Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 27

Jilid 27

Secepat terbang Thio Yan-coan terus berlari turun. Pengsay tidak jera, kembali ia mengejar. diruang bawah masih banyak tamu, mereka melayang lewat diatas kepala orang banyak, begitu sampai diluar, hanya sekejap saja mereka lantas menghilang.

Biasanya Thio Yan-coan sangat bangga akan Ginkangnya, ia tidak percaya dirinya tidak mampu melepaskan diri dari kuntitan seorang anak muda. Tanpa berhenti dari dalam kota ia berlari keluar kota, ia yakin larinya sedemikian cepatnya sehingga sukar disusul oleh sembarangan orang.

Tapi aneh juga, Peng-say masih tetap mengintil dibelakangnya dalam jarak yang tidak semakin jauh. Dengan penasaran ia "tambah gas", sejenak kemudian ia melirik ke belakang. ternyata jaraknya bukannya tambah jauh, sebaliknya tambah dekat, malahan makin lama makin dekat. Diam2 ia mendongkol. Ia sangka akhir2 ini dia terlalu banyak menguras tenaga di sarang perempuan sehingga badan keropos dan mempengaruhi kekuatan larinya. Ia tidak menyadari bahwa karena dia membawa Sau Penglam, maka Ginkangnya mesti banyak terpotong.

Walau begitu sebenarnya Ginkangnya juga tidak di bawah Sau Peng-say, soalnya Lwekangny tidak tahan lama seperti anak muda itu. maklumlah, Ci-he-kang memang tak dapat dibandingi Lwekang manapun juga. Apalagi Pengsay masih "gres", masih jejaka. bila berlari dalam jangka waktu panjang, akhirnya Thio Yan-coan bisa mati lelah, sebaliknya tak menjadi soal bagi Peng-say.

Begitulah makin kejar makin dekat dan akhirnya keduanya hampir lari berjajar. Sampai disini baru Thio Yan-coan mengaku kalah. diam2 ia mengakui kelihayan tenaga dalam anak muda itu. Mendadak ia berhenti. ia melolos golok terus menabas tiga kali.

Karena tidak bersenjata dan tidak ber-jaga2. kontan Peng-say terluka dan darah melumuri dada.

"Jika kau mengejar lagi, sekali bacok kupenggal kepalamu!" ancam Thio Yan-coan dengan gregetan.

Betapapun jiwa harus diselamatkan, maka Peng-say tidak berani mengejar lagi. Tapi ia berkata: "Jangan kau lukai Toa-sukoku!”

Thio Yan-coan berlari beberapa langkah lagi, lalu berhenti dan menjawab: "Aku tidak mau menjamin. Bila dia terus berlagak linglung dan tetap tidak menjawab pertanyaanku, kalau aku naik darah, bisa jadi akan kubedah batok kepalanya. akan kulihat dimana letak penyakit otaknya." "Aku tidak bermusuhan apapun dengan kau, tapi kalau benar2 kau lakukan seperti apa yang kau- katakan, maka permusuhan kita akan sedalam lautan!" kata Peng-say.

"Maksudmu kau akan menuntut balas bagi Toasukomu?" tanya Thio Yan-coan sambil mencibir.

"Ya, semoga kau tidak membunuh Toa-sukoku." jawab Peng-say.

"Tidak membunuhnya juga boleh, tapi sekarang juga kita bertanding disini," kata Thio Yan-coan. "Bila kau menang, aku berjanji takkan membunuhnya, bahkan segera kubebaskan dia. Jika kau kalah, hehe, seketika juga kubinasakan dia. Nah, bagaimana, mau coba?”

Dengan sendirinya Peng-say tidak berani coba2, untuk apa coba2 kalau jelas pasti kalah. Maka ia menggeleng dan menjawab: "Tidak, kutahu bukan tandinganmu.”

"Kalau tak dapat menandingiku, cara bagaimana kau akan menuntut balas bagi Toa-sukomu?" tanya Thio Yan-coan dengan tertawa.

"Sekarang aku bukan tandinganmu, tapi pada suatu hari pasti dapat kukalahkan kau," ucap Peng-say dengan tegas.

"Kau yakin?”

"Ya, yakin sepenuhnva!”

"Jika begitu akan kutunggu pembalasanmu!" ujar Thio Yan-coan dengan bergelak tertawa.

"Tadi kau tidak membunuhku, budimu ini akan selalu kuingat didalam hati, semoga kelak aku tidak sampai membunuh kau.”

Thio Yan-coan mengangguk, katanya: "Ehm, kau bocah ini suka omong besar, tapi cukup punya Liangsim (hati nurani yang baik).”

"Meski aku tidak ingin membunuh kau, tapi bila kau bikin celaka jiwa Toa-sukoku, betapa pun budimu pasti akan kulupakan dan akan kubunuh kau untuk membalas sakit hati Toa-suko.”

"Wah, bicara sejujurnya, bukan mustahil pada suatu hari kau bocah ini benar2 dapat membunuhku, rasanya sangat berbahaya bila aku bermusuhan dengan kau. Boleh begini saja, aku berjanji takkan membunuh Toa-sukomu.”

"Jika begitu, lebih dulu aku berterima kasih," kata Peng-say sambil memberi hormat.

"Walaupun tidak kubunuh dia, tapi juga tidak kubebaskan dia," sambung Thio Yan-coan pula.

"Maksudmu akan kau kekang kebebasan Toa-suko selama hidup?”

"Tidak sukar untuk memberi kebebasan padanya, untuk itu akan kutunggu kedatanganmu. Bila kau sudah mampu menandingi ke-13 jurus golok kilatku, pada saat itu juga akan kuberi kebebasan padanya.”

"Lelaki sejati! .. . .”

"Tak nanti ingkar janji!”

Sesudah mendapat janji Thio Yan-coan, tanpa bicara lagi Peng-say lantas putar badan dan tinggal pergi.

Dengan mengulum senyum Thio Yan-coan menyaksikan bayangan anak muda itu makin jauh dan akhirnya lenyap dari pandangan.

"0O0"odwo"0O0”

Sengtoh, itulah nama ibukota propinsi Sujwan kotaraja negeri Han pada jaman Sam-kok. "Kakeknya", "anak kura2", itulah umpatan orang Sujwan bila bicara.

Disuatu rumah minum yang paling laris di kota Sengtoh, saat itu ada empat orang berduduk mengintari sebuah meja.

"Kakeknya, aku justeru tidak percaya kemahiran meniup seruling lonte busuk macam Liu Ju-si yang tersohor merdu itu. Hanya anak kura2 saja yang sudi membuang sepuluh tahil perak hanya untuk mendengarkan satu lagu suara serulingnya. Huh, kalau aku, biarpun sepicis saja aku tidak mau.”

Yang bicara itu adalah satu diantara tetamu itu, dia she Ong, bertubuh pendek gemuk, terhitung langganan setia rumah minum ini.

Rupanya dia penasaran ketika mendengar temannya bercerita dan memuji Liu Ju-si, seorang bunga raya tingkat tinggi dan terkenal di Seng-toh ini, betapa mahirnya meniup seruling serta betapa dia membayar mahal barulah Liu Ju-si mau mempertunjukkan kepintarannya itu.

Temannya yang berbadan jangkung melotot. katanya: "Ong gendut, kau tidak percaya, masih banyak orang lain yang percaya. Padahal barang siapa yang sudah pernah mendengar suara serulingnya, tiada satupun yang tidak memuji. Bulan yang lalu, dengan sepuluh tahil perak akupun ikut mendengarkan seruling Liu Ju-si, sampai sekarang, suara serulingnya yang merdu menggetar sukma itu se-olah2 masih mengiang ditepi telinga! Kau sendiri terlalu pelit, satu peser saja tidak buang percuma, paling2 kau hanya suka mendengar bunyi katak diwaktu hujan, mana kau memenuhi syarat untuk menilai baik jeleknya seruling orang?”

"Bukan soal berani bayar sepuluh tahil perak lantas tepuk dada seperti dirimu," jawab Ong gemuk dengan penasaran.

"Yang kumaksudkan, daripada buang2 waktu mendengarkan seruling Liu Ju-si, apalagi mesti bayar, lebih baik pergi saja ke-alun2 selatan sana.”

Alun2 selatan yang dimaksudkan adalah sebuah tanah lapang yang biasa dipakai berkumpul kaum kelana tukang sunglap, pemain akrobat, penjual obat dan sebagainya.

"Ya, kutahu kau gemar menonton akrobat." kata si jangkung yang bernama Ciu Kay. "Memang disana banyak tontonan gratis.”

"Tapi aku kesana bukan menonton akrobat melainkan mendengarkan lagu seorang anak muda," tutur Ong gendut.

"Hari ini adalah hari terakhir, besok dia akan pindah lagi ketempat lain.”

"Apakah lagu yang dibawakan anak muda itu dengan seruling?" tiba2 seorang temannya yang lebih muda bertanya, orang ini bernama Li Dong.

"Benar," jawab Ong gendut. "Mendengarkan serulingnya Liu Ju-si harus bayar. mendengarkan seruling anak muda itu gratis, bahkan berani kukatakan, seruling anak muda itu berpuluh kali lebih enak didengar daripada Liu Ju-si.”

"Ah, aku tidak percaya," kata Ciu Kay. "Jika benar dia mempunyai kepandaian begitu tinggi. kenapa dia mesti mencari makan di-alun2.”

"Dia main seruling bukan untuk mencari makan. tapi cari isteri.”

"Cari isteri”

Main seruling mencari isteri apa maksudnya?" tanya orang keempat, seorang she Be.

"Meski dia memakai merek 'menjual lagu mencari isteri', tapi habis main dia tidak minta bayaran dari para pendengarnya. Dia hanya minta para pendengarnya ikut bantu mencarikan jejak isterinya yang hilang," tutur Ong gendut. "Katanya isterinya hilang pada setahun yang lalu, dunia seluas ini tentu sukar dicari, maka ia memohon khalayak ramai suka membantunya.”

"Khalayak ramai dapat membantunya dengan cara bagaimana?" ujar orang she Be. "Sedangkan bentuk isterinya apakah bundar atau lonjong juga tidak seorangpun yang tahu.”

"Dia melukis potret isterinya dan tertulis bernama 'Soat Koh'," tutur Ong gendut pula. "Ada nama ada gambar.

asalkan ada orang pernah melihatnya tentu akan memberitahukan padanya dan sesuai petunjuk itu mungkin isterinya akan dapat ditemukan.”

Di meja sebelah sana masih ada seorang tamu anak muda yang berdandan sebagai pelajar, mukanya putih seperti berpupur. sambil minum sambil membaca. Melihat mukanya yang cakap jika dia berganti pakaian perempuan pasti akan jauh lebih cantik daripada perempuan asli.

Suseng atau pelajar itu tampaknya asyik membaca, tapi kalau diperhatikan, jelas lebih sering dia pasang kuping mendengarkan obrolan yang berlangsung diantara rombongan Ong gendut dimeja sebelah.

Ketika dia mendengar Ong gendut menyebut nama "Soat Koh", tanpa terasa kitab yang dipegangnya jatuh kelantai.

cepat2 kitab itu dijemputnya kembali.

Dalam pada itu terdengar si jangkung yang bernama Ciu Kay sedang berkata: "Tapi aku tetap tidak percaya ada orang yang mahir meniup seruling melebihi Liu Ju-si.”

"Kalau tidak percaya, hayolah ikut ke-alun2 sana dan coba mendengarkan sendiri," ajak Ong gendut dengan tertawa. "Ah, ditempat ramai seperti alun2, kalau kecopetan, nah, baru tahu rasa," ujar Ciu Kay.

"Memangnya kau bawa berapa ratus tahil perak?" tanya Ong gendut dengan tertawa.

"Tidak pergi jauh, untuk apa membawa sangu banyak2.

Tapi kalau lima atau enam tahil selalu tersedia di saku,”

jawab Ciu Kay. "Jika begitu, berani kukatakan, biarpun uangmu itu nanti kecopetan juga tidak sia2 setelah kau dengar lagu yang dibawakan anak muda di-alun2 sana.”

Karena propaganda si gendut yang muluk2, akhirnya teman yang lain jadi tertarik, serentak mereka menyatakan setuju pergi ke-alun2.

Setelah empat orang ini pergi. Suseng yang duduk dimeja sebelah segera membayar dan ikut pergi juga. Diam2 ia berpikir: "Jangan2 nama Soat Koh hanya secara kebetulan saja sama. Tapi ingin juga kudengarkan betapa menariknya lagu yang dibawakan seruling orang itu?”

--oOdwOo-- Ketika rombongan Ong gendut sampai di-alun2, suasana tampak ramai sekali.

Aneka ragam pedagang sudah membuka dasar-an, ada yang menjual alat2 keperluan se-hari2, ada yang menjual pakaian jadi dan cita. tapi lebih banyak lagi tukang obat dan penjaja makanan, di sudut lain berkumpul lagi pemain akrobat, tukang sunglap dan macam2 pertunjukan lain.

Suasana hiruk-pikuk dan ber-jubel2, "Ramai begini dia main seruling, siapa yang mau mendengarkan?" ujar orang she Be tadi.

"Betapa berisiknya juga tak dapat menutupi suara serulingnya yang melengking tinggi dan nyaring itu, kalau tidak percaya, setiba disana kau akan tahu sendiri." kata Ong gendut dengan tertawa.

"Dimana pemain seruling itu?" tanya Ciu Kay dengan napas agak ter-engah2 karena berjalan sekian jauhnya.

"Itu dia. disana, di pojok sana!" kata Ong gendut sambil menuding ke depan. "Hayo cepat. seruling sudah disiapkan, hampir ditiupnya, bila penonton sudah berkerumun tentu sukar lagi mendapat tempat.”

Segera ia mendahului ber-lari2 anjing kesana. Sesudah dekat, Ciu Kay melihat didepan anak muda pemain seruling itu memang betul terletak sebuah lukisan potret seorang perempuan dengan raut muka daun sirih. mata besar menyenangkan. Dibawah potret tertulis dua huruf "Soat Koh", lebih ke bawah lagi adalah judul yang berbunyi: "Mencari isteri", berikutnya adalah beberapa baris huruf kecil yang berbunyi: "Isteriku Soat Koh terpencar sejak bulan lima tahun yang lalu, bilamana khalayak ramai ada yang tahu isteriku seperti tertera pada potret ini diharap sudilah memberitahu agar kami suami-isteri dapat berkumpul kembali. terima kasih".

Hilangnya bulan lima, sekarang juga bulan lima, jadi tepat setahun yang lalu.

Lalu di sampingnya terdapat pula satu baris huruf yang berbunyi: "Pemain hanya ingin berkenalan dengan para penonton dan tidak terima pemberian apapun".

Sementara itu anak muda itu sudah selesai menggosok serulingnya, dia sudah berduduk tegak. jari jemarinya mulai menekan lubang2 serulingnya, dia mencoba dua-tiga suara, lalu mulailah suara serulingnya bergema memecah angkasa.

Saat itu pertunjukan para pemain akrobat dan tukang sulap di sebelah sana juga sedang mencapai klimaksnya.

Suara tambur dan bende bergemuruh diseling suara teriakan dan bentakan yang keras, namun suara apapun juga tidak dapat mengatasi suara seruling yang mengalun merdu itu.

Setiap orang, baik yang berdiri mengelilingi anak muda peniup seruling ini maupun yang sedang menonton sunglap dan akrobat, semuanya mendengar suara seruling yang menggetar kalbu, lama. . .dalam benak mereka hanya berkecamuk suara seruling melulu dan se-akan2 tidak terdengar lagi suara lain.

Suara tambur dan bende masih berbunyi, suara bentakan dan teriakan juga masih bergemuruh, tapi yang didengar telinga penonton2 itu hanya suara seruling saja yang merdu dan lambat-laun mempengaruhi pikiran mereka.

Penonton2 yang tadinya berkerumun disekeliling pemain akrobat dan tukang sunglap itu mulai bergeser kesebelah sini, tempat pemain seruling ini. Ditambah lagi orang yang baru datang juga tertarik oleh suara serulingnya, maka dalam waktu singkat orang yang berkerumun bertambah banyak dan ber-jubel2.

Melihat penontonnya sama bubar, dengan sendirinya pemain akrobat dan tukang sunglap menjadi tidak bersemangat lagi, tapi mereka tidak sirik terhadap si pemain seruling yang menganggu pencarian nafkah mereka, sebab mereka sendiri pun ke sengsem oleh suara seruling yang luar biasa itu, merekapun ikut berkerumun dan mendengarkan. Seketika hati setiap orang sama terpikat dan tiada yang bersuara, semuanya mendengarkan dengan cermat. Berpuluh meter di sekelilingnya yang tadinya ramai dengan orang yang berlalu lalang kinipun menjadi sepi nyenyak seperti kuburan, hanya suara seruling yang masih terus mengalun merdu membubung ke angkasa.

Dengar punya dengar, suara seruling itu mengingatkan Ong gendut kepada isterinya yang baru mati tahun yang lalu, sudah begitu nasib malang lain juga menimpa, dagang rugi, modal habis, teringat semua itu ia menjadi sangat berduka. Sekarang rasa duka itupun timbul mendadak, tak tertahan lagi air matanya berderai.

Li Dong, juga terkenang kepada kematian anaknya yang paling kecil, anak perempuan, seluruhnya dia mempunyai delapan anak lelaki, hanya anak perempuan kecil inilah anak kesayangan. Karena kematian anak itu selama tiga hari dia sembunyi didalam kamar, tidak makan dan tidak minum. Sekarang rasa duka selama tiga hari itu serentak timbul kembali, ia menjadi sedih sekali.

Melihat dua kawannya menangis, Ciu Kay coba memperhatikan apakah temannya yang she Be itupun ikut menangis atau tidak. Tapi sebelum si Be mencucurkan air mata, ia sendiri jadi teringat lebih dulu bulan yang lalu kecurian seribu tahil perak, padahal uang itu merupakan hasil tabungannya untuk hari tua. tapi seluruhnya dikuras si maling. Keruan ia sangat sedih dan mencucurkan air mata.

Orang she Be itu belum kawin, dia mempunyai gundik kesayangan bernama Ho-hoa, si teratai, namun gundik kesayangan itu ternyata tidak tahu diri, malahan bergendakan dengan pemuda lain dan akhirnya minggat bersama. Semula ia bertahan sedapatnya agar tidak mencucurkan air mata, tapi demi teringat kepada gundik kesayangan yang minggat itu, sungguh ia merasa kehilangan muka dan pukulan batin yang hebat. Padahal selain gundik itu selama hidupnya dia tidak pernah mencintai siapapun juga. Ketika bapaknya matipun dia tidak meneteskan air mata, tapi si teratai yang dicintainya justeru kabur bersama orang, kini hidupnya tinggal sebatangkara, maka sedihlah dia dan air matapun berderai.

Begitulah suara seruling yang memilukan itu menimbulkan kesedihan setiap orang yang mendengarnya, kecuali orang gila yang tak berperasaan atau orang tuli yang tidak dapat mendengar, biarpun jago silat kelas tinggi juga pasti akan terpengaruh oleh suara seruling yang sedih ini dan mencucurkan air mata.

Ketika suara seruling itu sampai di suatu bagian, mendadak anak muda itu berhenti meniup dan menyimpan kembali serulingnya.

Siapapun tahu lagu sedih yang dibawakan anak muda itu belum berakhir, tapi tiada seorangpun yang bertanya, sebab mereka belum tenang kembali dari rasa sedihnya, belum kembali dalam keadaan normal.

Anak muda peniup seruling itu lantas berduduk tenang di tempatnya, menunggu kalau2 ada di antara penonton dapat memberitahukan jejak Soat Koh yang dicarinya itu.

Asalkan ada kabar sedikit saja, biarpun di ujung langit juga dia akan mencarinya ke sana.

Tujuannya meniup seruling adalah untuk memancing penonton melihat potret yang dipasangnya, yaitu potret "Soat Koh" yang dicarinya itu, dari salah seorang penonton diharapkan akan didapatkan keterangan jejak "isteri" yang hendak dicarinya.

Pada saat itulah, di balik kerumunan orang yang berjubel2 itu tiba2 berlari datang seorang muda yang berdandan sebagai kacung. Dia tidak sempat mendengar suara seruling tadi, tapi dari penonton yang berkerumun di situ ia mendapat tahu bahwa pemain seruling itu sengaja main musik untuk mencari isteri.

Segera kacung itu mendesak ke tengah kerumunan orang banyak sambil berteriak: "Permisi! Maaf, permisi!”

Dengan susah payah dan terus mendesak saja, akhirnya ia sampai juga di bagian dalam walau pun dengan mandi keringat, ia pandang potret yang terpasang di tanah itu, lalu mendekati anak muda pemain seruling dan bisik2 beberapa kata padanya. Anak muda itu menjadi girang, cepat2 ia kemasi barangnya, ia tarik kacung tadi dan berseru; "Mari pergi!”

Dengan sebelah tangan ia membuka jalan, tidak perlu berdesakan, tapi orang2 yang berkerumun itu lantas tersingkir kesamping, dengan mudah saja ia dapat keluar dari kerubungan orang banyak. Di bawah petunjuk si kacung, anak muda itu masuk ke suatu gang sempit dan mendadak mereka berhenti di depan sebuah rumah.

"Ini, di sini!" kata si kacung dengan tertawa, Pintu gerbang rumah itu bercat hitam dan terbuka, di kedua sisi pintu tergantung lampu kerudung merah yang tidak menyala. Ada papan pintu yang bertuliskan tiga huruf: "Kun-hong-ih.”

Melihat nama "Kun-hong-ih" dan lampu merah itu, si anak muda jadi teringat kepada "Kun-giok-ih". nama2 tempat itu sama artinva, yaitu "rumah perempuan cantik".

Sambil berkerut kening anak muda itu bertanya dengan suara tertahan: "Ini kan rumah pelacuran"!”

"Betul," jawab si kacung dengan tertawa. "Nona kami juga serupa tuan, sama2 menjual seni untuk mempertahankan hidup. Dia tidak serupa pelacur umum.

dia tidak menjual tubuh.”

"Oo, dia juga mahir meniup seruling maksudmu?" tanya si anak muda.

"Ya, nona kami she Liu bernama Ju-si," tutur si kacung dengan tertawa. "Dia mendengar suara serulingmu sangat merdu, maka sengaja mengundangmu.”

"Akan tetapi. . . ." anak muda itu ragu2.

Mendengar suara orang di luar, saat itu juga germo atau muncikari rumah lampu merah itu melongok keluar. lalu berteriak ke dalam: "Ada tamu!”

Si kacung cepat memberi tanda dan berseru: "He, jangan berteriak, bukan tamu biasa!”

Germo itu memandang sekejap pada si anak muda, melihat pakaiannya yang kasar dan sudah rada kumal, jelas bukan tamu yang berkantung padat, segera ia mendengus terhadap si kacung: "Siau Sam, apakah tamu ini samaran pangeran atau cukong gede?”

Si kacung melotot dan menjawab: "Meski bukan cukong gede, tapi nona Liu kami yang sengaja mengundangnya kemari," Sikap menghina muncikari itu segera berubah. ia menegas; "Nona Liu yang mengundangnya?”

Sungguh ia tidak percaya bahwa sang "ratu"' yang biasanya disanjung puji oleh pemuda anak keluarga pembesar dan hartawan dan tetap jual mahal itu sekarang malah sengaja mengundang tamu dari luar. Tampaknya tamu ini memang luar biasa.

Si kacung mengiakan pertanyaan muncikari tadi dengan sikap yang penuh teka-teki.

Si germo jadi ragu2 pula, ia pikir jangan2 anak muda ini adalah keluarga pembesar atau orang penting yang sengaja menyamar, kalau tidak masakah Liu Ju-si menaruh perhatian kepadanya.

Tentu saja ia tidak melewatkan kesempatan untuk menjilat, cepat ia munduk2 dan berkata: "Silakan. silakan masuk, Kongcu!”

Anak muda itu tampak ragu2 sejenak, setelah berpikir, akhirnya ia teguhkan hati dan melangkah masuk ke dalam.

Cepat si kacung berlari ke depan untuk memberi petunjuk jalan.

Luas juga halaman rumah pelacuran ini, halaman dalam adalah lantai batu, kedua sisi terdapat deretan kamar. Dari dalam kamar terdengar suara bersenda gurau laki2 dan perempuan. Terkadang didepan beberapa kamar terdiri perempuan bersolek bicara berlebihan dan main mata terhadap tamu yang masuk.

Namun anak muda itu tidak berpaling juga tidak melirik.

matanya memandang ke depan dan ikut si kacung langsung ke bangunan belakang yang berloteng.

Di ruang bawah itu terbagi menjadi dua ruangan duduk dengan alat perabot yang serba mentereng, dinding penuh berhias lukisan dan tulisan seniman ternama. Dipandang sepintas lalu ruangan ini mirip rumah keluarga hartawan atau pembesar, Setelah berada di dalam ruangan itu, dari samping muncul seorang babu setengah umur yang baru turun dari tangga loteng, dengan tertawa sibabu menegur si kacung: "Siau Sam, apakah sudah datang?”

Si kacung mengangguk.

Segera babu setengah umur itu berkata kepada anak muda tadi: "Silakan Kongcu ikut naik ke atas loteng.”

Cepat ci kacung berpaling dan menjelaskan kepada tamu undangannya: "Nona kami berdiam di atas loteng, silakan naik ke atas.”

Anak muda itu tampak sangsi, katanya: "Dapatkah. . . .”

"Anda khusus diundang oleh nona kami kenapa ragu untuk naik ke atas, apalagi di atas sana suasana akan lebih asyik," ujar si kacung dengan tertawa.

Akhirnya menurut juga anak muda itu, ia naik ke atas loteng dengan si babu sebagai penunjuk jalan.

"Ai, Kongcu sungguh lain daripada yang lain," kata si babu dengan tertawa. "Anda tahu, betapa banyak orang yang ingin naik ke atas loteng dan sampai sekarang belum terkabul cita"nya!”

Anak muda itu tidak menanggapi melainkan ikut saja ke atas. Setiba di atas loteng, seorang pelayan kecil menyongsongnya dan menegur: "Mak Ong, kenapa sembarang tamu kau bawa ke atas?”

"Dia ini tamu yang diundang nona," jawab mak Ong.

"Oo, jika begitu pergilah kau, serahkan dia padaku," kata si pelayan cilik.

Sungguh tak terpikir oleh anak muda itu bahwa seorang pelacur dapat berlagak seperti tuan besar, ber-turut2 berganti beberapa penunjuk jalan baru boleh bertemu.

Dia menyangka pelayan cilik ini adalah pengalang terakhir, siapa tahu setelah membelok kesana dan sampai di depan sebuah kamar tidur, tertampak seorang pelayan lain menyelinap keluar dari kamar dan mendesis dengan jari di depan bibir, tanda agar jangan berisik supaya tidak mengejutkan orang yang sedang tidur.

"Apakah nona sedang tidur?" tanya pelayan cilik yang pertama.

"Nona sakit kepala dan sedang istirahat," jawab si genduk terakhir ini.

"Tamu yang diundang nona sudah datang," tutur pelajan tadi.

Sama sekali genduk cilik itu tidak memandang anak muda yang berada dibelakang kawannya dan lantas berkata: "Suruh dia kembali lagi besok bila sakit kepala nona sudah sembuh.”

Pelayan pertama tadi mengiakan. Belum lagi dia berpaling, tanpa disuruh anak muda itu sudah maju ke sana dan bertanya kepada genduk itu: "Apakah parah sakit kepala nona kalian?”

"Siapa kau?" genduk itu sengaja bertanya.

"Dia inilah tamu yeng diundang nona," si pelayan pertama tadi menyeletuk.

Seperti tidak acuh genduk cilik itu memandang sekejap pada anak muda itu, lalu menjawab dengan ketus: "Parah atau tidak sakit kepala nona, apa maksudmu ?”

Dengan sungguh2 anak muda itu menjawab: "Jika parah sudah tentu tak berani kuganggu, kalau tidak parah, harap disampaikan kepadanya agar dia suka memberitahukan padaku, di manakah dia pernah bertemu dengan perempuan yang bernama Soat Koh.”

"Supaya disampaikan padanya" Maksudmu aku yang tanya kepada nona, kemudian kuberitahukan pula padamu?" si genduk menegas.

"Ya, begitulah, tolong!" kata si anak muda sambil memberi hormat.

Tapi genduk cilik itu menggeleng, katanya: "Tidak aku tidak berani. Bila sakit kepala, nona suka marah2, bisa2 aku nanti kena damperat. Mau tanya boleh kau tanyakan sendiri." Habis berkata ia terus tarik si pelayan pertama tadi dan diajak pergi.

"He. he!" seru anak muda itu dengan suara tertahan.

Genduk tadi menghentikan langkahnya sambil berpaling.

dengan mata mendelik ia berkata: "Huh, kenapa kau ini tidak tahu sopan santun, memangnya namaku 'Hehe'?”

Anak muda itu menyadari kesalahannya, dengan mengulum senyum cepat ia ganti ucapan: "O, maksudku . .

. maksudku adik ini. . . .”

Tapi mendadak genduk itu membentak pula: "Huh, siapa adikmu?”

Si anak muda menjadi serba salah, ucapnya dengan tertawa: "Habis apa yang harus kusebut".....”

Si pelayan cilik tadi menyeletuk; "Cici ini bernama Jun-ban.”

Genduk itu melototi kawannya seperti menyalahkan dia mengapa sembarangan memberitahukan namanya kepada orang. Tapi si anak muda lantas berkata: "Ehm. nama yang bagus, nama yang indah!”

"Huh, indah apa, tidak perlu kau memuji, tidak bakalan kusampaikan pertayaanmu kepada nona kami," demikian kata si genduk.

"Apakah kau takut diomeli?" tanya si anak muda.

"Jika kau tidak takut, boleh masuk sendiri," ujar si genduk yang bernama Jun-ban "Ap . . . .apakah boleh?" anak muda itu menjadi sangsi.

"Nona kan sudah tahu akan kedatanganmu, kenapa tidak boleh?”

"Sudilah kau lapor lagi sekali?" pinta si anak muda.

"Nona sedang istirahat, tidak berani kuganggu dia.”

Tunggu saja sampai Jun-ban dengan tertawa "Ya. terpaksa begitu," si anak muda mengangguk.

"Kau tunggu saja di sini, kami akan pergi," kata Jun-ban pula.

Eh. jangan pergi!" seru anak muda itu. "Kalau nona kalian bangun kan perlu dilayani kalian.”

"Ada kau yang melayani dia, kami tidak perlu lagi." Jun-ban tertawa ter-kikik2.

Muka anak muda itu menjadi merah dan terjengah: "Wah, aku. . . .”

"Kenapa jengah" Jangan berpikir yang bukan2," Kata Jun-ban. "Justeru sengaja kuberi kesempatan padamu untuk melayani nona. umpamanya kalau nona sudah bangun, tuangkan secangkir teh. bilamana hatinya senang, dengan cepat tentu akan dia mengatakan apa yang kau ingin tahu.”

Anak muda itu pikir betul juga ucapan genduk nakal itu.

Maka ia lantas berjaga di depan pintu setelah Jun-ban berdua pergi, dengan cermat ia dengarkan setiap suara didalam kamar. Tapi sejak pagi tunggu sampai sore, perut sudah kelaparan, namun didalam kamar tetap tiada sedikit suarapun, se-olah2 didalam kamar hakikatnya tiada penghuninya. Namun si anak muda yakin di dalam kamar pasti ada orangnya, sebab dia dapat mendengar suara orang bernapas waktu tidur didalam kamar bahkan pernapasannya merata, itulah tandanya orang sedang tidur nyenyak.

Lantaran dia mengharapkan keterangan orang maka ia ingin mematuhi pesan jun-ban tadi, akan dilayani sebaiknya si nona yang dimaksudkan agar selekasnya dapat menemukan Soat Koh yang dicarinya itu.

Sudah hampir setahun ia mencari, baru sekarang ada sedikit petunjuk yang menyenangkan kesempatan ini tidak boleh di-sia2kan, bahkan harus selekasnya diketahui dengan jelas dan pasti, sehari pun tidak boleh terlambat lagi. Sebab satu hari terlambat menemukan Soat Koh berarti pula satu hari terlambat menuntut balas. Padahal selama setahun ini api balas dendam benar2 telah membakar hatinya dan semakin berkobar, mana boleh ditunda lagi sekarang”

Tiba2 didengarnya di dalam kamar ada orang berkeluh pelahan. . . .Anak muda itu bergirang. ia tahu itulah suara orang sakit yang baru bangun.

Didalam hati ia berseru: "Hayolah lekas minta teh.

begitu kau berseru segera kumasuk dan menuangkan teh bagimu." Tapi yang terdengar hanya keluhan2 lagi beberapa kali.

Syukur akhirnya didengarnya suara seorang perempuan berseru: "Jun-ban! . .Jun-ban! . . .Tuangkan teh bagiku!”

Langsung saja anak muda itu mendorong pintu dan masuk ke dalam. Yang per-tama2 dilihatnya adalah sebuah ranjang tembaga kuning yang indah dengan kelambu tipis yang digulung ke atas, orang yang berbaring ditempat tidur itu muka menghadap kesana dengan selimut merah tipis menutupi tubuhnya. hanya kelihatan rambutnya yang terurai dibantal. mukanya juga tidak kelihatan.

Akan tetapi didinding belakaag ranjang itu ada sebuah cermin tembaga yang mengkilat sehingga wajahnya terpantul dengan jelas.

Sedemikian menarik wajah itu, sungguh sangat cantik, cuma sayang hanya wajah saja yang terlihat sehingga tidak dapat mencerminkan kulit badannya yang putih halus dan menggiurkan itu.

Anak muda itu sudah banyak melihat wanita cantik didunia ini, maka dia tidak sampai terkesima, ia cuma merasa sayang perempuan secantik ini juga terjerumus ke pecomberan di tempat begini.

Di sebelah sana, dekat tempat tidur dan jendela ada sebuah meja, di sebelahnya ada pula sebuah almari berkaca.

Diatas meja itu ada poci dan cangkir teh.

Anak muda itu terus mendekati meja dan menuangkan setengah cangkir teh. Dengan membawa cangkir itulah dia mendekati tempat tidur. Ia ragu" sejenak, sebab ia tidak tahu cara bagaimana harus meladeni orang yang ingin minum, apakah mesti memayangnya bangun dan memanggilnya agar minum sendiri”

Didengarnya perempuan ditempat tidur itu lagi berkata pula dengan ter-putus2: "Jun-ban . . .mana. . . .mana tehnya, bangunkan aku. . . ." Dari suaranya yang berkeluh kesah itu agaknya kepalanya memang lagi sakit dan mungkin tidak sanggup untuk minum sendiri. Maka anak muda itu bermaksud memayangnya bangun, ia pikir sebaiknya menyapanya dulu, kalau orang tidak menolak barulah akan dikerjakannya.

Dengan suara pelahan ia lantas memanggil: "No. .

.nona!" Tapi perempuan itu tidak menggubrisaya, mungkin haus dan kepalanya terlalu sakit, dia tetap berkeluh saja: "Teh. .

.teh. . .mana tehnya. . . ." "mungkin juga pikirannya tidak jernih sehingga tidak tahu orang yang menegurnya itu bukan pelayannva melainkan suara seorang lelaki.

Anak muda itu pikir bila orang sudah minum mungkin pikirannya akan sadar, kalau tidak sadar, cara bagaimana bisa dimintai keterangan”

Karena itu. ia tidak menghiraukan perbuatannya sopan atau tidak. segera ia duduk ditepi ranjang dan merangkul perempuan untuk dibangunkan, sedang cangkir teh ditangan lain lantas disodorkan kebibirnya.

Dalam keadaan muka beradu muka, wajah perempuan itu dapat terlihat dengan jelas. Matanya terpejam tapi dapat dipastikan besar dan indah, alisnya lentik seperti dilukis, mukanya jelas sangat cantik. apalagi kulitnya yang putih halus, biarpun lelaki berhati baja juga akan goyah.

Yang luar biasanya adalah bau harum tubuhnya. dari kejauhan tak diketahui darimana timbulnya bau harum, setelah anak muda itu merangkul tubuhnya barulah diketahui bau harum di ruang kamar timbul dari badan perempuan ini. Bau harum semerbak itu mau-tak-mau terus terendus hidung anak muda itu, ditambah lagi apa yang dipandangnya dan tubuh lunak dalam rangkulannya, sembari memberi minum orang, hati anak muda itu berguncang hebat dan mukapun merah panas.

Perempuan itu, Liu Ju-si, minum teh dengan mata tetap terpejam, entah dia sengaja tidak mau membuka mata atau memang kepala sakit sehingga sukar melek. pendek kata, sampai saat ini dia seperti belum mengetahui orang yang memberi minum itu bukanlah Jun-ban.

Mungkin dia lantas terpulas lagi, sebab mendadak sebelah pahanya terjulur keluar dari selimutnya. Tentu saja paha yang mulus itu terlihat juga oleh anak muda itu.

Itulah paha yang padat, halus dan licin, jangankan anak muda yang belum pernah melihat paha perempuan, sekalipun pemuda bangor yang setiap hari terbenam di rumah pelesiran juga pasti akan tertarik oleh paha yang mulus ini. Sampai melotot mata anak muda itu, ber-ulang2 ia menelan air liur, kerongkongan serasa kering. badan terasa panas, jantung berdetak lebih keras.

Lebih hebat lagi ketika mendadak, entah sejak kapan, tahu2 selimut yang menutupi badan Liu Ju-si juga merosot kesamping, sehingga ketika memandang keatas pahanya, seketika badan si anak muda seperti kena aliran listrik, sekujur badan tergetar dan tanpa terasa cangkir yang dipegangnya jatuh ketempat tidur.

Apa yang dilihatnya ternyata tubuh Liu Ju-si yang telanjang bulat. Rupanya perempuan ini tidur dengan membuka semua pakaiannya tanpa sehelai benang pun.

Keruan anak muda itu ternganga, mana dia pernah meiihat perbukitan yang subur dengan alang2 lebat serta gua rahasia yang tersembunyi.

Dia benar2 melongo oleh pemandangan yang luar biasa, ia sampai lupa daratan entah dirinya masih berada didunia ramai ini atau sudah berada di surga”

Se-konyong2 Lui Ju-si membuka matanya sedikit, melihat anak muda itu dalam keadaan kesima dan tidak melakukan sesuatu tindak lanjutan, diam2 ia merasa gegetun. Mendadak ia menggreget, sesuai rencana semula. Liu Jusi terus berbangkit, anak muda itu lantas dirangkulnya, tubuhnya yang licin seperti ular itu terus menggelondot dalam pangkuan anak muda itu.

"Bukalah pakaianmu dan hayolah!" bisiknya sambil membuka kancing baju anak muda itu.

Mendingan kalau dia tidak bicara, begitu mendengar suaranya, benak anak muda yang lupa daratan itu mendadak seperti kena dikemplang, seketika ia terkejut: "Ah, ia sudah mendusin, dia mengetahui aku telah mengintip badannya! Ai, kenapa aku tidak dapat mengekang perasaan sendiri?”

Pikiran itu berkelebat dalam benak anak muda itu ia merasa malu dan menyesal, cepat ia mendorong tubuh Liu Ju-si, tak terpikir olehnya apa tujuan perempuan itu mendadak memeluknya, dia malah menyesali dirinya sendiri yang tergolong ahli Lwekang tingkat tinggi, tak dapat menguasai berkobarnya napsu berahi.

Segera ia berdiri, tanpa bersuara ia melangkah keluar.

"He, jangan pergi!" seru Liu Ju-si.

"Aku takkan pergi," jawab anak muda itu sambil berdiri ditepi pintu.

"Masuklah kemari!" seru Lui Ju-si pula.

"Sesudah kau berpakaian dengan sendirinya aku akan masuk kesitu untuk minta keterangan padamu," jawab si anak muda.

Buru2 Liu Ju-si mengenakan pakaiannya, sungguh ia tidak paham, mengapa ucapannya tadi malah membikin anak muda itu ketakutan dan kabur keluar kamar.

Seyogyanya. dengan rayuannya tadi seharusnya mirip api disiram minyak sehingga makin membakar napsu berahinya. Memang. bagi seorang yang beriman lemah, satu kalimat kata yang "panas" pasti akan membakar dan meleburnya.

Tapi bagi anak muda itu, bukan saja tidak dapat lebih menjerumuskan dia, sebaliknya malah menyadarkan pikirannya, menyadarkan dosanya.

Suka kepada kecantikan, suka pada keindahan adalah pembawaan setiap manusia. Kecantikan Liu Ju-si dapat mengguncangkan hati anak muda itu. keindahan tubuh Liu Ju-si dapat menimbulkan rangsangan yang belum pernah dirasakannya selama ini. Rasa heran dan ingin tahu membuat pandangannya melekat pada apa yang dilihatnya dan merangsang napsu berahinya, kalau keadaan ini didiamkan saja, bisa jadi seluruh akal sehatnya akan tenggelam dan runtuh sehingga tak terkendalikan.

Tapi bilamana terjadi sesuatu perubahan dari luar yang memecahkan ketenangan itu, misalnya suara yang datangnya mendadak, begitu syarafnya tergetar dan merasakan kesalahannya, seketika dia akan dapat menguasai lagi perasaannya dengan Lwekangnya yang tinggi dan kuat. lalu tanpa pikir lagi akan ditinggal pergi.

Waktu Liu Ju-si berduduk tadi, gerakannya itu telah memecahkan "ketenangan" dan menyadarkan anak muda itu dari lamunannya, ditambah lagi kata2 rayuan yang semakin mengganggu seluruh ketenangannya, maka anak muda itu lantas sadar seluruhnya.

Liu Ju-si lantas mengenakan pakaiannya, lalu memanggil dengan suara halus: "Sekarang masuklah kemari!”

Begitu anak muda itu muncul. seketika Liu Ju-si menunduk malah, ia tidak berani menatap anak muda yang baru saja telah melihat seluruh rahasia tubuhnya itu.

Dengan malu2 ia berkata: "Janganlah kau marah bahwa aku sengaja hendak merayu kau.”

Anak muda itu rada melengak, segera ia bertanya: "Sebab apa kau berbuat begitu?”

"Aku ingin menyerahkan tubuhku padamu agar. . . .agar.

. ." Karena tidak tahu apa maksud tujuan orang, anak muda itu menegas: "Agar apa?”

"Agar kau mau mengajarkan kepandaian meniup serulingmu yang hebat itu?”

"Kau sendiri kan juga mahir main seruling?”

"Tapi terlalu jauh kalau dibandingkan kepandaianmu yang dapat memikat pendengarnya hingga mengikuti kemanapun kau pergi.”

Anak muda itu menjadi heran, tanyanya; "Dari mana kau tahu ada pendengar yang terpikat dan mengikuti diriku?" Liu Ju-si tidak lantas menjawab, setelah merancang baik2 jawabannya barulah dia berkata: "Kudengar dari seorang tamuku yang pernah terpikat oleh suara serulingmu.”

"Oo" Tapi demi ingin belajar main seruling kau rela menyerahkan tubuhmu, apakah tidak terlalu besar pengorbananmu ini?" ucap anak muda itu.

Sejak tadi Liu Ju-si tidak berani bicara dengan menatap muka, baru sekarang pelahan ia mengangkat kepalanya dan memandangnya sekejap, menunduk pula dan berkata: "Jika begitu, dapatkah sekarang kau ajarkan permainan serulingmu padaku?”

Anak muda itu diam saja. Segera Liu Ju-si mendesak: "Jika kau menolak aku pun tidak mau memberitahukan urusan yang kau ingin tahu.”

"Bila begitu, aku mohon diri," segera anak muda itu berbangkit.

Sama sekali Liu Ju-si tidak menyangka orang itu wataknya, cepat ia berseru: "Nanti dulu Soat-kongcu.”

Anak muda itu berhenti dan menjawab: "Aku tidak she Soat, tapi she Sau.”

"Kau tidak mau mengaku she Soat, apakah kau pun tidak mau mengaku bernama Peng-say?" tanya Liu Ju-si.

Seketika Peng-say membalik tubuh, dengan emosi ia bertanya dengan suara keras: "Dari mana nona tahu aku bernama Soat Peng-say?”

"Soat Koh yang bilang," jawab Liu Ju-si dengan tertawa.

"Tidak mungkin Soat Koh tahu, dia cuma tahu aku bernama si Tolol," kata Peng-say.

"Betul, dia hanya tahu kau bernama si Tolol, tapi apakah kau lupa pernah menusuknya dengan pedangmu di Ciau-jiu-wan dahulu?”

"Apakah kau bersahabat baik dengan Soat Koh?" tanya Peng-say dengan penuh penyesalan.

"Kalau bukan sahabat baik, mana bisa dia memperlihatkan pedangmu yang kau gunakan melukai bahu kanannya itu" Bukankah di garang pedang itu terukir namamu yang asli?”

"Pedang itu masih. . . .masih disimpannya?" tanya Peng-say dengan suara gemetar.

"Sudah tentu senjata itu disimpannya baik2. Dia sedang menunggu, pada suatu hari iapun akan balas menusuk bahu kirimu dengan pedang yang tak berperasaan itu.”

"Di. . . .dimana dia sekarang?”

"Bila kuberitahukan padamu, apakah kau berani menemui dia?" tanya Liu Ju-si dengan tertawa.

"Kujelajahi dunia ini, tujuanku justeru hendak mencari dia," jawab Peng-say.

"Kau tidak takut akan dibalas tusuk satu kali?”

"Aku melukai dia, memang pantas kalau dia tusuk diriku." "Ehm. boleh juga kau. Cuma sayang, biarpun tidak takut, tidak boleh kuberitahukan padamu secara percuma.”

"Apakah kau minta kuajarkan permainan seruling padamu?" tanya Peng-say.

Padahal tujuan Liu Ju-si hanya ingin tahu tujuan Pengsay yang sesungguhnya, hal belajar seruling hanya sebagai alasan belaka. Tapi dia berlagak seperti sekarang memang begitulah tujuannya dan mengiakan.

Terpaksa Peng-say menghela napas dan berkata; "Baiklah, akan kuajarkan kau.”

Diluar dugaan, setelah Peng-say menyanggupi Liu Ju-si berbalik menggeleng kepala dan berkata pula dengan tertawa: "Jika ada tekad seperti sekarang, kenapa dahulu mesti berpisah dengan dia?”

"Dialah yang meninggalkan diriku," kata Peng-say dengan menyesal.

"Jika pedangmu tidak menusuk bahunya dan melukai hatinya, apakah dia dapat meninggalkan dirimu" Apakah kau tidak tahu ada maksudnya akan berkumpul selama hidup dengan kau?”

"Urusan yang sudah lalu hendaklah jangan dibicarakan lagi," kata Peng-say dengan menghela napas. "Nona Liu, aku berjanji akan mengajarkan keahlian main seruling padamu, tapi tidak dapat kuajarkan sekarang juga. Hal ini harus kau setujui. kalau tidak akupun batal minta pertolonganmu.”

"Mengapa tidak dapat mengajarkan sekarang juga?”

tanya Liu Ju-si.

"Sebab kau tidak memiliki dasar Lwekang yang kuat, untuk belajar lagu serulingku ini diperlukan orang yang mempunyai dasar Lwekang selama berpuluh tahun.

Padahal aku menanggung sakit hati orang tua dan harus kutuntut balas, tugasku ini tidak boleh tertunda sekian tahun hanya karena harus mengajarkan main seruling padamu." "O, lantaran itulah, maka tadi kau hendak pergi begitu saja tanpa tanya dimana beradanya Soat Koh?”

"Jika sekarang kau tetap tidak setuju. terpaksa akupun mohon diri lagi.”

"Bilakah sakit hatimu dapat kau balas?”

"Entah, sukar dipastikan.”

"Bila selama hidupmu tak dapat menuntut balas, lalu bagaimana?”

"Selama hidup pula tidak sempat kuajarkan main seruling padamu.”

"Dan kalau kau mati sebelum berhasil membalas dendam?" Peng-say menjadi kurang senang, katanya: "Terlalu banyak nona memikirkan berbagai kemungkinan itu, lebih baik batalkan saja persetujuan kita.”

"Ah, janganlah berjiwa terlalu sempit, aku takkan terlalu mempersulit kau." kata Liu Ju-si dengan tertawa.

"Jika demikian, mohon diberitahu dimana beradanya Soat Koh." pinta Peng-say dengan hormat.

"Semoga kau dapat membalas dendam dengan cepat, tapi janganlah melupakan janjimu akan mengajarkan main seruling padaku.”

"Janji seorang lelaki sejati tidak nanti diingkari. Asalkan kau beritahukan dimana beradanya Soat Koh dan dapat kuketemukan dia, jangankan beberapa tahun atau sepuluh tahan, sampai ubanan juga akan kuajarkan kau seperti janjiku." Diam2 Liu Ju-si merasa senang. ia menegas pula: "Betulkah akan kau ajarkan sampai ubanan?”

"Nona adalah orang cerdas, tentu tidak perlu belajar sampai ubanan. Numpang tanya. sesungguhnya dimanakah Soat Koh berada?”

"Jangan buru2 tanya dia dulu, kujamin hari ini juga dapat kau temukan dia." ucap Liu Ju-si dengan tertawa.

"Nona ada urusan apalagi?" tanya Peng-say.

"Ingin kutanya dulu, apakah Soat Koh sudah menikah dengan kau?”

Peng-say tidak tahu apa artinya pertanyaan ini, dia menjawab: "Belum!”

"Jika begitu, mana boleh kau cari dia dengan menggunakan semboyan 'jual seni cari isteri'?”

"Hendaklah jangan kau tertawakan, kugunakan semboyan itu ada dua maksud tujuan.”

"Dua maksud tujuan?" Liu Ju-si menegas.

"Pertama, agar mendapatkan simpatik khalayak ramai, mungkin ada yang tahu dan kasihan padaku, lalu memberitahukan jejak Soat Koh.”

"Kau memperalat simpatik orang yang ingin membantu kau dengan setulus hati, meski caramu ini cukup baik, tapi bukankah caramu inipun sama dengan menipu orang yang bermaksud baik hendak membantu kau" Selain itu, Soat Koh masih perawan suci, apakah kau tidak kuatir menodai nama baiknya atau membikin marah padanya?”

"Demi menemukan dia, aku tidak sayang menipu orang yang ingin membantuku dan juga tidak peduli apakah akan menodai nama Soat Koh atau tidak. Bila dia marah akan lebih baik lagi. semboyan jual seni mencari isteri yang kupakai itu justeru ingin kupancing dia marah.”

"Ah, tahulah aku, tanpa istilah mencari isteri kau kuatir takkan menimbulkan perhatian Soat Koh, begitu bukan?”

Peng-say mengangguk, kutanya: "Ya, bila dia dengar dirinya telah berubah menjadi isteri orang, mau-tak-mau dia pasti akan menaruh perhatian. Dalam gusarnya, tentu dia akan mencari diriku.”

"Tapi apakah kau tahu di dalam hal ini ada suatu kekurangan?”

"Oo. mohon petunjuk," kata Peng-say "Kau kira Soat Koh akan marah, ini hanya jalan pikiranmu sendiri, bila dia berjiwa besar, tidak menghiraukan ulahmu itu atau dia pikir nama orang banyak yang sama, bisa jadi yang dicari bukan dia. Lalu apakah tidak sia2 belaka akalmu itu" Cuma, akhirnya dapat juga kau temukan petunjuk melalui perantaraanku, tidaklah sia2 jerih payahmu.”

"Entah cara bagaimana nona mendapat tahu aku menjuai seni di-alun2 sana?”

"Coba kau terka?”

"Nona senantiasa berdiam di rumah, dengan sendirinya tidak sembarangan pergi ke tempat begitu, mungkin nona cuma mendengar ceritera orang lain.”

"Bukan," kata Liu Ju-si sambil menggeleng.

"Habis dari mana nona mengetahuinya?”

"Soal ini jangan dibicarakan sekarang, boleh?”

"Nona tidak suka menjelaskan, dengan sendirinya tak dapat kupaksa. Apakah nona masih ada pertanyaan lain?”

"Ada, suatu pertanyaan lagi, pertanyaan terakhir. yakni, apa maksud tujuanmu dengan berbagai cara dan jalan kau cari Soat Koh?”

"Bolehkah tak kujawab pertanyaan ini?”

"Tidak kau jawab berarti selamanya kau takkan menemukan Soat Koh.”

"Maksudmu, bila tidak kujelaskan tujuanku mencari dia, maka iapun tidak mau menemui aku?”

"Ya, begitulah," kata Liu Ju-si.

"Jika demikian, jadi Soat Koh sudah tahu aku sedang mencari dia?”

"Sebabnya kutahu kau jual seni di-alun2 justeru dia yang memberitahukannya padaku. Dia yang minta kuundang kau kesini, tapi harus kau katakan dahulu tujuanmu mencari dia barulah dia mau bertemu dengan kau.”

Peng-say menghela napas, katanya: "Jika demikian harap sampaikan kepadanya bahwa ada urusan sangat penting kucari dia, kumohon dia sudi memberi kesempatan untuk bertemu." "Urusan penting apa"' tanya Liu Ju-si.

"Bila berhadapan tentu akan kujelaskan.”

"Apakah sekarang tidak dapat kau katakan?”

Tergerak hati Peng-say, ia sengaja perkeras suaranya dan berkata: "Guru Soat Koh, Soat Ciau hoa, sesungguhnya adalah bibiku, adik ibuku. Maka kumohon dia suka membawaku menjumpai gurunya. bibiku.”

"Apa tujuanmu menemui gurunya?”

"Aku belum pernah kenal bibi, sangat ingin kutemui beliau untuk bercengkerama antara anak keluarga sendiri.”

"Kukira tidak cuma ini saja tujuanmu?”

"Melulu ini saja apakah belum cukup?”

"Belum," jawab Liu Ju-si.

"Ibuku sudah meninggal, berita duka ini harus kuberitahukan kepada bibi.”

"Hanya urusan ini kau cari Soat Koh menjelajah dunia ini, kukira tidak benar seluruhnya.”

Peng-say mencucurkan air mata dan berkata pula: "Ayahku terbunuh, aku tidak mampu menuntut balas, maka ingin kumohon bantuan bibi.”

"Akan kau mohon dia membantu dengan cara bagaimana?" tanya Liu Ju-si.

"Agar mengajarkan semacam ilmu pedang sakti padaku.”

"Bila bibimu tidak mau mengajarkan padamu?”

"Akan kumohon hingga mati.”

"Selain itu apakah tiada jalan lain untuk menuntut balas?" "Ya, tidak ada," jawab Peng-say.

"Sakit hati ayahmu memang harus dibalas, jelaslah sekarang sebabnya kau cari Soat Koh dengan susah payah dan bukan cuma pura2 belaka," kata Liu Ju-si.

"Maka kumohon sudilah engkau menyampaikan padanya, semoga dia kasihan pada tekadku akan menuntut balas bagi sakit hati ayahku dan sukalah dia membawaku menemui bibi.”

Liu Ju-si berdiam agak lama, ucapnya kemudian sambil menggeleng: "Dia tidak percaya kepada penuturanmu, biar kusampaikan juga percuma.”

Peng-say dapat menduga Soat Koh pasti berada di sekitar situ, apa yang dikatakan Liu Ju-si pasti tidak dusta, sebagai orang perantara ia hanya disuruh membuktikan kesungguhan hatinya mencari Soat Koh, tapi setelah ditunggu dan ternyata Soat Koh tidak memberi reaksi apa2, jelas nona itu tetap tidak mau bertemu dengan dirinya.

sebab itulah Liu Ju-si menyatakan tiada gunanya menyampaikan permintaan Peng-say itu.

Namun. Peng-say juga tidak membongkar soal Soat Koh bersembunyi disitu, dengan menyesal ia berkata pula: "Nona Liu, tentunya kau tahu sebab apakah dia tidak mau menemui diriku" Lalu harus bagaimana barulah akan berhasil tujuanku ini?”

"Dia pernah berkata padaku bahwa tujuanmu mencari dia pasti ada sangkut-pautnya dengan adik misanmu yang bernama Cin Yak-leng. entah betul tidak hal ini?”

"Cin Yak-leng sudah mati," tutur Peng-say.

"Mati" Cara bagaimana matinya?”

"Seorang jahat bernama Ciamtay Cu-ih telah membunuhnya!" kata Peng-say dengan penuh dendam.

Kamar tidur Liu Ju-si itu ada sebuah pintu tembus kekamar sebelah. Pada saat itulah tiba2 terdengar suara orang mendengus di kamar sebelah ituSeketika Peng-say tahu Soat Koh bersembunyi disitu, suara dengusan itu ia masih dapat dikenalnya sebagai suara Soat Koh.

Tapi kalau nona itu tidak mau keluar. bila Peng-say masuk kesana dan nona itu lantas lari, kan urusan bisa tambah runyam malah. Maka Peng-say berusaha agar Soat Koh mau keluar dengan sendirinya, ia pura2 tidak mendengar suara dengusan itu. ia berkata pula: "Ilmu silat Ciamtay Cu-ih jauh di atasku untuk membalas dendam Piaumoayku itu, satu2nya jalan juga harus mencari bibi agar beliau suka mengajarkan ilmu pedangnya padaku.”

"Keterus-teranganmu ini, bila kusampaikan padanya, kukira Soat Koh pasti takkan menolak lagi."“

"Ya. semoga demikian hendaknya," kata Peng-say.

Tapi setelah sekian lama masih tiada suara apa2. Pengsay lantas memecahkan kesunyian itu, tanyanya: "Nona Liu. Soat Koh tetap tidak mau menemui diriku, menurut kau, apa sebabnya?”

"Kukira mungkin ia masih dendam pada kejadian yang dulu," jawab Liu Ju-si.

"Maksudmu. perihal kulukai dia itu?”

"Ya, biarpun dia balas menusuk kau satu kali kukira rasa dendamnya tetap tak terhapus, maka lebih baik dia tidak bertemu dengan kau agar kau pun tidak dapat membalas sakit hati segala. Pembalasan secara keji ini bukankah jauh lebih menyakitkan daripada dibalas menusuk kau dengan pedang?" Di balik ucapan Liu Ju-si itu nyata iapun rada menyesali ketegaan hati Soat Koh yang tetap tidak mau keluar.

Peng-say menghela napas, tiba2 ia mengeluarkan seruling kemalanya.

"Kau mau main seruling?" tanya Liu Ju-si.

"Ya," jawab Peng-say. "Suara seruling dapat menyatakan rasa penyesalanku, hendaklah kau jangan pergi, dengarkan dulu satu laguku.”

Liu Ju-si tahu ucapan Peng-say itu ditujukan kepada Soat Koh, tapi dengan tertawa ia menjawab: "Mana aku mau pergi" Dapat menyaksikan kepandaianmu yang hebat ini, biarpun diusir juga aku tidak mau pergi.”

"Cuma sayang Soat Koh tidak berada disini," kata Peng-say.

"Jika dia di sini kuyakin iapun takkan pergi.”

"Dari mana kau tahu?”

"Ya, sebab sedikitnya dia harus mendengarkan isi hatimu apakah benar2 merasa menyesal.”

Peng-say tidak bersuara lagi, ia bersimpuh dilantai, lalu mulai meniup lagu "Siau-go-yan-he" yang sedih memilukan itu, suara seruling yang rawan berkumandang kesetiap pelosok rumah pelacuran "Kun-hong-ih" itu.

Lagu "Siau-go-yan-he" itu terbagi dalam empat bagian, arti lagu menceritakan kehidupan yang sengsara, sebatangkara, kelaparan dan kedinginan.

Belum lagu itu sampai pada bagian yang kedua, setiap penghuni rumah WTS itu sama mencucurkan air mata.

Liu Ju-si jadi berduka juga akan nasibnya sendiri, iapun mendekap mukanya dan menangis tersedu-sedan, diam2 iapun mengakui lagu sedih ini sukar dibandingi oleh lagu yang sering dibawakan dengan serulingnya, boleh dikatakan bedanya seperti langit dan bumi.

Selama setahun ini Peng-say menjual seni disepanjang perjalanannya, paling2 dia hanya meniup lagunya sampai bagian kedua dan tidak pernah disambung lagi. Tapi sekarang sekaligus ia teruskan bagian ketiga dan keempat, tampaknya ia ingin merampungkan seluruh lagu Siau-goyan-he itu.

Padahal ia menyadari bilamana seluruh lagu Siau-goyann-he itu dihabiskan. maka akibatnya akan sangat merugikan kesehatannya sendiri, tapi demi mengharukan hati Soat Koh agar mau keluar menemuinya, segala akibat pun tak dipikir lagi.

Lagu "Siau-go-yan-he" hanya satu kali pernah dibawakan seluruhnya oleh Peng-say ketika berlatih semadi menurut gambar yang tercantum dalam buku not seruling itu. Waktu itu dia belum tahu kelihayan lagu itu sehingga dia hampir tumpah darah, maka untuk selanjutnya ia menjadi kapok dan tidak berani meniupnya lagi. Sedangkan dalam usahanya "menjual seni mencari isteri" ini paling2 dia hanya meniup bagian pertama saja untuk menarik perhatian penonton dan tidak lebih dari itu.

Lagu bagian pertama itu nadanya juga menyedihkan, tapi tidak memedihkan, biarpun diulang sepuluh atau seratus kali juga tidak beralangan. Tapi bagian lanjutan lagu itu justeru sangat memilukan dan memedihkan, bilamana nadanya sudah memuncak, maka rasanya seperti di-sayat2 dan akibatnya pasti tumpah darah.

Kini bagian ketiga dan keempat lagu itu ber-turut2 disuarakan oleh Peng-say, tentu saja banyak di antara pendengarnya tidak tahan, ada beberapa tamu yang lagi pelesir dirumah pelacuran itu tidak dapat menguasai diri lagi dan menangis ter-gerung2. Sekalipun ada yang tidak menangis keras, paling tidak rasa pedihnya juga sukar ditahan. Begitu memilukan lagu itu sehingga pendengarnya rasanya sudah putus asa dan ingin menumbukkan kepalanya agar mati dan tamatlah segalanya daripada hidup nelangsa di dunia ini.

Ditengah rasa dukanya, diam2 Liu Ju-si merasa heran: "Meski bagian belakang lagu ini sangat mengharukan orang, tapi tidak selembut dan merdu seperti bagian depan, ditengah lagu ini seperti ada sesuatu kekurangan yang tidak lengkap.”

Rupanya Liu Ju-si paham seni suara. pandangannya lebih tinggi daripada orang biasa, ia pikir suara seruling ini terlalu bersahaja dan terpencil, rasanya harus dipadu dengan suara alat musik yang lain. Lebih jauh didengarnya suara seruling itu se-olah2 orang yang lagi berkeluh-kesah dan menyatakan rasa rindu antara suami-istri yang sudah lama berpisah. Diam2 Liu Ju-si sangat terharu, pikirnya: "Sungguh luar biasa kepandaian meniup seruling orang ini, Soat Koh pasti akan terharu olehnya.”

Di kamar sebelah itu memang sedang berduduk seorang Suseng cakap, dia adalah samaran Soat Koh.

Sejak dia dilukai Peng-say di semenanjung Cian-ciu dan berlari pergi dengan luka lahir-batin, selama itu iapun tidak pernah melupakan "si Tolol", meski dia menyadari pemuda yang berhati keji itu tidak menaksir dirinya, bahkan adalah murid musuh sang guru, tapi bila terbayang kepada wajah dan suara si Tolol, betapapun kenangan itu tak dapat dihapus dari lubuk hatinya.

Akan tetapi dirinya adalah seorang perempuan. kalau pemuda itu datang mencarinya masih dapat didamaikan kembali serta melupakan sakit hati tusukan pedang itu, sebaliknya dirinya tidaklah mungkin pergi mencari anak muda itu tanpa kenal malu.

Waktu dia tinggal pergi dengan membawa keretanya yang berwarna kuning emas itu, dia tidak terus pergi jauh melainkan bersembunyi didalam kota Ciau-ciu, ia masih menaruh harapan kalau2 "si Tolol" akan mencarinya.

Siapa tahu beberapa hari sudah lalu dan "si Tolol" tetap tidak nampak mencarinya, ia pikir mungkin anak muda itu sudah pergi bersama "Adik Leng" yang dicintainya itu dan dirinya sudah dilupakan.

Ia menjadi menyesal dirinya telah bantu "si tolol”

membunuh Ciamtay Boh-ko, setelah mereka berkumpul, dirinya lantas kehilangan "sahabat", bahkan ditusuk pula oleh pemuda yang berhati keji itu.

Makin dipikir makin gemas dia, pernah dia mengambil keputusan akan balas menusuk pemuda keji itu, bilamana lukanya sudah sembuh segera dia akan pergi mencarinya untuk menuntut balas.

Tapi sesudah lukanya sembuh lantas terpikir olehnya: "Kalau sudah menuntut balas, lalu mau apa" Apakah setelah balas menusuknya sekali lalu hatiku akan merasa senang?" Apalagi lantas teringat olehnya anak muda itupun pernah menolongnya. Bahwa dirinya sampai dilukai anak muda itu adalah karena rasa cemburunya yang kalap, sehingga anak muda itu terpaksa bertindak demikian.

Pelahan2 rasionya memberitahukan bahwa sesungguhnya dia tidak beralasan untuk menuntut balas kepada "si Tolol".

Begitulah, setelah berlapang dada, ia tidak jadi menutut balas kepada "si Tolol", ia terus meninggalkan Ciau-siu-wan dan melanjutkan pekerjaannya sebagai "bandit sosial".

Belum lama berselang ia datang ke Seng-toh sini, di ibukota propinsi Sujwan dia mulai mencari sasaran yang sekiranya dapat dikuras kekayaannya untuk kemudian diberikan kepada rakyat miskin.

Tak terduga, di rumah minum itulah kebetulan dia dapat mendengarkan percakapan Ong gendut berempat tentang pemain seruling yang "menjual seni untuk mencari isteri”

itu. Karena ingin tahu. pula iapun hendak melihat bagaimana orang yang suara serulingnya bisa melebihi seruling Liu Ju-si sebagaimana dikatakan Ong gendut itu.

sebab ia sendiripun pernah mendengar permainan seruling Liu Ju-si, ia tidak percaya ada orang lebih mahir daripadanya. Maka diam2 iapun membuntuti rombongan Ong gendut menuju ke-alun2.

Sama sekali tak disangkanya bahwa orang yang "menjual seni mencari istri" itu, "istri" yang hendak dicarinya ialah dirinya. Jelas orang yang sedang meniup seruling adalah si "hati keji" yang tidak pernah dilupakannya itu.

"Sebab apa mendadak dia ingin mencari diri ku”

Lantaran tidak dapat melupakan hubungan baik dahulu atau ada kehendak lain?" demikian Soat Koh merasa sangsi.

Betapapun ia tidak berani mengharapkan dirinya masih dikenang oleh "si Tolol", sebab anak muda itu kan sudah mempunyai "adik Leng". mana bisa berpikir lagi pada dirinya”

Namun bergetar juga ketika membaca tulisan "menjual seni mencari istri" itu. Ia tidak menyalahkan "si Tolol”

karena telah menganggapnya sebagai isteri, sebab tadinya ia memang juga berhasrat hidup berdampingan selamanya dengan "si Tolol", asalkan anak muda itu dengan hati tulus menghendaki demikian, dengan senang hati pula dia mau menjadi istrinya. Andaikan ada maksud lain juga tidak menjadi soal, cukup asalkan "si Tolol" mau memikirkan dirinya.

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar