Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 25

Jilid 25

Peng-say mengeluarkan mutiaranya yang berwarna merah itu dan berkata: "Aku pun tidak tahu apakah namanya Pi-tun-cu atau bukan. Mutiara ini adalah satu2nya barang tinggalan ibu. Karena kenal barang ini guruku lantas bilang kenal ibuku. Tapi dia telah salah menyebut nama ibu, sebab itulah kuragukan dia benar2 kenal ibu. Baru sekarang kutahu babwa dia memang salah sangka Sebab Waktu itu dia bilang ibuku bernama Soat Ciau-hoa, padahal menurut keteranganmu, Soat Ciau-hoa adalah bibiku, tidak tahu, maka mungkin dia salah sangka bibi sebagai ibuku.”

Sambil memandang Pi-tun-cu yang dipegang Peng-say, Lo-kiat berkata: "Mutiara ini memang benar Pi-tun-cu (mutiara anti kotoran), asalnya barang ini ada sepasang dan menjadi pusaka Bu-tong-pay. Satu biji diantaranya berada pada keluarga ayahmu, mungkin beliau memberikannya sebagai tanda mata kepada ibumu, sekarang mutiara ini kembali lagi berada padamu, hendaklah kau simpan dengan baik2 dan jangan sampai hilang. Mutiara yang lain biasanya dipegang oleh ketua Bu-tong-pay setiap angkatan. jadi seharusnya disimpan Tong-thian Supek, karena Cui-hun dipandang sebagai ahli warisnya, maka mutiara itu pun diwariskan kepada Cui hun.”

"Oo, jadi Cui-hun juga memegang sebiji Pi-tun-cu?”

Peng-say menegas.

"Ya," jawab Lo-kiat. "Karena Cui-hun hilang, dengan sendirinya mutiara itupun ikut bilang. Tong- thian Supek sampai sekarang masih berusaha mencari mutiara itu, bilamana mutiara itu diketemukan tentu tidak sulit untuk menemukan jejak Cui-bun.”

Kini Peng-say dapat menyelami sesuatu hal, dengan terkesiap dan gegetun ia berkata: "Sekarang kutahu siapakah guru Soat Koh, dia tak lain tak bukan ialah bibiku." "Ya, memang besar kemungkinannya,”

Lo-kiat mengangguk setuju.

"Kuyakin pasti betul," ucap Peng-say tegas. "Guruku dan bibi ber-sama2 telah membunuh Cui-hun dan rombongannya sehingga masing2 mendapatkan setengah bagian Siang-liu-kiam-boh, selain itu bibi juga menemukan Pi-tun-cu yang dibawa Cui-hun.”

Teringat kepada Siang-liu-kiam-boh yang diperoleh gurunya dengan secara tidak halal itu, Peng-say menjadi sedih dan malu, ucapnya sambil menggeleng: "Aku tidak percaya, sungguh aku tidak percaya bahwa Suhu .... beliau adalah seorang kejam. ...”

Betapapun murid tidak pantas mencela sang guru, maka Peng-say tidak melanjutkan ucapannya, ia mendekap mukanya dan sangat berduka.

Lo-kiat berusaha menghiburnya: "Cap-itsute, belum tentu gurumu itu orang jahat, jika lantaran gurumu mendapatkan Siang-liu-kiam-boh dengan cara keji, jelas ia seorang yang sangat mementingkan diri sendiri, mana bisa dia membagi setengah kitab pusaka itu kepada bibimu”

Bagaimana bisa pula dia mengajarkan Siang-liu-kiam-hoat yang diperolehnya dengan susah payah itu kepadamu?”

Peng-say menurunkan kedua tangannya, katanya dengan bimbang: "Kupikir sebabnya Suhu mengajarkan Pedang Kiri padaku adalah karena salah sangka aku adalah anaknya sehingga selama ini dia tetap menyangka ilmu pedangnya yang diperolehnya dengan susah payah ini telah diajarkan kepada anaknya sendiri.”

"Hal ini mana .... mana mungkin?" ujar Lo-kiat.

"Kuyakin hubungan guruku dengan bibi pasti luar biasa, kalau tidak untuk apa dia sengaja membawaku ke tempatnya untuk belajar Pedang kirinya" Sebabnya adalah karena anak bibi pasti juga anaknya. Ketika dia melihat kubawa Pi-tun-cu, mukaku juga mirip bibi, maka dia lantas saiah sangka pada diriku. Kau tahu, selama lima tahun, aku diperlakukannya seperti arak kandungnya.”

Lalu ia menceritakan apa yang terjadi di rumah Beng Eng-kiat di Pakkhia dahulu, kemudian ia bertanya: "Kalau guruku sudah ada peraturan, melulu mengajarkan ilmu pedang satu tangan, padahal ilmu pedangnya sebenarnya harus dimainkan dengan dua pedang, mengapa dia tidak membuntungi sebelah tanganku seperti dia sendiri, tapi aku hanya disuruh mengikat lengan kanan untuk belajar Pedang Kiri?”

"Ya, manusia manapun juga tentu tidak menghendaki anaknya sendiri cacat badan seperti ayahnya," kata Lo-kiat dengan gegetun. "Jika menurut ceritamu ini, memang betul gurumu telah salah sangka kau sebagai anaknya.”

"Dan entah anak guruku itu sekarang masih hidup di dunia ini atau tidak, bilamana dia masih hidup di dunia ini.

tentu akan kuajarkan Pedang Kiri ini kepadanya, sebab ilmu pedang ini adalah haknya, tapi telah kudapatkan.

Bahwa aku dapat belajar ilmu Pedang Kiri ini sesungguhnya adalah berkat dia.”

Lo-kiat menjadi sangsi, tanyanya kemudian: "Masa selama berkumpul lima tahun sama sekali gurumu tidak menemukan sesuatu yang tidak cocok atas dirimu?”

"Selama lima tahun, Suhu tidak pernah bercerita tentang hubungannya dengan bibi dimasa lalu dia membicarakannya denganku ada kemungkinan dia akan menemukan kekeliruannya sendiri. Bisa jadi dia merasa bersalah kepada bibi, maka sama sekali tidak mengungkit urusan di masa lampau.”

"Darimana kau tahu gurumu bersalah terhadap bibimu?”

tanya Lo-kiat. "Soat Koh yang bilang Katanya, seorang she Tio yang berbuat keji telah memapas buntung sebelah lengan gurunya, dan orang keji yang dimaksudkannya ialah guruku." "Dan mengapa gurumu sendiri juga buntung sebelah lengannya?”

"Menurut cerita Soat Koh orang she Tio juga tidak mendapatkan keuntungan, sebab kemudian lengan kanannya juga dibuntungi gurunya. Sangat kebetulan juga, guruku buntung lengan kanan dan mendapatkan Siang-liu-kiam-boh bigian kiri, sedangkan bibiku buntung lengan kiri dan mendapatkan Kiam-boh bagian kanan. Tidak jelas apa sebabnya guruku justeru membuntungi lengan kiri bibi dan tidak menabas tangan kanannya?”

"Alasan ini tidak kuat untuk dijelaskan," ujar Lo-kiat.

"Sebab keluarga Soat dari Say-pak terkenal mahir memainkan pedang tangan kiri, kalau gurumu ingin mencaplok sendiri Siang-liu-kiam-boh, dengan sendirinya harus menabas lengan kiri bibimu, supaya dia tidak mampu menggunakan pedang dan berebut kitab lagi dengan gurumu." "Ai, hanya karena sejilid kitab ilmu pedang, kedua kekasih harus saling membikin cacat. sungguh tidak berharga untuk berbuat demikian!" ucap Peng-say dengan menghela napas menyesal.

Lo-kiat masih juga sangsi, ia bertanya pula: "Bahwa gurumu merasa berdosa terhadap bibimu sehingga selama lima tahun dia tidak berani mengaku terus terang kau ini anaknya, alasan ini memang dapat diterima. Tapi ada satu hal agak ganjil, seharusnya dia bertanya dimana beradanya Siang-liu-kiam-boh bagian kanan. Kau katakan ibumu sudah meninggal, dia menyangka bibimu yang sudah meninggal, seyogianya bilamana bibimu meninggal tentu akan mewariskan Kiam-boh kepada anaknya sendiri. Masa dia sama sekali tidak curiga ketika mengetahui Kiam-boh yang dimaksud tidak berada padamu?”

"Hakikatrya guruku tidak tahu Siang-liu-kiam-boh itu terdiri dari dua jilid," tutur Peng-say. "Menurut cerita Soat Koh, sebelumnya bibi, yaitu guru Soat Koh, telah menyimpan salah satu jilid kitab itu didalam baju sendiri, lalu berlagak membaca jilid yang lain. Karena jang dipikir guruku hanya merebut kitab yang sedang dibacanya, dia tidak menyangka kalau bibi sudah menyembunyikan jilid yang lain, disangkanya kitab yang direbutnya itu adalah Siang-liu-kiam-boh yang lengkap.”

"Inilah yang tidak kupahami," ujar Lo-kiat sambil menggeleng. "Masa bibimu menyembunyikan sebagian Kiam-boh itu dan gurumu tidak tahu" Memangnya mereka mencegat Cui-hun dari dua jurusan sehingga bibimu berhasil menemukan dulu Siang-liu-kiam-boh?”

"Bisa jadi begitulah. maka ketika guruku selesai membereskan lawannya dan mendekati bibi. dilihatnya bibi sedang membaca kitab pusaka itu, segera timbul maksudnya ingin mencaplok sendiri kitab itu, maka secara keji ia menabas lengan kiri bibi.”

Lo-kiat coba merenungkan apa yang mungkin terjadi, katanya kemudian sambil menggeleng: "Suasana perebutan kitab di waktu itu sungguh sukar untuk dibayangkan. 13 murid dari perguruan ternama, semuanya jago kelas satu, mana bisa seluruhnya terjungkal di tangan guru dan bibimu" Kupikir kejadian ini pasti tidak sedemikian sederhana, tentu masih ada sebab musabab lain.”

"Ilmu silat guruku mungkin tidak tinggi, tapi bibi adalah adik perempuan Say-pay-beng-to, ilmu silatnya pasti tidak lemah, apakah kekuatan mereka tidak cukup untuk mengalahkan Cui-bun dan rombongannya?”

"Ilmu silat keluarga Soat di Say-pak memang lain dari pada yang lain, misalnya pamanmu, Soat Ko-hong, jelas llmu silatnya tidak dibawah Su-ki dan Sam-yu. Tapi kedua adik perempuannya sejak kacil sudah meninggalkan rumah sehingga tidak mendapatkan pendidikan kungfu yang tinggi. Setahuku, waktu bibimu mengembara di daerah Tionggoan, hampir tiada orang yang memuji kehebatan ilmu silatnya, sebaliknya Cui-hun sudah mendapatkan seluruh kungfu Bung-tong-pay, melulu dia seorang saja sukar bagi bibimu untuk membunuhnya.”

"Sudahlah, persoalan ini tidak perlu diperbincangkan lagi. kalau melulu berpikir tanna bukti, tentu sukar untuk dipecahkan. Kuharap guruku. dan bibi tidak pernah membunuh Toapek, kelak kalau berjumpa lagi dengan Suhu akan kumohon beliau supaya menceritakan apa2 yang terjadi dahulu, dengan begitu segala persoalannya tentu akan jelas.”

"Apabila gurumu dan bibimu ternyata pernah membantu Cui-hun dan rombongannya mengerubuti Toapekmu, lalu bagaimana?”

"Kalau Ji-suko menjadi diriku, bagaimana tindakanmu?”

Peng-say balas bertanya.

"Urusan yang sudah lalu, kesalahan apapun sukar diperbaiki lagi, terpaksa dianggap selesailah sudah.”

"Dan kematian Toapek akan dibiarkan sia2 begitu?”

"Habis mau apa" Dapatkah kau menuntut balas terhadap gurunya sendiri atau terhadap bibimu sendiri" Kukira tidak boleh timbul pikiran demikian!”

"Budi guru setinggi langit, sukar bagiku membalasnya, maka apapun juga aku tak dapat bersikap kurang hormat terhadap guruku. Mengenai bibi. bila betul dia ikut serta membunuh Toapek, maka hubungan kekeluargaan ini akan kuputuskan selama hidup!”

"Wah, jangan, mana boleh jadi begitu!" seru Lo-kiat cepat. "Jika kau tidak mengakui dia sebagai bibimu. mana dia mau mengajari ilmu Pedang Kanan padamu" Makanya selain harus kau akui dia sebagai bibimu, bahkan harus kau mohon bibimu atau murid bibimu yang bernama Soat Koh itu agar mau mengajarkan ilmu pedangnya padamu.”

Peng-say seperti kurang berminat terhadap Siang-liukiam-hoat. ucapnya dengan tersenyum getir: "Sekalipun kedua tanganku sudah mahir memainkan Siang-liu-kiam-hoat, lalu apa gunanya?”

"Wah benar sekali gunanya," kata Lo-kiat."Suhu tahu kau bertekad akan menuntut balas bagi nona Cin, maka beliau memberi pesan betapa pun kau harus belajar Siangliu-kiam secara lengkap. bila sudah berhasil menguasai ilmu pedang itu, untuk membunuh Ciamtay Cu-ih menjadi semudah membalik telapat tangan sendiri. Mengenai Supek, apabila benar-benar2 sudah mati akibat terluka di pertemuan Ki-lian-san, maka tidak perlu sangsi Ciamtay Cu-ih itulah si pembunuh Supek. Jadi, kalau Ciamtay Cu-ih kau bunuh, hal ini bukan saja sakit hati nona Cin terbalas, bahkan sekaligus membalaskan sakit hati Supek, malahan juga berarti menghilangkan suatu penyakit bagi dunia persilatan.”

"Masa selain menguasai Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap tidak dapat membunuh Ciamtay Cu-ih?”

"Sulit, teramat sulit untuk membunuh Ciamtay Cu-ih, jika Siang -iu-kiam-hoat tidak kau kuasai secara lengkap.”

kata Lo-kiat. "Waktu kususul kemari, Suhu justeru memberi pesan wanti2 agar memperingatkan padamu, sebelum Siang-liu-kiam-hoat kau kuasai secara lengkap, jangan sekali2 kau sembarangan bertindak. Hendaklah maklum bahwa ilmu silat di dunia sekarang hanya Siang-liu-kiam saja yang dapat membinasakan Ciamtay Cu-ih. Jelas Suhu sangat sayang kepada anaknya sendiri, ia kuatir kau gagal menuntut balas, sebaliknya malah terbunuh. Maka memberi pesan sebelum melaksanakan niatmu menuntut balas harus kau belajar dulu Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap.”

"Bahwa Siang-liu-kiam nomor satu di dunia memang sudah terbukti dan tidak dapat disangkal lagi," kata Peng-say, "tapi itupun harus melihat siapa gerangan yang menguasai ilmu pedang itu. Masih kuingat Ji-suko pernah menyatakan ucapan ayah bahwa sekalipun ilmu pedang nomor satu di dunia, tapi kalau tak menguasai Lwekang dengan sempurna, biarpun paham ilmu pedang yang maha sakti juga tiada gunanya. Bagiku justeru disinilah letak kelemahanku, dasar Lwekangku belum kuat biarpun Siang-liu-kiam dapat kukuasai secara lengkap juga tiada gunanya." "Apakah kau kira Lwekangmu tidak berguna?" tanya Lo-kiat dengan tertawa.

"Kalau kuceritakan, sungguh aku menjadi malu sendiri,”

ujar Peng-say sambil menggeleng, "Pernah Liok-ma menggetar patah pedangku dengan cambuknya, kalau kubilang Lwekangku hebat, bukankah cuma menipu diriku sendiri?" "Jangan kau meremehkan dirimu sendiri, Cap-itsute yang dulu dan Cap-itsute yang sekarang kan sudah lain,”

ujar Lo-kiat. "Ya, akhir2 ini akupun merasa Lwekangku ada kemajuan, tapi kalau dibandingkan tokoh ternama, kemajuanku boleh dikatakan tiada artinya.”

"Coba ceritakan, sampai berapa kuat Lwekangmu dahulu?" tanya Lo-kiat dengan tertawa.

"Sekuat tenaga mungkin cukup untuk meratakan alat perabot sebangsa meja kursi," tutur Peng-say.

"Ah, Cip-itsute terlalu rendah hati," ujar Lo-kiat sambil menggeleng.

"Seorang pesilat biasa saja sanggup menghancurkan meja kursi, masa sedemikian tak becus kau, sudah sekian tahun berlatih Lwekang hanya sekuat pesilat biasa saja.”

"Kenyataaanya memang begitu, paling2 telapak tanganku hanya mampu menghancurkan perabot yang terbuat dari kayu Lam.”

"Oo, kalau begitu menjadi lain soalnya," kata Lo-kiat.

"Kayu Lam tergolong kayu yang paling keras dan rapat.

pesilat biasa saja sukar membelahnya dengan golok, tapi telapak tanganmu mampu memotongnya, nyata latihan Lwekangmu selama beberapa tahun ini tidaklah sia2.”

Lalu Lo-kiat menunjuk meja pendek di depan mereka dan berkata pula: "Hotel ini cukup bagus, alat perabotnya juga terbuat dari kayu Lam. Coba Cap-itsute, boleh kau uji dengan meja ini, ingin kulihat sampai dimana tingkat Lwekangmu?”

Peng-say meraba meja yang cukup indah dan kukuh itu, katanya dengan menyesal: "Meja sebagus ini, kan sayang kalau dirusak?”

"Biarlah aku yang ganti-rugi kepada pemilik hotet," kata Lo-kiat. "Hanya saja mungkin tenagamu tidak kuat merusak meja ini, maka pemilik hotel akan gagal mendapat keuntungan dari ganti rugi ini.”

Peng-say tahu sang Ji-suko sengaja memancingnya, tapi ia memang ingin coba2 juga, segera ia angkat telapak tangannya. "Nanti dulu," kata Lo-kiat sebelum tabasan telapak tangan Peng-say itu dilakukan. "Bagaimana kalau kita bertaruh sedikit?”

Peng-say tertawa, jawabnya: "Kalau Ji-suko suka, boleh saja.”

"Begini," kata Lo-kiat. "Bila meja ini dapat kau hantam remuk, aku yang ganti rugi kepada yang empunya barang.

Jika tidak dapat kau rusakkan, kau harus bayar dua kali lipat uang ganti rugi meja ini.”

Peng-say cukup yakin pasti mampu menghancurkan meja itu, maka tanpa pikir ia berkata: "Baik, jadi!”

Segera ia menghimpun tenaga, tangan diangkat pula.

Melihat wajah anak muda itu samar2 bersemu hijau, Lokiat tahu sekali ini dia telah mengerahkan segenap tenaganya. Peng-say memang sudah menghimpun segenap tenaga pada telapak tangan kiri yang hendak digunakan menabas itu. Tindakannya ini bukan lantaran dia takut kalah, tapi takut kalau2 dia tak dapat menghancurkan meja itu, hal ini tentu akan membuatnya malu besar.

Pelahan ia menurunkan telapak tangan kirinya. ketika sudah dekat meja baru mendadak dihantamkan dengan keras. Siapa tahu, meja itu tiada rusak sedikitpun. Keruan Peng-say bersuara heran dengan muka merah, tak tersangka olehnya tenaga yang sudah dikerahkan sepenuhnya ternyata tidak mampu menghancurkan meja itu, ia menjadi heran apakah Lwekangnya sendiri bukannya maju, sebaliknya malah mundur”

Kiau Lo-kiat bergelak tertawa. Sudah tentu Peng-say jadi malu, ia menunduk dan berkata, "Baiklah aku kalah.”

"Tidak, kau tidak kalah, justeru kau yang menang, kemenangan yang gemilang," kata Lo-kiat malah.

Peng-say menyangka orang bicara secara terbalik, ucapnya sambil menyengir: "Kutahu biarpun Siang-liu-kiam-hoat kupelajari dengan lengkap juga tiada gunanya, buktinya kan sudah jelas.”

"Siapa bilang tiada gunanya?" ujar Lo-kiat. "Justeru tenagamu sekarang sama sekali tidak di bawah pamanmu Soat Ko-hong.”

Peng-say merasa kurang senang, katanya: "Ucapan Jisuko ini tidakkah terlalu menghina pamanku?”

"Siapa bilang menghina" Coba, boleh kau dorong meja ini," kata Lo-kiat dengan tertawa.

Peng-say menurut dan coba mendorong meja itu, ia menyangka meja yang kukuh dan berat itu pasti takkan bergerak, tak terduga, bergerak sih memang tidak, tapi begitu tersentuh tangannya, seketika meja itu ambruk hancur menjadi bubuk. Keruan Peng-say menjadi kaget.

Lo-kiat meraup secomot bubuk kayu meja itu, katanya dengan tertawa: "Menurut cerita Toa-suko tempo hari, katanya pamanmu Soat Ko-hong ketika berada di kelenteng Toa-pekong sana pernah sekali hantam menghancurkan meja sembahyang, Toa-suko sangat terkejut dan kagum, katanya tokoh Bu-lim sekarang jarang yang bertenaga dalam sekuat pamanmu itu. Namun Toa-suko juga menambahkan bahwa betapapun hebat tenaga dalam Soat Ko-hong tetap tak dapat menandingi kekuatan Suhu. Soat Ko-hong hanya dapat membuat remuk bagian meja yang terkena pukulannya, sebaliknya dengan Ci-he-kangnya Suhu sanggup menghacur luluhkan sebuah meja sembahyang seluruhnya. Bisa jadi cerita Toa-suko itu tidak seluruhnya benar. sebab pukulan pamanmu dahulu itu mungkin dilakukan dengan sekenanya, bilamana digunakan sepenuh tenaga bisa jadi seluruh meja sembahyang juga akan tergetar hancur seperti pukulan Suhu, tapi berdasarkan kemampuanmu sekarang, sedikitnya kau tidak dibawah pamanmu, betul tidak menurut pendapatmu?”

Peng-say sendiri sampai melenggong, dengan bingung ia memandangi meja yang telah hancur menjadi bubuk kayu itu, se-olah2 tidak memperhatikan apa yang diucapkan Kiau Lo-kiat. "Jangan melenggong, apakah sekarang kau masih tidak percaya?" kata Lo-kiat pula dengan tertawa.

"Sungguh sukar untuk di ... .dipercaya . . . ." ucap Peng-say dengan ter-gegap2.

"Tapi bukti menjadi saksi, mau-tidak-mau kau harus percaya. Makanya aku ingin tanya, wahai Cap-itsute, mengapa Lwekangmu bisa maju sepesat ini?" kata Lo-kiat dengan tertawa.

"Aku . . . .aku tidak ....tidak tahu. . . .”

"Tambahnya tenaga dalam biasanya tidak mungkin terjadi dalam waktu sehari atau semalam, tapi apakah kau percaya bahwa Lwekang memang dapat mendadak bertambah beberapa kali lipat dalam waktu singkat?" tanya Lo-kiat pula.

Dengan gelagapan Peng-say menjawab: "Tidak .... tidak percaya, eh, per. . . .percaya.”

"Hahaha, Mengapa sudah bilang tidak percaya, lalu kau katakan percaya lagi?”

"Ya, betapapun aku tidak percaya terhadap hal2 yang mustahil terjadi, tapi mau-tidak-mau harus percaya pula kepada kenyataan didepan mata ini.”

"Ketambahan tenaga dalam beberapa kali lipat secara mendadak, kalau dibicarakan memang mustahil bisa terjadi.

Tapi juga tidak dapat dikatakan tidak mungkin terjadi.

Sebab bagi kaum ahli Lwekang ada semacam ilmu yang disebut 'Si-oh-koan-teng, pernahkah kau dengar?”

Peng-say menggeleng.

Maka Lo-kiat menyambung pula: "Si-oh-koan-teng adalah istilah agama Buddha, artinya memberikan kecerdasan dan kebijaksanaan kepada seseorang. Istilah ini digunakan dalam ilmu silat, sudah tentu tidak berarti menyalurkan kecerdasan atau kebijaksanaan kepada seseorang, tapi dimaksudkan penyaluran tenaga dalam.

Bagi yang menerima penyaluran tenaga itu, dalam waktu singkat tenaga dalamnya akan bertambah berlipat kali. Cara bagaimana menyalurkan tenaga dalam" Karena menyagkut ilmu yang maha tinggi, aku sendiri tidak paham, hanya kutahu bilamana menggunakan ilmu Si-oh-koan-teng tersebut, maka seluruh tenaga dalam seorang dapat disalurkan ke tubuh orang yang lain, dengan demikian tenaga dalam kedua orang akan terbaur menjadi satu pada orang yang menerima saluran tenaga itu.”

Mendengar sampai disini, Peng-say lantas teringat kepada Sau Ceng-hong yang berwajah kurus pucat dan tua waktu kepergok diambang pintu Soh-hok-han ketika dia hendak minggat diusir Leng Tiong-cik tempo hari. Tanpa terasa ia berteriak: "Oo, ayah!”

Dengan menghela napas Lo-kiat berkata pula: "Kukira sekarang kau pasti paham sebab musababnya Lwekang yang bertambah kuat secara mendadak ini. Selama sebulan Suhu tirakat, setiap malam beliau selalu mengunjungi kamarmu. dengan ilmu Si-oh-koan-teng beliau telah menyalurkan Ci-he-kang padamu, jadi kekuatanmu sekarang sama dengan kekuatanmu semula ditambah dengan kekuatan ayahmu kemarin.”

Tanpa bicara lagi mendadak Peng-say melompat bangun terus berlari pergi.

"Tunggu!" seru Lo-kiat ia melemparkan sepotong uang perak terus mengejur keluar.

"O0"odwo"0O”

Sudah jauh malam, bulan tinggi menghiasi cakrawala dengan cahayanya yang terang menyinari bumi.

Dengan susah payah akhirnya Lo-kiat dapat menyusul Peng-say, keduanya berlari secepat terbang. Lampat-laun Lo-kiat merasa kewalahan, dengan megap2 ia berkata: "Lambat sedikit, Cap-itsute!”

Peng-say lantas kendurkan larinya. Langkah Lo-kiat menjadi agak longgar, bicaranya tidak ter-engah2 lagi, ia berkata pula: "Cap-itsute, apakah kau hendak pulang ke Soh-hok-han?”

Peng-say mengiakan.

"Bukankah kau kuatir ayahmu akan serba Susah mengapa mendadak kau hendak pergi ke sana?”

Dengan agak tersendat Peng-say menjawab: "Aku takkan tinggal lama disana, cukup asalkan tahu kesehatan ayah tidak beralangan dan segera kutinggalkan pergi lagi.”

Lo-kiat juga berduka, katanya: "Gara2 Subo, kalian ayah dan anak tidak dapat berkumpul. ku-tahu kalian pasti sama2 merasa berduka. Tapi jangan kuatir. takkan terjadi apa2 atas diri Suhu, beliau cuma menyalurkan tenaganya padamu, kini beliau berubah menjadi orang biasa. Kau disuruh membunuh Ciamtay Cu-ih, supaya kau dapat langsung menuntut balas bagi nona Cin, Suhu sendiri sudah kehilangan tenaga dan tidak mampu berbuat apa2 lagi, terpaksa suruh kau belajar Siang-liu-kiam- hoat secara lengkap agar pesan Suhu tadi bisa terlaksana.”

Dengan pedih Peng-say berkata: "Kutahu maksud ayah, kupasti melaksanakan harapannya. Akan kumohon kepada bibi agar mengajarkan bagian kanan Siang-liu-kiam-hoat padaku, akan kulaksanakan pesan beliau, sebelum lengkap menguasai Siang-liu-kiam-hoat aku pasti takkan bertanding secara gegabah.”

"Menurut pendapatku, sebaiknya jangan kau pulang ke Soh-bok-han," kata Lo-kiat. "Setelah kau tahu maksud ayahmu, bolehlah kau laksanakan sekuat tenagamu, kelak boleh kau hibur beliau bilamana tugasmu sudah selesai.

Untuk apa sekarang kau pulang kesana, kan hanya menambah rasa dukanya saja?”

"Tidak, sebelum melihat ayah dalam keadaan baik , betapapun hatiku tidak tenteram," kata Peng-say.

"Demi kesehatan ayahmu, hendaklah jangan kau pulang kesana," bujuk Lo-kiat pula. "Hendaklah kau tahu, meski kesehatan Suhu sekarang tak beralangan, tapi badannya jelas sangat lemah, bila kau temui beliau, betapapun hatinya pasti akan terharu. Kau tidak menjadi soal, tapi Suhu pasti tidak tahan akan emosinya, betul tidak?”

Tak tahun lagi air mata Peng-say bercucuran, dengan pedih ia berkata: "Baiklah, aku berjanji takkan menemui ayah, aku hanya akan memandangnya dari luar jendela saja, setelah kulihat beliau tidur dengan nyenyak segera kutinggal pergi.”

Lo-kiat tidak bicara lagi. Tidak lama kemudian sampailah mereka di kaki gunung. Karena ingin cepat2 sampai, Peng-say tidak sabar. ia pegang tangan Lo-kiat terus dibawa lari ke atas gunung.

Setiba di Soh-hok-han, Lo-kiat kuatir mengejutkan Sunio dan para saudara seperguruannya, ia tidak masuk melalui pintu depan, tapi membawa Peng-say memutar ke samping.

kekamar tulis yang biasa didiami sendiri oleh Sau Cenghong. Kamar tulis itu menghadap ke barat, saat itu rembulan yang sudah condong ke barat itu sedang memancarkan cahayanya yang terang dan menembus jendela yang ditutup dengan kertas tembus cahaya itu, maka keadaan di dalam kamar cukup jelas kelihatan.

Pelahan Lo-kiat membolongi kertas jendela dan mengintip kedalam, lalu ia berpaling dan mendesis kepada Peng-say: "Kebetulan Suhu memang lagi tidur.”

Peng-say mengintip juga, dilihatnya di tempat tidur yang menghadap kejendela itu berbaring seorang berjubah hijau, tapi mukanya menghadap kesebelah dalam sehingga tidak kelihatan mukanya, hanya dari bayangan punggungnya samar2 dapat dipastikan ialah ayahnya sendiri, yaitu Sau Ceng-hong.

Meski ia tidak tahu sebab-musabab sang ayah selalu tidur sendirian dikamar tulis ini, tapi keadaan dan pemandangan ini menimbulkan semacam perasaan pedih dan haru dalam hati Peng-say, tanpa terasa ia berseru tertahan: "Ayah!”

Di tengah malam sunyi begini, meski suara Peng-say itu se-olah2 tertahan di tenggorokan, namun cukup jelas terdengar. Tapi aneh, tidak kelihatan Sau Ceng-hong bergerak sama sekali. Padahal bagi tokoh persilatan kelas tinggi seperti dia ini, bila dalam keadaan hening begini tak dapat mendengar suara Peng-say yang lirih itu, hakikatnya dia tiada ubahnya seperti seorang tuli.

Karena kedatangannya sudah bertekad takkan mengejutkan ayah, sebab Peng-say tahu seorang tokoh silat kelas tinggi bilamana kehilangan tenaga dalam, maka daya pendengarannya akan jadi puntul seperti orang awam, sebab itulah sekarang sang ayah tidak terjaga dari tidurnya.

Tapi bila mengingat sebabnya sang ayah sampai berubah menjadi begitu, tanpa terasa air mata Peng-say bercucuran.

Lo-kiat ikut meneteskan air mata, ucapnya dengan suara tertahan: "Cap-itsute.

bolehlah kau pergi saja." Peng-say mengiakan pelahan, dengan rasa berat ia membalik tubuh dan ikut pergi bersama Lo-kiat, namun beberapa kali dia menoleh lagi, pemandangan ini mirip orang yang akan berpisah untuk selama-lamanya.

Diam2 Lo-kiat terharu, ia membujuknya: "Kalian ayah dan anak hanya berpisah untuk sementara waktu saja, kelak kalian masih dapat berkumpul dan hidup bahagia.”

"Kelak" Harus tunggu sampai kapan?" ucap Peng-say dengan tersenyum getir.

Nadanya membayangkan "kelak" yang tak terbatas itu.

Leng Tiong-cik tidak suka padanya, dalam keadaan demikian. kecuali ibu tiri itu mati barulah memungkinkan bagi Peng-say untuk pulang berkumpul dengan ayahnya.

Bagi Sau Ceng-hong yang sudah cukup tua itu, tidaklah mungkin dia menceraikan isterinya yang mandul itu demi membela puteranya.

Kiau Lo-kiat berjalan didepan, ber-ulang2 ia menghela napas, katanya: "Entah apa manfaatnya bagi Sunio dengan caranya menyingkirkan dirimu. Bilamana tahu begini, seharusnya Suhu jangan berterus terang kepadanya.

Menurut cerita Suhu, pada malam hari pertama kita pulang kesini segera beritahukan kepada Sunio tentang dirimu.

adalah darah dagingnya. Seketika air mnka Sunio berubah tidak senang, meski tidak memberi reaksi pada saat itu juga, namun Suhu sudah lantas tahu Sunio tidak suka padamu.

Benar juga, dengan segala daya upaya Sunio berusaha memencilkan dirimu, bahkan cuma urusan perjodohan Leng Hiang saja Sunio bertengkar dengan Suhu, bahkan menyatakan anak pasti sama dengan ibunya, maka Suhu dilarang mengajarkan ilmu silat kepadamu.”

Dengan menahan rasa gusar Peng-say bertanya: "Apa artinya anak pasti sama dengan ibunya" Memangnya ibuku pernah berbuat salah apa?”

"Kalau diceritakan, hal ini memang tidak beralasan," ujar Lo-kiat dengan penasaran. "Jangankan paman dan bibimu bukan manusia jahat dan tak terampunkan, sekalipun begitu, apa sangkut-pautnya mereka dengan ibumu" Dan apa sangkut-pautnya dengan pribadimu”

Menurut pendapatku, sebabnya Sunio benci padamu adalah karena rasa cemburunya, dia cemburu karena kau adalah putera Suhu, dia gemas karena kau bukan putera yang dilahirkan dia sendiri, rasa cemburu ini, rasa gemasnya, sama sekali tidak berdasar. Habis kan salah dia sendiri, kenapa dia mandul" . . .”

Sampai disini, mendadak Kiau Lo-kiat menahan mulutnya. mungkin ia merasa tidak pantas ber-olok2 kepada orang tua.

Sejenak kemudian, ia berkata pula: "Dengan keadaannya Suhu tidak mau menuruti kehendak Sunio dan tidak mengajarkan kepandaian kepada anaknya sendiri, tapi beliau juga tidak ingin bertengkar antara suami-isteri dihari sudah tua begini. Sebab itulah dengan alasan Sunio menolak perjodohanmu dengan Leng Hiang, dengan gusar beliau lantas menutup diri dan tirakat, tapi diam2 seluruh Lwekangnya telah disalurkan kepadamu, beliau berharap kelak kau akan menonjol di dunia persilatan. Cuma Suhu yang harus dikasihani, dengan nama dan kedudukannya dia tidak dapat mengadakan pirayaan bagi anaknya sendiri.

Kau tahu, betapa Suhu mendambakan keturunannya yang akan mewarisi Lam-han kita ini" Hanya lantaran cemburu Sunio, segala angan2 Suhu telah lenyap bagai impian, akhirnya malahan berkumpul dengan anaknya sendiri juga tidak dapat. Sesunguhnya Suhu juga terlalu mengalah terhadap Sunio, apabila aku, kalau Sunio tidak dapat menerima kau, lebih baik kuceraikan dia. Sunio tidak dapat melahirkan anak, dia sudah melanggar salah satu dari tujuh pasal kebaktian orang perempuan, untuk mana secara resmi dapat diceraikan tanpa syarat.”

Makin bicara makin bersemangat sehingga Lo-kiat lupa dia masih berada di Soh-hok-han. Waktu dia menyadari suaranya sedemikian kerasnya sehingga segenap penghuni Soh-hok-han dapat mendengar suaranya, namun sudah terlambat, suaranya sudah telanjur tercetus dari mulutnya.

Selagi ia hendak menyuruh Peng-say lekas pergi agar Sunio dan lain2 tidak keluar setelah mendengar suaranya.

Pada saat itulah mendadak dari pojok dinding sana menubruk keluar sesosok bayangan sambil membentak: "Sattt!”

Di bawah cahaya rembulan kelihatan orang itu mendelik dan beringas, sikapnya sangat menakutkan.

"He, Toa-suko, aku!" teriak Lo-kiat kaget.

Yang menubruk keluar ini memang betul Sau Peng-lam adanya. Lo-kiat mengira sang Suheng salah sangka dirinya sebagai musuh, maka biarpun tubrukan Peng-lam itu sangat keras ia tidak berkelit, ia percaya bilamana dirinya sudah bersuara, tentu Toa-suko akan menarik kembali serangannya tepat pada waktunya.

Tak terduga serangan Peng-lam itu sama sekali tiada tanda2 dihentikan, maka tanpa ampun dada Kiau Lo-kiat yang kurus itu tepat kena dihantam.

Mana Lo-kiat sanggup menahan pukulan Peng-lam yang dahsyat itu, ia menjerit, tubuhnya mencelat dan "bluk", ia terbanting jatuh di sana.

Dengan kuatir Peng-say memburu maju untuk memeriksa keadaan luka Ji-suko itu. Didengarnya Peng-lam telah memburu dari belakang sambil membentak, "Lari kemana, bangsat!" " Berbareng itu angin pukulan menyambar tiba, kedua tangannya menghantam sekaligus, nyata Peng-say hendak dibinasakannya.

Di bawah cahaya bulan yang cukup terang, tidak mungkin lagi Peng-lam salah mengenali kawan sendiri, andaikan pangling, sebelum tahu jelas maksud tujuan musuh juga tidak pantas melancarkan serangan mematikan begini. Nyata Peng-lam memang bermaksud membunuh dirinya dan Kiau Lo-kiat.

Sudah tentu Peng-say tidak mau mati konyol tanpi\a tahu sebab musebabnya, cepat ia membalik tubuh dan menangkis. "Blang", empat tangan beradu, tenaga dalam Peng-say sekarang jauh di atas Peng-lam, cukup tiga bagian tenaganya saja kontan menggetar Peng-lam hingga jatuh terjengkang. Sambil meraba pantatnya yang kesakitan Peng-lam merangkak bangun, dengan menyengir seperti orang linglung ia berseru: "Wah, lihay amat!" " Lalu dengan mata melotot ia berkata pula terhadap Peng-say: "Orang she Ting, boleh kau tunggu pembalasanku. Seorang lelaki yang ingin menuntut balas, sepuluh tahunpun belum terlambat!”

Peng-say jadi melenggong, pikirnya heran: "Toa-suko hendak menuntut balas apa?”

Selagi ia hendak bertanya. mendadak Peng-lam berlari pergi turun ke bawah gunung.

Dengan rasa sangsi Peng-say berjongkok untuk memeriksa luka Kiau Lo-kiat. Ternyata sangat parah luka Ji-suko itu, darah masih terus merembes keluar dari mulutnya. Cepat Peng-say menutuk beberapa Hiat-to penting ditubuh Lo-kiat, sebelah tangannya menahan dadanya dan menyalurkan hawa murni uutuk penyembuhan luka dalam Ji-suko itu. Di tengah malam sunyi terdengar suara Toa-sukonya berkumandang dari bawah gunung: "Hahahaha! Liok Pek sudah kubunuh, haha Liok Pek sudah kubunuh!”

Peng-say tambah bingung dan curiga, entah Toa-suko itu kenapa, menyebutnya orang she Ting, terang berteriak pula bahwa Liok Pek telah dibunuh olehnya”

Ia tidak berani banyak pikir lagi, tapi memusatkan perhatian untuk menyembuhkan luka Ji-sukonya. Ia merasa denyut jantung Lo-kiat sangat lemah, meski detaknya bertambah kuat setelah disaluri tenaga dalamnya, tapi ia belum berani menarik tanganya.

Selang sejenak kemudian, dengan suara lemah Lo-kiat berkata: "Cap-itsute, sudah, cukuplah.”

Peng-say tidak paham ilmu pertabiban, ia tidak tahu sesungguhnya bagaimana keadaan luka suko itu, melihat orang sudah dapat berbicara, sangkanya sudah tidak beralangan lagi, maka ia menurut dan menarik kembali tangannya sambil berkata: "Ji-suko, biar kuantar kau ke tempat ayah.”

"Jangan, tidak perlu," kata Lo-kiat. Peng-say coba mendengarkan dengan cermat, katanya kemudian: "Aneh.

mengapa Sunio dan para Suheng sama sekali tiada terdengar bertindak apa-pun?”

Lo-kiat rada gemetar, ucapnya lemah: "Apa betul?”

"Suara tadi cukup keras, mustahil kalau mereka tidak mendengar dan seharusnya mereka keluar untuk memeriksa apa yang terjadi, tapi sampai sekarang ternyata tiada suara apa2 dan tidak kelihatan seorangpun.”

Dengan Lwekangnya sekarang, ditengah malam sunyi begitu, biarpun daun jatuh di kejauhan juga dapat didengarkannya, apalagi suara yang ditimbulkan seseorang.

Luka Lo-kiat cukup parah. bicara saja terasa berat, dengan sendirinya daya pendengarannya telah banyak berkurang, setelah mengetahui gelagat tidak enak. suaranya bertambah gemetar, katanya dengan ter-putus2: "Cob . . .

coba pondonglah diriku, kita .... kita ke kamar Sunio dan ....dan lain2 . . . .”

Beberapa kamar di deretan samping sana adalah kamar tidur para murid Lam-han, Peng-say memondong Lo-kiat menuju kesalah satu kamar itu.

"Inilah kamar. . .kamar tidur Nio Hoat," kata Lo-kiat.

Segera Peng-say berteriak: "Sam-suko! Sam-suko!. . . .”

Akan tetapi sampai sekian lamanya tiada terdengar jawaban Nio Hoat, Gemertuk gigi Kiau Lo-kiat, ucapnya dengan ter-putus2: "Coba ter. . . .terjang ke dalam!”

Sekali depak Peng-say membikin daun pintu terpentang, ternyata pintu kamar tidak dipalang dari dalam, hanya tersentuh pelahan saja lantas terbuka.

Remang2 di dalam kamar dan samar2 terlihat perawakan Nio Hoat yang kekar itu dengan dada terbuka berbaring telantang ditempat tidurnya.

Setiba di depan tempat tidur Nio Hoat masih tetap tidak bergerak, saking tak tahan guncangan perasaannya Lo-kiat lantas berteriak: "Samsute!”

Peng-say dapat melihat dengan jelas, dengan suara sedih ia berkata: "Sam-suko sudah. . . .sudah meninggal. . . .”

Dengan menggeh2 Lo-kiat berkata: "Coba ke. . . ke kamar sebelah. . . .”

Kamar sebelah adalah kamar tidur Si Tay-cu, murid Lam-han keempat. Keadaan Si Tay-cu juga serupa Nio Hoat, iapun telentang dengan dada terbuka, juga sudah mati. Ber-turut2 adalah Ko Kin-beng, murid kelima dan Kang Ciau-lin, murid keenam yang berjuluk si kera itu. Kedua orang itupun mati telentang dengan dada terbuka.

Keempat saudara seperguruan yang berkepandaian paling tinggi serta bergaul paling erat dengan Kiau Lo-kiat kini sudah mati semua. Sampai disini Lo-kiat tidak tahan lagi, ia menangis ter-gerung2, ucapnya dengan suara terputus2: "Cap. . . .Cap-itsute, coba. . . .coba kau periksa cara....cara bagaimana matinya Lak-sute. . . .”

Peng-say coba memeriksa tubuh Kang Ciau-lin, katanya kemudian: "Lak-suko terkena pukulan di bagian dada dan mati karena nadi jantungnya putus.”

"Apakah ada be ... . bekas telapak tangan warna hitam?”

tanya Lo-kiat. "Ya, ada, tepat di dada Lak-suko," jawab Peng-say.

"Itulah Tay-jiu-in, pukulan khas Say-koan." kata Lo-kiat dengan menggreget.

Mendadak Peng-say merasa kepala pusing dan sempoyongan. "He, didalam kamar masih ada bau obat bius, lekas keluar!" seru Lo-kiat kaget.

Untunglah sisa obat bius itu sudah tipis, sesudah diluar dan mengghisap hawa udara segar, rasa pusing Peng-say lantas lenyap. Namun Lo-kiat dalam keadaan terluka, daya tahannya jauh lebih lemah daripada Peng-say, kontan sisa makanan didalam perutnya tertumpah keluar, bahkan darah ikut tersembur keluar dan mengotori dada Peng-say.

Cepat Peng-say menutuk lagi Hiat-to dan menyalurkan pula tenaga dalamnya.

Sejenak kemudian dapatlah Lo-kiat bicara: "Cukuplah, coba pergi ke kamar Sunio!”

Peng-say tidak tahu dimana letak kamar ibu-gurunya, setelah ditunjukkan Lo-kiat, segera ia berlari ke sana.

Hanya didorong pelahan saja pintu kamar Leng Tiongcik lantas terbuka.

"Jangan ter-buru2 masuk!" kata Lo-kiat. Ia kuatir kamar tidur ibu-gurunya itu juga serupa kamar Lak-kau-ji yang masih ada sisa obat bius, setelah menunggu sejenak barulah dia berkata pula: "Baiklah, sekarang boleh masuk!”

Kamar tidur Leng Tiong-cik berbentuk apa yang disebut "suite room" jaman kini, kamar tidur berikut ruangan duduk dan sebagainya, antara ruangan duduk dan tempat tidur diberi aling2 kain tabir, Waktu tabir disingkap, terlihatlah Leng Tiong-cik berbaring miring ditempat tidurnya dengan memakai selimut tipis, tampaknya nyenyak benar tidurnya.

Mehhat keadaan ibu gurunya serupa ayahnya tadi, kaki dan tangan Peng-say terasa dingin semua, ia merasa ragu2 untuk memeriksa keadaan Leng Tiong-cik.

Padahal tidak perlu diperiksa juga sudah dapat diketahui apa yang telah terjadi. Kalau Leng Tiong-cik tidak mati, mustahil dia tidak tahu ada orang masuk kamarnya”

Namun yang dipikir Peng-say adalah segi baiknya, berulang2 ia berkata pada dirinya sendiri: "Musuh tidak berani membunuh Sunio dan Ayah, maka Sunio dan ayah cuma pingsan karena obat bius musuh saja.”

Kalau melihat keadaan tidur Leng Tiong-cik dan Sau Cing-hong yang berbaring miring itu memang bisa terjadi sebagaimana dugaan Peng-say. Tapi kalau bilang musuh tidak berani membunuh mereka, hal ini jelas sangat menggelikan. Coba pikir, kalau jelas2 meraka sudah terbius dan tidak sadar lagi, masa musuh perlu takut lagi kepada mereka dan tidak berani membunuhnya”

Bisa jadi musuh masih mengindahkan peraturan Kangouw dan tidak mau membunuh seorang perempuan sehingga mati dengan dada terbuka.

Dengan kaki terasa lemas Peng-say mendekati tempat tidur lalu berdiri ter-mangu2.

"Apakah Sunio juga sudah meninggal?" tanya Lo-kiat.

"Ti . . . tidak .... belum . . ." jawab Peng-say.

Rada hati hati Lo-kiat. Tapi segera terpikir olehnya hal itu hampir tidak mungkin terjadi, pula jawaban Peng-say itu dirasakannya kurang meyakinkan. Namun ia sendiri tak dapat bergerak dan tidak dapat memeriksa sendiri keadaan ibu-gurunya, coba tanya pula: "Darimana kau tahu Sunio tidak mati?”

"Dia serupa ayah, juga . . .juga sedang tidur dengan nyenyak, pasti tidak mati!" kata Peng-say.

Lo-kiat sudah luas pengalamannya, ia tahu bagaimana perasaan Peng-say sekarang, katanya dengan gegetun: "O jadi Sunio tidur seperti Suhu berbaring dengan menghadap kedalam?”

"Betul, dia tidur selelap ini, pasti tidak mati," kata Peng-say pula.

"Sudah tentu kita berharap Suhu dan Sunio tidak mati,”

ucap Lo-kiat. "Tapi kalau mati, hendaklah kau berani menghadapi kenyataan ini. Cap-itsute, boleh kau.... coba periksa pernapasan Sunio.”

Dengan sebelah tangan memondong tubuh Lo-kiat, tangan Peng-say yang lain terjulur pelahan ke depan hidung Leng Tiong-cik. Tapi sampai sekian lamanya tangan Peng-say tetap terletak di depan hidung ibu-gurunya dan tidak ditarik kembali.

Lo-kiat dapat merasakan apa yang telah terjadi, air matanya berderai, ucapnya dengan suara parau: "Sudah mati?”

"Ya, sudah mati," jawab Peng-say dengan melenggong seperti patung.

Pelahan ia membalik tubuh dan pelahan berjalan keluar kamar, langkahnya berat seperti menyeret benda beribu kati, ia menuju ke kamar tulis Sau Ceng-hong tadi, Posisi tidur Sau Ceng-hong tadi tidak berubah sedikitpun, pintu kamarnya juga tidak terpalang, sedikit terdoroag lantas terbuka, ini membuktikan setelah musuh meniupkan asap bius, lalu membuka pintu untuk membunuh Sau Ceng-hong.

Kini Peng-say tidak mengharapkan lagi ayahnya cuma dalam keadaan tidur, iapun tidak takut kepada sisa obat bius yang masih tertinggal didalam kamar, begitu pintu terbuka segera ia memburu ke tempat tidur. Lebih dulu ia mendudukkan Lo-kiat pada kursi, lalu ia merangkul jenazah ayahnya yang sudah kaku dan dingin itu, namun tidak mencucurkan air mata barang setetespun.

"Coba kau periksa punggung Suhu apakah juga terdapat bekas telapak tangan?" ucap Lo-kiat dengan suara sedih.

Peng-say mengiakan. Segera ia membuka jubah hijau yang dipakai Sau Ceng-hong, lalu membuka baju dalam, setelah dilihatnya sekejap, lalu baju2 itu dikenakannya kembali. Katanya kemudian: "Betul, di punggung ayah juga ada bekas telapak tangan berwarna hitam, serupa ke-empat Suheng tadi.”

Lo-kiat kuatir anak muda itu terlalu sedih sehingga akan banyak mempengaruhi tindakan selanjutnya, maka ia sengaja memberi persoalan kepadanya agar Peng-say memeras otak, katanya; "Apakah kau tahu siapakah yang membunuh Suhu dan para Suheng?”

"Ting Tiong dan Liok Pek," jawab Peng-say singkat.

"Ya. pasti tidak salah lagi," kata Lo-kiat "Lebih dulu mereka telah meniupkan asap pembius ke kamar Suhu dan lain2, dalam keadaan tidak sadarlah mereka dibunuh.

Secara terang2an, mereka pasti bukan tnandingan Suhu dan Sunio, terpaksa mereka menggunakan cara rendah dan kotor ini Sebabnya Toa-suko tidak terbunuh, mungkin waktu itu dia bangun tidur, waktu merasakan asap pembius musuh, sekuatnya ia menerjang keluar kamar sehingga tidak banyak terbius.”

"Bisa jadi Toa-suko melihat perbuatan Ting Tiong dan Liok Pek dengan caranya yang rendah ini, pada sebelum kehilangan kesadarannya itu ia masih ingat baik2 nama kedua bangsat ini, setelah menerjang keluar, Toa-suko lantas jatuh pingsan. Ketika siuman kembali, kebetulan kita pulang, Toa-suko menyangka kita ini Ting Tiong dan Liok Pek, maka tanpa kenal ampun melancarkan serangan maut kepada kita, Lantaran perawakanmu tinggi besar menyamai Ting Tiong, maka dia menyangka kau ini Ting Tiong, tubuhku kurus kecil, maka aku dianggap Liok Pek. Kalau tidak masa dia menyebut kau orang she Ting dan menyatakan pula Liok Pek telah dibunuh olehnya" Aku telah dihantam olehnya sehingga mencelat, dia menduga aku pasti tak dapat hidup lagi, maka dia mengira sudah berhasil membunuh Liok Pek. . .”

"Perkiraanmu ini ada yang tidak cocok," ujar Peng-say.

"Mustahil Ting Tiong dan Liok Pek tidak membunuh Toasuko sekalian sehingga hilanglah semua saksi hidup “

Hati Lo-kiat rada lega mendengar Peng-say dapat menanggapi persoalannya dengan cermat. Segera ia membuat persoalan baru agar Peng-say lebih banyak memeras otak sehingga tidak melulu bersedih memikirkan kematian ayah, segera ia berkala pula: "Ha! Toa-suko tidak dibunuh oleh Ting Tiong berdua tidak sulit untuk dibayangkan. Waktu kita datang tadi di kamar si monyet masih ada sisa asap bius, ini menandakan Ting Tiong dan Liok Pek belum lama meninggalkan tempat ini. Di tengah malam buta, selagi semua orang tidur nyenyak. tentunya mereka tidak menyangka Toa-suko belum lagi tidur, mereka hanya meniupkan asap pembius sekamar demi sekamar, kuyakin di kamarku pasti juga penuh dengan asap bius itu.

Bahwa perbuatan mereka itu berjalan dengan lancar, sampai Sunio juga tidak merasakannya semua ini pertanda bahwa yang bekerja cuma Ting Tiong dan Liok Pek berdua, sebab selain mereka berdua, murid Say-koan angkatan kedua tiada yang memiliki Ginkang setinggi ini, hanya mereka berdua saja yang mampu menggunakan Ginkang mereka yang tinggi sehingga segenap anggota perguruan kita menjadi korban perbuatan mereka yang licik ini.

Karena mereka meniupkan asap bius sekamar demi sekamar besar kemungkinan mereka tidak tahu Toa-suko sempat menerobos keluar kamar, setelah pekerjaan mereka selesai dan mulai melakukan pembunuhan satu persatu barulah diketahui kamarku dan kamar Toa-suko kosong tanpa penghuni. Mungkin mereka menyangka Toa-suko dan diriku sedang turun gunung sehingga tidak berada di dalam kamar, mereka tidak menyangka ada orang menerjang keluar kamar dan jatuh pingsan diluar.”

"Jisuko memang tidak tidur di kamar, selimut bantalmu tentu masih terletak dengan rapi sehingga jelas kelihatan penghuninya memang lagi keluar. Sebaliknya Toa-suko habis tidur, tentu tempat tidurnya dapat ditemukan bekas2nya.”

Lo-kiat barkerut kening, katanya kemudian: "Ya, beralasan juga analisamu, tapi bisa juga diperkirakan begini, setelah Toa-suko menerjang keluar kamar, dia jatuh pingsan di tempat yang sukar ditemukan musuh. . . .”

Kirena memikirkan soal2 yang dikemukakan Lo-kiat itu sehingga rasa berduka Peng-say terlupakan, tapi ketika berpaling dan melihat jenazah ayahnyaa, mendadak ia menjadi sedih dan menangis tersedu-sedan.

Meski Lo-kiat mengatakan Toa-sukonya tidak ditemukan Ting Tiong dan Liok Pek sehingga tak terbunuh oleh mereka, tapi iapun tahu alasannya itu kurang berdasar, kalau kamar Sau Peng-lam diketahui ada bekas dibuat tidur, pasti juga Ting Tiong dan Liok Pek akan memikirkan sebabnya Peng-lam tidak berada di kamarnya dan tentu akan berusaha menemukannya. Betapapun luasnya Sohhok-han, bilamana mereka mau mencari dan menggeledah.

akhirnya tempat jatuh pingsan Peng-lam pasti juga akan ditemukan. Sebab apa Toa-suko tidak mati, ini memang suatu tanda tanya besar dan sukar untuk mendapatkan jawabannya sekarang, harus tanya kepada Peng-lam sendiri baru jelas duduknya perkara. Tapi Lo-kiat tahu sang Toa-suko sudah gila, ditanya juga takkan diperoleh sesuatu keterangan.

Kalau Sau Peng-lam tidak gila, tidak nanti ia menganggap Lo-kiat sebagai Liok Pek dan menganggap Peng-say sebagai Ting Tiong. Ia pun tidak mungkin berpura2 gila, suara tertawanya waktu berlari pergi itu membuktikan dia keracunan sangat dalam, andaikan bisa sadar kembali, tentu jaringan otaknya juga sudah rusak.

Kiau Lo-kiat berpengalaman luas, tergolong orang Kangonw kawakan, banyak permainan aneh yang mengandung mujizat telah dikenalnya, ia menduga gilanya Sau Peng-lam pasti akibat racun asap bius musuh yang merusak syaraf otak besarnya.

Waktu Peng-say menangis sambil mendekap jenazah ayahnya, keadaan Kiau Lo-kiat bertambah payah, ia menyadari lukanya yang kena hantaman Toa-suko itu sangat parah dan tiada harapan lagi buat hidup, tapi ia tidak ingin Peng-say membuang2 tenaga baginya, maka sedapatnya ia menahan darah yang hampir tersembur lagi dari mulutnya, ia berkata: "Cap-itsute, hendaklah jangan berduka, coba dengarkan uraianku. Tentang terbunuhnya segenap anggota perguruan kita, pembunuhnya jelas Ting Tiong dan Liok Pek. hal ini tidak perlu disangsikan lagi.

Mungkin kau merasa sangsi, kalau sama2 anggota persekutuan lima besar. mengapa Say-koan sampai hati turun tangan sekeji ini" Bagi orang2 yang tidak tahu seluk-beluk Ngo-tay-lian-beng. rasa sangsi ini memang beralasan.

Betapa pun Ting Tiong dan Liok Pek tidak mungKin melakukan keganasan ini hanya karena dia pernah dikalahkan Sunio. Tapi kau harus tahu bahwa antara perguruan kita sudah lama ada selisih paham dengan Saykoan. Coh-bengcu, Coh Cu-jiu hanya lahirnya saja akur dengan Suhu, tapi di dalam hati keduanya tidak cocok, Hal ini disebabkan Suhu tidak menyuKai kepribadian Coh Cu iu dan mengangapnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi Beng-cu lima besar. Ketika terjadi persekutuan pada 20 tahun yang lalu, waktu pemilihan Bengcu, sekuat tenaga Suhu menolak Coh Cu-jiu menjabat ketua persekutuan, karena itu hampir saja Coh Cu-jiu tidak terpilih. Kemudian berkat bujukan Tionggoan sam-yu, akhirnya Suhu megalah. Tapi sejak itu Coh Cu-jiu lantas sakit hati kepada Suhu dan memandang Suhu sebagai duri di dalam daging. Sesungguhnya moral Coh Cu-jiu ini sangat rendah, di luar persoalan pertemuan di Ki-lian-san, dimana sejak dikerubut, melulu soal pembunuhan segenap keluarga Wi-susiok saja sudah cukup memperlihatkan betapa sempit jiwanya, orang macam begitu mana sesuai untuk menjadi pemimpin para pahlawan" Karena peristiwa terbunuhnya keluargn Wi-susiok itu, Suhu pernah menyesali hal itu sebagai kemalangan Ngo-tay-lian-beng, dia menyesal dahulu telah mengalah, kalau dia tetap pada pendiriannya, sekali pun kelima besar gagal bersekutu dan masing2 mencari jalannya sendiri2, belum tentu kaum kita akan dapat dikalahkan Ma-kau. Bersekutu memang juga ada manfaatnya, tapi kalau dipimpin oleh orang yang berjiwa sempit seperti Coh Cu-jiu, lambat atau cepat Ngo-tay-lian-beng juga pasti akan runtuh. Lihat saja sekarang.

Lima besar sudah hilang satu, lantaran kematian Wi-susiok jelas Boktay-siansing dari Thay-san-pay juga pasti tidak mau mendukung Coh Cu-jiu sepenuh hati. Ting-yat Suthay dari Siong-san-pay juga terhina, ditambah lagi kematian Gi-lim, murid kesayangannya itu, bilamana kejadian ini sampai tersiar, mustahil Ting-yat bisa tinggal diam terhadap Ting Tiong dan Liok Pek, Padahal Tionggoan-samyu terdiri dari Thian-bun Supek dari Yan-san-pay, Boktay-siansing dari Thay-san-pay serta Ting-sian Suthay dari Siong-sanpay, mengingat apa yang sudah terjadi ini, kelak mereka pasti juga tidak sudi mendukung Coh Cu-jiu. Kalau sudah begitu, maka tepatlah seperti dugaan Suhu, lima besar akhirnya pasti akan runtuh. Memang, semua ini adalah kemalangan bagi dunia kependekaran kita, tapi siapa yang harus disalahkan" Ting Tiong dan Liok Pek juga serupa Suhengnya Coh Cu-jiu, semuanya berjiwa sempit, berpikiran picik, sedikit2 sakit hati dan menuntut balas.

Tidak perlu kau sangsikan lagi, si pembunuhnya pasti mereka berdua, bisa jadi tindakan mereka ini pun direstui oleh Coh Cu-jiu. Dasar Suhu memang orang yang jujur dan tidak ber-jaga2 segala kemungkinan. Padahal setelah peristiwa dia menolak Coh Cu-jiu menjadi Bengcu, sejak itu beliau seharusnya ber-jaga2 akan akibatnya. Ngo tay-lian-beng jelas akan runtuh dalam waktu singkat ini, maka kau pun tidak perlu kuatir tindakanmu menuntut balas akan merugikan persatuan kaum pendekar, yang penting hendaklah kau latih Siang-liu-kiam-hoat dengan lengkap dan sempurna, paling tidak harus kau bunuh Ting Tiong dan Liok Pek untuk .... untuk membalas sakit hati Suhu dan. . . dan para saudara seperguruan kita!”

"Kutahu, Ji-suko, kutahu. ..." jawab Peng-say dengan tersendat.

Dengan tabah ia berdiri, ia pondong jenazah ayahnya dan mendekati Lo-kiat. tanyanya: "Ji-suko, bagaimana keadaanmu sekarang?”

Namun mata Lo-Liat tampak terpejam rapat dan tidak menjawab, waktu Peng-say merabanya, ternyata sang Jisuko sudah mangkat. . . .

"0O0"odwo"0O0”

Liong-bun-tin adalah sebuah kota yang cukup ramai di barat Huiciu. "Gin-pin-lau", demikian nama sebuah restoran paling besar di kota itu.

Hari tepat lohor, saat yang paling ramai dan sibuk di restoran itu. Bagian bawah sudah penuh tamu, hanya di atas loteng yang masih ada tempat lowong, mungkin kebanyakan tamu malas untuk naik-turun loteng.

Di sebuah meja kecil dekat dengan ujung tangga loteng berduduk sendirian seorang pemuda berbaju putih, pakaian tanda berkabung. Melihat wajahnya yang lesu dan sedih, besar kemungkinan dia sedang berkabung bagi orang tuanya. Memang, dia bukan lain daripada Sau Peng-say yang tiga hari yang baru lalu kematian ayah. Sendirian Peng-say mengubur jenasah ayahnya dan likuran mayat anggota keluarga Lam-han, dengan sedih ia meninggalkan Soh-hokhan dan meneruskan perjalanan ke barat.

Ngo-hoa-koan atau kantor lima bunga, terkenal juga sebagai Say-koan atau kantor barat, letaknya jauh di propinsi Sinkiang.

Sinkiang terletak di daerah barat, kalau Peng-say menuju ke arah barat, apakah dia hendak menuntut balas kepada Ting Tiong dan Liok Pek”

Jika demikian halnya, dengan kekuatan sendirian, rasanya terlalu tidak tahu diri. Sebab kalau dia gagal menuntut balas, sebaliknya terbunuh, lalu siapa yang lagi akan menuntut balas bagi kematian Cin Yak-leng, Sau Ceng-hong serta saudara2 seperguruannya”

Apakah karena darah muda, terdorong oleh tekadnya akan membalas dendam, lalu secara nekat hendak menempur Ngo-hoa-koan yang mempunyai be-ribu2 anak murid itu”

Tidak, dalam hal ini Sau Peng-say masih cukup berkepala dingin. ia tahu bukan soal kalau cuma jiwanya sendiri yang melayang, yang lebih penting adalah soal menuntut balas, hal ini harus dilakukannya sendiri, maka segala urusan tidak boleh bertindak secara gegabah.

Sekalipun tanpa pembantu dan segala sesuatu harus dilakukannya sendiri, namun ia akan taat kepada pesan Jisuko. ia harua belajar dulu Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap, habis itu barulah membalas dendam. Paling sedikit, bilamana Siang-liu-kiam sudah dikuasainya, harapan berhasilnya menuntut balas akan lebih besar sehingga tidak sampai sia2 usahanya membalas dendam, dan mungkin jiwa sendiri akan melayang malah.

Tapi kemanakah dia harus belajar setengah bagian Siangliu-kiam-hoat yang lain, yaitu bagian kanan”

Di manakah bibinya, Soat Ciau-hoa" Entah, dia tidak tahu! Dan dimanakah Soat Koh" Ia pun tidak tahu! Dari pada mencari orang didunia seluas ini secara ngawur, tidakkah lebih baik pergi ke Sin-kiang untuk menyelidiki kekuatan Ngo-hoa-koan yang sebenarnya dan kalau bisa membalas dendam sekaligus bila ada kesempatan baik. Syukur kalau dalam perjalanan dapat berjumpa dengan bibi dan Soat Koh, kalau tidak, pergi ke Sin-kiang rasanya akan jauh lebih baik daripada luntang-lantung kian kemari tanpa arah tujuan.

Demikianlah maksud tujuan Sau Peng-say dalam perjalanan ke barat ini.

Apakah nanti akan berhasil berjumpa dengan bibinya dan Soat Koh serta memohon mereka mengajarkan setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat, Kali ini terpaksa terserah kepada nasib nanti.

Untuk hidup, manusia tidak boleh tidak makan. Sebab itulah Peng-say berada di restoran Gin-pin-Lau itu untuk memenuhi kebutuhan orang hidup.

Apakah dia membawa sangu yang cukup”

Sudah tentu cukup, bahkan jauh daripada cukup kalau tidak, mana dia berani masuk ke restoran besar itu”

Maklumlah, harta benda Soh-hok-han yang paling bernilai sekarang berada padanya dan lebih dari cukup untuk digunakannya selama hidup.

Namun Peng-say adalah pemuda yang sederhana, sejak kecil sudah terbiasa hidup hemat, ia bukan tipe pemuda yang pegang uang terus ber-foya2, terus makan besar.

Apalagi dia baru kematian ayahnya, mana dia ada gairah buat makan minum besar”

Lihat saja, di meja hanya semangkuk nasi putih dan dua piring sayur, daging tidak dipesan, arak tidak juga diminum, tamu begini tentu saja tidak disukai oleh pelayan restoran, pantas kalau pelayan meminta dia pindah kemeja yang dekat dengan ujung tangga loteng itu.

Semula Peng-say memilih meja yang berdekatan dengan jendela, namun pelayan yang biasanya menjilat ke atas dan meludah ke bawah itu menjadi kurang senang ketika melihat santapan yang dipesan Peng-say hanya begitu saja, dengan tertawa yang di-buat2 ia lantas minta Peng-say suka pindah ke meja dekat tangga loteng dengan alasan anak muda itu cuma makan sendirian.

Peng-say adalah pemuda yang lugu, ia lihat ruang bawah memang sudah penuh, bila dirinya mengangkangi sebuah meja besar, kalau tamu membanjir lagi mungkin dia akan menghalangi pasaran restoran itu. Maka tanpa keberatan apa2 dia pindah ke tempat yang ditunjuk.

Kemudian datanglah dua tiga tamu lain yang royal, ternyata setiap tamu itu mengambil satu meja sendirian dan si pelayan tidak minta mereka pindah tempat, yang jelas santapan yang mereka pesan itu jauh lebih banyak dan lebih berharga daripada pesanan Peng-say.

Maka tahulah dia telah menjadi korban "jiwa penjilat" si pelayan. Tapi setelah berpikir, dimana- pun juga kaum budak memang rata2 berjiwa penjilat begitu, maka iapun tidak mempersoalkannya lebih lanjut.

Ia pikir di dekat tangga loteng atau didekat jendela kan sama saja, asalkan ada tempat untuk makan, dapat mendengar obrolan orang, kan cukup”

Sudah dua hari dia menempuh perjalanan, sepanjang perjalanan sudah cukup banyak didengarnya berita yang menyangkut Lam-han. Di kota Liong-bun inipun dia ingin tabu apa yang dibicarakan penduduk setempat, sebab itulah ia sengaja makan di restoran yang paling ramai.

Kalau ruangan bawah tidak penuh, sebenarnya iapun malas naik ke atas loteng. Apalagi di ruang bawah yang penuh tamu itu akan lebih banyak orang membicarakan persoalan yang ingin didengarnya.

Dia heran darimana khalayak ramai sedemikian cepat mendengar kemalangan yang menimpa Lam-han, siapakah yang menyiarkan kejadian ini”

Belum Peng-say menghabiskan satu mangkuk nasinya, mendadak naiklah serombongan lelaki berseragam kuning sehingga agak mengacaukan napsu makannya. Apalagi ketika dikenalinya satu-dua orang berseragam kuning itu, cepat ia menunduk dan berpaling ke arah lain.

Di atas loteng itu ada lima pelayan, karena datangnya rombongan tamu itu, para pelayan itu sibuk mengatur meja buat mereka. Kebetulan orang2 itu terbagi menjadi lima meja sehingga satu meja tepat diladeni seorang pelayan.

Orang2 yang mengelilingi empat meja segera ber-teriak2.

sebelum pelayan mendekat: "Lekas bawakan arak dan siapkan santapan!”

Hanya dua laki2 baju kuning yang duduk bersama disatu meja tampaknya lebih sabar dan tenang daripada kawannya. Setelah pelayan menyodorkan daftar makanan, dengan lagak tuan besar seorang lelaki berkepala botak menerima daftar itu dan dibaca sejenak, lalu berkata: "Buatkan daging panggang, daging sapi dan kambing komplit ditambah sup buntut, empat meja yang lain juga diberi santapan yang sama. Cepat!”

"Dan araknya?" tanya si pelayan.

Lelaki satunya lagi yang kurus kering seperti orang sakit tebese menjawab: "Arak apa Suheng" Tiok-yap-jing di kota ini lumayan juga.”

"Baiklah. beri arak Tiok-yap-jing!" seru si botak.

Kedua orang yang dikenal Peng-say ini memang betul Ting Tiong dan Liok Pek, kedua tokoh Say-koan yang lihay itu.

Orang2 yang berduduk di meja2 lain adalah anak murid Say-koan yang ikut dinas ke Huiciu. Satu di antara orang2 yang duduk di sebelah sana. yang lebih tinggi satu kepala daripada orang lain ialah Su Ting-tat yang berjuluk Jian-tiang-siong (cemara seribu depa).

Karena mereka habis bekerja berat, perjalanan mereka lebih lambat, baru sekarang mereka sampai di Liong-buntin. -ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar