Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 29

Jilid 29

Dengan suara pedih Peng-say menjawab: "Mendiang ayahku ialah Soh-hok-hancu, ketua Lam-han. beliau meninggal ter. . . .terbunuh oleh kawanan penjahat dari Say-koan!”

Segera ia menceritakan peristiwa terbunuhnya Sau Cenghong dan segenap anggota Lam-han, diuraikan pula kisah cinta ayah dan ibunya dahulu.

Melihat Peng-say dan sang guru sudah dapat bicara dengan asyiknya, Soat Koh menjadi girang, cepat ia pergi memasak air dan menyeduh satu poci teh, lalu pergi ke dapur menanak nasi, sibuk sekali dia bekerja, disangkanya kebahagiaan sudah ada harapan, Suhu takkan memaksanya berpisah lagi dengan kekasihnya, bisa jadi akan ....

Teringat akan menjadi isteri orang dan melahirkan anak segala, tanpa terasa mukanya menjadi merah meski berada sendirian. Dalam pada itu Peng-say telah berceritera sampai dia menemukan Soat Koh, lalu berangkat ke Ki-lian-san sini.

"Jika adik-misanmu Cin Yak-leng tidak mati tentu kaupun takkan mencari muridku dengan 'semboyan menjual seni mencari isteri', bukan?" kata Soat Ciau-hoa.

"Sebenarnya aku memang tidak . . .tidak pantas mencemarkan nama baik Soat Koh, untuk ini harap bibi suka memaafkan," pinta Peng-say.

"Ada hubungan apa pula antara kau dan Sau Kim-leng?”

tanya Ciau-hoa.

Peng-say lantas menceritakan pula hal ikhwal lahirnya Sau Kim-leng, bahwa nona itu sesungguhnya adalah puteri Ciamtay Cu-ih. Lalu mengenai dirinya ditawan Liok-ma serta cara meninggalkan Leng-hiang-cay untuk menolong Cih Yak-leng, dalam perjalanan itulah dia berkenalan dengan Soat Koh. semua diceritakannya dengan jelas.

Akhirnya ia berkata pula: "Dari ibunya Sau Kim-leng mendengar bahwa Siang-liu-kiam-boh terbagi menjadi dua jilid, yaitu Pedang Kiri dan Pedang Kanan, dari Sau Kimleng pula kudengar cerita mengenai ilmu pedang maha sakti itu.”

Soat Ciau-hoa menjadi kurang senang, katanya: "Menurut ceritamu, tampaknya Sau Kim-leng itu rada2 menaksir padamu.”

"Dia cantik seperti bidadari, mana bisa jatuh hati pada bocah tak becus macamku ini. kukira bibi salah sangka.”

"Jika dia benar2 jatuh hati padamu, tentunya sangat kau harapkan bukan?”

Peng-say menggeleng, jawabnya: "Kelak aku harus membunuh ayahnya, di antara kami tak mungkin berkawan, lambat atau cepat kami adalah musuh.”

"Dan sampai saat ini kau belum lagi melupakan kematian Cin Yan-leng bukan?”

"Yak-leng dalam pandanganku sudah menjadi istriku, kematiannya sama seperti kematian mendiang ayahku, sama pentingnya bagiku, betapapun harus kubalaskan sakit hatinya.”

"Hm, seorang pecinta yang setia juga kau ini," jengek Ciau-hoa dengan kurang senang.

Peng-say memohon dengan sangat: "Dapatkah bibi kasihan pada tekadku akan membalas dendam dan sudilah mengajarkan Pedang Kanan padaku?”

"Akan kuajarkan Pedang Kanan padamu, tapi dua syarat harus kau penuhi," kata Ciau-hoa.

"Kedua syarat apa, silakan bibi katakan.”

"Syarat pertama, tukar menukar, saling belajar antara Pedang Kiri dan Pedang Kanan.”

"Untuk ini perlu izin guruku," kata Peng-say.

"Demi balas dendam muridnya kukira dia pasti akan meluluskan permintaanmu.”

"Dan syarat kedua?" tanya Peng-say.

Dengan wajah kereng Soat Ciau-hoa berkata dengan suara tertahan: "Selanjutnya kau tidak boleh menggubris muridku.”

Syarat kedua ini bisa gampang dan bisa sulit pelaksanaannya. Bila sampai hati, tentu mudah dilakukan.

Jika hati tidak tega, betapapun sulit untuk dilakukan.

Peng-say menjadi ragu2, katanya kemudian: "Mohon penjelasan lebih lanjut, cara bagaimana baru bibi anggap tidak menggubrisnya" Untuk itu apakah selanjutnya aku tidak boleh bicara satu patah kata pun dengan Soat Koh?”

Ciau-hoa memandang sekejap kearah dapur. melihat Soat Koh asyik menanak nasi dan tidak memperhatikan keadaan disini. ia lantas mengangguk dan berkata dengan suara lirih: "Betul. seterusnya kau dilarang bicara dengan muridku.”

"Jika dia yang mengajak bicara padaku?" tanya Peng-say.

"Jawab saja dengan ketus." kata Ciau-hoa, "Sekali dua kali kau jawab dengan ketus. ia merasa tidak mendapat tanggapan yang simpatik. dengan sendirinya iapun mendongkol dan takkan mengajak bicara lagi padamu.”

Bahwa dia disuruh "jotakan" dengan Soat Koh yang jelas2 telah mencintainya, sesungguhnya peng-say tidak tega bertindak demikian. Karena itulah ia menggeleng dan menjawab: "Tidak, bibi, hal ini tidak dapat kupenuhi.”

"Tidak dapat" Kenapa tidak dapat?" teriak Soat Ciau-hoa dengan gemas.

Mendengar suara sang guru yang rada tidak benar itu, cepat Soat Koh datang dengan membawa pelita, tegurnya dengan tertawa: 'Kakak Peng, kenapa kau bikin marah lagi pada Suhuku?”

"O, ti. . .tidak. . . .”

Belum lanjut ucapan Peng-say, cepat Ciau-hoa berdehem sehingga Peng-say urung bicara lebih jauh ia memandang ke sana, dilihatnya sang bibi sedang mendelik padanya se-akan2 marah karena dirinya telah menanggapi ucapan Soat Koh tadi. Rumah batu itu sangat sederhana, terbagi dalam tiga ruang berjajar, ruangan kiri pakai tirai adalah kamar tidur, ruangan kanan agak kecil dan sempit digunakan sebagai dapur, hanya ruangan tengah ini agak luas dan longgar, di sini terdapat sebuah meja kayu dan dua bangku batu, lain barang tidak ada. Pertarungan sengit yang terjadi tadi, ternyata tidak sampai merusak meja yang mepet dinding. .

Melihat betapa sederhananya rumah ini, Peng-say tahu kehidupan se-hari2 sang bibi pasti cukup sengsara, begitu hematnya sehingga seluruh rumah hanya pakai sebuah pelita minyak saja yang dibawa kian kemari oleh Soat Koh itu.

Waktu Peng-say bicara dengan sang bibi diruang tengah ini, keadaan ruang tengah ini gelap gulita Soat Koat sendiri sibuk menanak nasi dan memasak air di dapur, maka dia menggunakan pelita satu2nya itu. Sekarang ia datang dengan membawa pelita itu, ruangan tengah ini menjadi terang. Kehidupan di daerah utara memang lebih sulit daripada daerah selatan, biarpun keluarga hartawan, kalau sudah malam juga jarang yang memakai penerangan di kamar tidur, terkecuali kalau sedang bekerja memasak atau menjahit. Biasanya satu rumah paling2 cuma dinyalakan satu atau dua lampu saja.

Karena sudah biasa hidup hemat, maka di rumah Soat Ciau-hoa inipun hanya digunakan satu lampu. Padahal selama belasan tahun tinggal di rumah batu ini hakikatnya mereka tidak pernah kedatangan tamu, maka sebuah lampu sudah cukup bagi mereka.

Begitulah setelah Soat Koh menaruh pelita minyak itu di atas meja, dilihatnya cangkir teh di depan Peng-say belum lagi terminum, ia bersuara heran dan menegur pula: "He, apakah kau tidak haus, kenapa teh itu tidak kau minum?”

Peng-say tidak berani menjawabnya lagi, tapi ditanya kalau tidak menjawab tenggorokan rasanya gatal, saking tidak tahan terpaksa ia hanya berdehem belaka.

"Nah, kerongkonganmu sudah kering begitu, masa masih sungkan", hayolah lekas diminum!" seru Soat Koh dengan tertawa.

Terpaksa Peng-say menurut, cangkir teh itu diangkatnya dan sekaligus diminumnya hingga habis. Soat Koh tertawa puas. Dilihatnya ketika sosok mayat tadi belum lagi dibersihkan. cepat ia berkata pula: "Peng-ko (kakak Peng), hayolah bantu gotong mayat ini keluar!”

Peng-say berbangkit hendak membantunya.

Melihat pemuda itu sedemikian penurut, Soat Ciau-hoa melototnya dengan bengis: "Tahukah kau siapa orang2 ini?”

"Keponakan tidak tahu," jawab Peng-say.

"Tidak tahu apakah juga tidak bisa berpikir?" damperat Ciau-hoa." Melihat tampangmu sih bukan orang bodoh.

mengapa otakmu begitu bebal?"“

"Suhu." sela Soat Koh. "begitu tiba musuh lantas menyerang kami, sedikitpun tidak diperoleh keterangan apapun, betapapun cerdiknya juga sukar meraba asal-usul musuh." "Hm, pintarmu cuma membela dia." omel Ciau-hoa.

"Memangnya sudah lupa janjimu kepada Suhu" Itukah namanya menjauhi dia" Huh, anak perempuan, tidak tahu jaga diri, tahunya cuma ingin baik padanya. Padahal lelaki kebanyakan adalah kaum rendahan, makin baik kepadanya, dia justeru memandang hina padamu. Jika kau tidak gubris padanya, dia berbalik akan merasa tertarik padamu dan mengintil di belakangmu seperti anjing membuntuti majikannya.”

Selama ini antara guru dan murid itu hidup seperti ibu dan anak kandung, meski biasanya Soat Ciau-hoa selalu berwajah dingin, tidak suka bercanda, tapi Soat Koh juga tidak begitu takut padanya. Di mulut saja ia berjanji akan menjauhi Peng-say, hal ini dilakukan sebagai siasat sementara saja, setelah urusan selesai, janjinya itu tidak benar2 ditaatinya.

Iapun tahu sang guru sangat sayang padanya. maka dengan tertawa ia menjawab: "Peng-ko kan juga keponakan Suhu sendiri, jika kujauhi dia. kan sama seperti tidak menghormati Suhu?”

Bahwa dia justeru ingin mendekati Peng-say. Soat Ciauhoa menjadi kewalahan, terpaksa ia mendengus, katanya: "Hm, hati lelaki seperti jarum di dasar lautan. Yang rugi kelak adalah kau sendiri!”

Dengan tertawa Soat Koh menjawab: "Bila dia berani mengkhianati aku, seperti gurunya orang she Tio itu mengkhianati Suhu, hm, tidak mungkin aku sebaik hati Suhu dan cuma menabas sebelah lengannya saja, betapapun aku pasti berdaya mencabut nyawanya. Tapi aku percaya Peng-ko pasti bukan manusia tak berbudi dan tidak setia begitu." "Hm, tunggu dan lihat saja kelak!" jengek Ciau-hoa.

Peng-say sendiri tidak memperhatikan percakapan guru dan murid itu, sebab merenungkan pertanyaan Soat Ciauhoa tadi, ia pikir tidak nanti sang bibi bertanya tentang orang2 berseragam kuning itu tanpa sebab. tentu ada sangkut paut dengan dirinya.

Setelah memeras otak. tiba2 teringat olehnya dandanan orang Say-koan juga berseragam kuning. segera ia berkeplok dan berseru: "Ah. tahulah aku. Orang2 ini adalah anak murid Say-koan.”

"Betul tidak keterangan Peng-ko itu. Suhu?" tanya Soat Koh.

"Hm. anggaplah dia pintar." jawab Ciau-hoa.

Soat Koh merasa heran, tanyanya: "Selamanya kita tiada hubungan apapun dengan Ngo-hoa-koan di Sinkiang, apalagi soal permusuhan, mengapa mereka melancarkan kepungan dan serangan kepada Suhu secara besar2an?”

"Hal ini memang salahku sendiri," tutur Soat Ciau-hoa dengan gegetun. "Sejak gurumu telanjur membunuh guru silat Beng Eng-kiat di Pakkhia dan berpisah dengan kau, aku lantas pulang ke sini dan tidak pernah bertanding dengan siapa lagi untuk menjajal kelihayan Siang-liu-kiam-hoat kita. Selama belasan tahun ini kuhidup prihatin di rumah, tidak berpikir lagi tentang nama segala. Akan tetapi hidup sendirian lama2 terasa kesepian juga, bulan yang lalu timbul hasratku untuk keluar lagi, tapi akupun kuatir nanti kau pulang dan tak dapat menemukan diriku, maka aku hanya pesiar di tempat2 yang berdekatan saja, kukira dengan cepat dapat pulang lagi ke sini. Suatu hari aku pesiar ke danau Pusdam di wilayah Sinkiang, di sana kulihat banyak orang Bu-lim hendak berkunjung ke Ngohoa-koan untuk menemui Coh-bengcu, Coh Cu-jiu. Dari keterangan yang kuperoleh, kiranya Ngo-hoa-koan yang termashur itu terletak di pegunungan di tepi danau Pusdam, aku jadi tertarik, diam2 kupikir apakah ilmu pedangku dapat menandingi Coh Cu-jiu" Bukan maksudku hendak mengalahkan Coh Cu-jiu agar namaku bisa terkenal, kupikir asalkan dapat menandingi Coh-bengcu, maka latihanku selama belasan tahun ini tidaklah sia2. Karena pikiran ini, aku lantas ingin mencoba Siang-liu kiam-hoat, segera kudatangi Ngo-hoa-koan untuk menemui Coh Cu-jiu. Orang she Coh ini tidak malu sebagai Beng-cu para ksatria dunia persilatan, orangnya cukup ramah, meski orang datang terang2an untuk menantang bertanding, dengan rendah hati ia terima dengan baik dan langsung turun kalangan sendiri. Kepandaian tokoh Ngo-hoa-koan itu memang hebat, dengan mudah dapatlah ia menahan ke49 jurus Siang-liu-kiam-hoatku, sedikitpun aku tidak lebih unggul, bahkan beberapa kali aku hampir terserang, kutahu dia sengaja mengalah sehingga kusempat mengeluarkan seluruh ke~49 jurus Siang-liu-kiam-hoatku. Tatkala mana banyak tamu yang menyaksikan pertandingan itu, meski mereka adalah sahabat Coh Cu-jiu, tapi melihat diriku yang tidak terkenal ini mampu melayani ketua Ngo-tay-lian-beng dengan sekian lamanya, mau-tak-mau mereka sama bersorak memuji diriku. Tentu saja aku sangat senang dan mengira Siang-liu-kiam tidak percuma kulatih. Tak terduga, mendadak Coh Cu-jiu melancarkan serangan kilat tiga kali, dua serangan sempat kuhindar. serangan ketiga sukar kuelakkan, waktu kutangkis dengan pedangku, kontan pedangku tergetar mencelat oleh tenaga dalamnya yang maha kuat. Dia bergelak tertawa dan berkata: 'Maafapakah perlu diteruskan"' -Sudah kalah, masa aku berani bertanding lagi. segera kumohon diri dan pulang dengan lesu. Sungguh kecewa hatiku dan patah semangat. Kupikir Coh Cu-jiu memang tidak maLU sebagai salah satu tokoh dari Su-ki, semula dia mengalah, bila sejak mulai dia lantas menggunakan serangan kilatnya, jelas Siang-liu-kiam-hoat yang kulatih bukan tandingannya, hanya dalam beberapa jurus saja aku pasti kalah, sungguh percuma Siang-liu-kiam-hoat yang tersiar sebagai ilmu pedang nomor satu di dunia ini.”

"Persoalannya bukan begitu," kata Peng-say, mestinya ia hendak menceritakan apa yang terjadi di Ki-lian-san dulu ketika Sau Ceng-in mengalahkan ketiga rekannya agar sang bibi tahu berita Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia itu bukan cuma omong kosong belaka, tapi setelah dipikir lagi, ia urung bicara.

Soat Ciau-hoa hanya melotot padanya, lalu menyambung ceritanya: "Dalam perjalanan pulang itu, kutahu ada orang sedang mengikuti jejakku, tapi aku tidak menghiraukannya, setiba di rumah diam2 aku pertinggi kewaspadaan. Dua hari pertama tidak terjadi apa2, sampai hari ketiga, yaitu malam kemarin dulu, selagi tidur, tiba2 kudengar ada pejalan malam mendekati rumah batu ini.

Aku diam saja dan pura2 tidak tahu. Tapi ketika Ya-hengjin (pejalan malam) itu sudah dekat dan berada dalam jarak bidik panahku. segera kulepaskan panah dan berhasil membinasakan dua orang. Sisanya menjadi ketakutan dan sama mundur. Tidak lama kemudian. seorang berdiri di kejauhan dan berteriak padaku: 'Soat Ciau-hoa. tahukah siapa yang kau bunuh itu"' - Aku menjawab. Peduli siapa dia. pokoknya asalkan berani menyatroni nyonyamu dan bermaksud busuk, maka sama saja dia mengantar kematian ke sini! -Karena orang itu dapat menyebut namaku, kupikir orang ini tentu musuhku, mungkin melihat diriku waktu bertanding dengan Coh Cu-jiu, setelah kutinggalkan Ngohoa-koan, dia lantas menguntit kemari dan bermaksud menuntut balas padaku. Sama sekali tak kuduga bahwa mereka justeru adalah anak buah Coh Cu-jiu sendiri. Maka orang itu lantas berkata pula: 'Kau berkunjung kepada Bengcu. karena berterima kasih, Bengcu menyuruh kami balas berkunjung ke tempatmu ini, siapa tahu kau ini memang sudah biasa berbuat jahat, sekaligus kau bunuh dua murid Ngo hoa-koan. - Mendengar orang yang kubunuh itu adalah murid Ngo-hoa-koan, aku menjadi gugup, tapi aku tidak mau mengaku salah, kataku: 'Tengah malam buta be-ramai2 mendatangi tempatku, sudah tidak menegur, diam2 mengepung tempat ini, jadi maksud tujuan kalian tidaklah bajik, masa pakai alasan mengadakan kunjungan balasan. Hm, kau kira aku ini anak umur tiga yang dapat kau tipu"' Tapi orang itu lantas menyangkal pula: 'Soalnya kami tidak tahu di mana tempat tinggalmu.

kami ingin cari tahu lebih dulu. bila sudah jelas barulah kami berkunjung secara resmi. Tapi kau tidak kenal kebaikan. kontan menyerang dengan panah berbisa dan main bunuh. sekarang kau malah menuduh kedatangan kami ini bermaksud jahat, memangnya kau kira orang Ngohoa-koan boleh kau binasakan sesukamu"' -Sudah tentu aku tidak percaya kepada alasannya, aku mendengus dan berkata: 'Habis kalian mau apa sekarang"' " Beberapa anak buahnya lantas ber-teriak2: 'Membunuh orang harus mengganti jiwa' " Aku menjawab: 'Kalau mampu boleh coba saja terjang masuk ke sini!" -Serentak beberapa orang menerjang maju, ada yang menerobos jendela, ada yang menerjang dari pintu, Tapi begitu berada dalam jarak bidik panahku, segera kubinasakan mereka. Dengan bengis kubentak: 'Kalau tidak taku mai boleh coba maju lagi!”

-Rupanya jumlah mereka masih ada dua-tiga puluh orang, mereka menjadi gentar melihat kelihayan panahku, bukannya menerjang maju, sebaliknya malah mundur dengan ketakutan. Orang yang pertama lantas berseru: 'Soat Ciau-hoa, seluruhnya sudah sembilan anak murid Ngo-hoa-koan yang kau bunuh!' -Kutahu mereka pasti tidak mau damai, aku menjadi nekat dan berteriak: 'Sekalipun Coh Cu-jiu datang sendiri kesini, jika dia berani sembarangan menerobos masuk kerumahku juga akan kupanah tanpa ampun. Kalau tidak percaya kau yang bicara ini boleh coba2 menerjang masuk kemari!' - Agaknya orang itu juga jeri dan tidak berani mendekat, ia pura2 tidak dengar dan berkata pula: 'Sebainya kau menyerah saja dan ikut kami ke Ngo-hoa-koan untuk minta ampun kepada Coh-bengcu.

Kami Boh-pak-sam-hiong (tiga jagoan dari gurun utara) berani menjamin jiwamu pasti takkan diganggu.' -Nama Boh-pak-sam-hiong cukup tenar di utara tembok besar, ilmu silat mereka tidak boleh diremehkan, bandit yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu meski sekarang sudah cuci tangan dan kembali ke jalan yang baik, tapi siapa berani bilang mereka benar2 telah bertobat" Di depan Coh Cu-jiu berapa pula harganya nama mereka" Sudah tentu aku tak mau tertipu dan menyerahkan jiwaku di tangan mereka. Dengan suara keras kujawab: 'Selama hidup Soat Ciau-hoa malang melintang sendirian dan tidak pernah menyerah kepada siapapun, kalau mampu boleh coba kau masuk kemari untuk meringkus diriku, kalau tidak berani boleh lekas enyah. Suruh aku minta ampun kepada Coh Cu-jiu" Hm, untuk apa harus kuminta maaf, anak muridnya yang cari mampus sendiri kesini, kenapa salahkan diriku"“

-Boh-pak-sam-hiong tahu aku tak bakalan menyerah, merekapun tidak bicara lagi. Kedua pihak terus bertahan hingga terang tanah, kukuatir Say-koan akan datang bala bantuan lagi, bila kedatangan tokoh kelas tinggi tentu panahku tidak mampu mengalangi lawan lagi dan akhirnya aku pasti akan tertawan. Kupikir mumpung musuh tangguh belum tiba, lebih baik kutinggalkan tempat ini saja. Siapa tahu, kutahan musuh yang akan menyerbu ke dalam rumah dengan panah, waktu kuterobos keluar musuh juga merintangi aku dengan menghujani aku dengan panah.

Kalau panah biasa tidak kutakuti, tapi Boh-pak-sam-hiong ditambah lagi anak murid Say-koan yang tergolong jago pilihan, jika setiap anak panah musuh harus kusampuk dengan pedangku, betapapun kurasakan agak repot.”

Bicara sampai di sini ia pandang Peng-say sekejap, diam2 ia heran darimana anak muda ini dapat meyakinkan Kungfu setinggi itu dan dapat menerjang kemari di bawah hujan panah yang kuhamburkan.

"Kemudian Soat Ciau-hoa menyambung pula: "Karena tidak mampu menerjang keluar, aku menjadi gelisah.

Kudengar tertua Boh-pak-sam-hiong yang bernama Pah Lo itu berkata pula dengan tertawa: 'Soat Ciau-hoa, apakah sekarang kau tidak lagi mau menyerah"' " Tapi aku tetap bertahan di dalam rumah dan tidak menggubrisnya. Setelah berjaga sehari semalam, pagi tadi Pah Lo berteriak lagi padaku: 'Soat Ciau-hoa, apakah perutmu tidak lapar"“

-Padahal, didalam rumah ini masih cukup tersedia perbekalan, namun pada suatu hari akhirnya juga akan habis, apalagi bila bala bantuan mereka tentu aku pun tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Aku sudah mengambil keputusan bila keadaan kepepet, lebih baik kumati di medan tempur daripada menyerah untuk diringkus. Dengan tekad begitu, aku tidak gelisah lagi, kutunggu kedatangan bala bantuan mereka, berapa orang yang mampu menerjang masuk akan kubereskan berapa orang pula, bila dapat kurobohkan beberapa jagoan Say-koan, sedikitnya aku tidak sampai rugi. kalau mati juga tidak perlu penasaran. Tak tersangka, sebelum bala bantuan tiba, Boh-pak-sam-hiong lantas mulai menyerbu ke sini begitu malam tiba dan terjadilah pertarungan sengit. Mungkin mereka mengira aku telah kelaparan dua hari, tentu tenaga sudah banyak berkurang, tanpa menunggu lagi datangnya bala bantuan segera mereka bertindak lebih dulu, mungkin mereka pikir akan dapat menawan atau membunuhku, dengan begitu mereka pun akan mendapat pujian oleh Bengcu mereka.

Padahal di dalam rumah ini setiap hari kumakan cukup kenyang dan tidak pernah kelaparan, hanya saja lantaran berjaga selama dua malam, karena tidak tidur, semangatku kurang cukup, untung kalian keburu datang, kalau tidak mungkin jiwaku bisa melayang.”

Mendengar sampai di sini, diam2 Soat Koh membatin: "Menurut cerita Suhu, beliau tidak bersalah apa2 terhadap Coh Cu-jiu, tapi mengapa Coh Cu-jiu menyuruh Boh-pak-sam-hiong menguntit ke sini dan menyergap Suhu?”

Mendadak terdengar Soat Ciau-hoa berteriak dengan gemas: "Keparat Coh Cu-jiu itu benar2 brengsek. dia tidak berani membunuhku secara terang-terangan, tapi mengirim anak buahnya dan bertindak secara rendah begini. Hm, kalau tidak kuketahui gerak-gerik mereka, bisa jadi aku sudah terbius oleh dupa Boh-pak-sam-hiong dan terbunuh secara tidak sadar. Sunguh aku tidak tahu ada permusuhan apa antara Coh Cu-jiu dengan diriku sehingga dia sampai bertindak sekeji ini padaku.”

Mendadak ia berteriak gusar, rupanya ia jadi teringat kepada cerita Peng-say tentang terbunuhnya segenap anggota Lam-han oleh orang2 Say-koan, maka ia pikir bukan mustahil Coh Cu-jiu juga menggunakan cara Ting Tiong dan Liok Pek yang menghabisi orang Lam-han, dan menyuruh Boh-pak-sam-hiong untuk menyegapnya.

Soat Koh menggeleng, katanya: "Suhu, selamanya Coh Cu-jiu tiada permusuhan apapun dengan kita, tidak mungkin dia mengirim orang mencelakai Suhu. Kalau Bohpak-sam-hiong adalah bekas bandit, tentu dalam hal pemakaian obat bius dan sebagainya cukup mahir, dengan mengirim mereka kesini, mungkin Coh Cu-jiu bermaksud menawan Suhu hidup2”

"Dugaan Soat Koh memang betul," tukas Peng-say.

"Tujuan Coh Cu-jiu jelas hendak menawan bibi, bila cuma mau membunuh, tentu pada waktu bertanding dengan dia bibi telah dibunuhnya.”

Soat Ciau-hoa melotot, katanya: "Kau bilang dugaan muridku betul, kau hanya menurut secara ngawur saja.

Padahal, hm, untuk apa Coh Cu-jiu menawan diriku hidup2, memangnya dia menaksir pada diriku yang sudah nenek2 ini?”

"Ah, Suhu kan belum tua, masa mengaku sudah nenek2," kata Soat Koh dengan tertawa. "Menurut pandanganku, bukan mustahil Coh Cu-jiu itu memang mempunyai niat jahat, mungkin sekali pandang dia telah jatuh cinta kepada Suhu.”

"Ngaco-belo!" omel Soat Ciau-hoa. "Kurang- ajar, berani kau mengguraui gurumu"!”

Soat Koh menjulur lidah dan tidak berani bicara lagi.

Melihat kelakuan muridnya yang lucu itu, tertawalah Soat Ciau-hoa. Tiba2 Peng-say berkata dengan sungguh2: "Tujuan Coh Cu jiu hendak menawan bibi adalah karena ingin memaksa bibi merekam kembali kitab Siang-liu-kiam-boh.”

"Tidak bisa jadi," kata Soat Ciau-hoa. "Dia sendiri berkepandaian tinggi hanya dalam beberapa jurus saja dapat mengalahkan aku, Siang-liu-kiam-hoat cuma bernama kosong, tiada sesuatu yang luar biasa. dalam pandangan Coh Cu-jiu lebih2 tiada artinya.”

"Yapi kuyakin selain maksud tujuan ini, tiada alasan bagi Coh Cu-jiu uatuk menawan bibi," kata Peng-say. "Ucapan bibi tentang Siang-liu-kiam-hoat cuma bernama kosong adalah salah besar.”

"Salah besar?" Soat Ciau-hoa merasa kurang senang, "Memangnya kau kira pamanmu Sau Ceng-in itu sangat hebat" Hm, dahulu akupun percaya Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia. padahal tidak lebih daripada kentut belaka. Selama beberapa tahun aku berusaha sia2 mempelajari ilmu pedang yang tiada gunanya ini.”

"Bibi tidak lengkap belajar pedang kiri Siang-liu-kiam, setelah mengalami kekalahan lantas patah semangat, maka timbul rasa kecewa," kata Peng-say. "Padahal pamanku Leng-hiang-caycu pernah mengalahkan kedua orang kosen dari timur dan barat dengan kedua pedangnya, mendiang ayahku cukup maklum akan kejadian itu, makanya Ji-suko disuruh memberitahukan padaku agar sebelum kucari Hong-hoa-wancu untuk menuntut balas. lebih dulu aku diharuskan belajar lengkap Siang-liu-kiam. Kemudian segenap anggota Lam-han terbunuh, ayahku mati secara mengenaskan. Toa-suko juga dibawa pergi oleh Thio Yancoan, macam2 dendam kesumat itu semakin menguatkan tekadku untuk belajar lengkap Siang-liu-kiam-hoat.”

Lalu Peng-say menceritakan lebih jelas lagi segala pengalamannya selama ini.

"O, lantaran itulah baru kau cari muridku. begitu" Hm, hati Soat Koh terlalu lemah, tentunya dia telah kau bujuk dan kau tipu, akhirnya membawa kau ke sini.”

Cepat Soat Koh menyela: "Suhu, dia tidak menipuku.

Murid tahu, dia ....dia. . . .”

"Dia kenapa?" tukas Soat Ciau-hoa.

Lagu "Siau-go-yan-he" telah menimbulkan salah paham Soat Koh, disangkanya Peng-say mencintainya secara mendalam. Tapi untuk mengatakan terus terang kepada gurunya ia merasa tidak enak.

Maka dengan gelagapan ia menjawab: "O, ti. . .tidak apa2. Pendek kata, murid yakin dia tidak menipuku,”

Soat Ciau-hoa memandang Peng-say sekejap diam2 ia membatin mungkin Soat Koh telah dicekoki obat bius apa sehingga nona itu percaya penuh padanya. Pikirnya: "Mungkin dengan modal kecakapanmu, mudahlah bagimu untuk menipu anak perempuan. Tapi aku justeru tidak mau memenuhi kehendakmu. Bila kau ingin belajar lengkap Siang-liu-kiam, lebih dulu Soat koh harus dibikin patah hati lebih dulu.”

Didengarnya Peng-say berkata pula: "Bibi, ada suatu urusan belum sempat kujelaskan padamu.”

"Apakah mengenai pamanmu mengalahkan kedua tokoh timur dan barat dengan Siang-liu-kiam-hoatnya?" tukas Soat Ciau-hoa.

Peng-say mengangguk, katanya: "Ya, kisah ini sangat panjang jika diceritakan. . . .”

"Lantaran terlalu panjang, maka tadi kau malas menceritakan bukan" Jika demikian, tidak perlulah kau ceritakan, akupun malas untuk mengikuti ceritamu.”

"Bukan ku-enggan menceritakan, soalnya peristiwa itu sedikit banyak menyangkut nama baik mendiang ayahku.

Tadi waktu bibi bilang Siang-liu-kiam-hoat cuma bernama kosong dan bibi telah sia2 mempelajarinya, mestinya waktu itu akan kujelaskan duduknya perkara. Tapi setelah kupikir, urunglah kukatakan.”

"Dan sekarang?" tanya Soat Ciau-hoa.

"Demi meluruskan pandangan bibi. terpaksa kujelaskan,”

kata Peng-say. "Hm, kukira lebih baik kau hemat tenaga saja, tidak perlu kau ceritakan," jengek Soat Ciau-hoa. "Betapapun aku tidak percaya Sau Ceng-in mampu mengalahkan kedua tokoh timur dan barat. Bila benar2 terjadi begitu, bukankah hal itu sudah menggemparkan dunia persilatan dan pasti sudah kudengar, masakah perlu kau ceritakan sekarang.”

"Apakah bibi ingat tulisan yang ditinggalkan pamanku di dinding batu itu. dia menyatakan barang siapa mendapatkan kitab pusakanya harus membunuh ketiga orang ini. Tahukah bibi siapa ketiga orang yang dimaksudkan itu?”

"Tidak dia jelaskan, darimana aku tahu?”

"Bukankah paman hanya menulis satu huruf 'Ciam' saja lantas dihapus lagi. Huruf 'Ciam' itu dimaksudkan Hong-hoa-wancu dari lautan timur, Ciamtay Cu-ih.”

"Hm, darimana kau tahu?" jengek Soat Ciau-hoa.

"Bila sudah kuceritakan apa yang terjadi dalam pertemuan Su-ki di Ki-lian-san, dengan sendirinya bibi akan tahu orang yang dimaksudkan paman itu ialah Ciamtay Cu-ih.”

Soat Ciau-hoa menjadi ragu, tanyanya: "Lalu sisa dua orang lainnya apakah kau pun tahu?”

"Dua orang lagi, yang satu ialah Ngo-hoa-koancu Coh Cu-jiu dan yang lain ialah ....ialah mendiang ayahku!”

"Wah, untung tidak dia tulis dengan jelas, kalau tidak, bilamana Siang-liu-kiam sudah lengkap kupelajari dan aku diharuskan taat melaksanakan pesannya untuk membunuh ketiga orang kosen itu, kan jiwaku sendiri yang bakal melayang?”

"Bilamana Siang-liu-kian-hoat benar2 lengkap dikuasai, tidak sulit untuk membunuh tokoh sakti timur dan barat itu." "Tidak sulit membunuh kedua tokoh sakti itu. lalu apakah juga tidak sulit untuk membunuh ayahmu?”

"Suhu," sela Soat Koh, "engkau tahu ayah Peng-ko kan sudah meninggal. . . .”

"Jangan banyak mulut, sudah tentu kutahu Moayhu (suami adik) yang tidak punya perasaan itu sudah mati,”

kata Soat Ciau-hoa. "Yang kumaksudkan, bilamana dia belum mati, apakah juga dapat membunuhnya dengan Siang-liu-kiam-hoat?”

"Ayahku juga bukan tandingan Siang-liu-kiam." kata Peng-say lebih lanjut.

"Bukan tandingannya. jadi dapat juga dibunuh," kata Ciau-hoa. "Hm. sungguh aku berharap manusia yang tak berbudi dan tak setia ini belum lagi mampus, dengan demikian biar dia dibunuh oleh anak kandungnya sendiri.”

"Bibi, mana boleh kau bicara begitu?" sanggah Peng-say dengnn kurang senang.

"Kenapa tidak boleh?" jengek Ciau-hoa. "Dosa orang ini pantas dibunuh, bila dia masih hidup, demi membalas sakit hati adikku, tentu akan kusuruh kau membunuhnya.”

"Mana bisa jadi!" seru Peng-say dengan aseran.

"Jika aku berjanji akan mengajarkan Pedang Kanan padamu dengan syarat kau harus membunuh dia, nah, akan kau lakukan atau tidak?”

"Perbuatan durhaka dan terkutuk itu mana bisa kulakukan. Jika bukan ingin membalas dendam ayah hakikatnya aku tidak sudi belajar Siang-liu-kiam segala.”

"O, jika demikian, jadi kedatanganmu memohon pengajaran Pedang Kanan padaku, tujuanmu adalah untuk menuntut balas bagi ayahmu?”

"Ya, memang," jawab Peng-say tegas.

"Hm, tadinya kukira tujuanmu demi membalas sakit hati Piaumoaymu," jengek Ciau-hoa.

"Itu adalah tujuanku yang kedua," kata Peng-say.

"Hm, Sau Ceng-hong berjuluk 'Kun-cu-kiam', padahal dia sama sekali bukan seorang Kuncu (ksatria, laki2 sejati),”

kata Cian-hoa pula.

"Bolehkah bibi tidak lagi menyinggung mendiang ayahku?" pinta Peng-say dengan gusar.

"Bila telingamu merasa tertusuk, boleh kau tutup kupingmu saja," kata Cian-hoa. Ia berpaling dan tanya Soat Koh: "Coba katakan, muridku, Sau Ceng-hong itu seorang Kuncu atau bukan?”

Soat Koh gelagapan: "Aku. . . .aku tidak tahu. . . .”

"Apabila dia benar2 seorang Kuncu sejati, tentu dia takkan meninggalkan ibu kakak Peng-mu. betul tidak?”

Terpaksa Soat Koh menjawab: "Ya, be. . . .betul!”

"Ayah yang keji mana bisa melahirkan anak yang berbudi. Wahai, muridku. hendaklah kau hati2 dan waspada," ucap Ciau-hoa dengan arti yang dalam.

"Sudahlah, Suhu. jangan kita bicara urusan ini, dengarkan saja cerita Peng-ko tentang pertemuan Ki-liansan dahulu.”

"Betul, memang ingin kudengar ceritanya itu, kalau tidak, betapapun aku tidak percaya Sau Ceng-in dapat mengalahkan Tang-say-ji-ki (kedua orang kosen timur dan barat) dengan Siang-liu-kiam-hoat.”

Maka bertuturlah Sau Peng-say menurut apa yang didengarnya dari Kiau Lo-kiat tempo hari mengenai peristiwa di Ki-lian-san yang jarang diketahui orang Bu-lim itu.

Ketika Peng-say bercerita sampai Ciamtay Cu-ih dikalahkan pamannya hanya dalam jurus kesembilan, dengan bertangan kosong hanya dalam 50 jurus juga dapat mengalahkan Coh Cu-jiu, sampai melenggong Soat Ciauhoa mengikuti cerita itu, hampir2 dia tidak percaya hal itu benar2 bisa terjadi. Tapi apa yang diceritakan Peng-say itu memang kejadian nyata dan tidak mungkin karangan belaka, mau-tak-mau Soat Ciau-hoa percaya penuh tanpa sangsi. "Jika demikian," ucap Ciau-hoa setelah habis cerita Peng-say itu, "jadi berita tentang Siang-liu- kiam nomor satu di dunia itu memang bukan omong kosong"!”

"Dan cara bagaimana bibi berhasil menemukan jenazah Toapek?" tanya Peng-say.

"Kalau Cui-hun dan lain2 dapat menemukannya, dengan sendirinya akupun dapat.”

"Apakah bibi tidak bersama satu rombongan dengan mereka?" "Jika satu rombongan dengan mereka, masa aku dapat hidup sampai sekarang" Begitu mereka menemukan jenazah Sau Ceng-in, segera mereka mulai bertengkar sendiri memperebutkan kitab pusakanya, sampai akhirnya tiada satupun yang dapat hidup. Bilamana aku berada bersama mereka, dengan sendirinya tak terhindar dari perebutan dan pasti juga akan terbunuh.”

"Apa yang terjadi itu ternyata dengan jitu telah diterka Jisuko," ujar Peng-say.

"Sungguh sangat menggelikan, mereka hanya asyik saling gasak, tiada seorangpun yang sempat meraih Siangliu-kiam-boh. Ketika aku tiba di sana, kotak kemala yang berisi kitab pusaka itu masih terpegang baik2 di tangan Sau Ceng-in, jelas tidak pernah disentuh oleh siapapun. Di sekitar jenazah Sau Ceng-in yang berduduk itu berserakan mayat para petualang itu.”

"Bibi dapat menemukan tempat itu, apakah berita keberangkatan Cui-hun dan lain2 ke Ki-lian-san itu sebelumnya telah didengar oleh bibi?" tanya Peng-say.

"Di antara sahabat Cui-hun yang diajak serta itu adalah seorang kenalanku bernama Cu Hoay-tong. . . ." Sampai di sini ia merandek, ia merasa tidaklah terhormat bilamana bercerita tentang masa lalu dengan kenalannya dari golongan hitam.

"Apakah Cu-cianpwe itulah yang memberitahukan kepada bibi akan kepergiannya ke Ki-lian san?" tanya Peng-say.

Lega juga hati Soat Ciau-hoa karena Peng-say tidak tanya hubungannya dengan Cu Hoay-tong, jawabnya: "Dia hanya bilang hendak pergi mencari Kiam-boh nomor satu di dunia segala dan tidak mengatakan tempat tujuannya.”

"Lalu darimana bibi tahu menyusulnya ke Ki-lian-san?”

tanya Peng-say pula.

"Begitu mendengar Kiam-boh nomor satu di dunia, hatiku tertarik, pernah kutanya Cu Hoay-tong di mana dia akan mencari kitab pusaka itu, tapi dia tetap tidak mau mengatakan tempatnya.”

"Untung dia tidak memberitahu, kalau tidak, tentu bibi akan ikut pergi.”

"Kalau ikut pergi dan mati rasanya kebetulan malah bagiku, daripada kemudian aku tertipu oleh gurumu," kata Ciau-hoa dengan menyesal, "Selama ini guruku tidak pernah bercerita mengenai kejadian ini, tapi dari cerita yang kudengar dari Soat Koh, tindakan guruku itu memang tidak pantas.”

"Tidak pantas apa, bahkan keterlaluan, dia. .. . .dia. . . .”

seru Ciau-hoa dengan gusar, air matapun bercucuran.

Melihat sang bibi berduka, cepat Peng-say mengalihkan pokok pembicaraan: "Bibi, sungguh tidaklah mudah akhirnya dapat kau temukan mereka di Ki-lian-san.”

Ciau-hoa mengusap air matanya dengan sapu-tangan yang disodorkan Soat Koh, katanya kemudian: "Sebenarnya dari Cu Hoay-tong juga pernah kudengar tempat tujuannya meski secara samar2 ia bilang yang dituju adalah sebuah gunung ternama.”

"Jika demikian urusannya menjadi lebih mudah.”

"Tapi gunung ternama di dunia ini terlalu banyak, selama tujuh tahun aku mencari, mujurlah akhirnya dapat kutemukan tempatnya. Tanpa nasib baik, sampai ubanan juga jangan harap akan menemukannya.”

"Dapat menemukannya juga belum tentu berarti mujur,”

ujar Peng-say. Ciau-hoa mengangguk, pikirnya: "Memang betul bukan kemujuran. Kalau tidak kutemukan kitab pusaka itu, tentu Tio Tay-peng takkan timbul pikiran jahat dan mungkin dia akan hidup bersamaku hingga tua.”

Berpikir sampai di sini. dia mengeluarkan Siang-liukiam-boh, saking gregeten kitab pusaka itu ingin dimusnakannya. Peng-say tidak tahu buku yang dikeluarkan Soat Ciauhoa itu adalah Siang-liu-kiam-boh, ketika melihat sampul buku itu tertulis "Siang-liu-kiam" barulah dia menaruh perhatian penuh.

"Hm. kau ingin memilikinya bukan?" jengek Ciau-hoa melihat anak muda itu terus mengincar kitab yang dipegangnya itu.

Peng-say jadi tergegap, katanya: "Dengan ....dengan sendirinya ingin, apakah ....apakah hendak bibi berikan padaku?" "Sekarang belum dapat kuberikan," kata Ciau-hoa.

"Habis ka . . . .kapan?" kata Peng-say.

"Tak dapat kupastikan, bisa jadi tiga tahun sepuluh tahun dan mungkin lebih lama lagi.”

"Masa perlu begitu lama?" tanya Peng-say dengan agak kecewa.

"Tidaklah sulit jika kau ingin segera memilikinya," kata Ciau-hoa.

"Bagaimana caranya?" tanya Peng-say girang.

"Rebut saja!”

"Rebut"! Mana kuberani.”

"Kenapa tidak berani" Kungfumu lebih tinggi daripadaku, jelas aku tidak dapat mempertahankan kitab ini." Tergelitik juga hati Peng-say dan ada maksud mencoba2nya. "Hayolah cepat turun tangan!" Ciau-hoa menantangnya pula. "Asalkan kau sanggup merebutnya takkan kusalahkan kekasaran tindakanmu.”

"Bibi," kata Peng-say, "betapa hasratku ingin menuntut balas, tentu bibi cukup memaklumi.”

"Tentu saja kumaklum, tapi kalau kau tidak main rebut, tentu kau harus tunggu lagi lima atau sepuluh tahun lagi.”

Selagi Peng-say bermaksud bertindak, tiba2 dilihatnya Soat Koh melangkah ke belakang gurunya, lalu menggeleng2 kepala kepadanya.

Tergerak pikiran Peng-say: "Ya. Mana bisa bibi begini murah hati padaku" Jangan2 kitab ini palsu. bukan kitab yang tulen.”

Maka dengan tertawa ia berkata: "Ah, mana berani kumain rebut segala. biarlah kelak bila bibi suka hati dan mau memberikannya padaku barulah kuberani terima.”

"Jika begitu boleh kau tunggu saja," kata Ciau-hoa sambil menyimpan kembali kitabnya.

Kesempatan baik telah di-sia2kan, Peng-say rada menyesal. Tapi lantas teringat tentunya tiada sebabnya Soat Koh menggeleng padanya, kitab itu pasti palsu, andaikan dapat merebutnya juga tiada gunanya sama sekali.

Selagi ia menghibur dirinya sendiri, tiba2 sang bibi berkata: "Mendingan kau tidak main rebut, sekali kau main rebut, tentu kubikin kau menabas buntung tangan kirimu sendiri." Air muka Peng say menampilkan perasaan tidak percaya. Mendadak jari Ciau-hoa menjentik, "crit", setitik sinar perak menyambar ke atas. kontan mnancap pada buntut seekor cecak yang lagi merayap di dinding. Itulah sebuah Am-gi atau senjata rahasia berbentuk jarum yang sangat lembut. Baru saja Peng-say sempat melihat jelas bentuk senjata rahasia itu. tahu2 cecak itu telah jatuh ke bawah.

Padahal kaki cecak secara alamiah berdaya isap dan dapat melengket di dinding dengan sangat kuat. biarpun matipun tidak mau jatuh ke bawah. Tapi sekarang hanya satu biji jarum kecil saja mengenai ekornya dapat membuatnya jatuh.

Waktu Peng-say mengamatinya, dilihatnya badan cecak yang jatuh di lantai itu dari warna putih kelabu telah berubah menjadi hitam hangus.

Dengan pelahan Soat Ciau-hoa lantas berkata: "Dahulu, waktu gurumu merampas kitab pelajaran Pedang Kiri dariku, diluar tahunya lengan kanannya telah kutusuk dengan jarum ini. Apabila tadi kau jadi main rebut, tentu kau pun tak terhindar oleh tusukan jarumku ini.”

Muka Peng-say menjadi pucat setelah mendengar keterangan ini, sama sekali ia tidak tahu sang bibi masih ada ilmu simpanan. bila dirinya sembarangan main rebut, tentu akan terperangkap dan mungkin saat ini lengan kirinya sudah buntung.

Didengarnya Soat Ciau-hoa lagi berkata pula: "Kulihat waktu main pedang, tangan-kananmu selain disisipkan pada ikat pinggang, mungkin karena latihanmu hanya terpusat pada pedang kiri sehingga tangan kanan hakikatnya seperti barang cacat yang tak terpakai. Karena kau sudah biasa menggunakan tangan kiri, dengan sendirinya kau akan rebut kitabku dengan tangan kiri pula, dan bila tangan-kirimu tertusuk jarumku. dalam sekejap saja racun akan menjalar ke siku, mau-tak-mau kau harus memenggal lengan kirimu sendiri bilamana ingin menyelamatkan jiwanu.”

Apabila lengan kiri sampai buntung, maka Pedang Kiri yang telah dilatihnya selama ini akan hanyut juga, makin dipikir Peng-say merasa makin ngeri, Sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa sang bibi ternyata seorang perempuan yang begini keji.

"Dalam hatimu sekarang tentu kau memaki aku ini orang keji bukan?" tanya Ciau-hoa, "Hm, bila benar2 aku sekeji itu. tentu tidak perlu kukatakan rahasiaku ini kepadamu. Mendingan lantaran kau dapat menghormati orang tua dan tidak berani bertindak kasar sehingga terhindarlah kau dari malapetaka. Untuk selanjutnya menghadapi segah sesuatu hendaklah kau ber-hati2.

berpikirlah sebelum bertindak.”

Atas petua ini, terpaksa Peng-say menunduk dan menjawab: "Ajaran bibi memang benar.”

Waktu menengadah. dengan sorot mata berterima kasih ia pandang Soat Koh sekejap.

"Padahal, umpama benar kau main rebut, setelah Suhu menusuk kau dengan jarumnya, tentu juga beliau akan segera memberi obat penawar padamu." kata Soat Koh.

"Ya, kuyakin tidak nanti bibi melihat kematianku tanpa menolong. Maksud tujuannya hanya memberi hajar adat saja padaku, sungguh aku sangat berterima kasih," kata Peng-say.

"Hm, mula2 kau mengejek diriku, sikapmu itu . . tidak hormat padaku, lalu berani main rebut kitab segala, kan pantas bila kuhukum kau dengan pemenggal sebelah lenganmu. Kenapa mesti kutolong kau pula?" jengek Soat Ciau-hoa.

"Suhu, bilakah dia mengejek dirimu?" tanya Soat Koh.

"Suruh dia bicara sendiri," omel Ciau-hoa.

"Ya, memang salahku tidak seharusnya kubilang bibi menemukan Siang-liu-kiam-boh bukan tanda kemujuran,”

tukas Peng-say.

"Kau mengejek aku saling menganiaya dengan gurumu lantaran berebut Siang-liu-kiam-boh, dari situ kau anggap penemuan kitab itu bukanlah kemujuran," kata Ciau-hoa.

"Tapi kalau Tio Tay-peng tidak tiba2 timbul pikiran jahat dan membuntungi lengan kiriku, manabisa menimbulkan saling menganiaya begitu" Dia yang lebih dulu tidak setia padaku. dengan sendirinya akupun tidak perlu mengampuni dia." Peng-say tidak berani banyak omong lagi, ia cuma mengiakan saja.

"Sudah selesai belum nasi yang kau tanak?" tanya Ciau-hoa tiba2 kepada Soat Koh.

"Sudah beres, sebentar kubuat lagi sedikit dendeng dan sayur asam," jawab Soat Koh.

"Lekas dibuatkan, isi perut lebih penting," kata Ciau-hoa.

"Mayat2 ini biar dibereskan oleh kakakmu Peng sendirian.”

Peng-say lantas menyeret mayat2 itu keluar. Dilihatnya Soat Koh sedang membuat sayur dj dapur yang gelap, ia bermaksud menyalakan obor untuk membantunya. Tapi dilihatnya sang bibi telah memanggilnya: "Kemari sini, ingin kutanya pula padamu.”

Peng-say mendekatinya dan berduduk, tanyanyaa: "Bibi ingin tanya apa?”

"Sesungguhnya kau mengharapkan Pedang Kanan Siang-liu-kiam dariku atau tidak?" tanya Ciau-hoa.

"Mengapa tidak?" jawab Peng-say. "tapi bibi sudah mengatakan harus menunggu lagi lima atau sepuluh tahun .

. . ." "Bila kuajarkan setelah sepuluh tahun lagi, bagimu apakah tidak kehilangan kesempatan untuk menuntut balas?" "Memang, bisa jadi dalam waktu beberapa tahun lagi musuh sudah meninggal. tatkala mana Siang-liu kiam-hoat juga tiada gunanya lagi bagiku. Tapi kalau bibi berkeras begitu. terpaksa kutunggu saja.”

"Kaupun tidak perlu tunggu, cukup asalkan kau dapat membujuk gurumu mengeluarkan Kiam-boh yang dimilikinya, dapatlah kita adakan tukar-menukar.”

"Bagus sekali kalau begitu," kata Peng-say dan tertawa "Itulah syarat pertama yang kukatakan tadi. Mengenai syarat kedua, bila tidak kau taati, maka soal tukar-menukar kitab pun batal.”

"Syarat kedua ini agak ..." Peng-say merasa serba susah.

"Sudah kukatakan kau harus bersikap dingin padanya, tapi kau tidak berbuat demikian, sebaliknya malah sangat menurut kepada setiap perkataannya. Tahukah sebabnya mendadak kukatakan akan mengajarkan Siang-liu-kiamhoat padamu setelah lima atau sepuluh tahun lagi?”

"Masa lantaran .... lantaran aku tidak menjauhi muridmu" . . . .”

"Bukankah memang begitu" Jika syarat kedua ini tidak kau laksanakan, jangankan cuma lima atau sepu]uh tahun.

selama hidup juga jangan harap akan mendapatkan Siangliu-kiam-hoat dariku.”

"Sungguh aku tidak tahu apa paedahnya bila kulaksanakan kehendakmu ini?" Peng-say menggeleng.

"Tahukah kau Soat Koh sangat mencintai kau?”

"Apa salahnya kalau begitu?" tanya Peng-say.

"Jika dia menyukai seorang lelaki yang jujur, tentu aku tidak anti, tapi dia tidak boleh mencintai seorang lelaki yang tidak teguh imamnya yang di benci gurunya. Sebab seorang lelaki bila cintanya tidak teguh, akibatnya yang rugi ialah pihak peremruan. Aku tidak mau Soh Koh mengulangi sejarah gurunya.”

"Dimanakah ada tanda aku tidak ....tidak setia atau tidak teguh" . . . ." tanya Peng-say dengan tergegap.

"Sepenuh hati kau bertekat membalas dendam sumoaymu, cintamu padanya boleh dikatakan tulus dan teguh. Tapi sekarang Soat Koh juga mencintai kau. lalu bagaimana sikapmu?”

Peng-say merasa serba salah, jawabnya: "Aku sendiri kan belum ber ....beristeri. . .”

"Maksudmu, karena Soat Koh cinta padamu, supaya tidak mengecewakan dia, maka kau mau nikahi dia?”

"Lelaki sudah dewasa wajib menikah, asal.. .. asalkan Soat Koh sudi menjadi .... menjadi isteriku dan bibi juga setuju, Soat Koh memang. . .memang jodohku yang setimpal.”

"Hm. kau nikahi dia karena terpaksa, apakah kelak kau tak menyesal?”

"Masa keponakan ter . . . terpaksa?”

"Tidak terpaksa, jadi sukarela?”

Peng-say mengangguk.

Mendadak Soat Ciau-hoa menjadi gusar, raungnya tertahan: "Kau masih berani menyatakan cintamu ini setulus hati?”

"Memangnya ken.... kenapa?" Peng-say terkejut.

"Dalam pandanganmu Cin Yak-leng sudah menjadi isterimu, kata2 ini diucapkan oleh kau sendiri, betul tidak?”

"Betul," jawab Peng-say.

"Nah, sekarang isterimu mati dan kau nikah lagi, apakah cintamu ini tulus dan murni?”

Peng-say tak acuh, jawabnya: "Kalau Yak-leng tidak mati, tentu saja akan kunikahi dia. Sekarang dia telah terbunuh, aku bersumpah akan membalaskan dendamnya.

Kata orang kuno, ada tiga pasal orang yang tidak berbakti, pasal utama di antaranya ialah tidak punya keturunan.

Nah, tentu aku tidak boleh sendirian selama hidup hanya lantaran kematian Yak-leng. Kelak, bilamana Soat Koh sudah menjadi isteriku, cintaku padanya akan teguh tanpa berubah selamanya, kenapa bilang cintaku tidak murni?”

"Kentut!" bentak Ciau-hoa mendadak.

Tanpa terasa ia memaki. suaranya menjadi agak keras, kuatir didengar Soat Koh, ia coba berpaling kesana, untung Soat Koh asyik membuat sayur dan tidak memperhatikan apa yang terjadi di sini.

Dengan suara tertahan Soat Ciau-hoa lantas berkata pula: "Kaum lelaki kalian memang terlalu egois, sedikit2 menonjolkan ujaran orang kuno tentang tiga pasal tidak berbakti segala, hakikatnya kentut belaka. Kalau bukan diracuni oleh ujar orang kuno itu, tidak nanti adik perempuanku menjadi korban lelaki seperti ayahmu itu. . .

Kalau menurut pernyataannya, jadi ayahmu itupun pencinta yang luhur" Dia menyukai adik perempuanku, tapi lantaran tidak disetujui Leng Tiong-cik. dia tidak berani membela ibumu dan membiarkan ibumu diusir oleh Leng Tiong-cik. Baginya. cintanya terhadap Leng Tiong-cik adalah tulus dan murni, hanya demi mendapatkan anak, maka dia bergendak dengan adik perempuanku, ia merasa perbuatannya itu harus dimaklumi demi mendapatkan keturunan yang merupakan salah satu pasal utama ketidak berbakti orang lelaki. Tapi apakah kaum lelaki pernah berpikir bagi nasib ibumu" Bukankah hidupnya menjadi merana lantaran perbuatan ayahmu" Jika bukan Sau Cenghong, tidak nanti kau kehilangan kasih ibu dan ayah sejak kecil?”

Peng-say tertunduk dan tidak dapat bersuara.

Makin bicara makin marah Soat Ciau-hoa. sambungnya pula: "Ingin kutanya padamu. setelah kau nikahi Soat Koh, apabila dia tidak dapat melahirkan, lalu bagaimana sikapmu?" "Tidak ....tidak nanti kunikah lagi . . . ." jawab Peng-say dengan tergagap.

"Hm, aku tidak percaya di dunia ada lelaki sebaik ini, sudah tentu bukannya tidak mungkin ada lelaki demikian, tapi kau ini anaknya Sau Ceng-hong. ada ayah masa ada anak yang tidak menurun" Terhadap orang lain mungkin aku masih menaruh harapan bagi Soat Koh. tapi terhadap dirimu, betapapun aku tidak percaya.”

"Dengan contoh seperti nasib ibuku, mana dapat kubikin susah lagi anak perempuan lain?" bantah Peng-say.

"Jika demikian, jadi bila benar2 Soat Koh tidak dapat melahirkan anak, maka kau tetap akan setia padanya, pasti tidak meniru cara ayahmu?”

"Ya, pasti tidak!" jawab Peng-say tegas.

Soat Ciau-hoa menggeleng, katanya: "Kukira jika kau benar2 seorang setia, tidak seharusnya kau nikah lagi dengan Soat Koh.”

Peng-say menjadi bingung, tanyanya: "Mengapa tidak boleh?" "Coba jawab, Cin Yak-leng telah melahirkan anak bagimu belum?" tanya Ciau-hoa.

Muka Peng-say menjadi merah, katanya: "Janganlah bibi berpikir yang bukan2, selama ini hubunganku dengan Yak-leng selalu berada dalam batas2 kesopanan.”

"Bagus." kata Ciau-hoa. "Kalau Cin Yak-leng benar isterimu, meski dia sudah mati dan tidak meninggalkan anak bagimu, kan seharusnya kau tidak boleh menikah lagi melainkan harus taat kepada pernyataanmu sendiri, setia sampai akhir hidupmu.”

"Ini ....ini.... “

"Kenapa" Apa salah?" tukas Soat Ciau-hoa. "Antara laki2 dan perempuan, asalkan suka sama suka. cinta mencintai, kenapa mesti hidup resmi suami-isteri baru benar2 dianggap suami-isteri" Bila Cin Yak-leng tidak mati, jelas kau pasti akan menikahi dia, ini pernyataanmu sendiri, kaupun bilang dalam pandanganmu dia sudah menjadi isterimu. Dengan demikian, bila dia belum mati, tapi lantaran berbagai rintangan dia gagal menjadi isterimu.

apakah kau takkan menganggap dia sebagai isterimu lagi”

Suami-isteri dalam batin lebih baik daripada suami-isteri lahiriah, ikatan batin kan lebih kekal daripada ikatan jasmani?" Peng-say hanya manggut2 saja tanpa bersuara.

"Akhirnya kau paham juga, bagus sekali! Maka selama hidupmu ini kau harus membujang seperti seorang perempuan yang menjanda, selamanya kau tidak boleh menikah. dengan demikian barulah kau terpuji sebagai lelaki pecinta yang suci murni.”

"Masa di dunia ini ada lelaki yang membujang seperti perempuan menjanda". . . .”

"Kenapa tidak ada" Perempuan boleh menjanda, lelaki kan juga harus menduda?" dia merandek sejenak, lalu berkata pula: "Umpama kau tidak tahan membujang dan ingin beristeri, aku takkan peduli jika kau ambil isteri orang lain, tapi tidak boleh menikahi Soat Koh. Jika kau anggap bibimu ini keterlaluan, terserah, boleh kau maki sesukamu di dalam hati.”

"Aku tidak boleh menikahi Soat Koh, dengan sendirinya akupun takkan menikahi perempuan lain.”

"Bisa demikian tentu saja lebih baik," kata Ciau-hoa.

Setelah dipikir, hatinya merasa tidak enak, katanya pula: "Jangan kau salahkan bibi karena menganggap kau ini murid Tio Tay-peng. maka sengaja mengarang macam2 alasan untuk menaklukkan kau. Bukan mustahil kau pun akan setia padanya bila menikahi Soat Koh, tapi kulihat cintamu kepada Soat Koh tidaklah tulus, hanya disebabkan dia cinta padamu, karena kasihan, maka kau menikahi dia.

Rasa simpatik begini menunjukkan kau ini pemuda yang perasa, orang yang perasa tentu juga pencinta yang tidak teguh, dapat jatuh cinta kepada perempuan lain lagi.

Padahal kalian berdua yang satu adalah keponakanku, yang lain adalah muridku, sudah tentu aku tidak ingin Kalian mengalami hal yang menyesal dan mengecewakan. Pula, sekarang karena kau kasihan kepada Soat Koh dan menikahi dia, siapa berani menjamin kelak. kau takkan kasihan lagi kepada anak perempuan lain dan menikahinya pula. Sebab itulah aku paling benci kepada lelaki yang sok pencinta. Peng-say. mengingat bibimu, hendaklah kau putus cinta muridku ini.”

Sampai akhirnya nada Soat Ciau-hoa se-olah2 orang yang memohon dengan sangat, jangankan Peng-say sudah terpengaruh oleh ocehannya tadi. melulu nadanya yang memohon ini saja sudah cukup membuat hatinya lunak.

Terpaksa ia menjawab: "Baiklah bibi, akan kulakukan menurut kehendakmu.”

"Bagus, selanjutnya hendaklah kau jauhi dan bersikap seketusnya terhadap muridku itu. Maklumlah, jika kau tidak bersikap ketus padanya, tidak nanti dia patah hati.

Dan kalau dia tidak patah hati, sama saja kau bikin celaka dia selama hidup.”

"Kukira cara demikian kurang baik." kata Peng-say.

"Apakah ada akalmu yang lebih bagus untuk mematikan cinta Soat Koh padamu?" tanya Soat Ciau-hoa.

"Akan kujauhi dia sedikit demi sedikit supaya tidak terlalu menyolok sehingga dia juga takkan terluka hatinya, karena sikapku yang dingin, lama2 dia sendiri juga akan jemu padaku dan akhirnya dengan sendirinva dia takkan gubris lagi padaku, cara demikian kan jauh lebih baik?”

Soat Ciau-hoa pikir jalan pikiran Peng-say ini memang boleh juga, tanyanya kemudian: "Kau yakin akan dapat menjauhi Soat Koh?”

"Manusia berperasaan, untuk menjauhi seorang teman yang tak bersalah padamu secara mendadak memang bukan suatu pekerjaan mudah. tapi lama2 tentu tidak menjadi soal." "Tapi kau harus bersumpah," kata Ciau-hoa.

"Bersumpah akan menjauhi Soat Koh" Baiklah, demi kebaikannya aku akan bersumpah.”

"Hanya menjauhi dia saja belum cukup.”

'Habis bagaimana?" tanya Peng-say.

"Kau harus bersumpah selama hidupmu takkan mengadakan upacara nikah dengan Soat Koh.”

"Baiklah, demi Allah, aku bersumpah. . . .”

"He. bersumpah apa?" tanya Soat Koh tiba2 muncul dari dapur dengan membawa nampan berisi nasi dan empat piring sayuran.

Sementara itu hari sudah jauh malam, sebegitu jauh Peng-say belum makan apa2, tentu saja perutnya terasa lapar. ia pandang daharan yang dibawa Soat Koh itu sambil menelan air liur.

Soat Ciau-hoa sendiri juga sudah lapar, segera ia berkata: "Mulailah kita makan, Soat Koh, pergi kau mengambil lagi sebuah bangku.”

Setelah menaruh bangku yang diambilnya didepan meja, Soat Koh mengulangi pertanyaannya tadi kau bersumpah apa?" "Oo. . .ti. . .tidak sumpah apa2," jawab Peng-say dengan tergegap. Ia tidak berani memandang si nona, ia berlagak mengincar santapan dimeja.

"Sudahlah, jangan omong iseng lagi, marilah makan Soat Ciau-hoa membelokkan perhatian Soat Koh. Segera ia mendahului menyumpit sepotong daging dan diberikan pada Peng-say. "Terima kasih." ucap Peng-say pelahan. Tanpa sungkan2 Peng-say pegang dendeng itu terus dilalapnya.

"He, nanti dulu. tidak boleh kau makan!" seru Soat Koh tiba2.

Peng-say jadi melengak, tanyanya: "Tidak boleh dimakan" Apakah belum masak?”

"Belum masak tentu tidak kusuguhkan," kata Soat Koh dengan tertawa. "Tanganmu baru saja digunakan menyeret mayat dan belum dicuci. mana boleh dibuat pegang makanan?" "Oya, aku lupa," kata Peng-say sambil menaruh kembali dendengnya, segera ia menuju dapur untuk cuci tangan.

Soat Koh lantas berbangkit dan hendak ikut ke sana.

"Kau mau apa?" tanya Ciau-hoa.

"Darah masih berlepotan di-mana2, biar kubersihkan dulu," kata Soat Koh.

"Tidak perlu, bersihkan saja nanti.”

"Kalau tidak dibersihkan dulu, rasanya jijik, mana ada napsu makan?”

"Makanlah sekedarnya, habis makan kita harus berangkat, buat apa dibersihkan segala?”

"Berangkat kemana?" tanya Peng-say yang baru muncul dari dapur.

'Mencari gurumu," kata Ciau-hoa.

"Mencari guruku?" Peng-say menegas dengan terperanjat. "Ya. kenapa, tidak boleh?" kata Ciau-hoa.

"Boleh. boleh, tentu saja boleh!" jawab Peng-say cepat.

Sejenak kemudian, ia berkata pula: "Tapi. bibi. janganlah hendaknya kau mencari guruku untuk berkelahi.”

"Cis, siapa yang mencarinva untuk berkelahi?" gerutu Ciau-hoa. "Kucari dia justeru hendak minta maaf padanya.”

"Dahulu guruku yang bersalah kepada bibi, mestinya beliau yang harus datang kesini dan minta maaf padamu.”

"Huh. dia mau minta maaf padaku. tunggu kalau matahari terbit dari barat.”

"Soalnya guruku tidak tahu dimana berada bibi, nanti kalau sudah kulaporkan, tentu beliau akan datang kemari.”

"Sudahlah. kau kan bukan gurumu, darimana tahu dia akan kesini untuk minta maaf padaku?”

Selagi Peng-say ingin menjelaskan sesuatu, tiba2 Ciauhoa berkata pula: "Padahal juga bukan urusan dahulu itulah maka kuhendak minta maaf padanya.”

"Oo, memangnya untuk apa bibi minta maaf?”

"Kau lupa pernah kutuduh kau disuruh gurumu kesini untuk merebut kitab pusakaku, bila bukan demikian. aku akan menjura dan minta maaf padanya. Akhirnya terbukti memang bukan begitu, apa yang sudah kukatakan harus kupegang teguh, janjiku harus kutepati. Jika aku diharuskan minta maaf karena kejadian dahulu itu, matipun aku tidak sudi.”

"Kedatanganku secara mendadak tentu menimbulkan salah paham bibi, tapi kalau bibi berkeras hendak mencari guruku untuk minta maaf, tentu saja akan kubawa ke sana.”

"Huh, jangan lain di mulut lain di hati!'" jengek Soat Ciau-hoa.

"Kutahu guruku sangat ingin bertemu dengan bibi, jika bibi mau kesana, tentu saja kebetulan, betapapun keponakan tidak berani lain di mulut lain di hati.”

"Jika demikian, mengapa tadi kau kuatir aku akan mencari dia untuk berkelahi" Karena rasa kuatir ini, tentunya kau tidak suka membawaku kesana. Apa ini bukan lain di mulut lain di hati?”

"Betul, keponakan memang kuatir, makanya kuharap janganlah bibi mencari guruku untuk berkelahi, permohonanku itu timbul dari lubuk hatiku jadi bukannya tidak berani membawa bibi kesana. Hendaklah bibi maklum bahwa guruku benar2 sangat ingin bertemu dengan bibi, biarpun menyerempet bahaya juga akan kulaksanakan cita2 guruku itu.”

Mendengar Peng-say dua kali menyebut Tio Tay-peng sangat ingin bertemu dengan dia, hati Soat Ciau-hoa jadi tergerak, pikirnya: "Jangan2 lelaki berheti kaji itu akhir2 ini merasa menyesal karena telah melukai aku dan hal ini telah dilihat oleh bocah Sau Peng-say, seharusnya sejak dulu2 dia mencari diriku.”

Ia tidak tahu bahwa Tio Tay-peng memang menyesal atas perbuatannya dahulu itu, sebabnya dia tidak mencari Soat Ciau-hoa adalah dia salah sangka ibu Sau Peng-say sebagai Soat Ciau-hoa. Karena Peng-say mengaku ibunya sudah meninggal, maka disangkanya Soat Ciau-hoa telah meninggal. Apabila dia tahu Soat Ciau-hoa masih hidup, tentu dia akan mencarinya betapa pun rintangan yang harus dihadapinya.

Maka berkatalah Soat Ciau-hoa: "Baiklah, anggap kau bicara dengan setulus hati. Bolehlah kita berangkat sehabis makan.”

"Suhu," kata Soat Koh, "sudah beberapa malam engkau kurang tidur, bagaimana kalau istirahat dulu barang beberapa hari barulah kita berangkat ke Kimciu?”

"Tidak, tidak boleh istirahat lagi, kita harus cepat2 meninggalkan tempat ini.”

"Kenapa mesti ter-buru2?" tanya Soal Kolh.

"Ucapan gurumu memang betul, Soat Koh," kata Peng-say, "Kita memang harus lekas2 meninggalkan tempat ini.”

"Sebab apa?" tanya Soat Koh.

"Con Cu jiu cukup kenal Siang-liu-kiam-hoat, dia sendiri pernah dikalahkan oleh ilmu pedang ini, sebab itulah dia bertekad mencari jalan untuk mematahkan setiap jurus ilmu pedang ini. Meski waktu gurumu bertanding dengan dia hanya menggunakan Pedang Kanan, kukira dia pasti mengenali setengah bagian Siang-liu-kiam ini. Karena dia pernah dikalahkan Toapek, dia menjadi sirik dan rela menurunkan derajat sendiri dan bergabung dengan Ciamtay Cu-ih untuk mencelakai pamanku. Sekarang Siang-liu-kiam muncul kembali. hal ini tentu saja membuatnya tidak enak makan tidak nyenyak- tidur, kalau gurumu tidak dibereskan tentu dia tidak rela. Bahwa dia mengirim Boh-pak-sam-hiong dengan anak buahnya ke sini, menurut dugaanku, tujuannya selain hendak menawan gurumu untuk memaksanya merekam Siang-liu-kiam-hoat, berbareng itu gurumu akan dipaksa mengaku darimana mendapatkan ajaran Siang-liu-kiam. Dia kuatir Toapek belum lagi mati, betapapun dia pasti ingin tahu dengan jelas. Mengingat urusan sepenting ini, tentu Cuh Cu-jiu tidak bertindak kepalang tanggung. bisa jadi rombongan Boh-pak-samhiong hanya perintis yang dikirim, mungkin ia sendiripun berangkat ke sini. Bilamana kita tidak berangkat sekarang.

kalau anak murid Say-koan sempat bergabung dengan Coh Cu-jiu dan memburu ke sini maka sukarlah bagi kita untuk lolos.”

"Kukira urusan ini tidak nanti begini kebetulan. Sudah dua hari Boh-pak-sam-hiong mengerubut Suhu disini.

kenapa dia tidak muncul. Maka kuyakin malam inipun takkan terjadi apa2 dan Suhu dapat tidur sepuasnya, biarlah kita berangkat saja besok.”

Peng-say sengaja hendak memusuhi kehendak si nona supaya dia marah, maka ia menjengek: "Hm. kalau kita berangkat besok, mungkin satupun diantara kita takkan bisa lolos dari cengkeraman Coh Cu-jiu.”

"Kau takut kepada Coh Cu-jiu.”

"Aku ingin membalas dendam dan orang pertama yang akan kucari ialah Coh Cu-jiu, masa kutakut padanya?”

jawab Peng say. "Jika dia datang. kebetulan bagiku untuk mengadu jiwa dengan dia. Andaikan tidak mampu kukalahkan dia dan gagal membalas dendam, bagiku tidak menjadi soal, betapapun bibi tidak boleh ikut menempuh bahaya. Demi keselamatan bibi, kan pantas kalau kita lekas meninggalkan tempat ini.”

"Baiklah, kutahu kau tidak takut mati menghadapi Coh Cu-jiu." kata Soat Koh dengan tertawa. "Cuma aku tidak setuju dengan analisamu. Kau bilang kemungkinan Coh Cu-jiu akan menyusul tiba, bilamana betul demikian, tentu Boh-pak-sam hiong dan begundalnya tidak perlu ter-buru2 menyerbu ke dalam sini dan melabrak Suhuku dengan mati2an, kenapa mereka tidak bertahan dan mengepung saja sambil menunggu kedatangan Coh Cu-jiu?”

Soat Koh mengira alasannya ini pasti akan membikin bungkam Sau Peng-say. tak terduga anak muda itu lantas mendengus, katanya: "Hm, orang yang pikirannya sederhana memang selalu memandang setiap persoalan pada permukaannya saja.”

Tentu saja Soat Koh mendongkol, ia tertegun . katanya kemudian: "Kau bilang pikiranku sederhana?”

"Tidakkah memang begitu?" ujar Peng-say. "Padahal bila kau mau berpikir lebih cermat, tentu akan paham segalanya.”

"Pikiranku memang sederhana, hakikatnya aku tadak paham apa2 "jawab Soat Koh dengan marah.

"Karena kau mengaku berpikiran sederhana, kujelaskan padamu," kata Peng-say. "Sebabnya Boh-pak-sam-hiong tidak menunggu kedatangan Coh Cu-jui!. alasannya sangat sederhana, yakni seperti apa yang pernah juga dikatakan bibi sendiri. mereka ingin memperlihatkan kemampuan mereka kepada sang Bengcu. Soalnya menurut perhitungan mereka, orang yang dikirim melapor kepada Coh Cu-jiu pasti akan tiba kembali dalam waktu singkat ini. Mereka pikir sebelum Coh Cu-jiu tiba. bila mereka berhasil menawan bibi, tentu akan berjasa besar. Andaikan sukar terlaksana keinginan mereka, asalkan bertahan hingga datangnya Coh Cu-jiu. tentu segala persoalan akan beres juga. Perhitungan mereka ini bila tidak meleset dari dugaanku tentu akan lebih terbukti setiap saat Coh Cu-jiu akan muncul disini. Mengenai Coh Cu- jiu mengirim anak buahnya supaya menguntit jejak bibi memang bukannya tidak beralasan. Soalnya dia ingin tahu sebagian Siang-liu-kiam-hoat yang lain kecuali sebagian yang dipahami bibi itu. ia ingin tahu apakah Toapek sudah meninggal atau masih hidup. Coh Cu-jiu adalah gembongnya kaum iblis, sudah tentu dia sangat licik dan licin. setiap tindaktanduknya tentu juga sudah dipikir dengan masak2, tidak nanti dia berbuat sesuatu kebodohan seperti sangkaan orang." Soat Koh menjadi bungkam, betapapun ia tak dapat berdebat dengan Peng-say, dengan mendongkol ia berolok: "Bagus, didunia ini ternyata ada orang yang memuji kepintaran musuhnya.”

Diam2 Soat Ciau-hoa merasa puas melihat cara bicara Peng-say yang tajam itu sehingga membikin sirik Soat Koh, ia pikir bila begini terus menerus. akhirnya nona itu pasti akan kecewa dan gemas terhadap anak muda itu dan bisa jadi cintanva akan pudar. Maka ia lantas menyela: "Sudahlah. kalian tidak perlu bertengkar, jangan buang2 waktu lagi. lekas makan, lalu berangkat.”

"Jangan2 kau percaya ocehannya, Suhu. biarlah kita berangkat besok saja," demikian Soat Koh masih terus ngotot.

"Sudahlah, muridku," kata Ciau-hoa. "Kutahu kau sayang kepada gurumu dan kuatir gurumu terlalu lelah.

Tapi hendaklah jangan kau cuma memikirkan gurumu, sebaliknya malah bikin celaka kita bertiga. Uraian kakakmu Peng bukannya tidak beralasan. Daripada tinggal di sini dengan kemungkinan bahaya akan mengancam, lebih baik gurumu saja lelah sedikit dan cepat2 meninggalkan tempat ini.”

Terpaksa Soat Koh menganguk dan tidak bicara lagi.

Selesai isi perut, ketiganya lantas bebenah seperlunya, lalu berangkatlah menuju ke Kamciu.

Sepanjang jalan Soat Koh tidak bicara dengan Peng-say, mungkin ia masih mendongkol. Tapi kebetulan malah bagi Peng-say. "0O0" O0dw0O "0O0 “
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar