mati kau pun salah sangka adik perempuanku sebagai isterimu. Hendaklah kau tunggu dulu, suatu hari kita pasti akan bertemu lagi dan berkumpul untuk selamanya.”

Setelah merandek sejenak, ia menggeleng dan berkata pula: "Rasanya aku pun sangsi, bila setiap hari kau menghadapi arwah adik perempuanku yang kau kira sebagai diriku, jangan2 akhirnya Kun-hoa juga akan terpikat olehmu.”

Tiba2 ia duduk berjajar dengan mayat Tio Tay-peng, katanya pula dengan tertawa: "Kukira akan lebih baik bila cepat2 kususul kau saja, jangan kuatir kau!”

Tidak lama kemudian, waktu Peng-say dan Soat Koh menyusul tiba, mereka merasa di dalam gua sunyi senyap se-olah2 tidak pernah didatangi siapapun juga.

Soat Koh rada merinding melihat mayat yang bergelimpangan di dalam gua, dengan suara agak gemetar ia berseru: "I. . .ibu, di . . . .dimana kau?”

Pandangan Peng-say lebih tajam, segera dilihatnya bayangan tubuh sang guru yang berduduk sejajar dengan bibinya, dengan suara pedih ia lantas berkata: "Kulihat ibumu duduk disamping jenazah guruku.”

Akhirnya Soat Koh dapat juga melihat ibunya, ia tuding mayat di samping sang ibu yang diketahuinya sudah lama beku itu dan bertanya: "Apakah dia . . . .dia ini ayahku?”

Peng-say mengangguk, jawabnya: "Ya. Boleh kau minta ibumu berbangkit saja!”

Disangkanya setelah menemukan mayat Tio Tay-peng, sang bibi menjadi sangat berduka sehingga seketika duduk ter-mangu2 disitu.

Soat Koh juga berpikir begitu, pelahan ia mendekati dan berseru pelahan: "Ibu!" " Tapi mendadak ia terus menjerit pula.

Keruan Peng-say kaget dan memburu maju serta bertanya: "Ada apa?”

Soat Koh tidak menjawab. ia tuding darah yang bergenang di tanah, sekujur badan gemetar sehingga sukar bersuara lagi.

Melihat darah itu mengaiir dari tubuh sang bibi, diam2 Peng-say mengeluh urusan bisa celaka. Cepat ia memeriksa pernapasan Soat Ciau-hoa, ternyata napas sang bibi sudah berhenti. Dilihatnya lengan tunggal Soat Ciau-hoa memegang sebilah belati dan tepat menikam di ulu hati sendiri. Dengan berduka cita, akhirnya Peng-say dan Soat Koh mengubur mayat Tio Tay-peng dan Soat Ciau-hoa didalam satu liang lahat yang sama.

Ketika menguruk gundukan salju yang terakhir, Soat Koh tidak tahan lagi, ia jatuh berduduk di samping kuburan yang ditimbuni dengan salju itu dan menangis ter-gerung2.

Peng-say tidak membujuknya, ia masuk kedalam gua dan membawa keluar mayat yang duduk menghadapi dinding itu. Pada wajah mayat ini ada bekas luka pedang, ciri khas ini makin meyakinkan Peng-say bahwa orang ini pastilah pamannya sendiri. yaitu Leng-hiang-caycu Sau Ceng-in. Waktu di Leng-hiang-cay, Sau Kim-leng pernah bilang pada wajah ayahnya ada sesuatu ciri yang sangat menyolok, tak disangkanya ciri khas yang dimaksud adalah codet bekas luka. Pikirnya: "Dengan ilmu pedang Toapek yang nomor satu di dunia, siapa pula yang mampu melukai mukanya ini?”

Pertanyaan ini kecuali Sau Kim-leng dan Liok-ma mungkin tiada orang lain yang dapat menjawabnya.

Setelah jenazah Sau Ceng-in dikubur, Peng-say memberi hormat terakhir dengan menyembah beberapa kali, katanya: "Suatu hari kelak bila Titji (keponakan) berhasil belajar lengkap Siang-liu-kiam-hoat, tentu akan kubunuh Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu untuk membalas sakit hati Toapek.”

Se-konyong2 terdengar Soat Koh mendengus di belakangnya: "Hm, membunuh Ciamtay Cu-ih untuk membalas dendam Piaumoay dan membunuh Coh Cu-jiu untuk membalas sakit hati ayah, untuk apalagi kau bilang akan membunuh kedua orang itu untuk membalas sakit hati Toapekmu" memangnya kau akan membunuh mereka, kenapa kau tambahi sebagai jasamu bagi pamanmu.”

"Eh, kenapa kau tidak menangis lagi?" tanya Peng-say ambil berpaling.

"Memangnya kenapa" Kau senang melihat aku mati menangis?" omel Soat Koh.

"Manabisa?”

ujar Peng-say. "Aku justeru kuatir kesehatanmu terganggu oleh karena kau kelewat sedih menangis.”

"Huh, jangan sok baik hati," jengek Soat Koh. 'Jika benar kau kuatir aku kelewat sedih, mengapa tidak kau hibur diriku?" "Ayah-bundamu wafat dua2nya, kejadian mendadak ini tentu sangat berduka bagimu, ingin membujuk dan menghibur juga sukar rasanya, kukira akan lebih baik kau menangis se-puas2nya agar hatimu merasa lega.”

"Berikan Kiam-bohmu padaku." tiba2 Soat Koh menjulurkan tangannya.

Peng-say mengeluarkan Kiam-boh Pedang Kiri tanpa ragu sedikitpun terus disodorkan.

Setelah menerima, dengan hati2 Soat Koh menyimpan Kiam-boh itu, lalu bertanya: "Mengapa mendadak kau menjadi baik hati dan tidak sangsi lagi?”

"Kau kan puteri guruku, hanya kaulah yang berhak menerima kitab pusaka ini," kata Peng-say. "cuma kuharap engkau suka kembali she Tio agar sesudah meninggal guruku merasa lega karena kitab pusakanya telah berada di tangan ahli warisnya yang sesungguhnya. Aku sendiri bukan Tio Peng-say yang dimaksudkan Suhu, tidak seharusnya kumiliki kitab ini.”

"Tapi aku tetap bernama Soat-koh dan tidak mau bernama Tio-koh.”

"Kukira kurang baik. . . .”

"Kenapa tidak baik, namaku Soat-koh dan she Tio, kenapa tidak boleh?”

"O, Tio Soat-koh" Hm, bagus, nama ini memang lebih sedap didengar." seru Peng-say sambil berkeplok.

"Kau berbuat murah hati, tampaknya aku harus meniru,”

kata Soat-koh setelah berpikir sejenak dan mengeluarkan kitab pusaka Pedang Kanan, katanya pula: "Ibu sudah berjanji akan menukar kitab ini dengan kitabmu, sebab itulah pada waktu mengubur jenazah beliau diam2 telah kuambil, sedianya akan kutukarkan dengan kitabmu.”

Memandangi kitab Pedang Kanan di tangan Soat-koh itu, jantung Peng-say berdetak keras, hampir saja ia mengulurkan tangannya untuk menerima, tapi segera dilihatnya Soat-koh telah menyimpan kembali kitab itu dan berkata: "Sebenarnya aku pun berniat menukarkan kitab ini denganmu, waktu kuminta kitab Pedang Kiri darimu memang sudah timbul niatku itu. Tak tersangka kau bicara tentang hak milik segala, kupikir alasanmu memang tepat, kitab ayahku memang benar adalah hakku, maka tanpa sungkan telah kuterima dengan baik dan sekarang kupikir tidak perlu lagi kutukar dengan kau.”

Peng-say menjadi sangat kecewa, tanyanya: "Mengapa kau berubah pendirian?”

"Jika kitab yang menjadi hakku, kan pantas kalau kuterima, sekarang tiada barang lain yang dapat kau tukar denganku, mana boieh kuberikan kitabku ini dengan percuma?" Peng-say garuk2 kepala dan merasa menyesal, tahu begini, berikan saja kitab itu dan tidak perlu banyak omong.

Soat-koh dapat menerka apa yang dipikir anak muda itu, katanya: "Kau pun tidak perlu menyesal, seumpama tadi kau tidak perlu banyak bicara, tentu aku pun akan mengemukakan alasan ini untuk meminta kembali kitab yang menjadi hakku ini.”

"Jika demikian, jadi kau memang tidak mempunyai maksud tukar-menukar?”

"Siapa bilang tidak, bila kau tidak tahu aturan. terpaksa kutukar dengan kau, tak tersangka kau ini cukup bijaksana dan murah hati.”

Kembali Peng-say garuk2 kepala, katanya: "Kau bilang kau pun akan bermurah hati, entah maksud....”

"Aha, akhirnya kelihatanlah belangmu," jengek Soat-koh. "Hm kau pun tahu aku ini orang yang berwatak terus terang. kau tahu aku ini takkan bikin rugi padamu.”

Terpaksa Peng-say memohon: "Kuharap nona suka menolong, maklumlah sakit hatiku sedalam lautan. ..”

"Sudahlah, kutahu betapapun kau harus menguasai Siang-liu-kiam dengan lengkap, tidak perlu kau main minta2, aku pasti takkan membikin kecewa padamu.”

Peng-say bergirang, cepat ia tanya: "Jika begitu, entah kapan baru boleh kuterima kitabmu Pedang Kanan itu?”

"Kapan katamu" Bilakah kukatakan akan kuberikan padamu?" tanya Soat-koh dengan heran.

Peng-say menjadi kelabakan. katanya; "Ha... habis ....”

"Kiam-boh tidak akan kuberikan padamu, tapi aku pun takkan bikin kecewa kau, dengan sendirinya ada caraku untuk mengajarkan Siang-liu-kiam-hoat padamu agar kau dapat membalaskan sakit hati Piaumoaymu.”

Peng-say meraba kepalanya lagi dengan sangsi, gumamnya: "Tanpa kitabnya cara bagaimana dapat kupelajarinya dengan lengkap?”

"Terdapat guru didepan mata dan tidak kau mohon, yang kau pikirkan hanya ingin mendapatkan kitab yang berupa benda mati itu, sungguh tolol!" ucap Soat-koh sambil menggeleng.

Tanpa pikir Peng-say terus menjura. katanya dengan tertawa: "Jika demikian, sekarang juga ku-angkat guru padamu, cuma selanjutnya harus membikin repot Suhu.”

"Kalau tidak repot, cara bagaimana harus ku-ajar kau dan bagaimana pula akan kau ajar aku?" kata Soat-koh.

Lalu iapun memberi homat dan berkata: "Nah, aku pun mengangkat guru padamu.”

"Kiam-boh sudah kau punya, untuk apa mengangkat guru padaku?" tanya Peng-say.

"Aku tidak boleh lebih rendah satu angkatan dari padamu," ujar Soat-koh.

Selagi Peng-say hendak tanya apa alangannya biarpun lebih rendah satu tingkatan. Tiba2 ia merasa ucapan Soat-koh itu mengandung arti yang dalam. pikirnya: "Jika dia bermaksud mengikat perjodohan denganku, dengan sendirinya sang suami tidak boleh lebih rendah satu tingkatan. Ai, sekali pun kau suka padaku, bagiku justeru sulit, selama hidupku ini tidak nanti kunikahi kau dengan resmi.”

Maklumlah, dia sudah bersumpah pada Soat Ciau-hoa, selama hidup ini memang tidak boleh mengadakan upacara nikah dengan Soat-koh.

Didengarnya Soat-koh berkata pula: "Dari pada belajar dari kitab yang mati kan lebih baik mendapat petunjuk guru secara langsung dan tentu akan mendapat kemajuan lebih cepat. Boleh kita saling belajar di gua bawah sana, bila ada waktu senggang kitapun dapat berziarah ke sini, bagus bukan?" Hak utama sekarang dipegang orang, mau-tak-mau Peng-say harus menurut, jawabnya: "Baiklah, gagasanmu memang baik.”

Kedua orang lantas menyembah lagi didepan kuburan Tio Tay-peng dan Soat Ciau-hoa, lalu mereka turun kebawah gunung dan berdiam di gua bekas tempat tinggal Peng-say, di mana anak muda itu belajar Pedang Kiri selama lima tahun dengan Tio Tay-peng.

Di dalam gua itu masih cukup banyak tersedia perbekalan, maka mereka tidak perlu kuatir apa2, hari ini juga mulailah mereka saling belajar ilmu pedang masing2.

Malamnya, karena terikat oleh adat istiadat. dalam hal tidur menjadi persoalan. Menurut pikiran Soat-koh, asalkan hati masing2 sama suci bersih. kenapa mereka tidak boleh tidur bersama satu ranjang”

Ketika luka Peng-say belum sembuh, pada waktu bermalam di hotel. Soat-koh sudah pernah beberapa kali tidur bersama Peng-say disatu ranjang, sebab itulah Soat-koh mengemukakan pendapatnya itu secara lugu tanpa merasa malu atau kikuk.

Akan tetapi Peng-say menolak dengan keras, jangankan tidur bersama satu ranjang, sebab ia kuatir pergaulan mereka akan tambah mesra dan jatuh lagi ke dalam jurang cinta dan sukar lagi dipisahkan, bahkan anak muda itu tidak berani tidur di dalam gua, ia lebih suka tidur di tempat terbuka diluar gua, biarpun kenyang derita kedinginan.

sedapatnya ia ingin menjauhi Soat-koh.

Betapapun Soat-koh adalah anak perempuan. tidak enak baginya untuk memaksa tidur bersama Peng-say. Maka malam itu keduanya lantas tidur terpisah, yang satu di dalam dan yang lain di luar gua.

Beberapa hari berlalu dengan cepat, lambat laun Soatkoh merasakan Peng-say sengaja hendak menghindarnya, dengan sendirinya rasa harga dirinya tertusuk. ia mulai kesal dan tidak bersemangat belajar pedang.

Hari ini Peng-say sudah apal berlatih jurus pertama Siang-liu-kiam-hoat yang bernama "Kiong-siang-kut-thau”

itu, ia minta Soat Koh mengajarkan lagi jurus kedua yang bernama "Put-cun-kay-ti". Akan tetapi Soat-koh menolak, katanya mesti tunggu setelah ia sendiri pun menguasai jurus pertama barulah sama2 mengajarkan jurus kedua.

Tunggu punya tunggu, sampai setengah bulan barulah Soat-koh dapat menguasai jurus pertama, nyata kemajuannya sedikitnya selisih tiga kali daripada Peng-say.

Jurus kedua malahan dapat diapalkan Peng-say dengan lebih cepat, hanya dua-tiga hari saja sudah mahir dan dapat bekerja sama dengan sangat rapat dengan jurus pertama.

Sebaliknya Soat-koh memerlukan waktu hampir sebulan barulah dapat menguasai jurus pertama untuk bisa bekerja sama dengan jurus yang sama dengan tangan kanan.

Karena Lwekang Soat-koh memang kalah kuat daripada Peng-say, kemajuannya selalu tak dapat mengikuti kecepatan anak muda itu. Hal ini bukan karena dia kurang berbakat, soalnya semangat belajarnya kurang. dengan sendirinya kemajuannya ter-sendat2.

Lebih runyam lagi Soat-koh berkeras tidak mau mengajarkan jurus berikutnya sebelum ia sendiri menguasai jurus yang sedang dilatihnya.

Di bawah kekuasaan orang. terpaksa Peng say menurut dan sabar menunggu. malahan ia kuatir kalau2 si nona ngambek dan tidak mau mengajar, maka sama sekali ia tidak berani mendesak.

Pada waktu menunggu, Peng-say suka mengulangi berlatih jurus2 yang telah dipelajarinya, maka setiap jurus tambah apal bagi anak muda itu. Namun lama2 ia menjadi gelisah juga, betapapun ia ingin lekas2 dapat menguasai Siang-liu-kiam-hoat itu. Untuk ini terpaksa ia harus bantu Soat-koh berlatih lebih giat. Seringkali dia memberitahukan saripati pemikirannya pada setiap jurus itu kepada nona itu dengan tujuan agar dapat maju sepesatnya dirinya.

Tapi lantaran selisih Lwekang kedua orang terlalu jauh.

Peng-say sendiri tahu rintangan ini dan tak berdaya.

Namun lambatnya kemajuan Soat-koh ternyata bukan disebabkan selisih Lwekang mereka yang jauh. Hal ini lambat lalu dapat dilihat oleh Peng-say, suatu hari kebetulan dilihatnya Soat-koh berlatih dengan ke-malas2an, mau-tak-mau pemuda itu menggerundel: "Dapatkah kau lebih bersemangat, jika berlatih cara begini sampai kapan baru akan selesai?”

"Kau terdorong oleh hasrat akan menuntut balas, dengan sendirinya kau belajar dengan giat dan maju lebih cepat,”

kata Soat-koh. "Sebaliknya kubelajar tanpa maksud tujuan, juga tiada dorongan orang, terpaksa kubelajar seenaknya.”

"Memangnya cara bagaimana kau minta doronganku”

Bukankah setiap hari akupun bantu kau berlatih?"“

"Aku bukan anak kecil," kata Soat-koh dengan tertawa, "tidak perlu didorong oleh kata muluk2. Soalnya aku memang tidak bersemangat, biarpun kau bantu juga tiada gunanya, bila kau ingin kumaju lebih cepat, kau mesti. . . .”

"O, mesti apa?" tanya Peng-say. "Ayolah katakan. bila dapat kupenuhi pasti kulaksanakan.”

Soat-koh menunduk dan memainkan ujung bajunya, katanya dengan suara lirih: "Tidakkah kau tahu hati perempuan terkadang dapat dibujuk" Bilamana setiap hari hatiku senang tentu semangat belajarku akan bangkit.”

"Aku tidak pandai bicara. juga bukan orang yang suka membujuk rayu, rasanya aku tidak sanggup." kata Peng-say sambil menggeleng.

Soat-koh berkata pula dengan suara yang lebih lirih, begitu lirih sehingga hampir hanya dapat didengar olehnya sendiri. Untung pendengaran Peng-say sangat tajam berkat Ci-he-kang yang dikuasainya, dia dapat mendengar jelas si nona sedang berkata: "Asalkan kau mau pindah ke dalam gua dan tidur bersamaku, setelah kutahu benar kau memang baik padaku, perbuatan lebih baik daripada kata2, dengan begitu tentu aku akan bersemangat. . . .”

Mendadak Peng-say menarik muka seperti seorang guru agama, katanya: "Pemuda dan pemudi mana boleh tidur bersama satu tempat. Tidak.. .tidak boleh jadi!”

Ia kuatir si nona berucap hal2 lain yang lebih konjol lagi dan sukar untuk menjawabnya, maka cepat2 menyingkir dan mulai berlatih ilmu pedang.

Menghadapi gadis cantik, lelaki mana yang tidak bergairah untuk menggaulinya" Pada dasarnya Soat-koh juga nona baik2 dan cocok menjadi pasangan Peng-say, sudah tentu anak muda inipun suka adanya. Tapi sumpah telah mengikatnya, meski jelas2 diketahui seorang perempuan seperti Soat-koh telah mendahului minta padanya, terpaksa ia keraskan hati dan tidak mengubrisnya.

Sebenarnya ia hendak menjelaskan sumpahnya kepada Soat-koh agar nona itu tidak menaruh harapan apa2 terhadapnya, tapi iapun kuatir Soat-koh akan kecewa dan tidak mau lagi mengajarkan Pedang Kanan padanya.

Melihat gelagatnya, terpaksa Peng-say harus menunggu dengan sabar, pikirnya: "Paling lambat waktu tiga atau empat tahun tentu juga dapat kupahami ke-49 jurus Pedang Kanan Siang-liu-kiam-hoat.”

Perhitungan Peng-say itu berdasarkan satu jurus paling lambat sebulan akan dapat dikuasainya, empat tahun berarti 48 jurus, jadi empat tahun lebih sebulan tentu ke-49 jurus Siang-liu-kiam lengkap akan dapat dipahaminya.

Di luar dugaan. kenyataannya justeru jauh daripada perhitungannya. selama setahun pertama Soat-koh hanya menguasai tujuh jurus Pedang Kiri, bahkan jurus kedelapan diperlukan latihan hingga dua bulan. Naga2nya kalau melihat kemajuan selambat ini, bisa jadi Peng-say harus menunggu delapan hingga sepuluh tahun.

Peng-say tidak sabar lagi. ia tidak dapat menunggu lagi, ilmu pedang yang mestinya dapat dikuasainya dalam waktu setahun paling lama tidak mau ditnuggunya dengan membuang tempo percuma hingga delapan atau sepuluh tahun. Suatu hari berkatalah ia kepada Soat-koh: "Sisa ke-41 jurus Siang-liu-kiam Kanan itu maukah sekaligus kau ajarkan padaku?”

Dengan tegas Soat-koh menolak, katanya: "Tidak bisa, tidak boleh kemajuanmu melampaui diriku.”

Peng-say meng-geleng2 katanya pula: "Coba terangkan, mengapa aku harus mengawani kau di sini dengan membuang2 waktu percuma?”

"Siapa yang suruh kau mengawani aku di sini?" jawab Soat-koh dengan kurang senang. "Bila kau anggap buang waktu percuma, silakan kau pergi saja sekarang juga.”

Melihat gelagat tidak menguntungkan, terpaksa Peng-say berucap dengan nada memohon: "Maklumlah. Aku ingin buru2 menuntut balas, dapatkah kau memberi kelonggaran, biarkan kubelajar dulu selengkapnya. Apakah kau kuatir aku akan membikin susah kau jika seluruh Siang-liu-kiam sudah kupahami" Untuk ini janganlah kau kuatir, kelak bila aku Sau Peng-say berbuat sesuatu yang tidak baik padamu, biarlah aku terkutuk dan mati secara mengenaskan.”

"Hm!," Soat-koh mendengus, "bukannya kukuatir membikin susah olehmu, kutahu sekalipun sama2 berhasil menguasai Siang-liu-kiam secara lengkap juga aku bukan tandinganmu. Jika kau ingin berbuat susah padaku setiap saat dapat kau lakukan, hanya saja mungkin kau tidak berani." Peng-say merasa ucapan si nona benrmakna ganda.

maka tidak berani menanggapinya, dengan tertawa ia berkata: "Habis bilakah aku harus menunggu supaya dapat menguasai Siang-liu-kiam selengkapnya?”

"Aku tidak tahu, hal inipun bergantung kepada bakatku,”

"Bakat nona kan sangat tinggi. meski kemajuanmu sekarang sangat lambat, tapi bila pikiranmu sudah terbuka, tidak sampai setahun sisa ke -41 jurus tentu dapat kau pahami." "Hah, jangan kau mengumpak diriku, biarpun kau sebut diriku kelangit juga tiada gunanya. Pendek kata aku sudah ambil keputusan. kita harus mendapatkan kemajuan bersama, sebabnya.. .." sampai di sini ia sengaja jual mahal dan tidak melanjutkan.

"Apa sebabnya?" tanya Peng-say.

"Coba jawab, setelah Siang-liu-kiam-hoat lengkap kau kuasai, lalu apa tindakanmu?”

"Masa perlu tanya lagi" Dengan sendirinya kugunakan membunuh Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu.”

"Lalu apakah kau tahu, setelah Siang-liu-kiam lengkap kukuasai, lalu akan kuapakan?”

"Dapat kau gunakan untuk lebih banyak melakukan perbuatan2 yang mulia!”

Soat-koh mengangguk: "Betul, kau memang tidak malu sebagai kawanku. Selain itu, Siang-liu-kiam-hoat juga akan kugunakan untuk menuntut balas kepada Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu berdua.”

Peng-say menjadi heran, tanyanya: "Aneh, belum pernah kudengar kau pun bermusuhan dengan mereka?”

"Masa kau lupa pada pesan tinggalan Leng-hiang-caycu yang terukir di dinding gua itu?" tutur Soat- koh. "Dia mengharapkan barang siapa yang menemukan kitab pusakanya supaya membunuh ketiga orang ini. Meski tidak dijelaskannya siapa2 ketiga orang yang dimaksud, tapi sejak adanya penjelasanmu, dua diantara ketiga orang itu tidak perlu diragukan lagi pastilah Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu dan seorang lagi ialah mendiang ayahmu. Apakah ayahmu bersalah atau tidak terhadap Leng-hiang-caycu, orang mati tidak perlu lagi diusut. namun Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu belum mati, setelah Siang-liu-kiam berhasil kukuasai sepenuhnya, tentunya aku wajib membunuh kedua orang itu untuk membalaskan sakit hati pamanmu Leng-hiangcaycu." "Untuk itu kenapa harus mempelajari Siang-liu-kiam secara lengkap bersamaku?" “

"Supaya kau tahu bahwa bukan maksudku sengaja mempersulit kau," jawab Soat-koh. "Coba kau pikir, jika kau berhasil menguasainya lebih dulu secara lengkap terus kau bunuh Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu, lalu cara bagaimana aku dapat membalaskan sakit hati pamanmu?”

"Setelah kubunuh mereka berdua kan berarti juga sudah membalaskan sakit hati Toapek?”

"Tapi tujuanmu kan bukan khusus untuk ini, kukira rmaksud baikmu ini tidak dapat diterima oleh pamanmu.

Sebaliknya aku memang melulu hendak membalaskan sakit hati Leng-hiang-caycu, bilamana pamanmu itu mengetahui di alam baka, tentu beliau lebih suka aku yang membunuh Ciamtay dan Coh berdua daripada kau yang membunuh mereka." "Masa kau benar2 ingin membalaskan sakit hati pamanku?" tanya Peng-say dengan tertawa.

"Kenapa tidak" Kau tidak percaya?" jawab Soat-koh dengan marah, "Hm, tiba saatnya nanti boleh kita berlomba, coba siapa yang lebih dulu berhasil membunuh kedua musuh itu,”

"Kupercaya kau bukan orang kecil yang mau terima kebaikan orang secara percuma, maka mulai sekarang bolehlah kita berlomba.”

"Perlombaan harus adil, itulah sebabnya aku tidak ingin kau berhasil menguasai Siang-liu-kiam lebih dulu daripadaku, nah, paham?”

"Paham sih sudah, cuma aku pun ingin memperingatkan padamu, jika kau berniat membalaskan sakit hati Toapek, tentunya tidak boleh membiarkan Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu mati tua.”

Soat-koh mafhum akan sindiran anak muda itu, jawabnya: "Bakatku rendah, apa dayaku jika dalam waktu beberapa tahun yang singkat ini aku tidak dapat menguasai Siang-liu-kam" Andaikan kedua musuh itu keburu mati sebelum Siang-liu-kiam berhasil kukuasai, di alam baka tentunya Leng-hiang- caycu juga dapat memaafkan diriku.”

"Kalau memang betul kurang berbakat sih bukan soal lagi, runyamnya kalau cuma menggunakan alasan membalas dendam pamanku sebagai tameng. padahal yang benar ialah tiada niat untuk belajar.”

"Darimana kau tahu aku tidak berniat belajar?" bentak Soat-koh dengan mendelik.

"Jika kau berniat belajar, seharusnya kau dorong dirimu sendiri agar bersemangat" Tapi setiap kali latihan, jelas kau tidak bersemangat dan selalu lesu cara begini, bila benar2 Ciamcay Cu-ih dan Coh Cu-jiu keburu mati, lalu cara bagaimana tanggung jawabmu terhadap Pamanku" Hendaklah maklum, usia Ciamtay dan Coh berdua sudah cukup lanjut. hidup mereka tidak bisa terlalu lama lagi.”

"Ya, apa boleh buat, hal ini kan tidak dapat menyalahkan diriku," ujar Soat-koh sambil menghela napas.

Dengan mendongkol Peng-say berkata pula: "Kau mengulur waktu belajar dan sengaja mem-buang2 waktu berharga bagiku yang harus membalaskan sakit hati Toapek. kalau bukan kau yang disalahkan, siapa lagi yang mesti disalahkan?”

Kembali Soat-koh menghela napas, katanya: "Kukira harus menyalahkan dirimu sendiri. Dapatkah kubelajar dengan bersemangat semuanya bergantung padamu, kan sudah kau ketahui.”

Karena terpaksa dan tiada jalan lain, se-olah2 penuh semangat pengorbanan Peng-say berkata: "Baiklah, mulai malam nanti kupindah tidur di dalam gua.”

Tapi sekarang Soat-koh berbalik tidak mau, jengeknya: "Hm, muda-mudi mana boleh tinggal di dalam satu kamar.”

Peng-say melengak, sampai sekian lama barulah dapat menjawab: "Ya, benar, maaf.”

Soat-koh tertawa, katanya: "Jarang nampak kau ter-sipu2 begini. Kakak Peng, meski bujang dan gadis tidak boleh tinggal didalam satu kamar tapi kau kan dapat membuat pasangan muda-mudi itu tinggal di dalam satu kamar secara resmi?”

"Secara resmi bagaimana?" tanya Peng-say.

"Asalkan kita terikat menjadi suami-isteri kan jadinya resmi?”

"Mak.... maksudmu kita.... kita mengadakan upacara nikah?" tanya Peng-say.

"Untuk menjadi suami-isteri dengan sendirinya harus menikah dengan upacara.”

Namun bayangan sumpah "tidak boleh mengadakan upacara nikah" yang pernah diucapkannya di depan Soat Ciau-hoa masih menghantui pikiran Peng-say. terpaksa ia menjawab secara samar2: "Urusan penting ini harus. . .

.harus dirundingkan lebih jauh ....”

"Berunding apalagi" Jangan2 di dalam hatimu hakikatnya memang tidak suka padaku?”

"O. ti. . .tidak.. . .tidak!" jawab Peng-say cepat.

"Kita sudah cukup umur dan dapat memutuskan urusannya sendiri, jika kau suka padaku, hari ini juga dapat kita melangsungkan upacara nikah.”

Cepat Peng-say menggeleng kepala, katanya: "Wah, tidak, jangan! Harus dirundingkan lagi dengan lebih cermat!" Tiba2 Soat-koh mencucurkan air mata, katanya: "Sebagai anak perempuan, tanpa malu telah kukeluarkan isi hatiku, tapi kau malah. . . .malah menolak dengan alasan ini dan itu. Sau Peng-say. baru sekarang kukenal kau, jelas dalam hatimu hanya terdapat Cin Yak-leng yang sudah mati itu mana pernah kau pikirkan diriku?”

Bicara sapai di sini, ia merasa sangat penasaran, ia membuang muka terus berlari ke dalam gua ia menjatuhkan diri di pembaringan dan menangis sedih.

Malam ini, diam2 Peng-say menyusup ke dalam gua.

Sampai di depan tempat tidur, dilihatnya Soat-koh sudah tidur dengan pipi masih basah air mata. Ia menghela napas pelahan, mendadak ia menutuk Hiat-to tidur si nona. Lalu dari dalam baju Soat-koh dikeluarkannya dua jilid buku tipis. Ia membalik halaman salah satu jilid itu dan dikenal sebagai kitab Pedang Kiri miliknya sendiri. buku ini ia masukkan kembali ke dalam baju Soat koh, jilid yang lain jelas adalah Pedang Kanan, tanpa melihat terus dimasukkan bajunya sendiri.

Dengan suara pelahan ia bergumam: "Soat-koh. harap maafkan diriku. Aku tidak dapat menikahi kau, hal ini bukan karena aku tidak suka, tapi lantaran terikat oleh sumpahku. Sekarang karena tiada jalan lain, terpaksa kugunakan cara ini untuk mengambil kitabmu ini.”

Setelah mendapatkan Kiam-boh Pedang Kanan malam itu juga ia meninggalkan Kiamciu untuk menghindari pengejaran Soat-koh.

Setiba di suatu kota kecil yang tak diketahui namanya, fajar belum lagi menyingsing, namun ia merasa sangat lelah, sedapatnya ia menci ri sebuah hotel kecil, ia ketuk pintu dan minta mondok di situ.

Berada di dalam kamar, ia mengeluarkan Kiam-boh Pedang Kanan itu, saking semangatnya hingga rasa kantukpun hilang. Segera ia mulai membaca dibawah lentera. Ia merasa jurus pertama "Kiong-siang-kut-thau" ada sedikit berbeda daripada ajaran Soat-koh. tapi tak diperhatikan, ia mengira mungkin ajaran Soat koh yang kurang tepat. Begitu seterusnya, hingga jurus kedelapan rasanya masih tetap ada sedikit perbedaannya. Maka heranlah Peng-say, apakah mungkin ajaran Soat-koh itu keliru seluruhnya”

Ia menggeleng dan bergumam sendiri. "Tidak mungkin, jika ajaran Soat-koh tidak benar, mana-bisa jurus ajarannya dapat bekerja sama dengan sangat rapi dengan Pedang Kiri yang kukuasai ini" Jangan2 apa yang tertulis di Kiam-hoh inilah yang tidak benar?”

Untuk membuktikan kebenaran ajaran Soat-koh atau tulisan dalam Kiam-boh yang salah, tanpa istirahat Pengsay lantas coba2 memainkan ilmu pedang menurut petunjuk kitab itu. Tapi dari ke-delapan jurus yang telah dikuasainya itu ternyata tiada satupun dapat bekerja sama dengan baik dengan Pedang Kirinya sendiri.

Keruan Peng-say terkesiap, pikirnya: "Jelas Kiam-boh ini telah diubah di bagian2 yang penting, kitab ini palsu dan tidak berguna sama sekali,”

Berpikir demikian, ia menjadi gugup, dilihatnya fajar hampir menyingsing, cepat ia bebenah pula dan melompat keluar jendela terus berlari kembali ke arah semula.

Sepanjang jalan ia sangat menyesal mengapa begitu gegabah, masa Kiam-boh asli dan palsu saja tidak dapat membedakannya”

Tapi ia lantas menghibur dirinya sendiri: "Kiam-boh ini telah diubah dengan sangat teliti, dalam keadaan ter-gesa2 siapapun sukar membedakan tulen atau palsunya.”

Diam2 iapun berdoa: "Semoga setiba di sana Soat-koh belum lagi mendusin, dengan begitu dapatlah kukembalikan kitab palsu ini tanpa diketahuinya. bisa juga kugeledah pula bajunya, syukur dapat kutemukan kitab yang asli, kalau tidak ketemu, biarlah tetap kutinggal bersama Soat-koh.

meski terlambat beberapa tahun akan lebih baik daripada sama sekali tidak dapat mempelajarinya.”

Tiba2 ia menggeleng kepala dan berpikir pula: "Tapi bagaimana nanti bila Soat-koh sudah mendusin" Ah, secara mendadak dapat pula kututuk Hiat-to tidurnya dan kusimpan kembali kitabnya atau mencari kitab yang tulen, bila tidak berhasil, kubuka Hiat-tonya dan mengaku cuma bergurau saja dengan dia. Kalau kuminta maaf, tentu iapun tidak sangsi lagi.”

Tapi lantas terpikir lagi: "Tapi kalau Soat-koh sudah mendusin dan mengetahui perbuatanku yang mencuri kitabnya, lalu bagaimana?”

Akhirnya ia jadi nekat dan memutuskan: "Demi membalas sakit hati orang tua. bila perlu kugunakan kekerasan untuk menundukkan Soat-koh dan akan kugeledah kitab pusakanya yang tulen." " Tapi lantas terpikir lagi: "Dan bagaimana kalau tidak kutemukan kitab yang tulen" Apakah dapat kupaksa dia merekam isi Kiam-bohnya" Tidak, tidak boleh jadi, perbuatan se-wenang2 ini betapa-pun tidak boleh kulakukan, harus kujelaskan sumpah yang telah kuucapkan sehingga aku tidak dapat menikahi dia, lalu akan kumohon dengan baik2 agar merekam kembali isi kitabnya, mau atau tidak bergantung kepadanya, yang pasti tidak boleh kugunakan kekerasan.”

Setelah mengambil keputusan2 itu, sekuat tenaga ia berlari terlebih cepat. Melihat gelagatnya, sebelum pagi tiba rasanya dia dapat berada kembali di gua sana.

Ketika ia tiba di tanah datar tempat gua itu, napasnya benar2 sudah megap2. Dalam pada itu sang surya sudah mulai memancarkan cahayanya. ia pikir biasanya Soat-koh bangun agak siang, bisa jadi saat inipun belum mendusin.

Segera ia mengatur napasnya yang masih ter-engah2 itu.

lalu mendekati gua dengan langkah pelahan.

Setiba didalam gua, segera ia memandang ketempat tidur di dalam sana, diam2 ia berharap Soat-koh masih berbaring di situ, tak terduga, selimut dan bantal ternyata sudah terlipat dan ditaruh di tempatnya dengan rapi.

Melihat gelagatnya, jelas sudah lama Soat-koh bangun, namun ia tetap berharap si nona belum mengetahui tercurinya kitab. Tapi ketika pandangannya beralih ke meja batu sana, seketika ia melenggong dan berdiri terpaku.

Sejak tadi ia sudah memperhitungkan segala kemungkinan buruknya bilamana setelah mendusin Soatkoh mengetahui kitabnya tercuri, tapi mengenai kemungkinan perginya si nona setelah mengetahui kecurian itu tidak berani dipikirnya, sebab kalau sampai nona itu pergi dengan marah tentu sukar lagi untuk dibujuk kembali, kalau tidak dapat membujuk kembali Soat-koh, lalu cara bagaimana dia akan mempelajari Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap”

Dan sekarang di dalam gua tiada terdapat si nona, agaknya kemungkinan yang paling buruk yang tidak berani dibayangkannya itu kini benar2 telah terjadi. Diiihatnya ada sepotong surat terletak di atas meja, hal ini membuat tubuhnya terasa lemas.

Dengan lesu ia mendekati meja, surat itu di-ambilnya dan dibaca, surat itu tertulis: "Memang sudah kuduga pada suatu hari kau akan berbuat demikian, sejak mulai berlatih disini akupun sudah ber-jaga2, tak tersangka baru sekarang kau turun tangan. Sungguh kau ini memang rada menarik, tapi lebih cepat atau lebih lambat berbuat, akhirnya tetap sama saja. Kau, Sau Peng-say, akhirnya dapat ku-kenali dengan benar, kau adalah seorang munafik. Munafik, mungkin kau akan membantah sebutanku ini, mungkin kau akan bilang terpaksa bertindak demikian demi menuntut balas tapi apakah kau harus menggunakan cara mencuri secara licik begini”

Terus terang, selama setahun ini aku memang sengaja mempersulit kau dalam hal belajar. Tapi hendaklah kau maklum akan tindakanku ini, soalnya kukuatir setelah menguasai Siang-liu-kiam, yang kau pikirkan hanya membalas dendam dan takkan ingat lagi pada diriku. Sebab itulah. sebelum kutahu persis isi hatimu, tidak berani kuajarkan Pedang Kanan secara terbuka.

Sayang kau tolol, kau tidak paham pikiranku, kau hanya menunggu dan menunggu lagi secara bodoh dan tidak mengerti cara lain untuk mengikat diriku sehingga hilanglah kesempatanmu untuk mempelajari Pedang Kanan dengan cepat.

Tapi kau pun tak daoat dikatakan tolol, sebab dalam hatimu hakikatnya tiada terdapat diriku, cara bagaimana kau dapat menaruh perhatian padaku" Untuk ini malahan harus kupuji akan kejujuranmu yang tidak mau membujuk rayu dengan kata2 manis. Kalau kau tidak suka padaku, seharusnya kau bicara terus terang agar aku tidak mengkhayalkan sesuatu yang muluk2, tatkala mana rasanya akupun tidak bakalan menolak mengajarkan Pedang Kanan padamu, betapapun ibu sudah berjanji akan tukar-menukar denganmu, aku tidak boleh mengingkari janji ibu hanya karena kau tidak suka padaku.....”

Membaca sampai di sini, diam2 Peng-say mendengus: "Hm, tukar-menukar" Hakikatnya tipuan belaka!”

Ooode--wiooO 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar