Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 22

Jilid 22

Habis berkata ia lantas mengangsurkan buku nada seruling itu kepada Peng-say.

Tapi anak muda itu tidak mau menerima, katanya: "Musik hanya digunakan untuk menghibur diri saja.

padahal disini masih menumpuk kitab2 ini yang tidak habis kubaca, jelas tiada tempo luang bagiku untuk bermain musik segala.”

Tapi Peng-lam mendesaknya agar menerima, katanya: "Nanti kalau kau telah habis baca, bila iseng boleh coba kau pelajari not ini, kalau tidak tertarik baru nanti kau kembalikan lagi padaku.”

Peng-say jadi tidak enak untuk menolak lagi, ia terima buku itu dan ditaruh diatas meja.

"Malam sudah larut, aku tidak menganggu lagi," kata Peng-lam. "Besok pagi2 aku harus belajar ilmu pedang pada Sunio untuk persiapan menghadapi Thio Yan-coan kelak.”

Alangkah kagumnya Peng-say atas keberuntungan sang Suheng, setelah digembleng oleh ibu-gurunya, tentu saja Kungfu sang Suheng ini akan tambah maju. Diam2 ia murung pula. ia tidak habis mengerti mengapa baru bertemu sudah lantas dipandang rendah dan tidak disukai oleh ibu-guru. Seperginya Peng-lam dengan kesal Peng-say mendekati meja tulis tadi, ia coba ambil buku tanda nada yang ditinggalkan Peng-lam itu, ia mem-balik2 halaman belakang, tertampak not baloknya yang aneh itu, hatinya tergerak, ia lantas mengangkat seruling dan mulai disebul menurut not yang dibacanya itu.

Baru satu bagian kecil meniup, mendadak suara seruling terasa false, ia menjadi heran, padahal belum pernah terjadi salah nada begini sejak dia mahir meniup seruling, hanya pada waktu mula2 belajar memang pernah terjadi.

Ia penasaran, ia mulai meniup lagi mulai awal, tapi sampai bagian tersebut nadanya kembali menyimpang dan sukar disambung, sampai belasn kali ia ulangi dan tetap begitu. Ia menjadi kesal, bagian yang sulit ini lantas dilompati, meniup bagian lain. Tak tersangka, hanya sebagian kecil saja kembali nadanya menyimpang makin lanjut dia meniup makin false, hakikatnya sukar terangkai menjadi satu lagu yang enak didengar.

Begitulah ia terus meniup secara sebagian dan dipotong2, diulanginya hingga dua-tiga kali, betapa brengsek nadanya, sampai dia sendiripun tidak berani mendengarkan, apalagi orang lain.

Syukurlah Peng-say cukup tahu diri, ia tidak mau mengganggu tidur orang lain, ia pikir di malam yang sunyi dan tenang ini tidak boleh menggangu ketenangan orang. Ia ambil keputusan akan meniupnya lagi esok siang dan harus meniupnya hingga betul.

Ia coba mem-balik2 halaman depan kitab itu, terlihat belasan halaman pertama hampir seluruhnya adalah gambar serta keterangan cara bersemadi, setiap gambar itu melukiskan orang telanjang yang sedang meniup seruling, pada gambar manusianya juga terlukis tanda2 urat nadi.

Setelah berpikir sejenak, mendadak Peng-say paham duduknya perkara, pikirnya: "Pantas lagu ini tak dapat kutiup secara lengkap, kiranya lantaran Lwekangku belum cukup kuat. Agaknva cara bersemadi menurut gambar ini harus dilatih dahulu sehingga sempurna baru kemudian dapat meniup lagunya dengan tepat.”

Halaman demi halaman ia periksa pula buku itu, tertampak tulisan mengenai cara meniup seruling, disitu terdapat petunjuk pada posisi bersemadi mana harus meniup bagian nada mana. untuk meniup lagu "Siau-goyan-he" secara lengkap ternyata harus menggunakan ke-18 macam cara semadi menurut gambar.

Ia coba mulai berlatih menurut halaman pertama, ia duduk semadi dan menyalurkan tenaga dalam mengikuti garis urat nadi dalam gambar.

Dasar Lwekang Peng-say memang tidak lemah tak tahunya masih belum juga sanggup mengalirkan tenaga menurut garis urat nadi dalam gambar, bahkan halaman demi halaman semakin sulit. Melihat gelagatnya, untuk berhasil meyakinkan ke-18 macam latihan itu diperlukan waktu belasan tahun. lamanya.

Tak tersangka bahwa untuk meniup satu lagu Siau-goyan-he dengan baik diperlukan jarak waktu sebegitu lama dan tenaga begitu besar. Peng-say jadi kesal, buku nada itu ditutupnya, diam2 iapun menyesali dirinya sendiri yang tidak memiliki dasar Lwekang yang kuat, selain itu iapun gegetun atas keanehan lagu itu.

Esok paginya, sesudah bangun tidur. ia merasa semangatnya sangat segar. sekujur badan terasa nyaman sekali. tanpa terasa. timbul lagi hasratnya untuk meniup seruling, Ia membuka kitab nada itu dan dipelajari dengan lebih cermat cara bersemadi menurut gambar pada halamm pertama. Sekarang ia tahu. untuk bisa membawakan lagu itu harus berhasil melatih ke-18 macam posisi semadi itu, maka dia tidak mau buang tenaga percuma lagi untuk meniup seruling.

Ia tahu untuk bisa berhasil dengan baik berlatih ke-18 macam semadi itu berdasarkan kemampuannya sekarang jelas sukar dapat bila tidak berlatih lebih dari 18 tahun, jika orang lain tentu tiada mempunyai ketekunan dan kesabaran begitu, apalagi hasil dan latihan belasan tahun itu akhirnya hanya untuk meniup sebuah lagu Siau-go-yan-he saja.

Tapi justeru disinilah letak "ketololan" Soat Peng-say.

sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain justeru akan dilakukannya. Sudah tentu ada unsur2 yang mendorong ketololannya itu, yakni, dia tiduk mau membaca Su-si-ngo-keng yang disediakan ibu-gurunya itu, dalam keadaan iseng, sudah tentu berlatih semadi menurut gambar ini lebih mendingan daripada membaca kitab yang tidak disukainya.

Begitulah dia lantas mengingat baik2 garis2 urat nadi pada gambar halaman pertama itu dan mulailah dia mengerahkan tenaga.

Meski hari ini dia tetap belum mampu sekaligus menyaluri seluruh urat nadi yang terlukis itu, namun kemajuannya cukup pesat dan diluar dugaan. Ia belajar terus dengan tekun, sampai malam tiba hampir seluruh pelajaran cara semadi pertama itu selesai dilatihnya.

Ia merasa sangat lelah dan mengantuk, segera ia berbaring dan tertidur.

Esoknya, begitu bangun tidur ber-gegas2 ia mulai berduduk dan berlatih lagi se-olah2 kuatir hasil latihannya kemarin terlupakan.

Ada satu hal tidak diperhatikan olehnya. Yaitu semalam makin ngantuknya ia terus tidur tanpa membuka pakaian dan tidak berselimut. Tapi ketika bangun tidur pagi ini bukan saja tubuhnya tertutup selimut, bahkan bajunya juga terlepas, Secara ajaib dan bagus dia berhasil menyelesaikan semadi pertama dengan sekali bernapas saja, hampir saja ia berjingkrak kegirangan, sungguh kejadian yang tidak pernah dibayangkannya, hanya selang semalam, bukan saja latihannya kemarin tidak terlupa sedikitpun, sebaliknya tanpa gangguan dia berhasil menyelesaikan ajaran pertama.

Tanpa banyak pikir, seperti orang keranjingan, segera ia membalik lagi halaman kedua, ia mengerahkan tenaga lagi menurut garis urat nadi pada gambar kedua itu. Meski sehari ini iapun belum berhasil menyelesaikan latihan kedua. tapi esok paginya sesudah bangun tidur, secara ajaib pelajaran kedua itu berhasil diselesaikannya dengan baik.

Begitulah seterusnya, setiap hari ia berhasil meyakinkan semacam semadi menurut gambar yang terlukis di buku nada itu. 18 hari kemudian, ke-18 macam semadi itu telah berhasil dilatih seluruhnya tanpa kesulitan apapun. Asalkan dia tidur satu malam, besoknya bangun tidur latihan kemarinnya lantas dapat diselesaikannya dengan baik, seolah2 didalam tidurnya Lwekangnya mendadak bisa bertambah kuat. Kenyataannya memang begitulah, maka di dalam waktu singkat selama 18 hari dia dapat menamatkan pelajaran ke 18 macam semadi itu.

Apa sebabnya" Seketika iapun tidak paham tak bisa lain cuma dianggapnya ke 18 macam semadi itu kelihatannya saja sukar dilatih, tapi sesungguhnya sangat mudah, perkiraannya semula yang menyangka memerlukan latihan belasan tahun ternyata keliru.

Setelah berhasil berlatih cara bersemadi, tentunya kini bukan soal lagi untuk meniup seruling menurut not balok di dalam buku itu. Pagi ini, habls cuci muka dan berdandan serta sarapan, segera Peng-say duduk bersila berpangku kitab tanda nada seruling itu dan mulai meniup.

Benar juga, setiap suara dapat ditiupnya sesuai nada yang tertulis dan tidak lagi false seperti beberapa hari yang lalu. hanya saja lagu yang dibawakan ini makin lanjut makin sedih, makin memilukan, se-olah2 rintihan kera di pegunungan sunyi, seperti kicau belibis yang tertinggag induk barisannya, laksana tangis perempuan yang ditinggal kekasih.

Diseluruh puncak gunung. baik dekat maupun jauh dapat mendengar dengan jelas suara seruling yang sendu ini. Para anak murid Lam-han sama mengira si peniup seruling berada di sampingnya sendiri, yang sedang membaca segera menaruh bukunya, yang sedang berlatih pedang lupa berlatih pula. sampai2 Leng Tiong-cik yang sedang menyulam di kamarnya juga lupa pada tusukan jarumnya sehingga jari sendiri hampir tertusuk.

Begitulah segenap anggota Lam-han sama terkesima oleh suara seruling yang luar biasa itu, sampai suara seruling itu sudah berhenti saja belum lagi merasainya, banyak pula diantaranya yang mencucurkan air mata.

Selesai memainkan satu lagu Peng-say menghela napas dengan lesu, sedikitpun tiada perasaan senang. Kiranya ia sendiripun terpengaruh oleh suara seruling yang mengharukan itu sehingga menimbulkan macam2 kenangan. Tiba2 dilihatnya Peng-lam masuk kamarnya, melihat wajah Peng-say masih basah, ia lantas tanya- "Sute, mengapa kau memainkan lagu begini sedih, apakah kau terkenang kepada nona Cin?”

Peng-say menggeleng, jawabnya: "Tidak!”

"Apakah terdapat sesuatu ganjalan dalam hatimu?" tanya Peng-lam pula, "Juga tidak," jawab Peng-say. "Aku hanya meniupkan lagu Siau-go-yan-he menurut nada-nada di dalam buku.”

"Apa katamu" Lagu Siau-go-yan-he?" Peng-lam menegas dengan terkejut, "Tapi, ah, kukira tidak betul, tidak betul!”

"Tidak betul apa, mohon Toasuko memberi petunjuk,”

tanya Peng-say.

"Cara bicaramu ini kau sengaja menyindir diriku yang bukan ahli ini" Kau tahu aku sama sekali tidak paham seni musik " kata Peng-lam dengan tertawa.

"Sama sekali bukan maksud Siaute hendak menyinggung perasaan Toasuko, mohon jangan marah," kata Peng-say gugup.

"Masa marah?" ujar Peng-lam. "Aku hanya merasa. . .”

tiba2 ia merandek dan ganti ucapan: "Dapatkah kau memastikan lagu yang ka bawakan itu betul lagu Siau-goyan-he?" "Siaute meniup lagu itu menurut tanda nadanya, kukira tidak keliru," jawab Peng-say.

Kembali Peng-lam bersuara heran, gumamnya: "Kan aneh kalau begitu" . ...”

Ia heran mengapa rasanya tidak sama lagu yang dibawakan Peng-say ini dengan apa yang didengarnya ketika Wi Kay-hou meniupkan lagu ini. Jelas ada sesuatu yang tidak betul pada lagu yang dibawakan Peng-say ini, cuma dimana letak kesalahannya ia tidak dapat mengatakannya. Selagi Peng-say ingin tanya dimana letak keanehannya, tiba2 Peng-lam ber-olok2 lagi kepada dirinya sendiri: "Ah, dasar aku memang bukan ahli, masa berani memberi kritik segala." "Ia tertawa, lalu berkata pula: "Sute, tampaknya Gibo rada kurang senang pada suara serulingmu, katanya kau mengganggu keterangan Gihu, maka kau disuruh jangan sering2 meniup seruling lagi.”

Peng-say mengiakan.

Peng-lam berkata pula: "Tiada urusan lain lagi, biarlah kupergi saja, boleh kau baca pula.”

"Nanti dulu, Toasuko," seru Peng-say.

"Ada urusan apa?" tanya Peng-lam.

Peng-say menyodorkan kitab tanda nada seruling itu dan berkata: "Buku ini harap Toasuko menerimanya kembali.”

Peng-lam menjadi kurang senang. katanya: "Apakah lantaran Gibo menyuruh kau jangan meniup seruling lagi, lantas kitab ini kau kembalikan kepadaku"“

"Bukan, bukan begitu," cepat Peng-lam menyangkal.

"Habis mengapa kau kembalikan kitab ini pada saat ini?”

tanya Peng-lam.

"Sekalipun Subo tidak menyuruh, selanjutnya Siaute juga takkan meniup lagi lagu Siau-go-yan-he ini. Bila toh tiada gunanya lagi, kan seharusnya barang kembali kepada pemilik asalnya?”

"Kurang beralasan," ujar Peng-lam sambil menggeleng.

Ia anggap sebabnya Peng-say mengembalikan kitab nada seruling ini melulu dongkol karena dilarang meniup seruling oleh sang ibu-guru.

Peng-say tahu Toasuhengnya salah paham, ia coba memberi penjelasan: "Mana Siaute berani kurang sopan terhadap Sunio, soalnya lagu Siau-go-yan-he itu terlalu menyedihkan, pada waktu aku meniupnya, rasanya seperti kekurangan sesuatu, makin meniup makin tidak enak, meski kupaksakan diri meniupnya hingga habis, tapi akibatnya darah dalam dada terasa bergolak hebat, hampir saja jatuh pingsan, Coba, dalam keadaan demikian apakah selanjutnya Siaute berani meniup lagi lagu ini?”

"Oo," baru sekarang Pang-lam seperti paham duduknya perkara, katanya: "Ya, jika betul demikian memang masuk di akal.”

"Dan Toasuko dapat menerimanya kembali bukan?" kata Peng-say pula sambil menyodorkan buku nada seruling itu.

"Tidak, takkan kuterima kembali," jawab Peog-lam dengan tertawa.

Peng-say tidak paham maksudnya, ia memandangnya dengan melenggong, ia heran barang yang memang milik Toasuko itu kenapa tidak mau diterimanya kembali”

Dengan tertawa Peng-lam lantas berkata: "Jangan heran, justeru niatku kitab ini hendak kuberikan padamu, entah kau suka menerimanya tidak?”

Peng-say jadi ragu2 dan tidak menjawab "Ya, kutahu, barang yang tiada berguna bagimu ini dengan sendirinya kau tidak sudi menerimanya," ucap Peng-lam dengan tertawa. Dipancing begitu, mau-tak-mau Peng-say menerima juga kitab itu, katanya: "Jika demikian, terima kasihlah atas hadiah Toasuko “

"Tidak, bukan hadiah segala," Ucap Peng-lam dengan tertawa. "Hanya saja jangan sekali-kali kau buang kitab ini.

Kupercaya pada suatu hari akan kau rasakan kitab ini sesungguhnya adalah sejilid kitab ajaib.”

"0O0dw0O0”

Setelah meninggalkan kamar Peng-say, dia. Diam2 Penglam sudah memutuskan akan berbuat sesuatu. Ia teringat kepada lagu Siau-go-yan-he yang dibawakan bersama oleh Kik Yang dan Wi Kay-hou, betapa menarik suara kecapi dan seruling mereka itu se-olah2 sepasang anak kembar yang tak dapat dipisahkan atau seperti pasangan suami-isteri yang saling cinta mendalam dan tak mau berpisah.

Perubahan nada suaranya yang penuh perasaan suka, duka, gembira dan gusar hingga mencapai puncaknya, sedangkan tiupan seruling Peng-say justeru cuma menimbulkan rasa duka melulu dan tiada perubahan nada lain. Tadinya ia sangka Peng-say salah meniup, tapi demi mendengar Peng-say sendiri mengaku merasa kekurangan sesuatu waktu membawakan lagu itu, seketika Peng-lam merasa paham duduknya perkara.

Sembari berjalan ia berpikir: "Lagu ciptaan bersama Kik Yang dan Wi Kay-hou itu sangat dibanggakan kedua orang itu. Menurut keadaan tempo hari waktu mereka berdua membawakan lagu ciptaan mereka. nadanya memang menenggelamkan jiwa-raga mereka ketengah alunan lagunya, jelas lagu ajaib itu adalah seperti persahabatan mereka. Jadi dari persahabatan yang suci murni telah menghasilkan lagu ajaib, kukira di sinilah letak kekurangan yang dirasakan Peng-say itu apabila dia membawakan lagu itu sendirian, sebab lagu itu memang harus dibawakan dua orang yang bersahabat, hanya paduan suara kecapi dan seruling yang dapat memuncakkan keasyikan lagu Siau-goyan-he itu. Bila lagu itu dibawakan seorang saja, tentu akan mendatangkan hasil yang berbeda karena tidak mendapatkan paduan yang sesuai, sebaliknya hanya menimbulkan nada duka nestapa melulu.”

Ia meraba sakunya, disitu masih tersimpan satu jilid tanda nada kecepi tinggalan Kik Yang, pikirnya pula: "Asalkan ada orang dapat mempelajari tanda nada kecapi itu dan dimainkan bersama seruling, tentu Peng-Say takkan merasa kekurangan sesuatu lagi, bahkan perasaannya akan seperti ikan mendapatkan air, semuanya berjalan dengan baik." Sampai di sini, ia tertawa sendiri, tapi bukan tertawa yang gembira, sebaliknya tertawa kecut, sebab ia memutuskan akan memberikan kitab tanda nada kecapi itu kepada Leng Hiang.

Sejak kecil Leng Hiang kumpul bersama dengan dia, betapa sayang anak dara itu kepadanya tidak perlu dijelaskan lagi, padahal dia sendiri masa tidak menyukai Siausumoay itu" Ia tidak berani bilang sukanya itu sama dengan cinta, namun ia merasa bila kelak Siausumoay menjadi isteri Soat Peng-say, betapapun hatinya akan merasakan semacam kepedihan yang sukar dilukiskan.

Ia menyadari apabila Siausumoay sudah berhasil mempelajari nada kecapi dengan baik. asalkan dia dan Peng-say ber-sama2 membawakan lagu Siau-go-yan-he itu, kedua muda-mudi itu pasti akan dipengaruhi melalui suara alat musik masing2 dan terjalin cinta yang mendalam serupa persahabatan Kik Yang dan Wi Kay-hou yang kekal dan sukar dipisahkan itu.

Ia menjadi serba salah. ia merasa berat untuk berbuat demikian, sebab hal ini akan berarti kehilangan Siausumoay yang disukainya, tapi iapun tidak dapat mengubah niatnya ini, ia pikir penderitaan sendiri mungkin selama hidup tak dapat membalas budi kebaikan ayah angkat yang telah mendidik dan membesarkannya, asalkan cita2 Gihu terkabul, ia bersedia mengorbankan segalanya. Kiranya tekad Sau Peng-lam ini bukannya tak beralasan.

Rupanya pada malam pulangnya Sau Ceng-hong itu, lalu esoknya mendadak. dia memutuskan "Cekoan" atau menyepi, hal ini memang ada sebabnya.

Malam itu Sau Ceng-hong telah bertengkar dengan Leng Tiong -cik, cukup gawat perselisihan mereka, hal ini boleh dikatakan tidak pernah terjadi bagi suami-isteri yang biasanya tampak hormat menghormati itu, begitu keras pertengkaran mereka sehingga hampir saja saling gebrak.

Peng-lam tahu pertengkaran antara ayah dan ibuangkatnya itu disebabkan Soat Peng-say. Ia mencuri dengar sang Gihu menyatakan hendak menjodohkan Leng Hiang kepada Soat Peng-say, tapi ibu-gurunya tidak setuju.

Karena perselisihan paham itu, keduanya lantas ribut mulut, agaknya Gihu kewalahan, saking gusarnya ia memutuskan pergi Cekoan atau menyepi, tampaknya kalau Gibo tidak menyetujui menjodohkan Leng Hiang kepada Peng-say, selama itu pula Gibu takkan menqakhiri tirakatnya itu.

Dari ribut2 itu didengarnya sang Gihu berkata dengan tegas: "Pokoknya anak Hiang harus dijodohkan dengan Peng-say, bila tidak, aku akan menyesal selama hidup,”

Peng-lam merasa tidak boleh ayah-angkatnya itu menyesal selama hidup, ia harus membantu agar cita2 sang Gihu terlaksana tanpa memikirkan pengorbanan apapun. Ia pikir, apabila Siausumoay sudah mencintai Peng-say secara mendalam, maka percumalah biarpun ibu-angkatnya tetap tidak setuju. Apalagi dalam pertengkaran itu Leng Tiong-cik juga pernah menyatakan, asalkan anak dara itu sendiri menyukai Peng-say, maka dia bersedia mengalah. Sebab dia tahu tidak nanti Leng Hiang menyukai Peng-say, Sau Ceng-hong juga tahu, mereka sama tahu orang yang disuka Leng Hiang ialah Toasukonya, jika nona itu disuruh meninggalkan Toasuko untuk menikah dengan pemuda lain. hal ini hampir dapat dipastikan tak mungkin terjadi.

Akan tetapi Sau Peng-lam justeru hendak berusaha menjadikan hal yang tidak mungkin itu terjadi benar2.

"o odwo o”

Saat itu Leng Hiang lagi belajar bersulam di kamarnya.

Muda-mudi kalangan persilatan umumnya tidak terlalu kukuh pada adat istiadat kuno yang melarang anak perempuan berdekatan dengan anak lelaki. Yang penting asalkan iman masing2 teguh, biarpun berdiam disatu kamar bersama juga tidak kuatir di-olok2 orang. Begitulah Peng-lam lantas mendatangi kamar si nona, ia ketuk pintu dan masuk. Dengan tertawa riang. Leng Hiang menyambutnya, katanya: "Mengapa Toasuko tidak belajar ilmu pedang dengan bibi dan sempat kesini?”

"Gibo menyuruh kupergi ke tempat Sau-sute, sekalian kumampir kemari," jawab Peng-lam.

"Ai, bibi juga keterlaluan," ujar Lerg Hiang sambil menggeleng. "Masa tidak mengajarkan Cap-itsuko ilmu sakti, sebaliknya menyuruhnya membaca Su-si-ngo-keng apa segala. entah apa gunanya" Memangnya dia betul2 akan disuruh ikut ujian negara untuk mencapai gelar Conggoan?”

"Bersekolah kan juga baik, bukankah Gihu sendiripun kaum sekolahan?" ujar Peng-lam dengan tertawa. "Seperti diriku, hampir saja buta huruf, bicara tentang baca dan menulis, diantara sesama saudara seperguruan hanya akulah yang paling tak becus.”

"Ah, kita kan keluarga persilatan, apa alangannya jika kurang mahir tulis dan baca, asalkan ilmu silatnya tinggi, jiwanya luhur. dalam hal2 ini kau terhitung nomor satu diantara murid2 Lam-han”

"Ah, belum tentu, kukira Cap-itsute terlebih kuat daripada ku mengenai hal2 ini.”

"Tidak perlu kau rendah hati, kita tahu, ilmu silat Soat-capitsuko masih sangat rendah, aku saja lebih tinggi daripada dia, dibandingkan kau. dengan satu jari saja mungkin dapat kau robohkao dia.”

"Wah. pujianmu terlalu berlebihan bagiku, Memang betul, saat ini ilmu silat Capitsute masih jauh dibawahku, tapi dia mempunyai bakat yang baik. asalkan sudah digembleng Gihu, kelak pasti bisa melebihi diriku.”

"Aku tidak percaya," kata Leng Hiang. "Selama hidup tak nanti dia dapat melampaui dirimu. Sudahlah, jangan kita mempersoalkan hal2 ini. Eh, untuk apakah bibi menyuruh kau pergi ke kamar Cap-itsuko?”

"Gibo menyuruh dia jangan meniup seruling lagi," tutur Peng-lam.

"Sebab apa tidak boleh?”

"Katanya suara serulingnya sangat menusuk telinga dan mengganggu ketenangan.”

"Kukira kecaman bibi itu agak kurang tepat." ujar Leng Hiang sambil menggeleng.

"Memangnya bagaimana pendapatmu mengenai suara serulingnya?”

"Sangat menarik, sangat enak didengar, boleh dikatakan suatu kemahiran!”

"Akupun sependapat dengan kau," Peng-lam mengangguk setuju.

"Ai, alangkah senangnya jika akupun memiliki kepandaian seperti dia!”

"Mengapa tidak kau minta belajar padanya?”

"Masa dia mau mengajari diriku?”

"Kita kan seperguruan, hanya minta belajar main musik saja masa tidak mau," ujar Peng-lam. "Cuma tidak tahu alat musik apa yang kau sukai?”

"Suara seruling tidak selincah suara kecapi, kukira lebih baik belajar memetik kecapi daripada meniup seruling.”

Sungguh sangat kebetulan pernyataan Leng Hiang ini, cocok sekali dengan rencana Peng-lam, Diam2 ia mengangguk girang, segera ia berkata. "Jika demikian, boleh kau minta belajar main kecapi padanya.”

"Apakan dia juga mahir main kecapi?”

"Satu macam mahir, yang lain2 pasti juga mahir.

Kuyakin dia pasti bisa.”

"Tapi, cara bagaimaaa kubuka mulut minta belajar padanya?" kata Leng Hiang dengan likat.

"Akan kubantu membicarakannya dengan dia," kata Peng-lam.

"Wah, nanti kalau sudah mahir memelik kecapi, setiap hari akan kumainkan untukmu, kau suka mendengarkan tidak?"' tanya Leng Hiang dengan gembira.

Hati Peng-lam merasa sakit, tapi sedapatnya ia memperlihatkan senyuman mesra, katanya: "Setiap hari dapat mendengarkan musik merdu. masa tidak suka?”

"Tapi kalau permainanku tidak bagus, jangan kau salahkan diriku mengganggu ketenanganmu!”

== ooo OdwO ooo == Begitulah esoknya Peng-lam lantas ke kota dan membelikan sebuah kecapi yang berukir indah, ia membawa kecapi itu ke kamar Soat Peng-say dan minta anak muda itu menilai baik jeleknya kecapi.

Hampir semua alat musik dapat dimainkan Soat Pengsay, inipun hasil dorongan Cin Yak-leng yang memaksanya belajar. Dengan jari jemarinya Peng-say coba memetik senar kecapi beberapa kali, katanya kemudian: "Boleh juga kwalitas kecapi ini, entah untuk apa Toasuko membelinya?”

"Minta belajar padamu," tutur Peng-lam dengan tertawa.

Peng-say terkejut, ia menegas. "Apa" Kau ingin belajar memetik kecapi?”

"Jangan kaget, bukan aku, tapi Leng-sumoay yang ingin belajar padamu," tutur Peng-lam dengan tertawa. "Aku sudah tua, kan sudah terlambat untuk belajar main kecapi?”

"Terlambat sih tidak, hanya tidak mudah mencapai keahlian," kata Peng-say. "Tadinya kuheran mengapa mendadak Toasuko menaruh minat untuk belajar main kecapi." "Mengapa kau bilang sukar bagiku untuk mencapai keahlian," tanya Peng-lam.

"Usia Toasuko sudah lebih 30, gerakan jarimu tidak mudah terlatih hingga lincah. Justeru main kecapi memerlukan ketrampilan jari jemari. semakin muda usia semakin mudah menguasainva degan baik “

"Dengan usia Siausumoay, untuk mencapai puncak keahlian tentunya tidak sulit bukan?”

"Apakah sebelum ini dia pernah belajar?”

"Tidak pernah," jawab Peng-lam.

Peng-say termenung sejenak, katanya kemudian: "Usia Siausumoay sudah enambelasan, tulang jarinya sudah kaku.

untuk belajar sih tidak sulit, ingin mencapai tingkatan ahli kukira tidak mudah.”

"Wah, runyam jika begitu!" seru Peng-lam.

Peng-say menjadi heran, tanyanya: "Apakah ada orang memaksa Siausumoay harus belajar main kecapi hingga tingkatan ahli?”

"O, ti. . . . tidak," jawab Peng-lam.

"Runyam apa" Main musik hanya untuk hiburan saja, andaikan kurang mahir juga tidak menjadi soal, kan tidak hendak menggunakannya untuk mencari makan?”

"Meski tidak akan menggunakannya untuk mencari makan, kalau dapat melatihnya hingga tingkatan tinggi, selain dapat menghibur diri kan juga dapat menghibur orang lain, betul! tidak?”

"Betul, betul, menghibur diri dan juga menghibur orang lain!" tukas Peng-say dengan tertawa.

Dari nada ucapan Peng-say dapatlah Peng-lam menangkap arti ucapan "orang lain" itu ditujukan kepadanya, maklumlah, setiap anak murid Lam-han sama tahu Siausumoay itu menyukai Toasukonya.

Peng-lam berdehem, katanya kemudian: "Adakah cara lain untuk membantu Siausumoay agar dapat mencapai tingkatan ahli?”

"Bila mendapat guru yang pandai dan Siausumoay juga mau belajar dengan tekun, kukira masih ada harapan untuk mencapai tingkatan yang tinggi. Hanya untuk mencari guru musik ternama itulah yang sulit.”

"Guru baik hanya dapat bertemu secara kebetulan dan tidak dapat dicari, bilamana kita sengaja mencari malahan sukar didapatkan," setelah merandek sejenak, dengan tertawa Peng-lam menyambung pula: "Tapi di depan mata sekarang kan sudah ada guru pandai, kenapa mesti men-cari2 lagi?”

Peng-say tahu siapa yang dimaksudkan, cepat ia menggoyang2 tangan dan berkata: "Ah, manabisa, tidak bisa jadi " "Kalau Cap-itsute tidak bisa jadi. lalu siapa lagi?" ujar Peng-lam dengan tertawa. "Padahal betapa kagumnya Siausumoay terhadap tiupan serulingmu, menurut pendengaranku, akupun anggap kepandaianmu tiada bandingannya.”

"Ai, Toasuko terlalu memuji diriku," kata Peng-say.

"Malahan Siausumoay kuatir kau tidak sudi menerimanya sebagai murid, maka aku diminta membicarakannya padamu, sesungguhnya kau mau menerimanya atau tidak?”

"Mana berani kuanggap menerima murid" Katakanlah saling belajar. Apa yang kuketahui pasti akan kuberithukan seluruhnya.”

"Jika demikian, sekarang juga kupergi memanggil Siamumoay kesini.”

"Toasuko, bolehkah Siausumoay tidak belajar main kecapi?" "Habis belajar main apa?”

"Sebaiknya seruling," kata Peng-say. "Terus terang, aku sendiri belum mahir main kecapi, cara bagaimana dapat kudidik dia hingga mencapai tingkatan tinggi" Mengenai seruling memang cukup lama kupelajari dan telah kekuasai dengan baik, jadi lebih gampang mengajarnya.”

"Tapi Siausumoay suka pada kecapi, kenapa tidak menuruti kegemarannya saja?" kata Peng-lam. "Kukira tidak menjadi soal, Siausumoay sangat cerdik, bukan mustahil dia akan maju pesat, kan tidak jarang murid lebih berhasil daripada sang-guru?”

"Ya memang bisa terjadi begitu, tapi dalam hal bahan pelajaran ada kesukaran." kata Peng-say. "Saat ini padaku tiada terdapat buku nada kecapi yang dapat kugunakan bahan pelajaran. paling baik kalau bisa mendapatkan satu buku nada terkenal. Cuma untuk mendapatkan buku pelajaran musik demikian terasa sangat sulit.”

"Tidak sulit, tidak sulit!" seru Peng-lam dengan tertawa "Buku nada begitu tidak sulit dicari.”

"Ah, buku musiK ternama justeru sama sulitnya untuk dicari seperti mencari guru yang pandai," ujar Peng-say.

"Jangan kuatir, setelah kau ajarkan dasar memetik kecapi kepada Siausumoay, kujamin akan mencari sejilid buku musik yang paling berharga untuk dijadikan bahan pelajaranmu," kata Peng-lam dengan tertawa.

Melihat ucapan sang Suheng sedemikian yakin, dengan tertawa Peng,-say berkata: "Wah, jangan2 sekarang juga Toasuko sudah punya?”

"Betul,"' jawab Peng-lam dengan tertawa.

"Bila buku nada kecapi itu sama nilainya seperti buku nada seruling yang kuterima dari Toa-suko itu, maka bagus sekali jadinya", kata Peng-say.

"Kau anggap buku nada seruliug itu memang bernilai?”

tanya Peng-lam.

"Ya, boleh dikatakan tiada taranya dan tiada bandingannya.”

"Jika demikian, buku nada kecapi yang kupegang inipun sama tiada bandingannya, sebab buku nada itu bernama Siau-go-yan-he,”

"Siau-go yan-he" Namanya juga. . . .juga Siau-go-yan-he?" Peng-say menegas dengan rada melengak.

oOodowoOo Begitulah Leng Hiang lantas mulai belajar main kecapi dengan Soat Peng-say, tapi hanya belajar dua hari, hari ketiga dia tidak mau belajar lagi.

Apa sebabnya" Peng-say tidak tahu, Peng-lam juga tidak tahu ketika ditanya.

Peng-say merasa sayang, katanya kepada sang Suheng: "Bakat Siausumoay sebenarnya sangat tinggi ia tidak sulit untuk mencapai keahlian, entah sebab apa dia tidak mau belajar lagi?”

Akan tetapi Peng-lam hanya menggeleng dan tak dapat memberi penjelasan. Ia berjanji akan di- tanyakan kepada Leng Hiang.

Namun selang beberapa hari Peng-lam belum juga memberitahukan Peng-say hasil pertanyaannya kepada Leng Hiang. Terhadap persoalan ini betapa pun Peng-say merasa sangat dan heran, tapi juga tidak terlalu dipikirnya.

Ia malahan ingin pinjam kepada Sau Peng-lam buku nada kecapi yang bernama "Siau-go-yan-he" itu untuk dibacanya. Akan tetapi sudah beberapa hari dia tidak berjumpa dengan sang Suheng Sepanjang hari, jadinya Peng-say hanya mengeram iseng di kamarnya.

Suatu hari Peng-say keluar untuk ber-jalan2, kebetulan dilihatnya Peng-lam sedang datang dari depan. Selagi ia mengulum senyum dan hendak menyapa sang Suheng, siapa tahu Peng-lam hanya memandangnya sekejap dengan dingin, bahkan cepat2 membalik tubuh dan melangkah pergi, tampaknya enggan tegur sapa dengan Peng-say.

Diperlakukan secara dingin tanpa sebab, Peng-say menjadi kheki, tanpa sengaja ia menabas sebatang pohon Siong cukup besar disebelahnya, pohon itu tetap tegak tak bergoyang. tapi setelah Peng-say berlalu dan angin meniup, mendadak pohon itu tumbang, bagian yang patah itu tepat adalah tempat yang ditabas telapak tangan Soat Peng-say.

Sejak itu, apabila Peng-say merasa kesal habis membaca, ia lantas keluar jalan2 dan tidak berdiam melulu didalam kamar.

Tapi setiap kali ber-jalan2 keluar tentu sering bertemu dengan para Suheng dan Sute. Anehnya, mereka se-olah2 tidak sudi menggubris Peng-say, murid lelaki hanya mengangguk dingin padanya lalu menyingkir, murid perempuan bahkan tidak mengangguk melainkan melengos terus tinggal pergi.

Sudah tentu makin lama Peng-say makin risi, ia benar2 tidak tahan lagi. beberapa kali ia bermaksud ngunggsi saja, tapi Kiau Lo-kiat telah memberi nasihat dan menghiburnya sehingga dia mengurungkan niatnya untuk pergi.

Diantara anak murid Lam-han hanya Kiau Lo-kiat saja yang masih mau bicara degan dia. tapi susah tidak banyak cakapnya, dari mulut Ji-suheng itupun Peng-say tak dapat mengorek keterangan apa sebabnya para Saudara seperguruannya bersikap dingin dan membuang muka padanya. Kiau Lo-kiat tahu besar hasrat Peng-say akan pergi, ia pernah berkata padanya: "Cap-itsute, selekasnya Suhu akan lebaran dari tirakatnya, tunggulah sampai beliau keluar baru dibicarakan lebih lanjut.”

Dia tidak langsung menunjuk maksud kepergian Soat Peng-say, tapi dibalik ucapannya itu se-akan2 hendak berkata agar Peng-say bersabar dulu, bila mau pergi selayaknya tunggu sampai bertemu lagi dengan sang guru dan pamit padanya.

Ucapan Kiau Lo-kiat itu cukup beralasan, Peng-say merasa tidak enak kalau tinggal pergi begitu saja, orang tua itu memperlakukannya dengan baik, kalau mau pergi haruslah permisi dulu kepadanya.

Pula, ia tahu Kiau Lo-kiat tidak suka memberitahukan sebab musabab dirinya diperlakukan dingin oileh orang lain, biarlah urusan ini ditanyakan langsung kepada gurunya saja nanti.

0O0 ^dw^ 0O0 Sang waktu berlalu dengan cepat, hanya sekejap saja sudah menginjak bulan kedua Soat Peng-say datang ke Sohhok-han. Jadi sudah genap sebulan telah berlalu.

Selama sebulan ini Peng-say kenyang mendapat perlakuan dingin dari sang ibu-guru dan saudara seperguruan, hampir se-hari2 tidak pernah bergembira, sungguh ia kuatir dirinya bisa mati kaku oleh keadaan yang mengenaskan ini, Tapi aneh juga, meski kesal pikirannya, tapi badannya justeru makin hari makin sehat dan kuat, Wajahnya merah cerah. Bila orang baru kenal, siapapun akan mengira dia hidup senang bahagia selama sebulan di Soh-hok-han walaupun kenyataannya sebenarnya adalah kebalikannya.

Terkadang ia sendiripun merasa heran, apakah karena kulit muka sendiri lebih tebal daripada orang lain, meski dirinya dihina dan dimusuhi. namun kesehatannya tidak terganggu sama sekali, bahkan napsu makannya juga tidak berkurang, bahkan takaran makannya malah bertambah, kalau biasanya dua mangkuk nasi. sekarang tiga mangkukpun terasa belum kenyang.

Satu hari seorang jongos datang mengundang, katanya: "Hujin memerintahkan setiap murid ikut keluar menyambut Lengki dari Bengcu.”

Peng-say menjadi ragu Menurut aturan, karena dia sudah tercatat sebagai murid sementara Lam-han, meski secara resmi belum pernah belajar silat kepada Sau Cenghong, betapapun ia harus ikut anak murid yang lain keluar menyambut Lengki atau panji kebesaran ketua persekutuan lima besar, Tapi bila mengingat keadaan sendiri yang diperlakukan dingin, kalau ikut keluar, bukankah akan mencari malu sendiri”

Setelah berpikir dan menimbang sejenak, akhirnya ia memutuskan, biarpun nanti diperlakukan dingin, ia harus ikut keluar. Yang menjadi alasan keputusannya ini bukan lantaran dia sudah resmi murid Lam-han, tapi menguatirkan apa yang akan terjadi diluar nanti.

Sebab ia teringat kepada peristiwa di kediaman Wi Kayhou tempo hari, begitu panji Bengcu muncul disana, segenap anggota keluarg Wi lantas tertimpa bencana.

Apakah sekarang kejadian begitu akan berulang pula”

Begitulah sendirian ia lantas menuju ke tempat penyambutan tamu, dilihatnya di ruangan besar itu sudah berduduk seorang botak dan seorang kurus kering seperti orang sakit tebese. Jelas mereka itulah adik seperguruan sang Bengcu, yaitu Ting Tiong dan Liok Pek, mereka sudah dikenal Peng-say dikediaman Wi Kay-hou dan cukup dalam kesannya. Di depan kedua tamu itu berduduk Leng Tiong-cik, mungkin sang guru belum lebaran tirakat, maka ibu guru mewakiii menemui tamu.

Diantara tetamu itu, kecuali Ting Tiong dan Liok Pek, semua murid Say-koan yang ikut hadir di tempat Wi Kayhou tempo hari kini juga datang semua, mereka berdiri disamping kanan-kiri Ting Tiong dan Liok Pek.

Di kedua samping Leng Tiong-cik juga berdiri Sau Penglam, Kiau Lo-kiat dan lain2, mereka sudah hadir sejak tadi, hanya Soat Peng-say saja yang datang paling lambat.

Setelah masuk kesitu, Peng-say lantas berdiri agak jauh dibelakang Leng Tiong-cik, sang ibu-guru melototinya sekejap, agaknya merasa tidak senang karena dia datang terlambat. Didengarnya Ting Tiong sedang bertanya: "Sau-hujin, tolong tanya, apakah Sau-suheng berada dirumah?”

"Ada!" jawab Leng Tiong-cik singkat.

Mungkin dia sudah mendengar apa yang terjadi di kediaman Wi Kay-hou, sebab itulah jawabannya cekak-aos dan sikapnya dingin terhadap Ting Tiong dan rombongannya. Dahi Liok Pek tampak berkerut, ucapnya dengan kurang senang: "Mengapa tidak keluar menyambut?”

"Apakah perlu?" jengek Leng Tiong-cik.

Liok Pek membentang Lengki atau panji kebesaran yang dipegangnya dan berkata: "Dia boleh memandang rendah kami berdua, tapi tidak boleh tidak menghormati Lengki ini!" Leng Tiong-cik memandang Lengki itu sekejap, katanya: "Ada keperluan apa kunjungan kalian ini, silakan bicara saja dan tidak perlu menakuti orang dengan Lengki!”

"Silakan Sau-suheng keluar untuk bicara!" seru Liok Pek sambil angkat Lengki tinggi2.

Dia sengaja perkeras suaranya agar didengar oleh Sau Ceng-hong, maka suaranya nyaring bergema memekak telinga. Air muka Leng Tiong-cik berubah, ucapnya: "Orang she Liok. ditempatku ini jangan kau main gila, gulung panjimu itu!”

Dengan bersitegang leher Liok Pek tidak menghiraukan permintaan Leng Tiong-cik itu. Kuatir urusan bisa runyam, cepat Ting Tiong berkata: "Sam-sute, boleh kau gulung Lengki kita.”

Liok Pek juga tahu tempat keluarga Sau ini tidak dapat dibandingkan rumah keluarga Wi, melulu nyonya Sau saja mungkin mereka berdua bukan tandingannya, jika Ssu Ceng-hong dibikin gusar dan tampil kemuka, tentu lebih celaka lagi bagi mereka.

Maka ia tidak berani berlagak lagi, dengan ogah2an ia gulung panjinya, "Sau-hujin," kata Ting Tiong kemudian, "bukan maksud kami menakuti orang dengan Lengki, tapi kami ingin Siu-suheng keluar untuk bicara berhadapan dengan kami, sebab persoalan ini sangat penting harus dirundingkan langsung dengan Sau-suheng.”

"Urusan apa, boleh cooa katakan lebih dulu," ujar Leng Tiong-cik.

"Apakah Hujin dapat mengambil kepututan?" tanya Ting Tiong dengan ketawa, "Sekiranya dapat keputusan sendiri tentu akan kuputuskan, kalau tidak dapat barulah kuundang keluar suamiku," jawab Leng Tiong-cik ketus.

"Untuk apa menambah pekerjaan!" tanpa pikir Liok Pek menyeletuk.

Leng Tiong-Cik menjadi gusar, mendadak ia mengebrak meja, seketika meja kecil itu ambles kebawah, keempat kaki meja hampir separoh ambles kedalam ubin, tapi cangkir teh di atas meja tidak bergetar, bahkan air teh tidak tercecer setitikpun.

Batapa pun hebat Lwekang yang diperlihatkan Leng Tiong-cik ini, semua murid Say-koan sama terkesiap. Tapi Liok Pek lantas mendengus, katanya di dalam hati, "Hm, kau pamer kelihayanmu ini untuk menggertak diriku?”

Melihat sikap Liok Pek yang menantang itu, Leng Tiongcik tambah murka, damperatnya: "Orang she Liok, kau meremehkan aku Leng Tiong-cik ya?”

Liok Pek menjawab: "Hui-uh-kiam Leng-lihiap sudah lama termashur, mana berani kupandang remeh tokoh Leng-lihiap" Hanya saja hehe, urusan ini kukira kau tidak mampu mengambil keputusan!”

"Coba katakan, lihat saja apakah aku dapat memutuskannya atau tidak?" kata Leng Tiok-cik.

Dengan tertawa Ting Tiong lantas menyela: "Jika Hujin berkeras mau memutuskan sendiri urusan ini dan merasa tidak perlu mengejutkan Sau-suheng, baiklah Sute, boleh kau katakan kepada Sau-hujin, habis itu segera kitapun dapat membawa pergi orang yang kita inginkan.”

Tapi Liok Pek lantas menjawab: "Kukira cara ini kurang baik, apabila Sau-suheng tidak mau mengerti.”

"Siapa yang hendak kalian bawa?" tanya Leng Tiong-cik cepat.

"Sute, asalkan Sau-hujin sudah mengizinkan, kan sama saja?" ujar Ting Tiong, dia tidak menjawab dulu pertanyaan Leng Tiong-cik, Keruan nyonya Sau itu sangat mendongkol.

"Kalian jangan mengharap akan membawa apapun dari tempatku ini" demikian ia lantas berteriak.

"Puteramu membunuh orang, apakah juga tidak boleh kami membawanya pergi?" kata Ting Tiong.

"Pedang anak Lam selamanya tidak pernah membunuh orang yang tak berdosa, barang siapa terbunuh olehnya tentu orang itu pantas dibunuh, kalian tidak berhak membawanya pergi!" seru Leng Tiong-cik.

Ting Tiong ter-bahak2, katanya: "Hahahaha! Ucapan Sau-hujin ini sungguh tidak masuk diakal, tak terduga isteri Kun-cu-kiam yang termashur ternyata seorang perempuan yang tidak tahu aturan dan suka menang sendiri!”

"Mau apa jika tidak tahu aturan?" teriak Leng Tiong-cik, dia sudah marah, maka tambah nekat. "Terhadap kawanan penindas yang suka membunuh orang tak berdosa secara se-wenang2 dengan memperalat nama Bengcu sebagai tameng, hakikatnya tidak perlu bicara tentaog aturan segala!"“

"Kau tidak mau pakai aturan, kamipun tidak perlu sungkan2 padamu!" ucap Ting Tiong sambil memandang anak muridnya, ia memberi tanda agar siap turun tangan.

Urusan sudah kadung begini, jika tidak segera dicegah, kalau sampai kedua pihak sudah bergebrak. pihak mana yang akan kalah atau menang adalah soal belakang, yang jelas peristiwa ini adalah malapetaka bagi dunia persilatan umumnya.

Dengan sendirinya Sau Peng-lam tidak ingin malapetaka ini timbul lantaran dirinya. segera ia tampil kemuka dan berseru: "Ting-susiok, tolong tanya siapakah yang telah kubunuh" Jika Wanpwe salah membunuh, kurela menerima hukuman dari Bengcu padahal seingatku, akhir2 ini selain kubunuh seorang murid Tang-wan bernama Lo Ci-kiat, rasanya tiada orang kedua lagi yang kubunuh. Memangnya karena membunuh Lo Ci-kiat itu Wanpwe dianggap bersalah?”

"Hm, bisa juga berlagak kau!" jengek Ting Tioog.

"Kematian Lo Ci-kiat tiada yang menganggap kau salah.

Coba jawab, sesudah membunuh Lo Ci-kiat, siapa pula yang kau bunuh"!”

"Itulah yang membingungkan Wanwe, mohon Susiok suka memberitahu," jawab Peng-lam.

"Hui-susiokmu, bagaimana?" Liok Pek menyeletuk.

Hati Peng-lam tergetar, air mukanya berubah hebat.

"Hm, perubahan air mukamu ini sama dengan suatu pengakuan, lekas katakan, dengan akal keji apa kau bunuh Hui-sute"!" jengok Ting Tiong.

Air muka Leng Tiong-cik juga berubah. Tadi karena emosi, hampir saja ia bergebrak dengan lawan, kalau saja hal itu terjadi, jelas pihak sendiri yang bersalah dan nama baik suami juga akan ikut ternoda.

Maklumlah, dia baru saja bertengkar dengan suami sendiri, hatinya masih geram, menghadapi urusan apapan tidak dipikir lagi secara mendalam, baginya paling2 rumah tangga berantakan dan mati semuanya. Tapi setelah pikirannya tenang kembali barulah ia ingat seharusnya dia menanyai dulu siapa yang dibunuh Peng-lam, dengan demikian sekali pun nanti harus bertengkar dengan lawan pihak sendiri menpunyai alasan yang cukup kuat, bila tersiar juga tidak malu.

Siapa tahu orang yang dibunuh anak Lam ialah Hut Pin jelas dia tidak dapat membelanya lagi, jelek2 Hui Pin adalah angkatan yang lebih tua, tokoh Ngo-tay-lian-beng, biasanya setiap anggota lima besar ini sangat mementingkan tingkatan., jika membunuh Susiok, lalu apa yang dapat dikatakan”

Begitulah dengan suara terputus Leng Tiong-cik bertanya: "Anak Lam, apakah betul kau ....kau yang membunuh Hui-susiokmu?”

"Tidak!" jawab Peng-lam.

Melihat Peng-lam menjawab dengan tegas tanpa sangsi, hati Leng Tiong-cik merasa mantap, ia cukup kenal watak anak angkatnya yang jujur ini, kalau bilang satu tentu tidak merjadi dua, bila dia bilang tidak, maka pasti tidak.

Dengan tertawa ia lantas tanya pula: "Jika begitu, mengapa air mukamu berubah, tadi kukira kau merasa berdosa, maka takut. Jadi kau benar2 tidak membunuh Huisugiok." "Gibo jangan kuatir," kata Peng-lam. "Biar anak mengulangi sekali lagi, anak sama sekali tidak membunub Hui-susiok,”

"Hm, kalau begitu, ingin kupinjam ucapan Gibomu, sebab apa air mukamu berubah?" tukas Ting Tiong.

Segera Liok Pek menyambung: "Dan ketika mendengar kusebut nama Hui-susiok, seketika air mukamu berubah, jika betul kau tidak mencelakai dia, mengapa kau keder, jelas karena ada sesuatu yang tidak beres pada dirimu!”

"Sebabnya air mukaku berubah adalah karena ada orang memfitnah diriku," tutur Peng-lam. "Justeru Wanpwe ingin tanya kepada Susiok, siapa yang bilang aku yang membunuh Hui susiok,”

"Darimana kau tahu orang memfitnah kau?" Ting Tiong berbalik tanya.

"Kematian Hui-susiok itu, kecuali orang yang membunuhnya, yang tahu hanya ada tiga orang, yaitu Gilim Sumoay dari Siong-san-pay, seorang anak perempuan kecil dan diriku. Pembunuhnya itu adalah seorang tokoh yang punya nama cemerlang tidak nanti dia menjerumuskan diriku, Gi-lim Sumoay dan anak perempuan itupun tidak nanti mengatakan aku yang membunuhnya, sekarang kedua Susiok nenuduh diriku, bila bukau salah seorang diantara mereka bertiga itu memfitnah diriku, mengapa aku yang kalian cari?”

"Tidak perlu kita persoalkan siapa yang memfitnah kau,”

kata Ting Tiong. "Untuk membuktikan bukan kau yang membunuh Hui-susiok, kau harus menunjuk pembunuh yang sebenarnya itu, setelah kami ketemukan orangnya, tentu tuduhan padamu akan kami tarik kembali.”

Peng-lam menggeleng, katanya: "Tidak, tidak dapat kukatakan.”

"Anak Lam, kenapa tidak dapat kau katakan?" tanya Leng Tiong-cik.

"Ya, apapun tidak dapat kukatakan," jawab Peng-lam tegas. "Sebab, kalau kukatakan, maka akan timbul malapetaka besar.”

Dengan sendirinya ia tidak dapat mengatakan si pembunuhnya adalah anggota Ngo-tay-han-beng sendiri, sebab akibatnya akan menimbulkan bunuh membunuh di antara orang2 lima besar sendiri. Umpama dia tidak menyebut namanya Bok Jong siong dan melulu bilang pembunuhnya adalah anggota lima besar, hal inipun akan menimbulkan curiga Ting Tiong dan Liok Pek, bila dilaporkan kepada Coh-suheng mereka, tentu juga akan menimbulkan prasangka jelek terhadap anggota Ngo-taylian-beng lainnya yang dianggap sengaja memusuhi Saykoan serta membunuh Hui Pin. Dan akibatnya yang lebih luas adalah persatuan lima besar akan lemah dan berantakan. Namun siapakah yang tahu kekuatiran Sau Peng-lam ini”

Ting Tiong tertawa dingin dan mendesak pula: "Anak muda, jangan kau berlagak lagi. Jangan kau kira kami ini mudah kau kelabui. Si pembunuhnya bukan lain adalah dirimu sendiri!”

Peng-lam menggeleng, jawabnya: "Aku berani bersumpah, bukan diriku?”

"Memangnya kau perlu saksi yang dapat tunjuk hidung dan baru kau mau mengaku?" kata Ting Tiong.

"Bagus, aku justeru ingin tahu siapa dia?" jawab Peng-lam.

"Bukan kau akan tahu, untuk membuktikan bukan kami mau gertak belaka," kata Liok Pek. "Suheng, apakah perlu orang itu dibawa kemari?”

Ting Tiong berpikir sejenak, akhirnya ia mengangguk dan berkata: "Baiklah!”

Segera Liok Pek berteriak; "Ting-tat, suruh mereka menggotongnya kemari!”

Terdengar suara Su Ting-tat mengiakan diluar.

Meski lahirnya Peng-lam tenang2 saja sambil memandang keluar ruangan tamu, sebenarnya hatinya juga kebat-kebit tidak tenteram, ia merasa tidak berdosa, sebenarnya ia tidak takut akan dituduh orang sebagai pembunuh. Namun siapakah orang yang menuduhnya itu, hal inilah yang membuatnya tidak tenteram.

Sejenak kemudian, seorang lelaki jangkung berbaju kuning memimpin beberapa orang tukang pikul menggotong masuk sebuah dipan yang diberi tenda seperti tandu. Setelah tenda ditaruh di lantai, tidak terlihat orang keluar dari tandu itu.

Peng-lam tidak tahan, segera ia berseru: "Siapa itu yang di dalam tandu?”

"Ak. . . .aku, Toako . . .aku!" terdengar suara seorang perempuan muda menyahut dengan suara ter-sendat2.

Seluruh tubuh Peng-lam bergetar hebat, serunya: "He, Gi-lim Sumoay!?" Dia hampir tidak percaya kepada telinganya sendiri, suara itu ternyata betul suara Gi-lim.

Liok Pek ter-bahak2, katanya: "Siausuhu ini ternyata kasmaran terhadap dirimu, sejauh itu dia tidak mau mengaku siapa pembunuh Hui-sute, sesudah kami pancing dengan macam2 akal akhirnya barulah ia bicara terus terang." "Gi-lim Sumoay, coba kau keluar sini!" kata Peng-lam dengan pedih dan gemas.

"Aku. . .aku tidak. . . .tidak dapat. . . .”

Mendadak Peng-lam hendak melompat kedepan tandu, tapi Ting Tiong lantas menghantam dari jauh sambil membentak: "Kau mau apa"!”

Peng-lam terdesak mundur oleh angin pukulan itu, tapi dia tidak berhenti, segera ia melayang lagi ke sana, "Kembali" bentak pula Ting Tiong, kembali ia memukul.

Sekali ini Peng-lam sudah memperhitungkan daya pukulan Ting Tiong, begitu melayang maju, mendadak ia menggeliat dan berubah tempat.

Karena itulah pukulan Ting Tiong itu mengenai tempat kosong. diam2 ia mengeluh: "Celaka!”

Tampaknya Peng-lam sudah dekat dengan tandu itu, tahu2 Liok Pek telah memburu maju, tanpa bersuara ia terus menghantam.

Yang dipikir Peng-lam hanya menghindari pukulan Ting Tiong tadi, sama sekali ia tidak menduga tokoh kelas tinggi Say-koan sebagai Liok Pek ini dapat menyergapnya secara mendadak. Ketika ia merasa angin pukulan dahsyat menyambar tiba untuk mengelak sudah terlambat, dalam keadaan gawat, tiba2 terdengar suara mendesing, segera ia tahu ibu-gurunya telah menolongnya dengan menyambitkan "Tau-kut-ting" atau paku penembus tulang.

"Tau-kut-ting" adalah senjata rahasia andalah Leng Tiong-cik, kekuatannya mampu menghancurkan Khikang (kekuatan perut) musuh, angin pukulan dahsyat bagaimanapun tak dapat menahannya, bila terkena tubuh musuh segera menembus tulang dan menancap ke dalam tubuh, lihaynya tidak kepalang.

Karena itulah lekas2 Liok Pek menarik tangannya ketika melihat Tiau-kut-ting itu menyambar ke tengah telapak tangannya. Meski jiwa Peng-lam dapat diselamatkan, tapi sebagian angin pukulan Liok Pek itu tetap mengenai tubuhnya sehingga menambah daya lompatnya kesana, dengan kuat ia terus menubruk ke depan tandu. Tampaknya sukar baginya untuk mengerem dan tandu itu pasti akan ditumbuknya hingga hancur.

Se-konyong2 Su Ting-tat mengadang ke depan, kedua tangannya terus menolak.

"Bagus!" bentak Peng-lam, buru2 iapun memapak dengan kedua telapak tangannya.

Empat tangan beradu, "blang", Peng-lam dapat menahan tubuhnya dan berdiri tegak, sebaliknya Su Ting-tat menjerit ngeri, tubuhnya yang jangkung itu mencelat keluar ruangan dan jatuh terbanting.

Untung dia cukup tangkas, otot tulangnya sangat kuat.

meski bamtingan itu membuatnya kesakitan dan sampai sekian lama tidak sanggup merangkak bangun. namun tidak sampai terluka parah.

Sebenarnya tenaga dalam Su Ting-tat selisih tidak terlalu jauh dengan Peng-lam, soalnya Peng-lam mendapat tambahan tenaga pukulan Liok Pek tadi. dengan sendirinya luar biasa kuatnya. Jadi mencelatnya Su Ting-tat sebagian boleh dikatakan akibat dibanting oleh tenaga pukulan Sang susioknya sendiri.

Ketika Peng-lam dapat menahan tubuh dan berdiri tegak tepat ia berdiri di depan tandu, mendadak ia menyingkap tabir tandu. Semua orang mengira dia akan mencelakai Gi-lim, bahkan Leng Tiong-cik juga menyangka dia akan membunuh Gi-lim untuk menghilangkan saksi. Siapa tahu setelah tabir tandu dibukanya, lalu ia berjongkok ke bawah dengan pelahan dan bertanya: "He, kak. . . .kakimu. . . .”

Gi-lim sekarang ternyata bukan Gi-lim yang jelita pada sebulan yang lalu, kini wajahnya kurus pucat, hanya dalam waktu sesingkat ini dia sudah kurus dan layu, jubah agamanya kotor dan rombeng.

"Mereka telah .... telah memotong urat besar kakiku . . .

." dengan tersedu-sedan Gi-lim berkata sambil mendekap mukanya.

Peng-lam menoleh dan memandang Ting Tiong dengan gusar. Ting Tiong merasa lega setelah mengetahui Peng-lam tidak bermaksud membunuh Gi-lim, dengan tak acuh ia berkata: "Beberapa kali Nikoh cilik itu mau kabur, terpaksa kami memotong urat kakinya . . . ,”

"Tentunya kau tahu dia ialah murid kesayangan Ting-yat Suthay?" teriak Peng-lam dengan gusar.

"Memangnya kenapa kalau dia murid kesayangan Tingyat?" jengek Ting Tiong. "Dia tersangkut perkara membunuh orang yang lebih tua, dosanya pantas dihukum mati, melulu memotoog urat kakinya saja adalah hukuman yang terlalu ringan”

"Kematian Hui-susiok hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan dia!" teriak Peng-lam.

"Waktu kami menemukan jenazah Hui-sute, hanya dia sendiri yang berada disana," tutur Ting Tiong. "Waktu kami tanya dia, dengan gelagapan ia tak dapat menerangkan duduknya perkara. Kalau bilang dia tiada sangkut-pautnya dengan kematian Hui-sute, siapa yang mau percaya?”

"Hutang ini kelak Siong-san-pay yang akan membikin perhitungan dengao kalian!" teriak Peng-lam dengan menggertak gigi.

Ting Tiong hanya mendengus saja dan menyepelekan peringatan tersebut.

Peng-lam berjongkok lebih rendah dan tanya Gi-lim: "Dan dimana Fifi?”

Gi-lim seperti merasa malu dan tidak berani menatap Peng-lam, jawabnya dengan menunduk' "Sesudah kau pergi, dia juga lantas pergi.”

"Dan kau, mengapa kau tidak pergi, betapa bahayanya kau tinggal sendirian di sana," kata Peng-lam .

"Aku menunggu , . . . menunggu kau, kutunggu sampai .

. . sampai hari kedua . . . .”

Peng-lam menghela napas, katanya: "Untuk apa menunggu diriku"! Ikut pergi bersama Fifi kau segala urusan menjadi beres?" Tapi sekarang ... dia tidak tega mengomeli Gi-lim lagi dan tidak meneruskan ucapannya.

Gi-lim menangis pelahan, katanya: "Kau sendiri bilang hanya pergi .... pergi sebentar dan segera akan kembali, maka kutunggu disana, siapa . . .siapa tahu sampai esok paginya kau tetap tidak datang kembali . . . .”

Peng-lam jadi ingat ketika dia hendak pergi itu memang pernah menyatakan akan segera kembali lagi, malahan dirinya memberi pesan agar Nikoh cilik itu menemani Fifi dan menunggunya sebentar, tak terduga Nikoh cilik yang polos ini benar2 menunggu terus di tempat yang berbahaya itu dan dirinya juga tanpa kembali lagi kesana. Sekarang urusan sudah telaniur begini, apakah dia dapat disalahkan”

Padahal dimalam gelap sendirian dia menunggui tiga sosok mayat di sana, memangnya untuk apa" Kalau ada yang salah. tentu dirinya harus disalahkan lebih dulu karena menyatakan akan kembali lagi ke sana dan lupa menyuruhnya pergi saja.

"Kemudian ... kemudian datanglah si botak dan si setan jangkung itu," tutur Gi-lim pula, "mereka menggali keluar mayat Hui susiok dan bertanya padaku siapa pembunuhnya. Sudah tentu aku tidak berani omong.

Kulihat mereka menggali keluar pula jenazah Wi-susiok dan kakek Fifi serta mencincang jenazah mereka. Ai, orang2 benar2 maha jahat, orang mati saja di . . . .”

-Ooo0dw0ooO- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar