Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 28

Jilid 28

Yang dikuatirkannya adalah di dalam hati "si Tolol" itu hakikatnya tidak pernah ada dirinya. bahwa dirinya dicari hanya karena mengharapkan sasuatu dari dia. Jika demikian adanya, maka dirinya lebih suka menanggung rindu selama hidup daripada menemui anak muda itu.

Demi mencari tahu maksud tujuan sesungguhnya "si Tolol", maka sebelum permainan seruling Peng-say selesai, buru2 ia lantas berkunjung ke tempat Liu Ju-si.

Selama setahun ini, agar gerak-geriknya bisa lebih leluasa, selama itu Soat Koh selalu menyamar sebagai lelaki.

Terkadang iapun meniru lelaki yang masih single, iapun masuk ke rumah pelesiran segala. Sudah tentu dia tidak benar2 ingin "main perempuan", dia datang ketempat begituan hanya sekalian mencari sasaran empuk yang sekiranya dapat digerayangi harta bendanya.

Liu Ju-si tidak tahu Soat Koh adalah perempuan menyamar sebagai lelaki, melihat kecakapannya, sikapnya yang biasa dingin terhadap tamunya telah berubah menjadi hangat. tampaknya dia berharap akan ikut Soat Koh kembali ke jalan yang baik.

Tentu saja diam2 Soat Koh merasa geli terhadap perempuan suci di tengah pecomberan ini. ia heran masih banyak sasaran lain yang dapat dipilih, mengapa justeru dirinya yang ditaksir”

Tapi iapun tidak membongkar rahasianya sendiri, iapun sering datang ke tempat Liu Ju-si untuk mendengarkan suara serulingnya. Setelah berkenalan agak lama, lambatlaun ia menganggap Liu Ju-si sebagai sahabat karib, sebaliknya Liu Ju-si jadi terlanjur jatuh hati pada Soat koh, setiap hari ia berharap akan kunjungan Soat Koh. Malahan kalau Soat koh hadir, berkeras ia tidak mau terima "uang karcis".

Hari ini, sudah siang Liu Ju-si masih juga belum bangun.

Soat Koh menerobos ke dalam kamarnya dan berduduk ditepi ranjang serta membangunkannya.

Pekerjaan rutin Liu Ju-si adalah malam terima tamu dan siang tidur. Kedatangan Soat Koh itu disangkanya pelayan yang memanggilnya bangun, maka dengan ke-malas2an ia bangun berduduk. Tapi ketika dilihatnya yang duduk ditepi ranjangnya ialah Soat Koh, ia terkejut dan cepat menyusup pula kedalam selimutnya. Maklumlah. dia tidur dalam keadaan bugil. Soat Koh lantas merangkulnya, melihat kemulusan tubuh Liu Ju-si, biarpun sesama perempuan tergiur juga hatinya. Ia mendapat akal dan dibisikinya Liu Ju-si.

Semula Liu Ju-si terkejut dan bergirang ketika tubuhnya dirangkul Soat Koh, disangkanya orang hendak melakukan perbuatan yang tidak senonoh, tapi setelah mendengar bisikan Soat Koh, ia jadi melonggong dan hilanglah rasa girangnya. Ia masih tidak percaya bahwa Soat Koh juga seorang perempuan, tapi setelah diraba dan ternyata kosong dan lapang barulah ia percaya.

Liu Ju-si kurang senang karena merasa dikibuli, Soat Koh meminta maaf dan membujuknya, akhirnya ia setuju membantu Soat Koh dan akan mencoba kesungguhan "si Tolol" dengan daya seks Liu Ju-si.

Selesai berunding, lalu Siau Sam disuruh mengundang "si Tolol".

Soat Koh tahu nama asli "si Tolol" adalah Soat Peng-say, lalu iapun ceritakan perkenalan dan pengalamannya serta perpisahannya dengan Peng-say, sebab itulah Liu Ju-si juga mengetahui Peng- say pernah menusuk Soat Koh satu kali, cuma ia tidak tahu sebenarnya Peng-say she Sau, hal inipun tidak diketahui Soat Koh.

Setelah segala sesuatu diatur rapi, Soat Koh sembunyi dikamar sebelah, dilihatnya Peng-say terjebak sesuai rencana. Tak terduga perempuan secantik Liu Ju-si juga tak berhasil memikat anak muda itu, maka hati Soat Koh sangat terhibur. Ditunggunya dalam tanya-jawab dengan Liu Ju-si itu Peng-say akan menyatakan rasa rindunya terhadap Soat Koh, dengan begitu Soat Koh akan ke luar untuk menemuinya.

Siapa tahu Peng-say menjawab dengan sejujurnya tanpa bohong sedikitpun, maklum, dia memang tidak pernah berdusta, sama sekali ia tidak menyatakan rasa rindunya terhadap Soat Koh, dengan terus terang ia mengatakan tujuannya mencari Soat Koh adalah untuk minta agar Soat Koh suka membawanya menemui Soat Ciau-hoa, guru Soat Koh dan bibi Peng-say.

Padahal, biarpun dusta belaka, cukup satu patah-kata saja akan menyenangkan Soat Koh, akan tetapi suatu kata bohong yang indah saja tak di dengarnya.

Tentu saja Soat Koh sangat kecewa, apabila bukan ucapan Peng-say yang terakhir: "Suara seruling ini akan menyatakan rasa penyesalanku, janganlah kau pergi, dengarkan dulu laguku ini!" " Hampir saja ia tinggal pergi saking gemasnva dan tak mau bertemu lagi dengan Peng-say.

Tepat juga ucapan Liu Ju-si, Soat Koh tidak pergi ia ingin mendengarkan suara hati anak muda itu, bilamana betul2 menyesal barulah ia akan keluar menemuinya.

Peng-say ingin mengharukan hati Soat Koh dengan suara seruling, tindakan ini juga tepat, cuma tidak diduganya lagu "Siau-go yan-he" itu akan mendatangkan hasil yang tak terduga.

Ia bermaksud merusak dirinya sendiri, dengan demikian sakit hati Soat Koh akan hilang, jadi tujuannya ingin membuktikan penyesalannya karena dahulu salah melukai Soat Koh. Namun bagi Soat Koh hal ini telah diterima dengan salah pengertian lain. Suara seruling yang sedih itu disangksnya sebagai pernyataan isi hati Peng-say yang rindu padanya, ia menjadi sangat terharu dan mencucurkan air mata, kalau saja tidak tenggelam oleh irama seruling yang memilukan itu tentu dia sudah berlari keluar untuk bertemu. Perlu diketahui bahwa lagu "Hina Kelana" "memang harus dibawakan dengan paduan suara seruling dan kecapi, maka lagu tersebut mengembangkan kesetiaan persahabatan yang kekal atau melukiskan cinta sejati antara laki2 dan perempuan yang abadi, hal tersebut tergantung pada perbedaan jenis kelamin kedua pemain alat musik itu, bila dibawakan oleh dua lelaki atau dua perempuan bersama, makna lagunya melukiskan persahabatan yang tak terpisahkan. sebaliknya jika dimainkan bersama oleh sepasang lelaki-perempuan, maka nadanya mengalunkan perasaan cinta sehidup semati antara kedua sejoli itu.

Tapi kalau lagu ini hanya dibawakan oleh seruling atau kecapi secara solo, maka bagaimanapun tak dapat mengumandangkan saripati lagu yang harus dibawakan secara duet antara seruling dan kecapi, bilamana dipaksakan bermain solo, maka pemainnya akan merasa timpang dan akibatnya bisa mengalami luka dalam atau kelumpuhan seperti orang yang salah berlatih Lwekang.

Jadi lagu itu dibawakan duet seruling dan kecapi akan memikat pendengarnya dan membuainya hingga lupa daratan dan pasrah segalanya.

Sebaliknya kalau dimainkan sendirian, selain dirinya sendiri akan cedera, pendengarnya juga akan sangat terharu oleh lagu sedih itu.

Bilamana antara pendengar itu ada sengketa atau dendam apapun dengan si pembawa lagu tersebut, maka segala persoalannya dari sakit hati akan berubah menjadi rasa kasihan dan simpatik, akhirnya pergi dengan menangis dan segala dendam pun hapus.

Maksud Peng-say dengan lagunya ini adalah untuk membikin cedera dirinya sendiri sebagai tanda menyesalnya, ia tidak menduga lagu "Siau-go-yan-he" ini akan sebesar ini daya pengaruhnya, ia terus menyelesaikan lagunya dengan harapan Soat Koh akan keluar menemuinya setelah hilang rasa dendamnya.

Di pihak lain Soat koh jadi semakin terhanyut oleh lagu sedih itu dan makin berderai air matanya.

Ia pikir anak muda itu ternyata sedemikian mendalam cintanya kepadanya, bila tahu begini sejak dulu2, biarpun lengannya ditabas buntung juga takkan ditinggal pergi.

Padahal tidak demikian halnya. sejak mula Peng-say tidak pernah timbul rasa cinta segala kepadanya, lebih2 tidak ada maksud seperti apa yang terkandung didalam lagu serulingnya. Sudah tentu bukan maksud Peng-say hendak menipu Soat Koh, maka sehabis lagu itu iapun tumpah darah. Soat Koh sendiri tidak tahu keadaan Peng-say, ia masih ter-mangu2 di kamar sebelah.

Adalah Liu Ju-si yang berduduk berhadapan dengan Peng-say lantas menjerit kaget dan bertanya: "He, ken ....

kenapa kau" . . . .”

Sedapatnya Peng-say menahan darah yang hampir tumpah pula, serunya dengan suara terputus-putus: "Soat .... Soat Koh, dapatkah kau maafkan dan keluarlah menemui aku?”

Tak tahan lagi Soat Koh, ia berlari keluar. katanya sambil menangis: "Untuk ....untuk apa kau menyiksa diri begini?”

Ia menyangka anak muda itu senantiasa memikirkan dia sehingga sakit keras dan sekarang penyakitnya kambuh sehabis meniup serulingnya.

"Dapatkah kau berjalan?" tanyanya sambil mendekap Peng-say.

Karena Lwekangnya sangat kuat, tumpah darah itu tidak beralangan bagi Peng-say, ia tidak menjawab, sebaliknya bertanya: "Dapatkah kau memaafkan diriku?”

"Kalau tidak, masakah aku mau keluar?" jawab Soat Koh dengan berlinang air mata.

Diam2 Peng-say terhibur, ia mengira rasa dendam Soat Koh sudah hilang, nyata tidak sia2 lagu serulingnya tadi.

Dengan tertawa ia lantas menjawab pertanyaan Soat Koh tadi: "Setelah bertemu dengan kau, hatiku tidak ada beban pikiran lagi, jangankan cuma berjalan, berlaripun aku sanggup.”

Muka Soat Koh menjadi merah, omelnya: "Di depan orang luar, jangan sembarang omong!”

"Wah, aku si mak comblang juga dianggap orang luar?”

sela Liu Ju-si, ia menghela napas, lalu menyambung pula: "Pada waktu perlu, sebentar2 panggil Taci, sesudah tidak dibutuhkan jadilah orang luar. Ai, memang aku yang bodoh, untuk apa orang luar mengganggu disini, biarlah aku pergi saja!”

Soat Koh menjadi malu, cepat ia memanggil: "Jangan pergi, Cici!”

"Aku tidak boleh pergi, ada keperluan apa lagi?" tanya Liu Ju-si.

"Aku ... aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Cici," ucap Soat Koh dengan tergagap.

"Kukira tidak perlulah," kata Liu Ju-si sambil melirik Peng-say.

"Bila dia dapat berjalan. biarlah sekarang juga kami mohon diri," kata Soat Koh.

"Mohon diri?" Liu Ju-si menegas dengan rawan. "Lalu kalian akan pergi kemana”

"Akan kubawa dia menemui guruku," tutur Soat Koh.

Peng-say menjadi girang, ia memberi hormat kepada Liu Ju-si, katanya; "Aku harus lekas2 menemui bibi, tentang budi kebaikan Cici biarlah kubalas di kemudian hari.”

Cepat Liu Ju-si membalas hormat dan berkata: "Semoga kepergian Kongcu ini dapat menunaikan cita2 membalas dendam!" Soat Koh menguatirkan kesehatan Peng-say, ia bertanya: "Apakah benar kau dapat berjalan?”

"Tidakkah kau dengar sendiri dia hilang laripun sanggup, kenapa tidak dapat berjalan" ujar Liu Ju-si sambil tertawa.

"Kalau kalian tidak percaya, sekarang juga boleh kalian lihat lariku," kata Peng-say sambil membusungkan dada.

Karena membusungkan dada, hampir saja ia ter-batuk2, maka ia tidak berani lari sungguh2 sehabis bicara.

Melihat napas Peng-say agak sesak. Soat Koh mengomel: "Huh, jangan sok perkasa!”

Karena ingin lekas2 menemui sang bibi, dengan tertawa Peng-say berkata: "Jangan kuatir, tak beralangan jika sekarang juga kita berangkat!”

Melihat air muka anak muda itu cukup segar Soat Koh lantas berkata: "Baiklah Cici, kami mohon diri.”

Liu Ju-si mengantar mereka keluar "Kun-hong-ih", katanya: "Aku tidak mengantar lebih jauh lagi, selamat jalan! Tidak lama lagi akupun akan meninggalkan tempat ini." "Cici hendak pindah kemana?" tanya Soat Koh.

"Menjadi orang yang bebas!" jawab Liu Ju-si.

"Apakah Cici mempunyai biaya cukup untuk membebaskan diri dari cengkeraman muncikari." tanya Soat Koh.

"Selama beberapa tahun, uang tabunganku sudah cukup banyak dan lebih daripada cukup untuk membebaskan diri dari tempat kotor ini, sisanya cukup bagiku untuk keperluan hidup selama beberapa tahun.”

"Dan bagaimana beberapa tahun kemudian?" tanya Soat Koh.

"Apabila ada yang sudi, aku akan kembali kejalan yang baik," jawab Liu Ju-si.

"Semoga Cici mendapatkan suami yang baik, tahun depan kami harapkan arak pernikahanmu," kata Soat Koh.

Dengan wajah sayu Liu Ju-si hanya tersenyum hambar.

Peng-say lantas memberi hormat dan mengucapkan selamat tinggal. "Kau tidak tanya dimana aku akan berteduh setelah meningalkan tempat ini?" kata Liu Ju-si.

"Memangnya engkau akan meninggalkan Seng-toh dan pindah kekota lain?" tanya Peng-say.

"Tidak, aku tetap tinggal di kota ini," jawab Liu Ju-si.

"Aku sebatangkara dan seorang perempuan lemah, kukira kota ini tetap lebih aman bagiku.”

"Ya. betul juga," ucap Peng-say sambll mengangguk.

"Aku akan mondok di Po-keng-am (nama biara) diluar kota ini," kata Lui Ju-si pula.

"Kau akan Jut-keh (keluar rumah, artinya meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi Nikoh)," tanya Peng-say.

"Tidak, aku belum lagi bosan pada kehidupan dunia fana ini, aku cuma tirakat saja di biara itu untuk beberapa tahun, bila ketemu jodoh, tentu akan kuundang kalian," tutur Liu Ju-si dengan tertawa.

"Marilah kita berangkat!" kata Soat Koh tiba2.

Liu Ju-si menyaksikan kepergian Peng-say berdua dengan ter-mangu2, setelah bayangan mereka lenyap dikejauhan baru ia masuk dengan perasaan berat.

0oodwoo0 Peng-say dan Soat Koh meneruskan perjalanan ke arah barat laut. Sepanjang jalan keduanya tidak banyak bercakap. Sesudah sekian jauhnya, tiba2 Peng-say berkata: "Kupikir tidaklah aman bagi nona Liu untuk menetap di Sengtoh.”

"Tidak aman bagaimana?" tanya Soat Koh.

"Dia adalah perempuan penghibur terkenal di kota ini dan hampir setiap pemuda kenal dia, coba pemuda keluarga siapa yang mau ambil isteri bekas pelacur" Biarpun nona itu hanya menjual seni dan tidak menjual tubuh, tapi namanya tetap pelacur. Bila dia ingin mencari jodoh yang baik di sini, kukira tidaklah mudah. Naga2nya, akhirnya cuma menjadi gundik orang.”

"Jadi menurut pendapatmu, lebih baik dia pindah ke kota lain, begitu?" tanya Soat Koh.

"Di kota lain, karena tidak dikenal, tentu akan lebih mudah mendapat jodoh baginya," kata Peng- say. "Kalau tetap di Seng-toh, andaikan nanti ada yang mau padanya, bisa jadi dia akan tertipu malah, entah mengapa dia merasa berat meninggalkan Sengtoh?”

"Semula akupun heran, tapi setelah dia memberitahukan kita akan tirakat di Po-keng-am, maka tahulah aku maksudnya.”

"Memangnya apa maksudnya?" tanya Peng-say.

"Tunggu kau, apalagi?" kata Soat Koh sambil melototi anak muda itu sekejap.

"Tunggu aku?" Peng-say menegas dengan heran. "Untuk apa menunggu diriku?”

Soat Koh mengira anak muda itu berlagak pilon, dengan mendongkol ia berkata pula: "Janji sendiri masa kau lupakan sama sekali?”

"Ah, betul, pernah kujanjikan akan mengajarkan lagu Siau-go-yan-he kepadanya!" seru Peng-say.

"Hm, jadi baru sekarang kau ingat?" jengek Soat Koh.

"Coba kalau dia benar2 pindah ke tempat yang jauh dan tidak menentu, kelak bila sakit hatimu sudah terbalas dan kau pun ingin menepati janji, lalu ke mana akan kaucari dia" Sekarang dia menyatakan akan tetap tinggal di Sengtoh dan akan tirakat di biara yang disebutkan itu, hal ini kan sama saja seperti memperingatkan kau agar jangan lupa pada janjimu sendiri agar kelak kau cari dia di alamat yang disebutkan itu.”

"Yang kupikir hanya menuntut balas saja sehingga lupa akan janjiku kepadanya," kata Peng-say dengan menyesal.

"Dan kalau sakit hatimu sudah terbalas, apakah kau betul2 akan pergi ke Po-keng-am untuk mengajar main seruling padanya?”

"Seorang lelaki sejati harus menepati janji, jangankan dia sudah memberi alamat tempat tinggalnya, andaikan tidak diketahui alamatnya juga akan kucari dia hingga ketemu,”

kata Peng-say tegas.

"Salahku sendiri memperalat dia untuk mencoba dirimu, tak tersangka kesempatan baik ini digunakannya untuk minta ajaran main seruling padamu," omel Soat Koh kepada dirinya sendiri.

"Mencoba diriku" Mencoba hal apa?" tanya Peng-say dengan heran.

"Masa kau masih berlagak bodoh?" omel Soat Koh pula.

"Hm, jika kau ternyata lelaki yang tidak keruan, jangan harap kau akan dapat bertemu denganku.”

Peng-say menjulurkan lidah, katanya: "Wah, berbahaya! Jika imanku kurang teguh, bisa jadi. . . ." mendadak ia tidak meneruskan ucapannya.

Waktu Soat Koh meliriknya, dalam sekejap itu dilihatnya wajah Peng-say telah berubah pucat kuning, ia terkejut dan bertanya: '"He, kenapa kau?”

"Karena . . . .karena berjalan, lukaku menjadi . . .

.menjadi tambah parah ,....”

Cepat Soat Koh memayangnya. Mereka berhenti pada kota terdekat dan mencari hotel. Setelah istirahat tiga hari, Peng-say merasa lukanya sudah agak sembuh, disuruhnya Soat Koh membeli dua ekor kuda untuk melanjutkan perjalanan. Tapi Soat Koh kuatir luka anak muda itu kambuh lagi, ia tidak beli kuda melainkan menyewa sebuah kereta kuda.

Terpaksa Peng-say menurut dan ikut dia menumpang kereta. Didengarnya nona itu memberi pesan kepada kusir agar kereta langsung menuju ke Kengciu di propinsi Kamsiok. "Apakah bibi tinggal di wilayah Kamsiok?" tanya Peng-say.

"Sejak kutahu urusan, Suhu sudah menetap di lereng Kilian-san dekat Kengciu." jawab Soat Koh.

"Sungguh sangat kebetulan." kata Peng-say, "guruku juga tinggal di lereng Ki-lian-san, cuma sayang bukan di daerah Kengciu melainkan di sekitar Kamciu, meski sama2 lereng Ki-lian-san, tapi jaraknya beribu li jauhnya, jadi tidaklah mudah jika ingin kutemui guruku.”

Pegunungan Ki-lian memang terbagi menjadi lereng pegunungan Ki-lian utara dan selatan, lereng utara membujur jauh ke wilayah barat dan be-ribu2 li panjangnya. Hanya lereng selatan saja terletak di wilayah Kamsiok, namun luasnya juga sukar dijajaki, biarpun berputar selama hidup juga belum tentu dapat bertemu dengan seorang kenalan. Apa-lagi Tio Tay-peng dan Soat Ciau-hoa masing2 bertempat tinggal terpisah dan tekun berlatih Siang-liu-kiam-hoat, tentu saja sukar untuk bertemu secara kebetulan.

Begitulah sepanjang jalan Peng-say dan Soat Koh selalu bermalam di suatu kamar, Soat Koh menganggap Peng-say sebagai suami sendiri, dilayaninya dengan segenap tenaga dan pikiran. Diladeni si cantik, sudah tentu Peng-say terima dengan senang hati, namun Soat Koh hanya menganggapnya sebagai orang sakit, maka lama2 timbul rasa Peng-say se-olah2 hidupnya terikat dan kurang bebas.

Setengah bulan lagi, tibalah di Kengciu, sewa kereta dibayar, dengan berjalan kaki mereka menuju ke suatu dusun terpencil di kaki gunung Ki-lian.

"Disitulah Suhu bertempat tinggal," kata Soat Koh sambil menuding dusun terpencil itu dari kejauhan.

Sementara itu hari sudah mulai gelap, daerah utara adalah tempat dingin, kehidupan penduduk setempat sudah terbiasa hemat dan sederhana, di dusun kecil itu hanya ber-kelip2 dua-tiga cahaya lampu, dipandang dari jauh mirip api pospor di pekuburan.

Soat Koh membawa Peng-say langsung menuju ke sebelah utara dusun kecil itu, agaknya mereka sudah dekat dengan tempat kediaman Soat Ciau-hoa, mendadak Soat Koh berteriak dengan gembira: "Suhu Suhu. . . .”

Tiba2 Peng-say merasa angin tajam menyambar tiba, cepat ia berseru: "Awas!”

Berbareng sebelah tangannya lantas menghantam ke belakang. Terdengar suara jeritan ngeri, kontan seorang penyergap terpukul roboh.

Dalam pada itu Soat Koh juga sudah melolos pedangnya, "sret-sret", seorang penyergap lain juga dirobohkan olehnya.

Namun penyergap tidak cuma terbatas dua orang saja, waktu Peng-say menyapu pandang sekelilingnya, ternyata masih ada tujuh atau delapan orang berbaju kuning mengitari mereka.

Mungkin orang2 itu tidak menyangka Kungfu Peng-say dan Soat Koh akan begini lihay, maka mereka tidak menyerang serentak, setelah kedua temannya roboh barulah mereka terkejut, segera mereka melolos senjata dan mengerubung maju.

Berkat tenaga dalamnya yang kuat, Peng-say melayani musuh dengan bertangan kosong. Meski ilmu pukulannya kurang lihay, tapi angin pukulannya sangat dahsyat, lawan tidak berani mendekat.

Soat Koh memutar kedua pedangnya, deigan suara nyaring ia membentak: "Kawan lelaki liar darimanakah kalian ini"!”

Beberapa orang berbaju kuning ini ternyata lebih tangguh daripada dua orang yang dirobohkan itu, empat orang di antara mereka mengerubuti Soat Koh secara teratur. Satu di antaranya berteriak: "Jiwa gurumu sebentar lagi akan melayang. lekas kalian menyerah saja!”

"Hm, kaum keroco macam kalian saja berani main gila di sini?" jengek Soat Koh. "Sret-sret", secepat kilat ia menusuk ke kanan dan ke kiri, dua musuh dirobohkan lagi.

Dia menguatirkan keselamatan sang guru, cepat ia berseru: "Kakak Peng, lekas kau bantu Suhuku, beberapa orang ini serahkan saja padaku." ia tahu kepandaian sendiri jauh di bawah Peng-say, sedangkan musuh menyatakan jiwa gurunya akan segera melayang, jelas ada musuh tangguh sedang dihadapi sang guru, maka ia minta Peng-say yang memberi bantuan kepada gurunya daripada dirinya sendiri.

"Baiklah, kau sendiri harus hati2" seru Peng-say.

"Tidak menjadi soal, lekas pergi!" desak Soat Koh.

Segera Peng-say mendorong kedua tangannya kedepan, selagi lawan berkelit, peluang itu segera digunakan untuk menyelinap keluar dari kepungan musuh.

Empat orang berseragam kuning itu tahu di depan sana ada kawan lain yang akan mengadang Peng-say, maka mereka tidak mengejar, tapi terus memburu kesana untuk membantu dua kawannya mengerubuti Soat Koh.

Dengan satu lawan enam ternyata Soat Koh masih diatas angin. Waktu Peng-say menoleh dan melihat keadaan Soat Koh yang cukup mantap itu segera ia berlari ke depan sana, tidak jauh dilihatnya sebuah rumah batu, di dalam rumah ramai suara bentakan orang.

Baru saja ia mendekati rumah batu itu, tujuh atau delapan orang berseragam kuning segera memapaknya dan tidak membiarkan Peng-say masuk ke rumah untuk membantu Soat Ciau-hoa.

Tanpa pikir Peng-say mengerahkan tenaga dan menghantam. Karena tenaga pukulannya sangat kuat, kawanan orang berseragam kuning itu tidak mampu menahannya, mereka sama melompat mundur dan terluanglah jalan lalu bagi Peng-say.

Waktu Peng-say maju lagi, tiba2 terdengar suara "krek-krek" beberapa kali, ia tahu itulah suara alat jepret, cepat ia lolos pedang yang baru dibuatnya, ia sampuk ke kanan dan pukul ke kiri, beberapa panah kecil warna hitam kena disampuk jatuh.

Menyusul terdengarlah jeritan ngeri di belakangnya, dua orang berseragam kuning yang baru saja dilalui Peng-say itu roboh binasa oleh panah hitam kecil itu.

Cepat Peng-say berteriak: "Jangan memanah, Soatcianpwe, Wanpwe datang membantu dan bukan musuh!”

Tapi baru saja ia melangkah maju lagi, kembali beberapa anak panah hitam itu menyambar tiba. Untung gerak pedang Peng-say cepat luar biasa, semua anak panah itu dapat disampuk jatuh.

Mungkin Soat Ciau-hoa tidak percaya Peng-say adalah bala bantuannya, maka bila anak muda itu melangkah maju segera ia menyerangnya dengan panah. Kalau Peng-say berhenti di tempatnya, panahpun tidak dibidikkan.

Di dalam rumah suara beradunya senjata berdering ramai. dipandang dari luar jendela, samar2 kelihatan empat bayangan orang sedang bertempur dengan sengit. Kuatir diserang lagi dengan panah berbisa, Peng-say juga tidak berani mendekat lagi.

Diam2 Peng-say menjadi gelisah karena sang bibi tidak dapat membedakan antara kawan dan lawan, tahunya cuma membidikkan panah untuk menyerang musuh.

Seketika ia menjadi bingung cara bagaimana untuk menerangkan asal-usulnya sendiri agar sang bibi mau menerima bantuannya dan membiarkannya masuk, ia tidak tahu bahwa lantaran buntung tangan kiri Soat Ciau-hoa, maka pada waktu bertempur rada repot karena tidak dapat menggunakan dua pedang. Meski ilmu permainan kedua pedang yang diciptakannya jauh di bawah Siang-liu-kiamhoat yang asli, tapi juga jauh lebih berguna dari pada setengah bagian Siang-liu-kiam, yaitu Pedang Kanan yang diperolehnya itu.

Ilmu pedang ciptaannya itu tak dapat dilatihnya sendiri, hanya diajarkannya kepada Soat Koh, ia menjadi sangat kesal dan gemas, ia pikir kalau dirinya tidak buntung tentu ilmu pedang ciptaannya itu akan menjagoi dunia persilatan.

Sekarang ia sendiri malah tidak dapat memainkan ilmu pedang ciptaannya sendiri, untuk menambal kekuatan tangan ini ia merasa perlu menciptakan semacam senjata rahasia sebagai alat pembantu bila menghadapi musuh.

Sebab itulah dengan tekun ia memeras otak dan mempelajari gambar, akhirnya berhasil dibuatnya sebuah tangan palsu, dengan tangan kiri palsu yang dipasangnya dengan pegas, maka di dalam tangan itu disembunyikan anak panah. Asalkan tangan palsu terangkat ke arah musuh, segera pegas bekerja dan membidikkan panah.

Cara menggunakan senjata ini juga diajarkannya kepada Soat Koh, meski Soat Koh dapat menggunakan senjata rahasia itu dengan leluasa, tapi caranya tidak disimpan di dalam tangan palsu melainkan harus pencet alat jepretnya dengan jari, karena itulah baik kecepatan maupun daya tembak anak panahnya menjadi kurang lihay.

Walaupun begitu Soat Koh dapat memasang berpuluh anak panah kecil di dalam bumbung dan bila ketemu musuh banyak, sekaligus anak panahnya dapat dihamburkan secara ber-turut2. Seperti kejadian dahulu, kawanan bandit terkenal Macan-elang-serigala juga terjungkal oleh panah Soat Koh itu.

Kalau panah muridnya saja selihay itu, apalagi panah Soat Ciau-hoa, biarpun jago yang lebih lihay daripada kawanan bandit Macan-elang-serigala itupun sukar menghindari panah berbisanya.

Berkat panah maut itulah Soat Ciau-hoa sekarang bertahan di dalam rumah, sejauh itu hanya tiga musuh saja yang mampu menerjang masuk, sisanya cuma ber-teriak2 saja diluar rumah dan tiada satupun berani mendekati jarak tembak panah berbisa itu.

Dengan sendirinya Peng-say jadi was-was, ia kuatir bila meleng sedikit saja mungkin ia sendiri pun akan dimakan oleh panah berbisa itu, cukup asalkan keserempet saja sudah bisa runyam.

Ia tidak tahu cara bagaimana Soat Ciau-hoa yang cuma bertangan satu itu menghadapi kerubutan musuh dan masih sempat membidikkan panah. Umpama diketahui cara membidik panah itu berkat bantuan alat jepret yang terpasang di tangan palsu, mau-tak-mau iapun harus kagum terhadap Soat Ciau-hoa yang mampu membagi perhatiannya, disamping melayani kerubutan musuh dapat pula membidikan panah untuk merintangi serbuan musuh dari luar.

Diam2 iapun yakin ketiga musuh yang berhasil menerjang ke dalam rumah itu pasti bukan lawan lemah, sedangkan sang bibi sebegitu jauh juga belum dapat mengalahkannya, mungkin kekuatan kedua pihak hanya seimbang, makanya sang bibi berusaha merintangi masuknya musuh lebih banyak, bisa jadi kalau ketambahan satu musuh lagi sang bibi akan kewalahan, sebab itulah iapun tidak mau mengambil risiko membiarkan dirinya masuk, kecuali kalau diketahui jelas2 dirinya benar2 bukan musuh melainkan hendak membantunya.

Kuatir sang bibi akhirnya bisa kecundang, cepat Peng-say memperkenalkan diri: "Soat-cianpwe, Wanpwe ini murid Tio Tay-peng, kuharap Wanpwe diperbolehkan masuk ke situ untuk membantu Cianpwe.”

Ia mengira dengan keterangannya ini tentu Soat Ciauhoa takkan merintangi dia lagi dengan panah. Tak tahunya, mendingan kalau dia tidak mengaku sebagai murid Tio Tay-peng. demi mendengar keterangan itu, Soat Ciau-hoa menjadi lebih curiga, begitu melihat dia melangkah maju, serentak belasan panah hitam dibidikkan lagi.

Dengan rada kelabakan barulah Peng-say berhasil menyampuk dan menghindari hujan panah itu, dengan berkeringat dingin ia berteriak: "Jangan lepas panah lagi! Wanpwe benar2 murid Tio Tay-peng dan bukan barang palsu, Wanpwe ingin membantu dan janganlah lepaskan panahmu. biarkan kumasuk ke situ!”

Terdengar suara seorang perempuan berteriak di dalam rumah: "Hm, murid Tio Tay-peng masakah sekonyol itu”

Kalau mampu hayolah terjang masuk kemari. hanya berteriak2 saja apa gunanya" Tidakkah kau lihat tiga orang sudah menerjang masuk ke sini?”

Di balik ucapannya itu se-akan2 hendak bilang kepada Peng-say bila mau membantu harus mampu menerjang ke dalam, kalau tidak. apa gunanya”

Diam2 Peng-say mendongkol, pikirnya: "Kiranya kau hendak menguji kepandaianku. Tapi memang betul, musuh mampu menerjang ke dalam, kalau aku tidak mampu, cara bagaimana aku dapat membantunya?”

Karena pikiran itu, segera ia berseru: "Baik, Wanpwe akan coba menerobos di bawah hujan panah Cianpwe!”

"Coba saja!" seru suara perempuan itu.

Segera Peng-say mengerahkan tenaga, pedangnya berputar dengan kencang, dengan pelahan ia masuk ke dalam rumah. Begitu kencang pedangnya berputar sehingga disiram air saja tak bisa tembus, namun kecepatan panah ternyata melebihi siraman air, angin yang diterbitkan putaran pedang dapat mendesak mundur siraman air, jadi bukan batang pedang langsung menahan airnya, tapi untuk mendesak mundur sambaran panah jelas tidak mudah.

Kalau angin pedang tidak cukup kuat, betapapun rapatnya sinar pedang juga akan ditembus oleh anak panah.

Untunglah tenaga dalam Sau Peng-say sekarang boleh dikatakan maha sakti, didunia ini mungkin jarang ada yang dapat menirukan dia melangkah masuk ke rumah itu dengan pelahan di bawah hujan panah maut Soat Ciau-hoa.

Panah hitam kecil itu satupun tidak dapat menembus lingkaran sinar pedang Peng-say, waktu anak muda itu berada di dalam rumah, panah yang terpasang di dalam tangan palsu Soat Ciau-hoa juga habis dihamburkan.

Tiga jagoan yang mengerubut Soat Ciau-hoa itu sangat terperanjat melihat Peng-say dapat melangkah masuk ke situ di bawah hujan panah berbisa itu. Padahal mereka harus menerjang masuk dengan gerak cepat, jika harus masuk dengan langkah lambat seperti Peng-say, jelas mereka tidak mampu. Nyata kepandaian anak muda ini jauh di atas mereka bertiga, bilamana dia benar2 bergabung dan membantu Soat Ciau-hoa, maka maksud mereka hendak menawan perempuan itu pasti gagal, bahkan jiwa merekapun menjadi persoalan.

Mereka tidak menunggu sampai Peng-say ikut dalam pertempuran, tapi segera pergencar serangan sekuatnya, maksud mereka hendak melukai dulu Soat Ciau-hoa, habis itu baru mengerubut Peng-say pula.

Soat Ciau-hoa sendiri mengira maksud jahat kedatangan Peng-say, maka perhatiannya terbagi untuk mengawasi gerak-gerik anak muda itu.

Sejak tadi dia mampu bertahan dengan satu lawan tiga, tapi sekarang setelah perhatiannya terpencar, keadaannya menjadi berbahaya, apalagi pihak lawan telah mempergencar serangannya.

Mendingan setelah melihat Peng-say tidak ikut menyerangnya, hatinya menjadi lega. Ia tidak tahu bahwa kedatangan Peng-say memang benar2 hendak membantunya, soalnya anak muda tidak tahu cara bagaimana harus bantu Soat Ciau-hoa, maka sejauh itu dia belum lagi ikut bertempur.

Lambat laun Soat Ciau-hoa merasa tak tahan lagi akan tekanan musuh, tanpa menghiraukan lagi Peng-say kawan atau lawan, segera ia berteriak: "Setan cilik, katanya datang membantuku, kenapa tidak cepat turun tangan?”

Rupanya serangan para pengerubut itu sangat gencar sehingga membingungkan Peng-say yang belum banyak berpengalaman, ia tidak tahu dari mana harus menyerang agar sekali hantam dapat mematahkan kepungan musuh.

Soat Ciau-hoa tambah gemas melihat anak muda itu masih diam saja, teriaknya dengan gusar: "Sesungguhnya kau datang untuk membantu atau bukan" Kalau mau membantu hendaklah lekas keluarkan pedangmu dan serang musuh agar tekanan mereka padaku bisa agak longgar." "Musuh terlalu kuat, kalau cuma seorang saja yang kutahan tidak banyak manfaatnya bagi Cianpwe." kata Peng-say.

Diam2 Soat Ciau-hoa mendongkol, gerutunya didalam hati: "Kurang ajar" Belum lagi membantu sudah menilai rendah perbawa sendiri dan menilai tinggi kekuatan musuh!" Tapi lantas terpikir pula olehnya bahwa ucapan Peng-say itu memang juga beralasan, musuh sedang menyerang dengan mati2an, bila cuma satu saja yang dihalau tetap tidak banyak manfaatnya.

Menurut jalan pikiran Peng-say, bila cuma seorang musuh saja yang dihadapi, musuh yang masih berada diluar rumah itu tentu akan ikut menyerbu kedalam, akibatnya tetap tidak menguntungkan.

Jalan yang paling baik adalah berusaha kerja sama dengan sang bibi dengan memainkan Siang-liu-kiam-hoat, sekaligus ketiga musuh dibinasakan, dengan demikian musuh yang lain tentu akan ketakutan, cara ini dirasakan paling baik. Padahal kalau dia hanya menghadapi satu dua musuh saja, kesempatan untuk main Siang-liu-kiam-hoat dengan sang bibi menjadi terhalang. Karena pikiran inilah maka ia menjadi ragu2 untuk ikut bertempur.

Akan tetapi sebagai orang muda, Peng-say kuatir akan menimbulkan rasa canggung bagi sang bibi jika dia terang2an minta Soat Ciau-hoa mengeluarkan Siang-liukiam-hoat untuk menundukkan musuh. Ia pikir kalau bibinya sendiri yang teringat kepada cara mengalahkan musuh dengan Siang-liu-kiam-hoat sesudah berhasil tentu orang tua itu akan merasa senang dan bangga.

Maka setelah berpikir, dengan sopan ia lantas berkata: "Wanpwe hanya belajar satu jurus Siang-liu-kiam-hoat dengan Suhuku, Kungfu lain boleh dikatakan tidak berguna, maka perlu mohon petunjuk Cianpwe cara bagaimana harus kuserang musuh?”

Baru sekarang Soat Ciau-hoa ingat anak muda ini mengaku sebagai murid Tio Tay-peng, dengan sendirinya yang dikuasai adalah Pedang Kiri Siang-liu-kiam-hoat, kalau saja Pedang Kiri dan Pedang Kanan Siang-liu-kiamhoat bergabung, maka tiada sesuatu yang tak dapat dipatahkan oleh ilmu pedang maha sakti ini.

Kesempatan baik ini mana boleh di-sia2kan sekarang”

Soat Ciau-hoa bukan perempuan bodoh, begitu mendengar ucapan Peng-say itu segera ia tahu maksud anak muda itu hendak mengajaknya memainkan Siang-liu-kiam bersama untuk mengalahkan musuh. Diam2 ia mengakui bocah ini cukup cerdik, rupanya sejak tadi dia sudah merancangkan caranya mengalahkan musuh, makanya tidak mau sembarangan ikut terjun ke arena pertempuran.

Karena keadaan sudah mendesak, Soat Ciau-hoa tidak sempat banyak berpikir lagi, pada suatu kesempatan yang baik, mendadak ia berteriak: "Kiong-siang-kut-thau!”

Itulah nama jurus pertama dari Siang-liu-kiam- hoat.

Peng-say memang sudah siap, begitu mendengar istilah itu serentak ia melompat maju dan berdiri sejajar dengan Soat Ciau-hoa, berbareng pedang mereka terus bergerak dari kanan dan kiri dengan jurus pertama tersebut.

Begitu sinar pedang berkelebat, kontan terdengar jeritan ngeri, dua orang musuh seketika binasa dibawah jurus serangan "Kiong-siang-kut-thau".

Waktu Soat Ciau-hoa menyebut pula jurus kedua "Putcun-kay-ti", tanpa ampun musuh yang masih tersisa itupun menjerit dan tertabas tubuhnya sebatas pinggang.

Segera Peng-say menarik kembali pedangnya, selagi ia hendak menyembah kepada Soat Ciau-hoa, se-konyong2 sinar pedang berkelebat, sang bibi malah menusuk hulu hatinya, keruan Peng-say terkejut dan menjerit: "Bi. . . .”

belum lanjut ucapannya, terpaksa dia harus melompat mundur. Serangan pertama tidak kena sasarannya, segera tusukan kedua dilontarkan Soat Ciau-hoa.

Lantaran tenaga dalam Peng-say telah bertambah beberapa kali lipat, dengan sendirinya Ginkangnya juga maju pesat, meski kurang berpengalaman di medan tempur, tapi gerak perubahannya sangat cepat. dengan mudah saja ia dapat mengelakkan seringan Soat Ciau-hoa sembari berseru: "Mengapa bibi menyerang diriku"!”

"Siapa bibimu?" bentak Soat Ciau-hoa dengan bengis, "Bocah yang suka membual dan berdusta, rasakan tiga kali seranganku!”

Menyusul ia menyerang lagi tiga kali dengan cepat.

dengan susah payah dapat juga Peng-say menghindarnya, namun wajahnya menjadi pucat, ia tidak berani lagi menyebut Soat Ciau-hoa sebagai bibi. katanya: "Sebab apa Cianpwe menyerang padaku?”

Setelah beberapa kali serangannya tak dapat mendesak Peng-say, timbul juga rasa sayangnya pada kepandaian anak muda itu, diam2 Soat Ciau-hoa berpikir apapun juga maksud kedatangan anak muda itu, yang jelas tadi orang sudah membantunya. Maka ia tidak menyerang lagi, bentaknya: "Dimana Suhumu" Apakah dia sembunyi diluar?" "Guruku berada jauh ribuan li sana, tidak nanti datang kesini," jawab Peng-say.

Sudah tentu Soat Ciau-hoa tidak percaya, jengeknya: "Hm, masa gurumu mau membiarkan kau datang sendirian kesini" Lekas mengaku, di mana gurumu bersembunyi”

Memangnya kau sangka aku tidak tahu rencana keji kalian guru dan murid yang mengincar Siang-liu-kiam-bohku?”

Cepat Peng-say menyangkal: "Tidak, tidak mungkin terjadi begitu! Guruku jauh berada di lereng gunung dekat Kamciu, bila Wanpwe berdusta biarlah aku disamber geledek." Air muka Soat Ciau-hoa menjadi agak tenang, tapi ia lantas mendengus: "Hm, kalau begitu, untuk apa kau datang kemari" Memangnya kau tahu aku ada kesulitan dan sengaja kemari untuk membantuku?”

"Wanpwe tidak tahu Cianpwe sedang dikerubut musuh.

kedatanganku ini ....”

"Ingin minta kuajarkan Pedang Kanan Siang-liu-kiam padamu, begitu bukan?" tukas Soat Ciau-hoa dengan menyeringai. Peng-say mengangguk dengan jujur, katanya: "Betul, tapi Wanpwe ingin memberitahukan sesuatu lebih dulu, mohon Cianpwe memberi kesempatan padaku untuk menutur. . . .”

"Kurang ajar si Tio Tay-peng itu, dia berani meremehkan diriku"!" teriak Soat Ciau-hoa dengan gusar.

"Tidak, tidak, Guruku juga senantiasa merindukan Cianpwe siang dan malam. ...”

Mana Soat Ciau-hoa mau percaya bahwa Tio Tay-peng masih rindu padanya, segera ia mendamperat: "Kentut! Omong kosong!”

Cepat Peng-say menjelaskan: "Meski apa yang kukatakan itu memang perkiraanku sendiri, tapi Wanpwe berani menjamin bahwa guruku sama sekali tiada maksud menghina atau meremehkan Cianpwe.”

"Hm. tidak perlu kau membela manusia tak berbudi ini!”

damperat Ciau-hoa. "Bilamana dia hargai diriku, manabisa dia cuma menyuruh kau datang ke sini sendirian, jelas karena dia yakin muridnya saja cukup kuat untuk mengalahkan aku. makanya hanya kau saja yang disuruh kemari untuk merampas kitab ilmu pedangku. Nah, lekas katakan terus terang, bukanlah dia menyuruh kau merebut kitab pusakaku ini?”

"Mana kuberani rebut barang milik Cianpwe," jawab Peng-say.

"Tidak berani rebut, menipu kan juga bisa" Hm. pantas kau pura2 memanggil bibi padaku. Ini rasakan pedangku!”

Cepat Peng-say berteriak: "Cianpwe memang benar2 adalah bibiku, jika kubohong. . . ." namun tusukan pedang Soat Ciau-hoa tahu2 sudah menyamber tiba, terpaksa Peng-say mengegos kesamping sambil berteriak: "Nanti dulu, Cianpwe, dengarkan penjelasanku!”

Tapi serangan Soat Ciau-hoa masih terus berlangsung, ia telah memainkan Siang-liu-kiam-hoat bagian Kanan.

Karena mengira kedatangan Peng-say hendak menipu kitab pusakanya, serangan Soat Ciau-hoa sekarang menjadi tidak kenal ampun lagi.

Dalam keadaan kepepet. terpaksa Peng-say mainkan juga Pedang Kiri untuk menangkis. Karena Pedang Kanan dan Pedang Kiri kedua orang berasal dari Siang-liu-kiam-hoat yang sama, dengan sendirinya keadaannya menjadi setanding. Tapi Soat Ciau-hoa lebih matang latihannya, pula Peng-say tidak berani benar2 bertempur melawan sang bibi, ia tidak mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, dengan sendirinya Peng-say rada terdesak di bawah angin.

Dalam keadaan demikian bilamana Soat Ciau-hoa mau membunuh Peng-say tentu akan terbuka banyak kesempatan. Peng-say tahu bahaya, cepat ia ber-teriak2 pula: "Dengarkan penjelasanku, Cianpwe! Dengarkan dulu!" Terkesiap juga Soat Ciau-hoa melihat anak muda itu masih mampu bersuara meski dalam keadaan terdesak. ia pikir kalau beberapa jurus lagi tak dapat mengalahkan anak muda itu, tentu dirinya pun akan ditertawakan Tio Tay-peng, maka ia tidak menghiraukan seruan Peng-say, sebaliknya pergencar serangannya sambil berkata: "Jika kau mampu boleh bunuhlah aku, kalau tidak jangan harap ocehanmu akan dapat mengelabuhi diriku!”

Nyata dia menganggap Peng-say sengaja hendak menipunya seperti halnya Tio Tay-peng dahulu. Mulut manis tapi hati berbisa. Karena itu serangannya tambah kalap, kalau bisa sekali tusuk ia hendak merobohkan Pengsay.

Serangan gencar dan dahsyat ini membuatnya menjadi kelabakan, terpaksa ia bertahan sekuatnya dan tidak dapat bersuara pula.

Dalam pada itu kawanan orang berseragam kuning di luar itu sudah tahu ketiga kawannya yang berada didalam rumah telah terbunuh, be-ramai2 mereka lantas berpencar dan hendak kabur. Namun Soat Koh tidak memberi kelonggaran kepada mereka sehingga ada sebagian terpaksa harus melawan serangan Soat Koh itu.

Ketika mendengar seruan Peng-say, Soat Koh menjadi kuatir sang guru akan salah paham dan bertempur sendiri dengan anak muda itu, tiada hasratnya lagi untuk merintangi larinya musuh. Karena sedikit kendur itulah, kawanan berseragam kuning lantas melompat mundur dan kabur, hanya orang terakhir saja karena sedikit terlambat masih sempat dibinasakan oleh Soat Koh.

Hanya sekejap saja orang2 berseragam kuning itu sudah kabur hingga bersih. Segera Soat Koh berlari ke dalam rumah. Dilihatnya sang guru sedang bertempur sengit melawan Peng-say, ia mengira anak muda itu tidak tahu lawannya adalah gurunya, maka cepat' ia berseru: "Hei, kakak Peng, mengapa kau bergebrak dengan Suhuku?”

Habis itu iapun memanggil Soat Ciau-hoa: "Suhu!”

"Ehm, kau sudah pulang, muridku?" jawab Soat Chu-hoa.

"Ya, Suhu, murid sudah pulang," seru Soat Koh.

"Apakah kakak Peng kurang hormat padamu, Suhu”

Handaklah kau ampuni dia, suruh dia minta maaf padamu." "Apakah kau tahu dia murid siapa?" tanya Soat Ciau-hoa.

"Kutahu dia murid Tio Tay-peng,”

"Masakah kau lupa pesan yang pernah kukatakan padamu. Tio Tay-peng itu manusia berhati binatang. anak didiknya mana bisa orang baik. Setelah kau tahu dia murid orang she Tio itu. mengapa kau malah membelanya?”

"Tapi dia. . . .dia adalah keponakanmu, Suhu!”

Se-konyong2 Peng-say menjerit terluka oleh pedang Soat Ciau-hoa, cepat Soat Koh berteriak: "Ampuni dia, Suhu!”

"Tidak ada ampun baginya!" jawab Ciau-hoa Bahu kanan Peng-say tertusuk pedang, meski tidak mengalangi permainan pedang kiri, tapi lukanya ini sedikit banyak mempengaruhi pikirannya, keadaannya menjadi semakin terdesak.

Soat Koh sangat cemas, teriaknya sambil menangis: "Jangan, Suhu, jangan kau bunuh dia, tidak boleh kau bunuh dia!”

"Mengapa tidak boleh kubunuh dia?" tanya Ciau-hoa.

"Mana boleh Suhu membunuh Keponakannya sendiri”

Suhu, hendaklah kau ampuni dia . . .”

"Kau tertipu, muridku, dia bukan keponakanku.”

"Kakak Peng," seru Soat Koh. "lekas kau jelaskan asal-usulmu.”

"Aku . . .aku. . . ." hanya kata ini saja sempat diucapkan Peng-say karena gencarnya serangan Soat Ciau-hoa.

"Lekas kau memberi penjelasan, kakak Peng!" desak Soat Koh pula.

"Hm, hakikatnya dia bukan keponakanku segala, apanya yang perlu dijelaskan?" jengek Soat Ciau-hoa.

Melihat Peng-say tetap diam saja dan tidak memberi penjelasan, Soat Koh mengira anak muda itu benar2 telah berdusta padanya. Tapi iapun tidak peduli, ia pikir asalkan anak muda itu mencintainya dengan setulus hati, peduli dusta atau tidak" Yang penting sekarang harus mohon kemurahan hati sang guru agar jangan membunuhnya.

Karena itu dengan sangat ia memohon pula, "Suhu, harap engkau kasihan padanya dan ampunilah jiwanya ...”

"Dia telah menipu kau, sebaliknya kau malah mintakan ampun baginya?" teriak Soat Ciau-hoa dengan gusar.

Soat Koh berlutut dan menyembah. mohonnya pula: "Suhu, harap ingat padaku dan jangan membunuh dia ... .”

"Sedemikian keras kau mohonkan ampun baginya.

apakah kau jatuh cinta padanya?" bentak Soat Ciau-hoa.

dengan gusar. Tapi Soat Koh hanya menyembah lagi dan tidak berani mengaku terus terang.

Dengan bengis Ciau-hoa membentak pula: "Katakan terus terang, kau cinta padanya bukan?”

Meski mulutnya bertanya, dalam hati iapun tahu pertanyaannya itu berlebihan. Sebab kalau muridnya tidak jatuh cinta pada bocah ini, mana mungkin mintakan ampun baginya tanpa alasan, apalagi dia mengaku sebagai murid Tio Tay-peng. Karena sudah terlalu apal Soat Ciau-hoa berlatih Siangliu-kiam-hoat, walaupun sambil bicara, serangannya tidak menjadi kendur. Dia menghela napas dan berkata, "O, muridku, bukankah sudah kuperingatkan beratus kali agar jangan se-kali2 kau jatuh hati kepada anak atau murid Tio Tay-peng?"“

"Aku. . .aku tidak jatuh hati padanya," jawab Soat Koh.

"Murid hanya mohon agar Suhu suka mengampuni jiwanya, untuk itu pada titisan yang akan datang murid pasti akan membalas kebaikan Suhu ini.”

"Sudah terlambat meski sekarang kau menyangkal." kata Ciau-hoa, "cret", sekali tangan palsu terangkat, satu batang panah hitam terus menyambar ke depan.

Namun Soat Koh sudah siap ketika berlutut di lantai, cepat iapun membidikan sebuah panah. "Cring", dua anak panah saling bentur di udara dan jatuh ke tanah.

Diam2 Peng-say bersyukur lolos dari ancaman maut itu, kalau Soat Koh tidak menolong, saat ini jiwanya mungkin sudah melayang di bawah. panah berbisa itu.

Soat Ciau-hoa menjadi gusar, damperatnya: "Sudah kukatakan sejak dulu, bila kau mencintai anak Tio Taypeng, maka pasti akan kubunuh bocah itu, kalau kau merintangi kehendakku, kau sendiri juga akan kubunuh!”

"Cret-cret", kembali dua anak panah meluncur keluar dari tangan palsunya. Tapi segera terdengar pula "cring-cring" dua kali, kembali anak panah itu dijatuhkan pula oleh panah Soat Koh.

"Kurang ajar!" bentak Soat Ciau-hoa.

"Suhu, silakan kau bunuh. ... . .bunuh saja diriku!" seru Soat Koh dengan suara ter-putus2.

"Setelah kubinasakan bocah ini segera kubunuh murid khianat seperi kau ini! "damperat Ciau-hoa, segera ia hendak angkat tangan palsu lagi.

Soat Koh tahu bila sang guru membidikan anak panahnya tiga sekaligus, maka dirinya pasti tidak mampu menahannya, tampaknya jiwa kekasihnya pasti akan melayang, lalu apa artinya hidup ini bagi dirinya" Lebih baik berangkat saja lebih dulu dan menunggu di akhirat.

Segera ia berteriak: "Kakak Peng, biarlah kita bertemu nanti di alam baka. . . ." berbareng itu ia lantas melolos pedangnya.

Soat Ciau-hoa menjadi gugup, tak disangkanya cinta muridnya sudah sedemikian mendalam terhadap bocah ini, selagi ia hendak membentak agar Soat Koh jangan bertindak nekat, se-konyong2 batang pedangnya bergetar dan "trang", tahu2 pedangnya patah menjadi dua, Kiranya sedikit merandek itulah telah memberi peluang bagi Sau Peng-say untuk mengerahkan tenaga dalamnya, pedangnya terus menyampuk, maksudnva hendak mendesak mundur Soat Ciau-hoa agar dirinya sempat menyelamatkan Soat Koh dari tindakan bunuh diri. Tak terduga tenaga dalamnya terlalu kuat sehingga pedang Soat Ciau-hoa tergetar patah. Keruan Ciau-hoa terkejut dan berdiri melenggong.

Kesempatan itu segera digunakan Peng-say untuk melompat ke samping Soat Koh dan merampas pedangnya, katanya sambil menggeleng: "Jangan kau bunuh diri!”

Tapi Soat Koh tidak menjadi girang melihat Peng-say sudah lolos dari bahaya, dengan suara gemetar ia mengomelnya: "Ken. . . .kenapa kau mematahkan pedang kesayangan guruku. . . .”

"Demi menyelamatkan kau, terpaksa aku bertindak begitu," kata Peng-say, "salah dia sendiri, tenaganya tidak. . ." mendadak ia merasa ucapannya itu dapat menyinggung perasaan sang bibi, maka cepat ditelan kembali.

Walaupun tidak lanjut ucapannya, namun Soat Ciau-hoa dapat menangkap apa yang hendak dikatakan anak muda itu, dengan gusar ia berteriak: "Muridku, gurumu merasa terhina, bilamana kau sendiri tidak membunuhnya untuk membalaskan dendamku, mulai saat ini kita putus hubungan sebagai guru dan murid!”

Soat Koh menjadi cemas, teriaknya; "Jangan marah dulu, Suhu. . . .”

"Bunuh dulu dia baru panggil Suhu padaku, kalau tidak boleh enyah bersama bocah ini!" bentak Ciau-hoa dengan bengis.

Sambil menggeleng Soat Koh menghela napas, segera dilolosnya, dipandangnya Peng-say.

"Apakah aku akan kau bunuh?" tanya anak muda itu.

Soat Koh menggigit bibir dengan air mata berderai.

Peng-say membuang pedangnya di tanah sambil menghela napas panjang, katanya: "Baik, silakan bunuh diriku, tak dapat kurusak hubungan baik guru dan murid.”

Dengan suara gemetar Soat Koh berkata: "Terima kasih atas kebaikan kakak Peng, hendaklah maklum, aku tidak dapat mengingkari perguruan sendiri pada waktu ajalku, tapi aku pasti akan. . . .akan menyusul kau. . . .”

Peng-say jadi teringat kepada budi pertolongan nona itu, apabila Soat Koh tidak mengadu panah dengan gurunya, sejak tadi mayat sendiri pasti sudah terkapar disitu. Kalau memamng harus mati, jika sekarang mati di bawah pedang Soat Koh kan tidak perlu lagi menyesal. Apalagi dapat mengeratkan kembali hubungan guru dan murid itu, kematiannya sungguh sangat berharga.

Dari nada ucapan Soat Koh ia dapat menangkap maksudnya, tentunya nona itu akan membunuh diri setelah dirinya dibunuhnya nanti. Mau-tak-mau timbul juga rasa haru Peng-say akan cinta Soat Koh padanya, namun dia hanya berkata dengan hambar: "Kukira tidak perlu nona berbuat begitu silakan nona bunuh saja diriku, biar mati aku tidak menyesal, hanya ada satu permintaanku hendaklah nona suka memenuhi.”

Dengan menangis Soat Koh menjawab: "Aku tidak....tidak dapat berjanji apa" padamu ...."! Peng-say tahu sebabnya nona itu tidak dapat menerima permintaannya adalah karena dia sudah bertekad akan bunuh diri untuk menyusulnya ke alam baka, jelas tidak ada waktu untuk berbuat apapun baginya. Namun ia tidak ingin si nona mati bersamanya, dengan sungguh2 ia lantas berkata: "Jika kau tidak menerima permintaanku, matipun aku tidak tenteram.”

Mengira anak muda itu ada urusan penting yang periu diselesaikan, terpaksa Soat Koh berkata: "Baiklah, entah urusan apa yang harus kulaksanakan bagimu.”

Peng-say menghela napas panjang, katanya: "Beberapa hari yang lalu, sering aku bermimpi bertemu dengan mendiang ibuku, kulihat ibu berkata kepadaku dengan wajah sedih bahwa sudah lama aku tidak menjenguk beliau, tempat tinggal ibu sudah rusak bila hujan kebocoran, lembab dan becek.”

"Hm. omong kosong!" jengek Soat Ciau-hoa tiba2.

Peng-say tidak menghiraukannya, ia melanjutkan dengan sedih: "Sejak kubelajar pedang selama selama lima tahun dengan guruku, selama ini belum pernah berziarah ke makam ibuku. Kupikir barangkali makam ibu telah rusak atau tidak terawat, makanya memberi mimpi padaku?”

Mau-tak-mau hati Soat Ciau-hoa tergetar juga, ia pikir anak ini ternyata punya rasa berbakti, bukan mustahil apa yang diuraikannya itu memang ada benarnya. Kali ini menyangkut arwah orang mati, ia tidak berani lagi sembarangan mengejeknya.

Terdengar Soat Koh lagi berkata: "Jadi maksudmu menghendaki kuperbaiki makam ibumu?”

"Ya. memang urusan inilah yang merisaukan pikiranku.

entah nona sudi melakukannya atau tidak" kata Peng-say.

Soat Ko pikir pekerjaan ini tidaklah sukar, sesudah diperbaiki makam ibunya baru kubunuh diri untuk menyusulnya. Maka ia lantas bertanya: "Entah dimana letak makam ibumu?”

"Asalkan kau tanya kepada keluarga Cin yang menjabat gubernur militer Pakkhia, tentu akan diberitahu," jawab Peng-say.

"Apakah itu rumah adik misanmu Cin Yak-leng?" tanya Soat Koh dengan hampa.

Peng-say mengangguk.

Mendadak Soat Ciau-hoa bertanya: "Apakah ibumu mati di rumah Cin Ci-wan?”

Peng-say tidak menggubrisnya, ia tetap bicara terhadap Soat Koh: "Setiba di rumah keluarga Cin, tidak perlu kau bilang kenal padaku, cukup bertanya dimana letak makam ibuku saja. Boleh kau mengaku sanak keluarga Soat dari Say-pak dan ingin berziarah kemakam Soat Kun-hoa, tentu mereka akan mengantar kau ke makam ibuku. Nah, tiada urusan lain lagi, silakan kau turun tangan saja.”

"Jadi ibumu benar2 bernama Soat Kun-hoa?" tanya Ciau-hoa pula.

Soat Koh merasa ada harapan baik, cepat ia pun bertanya: "Pernah hubungan apa Soat Kun-hoa itu dengan Suhu?”

"Dia itulah adik kandungku," jawab Ciau-hoa.

"Wah, jika begitu, bukankah Suhu memang betul bibi kakak Peng?" seru Soat Koh girang. "Suhu, dia ternyata tidak berdusta padamu, juga tidak. . .tidak menipuku.”

Tapi Soat Ciau-hoa menjengek pula: "Memang sudah kuduga bilamana bocah ini diberi kesempatan bicara tentu akupun akan terbujuk, rasanya sekarang aku menjadi beberapa bagian percaya padanya. Akan tetapi, hm, aku tidak mudah tertipu. Kalau tujuannya memang hendak menipu, dengan sendirinya lebih dulu ia telah mencari tahu nama dan seluk beluk adik kandungku itu.”

Dengan mendongkol Peng-say berseru: "Didunia ini mana ada orang sengaja mengaku orang sebagai ibunya”

Pula guruku kan juga tidak tahu kau mempunyai adik perempuan bernama Kun-hoa?”

"Ya, asal-usulnya memang tidak pernah kuceritakan kepada lelaki tidak setia itu," kata Soat Ciau-hoa seperti bergumam.

"Itu dia, bahwa guruku tidak tahu, tapi aku malah tahu kau berasal dari keluarga Soat di Say-pak, kau pun mempunyai seorang kakak, yaitu pamanku yang bernama Soat Ko-hong, betul tidak?" tanya Peng-say.

"Hm. rasanya sekarang tipuanmu sudah membuat aku percaya delapan bagian," jengek Ciau-hoa.

"Memangnya bagian mana lagi yang masih kau sangsikan?" tanya Peng-say.

"Ada kemungkinan adik perempuanku kemudian juga berkenalan dengan Tio Tay-peng dan dengan sendirinya ia dapat memperoleh macam2 keterangan dari adikku itu, dengan demikian kau lantas disuruh kemari untuk menipu diriku agar kuajarkan Siang-liu-kiam padamu karena mengingat kau adalah anak adiknya sendiri.”

"Cianpwe juga tahu nama Cin Ci-wan, apakah kau pun tahu dia juga putera bibimu yang bernama Soat Hun-lan?”

"Betul, aku memang mempunyai bibi yang menikah dengan orang Pakkhia, puteranya menyabat pangkat gubernur militer, kejadian ini pernah tersiar sampai ke Say-pak dan diketahui oleh setiap anggota keluarga Soat di sana," "Dan puteri Cin Ci-wan yang bernama Yak-leng adalah Piaumoayku, hal ini sudah diketahui muridmu. Sekarang ingin kutanya, mengapa nona itu bisa menjadi Piaumoayku" Kau bilang aku dusta dengan mengaku Soat Kun-hoa sebagai ibuku, lalu keluarga pembesar yang dihormati itu apakah boleh sembarangan kuakui sebagai familinya" Kalau Soat Kun-hoa bukan ibuku, darimana kutahu siapa Soat Hun-lan" Bisa jadi kau akan bilang mendiang ibuku yang memberitahukan kepada guruku, tapi bila kau mau pergi ke Pakkhia dan menyelidiki, tentu kau akan tahu apakah benar keluarga Cin mempunyai sanak famili diriku ini?”

"Hm. seumpama kau betul anak adikku. lalu mau apa?”

jengek Ciau-hoa pula. "Jika kau ingin membantu Tio Tay-peng untuk menipu kitab pusakaku. jangan kau harap.”

"Suhu." sela Soat Koh, "ayah kakak Peng dibunuh orang, ia ingin belajar Siang-liu-kiam secara lengkap untuk menuntut balas sakit hati dan bukan ingin membantu orang she Tio itu untuk menipu kitab pusaka kita.”

"Jangan kau bela dia," teriak Ciau-hoa dengan gusar.

"Lekas kau bunuh dia jika kau masih anggap aku ini gurumu!" Soat Koh menjadi cemas, air matanya bercucuran, katanya: "Suhu, ken. . . .kenapa harus membunuhnya, Bukankah dia ke. . . .keponakanmu sendiri. . . .”

"Jangankan cuma anak adik perempuanku, sekalipun anak kakakku, keturunan langsung keluarga Soat, juga harus kubunuh tanpa ampun!" seru Ciau-hoa. "Kau masih muda dan tidak kenal kebusukan hati manusia, justeru dengan menonjolkan hubungan famili inilah dia sengaja hendak menipu Siang-liu-kiam-boh, tentu ayahnya terbunuh dan dia ingin menuntut balas segala hanya sebagai alasan belaka, semua ini adalah ajaran orang she Tio itu.

Umpama betul ayahnya terbunuh juga aku tidak perlu pusing." "Jika begitu, cukup kalau kita tidak mengajarkan Pedang Kanan padanya, mengapa mesti membunuh dia?" ujar Soat Koh.

"Tidak, harus bunuh," kata Ciau-hoa tegas. ! "Suhu," Soat Koh memohon pula dengan pedih, "murid sudah tahu bersalah, biarlah selanjutnya kujauhi dia saja, boleh?”

Soat Ciau-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian: "Jika demikian, kematiannya boleh diampuni, tapi hukuman hidup tidak boleh bebas.”

"Memangnya akan kau apakan diriku?" teriak Peng-say dengan gusar.

"Tabas sendiri tangan kananmu!" bentak Ciau-hoa.

"Apakah menyesal lantaran pedangmu tergetar patah olehku?" jengek Peng-say.

"Bila menyesal tentu tangan-kirimu yang harus dipenggal, tangan kananmu kan tidak bersalah padaku,”

kata Ciau-hoa. "Memangnya kenapa tangan kananku yang kau incar?”

tanya Peng-say.

"Tio Tay-peng menyuruh kau kesini untuk menipu Pedang Kanan Siang-liu-kiam-boh, dia sendiri sudah buntung tangan kanannya dan tidak berguna lagi. dengan sendirinya dia berharap kau akan dapat meyakinkan Pedang Kanan ini agar kelak menjadi jagopedang nomor satu di dunia, sedikitnya dia akan ikut merasa bahagia sebagai guru si jago nomor satu di dunia. Tapi harapannya itu justeru akan kurintangi, ingin kulihat setelah tangan kananmu buntung, lalu cara bagaimana kau akan menjadi jago pedang nomor satu?”

"Ber-ulang2 kau tuduh guruku menyuruhku menipu kitab pusakamu, jika aku dapat membuktikan guruku tiada maksud demikian, lalu bagaimana?" tanya Peng-say.

"Bila dia tidak menyuruh kau menipu, aku akan pergi ke Kamciu dan menyembah padanya!" jawab Ciau-hoa tegas.

"Dan tangan-kananku apakah tetap harus kutabas?”

tanya Peng-say dengan tertawa.

"Dengan sendirinya batal, tidak perlu lagi!" kata Ciau-hoa.

Dengan tenang Peng-say lantas menutur: "Kalau tidak salah, guruku seperti tidak tahu sama sekali bahwa di dunia ini adalah dua jilid Siang-liu-kiam-boh yang terbagi menjadi Kiri dan Kanan.”

Soat Ciau-hoa termenung sejenak, katanya kemudian: "Ya, dia memang tidak tahu, hanya aku saja yang tahu Siang-liu-kiam-boh terdiri dua jilid.”

"Nah, kalau orang lain tidak tahu, darimana aku mendapat tahu bibi?" tanya Peng-say, Sekarang Soat Ciau-hoa tidak menolak lagi dipanggil bibi oleh Peng-say, jawabnya: "Ya, kulupa tanya padamu darimana kau tahu hal itu, dengan sendirinya bukan gurumu yang memberi tahu, sebab dia hanya menemukan kitab bagian kiri dan tidak tahu masih ada setengah bagian yang kusembunyikan, sedangkan di dalam kitab juga tiada penjelasan bahwa kitab dibagi menjadi dua jilid yang.

masing2 dapat berdiri sendiri, maka bagi pemegang salah satu bagian itu biarpun berlatih selama hidup juga tidak menyadari ilmu pedang yang diyakinkannya itu sebenarnya cuma setengah bagian saja.”

"Apakah bibi tahu siapa pencipta Siang-liu-kiam?" tanya Peng-say.

"Ketua Pak-cay, Lenghiang-caycu Sau Ceng-in." jawab Soat Ciau-hoa.

"Nah, yang memberitahukan padaku tentang Siang-liukiam-hoat yang meliputi Pedang Kiri dan Pedang Kanan justeru ialah puteri Leng-hiang-caycu sendiri, namanya Sau Kim-leng.”

"Berapa usia Sau Kim-leng sekarang.”

"Kurang lebih 20 tahun.”

Seketika Sau Ciau-hoa mendelik. damperatnya. "Setan cilik jangan kau bicara secara ngawur. Sau Ceng-in. sudah mati selama 28 atau 29 tahun. dari mana bisa mempunyai anak perempuan berumur 20-an.”

Peng say tidak menjawab, tapi bertanya lebih dulu, "Darimana bibi mengetahui Sau Ceng-in sudah mati 28 atau 29 tahun lamanya?”

"Umumnya orang Bu-lim cuma tahu Sau Ceng-in sudah lama menghilang, tapi kutahu dia mati dipegunungan Kilian. Siang-liu-kiam-boh justeru berhasil kutemukan pada jenazahnya.”

"Cara bagaimana bibi dapat memastikan jenazah itu ialah Sau Ceng-in?" tanya Peng-say.

"Dia wafat dengan duduk didalam gua, kedua tangannya memegang dua kotak yang berisi kitab ilmu pedang kanan dan kiri, dia duduk menghadapi dinding gua, pada dinding terukir tulisan yang berbunyi: 'Siang-liu-kiam-boh ini diberikan kepada orang yang berjodoh menemukannya, barang siapa mendapatkan kitab pusakaku ini harus membunuh ketiga orang. . . .tapi nama ketiga orang yang dimaksudkannya cuma terukir satu huruf 'Ciam' saja, lalu dicoret, di bawah terukir namanya Sau Ceng-in. Coba pikir, kalau jenazah itu bukan Sau Ceng-in yang hilang, lantas siapa?" "Nyata Toapek memang tidak berpikir tentang nama dan kedudukan segala. dia memang bijaksana dan berjiwa besar, pada waktu ajalnya beliau masih bermurah hati dan tidak jadi menyuruh orang yang menemukan kitab pusakanya harus membunuh musuhnya.”

Soat Ciau-hoa terkejut, ia bertanya: "Toapek" Kau panggil dia Toapek" Memangnya Leng-hiang-caycu itu pamanmu?" Peng say mengangguk.

"Lantas siapa pula Moayhuku (suami adikku)?”

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar