Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 23

Jilid 23

Mestinya ia hendak mengomeli mereka yang merusak mayat orang mati, tiba2 teringat olehnya Sau Peng-lam juga pernah menyayat mayat Hui Pin, maka urung melanjutkan ucapannya, ia lantas ganti haluan dan berkata pula; "Lalu mereka .... mereka memaksa aku mengikuti mereka pergi, sepanjang jalan aku ditanyai pula siapa pembunuh Hui susiok, katanya siapa mereka dan ada hubungan apa dengan Hui-susiok. tapi mereka tidak mau menerangkan, hanya terus memaksa agar aku mengaku siapa yang membunuh Hui-susiok. . . .”

"Sesungguhnya siapa yang membunuh Hui-susiok?”

tukas Leng Hiang tiba2.

Gi-lim mengangkat kepala dan memandangnya sekejap, lalu menunduk pula, tanyanya kepada Peng-lam dengan suara pelahan: "Toa . . .Toako, siapakah dia?”

"Dia inilah Leng-sumoay, Leng Hiang," jawab Peng-lam.

"Gi-lim cici," kata Leng Hiang pula, "tentu kau tahu pembunuh Hui-susiok yang sebenarnya, betul tidak" Jut keh-lang tidak boleh berdusta, nah, lekas katakanlah, siapakah pembunuh itu sebenarnya?”

"Tidak tahu?" jawab Gi-lim dengan dingin.

"Tadi kau bilang tidak berani omong, jadi bukannya tidak tahu," kata Leng Hiang. "Bila sejak semula kau bilang tidak tahu, kan tidak banyak urusan seperti sekarang?”

Peng-lam menghela napas, katanya: "Ucapan Sumoayku memang betul, seharusnya sejak semula kau bilang tidak tahu saja, padahal kalau kau katakan tidak tahu, siapa lagi yang dapat memaksa kau?”

Gi-lim merasa kurang senang karena Peng-lam membela ucapan Leng Hiang, semula ia setengah berbaring ditandunya menghadapi Peng-lam, sekarang mendadak ia membalik tubuh ke samping.

Segera Ting Tiong menyambung pula: "Watak Siausuhu ini polos bersih, tidak suka berdusta. Sau Peng-lam, biarpun kau inginkan dia bantu menutup, rahasiamu dan menyatakan tidak tahu, kan sudah terlambat sekarang “

Peng-lam lantas bertanya: "Gi-lim, betulkah aku pembunuhnya?”

Tapi Gi lim diam saja.

"Sau Peng-lam, tidak perlu tanya lagi," sela Liok Pek, "Dengan jelas sudah dikatakannya kepada kami bahwa kau pembunuhnya. Tiada gunanya banyak bertanya pula, sekalipun ia kau tanyai juga ia tak berani omong. Padahal juga tidak perlu ditanyai pula, berdiam berarti mengakui.

Nah anak muda, ikutlah kami ketempat Coh-suheng untuk mengaku dosamu. Seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, apa gunanya kau ngotot disini.

apakah ingin membikin susah Gihu dan Gibomu?”

Peng-lam jadi emosi, teriaknya. "Tidak, pembunuhnya bukan aku, Gi-lim, katakanlah, apakah aku ini pembunuhnya?”

"Sam-sute, tangkap dia dan berangkat!" kata Ting Tiong.

Segera Liok Pek melangkah maju, melihat Leng TiongCik tidak merintanginya, ia lantas berkata kepada Penglam. "Menurutlah sedikit, sekarang tiaada orang berani membela kau lagi, malahan kami nanti dapat mintakan sedikit kelonggaran bagimu di tempat Coh-suheng agar kau tidak dihukum siksa dan bereskan kau secara cepat saja.”

Peng-lam jadi ngeri membayangkan hukuman siksa yang kejam itu, ia berusaha berontak pada kesempatan terakhir, teriaknya pula dengan suara gemetar, "Gi-lim, lekas katakan bahwa aku bukan pembunuhnya.”

Tapi Gi-lim tetap bungkam.

Liok Pek lantas berkata pula: "Coba, dia tetap diam saja.

Sudahlah, jangan bikin malu, memangnya kau hendak berlutut dan menyembah padanya untuk memohon dia mengatakan kau bukan pembunuhnya" Hayolah berangkat, tunjukan kejantananmu sedikit!”

Dengan lesu Pang-lam berbangkit, ucapnya dengan lemas: "Baik, silakan kalian meringkus diriku!”

"Nah, beginilah baru kelihatan sedikit jiwa ksatria murid Lam-han," ucap Liok Pek sambil mengeluarkan seutas tali kulit.

"Jangan meringkus dia!" mendadak Gi-lim berseru, "bukan dia pembunuhnya, pembunuh yang sebenarnya ialah. . . .”

"Tutup mulut!" bentak Peng-lam, "Cara bagaimana harus kukatakan?" tanya Gi-lim dengan gegetun.

"Cukup begitu saja," Kata Peng-lam.

"Tapi mereka memaksa kukatakan pembunuhnya," ujar Gi-lim.

"Lebih baik kita mati sendiri daripada mengatakan pembunuh yang sebenarnya," kata Peng-lam dengan kereng. Gi-lim menghela napas, ucapnya: "Kutahu, selalu kuingat pada ucapan Toako, kukuatir dia akan mencari setori dan mengadu pedang dengan guruku, maka sejauh ini tidak kusebut namanya.”

Kiranya dia tidak berani menyebut Bok Jong-siong sebagai pembunuhnya bukan lantaran dia berkuatir akibatnya seperti apa yang dipikirkan Peng-lam, sebabnya dia tidak berani omong hanya karena ucapan Peng-lam tempo hari. Disamping dongkol, geli juga Peng-lam, tapi juga merasa lega. Tak disangkanya bahwa ucapannya yang bersifat gurauan tempo hari bisa mendatangkan efek seperti sekarang ini, Cuma, apa sebabnya kemudian Gi-lim mengaku dia sebagai pembunuhnya, inilah yang tidak dipahami. Tiba2 Ting Tiong bertanya: "Siausuhu, siapa pembunuh Hui-susiokmu yang sesungguhnya?”

Sekarang Gi-lim sudah bertambah cerdik, ia menjawab: "Aku tidak tahu.”

Dengan suara keras Liok Pek menggertaknya: "Tidak tahu" Akan kami beset kulitmu!”

"Mati Saja aku tidak takut sekarang, masa takut dibeset?”

jawab Gi-lim dengan tertawa. "Biar-pun kau menyiksa diriku juga aku tidak takut lagi.”

"Sam-sute, bawa Sau Peng-lam!" seru Ting Tiong.

"He, ini tidak boleh jadi, dia bukan pembunuhnya!”

teriak Gi-lim "Sudah pernah kau katakan dia ini pembunuhnya, tiada gunanya sekarang kau menyangkal!" kata Ting Tiong. Lalu ia membentak: "Bawa dia berangkat!”

Selagi Liok Pek hendak turun tangan, terdengar Gi-lim berteriak dengan cemas: "Tidak, jangan kalian membawa pergi dia, dia benar2 bukan pembunuhnya!”

Liok Pek tidak menghiraukannya dan segera akan turun tangan. Tapi Leng Tiong-cik lantas mencegah: "Liok-sute, nanti dulu!”

"Apakah Sau-hujin hendak merintangi tugas kami?”

tanya Ting Tiong.

"Anak Lam bukan pembunuhnya, dengan sendirinya harus kurintangi," jawab Tiong-cik.

"Jelas Nikoh cilik ini terbujuk sehingga menyatakan puteramu bukan pembunuhnya," kata Ting Tiong. "Tapi coba Sau-hujin pikirkan, pertanyaannya yang sudah terlambat ini apakah berguna?”

"Ingin kutanyai dia lebih jelas, boleh?" kata Leng Tiong-cik.

"Silakan," jawab Ting Tiong.

Segera Leng Tiong-cik bertanya: "Gi-lim Siau-suhu, sebab apa mula2 kau memfitnah Sau-toakomu sebagai pembunuh Hui-susiok" Tentunya kau tahu bahwa jiwanya hampir melayang lantaran berusaha menyelamatkan kesucianmu, masa begini cepat kau lupa kepada buai pertolongannya atau kau memang tidak tahu kebaikan orang kepadamu?”

"Aku bukan patung, masa tidak tahu kebaikan orang padaku?" jawab Gi-lim. "Kebaikan Toako padaku cukup jelas kuketahui, tidak perlu kau menginagtkan diriku.”

"Habis kenapa kau sampai hati membikin susah dia?”

tanya Tiong-cik pula.

Mendadak Gi-lim menangis, selang sejenak, ia mengusap air mata sambil menunduk, katanya: "Tidak seharusnya dia melupakan diriku, aku ditinggalkan sendirian di pegunungan sunyi sana, aku ketakutan dan semalaman tidak berani tidur, kududuk di samping tiga kuburan baru, menangis semalam suntuk. Besoknya aku ditangkap mereka, mereka menyiksa diriku dan menakuti diriku dengan macam2 jalan, semula aku masih bertahan, kemuadian aku mulai menyalahkan Sau-toako, tidak seharusnya dia meninggalkan diriku dan pergi bertemu dengan Siausumoaynya yang bernama Leng Hiang dan aku dilupakannya . .. .”

Mendengar penuturan Gi-lim ini, diam2 Peng-lam merasa penasaran, padahal kepergiannya itu adalah menuju ke kelenteng Toapekong untuk menolong Soat Peng-say dan tidak pernah pergi berkencan dengan Leng Hiang. Tapi dalam benak Gi-lim yang tidak tahu apa yang terjadi ini menyangka dia pergi menemui Siau-sumoaynya.

Inilah jalan pikiran perempuan yang sering2 menuju ekstrim. Meski Gi-lim sudah menjadi Nikoh, tapi dia tetap perempuan dan tak terhindar dari sifat2 perempuan.

"O jadi kau menyesal Sau-toako melupakan kau, tapi kau pun tak juga berani menyebut nama si pembunuh yang sebenarnya, maka saking tidak tahan oleh macam2 siksaan, lantas kau berdusta bahwa Sau-toako ialah pembunuhnya, begitu?" tanya Leng Tiong-cik.

Gi-lim mengangguk, katanya: "Menyesal sih memang menyesal, cuma tidak sengaja membikin susah padanya.

Aku cuma ingin bertemu dengan Sau-toako, kupikir hanya dengan jalan mengaku Sau-toako sebagai pembunuhnya barulah mereka akan membawa diriku untuk ku ditemukan dengan dia.”

"Sungguh, Nikoh cilik yang berhati busuk," damperat Leng Hiang, "jiwanya hampir saja melayang bagimu, masa kau bilang tidak sengaja bikin susah dia?”

Gi-lim tidak menghiraukannya, dengan suara pelahan ia bergumam: "Akhirnya toh aku dapat bertemu dengan dia!”

Dari nadanya Peng-lam merasakan gelagat tidak baik, cepat ia berseru: "Jangan!”

Namun sudah terlambat, pada saat mengucapkan kata2 terakhir itu, sebilah belati yang digenggam Gi-lim secepat kilat bersarang di ulu hati sendiri.

Cepat Peng-lam memburu maju dan memondongnya, ia bermaksud mencabut belati itu.

Tapi Gi-lim sempat memegang tangannya, ucapnya dengan menahan sakit: "Biar kukata ....katakan. . . .”

Peng-lam melihat belati itu menancap sangat dalam di ulu hati Nikoh cilik itu, bila dicabut bisa jadi jiwa Gi-lim akan terus melayang dan tidak sempatt bicara Iagi.

Dengan tersendat ia lantas menjawab: "Baiklah. ka . ..

.katakanlah!”

Sekuatnya Gi-lim bicara dengan ter-putus2: "Matipun aku tidak .... tidak sengaja membikin celaka dirimu . . ,.”

"Kutahu, kutahu . ..." air mata ber-linang2 di kelopak mata Peng-lam.

"Dan akupun tidak dapat . . . ,tidak dapat membikin susah Suhu . . . .”

Peng lam mengangguk dengan terharu.

"Jika .... jika aku mati, mereka .... mereka tak dapat lagi meng .... mengorek pengakuanku tentang pembunuh yang sebenarnya .... “

Sampai di sini mulutnya terus terkatup rapat2, dari sudut mulutnya merembes keluar darah hitam, suhu badannya mulai turun, makin turun dan makin dingin.

Sampai sekian lama barulah Sau Peng-lam mengetahui Gi-lim sudah mati. Kedua tangannya terasa kesemutan dan mati rasa, air matanya bercucuran.

Ting Tiong memberi isyarat kepada kawannya, serentak dia dan Liok Pek menubruk kebelakang Sau Peng-lam.

Gi-lim sudah mati, hanya dari Peng-lam saja dapat dikorek keterangan siapa pembunuh yang sesungguhnya.

Peng-lam se-akan2 tidak tahu akan sergapan itu, dengan ter-mangu2 ia tetap memandangi jenazah Gi-lim.

Tapi Leng Tiong-cik lantas bertindak, dengan pedang terhunus iapun melompat maju sambil membentak: "Berani kau!" " Selagi masih terapung di udara. pedangnya sekaligus menusuk ke kanan dan ke kiri sehingga Ting Tiong dan Liok Pek dipaksa harus menyelamatkan diri lebih dulu. Leng Tiong-cik berjuluk "Hui-ih-kiam" atau pedang hujan gerimis, gerak pedangnya secepat dan sederas seperti hujan gerimis, susul menyusul tanpa berhenti. Meski satu lawan dua, tapi sekali sudah menyerang kedua lawannya sama sekali tidak berkesempatan untuk melolos senjata.

Selangkah demi selangkah Ting Tiong dan Liok Pek terdesak mundur sehingga kepepet di sudut dinding dan ta kbisa mundur lebih jauh lagi. Tapi hanya sampai di sini saja Leng Tiong-cik lantas menarik kembali pedangnya dan berkata, "Sementara ini titip dulu kepalamu! Sekaraog lekas enyah dari sini!”

Ting Tiong dan Liok Pek merasa kehilangan pamor, mereka memberi hormat dan berkata: "Budi Leng-tihiap yang tidak membunuh kami pasti kami ingat dengan baik!”

" Habis berkata mereka terus membalik tubuh dan pergi.

Sudah tentu anak murid Say-koan yang ikut hadir juga merasa kehilangan muka oleh karena kekalahan kedua Susioknya. dalam sekejap mereka pun pergi seluruhnya.

Hanyi tersisa keempat kuli tukang pikul tandu itu, mereka masih berdirl melongo di situ dengan bingung.

Leng Tiong-cik menyuruh pelayan memberikan upah kepada mereka dan menyuruhnya pergi dengan tandunya, tandu yang kosong, sebab orang yang tadinya berbaring di tandu itu kini masih berada dalam pangkuan Sau Peng-lam.

Setelah mendapat isyarat dari Leng Tiong-cik, seorang murid perempuan berumur tiga puluhan mendekati Penglam dan berkata: "Toa-suko, biarkan aku yang memondongnya.”

Peng-lam diam saja, tiada tanda2 akan menyerahkan mayat Gi-lim itu.

"Orang sudah mati, sebaiknya lekas dikebumikan, biarlah kubawa pergi untuk mengatur segala apa yang perlu," kata pula Sumoaynya itu.

"Tidak perlu bikin susah Sumoay, biar kusendiri yang mengubur dia," kata Peng-lam.

Tiong-cik menjadi kurang senang, katanya: "Anak Lam, apa jadinya kau pondong seorang Nikoh begitu" Lekas serahkan!”

Terpaksa Peng-lam menyerahkannya kepada Sumoaynya, tapi tetap ikut pergi untuk mengubur Gi-lim.

Leng Tiong-cik sangat mendongkol, waktu berpaling, dilihatnya Soat Peng-say berdiri di belakang, segera ia membentak: "Untuk apa kau berdiri disitu" Nonton dagelan anggapanmu"!"“

Peng-say menjadi gugup, jawabnya dengan gelagapan: "Tecu .... Tecu tidak bermaksud demikian . ..”

Entah mengapa, Leng Tiong-cik lantas benci bila melihat tampang Peng-say, ia membentak pula: "Lekas enyah dari sini!”

Dengan menahan rasa penasaran, terpaksa Peng-say mengiakan. Belum lagi dua-tiga langkah ia berjalan didengarnya Leng Tiong-cik berteriak pula: "Enyahlah yang jauh, sebaiknya enyah saja dari gunung ini. Disini hanya diperlakukan dingin oleh saudara seperguruan, apa tidak risi?" Mendengar cemoohan ini, seketika air mata Peng-say bercucuran, katanya didalam hati: "Baik, enyah ya enyah! Dalam keadaan begini, masa aku masih punya muka untuk berdiam lagi disini?”

Dengan setengah berlari ia menerjang keluar, tapi sampai di ambang pintu, dilihatnya seorang mengadang ditengah jalan. Waktu ia menengadah ternyata sang guru adanya.

Rupanya sudah sejak tadi Sau Ceng-hong berada disitu, tapi tiada seorangpun yang tahu.

Peng-say memberi hormat dan berucap dengan suara sedih: "Suhu, murid mohon diri!”

Sau Ceng-hong tidak memperlihatkan sesuatu tanda, ia hanya bersuara pelahan.

Dengan terkesima Peng-say memandang Sau Ceng-hong sekejap, bukannya dia heran pada sikap sang guru yang tiada memberi tanda apa2, tapi heran lantaran cuma sebulan tidak bertemu, mengapa Sau Ceng-hong sudah berubah jauh lebih tua, seperti sudah berpisah berpuluh tahun. Peng-say lantas berlari kembali ke kamarnya, ia tidak mempunyai barang milik, ia hanya mengambil seruling kemala, satu2nva barang tinggalan mendiang Cin Yak-leng, seruling ini tidak boleh hilang. dengan hati2 ia menyimpannya di dalam baju lalu turun gunung dengan langkah cepat. Selagi menuruni puncak gunung. tiba2 didengarnya suara Kiau lo-kiat berteriak di belakang: "Cap-itsute:”

Peng-say berhenti dan menoleh. jawabnya: "Ji-suko, aku sudah pamit kepada Suhu dan sekarang bolehlah kupergi.”

Kiau Lo-kiat berlari ke samping Peng-say, setelah menghembus napas. ia berkata dengan tertawa: "Kedatanganku bukan untuk membujuk engkau kembali keatas gunung, Suhu yang menyuruhku mengantar kau sebentar!”

"Ah, mana berani kubikin capai Ji-suko, kukira tidak perlu diantar," kata Peng-say.

"Tidak, harus kuantar, hayolah jalan!" seru Kiau Lo-kiat sambil memegang sebelah tangan Peng-say terus diajak berlari ke bawah.

Sepanjang jalan mereka terus berlari secepat terbang, orang lalu lalang sama heran menyaksikan kecepatan mereka, hanya kelihatan dua titik bayangan, hanya sekejap saja sudah menghilang di kejauhan, Setelah berlari sekian lama, mendadak Kiau Lo-kiat berhenti dan menjatuhkan diri berduduk ditanah dengan napas ter-engah2. Sebaliknya air muka Peng-say biasa2 saja, se-olah2 tidak keluar tenaga.

Peng-say ingat, dahulu waktu gurunya menggunakan tanda untuk mengumpulkan para saudaranya di kelenteng Toapekong itu, dirinya berlari paling lambat, hanya dapat mengikuti bayangan Leng Hiang dari jauh. Apalagi Kiau Lo-kiat, begitu mulai berlari lantas jauh meninggalkan dia.

Siapa tahu hanya dalam waktu sebulan saja, bukan saja dirinya sekarang mampu berlari sejajar Ji-suheng ini, bahkan tidak merasa lelah, kenyataan yang aneh membuatnya heran. Ia menyangka hasil latihan ke 18 gaya semadi itu, diam2 ia merasa terima kasih kepada Sau Penglam yang telah memberikan buku nada seruling itu.

Dilihatnya Kiau Lo-kiat masih ter-engah2 sambil menegeleng, katanya: "Sudah tua, tidak berguna lagi!”

Semula Peng-say mengira sang Ji-suheng ini rendah hati dan pura2 saja, tapi setelah diperhatikan lagi, tampaknya memang sungguh2 payah, sekali ini ia menjadi rada sangsi terhadap kemampuannya sendiri, masa dalam sebulan saja Lwekangnya sudah melampaui Ji-suhengnya”

Ia ter-mangu2 dengan penuh tanda tanya dalam benaknya Sejenak kemudian, Kiau Lo-kiat berbangkit dan berkata: "Apa yang kau renungkan" Perut sudah lapar, marilah kita cari makanan?”

Tidak jauh di depan adalah Huiciu, kota pelabuhan yang cukup ramai, mereka masuk kota dan mencari rumah makan serta pesan santapan dengan arak.

Kiau Lo-kiat menuang dua cawan arak dan mengajak minum: "Cap-itsute, silakan minum satu cawan. Santapan ini anggaplah perjamuan selamat jalan bagimu, sebentar jangan kau berebut bayar rekening denganku.”

Peng-say tertawa, katanya; "Jika begitu, tarima kasih lebih dulu.”

Sekaligus mereka masing2 menghabiskan tiga cawan arak, setelah makan beberapa sumpit sayur dengan bersemangat Kiau Lo-kiat berkata pula: "Mari, marilah minum lagi, hari ini kita harus minum sampai mabuk!”

Karena hatinya lagi duka dan kesal, Peng-say memang perlu penyaluran, dengan tertawa ia berkata: "Baik, harus minum sampai mabuk!" "Ia menuang penuh satu cawan, sekali tengggak dihabiskan pula. Tanpa makan sayur segera ia isi lagi cawannya.

Selagi dia hendak minum pula. tiba2 Kiau Lo-kiat memegang tangannya dan bertata. "Nanti dulu, hati2 kalau mabuk.”

"Bukankah Ji-suko sendiri bilang harus minum sampai mabuk?" tanya Peng-say dengan heran.

Kiau Lo-kiat tertawa, katanya: "Mabuk sih boleh saja, kalau merusak kesehatan, inilah yang tidak boleh.”

"Jangan kuatir, hanya beberapa kati arak saja, biarpun mabuk juga takkan mengganggu kesehatan-ku.”

Lo-kiat menggeieng, katanya: "Seorang kalau tiada mempunyai sesuatu pikiran. betapa dia mabuk, asalkan berkeringat, segera dia akan sadar kembali, tapi bagi orang yang batinnya tertekan, terus menerus minum arak terang tidak baik.”

"Masa aku punya pikiran apa2. marilah, kita minum lagi" ucap Peng-say dengan tertawa.

Namun Lo-kiat tetap memegangi tangannya, katanya dengan tertawa: "Cap-itsute, bicaramu terang tidak jujur, apakah betul kau tidak menanggung pikiran?”

Seketika dada Peng-say terasa kecut, air matanya lantas menetes. Umumnya lelaki tidak mudah mencucurkan air mata, sebab rasa dukanya belum tersentuh, tapi sekali kalau sudah menangis, maka sukar dibendung lagi. Begitu pula keadaan Peng-say sekarang, sungguh ia ingin menangis se-keras2nya. Akan tetapi sedapatnya dia bertahan, hanya saja air matanya sukar dibendung.

Kiau Lo-kiat menghela napas, katanya: "Marilah kita makan nasi dulu, habis makan akan kubicara banyak2 denganmu. Nanti kalau pikiranmu sudah terbuka barulah kita minum arak lagi se-puas2nya.”

Segera Peng-say mengusap air mata dan mengiakan.

Sedapatnya ia menghilangknn rasa dukanya, ia mendahului mengisi mangkuknya dengan nasi, lalu dimakannya dengan bernapsu. Diam2 Lo-kiat mengangguk dan memuji: "Cap-itsute memang seorang lelaki hebat, senang atau susah dapat dihadapinya dengan tabah.”

Hanya sekejap saja sebakul nasi sudah mereka sikat habis. Selesai membayar, dengan perut kenyang mereka meninggalkan rumah makan itu.

Kiau Lo-kiat mendapatkan sebuah hotel yang cukup santai, ia memilih sebuah kamar sejuk agar dia dapat berbicara dengan Soat Peng-say.

Kedua orang berdiam di dalam kamar sambil menikmati teh teko. Sehabis menghirup secangkir teh, berkatalah Kiau Lo-kiat: "Cap-itsute, isi hatimu mengenai nona Cin tidak perlu kita bicarakan. Marilah kita bicara dulu tentang sebab musabab Sunio tidak suka padamu, bahkan menyuruh kau enyah." "Jelas beliau memang tidak suka padaku, masa perlu sebab musabab segala?" kata Peng-say.

"Tampangmu tidak jelek, setiap orang yang pertama kali melihat kau tentu akan merasa suka, hanya Sunio yang terkecuali, bilamana tidak ada sebab2nya, apakah masuk di akal?" ujar Kiau Lo-kiat dengan tertawa.

"Ah, jangan Ji-suko berseloroh," kata Peng-say dengan muka merah.

"Tidak, sama sekali aku tidak menggoda kau, tampangmu memang menyenangkan orang," ucap Kiau Lokiat dengan sungguh2. "Sebabnya Sunio tidak suka padamu jelas bukan lantaran mukamu menjemukan, tapi dalam pandangan Sunio, wajahmu ini menimbulkan rangsangan perasaan yang hebat, dari rasa tidak suka lantas timbul rasa bencinya.”

Secara dibawah sadar Peng-say meraba mukanya sendiri, katanya dengan heran: "Apa artinya ucapanmu. Ji-suko?”

"Yakni, karena mukamu ini sangat mirip dengan ibumu,”

jawab Lo-kiat. "Hah, jika demikian, jadi sejak dahulu Sunio kenal ibuku?" seru Peng-say.

Lo-kiat mengangguk, katanya: "Betul, Sunio kenal ibumu, Suhu juga kenal. Akupun tidak dapat dikatakan kenal ibumu, namun pernah kulihat beliau beberapa kali.

Pada pertama kalinya kulihat kau, tanpa terasa kuperhatikan dirimu dan timbul perasaan seperti sudah kukenal." "Ya, akupun tahu wajahku rada mirip mendiang ibu,”

ujar Peng-say. "Numpang tanya. wajahku yang mirip ibuku ada sangkut-paut apa dengan Sunio, mengapa mengakibatkan dia benci padaku?”

Lo -kiat menggeleng, katanya dengan menyesal: "Makanya Suhu menyuruh kuberi penjelasan padamu, tapi akupun tidak tahu cara bagaimana harus kukatakan.

Pokoknya sebab yang menimbulkan rasa benci Sunio padamu, selain disebabkan wajahmu mirip ibumu, sebab yang terbesar adalah karena kau ini putera Suhu.”

Peng-say lantas teringat kepada gurunya yang pertama, yaitu Tio Tay-peng, waktu pertama kali bertemu, sang guru juga mengaku kenal ibunya. tapi kemudian nama ibunya saja tidak cocok. Sekarang Suhu yang kedua inipun bilang kenal ibunya, malahan mengaku sebagai ayahnya, jangan2 nama ibu juga tidak jelas, kalau begini barulah lucu. Pikir punya pikir, ia menjadi geli sendiri.

Kiau Lo-kiat mengira ucapannya tadi pasti akan membikin kaget Soat Peng-say, siapa tahu, anak muda itu bukan saja tidak terkejut, bahkan menampilkan senyuman geli, hal ini benar2 tak diduganya sama sekali.

Dengan tertawa Peng-say malah berkata pula: "Ji-suko, apakah Suhu bilang sendiri padamu bahwa aku ini anaknya?" Lo-kiat merasa tidak senang terhadap sikap Peng-say yang tidak pantas ini, segera ia menjengek: "Betul, Apakah Suhu mengakui kau sebagai anaknya menimbulkan rasa sangsimu?”

"Tiada bukti tanpa saksi, dengan sendirinya aku sangsi,”

ujar Peng-say dengan tertawa.

"Bukti yang nyata adalah namamu!" seru Lo-kiat dengan mendongkol.

"Namaku?" Peng-say menegas.

"Ya," jawab Lo-kiat. "Menurut tradisi keluarga Sau, angkatan Suhu kita pakai nama 'Ceng', maka Suhu bernama Ceng-hong dan Sau-supek dari Pak-cay bernama Ceng-in, kedua saudara sepupu sama2 memakai nama dasar Ceng Sampai angkatan kita, waktu Suhu mengangkat Toa-suko sebagai anak, nama angkatannya pakai 'Peng', maka Toasuko diberi bernama Peng-lam, bagi putera kandung sendiri Suhu memberinya nama Peng-say.”

Pada waktu mengucapkan kata "Peng-say", karena gemasnya, Kiau Lo-kiat sengaja mengucapnya dengan suara keras dan nyaring.

Lalu Lo-kiat menyambung pula: "Menurut cerita Suhu, Soat Kun-hoa yaitu ibumu. pada waktu meninggalkan beliau sedang hamil. Sudah tentu Suhu merasa berat untuk berpisah, maka beliau memberi pesan, bilamana jabang-bayi lahir, baik lelaki maupun perempuan hendaklah diberi nama 'Sau Peng-say'. Suhu tahu ibumu dendam padanya bisa jadi nama 'Peng-say' takkan dipakai, lebih2 tidak nanti memakai she beliau. Benar juga, ibumu lebih suka anaknya ikut she sendiri daripada pakai she ayahnya. Namun ibumu toh tetap menuruti sebagian pesan Suhu, yakni tetap memberi nama Peng-say padamu sesuai permintaan ayahmu sendiri.”

Mendengar sampai disini, tidak tahan lagi Peng-say, mendadak mendekap dilantai dan menangis. Suara tangisannya sekarang tercampur antara perasaan sedih dan girang. Sedihnya karena nasib kehidupan sendiri yang nelangsa, punya ayah, tapi tidak tahu.

Yang membuatnya bergirang adalah sekarang dengan pasti telah diketahuinya siapa gerangan ayah kandungnya sendiri.

Sekarang dia tidak perlu sangsi lagi, sebab "Soat Kun-hoa" yang disebut Kiau Lo-kiat itu memang betul ialah nama ibunya.

Jika Soat Peng-say menangis, maka Kiau Lo-kiat yang tertawa. cuma tertawa yang mencucurkan air mata, dia terharu dan juga bergirang bagi sang guru yang sekarang jelas diketahui mempunyai anak keturunannya sendiri.

Setelah menangis dengan puas, Peng-say berduduk lagi dan mengusap air matanya, mendadak ia tertawa.

Kiau Lo-kiat melengak, katanya dengan tertawa: "Hah, sungguh lucu, baru sekarang kulihat ada orang lelaki ya menangis ya tertawa sekaligus.”

Tiba2 Peng-say berbangkit dan berkata:" Ji-suko, marilah kita berangkat!”

"Kemana?" tanya Lo-kiat heran.

"Minum arak!" kata Peng-say. "Sekarang aku tidak mempunyai tanggungan pikiran lagi. biarpun minum seribu cawan juga tidak bakalan mabuk.”

"Tidak perlu ter-buru2, duduk dulu!" kata Lo-kiat.

"Tidak minum arak juga harus berangkat!" kata Peng-say pula.

"Kemana lagi?”

"Ke Soh-hok-han, harus kupanggil ayah beberapa kali kepada Suhu, lalu menyembahnya seratus kali.”

Lo-kiat tertawa, katanya: "Menyembah seribu kali juga tak dapat membalas budi kebaikan ayah. Duduk, duduklah, kau bukan anak kecil, segala suka-duka harus dapat kau tahan. Kelak masa kuatir tiada kesempatan untuk memanggil ayah dan menyembah padanya" Hayolah duduk, banyak urusan yang harus kubicarakan dengan kau, habis bicara barulah kita pergi.”

Dengan menahan perasaannya Peng-say berduduk pula, lalu bertanya: "Sebab apa ibu meninggalkan ayah?”

"Bicara soal ini, memang inilah kelemahan ayahmu,”

tutur Lo-kiat "Bukan maksudku sengaja mengeritik orang tua, sesungguhnya Suhu memang kelewat takut bini.

Tidakkah kau lihat waktu kau dienyahkan Sunio, beliau kan tidak berani bersuara" Dalam keadaan serupa itulah ibumu tinggal pergi dengan gusar.”

"Jika demikian, lebih baik aku tidak pulang ke Soh-hok-han saja agar ayah tidak serba susah," kata Peng-say.

"Ya, kukira sebaiknya memang begitu," kata Lo-kiat sambil manggut2 "Kau dapat berpikir bagi Suhu, kau memang anak baik Kuingat pada waktu ibumu meninggalkan Soh-hok-han, waktu itu Toa-suko masih kecil, tapi usiaku sudah likuran, aku masih ingat ketika kepergian ibumu dengan menahan sesal. Sesungguhnya Sunio terlalu menghina dia, Sunio memandang rendah asalusul ibumu, katanya keluarga Soat dari Say-pak tiada satupun orang baik, sampai2 pamanmu Soat Ko-hong dan bibimu Soat Ciau-hoa juga dimakinya ...”

"Hah, Soat Ciau-hoa itu bibiku?" seru Peng-say kaget.

Diam2 ia berpikir: "Pantas waktu pertama kali bertemu, Suhu menyangka ibuku ialah Soat Ciau-hoa, jangan2 wajahku juga mirip bibi?”

"Apakah Ibumu tidak pernah bercerita padamu?" tanya Lo-kiat.

Peng-say menggeleng, katanya: "Tidak, ibu selamanya tidak bicara tentang asal-usulnya sendiri. Soat Ko-hong adalah pamanku juga baru kudengar pertama kali dari ayah." "Soat Ciau-hoa adalah saudara kedua, ibumu nomor tiga," demikian tutur Kiau Lo-kiat pula. "Bicara terus terang, nama bibimu Soat Ciau-hoa memang kurang sedap di dunia Kangouw, pamanmu Soat Ko-hong sudah kau ketahui, iapun orang yang sukar direcoki. Tapi apapun juga, ibumu sendiri tidak berbuat sesuatu yang tidak baik.

Malahan Suhu memuji kecantikan dan kebaikan hati ibumu, sebagai perempuan teladan Ibumu tidak tahu Suhu sudah menikah, maka mau tinggal bersama dia. Ketika diketahuinya Suhu sudah berkeluarga dan tidak dapat diterima oleh isteri tua, betapa sedihnya dapat dibayangkan.

Sesudah ibumu pergi karena tidak tahan usikan Sunio, dengan sendirinya Suhu juga dibenci olehnya.”

Diam2 Peng-say menghela napas, katanya: "Pantas ibu selamanya tidak pernah menyinggung ayah, sampai meninggal juga tidak pernah menyebut ayah sekatapun, seolah2 aku memang dilahirkan tanpa ayah. Aku memang sudah tahu she yang kupakai bukan she ayah, aku menjadi sedih karena she saja tidak punya. Baru sekarang kutahu persis aku ini she Sau. Tapi arwah ibu di alam baka mungkin tidak menghendaki aku she Sau, coba Ji-suko, bagaimana baiknya bagiku?”

Dendam adalah soal lain, she aslimu harus kau pakai, jika kau she Soat, bukankah sama saja seperti ibumu, kaupun benci kepada ayahmu" Ibumu boleh benci kepada Suhu, tapi kau tidak boleh benci kepada ayahnya sendiri.

Selanjutnya kau harus she Sau, andaikan ibumu masih hidup tentu juga takkan memaksa kau tetap pakai she ibumu." "Baiklah Ji-suko, seterusnya namaku ialah Sau Peng-say " "Bagus, bila keputusanmu ini kulaporkan kepada Suhu, beliau pasti akan tertawa gembira. Lebih2 bila nama 'Sau Peng-say' kemudian termashur di dunia Kangouw, Suhu pasti akan lebih kegirangan.”

"Ji-suko," kata Peng-say, "ada dua hal yang tidak jelas begiku, mohon Ji-suko suka memberi petunjuk.”

"Dalam hal apa" Bisa jadi kedua hal yang tidak kau ketahui ini justeru hal2 yang hendak kujelaskan padamu.”

"Pertama, mengenai sikap sesama saudara seperguruan terhadap diriku, entah dalam hal apa aku berbuat salah sehingga mereka memandung hina padaku, sampai2 Toasuko yang mula2 sangat baik padaku, mendadak juga tidak menggubris padaku. Selama Suhu tirakat. di Soh-hok-han selain Ji-suko seorang, tiada lagi yang mau menggubris diriku, sesungguhnya apakah sebabnya?”

"Apakah kau masih ingat Leng-sumoay ingin belajar main kecapi dengan kau?" kata Lo-kiat dengan gegetun.

"Ya, hanya belajar dua hari, selanjutnya dia tidak datang lagi. Sampai saat ini akupun tidak tahu sebab apa mendadak dia tidak belajar terus.”

"Sebab inilah yang menjadi alasan bagi Toa-suko dan Sumoay lain tidak menggubris padamu. Menurut cerita Leng-sumoay, katanya pada waktu mengajarkan main kecapi, kau telah berbuat tidak pantas padanya.”

Wajah Peng-say yang putih sekilas berkelebat warna hijau sehingga membuat Kiau Lo-kiat terkesiap. tapi Peng-yay hanya gusar didalam batin saja dan tidak dikeluarkan, dia banya menggeleng dan berkata: "Tidak ada, sama sekali tidak pernah terjadi hal demikian.”

"Aku percaya tidak pernah terjadi, Suhu juga percaya,”

kata Lo-kiat. "Cuma sayang Toa-suko tidak percaya," ujar Peng-say dengan menyesal.

"Diam2 Toa-suko pernah bicara dengan aku, iapun menyangsikan kebenaran kejadian ini, namun ia pun percaya Leng Hiang tidak pernah berdusta padanya, mautak-mau ia harus percaya. Tapi kupikir, sekalipun Siausumoay tidak suka berdusta, namun bila ada orang menghasut dan membujuknya, dia masih muda belia dan tidak memiliki keteguhan hati, bisa jadi dia akan menurut dan berdusta, lebih2 jika orang yang menyuruhnya berbohong itu ialah Sunio, tentu saja Siau-sumoay akan menurut saja.”

"Sunio katamu?" seru Peng-say tertahan. "Bag. . .

.bagaimana bisa jadi begini?”

"Kukenal pribadi Sunio," tutur Lo-kiat. "Apabila dia benci pada seorang, maka cara apapun dapat digunakannya, lantaran dia benci pada ibumu, maka kau pun dibencinya. Dahulu ia membikin khe-ki ibumu sehingga minggat, tentu iapun akan berusaha mencari jalan untuk mengusir kau. Tapi daripada mengusir, kalau bisa dicarinya akal agar kau pergi dengan sendirinya, cara yang paling baik ialah membikin kau malu sendiri uatuk tinggal lebih lama lagi di situ.”

Peng-say manggut2. katanya: "Ya, memang kalau tidak dicegah Ji-suko sudah lama aku hengkang dari sana.”

"Maka dari sini dapatlah kutimbang dan kupikirkan bahwa Leng-sumoay pasti berdusta, karena hasutan Sunio, dia sengaja merusak nama baikmu, maka para saudara seperguruan sama buang muka padamu. Dalam keadaan demikian kau ternyata masih kerasan dan tidak pergi dengan sendirinya, hal ini malah diluar dugaan Sunio.

Mungkin Sunio menjadi tidak sabar, maka selagi marah2 tadi dia terus mengenyahkan kau.”

Apa yang diterka Kiau Lo-kiat ini memang tepat. cuma kritiknya terhadap Leng Hiang ada kekeliruan. Meski Leng Hiang masih muda belia. tapi tidak seperti dugaannya bahwa nona itu belum mempunyai pendirian teguh.

Sebabnya Leng Hiang mau berbohong bukan disebabkan dia menuruti saja intrik bibinya secara membabi buta. Leng Tiong-cik juga tidak bodoh. iapun kuatir maksudnya mengusir Peng-say dan apa yang dibincangkan bisa jadi Leng Hiang tak-mau melakukannya, kalau dipaksakan sehingga rahasianya terbongkar, kan dia bisa malu sendiri.

Sebab itulah Leng Tiong-cik telah memperalat titik kelemahan Leng Hiang agar nona ini mau berdusta.

Pada hari kedua setelah Leng Hiang belajar main kecapi dengan Peng-say, Leng Tiong-cik telah memanggil Leng Hiang dan berkata padanya: "Anak Hiang, paman hendak menjodohkan kau kepada Soat-suko, entah bagaimana pikiranmu?”

Mendengar itu Leng Hiang kaget seperti dengar bunyi geledek di siang hari bolong, cepat ia berlutut dan memohon: "O, bibi, anak tidak suka kepada perjodohan ini, bibi cukup tahu isi hatiku, kecuali dia, selama hidup anak tidak ....tidak mau kawin.”

"Ya. kutahu kau suka kepada anak Lam," kata Tiong-cik.

"Tapi pamanmu berkeras pada keputusannya, akupun tak berdaya, sampai anak Lam juga berusaha menjadikan keinginan pamanmu itu, masa kau tidak tahu?"“

"Ti .... tidak mungkin!" kata Leng Hiang menggeleng dan menangis.

"Malam itu waktu beliau pulang dari Cujoan, aku dan paman telah bertengkar mengenai perjodohanmu, tatkala mana ada seorang mencuri dengar di luar, paman dan aku sama tahu, cuma pertengkaran kami lagi berlangsung dengan sengit sehingga tidak menghiraukannya. Coba kau terka, siapakah orang yang mencuri dengar itu?”

"Apa Toa-suko?" tanya Leng Hiang.

"Betul, memang dia," kata Tiong-cik. "Suara kaki anak Lam dibuat pelahan sekali, tapi aku dan pamanmu membesarkan dia sejak kecil, sudah tentu kami kenal gerak-geriknya Kau tahu betapa sayang dan hormat anak Lam terhadup Gihunya. Ketika dia mengetahui sang Gihu hendak menjodohkan kau kepada Soat-sukomu, biarpun dalam hati anak Lam seribu kali tidak suka, namun ia rela mengorbankan kepentingan sendiri demi tercapainya cita2 pamanmu." "O, pan. . .pantas. . . .”

"Kabarnya kau belajar main kecapi dengan Soat-sukomu, anak Lam yang menyuruh kau belajar, apakah betul?”

Sekarang tahulah Leng Hiang maksud tujuan Toasukonya, ia menjadi sangat berduka dan menangis melulu tanpa menjawab, "Jelas tindakan anak Lam itu sengaja hendak mendekatkan kau dengan Soat-sukomu," kata Tiong-cik dengan menghela napas. "Ai, anak Lam sungguh bodoh, kenapa dia bertindak tanpa pikir. Sudah sebesar itu, masa dia tidak paham cinta antara laki2 dan perempuan dan menyerah begitu saja?”

Makin sedih hati Leng Hiang, ia mendekap dalam pangkuan Leng Tiong-cik dan menangis tersedu sedan.

"Jangan menangis sayang, biarlah bibi mencarikan akal bagimu," kata Tiong-cik sambil tepuk-tepuk bahu si nona .... -^oOo^dw^oOo^- Karena tidak mau dijodohkan kepada Sau Peng-say, juga supaya Toa-sukonya tahu bahwa pengorbanannya bagi Cap-itsute itu ternyata sia2 belaka karena pribadi Sute itu ternyata rendah, maka tanpa pikir ia menerima gagasan sang bibi, ia lantas menyebarkan isyu bahwa dirinya telah diganggu oleh Sau Peng-say, dengan demikian pribadi Peng-say lantas dipandang hina oleh sesama saudara seperguruannya, anak muda itu dianggap bajul buntung, pemuda yang suka mengganggu orang perempuan. Murid Lam-han yang lelaki sama tidak menggubrisnya lagi, murid perempuan malahan terus menyingkir jauh2 bila melihatnya. Terhadap Leng Hiang. Leng Tiong-cik sengaja bilang gagasannya itu demi kepentingan nona itu. padahal yang benar adalah demi kepentingan Tiong-cik sendiri. Dengan kabar bohong yang disebarkan Leng Hiang itu, secara tidak langsung ia memperalat nona itu untuk menghancurkan reputasi putera kandung suaminya sendiri.

Syukur Kiau Lo-kiat melihat ada sesuatu yang ganjil, maka ia membujuk Sau Peng-say supaya jangan pergi dulu.

Sebab itulah maksud tujuan Leng Tiong-cik belum tercapai.

Ketika nyonya rumah itu sudah kehilangan akal dan tidak sabar lagi, secara blak2an ia lantas mengenyahkan Peng-say di depan orang banyak, maka tersingkap pula rencananya.

Kalau semula Kiau Lo-kiat hanya curiga saja, sekarang terbuktilah intrik Leng Tiong-cik itu.

"Ji-suko. mengapa ayah mau percaya padaku?" tanya Peng-say kemudian.

"Dalam hal ini kau mesti berterima kasih padaku," ujar Lo-kiat dengan tertawa. "Kata pribahasa, yang paling tahu watak anaknya tiada yang lebih daripada sang ayah.

Namun Suhu tidak langsung membesarkan kau, ia tidak kenal jiwamu ini baik atau jahat. Di tengah desas desus orang banyak bila telinga Suhu mudah di-kili2, bisa jadi dia akan anggap kau ini anak durbaka. Tapi lantaran Ji-sukomu ini bantu memberi penjelasan dengan menganalisa semua kejadian dari awal hingga akhir, maka sadarlah Suhu akan dudulnya perkara dan aku lantas disuruh menyusul kemari." Alangkah terima kasih Peng-say, segera ia hendak berlutut dan menyembah kepada Ji-suhengnya itu. Cepat Lo-kiat memegangnya dan berkata: "Kau belum lagi menyembah kepada ayahmu, masa menyembah dulu padaku, kan repot aku.”

Dengan rasa haru dan terima kasih Peng-say berkata: "Bila Ji-suko tidak bantu memberi penjelasan bagiku, mustahil ayah mau mengakui anak padaku dan kalau ayah tidak menyuruh kau menyusul ke mari, manabisa kutahu siapa ayahku yang sebenarnya, semua ini jelas jasa Ji-suko.”

Habis berkata ia berkeras ingin menyembah kepada Kiau Lo-kiat sebagai tanda terima kasihny"!. Lo-kiat tidak dapat mencegahnya, terpaksa membiarkan Peng-say menyembah tiga kaki. Lalu keduanya berduduk lagi.

"Cap-itsute," kata Lo-kiat kemudian, "tempo hari waktu berada di Ciau-ciu-wan, bersama nona she Soat itu kalian telah membunuh Ciamtay Boh-ko, ilmu pedang yang kalian gunakan itu apakah betul Siang-liu-kiam-hoat berasal dari Pak-cay?”

"Ya, betul," Peng-say mengangguk.

"Kau hanya menguasai setengah bagian saja?”

"Betul. Yang kukuasai hanya setengah bagian Coh-pikiam-hoat (pedang taagan kiri). sedangkan Soat Koh menguasai Yu-pi-kiam-hoat (pedang tangan kanan).”

"Sute," kata Lo-kiat pula setelah berpikir sejenak, "dapatkah kau beritahu siapa gerangan orang yang mengajarkan padamu Coh-pi-kiam-hoat dari Siang-liu-kiam itu?" "Guruku itu she Tio bernama Tay-peng:" jawab Peng-say.

"Tio Tay-peng" .... Tio Tay-peng" . . ." Lo-kiat mengulangi nama itu beberapa kali, ia berpikir sekian lama, kemudian menggeleng, katanya pula: "Aneh! Nama ini mengapa tidak pernah kudengar sebelum ini?”

"Guruku itu memang bukan orang yang terkenal," ucap Peng-say dengan kikuk.

Lo-kiat merasa ucapannya itu rada menyinggung perasaan, cepat ia berkata: "Maaf Cap-itsute. pengalamanku cupet dan pengetahuanku cetek sehingga tidak kenal nama gurumu, sekali lagi maaf.”

Peng-say tambah rikuh, katanya; "Ah, mengapa Ji-suko jadi sungkan padaku.”

Lo-kiat lantas berkata pula: "Suhu, didalam sebutan Suhu ini terdapat kata 'hu' (ayah), jadi budi pendidikan Suhu tidaklah kalah pentingnya daripada budi ayah-bunda.

Apabila ada orang bersikap atau bicara menghina guruku, tentu akupun akan merasa tidak senang. Maka tidak perlu heran apabila ucapanku tadi sekiranya menyinggung perasaanmu.”

"Ah, sudahlah, jangan kita bicara soal ini," kata Peng-say dengan tertawa. "Waktu Ji-suko berangkat, entah adakah sesuatu pesan ayah?”

"Ya, dia suruh kau bunuh Ciamtay Cu-ih," kata Lo-kiat.

Dengan gemas Peng-say berkata: "Orang ini yang membikin mati adik Leng, jika tidak kubunuh dia kubersumpah tidak menjadi manusia Sekalipun tiada pesan dari ayah juga aku bertekad akan menuntut balas bagi adik Leng, cuma saja . . . ." ia menggeleng dan menghela napas panjang.

"Tidaklah sulit untuk membunuh Ciamtay Cu-ih!" ucap Lo-kiat dengan tertawa.

Peng-say mengira sang Ji-suko mempunyai maksud tertentu, ia mengangguk dan berkata: "Ya. memang, asalkan punya cita2 yang teguh, biarpun besi juga dipat diasah menjadi jarum. Tapi untuk itu kan memerlukan waktu yang lama" Bilamana kelak Kungfuku melebihi Ciamtay Cu-ih, bisa jadi dia sudah mati tua.”

"Kutahu inilah yang kau anggap sulit dalam hatimu sekarang," ujar Lo-kiat dengan tertawa. "Tapi dalam pandanganku, hal ini bukan soal. Sebenarnya kalau kau dapat mempelajari setengah bagian lain Siang-liu-kiam-hoat dari Soat Koh, kan segala soal dapat kau pecahkan?”

"Jadi maksudmu. asalkan Siang-liu-kiam-hoat dapat dipelajari dengan lengkap, dengan mudah pula ^ Ciamtay Cu-ih dapat kubunuh?" tanya Peng-say.

"Ya, seratus persen!" ucap Lo-kiat dengan pastu. "Meski didunia persilatan ada pameo yang mengatakan 'Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia', tapi menurut pandanganku, hal ini cuma kabar angin saja dan tidak ada dasarnya. Kalau berdasarkan inilah Ji-suko menyatakan seratus persen pasti akan berhasil mengalahkan Ciamtay Cu-ih bila ku-mahir Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap, apakah hal ini bukan cuma khayalan belaka?”

Mendadak Lo-kiat membuka bajunya dan memperlihatkan dadanya sambil berseru: "Coba kau lihat sendiri!”

Terlihat dadanya yang kurus itu jelas tertulis tujuh huruf besar, yakni berburyi: "Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia" Tulisan itu berjajar tujuh Huruf itu bukan ditulis dengan pit atau pensil, tapi huruf itu terdiri dari goresan bekas2 luka. Jelas bekas senjata tajam. sesudah lukanya sembuh, codet itu tak dapat dihapus lagi.

Peng-say terkesima bingung dan tak dapat bicara.

Dengan sehuruf demi sehuruf Lo-kiat meraba tulisan didadanya dan mengucapkannya: "Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia! Nah, siapa berani menyangkalnya?”

"Jangan2. . . .jangan2 dari sinilah tersiarnya semboyan itu?" kata Peng-say dengan ter-gagap2.

Lo-kiat mengangguk, katanya: "Dahulu Sau-supek berdemontrasi dan meninggalkan tulisan ini, tak tersangka tulisan ini telah menjadi iklan baginya sehingga menimbulkan kegemparan di dunia persilatan, setiap orang tahu dan setiap orang membicarakannya. Apabila Sau-supek masih hidup dan diketemukan, biaya iklan ini masih harus kutagih padanya." " Habis berkata ia tertawa terbahak2.

Melihat sikap sang Ji-suheng yang sama sekali tidak punya rasa dendam karena dadanya telah dilukai begitu rupa, diam2 Peng-say merasa hormat dan kagum. Segera ia bertanya pula: "Toapek (paman) sengaja pamer kelihayannya ini kepada siapa?”

"Bagi Suhu dan Tangsay-ji-ki (kedua orang kosen dari timur dan barat)," tutur Lo-kiat.

"Waktunya apakah terjadi ketika pertemuan di Ki-lian-san yang diadakan Ciamtay Cu-ih pada 28 tahun yang lalu?" "Darimana kau tahu?" Lo-kiat balas bertanya.

"Pernah kudengar cerita Sau Kim-leng tentang perjalanan ibunya mencari Toapek. Menurut keterangan ibu Kim-leng, konon waktu Toapek menghadiri pertemuan di Ki-lian-san, Siang-liu-kiam-hoat baru saja berhasil diciptakan Toapek dan belum diketahui orang Kangouw.

Tapi sesudah menghadiri pertemuan itu beliau lantas hilang. Padahal hanya pada pertemuan di Ki-lian-san itu Tospek sempat mempertunjukkan Siang-liu-kiam-hoat.

Kukira dahulu Ji-suko pernah ikut ayah menghadiri pertemuan itu, sebab hanya dalam pertemuan itulah ada kemungkinan Toapek meniggalkan tulisan ini di dadamu.”

Kiau Lo-kiat menengadah dan mengembuskan napas panjang, katanya: "Kejadian pada 28 tahun yang lalu itu, kalau dipikirkan sekarang setiap adegannya se-olah2 terbayang kembali dengan jelas. Ya, memang betul, kecuali Su-ki (empat kosen) yang menghadiri pertemuan itu, di dunia ini satu2nya orang yang dapat menceritakan apa yang terjadi dalam pertemuan itu hanya diriku seorang”

"Sudikah Ji-suko menceritakan padaku pengalamanmu itu?" pinta Peng-say.

"Pernah kuceritakan kejadian ini kepada satu orang, karena itu aku sangat menyesal dan sudah bersumpah takkan menceritakannya lagi kepada siapapun. Tapi kau harus dikecualikan, kau harus mengetahui kejadian itu.

Sebab peristiwa itu menyangkut nasib keluarga Sau kalian yang tragis. Kisah itu harus dimulai dari tiga angkatan lebih tua keluarga Sau kalian Kakek moyangmu, yaitu kakek guruku, terhitung angkatan yang memakai nama Giok. Sau Giok-eng, begitu nama kakek-moyangmu, dia dan kakaknya yang bernama Sau Giok-ci adalah saudara kembar, mereka adalah murid Bu-toag-pay dari keluarga preman. Lantaran mereka adalah saudara kembar maka keduaya saling sayang menyayangi, belum 20 tahun umurnya sudah tamat belajar segenap Kungfu Bu-tong-pay sehingga menjadi murid Bu-tong yang paling menonjol dan paling tinggi prestasinya dalam sejarah Bu-tong-pay. Waktu mulai terjun ke dunia Kangouw, kedua bersaudara itu hampir tidak pernah berpisah, hanya dalam waktu singkat nama Pendekar Kembar telah mendapatkan pujian dimana2. -Kemudian kedua saudara kembar itu mendapat penemuan aneh, mereka mendapat ajaran seorang kosen yang sudah lama mengasingkan diri. Kungfu mereka bertambah hebat, sampai2 ketua Bu-tong-pay sendiri pada masa itupun bukan tandingan mereka, Dengan kemajuan pesat mereka ditambah lagi mereka selalu bertindak bersama dalam menghadapi setiap persoalan, dengan sendirinya nama mereka semakin tenar, sebutan merekapun dari Pendekar berubah menjadi Ki (ajaib. sakti atau kosen), bersama tokoh Tang-wan dan Say-koan pada masa itu mereka disebut sebagai Bu-lim-su-ki (empat kosen dari dunia persilatan).

-Tang-wan atau Hong hoa-wan menjagoi lautan timur, Ngo-hoa-koan atau Say-koan merajai wilayah barat, tatkala mana baik selatan maupun utara belum ada tokoh yang memadai untuk disebut tokoh utama, maka sesudah berunding. kedua saudara kembar itu sepakat untuk yang satu tinggal di utara dan yang lain berdiam di selatan dan merajai daerahnya masing2 untuk menandingi kedua orang sakti yang lain. Berpisahnya kedua saudara kembar itu pun menimbulkan mala petaka bagi keluarga Sau sendiri.

Sebelum keduanya membagi wilayah kekuasaan, dunia Kangouw menyebut mereka Hengte ji-ki (dua orang sakti saudara kembar), tiada perbedaan tinggi rendah. Sesudah berpisah sebutan mereka berubah menjadi Lim-pak-jiki (dua kosen dari selatan dan utara), maka dunia KangouW pun mulai memperbincangkan siapa yang lebih lihay, siapa yang lebih unggul, Lam-ki atau Pak-ki" Jutteru wajah kedua orang serupa sepertj pinang dibelah dua, perbuatan mulia yang dilakukan Lam-ki sering2 disangka sebagai perbuatan Pak-ki dan begitu pula sebaliknya.”

"Berbuat bajik tidak perlu diketahui orang lain, soal ini sebenarnya tidak ada artinya, cukup asalkan si pelakunya sendiri sudah berbuat kemuliaan dan sudahlah, peduli orarg lain akan menganggap siapa yang berbuat. Apalagi, seumpama keliru sangka, paling2 juga saudara sendiri yang mendapat nama, antara saudara kandung, apalagi kembar, apa bedanya.”

"Akan tetapi salah anggap itu terjadi semakin sering, lama2 tentu saja kedua pihak lama2 tidak enak bila mendengar orang menganggap tindakan mulia sebagai dilakukan saudaranya, padahal yang benar dia sendiri yang melakukannya. Jadi jasa itu bukannya tercatat atas namanya sendiri malah dirasakan kepada orang lain, biarpun orang itu adalah saudaranya sendiri. Lama2 tentu juga menimbulkan rasa penasaran. Lantaran inilah, bibit sengketa antar kedua saudara kembar itupun mula lahir.”

"Kenapa tidak meninggalkan nama sehabis berbuat sesuatu" Dengan meninggalkan nama si pelakunya tentu takkan menimbulkan salah sangka orang." kata Pang-say.

"Coba kau pikir, setelah kau berbuat sesuatu kebaikan.

apakah kau suka meninggalkan namamu" tanya Lo-kiat dengan gegetun.

Peng-say menggeleng "Memang, orang yang membuat kebajikan secara jujur dan tulus, tidak ingin perbuatannya diketahui orang," kata Lo kiat. "Dan runyamnya urusan justeru timbul karena terlalu seringnya orang salah anggap. Setiap manusia pada umumnya mempunyai rasa harga diri, kalau perbuatan baiknya yang meski tidak suka diketahui orang lain, bila sering menimbulkan salah anggap, betapapun akan membuat hatinya tidak enak. Akan lebih baik jadinya bila segala sesuatu perbuatannya itu tidak diketahui orang dan pasti juga takkan menimbulkan perkara. Namun nama mereka terlalu tenar mereka sering menjadi bahan pembicaraan orang Kangouw, meski tidak banyak orang yang kenal wajah mereka, tapi asalkan terjadi setuatu peristiwa, segera orang tahu hal itu dilakukan oleh salah seorang Pendekar Kembar keluarga Sau. Selisih paham di antara saudara adalah soal jamak, celakanya urusannya menyangkut nama. Pada umumnya orang kalau menyebut jurusan tentu akan bilang Selatan baru kemudian menyebut utara, lantaran mereka berdua tinggal di selatan dan utara, maka mereka pun disebut Lam-pak-ji-ki, Tang atau timur selalu disebut lebih dulu daripada Say atau barat. Secara kebetulan pada waktu itu nama Tang-wan memang lebih menonjol daripada Say-koan, maka adalah sesuai dengan kenyataan jika orang menyebut Tang-say-ji-ki.

-Dengan contoh tersebut, menurut jalan pikiran orang awam, selatan di atas utara tentu juga berdasarkan kenyataan. Lantaran itu, lambat laun lantas tersiar berita di dunia Kangouw bahwa ilmu silat Soh-hok-hancu dari Lam-han memang lebih tinggi daripada Leng-hiang-caycu dari Pak-cay. Karena sudah terjadi kecenderungan pikiran begitu, menyusul kejadian yang salah anggap juga condong ke Lam-han, banyak perbuatan mulia yang dilakukan Pak-cay selalu dikatakan orang sehagai perbuatan Lam-han.

Dengan sendirinya nama Lam-han makin lama juga semakin gemilang dibandingkan Pak-cay, maka mulailah Sau Giok-ci tidak terima. Dapat kita bayangkan, tentu Sau Giok-ci akan berpikir: 'Aku ini si kakak. masa namaku malah di bawah adik. Tidak, tidak boleh jadi, hal ini harus diluruskan sesuai keadaan yang sebenarnya.

-Kau tahu, antara saudara kembar, keakraban persaudaraan memang jauh lebih erat daripada saudara kandung biasa, tapi terhadap mereka harus selalu diperlakukan sama rata dan sama adil, bila nama salah satu pihak mendapat perlakukan tidak seimbang maka mudah sekali menimbulkan rasa sirik dan iri, tidak mau mengalah, berbeda dari-pada saudara kandung biasa yang lebih mudah saling mengalah. Rupanya perasaan sirik Sau Giok-ci telah menghanyutkan rasionya, jauh2 dari utara ia datang ke Huiciu untuk menantang duel dengan adiknya. Sudah tentu Sau Giok-eng tidak mau cekcok dengan saudaranya sendiri, ia tidak terima tantangan itu. Tak terduga Sau Giok-ci masih terus mendesak dan mempropokasi dengan berbagai cara, adiknya dituduh memalsukan namanya sehingga banyak jasa perbuatannya disangka sebagai perbuatan adiknya, sebab itulah urasan lantas salah anggap Lam-han lebih hebat daripada Pak-cay.

-Sau Giok-eng merasa tidak pernah berbuat sebagaimana dituduh kakaknya itu, tentu saja ia sangat marah dan penasaran, iapun berpikir mestinya aku yang menuduh kau telah merampas jasa perbuatanku, sekarang kau malah menuduh aku lebih dulu, -Menurut cerita Suhu, semula kakeknya malah berusaha menghindari percecokan itu dan bersabar sebisanya, tapi akhirnya ia tidak tahan ketika S?u Giok-ci mendesak kakek Suhu agar pindah rumah. Agaknya Sau Giok-ci merasa tempatnya yang terletak di utara itu lebih dirugikan, maka ia ingin pindah ke selatan, sebaliknya adiknya yang pindah ke Leng-hiang cay di utara, Kalau orang bilang selatan-lebih atas daripada utara, sebagai kakak, dengan sendirinya lebih berhak tinggal di selatan Padahal Sau Giok-eng, kakek Suhu, sudah belasan tahun di Soh-hok-han, nama Lam-han adalah merek dagangnya yang sudah terdaftar, mana dia mau meninggalkannya begitu saja" Maka dia menolak permintaan Sau Giok-ci, sebaliknya Giok-ci tetap memaksa dia pindah. Makin memuncak pertengkaran mereka, akhirnya pertarungan besar sukar dihindari lagi, kakekmoyangmu itu telah duel dengan kakaknya sendiri. Kungfu mereka berasal dari perguruan yang sama, bakat merekapun seimbang, dengan sendirinya pertarungan mereka itu sukar ditentukan mana lebih unggul dan siapa lebih asor. Mereka bertempur hingga tiga hari tiga malam lamanya, sampai semangat loyo dan tenaga habis, ketika mereka benar2 sudah kehabisan tenaga dan tidak sanggup berhantam lagi, sementara itu jiwa mereka sudah seperti pelita yang kehabisan minyak. Maka hanya beberapa bulan setelah duel itu, kedua saudara kembar itu ber-turut2 meninggal dunia.

Untunglah keduanya masing2 mempunyai seorang anak lelaki sebagai keturunan, tapi antara Kedua keluarga sukar didamaikan lagi, masing2 saling menyalahkan pihak lain yang mengakibatkan kematian ayahnya. Meski kedua keluarga tidak saling baku-hantam lagi, tapi lantas putus hubungan. Walaupun begitu, kedua keluarga tentu saja tidak mau kalah nama, malahan berlomba saling mengalahkan, biarpun putus hubungan, tapi diam2 adu kekuatan dan berebut nama, kedua pihak sama2 berusaha mempertinggi Kungfu sendiri agar kelak akan dapat melebihi lawan.

-Turun temurun hingga angkatan Suhu dan Supek sekarang, pertarungan secara diam2 itupun masih terus berlangsung. Seperti halnya Supek berhasil menciptakan Siang-liu-kiam-hout, maka Suhu juga tekun meyakinkan Ci he-kang, semacam ilmu Bu-tong-pay yang sukar dilatih.”

Bicara sampai disini, Kiau Lo-kiat merasa haus. ia minta pelayan menyediakan teh, panas2 air teh terus diminumnya. Peng-say sendiri hanya ter-mangu2 dan tidak minum.

Tiba2 ia bertanya: "Ji-suko, sesungguhnya Toapek meninggal tidak?”

Lo-kiat menggeleng, katanya: "Soal ini sampai sekarang belum jelas bagiku.”

"Jika tidak meninggal, mengapa sampai sekarang belum juga ada kabar beritanya?" ujar Peng-say dengan ragu.

"Dalam pertemuan Ki-lian-san Supek telah terluka parah, meski tidak binasa seketika, kukira harapan untuk hidup tidaklah besar, bisa jadi dirinya sudah meninggal.”

"Siapakah yang melukai Toapek" Ap .... apakah. . . .”

"Bukan ayahmu, jangan kuatir," tukas Lo-kiat. "Ayahmu bukan orang berhati keji begini, yang melukai Toapekmu ialah Ciamtay Cu-ih dan Ngo-hoa-koancu, Coh-bengcu, Coh Cu-jiu.”

Peng-say terdiam sejenak, katanya kemudian: "Menurut pendapatku, ayah pasti berbuat sesuatu kesalahan terhadap Toapek, betul tidak Ji-suko?”

Lo-kiat mengangguk, lalu bertanya: "Berdasarkan apa kau menarik kesimpulan demikian?”

"Aku tidak kenal Toapek. tapi dari uraian Kim-leng serta nama jurus2 Siang-liu-kiam-hoat, kuduga pribadi Toapek pasti ramah tamah dan tidak ambisius, tidak mungkin ia melampiaskan amarahnya atas diri Ji-suko tanpa sebab.

Beliau menggores tujuh huruf di dadamu, meski dilakukan sebagai pamer kekuatan, tentu juga lantaran dia gemas kepada ayahku, kalau tidak tentulah disebabkan tutur kata Ji-suko yang telah membikin marah Toapek.”

Cepat Lo-kiat menggeleng kepala, katanya: "Tidak, memangnya ada berapa kepalaku, masa berani kubikin marah beliau. Melihat ilmu pedangnva yang maha lihay itu.

aku menjadi ketakutan dan berdiri di samping tanpa berani bergerak, mana aku berani bicara dan membikin marah padanya." "Habis entah dalam hal apa ayah berbuat salah kepada Toapek sehingga Ji-suko yang menderita?" ucap Peng-say dengan menyesal.

"Penderitaan kulit daging ini tidak ada artinya dan tidak perlu diungkit," kata Lo-kiat. "Marilah kita bicara saja tentang pertemuan di Ki-lian-san itu. Suhu membawa aku kesana, tujuannja agar menambah pengalamanku, setelah menyaksikan Kungfu ketiga orang sakti yang lain dan tentu akan banyak manfaatnya bagi kemajuanku kelak. Tatkala mana Toa-suko masih kecil. maka Suhu tidak membawa serta dia. "Setiba di Ki-lian-san, Sam-ki (tiga orang sakti) sudah datang lebih dulu, hanya Suhu yang datang terakhir.

Melihat aku ikut datang, Ciamtay Cu-ih kurang senang, begitu melihat segera minta Suhu menyuruh kuturun gunung, katanya mereka pun tidak membawa anak murid, masa Suhu harus diistimewakan. Suhu menjadi rikuh dan bermaksud menyuruhku pergi, syukur Supek lantas buka suara dan menyatakan tidak ada alangannya aku tinggal disitu, ditengah mereka berbincang ilmu silat, Kalau ada seorang yang melayani segala keperluan merekakan jadi kebetulan”

"Waktu itu Coh-bengcu tidak memberikan pendapatnya, maka Ciamtay Cu-ih tidak banyak omong lagi, aku jadi tetap tinggal disana. Dengan demikian aku dapat melihat diskusi ilmu silat antara kaum ahli. Ketika datang, sepanjang jalan kugembira ria, tak tersangka begitu sampai di atas gunung Ciamtay Cu-ih lantas menyuruh kupergi.

tentu saja aku kecewa, syukur Supek membelaku sehingga aku tetap tinggal disitu. Keruan rasa terima kasihku padanya waktu itu tak terkatakan, sungguh aku ingin menyembah tiga kali padanya.”

"Dan sekarang masih terima kasih atau tidak?" tanya Peng-say dengan tertawa.

"Tetap terima kasih!" jawab Lo-kiat.

"Terima kasih padanya karena ketujuh huruf yang ditinggalkannya di dadamu itu?”

"Jangankan cuma sedikit luka ini, sekalipun sebelah bahuku tertabas, asal aku dapat meyaksikan keadaan mereka serta mendengarken pembicaraan mereka mengenai berbagai ilmu silat yang luas dan dalam, maka akupun takkan menyesal.”

"Sungguh tak tersangka Ji-suko sedemikian keranjingan ilmu silat, maaf jika Sute telah menyinggung perasaanmu.”

0odwo0 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar