Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 21

Jilid 21

Terdengar Ceng-hong berkata lagi: "Tak tersangka Hong-hoa-wancu juga bisa ketakutan seperti sekarang ini?”

"Dan kau sendiri" Tidakkah sama juga?”

"Hehe, ya, anggaplah akupun takut, lalu kau mau apa”

Manusia kan tidak dapat gagah perkasa selamanya?”

"Aku bukan tandinganmu, terpaksa kuserahkan nona itu kepadamu.”

"Hah, cepat juga keputusanmu. Dimana dia sekarang?”

kata Ceng-hong dengan tertawa.

"Akan kuceritakan suatu peristiwa kepadamu," tutur Ciamtay Cu-ih "Begini kejadiannya: '20 tahun yang lalu di pulauku kedatangan seorang nyonya cantik, dia kehilangan suami, maka ingin mencari keterangan padaku.”

"Hah kau maksudkan iparku?" seru Ceng-hong dengan suara tertahan.

Tapi Ciamtay Cu-ih masih terus bicara sendiri: "Kukira nyonya cantik itu mungkin tahu kunci pelajaran ilmu pedang suaminya yang maha hebat, maka ingin kupancing dari pengakuan nyonya itu. sedapatnya kulayani dia dengan baik. kutahan dia di pulau itu dan kurayu dia dengan segenap kemampuanku. Tahun berikutnya dia melahirkan seorang anak perempuan bagiku. Anak perempuan itu serupa bapaknya, tiada urat nadi Liok-im (bagian tangan) sejak dilahirkan.”

"Ahhh, pantas Kim-leng tidak mahir ilmu silat," seru Ceng-hong.

"Setiap orang yang Liok-im-coat-meh (enam urat nadi bagian tangan), selain cuma dapat berlatih Lwekang aliran Tang-wan kami, Lwekang dari aliran lain, sama sekali tak dapat dilatihnya," demikian tutur Ciamtay Cu-ih lebih lanjut "Sudah te-ntu aku sangat girang bisa mendapatkan anak perempuan yang menuruni diriku, kupikir meski satu2nya anak lelakiku juga pintar dan cerdik, tapi sayang dia tidak Liok-im-coat-meh, tidak dapat berlatih Kungfu Ting-wan kami hingga puncaknya. Sekarang kudapatkan anak perempuan yang serupa diriku. selaniutnya Tang-wan tidak perlu kuatir tak ada ahliwaris lagi. Tak tersangka, ibunva, betapa pun baik kuperlakukan dia, hatinya tetap tidak mencondong padaku, pada suatu hari akhirnya dia mendapat kesempatan, dia menyerang diriku dan minggat pulang ke Tionggoan dengan menggondol puteri kesayanganku. Karena kehilangan anak perempuan, sudah tentu aku sanpat gusar dan ingin menemukannya kembali, tapi keadaanku sangat payah, hampir saja aku terbunuh, mana kusanggup menyusulnya ke Tionggoan untuk mencarinya" Selama belasan tahun kutelentang ditempat tidur, baru beberapa tahun terakhir ini aku dapat berbangkit, maka kusuruh anak lelakiku ke Tionggoan sini untuk mencari adik perempuannya. Tak terduga, anak lelakiku itu terbunuh secara menyedihkan, dapat kau bayangkan betapa sakit hatiku karena kehilangan puteraku satu2nya itu. Tapi sekarang kudapatkan kembali anak perempuanku, tentu saja aku menjadi girang. Coba Sauheng ceritaku ini cukup menarik atau tidak?”

"Menarik sih cukup menarik, cuma busuk dan kotor.”

ujar Ceng-hong.

Dengan tertawa tanpa kenal malu Ciamtay Cu-ih berkata: "Apa alasannya. Silakan bicara?”

"Memperkosa perempuan baik2, inilah kebusukan pertama." kata Ceng-hong. "Demi memaksa anak perempuan sendiri agar menyerahkan kitab pelajaran ilmu pedang tidak segan2 menggunakan cara kotor, inilah kebusukan kedua.”

"Apa buktinya?" tanya Ciamtay Cu-ih "Urusannya terpampang di depan mata, siapa yang tidak tahu?”

"Betapapun kotor caraku, bahwa aku sayang kepada puteriku kan tidak dapat dipungkiri siapa pun juga.

Tentunya kau tidak keberatan kubawa dia pulang ke Tanghay bukan?”

"Sudah tentu boleh," jawab Ceng-hong.

"Jika demikian, ingin kutanya padamu, siapa sesunggubnya yang penakut?”

"Kau!" kata Sau Ceng-hong.

"Betul, kau dan bukan aku," ujar Ciamtay Cu-ih. "Sebab kutahu Kim-leng bukan anak Si Ceng-in melainkan anakku, tidak nanti kugunakan puteriku sendiri sebagai alat pelindung, sebaliknya kau tidak tahu persoalan ini, jada jelas yang benar2 penakut ialah kau!”

"Kau sendirilah penakut." dengus Ceng-hong, "Apakah kau tahu siapa nona yang kau culik itu" Kau kira dia puterimu?”

Ciamtay Cu-ih melengak, tanyanya; "Sudah tentu dia anakku, memangnya siapa lagi dia kalau bukan anak perempuan Sau-hujin yang dilahirkan ketika kusekap di pulauku?" Sau Ceng-hong tertawa, kemudian ia lantas menceritakan apa yang didengarnya dari Soat Peng-say tentang Cin Yak-leng yang disangkanya Sau Kim-leng oleh Ciamtay Boh-ko itu.

"Apakah keteranganmu ini dapat dipercaya?" Ciamtay Cu-ih menegas dengan sangsi.

Jawab Ceng-hong dengan tidak senang. "Kita sudah kenal cukup lama, masa kau tidak tahu bagaimana kepribadianku" Jika kau anggap aku ini orang kecil yang penakut dan pendusta, nyata kau terlalu memandang rendah padaku.”

Mendadak Ciamtay Cu-ih menghela napas, ia tanya dengan lunak: "Kun-cu-kiam tidak menakutkan karena pedangnya, tapi sebutan Kuo-cu memang sesuai dengan jiwamu. Sau-heng, Kupercaya penuh apa yang kau ceritakan.”

"Jika kau percaya, jelas tiada gunanya nona Cin itu bagimu, tentunya sekarang boleh kau bebaskan dia bukan?”

tanya Ceng-hong.

"Dengan sendirinya akan kubebaskan dia," kata Ciamtay Cu-ih "Ai, jadi sia2 aku bergembira, sampai saat ini masih kuanggap dia sebagai puteri kandungku, siapa tahu . . . . ai.

. . ." Melihat orang menjadi berduka, timbul juga rasa sesal Sau Ceng-hong, katanya pula: "Muridku minta bantuanku agar menolong Piaumoaynya, tak terduga dalam urusan ini telah terjadi salah paham begini. Sesungguhnya sebelumnya akupun menyangka dia adalah puteri Ceng-in yang bernama Sau Kim-leng.”

Sebenarnya Ciamtay Cu-ih bermaksud memancing rasa belas kasihan Sau Ceng-hong, agar mengatakan dimana beradanya Sau Kim-leng sekarang, tapi dari nadanya sekarang anaknya Ceng-hong juga tidak tahu jejak Sau Kim-leng. Namun dia belum lagi putas asa, langsung ia lantas bertanya: "Apakah Sau-heng mengetahui dimana beradanya. puteriku sekarang?”

"Entah, aku tidak tahu," jawab Ceng-hong sambil menggeleng kepala.

"Dan muridmu Itu?" tanya Ciamtay Cu-ih.

"Maksudmu muridku yang baru, si Soat Peng-say?”

"Ya," jawab Ciamtay Cu-ih. "Kalau Piau-moaynya menjaru sebagai Sau Kim-leng, tentunya karena puteriku tidak berani pulang ke Tang-hay untuk menikah dengan kakaknya, karena itulah dia mengatur penyamaran itu.

Kukira Soat Peng-say pasti tahu muslihat ini, dia tentu juga tahu dimana beradanya puteriku, bolehkah kuminta keterangan padanya?”

"Baik!, boleh saja," jawab Ceng-hong "Jika begitu akan kutunggu dia di kelenteng Toapekong kira2 sepuluh li diluar kota saja, asalkan berita mengenai puteriku sudah jelas. didepan muridmu itu juga akan kulepaskan Cin Yak-leng," kata Ciamtay Cu-ih, lalu ia membalik tubuh dan melangkah pergi.

"Nanti dulu!" seru Ceng-hong.

Ciamtay Cu-ih berhenti dan berpaling, tanyanya: "Sau-heng ada petunjuk apalagi?”

Selagi Sau Ceng-hong hendak mendekatinya, mendadak Ciamtay Cu-ih membentak: "Berhenti, jangan mendekat kemari!”

Ceng-hong tertawa, katanya: "Apakah kau takut kuserang kau" Ah, kau terlalu banyak curiga, asalkan kau lepaskan Cin Yak-leng. kita akan pergi kejurusannya sendiri dan tidak ikut campur urusan masing2.”

"Meskipun begitu, kau tetap jangan mendekat kesini,”

kata Ciamtay Cu-ih. "Hehe, sekali ini Sau-heng yang berada di bawah angin, asalkan kau melangkah maju lagi. segera kukabur sejauh2nya dan urusan kitapun batal seluruhnya.”

"Sungguh terlalu kau," ujar Ceng-hong dengan aseran.

"Dengan maksud baik kuterima permintaanmu untuk minta keterangan kepada muridku tapi kau lantas berlagak dan menggunakan hal ini sebagai alat pemeras, apakah maksudmu baru akan membebaskan Piaumoaynya bila muridku itu telah memberitahukan di mana beradanya Kim-leng?”

"Hahahaha! memang begitulah!" seru Ciamtay Cu-ih sambil tergelak.

"Dan kalau dia tidak tahu jejak Kim-leng?”

"Akupun tidak jadi membebaskan Cin Yak-leng!”

"Bukankah kita sudah berjanji barang siapa menang akan mendapatkan Cin Yak-leng, sekarang kau mengaku kalah dan kau harus membebaskan nona itu. Muridku tidak berkewajiban harus memberitahukan jejak puterimu.”

"Bilakah kau pernah menjatuhkan diriku"“

tanya Ciamtay Cu-ih. "Hanya mengaku kalah secara lisan, itu kan kerendahan-hatiku saja dan kau anggap sungguh2?”

Dengan menahan rasa gusarnya Ceng-hong berkata: "Baik, anggap kau tidak pernah kalah, marilah kita coba2 lagi," Ciamtay Cu-ih tertawa mengejek, katanya: "Sekarang aku sudah tidak berminat bergebrak lagi dengan kau.

Silakan Sau-heng bicara kepada muridmu, katakan besok pagi akan kutunggu dia dikelenteng Toapekong itu, jika dia tidak datang, maka berarti pula tamatlah Piaumoaynya.”

"Memangnya akan kau apakan dia?" bentak Ceng-hong dengan gusar.

Diam2 Ciamtay Cu-ih memperhatikan setiap gerak-gerik Ceng-hong, asalkan tubuh tokoh Lam-han itu bergerak, segera ia akan angkat langkah seribu alias kabur. Tanpa menghiraukan pertanyaannya ia lantas berkata pula: "Selain itu hanya dia sendiri yang boleh datang kekelenteng sana, bila ditemani Sau-heng. hehe, terpaksa kubertindak kejam dan jangan menyalahkan aku bila kubinasakan nona Cin itu.”

Sampai di sini tidak tahan lagi Ceng-hong, dengan murka ia menubruk maju dan pedangnya terus menusuk.

"Maaf, tidak dapat kulayani," seru Ciamtay Cu-ih dengan tertawa.

Tampaknya tusukan Sau Ceng-hong itu sukar dihindarkan. tapi sedikit mendak tubuh secepat anak panah lepas dari busurnya tubuh Ciamtay Cu-ih yang gendut itu terus melesat kesana, betapa cepat reaksinya sungguh tidak malu sebagai seorang guru besar suatu aliran tersendiri.

Sau Ceng-hong terus simpan pedangnya. langkahnya tidak berhenti, segera ia mengudak kedepan.

Sambil berlari secepat terbang Ciamtay Cu-ih sempat berseru: "Hayolah kita berlomba Ginkang siapa terlebih tinggi!”

Hanya dalam sekejap saja kedua tokoh besar itu sudah menghilang. Peng-lam melangkah keluar dari tempat sembunyinya, ia kuatir kalau2 Soat Peng-say akan memenuhi kehendak Ciamtay Cu-ih dan hadir di kelenteng Toa-pekong itu.

padahal maksud tujuan tokoh Tang-wan itu sudah jelas, yaitu menggunakan Cin Yak-ling sebagai umpan untuk memancing Soat Peng-say.

Jangankan Peng-say sudah resmi diterima sebagai murid Lam-ban dan sekarang sudah menjadi saudara seperguruannya, melalu kerelaan Peng-say yang tampil kemuka untuk menolongnya tempo hari. betapapun Penglam wajib balas menolongnya.

Karena itulah ia lantas mencari kelenteng Toa-pekong yang dimaksudkan Ciamtay Cu-ih itu.

Peng-lam memang cerdik. sedikit berpikir saja ia lantas ia tahu tipu muslihat keji Ciamtay Cu-ih. ia pura2 ingin tanya jejak anak perempuannya, pada hal yang benar ialah ingin menawan Soat Peng-say untuk dipaksa mengaku dimana beradanya Siang-lui-kiam-boh. Ia kuatir gurunya tidak tahu, bila tidak berhasil menyusul Ciamtay Cu-ih!, kemudian memberitahukan Soat Peng-say agar memenuhi janji undangan Ciamtay Cu-ih sedangkan Soat Peng-say pasti tanpa pikir akan pergi ke kelenteng Toa-pekong itu demi menolong Piaumoaynya.

Untuk ini Peng-lam ingin mengadang di tengah jalan sebelum Peng-say pergi ke kelenteng sana, akan diberitahu bahwa undangan Ciamtay Cu-ih itu cuma perangkap belaka dan se-kali2 jangan sampai terjebak.

Tapi luka Peng-lam baru saja sembuh, mestinya tidak boleh banyak bergerak, kalau tidak, bila lukanya kambuh lagi tentu akan membahayakan jiwanya. Namun dasar jiwanya memang luhur dan berhati mulia, demi orang lain dia tidak menghiraukan keselamatan sendiri. Meski dengan bertongkat ranting pohon, dengan langkah terincang-incut ja tetap menuju kesana.

Ketika pagi tiba, akhirnya ditemukan juga kelenteng itu tidak jauh di depan sana. dengan menggeh2 ia berduduk ditanah. Ia ingin istirabat dulu. tapi kuatir berjarak terlalu jauh dan tidak sempat mencegat Peng-say. terpaksa ia melangkah lagi mendekati kelenteng itu.

Belum sampai di depan pintu kelenteng, terdengar suara seorang tua serak dan tandas bertanya di dalam: "Apakah kau puteri Sau Ceng-in dari Pak-cay?”

Ketika sembunyi di kamar rumah pelacuran Kun-giok-ih tempo hari Peng-lam pernah mendengar suara orang tua ini yakni Say-pak-beng-to Soat Ko hong. Ia menjadi heran, mengapa bukan Ciamtay Cu-ih, tapi si bungkuk ini yang berada disini”

Ia tahu Kungfu si bungkuk ini tidak dibawah Ciamtay Cu-ih. dengan hati2 ia menyelinap ke samping kelenteng, sampai bernapas pun tidak berani keras2.

Lalu didengarnya suara seorang perempuan sedang menangis ter-sendat2.

Terdengar Soat Ko-hong berkata pula: "Urusan sudah kadung begini, apa gunanya bersedih. Sudahlah, jangan menangis. Aku paling benci bila mendengar perempuan menangis, kalau tidak berhenti menangis. sekali hantam kumampuskan kau.”

Agaknya perempuan itu terlalu sedih sehingga sedikitpun dia tidak gentar akan ancaman si bungkuk, ia masih terus tersedu-sedan.

Soat Ko-hong tak berdaya, tiba2 suaranya berubah halus.

katanya: "Nona kenal Soat Peng-say tidak?”

"Dia . . . .dia berada .... berada di mana?" tanya perempuan yang menangis itu.

Soat Ko-hong tertawa. katanya: "Melihat cara bicaramu ini, baru mendengar namanya sudah lantas tanya dimana dia. Hah, jelas, kau inilah adik Leng yang selalu disebutnya itu.”

Mungkin anak perempuan itu membenarkannya dengan mengangguk, sebab tidak terdengar suaranya.

Lalu Soat Ko-hong berkata pula: "Tidaklah sulit jika kau ingin menemui dia, asalkan kau katakan di mana beradanya Siang-liu-kiam-boh.”

"Siang-liu-kiam-boh apa" Aku . . aku tidak tahu .. . .”

jawab perempuan itu.

"Ilmu pedang keluarga Sau kalian sudah berhasil dipelajari orang luar dan kau mengaku tidak tahu, huh, setanpun tidak percaya," kata Soat Ko-hong. "Hehe, kau sangka aku tidak tahu bahwa Siang-liu-kiam-hoat Soat Peng-say itu dipelajarinya darimu" Hayo lekas katakan, di mana Kiam-bo itu, kalau tidak, sekali hantam kumampuskan kau agar kau menemui Soat Peng-say di akhirat." Habis berkata, pelahan ia angkat tangan kanannya dan menabas dari jauh ke arah patung Toapekong, kontan patung itu roboh dan hancur.

Perempuan itu menjadi gugup dan berseru. "Kenapa ....

apakah dia .... dia sudah mati?”

"Hahahaha! Mati sih belum, cuma dia sudah berada dalam cengkeramanku, bila kuhendaki dia hidup tentu dia akan hidup, kalau kuhendaki dia mati pasti dia akan mati, setiap saat ingin kubinasakan dia, sekali hantam saja pasti beres," sembari berkata, kembali ia ayun telapak tangannya sehingga sebuah meja sembahyang di depannya dihantamnya remuk pula.

Perempuan itu memang betul Cin Yak-leng adanya, dia rada sangsi demi mendengar Soat Peng-say berada dalam cengkeraman si bungkuk, ia menggeleng dan berkata: "Tidak, aku tidak percaya Jika Peng-say berada dalam cengkeramanmu, mengapa dia tidak berada disampingmu”

Tiada gunanya kau menggertak diriku, kalau kau bawa dia ke sini barulah aku mau percaya.”

Dengan gusar Soat Ko-hong berkata: "Apakah kau tidak kenal betapa lihaynya diriku si Say-pak- beng-to Soat Ko-hong ini" Apa sulitnya bagiku untuk membunuh seorang anak ingusan macam Soat Peng-say, biarpun sekarang dia tidak berada disini, kalau aku sudah bertekad akan membunuhnya masa tak dapat kulaksanakan" Di dunia ini di-mana2 terdapat sahabatku, banyak mata-telingaku, untuk mencari seorang Soat Peng-say adalah semudah merogoh barang didalam saku bajuku.”

"Krek", kembali sebuah meja dihantamnya hingga hancur.

Melihat tenaga pukulan si bungkuk memang sangai hebat, Cin Yak-leng menjadi takut, jelas Kungfu si bungkuk terlebih tinggi lagi daripada Liok-ma, jangan2 nanti Soat Peng-say benar2 akan dibunuhnya.

Sambil menggeleng ia lantas menjawab: "Tiada gunakan kau paksa diriku, hakikatnya aku tidak tahu macam apakah Siang-liu-kiam-boh itu, dahulu akupun tidak pernah mendengar, sekalipun Soat Peng-say kau bunuh juga kitab itu takkan kau dapatkan.”

Sudah tentu Soat Ko-hong tidak percaya, ia mengancam pula: "Jika demikian, biarlah sekarang juga kupergi membinasakan bocah Soat Peng-say itu." "Habis berkata ia berlagak hendak melangkah pergi.

Keruan Yak-leng menjadi kuatir, cepat ia berseru: "Tidak, jangan!”

"Jika begitu, hendaklah kau mengaku dimana kau simpan Siang-liu-kiam-boh keluargamu itu?”

Yak-leng menghela napas, katanya: "Losiansing, biar kukatakan terus terang, sesungguhnya aku bukan puterinya Sau Ceng-in, aku she Cin ...”

Soat Ko-hong menjadi gusar, bentaknya: "Perempuan busuk, berani sembarangan omong di depanku, kau kira aku bisa kau tipu" Aku sudah tidak doyan perempuan cantik seperti Ciamtay Cu-ih, bila perlu akan kusiksa kau hingga hidup sukar mati pun tidak.”

Setelah mendengarkan sampai disini, Peng-lam tahu Soat Ko-hong telah marah, kalau tidak lekas berusaha memancingnya pergi, bukan mustahil jiwa nona she Cin itu bisa, terancam.

Karena itulah segera ia berseru: "Soat-cianpwe, murid Lam-han Sau Peng-lam diperintahkan guru untuk mengundang Soat-cianpwe agar sudi menemui beliau untuk berunding sesuatu.”

Mestinya Soat Ko-hong hendak turun tangan untuk menyiksa Cin Yak-leng, ia terkejut ketika tiba2 mendengar suara Sau Peng-lam diluar kelenteng. Biasanya dia tidak mau mengalah kepada siapapun, hanya terhadap Sau Cenghong, ketua Lam-han itu dia rada jeri terutama ia sudah merasakan kelihayan "Cu-be-kang" Sau Ceng-hong waktu berada diluar rumah pelacuran Kun-giok-ih, ia tahu Lwekang ketua Lam-han itu sudah mencapai tingkatan yang sukar dijajaki.

Ia menduga caranya menggertak Cin Yak-leng tadi besar kemungkinan sudah didengar oleh Sau Ceng-hong dan muridnya, ia tahu perbuatannya ini jelas tidak disukai oleh golongan yang menamakan dirinya Beng-bun-ceng-pay, maka ia pikir; "Sau Ceng-hong bilang ingin berunding sesuatu denganku, apalagi kalau bukan menasihati perbuatanku ini atau mungkin juga akan ber-olok2 padaku untuk membiKin malu padaku. Daripada kehilangan muka lebih baik kutinggal pergi saja.”

Karena itu ia lantas berseru: "Aku masih ada urusan lain dan tidak dapat memenuhi undangan Sau-hancu, harap sampaikan kepada gurumu, katakan bilamana ada waktu senggang, silakan dia suka mampir ke Sai-pak (Utara perbatasan) di sanalah kutunggu kunjungannya.”

Habis berkata, sekali melonjak. dari pendopo ia melompat kehalaman tengah, sekali loncat lagi ia sudah berada diatas rumah, segera ia melayang ke belakang kelenteng se-akan2 kuatir kepergok Sau Ceng-hong dan ditanya, hanya sekejap saja ia sudah menghilang.

Peng-lam sangat girang demi menyetahui si bungkuk sudah pergi, pikirnya: "Kiranya si bungkuk ini sangat takut kepada guruku, jika dia tidak pergi dan main kekerasan padaku tentu aku bisa celaka.”

Dengan tongkat ranting kayu ia lantas masuk ke dalam kelenteng. Ruangan pendopo kelenteng itu guram suram, terlihat seorang perempuan muda berduduk setengah bersandar pada pilar, dilantai depannya ada secomot darah, pakaian si nona tampak ter-koyak2, mukanya lesu dan pucat, jelas belum lama berselang baru mengalami kekerasan pisik.

Dia tidak tahu persis apakah nona ini adik misan Soat Peng-say atau bukan, maka ia coba bertanya: "Apakah nona Cin Yak-leng adanya?”

Menghadapi murid Lam-han dan juga orang yang telah menyelamatkannya, tetap Cin Yak-leng tak berani mengaku asal-usulnya, dengan gugup ia menggeleng "Nona she apa?" tanya Peng-lam pula.

"Aku. . . .aku she Sau ..." Yak-leng berdusta.

"Untuk apa nona mengaku sebagai Sau Kim-leng" Tadi diluar kelenteng jelas kudengar kau mengaku she Cin dan bukan puteri Sau Ceng-in.”

Cepat Yak-leng berkata: "Ti. . . .tidak, aku benar2 she Sau. Sau Ceng-in ialah ayahku. . . .”

Melihat si nona tidak mau bicara sejujurnya, Peng-lam menduga dibalik persoalan ini tentu ada sesuatu yang tidak beres, ia coba memancing pula: "Adakah orang yang memaksa kau memalsukan Sau Kim-leng?”

"Ti. ....tidak?" Yak-leng menyangkal.

Karena dia menyangkal dengan ter-gegap2, Peng-lam bertambah yakin pasti ada orang memaksa dia mengaku sebagai Sau Kim-leng. Ia pikir orang itu pasti mengancam nona ini dengan keselamatan jiwanya, maka matipun nona ini tidak berani mengaku nama aslinya.

Segera Peng-lam bertanya pula: "Hendaklah kau bicara terus terang padaku, siapa yang mengancammu agar mengaku sebagai Sau Kim-leng" Jangan kuatir terhadap orang yang mengancam dirimu itu, ketahuilah kakak misanmu Soat Peng-say kini sudah menjadi murid Lam-han kami, jika kau bicara terus terang, segala urusan pasti akan kami bela sebisanya.”

Yak-leng tidak takut lagi demi mendengar Soat Peng-say telah diterima menjadi murid Lam-han, segera ia bermaksud berdiri untuk memberi hormat kepada Suhengnya kakak Peng, tapi berdiri saja tidak kuat, terpaksa ia miringkan tubuh dan berkata: "Terimalah hormatku, Sau-suheng.”

"Jangan banyak adat." kata Peng-lam. "Kita sudah orang sendiri, ada persoalan apa hendaklah bicara saja terus terang, betapapun besarnya persoalan pasti akan kami bela dan balaskan dendam bagimu.”

Dibalik ucapannya itu tidak saja dia menyuruh si nona memberitahukan siapa orang yang memaksanya mengaku sebagai Sau Kim-leng, bahkan juga menganjurkan dia menceritakan siapa orang yang telah memperkosanya.

Yak-leng mencucurkan air mata, katanya: " Urusan sudah kadung begini, apapula yang kutakuti, semuanya gara2 Liok-ma yang menghendaki kupalsukan Sau Kimleng sehingga. . . .”

"Kiranva Liok-ma yang mengancam kau," sela Peng-lam dengan gemas. "Nenek ini memang cukup keji, meski tujuannya demi membela majikannya, tapi dia suka membunuh orang yang tak berdosa, ia pantas dihukum mati, sekarang ia mengancam kau pula, bila kupergoki dia pasti akan kuhajar adat padanya.”

Tapi Yak-leng lantas menggeleng, katanya: "Apa artinya jiwaku ini, persoalan ini mungkin tak dapat dipahami Peng-say, bahwasanya Liok-ma mengancam diriku dengan keselamatan jiwa Peng-say agar aku mau menyaru sebagai Sau Kim-leng, akhirnya urusan menjadi begini sehingga aku malu untuk bertemu lagi dengan Peng-say, Ai, mohon bantuan Suheng agar suka memberitahukan Peng-say bahwa aku tiada muka buat bertemu dengan dia, biarlah kami berjumpa pula pada penjelmaan yang akan datang.

Mengenai orang yang memperkosa diriku, dia. . . .dia. . . .”

Dari nadanya Peng-lam tahu si nona ada maksud membunuh diri, cepat ia berkata: "Selekasnya Soat-sute akan datang kemari, ada urusan apa boleh kau katakan langsung kepadanya dan jangan....”

Dengan girang dan kejut Yak-leng memotong: "Hah, jadi dia. ... dia akan kemari?”

"Ya, sebentar lagi pasti akan tiba," kata Peng-lam.

"Tapi . . . tapi mana boleh kutemui dia dengan begini ...”

ucap Yak-leng, "Kuharap Suheng suka berjaga dulu diluar, jangan . . . .jangan sampai ia masuk langsung, biar kubetulkan bajuku dulu . . . .”

Melihat rasa gembira si nona, diam2 Peng-lam gegetun, betapa cinta nona ini terhadap Soat Peng-say tertampak dengan jelas, Dengan tertawa ia lantas berkata: "Baiklah, aku akan keluar, bila dia datang segera aku berdehem sebagai tanda.”

Habis berkata ia lantas membalik tubuh dan hendak melangkah keluar. Mendadak terdengar suara "bres", seketika ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, cepat ia memutar balik untuk mencegah, namun sudah terlambat, tahu2 kepala Cin Yak-leng sudah berlumuran darah.

otaknya berceceran di lantai.

Tak tertahan lagi air mata Peng-lam ber-linang2 diam2 ia memaki dirinya sendiri yang terlalu ceroboh, kenapa tidak berpikir si nona akan memancingnva keluar.

Rupanya Cin Yak-leng merasa tiada muka lagi untuk bertemu dengan Soat Peng-say, ia sudah bertekad akan membunuh diri. Ketika diketahuinya sebentar lagi Soat Peng-say akan datang, ia tahu badan sendiri yang kotor dan tidak suci lagi akan dilihat anak muda itu. maka ia sengaja berlagak kegirangan dan minta Peng-lam keluar, begitu Peng-lam berpaling. segera ia membenturkan kepalanya pada pilar batu.

Melihat keadaan Cin Yak-leng itu, Peng-lam tahu nona itu tidak dapat ditolong lagi. dilihatnya mulut Yak-leng ber-gerak2 seperti hendak bicara sesuatu, cepat ia berjongkok untuk mendengarkan.

"Beritahukan padanya agar ....agar membalaskan sakit hatiku, yang ....yang berbuat adalah Ciamtay Cu-ih . . . .”

demikian ucap Yak-leng dengan suara yang hampir tak terdengar. Peng-lam memang sudah menduga siapa kiranya orang yang memperkosa si nona, maka ia manggut2 dan berkata: "Baiklah, pasti akan kuberitahukan padanya. pergilah kau dengan tenang.”

"Jangan ....jangan sampai dia melihat keadaan . .

.keadaanku yang buruk ini. . . ." sampai disini putuslah napas Cin Yak-leng.

Meski baru pertama kali ini bertemu Yak-leng, tapi apa yang terpampang didepan matanya membuat Peng-lam mencucurkan air mata kesedihan. Mestinya ia ingin menuruti keinginan Yak-leng dan akan segera menguburnya agar Soat Peng-say tidak sempat melihat kematian si nona yang mengenaskan itu. Tapi sesungguhnya ia sendiri terlalu lemah, tiada tenaga lebih untuk mengubur Cin Yak-leng, terpaksa ia berduduk di lantai dan mengaso, ia berharap tenaganya dapat dipulihkan. Selang agak lama, tiba2 dari luar kelenteng, terdengar suara langkah orang, ia mengira Soat Peng-say datang memenuhi janji Ciamtay Cu-ih, cepat ia melompat bangun, tapi ia menjadi bingung dan entah apa yang harus diperbuatnya. Diluar dugaan, terdengar suara ayah-angkatnya berkata diluar: "Adakah Ciamtay-heng berada di dalam?”

Dengan girang Peng-lam menjawab: "Gihu, akulah disini!" Pelahan Sau Ceng-hong melangkah masuk, melihat jenazah Cin Yak-leng. ia berkerut kening dan bertanya: "Sudah mati?”

Peng-lam mengiakan. Lalu ia menceritakan apa yang dilihatnya waktu Soat Ko-hong mendesak Yak-leng menyerahkan Siang-liu-kiam-boh, kemudian si bungkuk digertak lari dengan menggunakan nama sang ayah-angkat serta cara bagaimana Cin Yak-leng membunuh diri.

Sau Ceng-hong termenung sejenak, katanya kemudian: "Jenazahnya se-kali2 tidak boleh dilihat Peng-say, boleh kau kubur dia saja.”

Setelah istirahat sekian lama, semangat Peng-lam sudah segar kembali, cepat ia bekerja menjelang lohor dapatlah ia kebumikan Cin Yak-leng ala kadarnya.

Waktu istirahat Peng-lam bertanya: "Gihu, bagaimana akhirnya si pendek itu berlomba Ginkang dengan Gihu?”

"O, jadi kau yang mencuri dengar semalam?”

Peng-lam mengangguk dan menjawab: "Ya, kukuatir Sute akan datang kemari, maka begitu Gihu pergi segera kudatang kesini untuk menghadangnya." "Lalu iapun ceritakan maksud tujuan Ciamtay Cu-ih "Aku tidak memikirkan hal ini," kata Sau Ceng-hong, "hanya kuduga Ciamtay Cu-ih pasti tidak bermaksud baik, bisa jadi kalau Peng-say datang kesini akan dibunuhnya untuk membalas sakit hati kematian anaknya, sebab itulah tidak kukatakan urusan ini kepada Peng-say. Lari Ciamtay Cu-ih semalam memang cepat luar biasa, hampir setengah jam kukejar dia dan tak dapat menyusulnya, bahkan jaraknya semakin jauh. maka tidak kukejar lagi, Nyata, Ginkang Tang-wan memang lebih tinggi setingkat dibandingkan Lam-han kita.”

Sesuai julukannya sebagai Kun-cu-kiam atau si pedang ksatria sejati, dia seorang yang jujur dan berjiwa besar, jika kalah ya mengaku kalah, kalau menang ya menang, semuanya dikatakan secara blak2an.

Peng-lam bergelak tertawa, katanya: "Jurus Tang Wan lari dengan pantat jatuh lebih dulu ketanah memang jauh lebih tinggi daripada aliran lain.”

Seketika Sau Ceng-hong menarik muka, omelnya: "Anak Lam, mulutmu inilah yang sok mengoceh tak keruan, mana bisa kau menjadi teladan bagi saudara2 seperguruan mu?”

Peng-lam mengiakan sambil melengos kearah lain dan menjulur lidah.

"Jika sudah mengiakan, kenapa kau mesti menjulur lidah pula, itu berarti tidak tulus pengakuanmu," omel Ceng-hong pula.

Kembali Peng-lam mengiakan, sekali ini dia tidak berani berlagak lain lagi.

Sejak kecil dia dibesarkan Sau Ceng-hong, meski bukan ayah dan anak kandung, tapi jauh lebih kasih sayang darpada ayah dan anak kandung sejati. Pribadi Sau Cenghong pada dasarnya memang halus budinya, terhadap anak murid yang lain juga jarang bersikap keras. Biasanya Sau Peng-lam memang tidak begitu takut kepada ayah angkatnya ini, maka dengan tertawa ia bertanya pula: "Gihu, cara bagaimana kau tahu aku menjulurkan lidah?”

"Otot dagingmu dibawah telinga kelihatan berkerut, kalau bukan menjulur lidah apalagi?" dengus Ceng-hong, "Hm, kau memang bengal dan Deling, setelah banyak mengalami cedera, sekarang tentunya kau tahu rasa.”

Kembali Peng-lam hendak melelet lidah lagi, lapi cepat ia menutupi mulutnya.

Sau Ceng-hong menggeleng menghadapi murid dan anak-angkat kesayangan yang binal ini. Dia mengeluarkan sebuah mercon roket, ia menuju halaman, dipasangnya mercon loket ini sehingga meluncur ke udara dan meledak diketinggian, bunga api mercon itu bertebaran membentuk sebilah pedang warna perak, sampai sekian lamanya lukisan pedang itu menghiasi angkasa, kemudian bunga api berhamburan ke bawah.

Kiranya cara demikianlah ketua Lam-han mengumpulkan anak muridnya, dengnn lukisan pedang perak yang terbentuk dari bunga api sebagai tanda pengenal "Kun-cu-kiam".

Lalu Peng-lam berkata pula. "Menurut dugaan anak, setelah Ciamtay Cu-ih melepaskan diri dari kejaran Gihu semalam, ia lantas membawa Cin Yak-leng kesini. Dasar orang ini memang gila perempuan, setelah mengetahui Cin Yak-leng bukan anak perempuan sendiri, seketika timbul napsu binatangnya, rupanva perbuatan kotor itu kepergok Soat Ko-hong, dengan sendirinya dia malu dan buru2 melarikan diri.”

Ceng-hong menghela napas, katanya dengan menyesal: "Sudah kusanggupi Peng-say akan menolong Piaumoaynya, tidak tersangka malah membikin susah padanya, jika tidak kuberitahu asal usul Cin Yak-leng, tentu nona ini tidak akan mengalami nasib malang begini.”

Sampai disini, ber-ulang2 ia menghela napas gegetun pula. Sejenak kemudian ia berkata lagi: "Semalam sudah kupikirkan, untuk minta Ciamtay Cu-ih membebaskan nona ini secara kekerasan jelas sukar, terpaksa harus memohonnya dengan halus, maka kuputuskan datang kemari untuk minta Ciamtay Cu-ih suka melepaskan adik misan Peng-say ini, bila dia mau membebaskannya, sebagai balas jasa akan kuajarkan Ci-he-kang kepadanya. Siapa tahu, tokoh yang terkenal sebagai seorang guru-besar suatu aliran ternyata bernapsu binatang, lalu cara bagaimana harus kukatakan kepada Peng-say?”

Diam2 Peng-lam terkesiap, bahwa sang guru sudi memohon secara halus kepada Ciamtay Cu-ih saja sukar dipercaya, apalagi bersedia mengajarkan Ci-he-kang sebagai imbalan pembebasan Cin Yak-leng. sungguh keputusan ini sangat mengherankan dan juga mengejutkan.

Padahal ia cukup kenal pribadi sang guru, lahirnya Sau Ceng-hong tampak halus, tapi hatinya sangat keras, kalau menyuruhnya tunduk dan memohon sesuatu kepada pihak lawan, biarpun membunuhnya juga dia tidak sudi. Apalagi Ci-he-kang adalah ilmu khas Bu-tong-pay yang tidak sembarangan diajarkan kepada pihak luar, dengan susah payah Sau Ceng-hong berhasil meyakinkannya, sampai murid kesayangannya seperti Sau Peng-lam juga tidak diajarkannya, tapi sekarang ia memutuskan akan mengajarkan kepada Ciamtay Cu-ih asalkan Cin Yak-leng dibebaskan. hal ini sungguh sangat aneh.

Sedangkan Cin Yak-leng boleh dikatakan tiada sangkutpaut apapun dengan Sau Ceng-hong, satu2-nya sangkutpaut hanya nona itu adalah adik misan muridnya, jadi usahanya menolong si nona adalah demi Soat peng-say.

Tapi sekarang sang guru bertekad menyelamatkan nona itu tampa memikirkan pengorbanan oesar yang harus dipertaruhkannya, inipun menandakan betapa sayangnya Sau Ceng-hong terhadap muridnya yang baru diterima itu.

Berpikir sampai disini, tanpa terasa timbul rasa iri dalam benak Sau Peng-lam, tapi perasaan ini hanya sekelebatan saja lantas lenyap, setitikpun tidak tersisa di dalam hatinya.

Ia cuma merasa keheranan, tidak habis mengerti sebab apa sang Gihu sedemikian sayang terhadap Soat Peng-say”

Begitulah, setelah sekian lamanya mendadak dikejauhan terdengar suara orang berlari menuju ke arah kelenteng sini.

"Itulah Kin-beng, langkahnya enteng, larinya cepat, diantara murid2ku hanya dia yang dapat berlari secepcat ini, cuma sukar mencapai jarak jauh," kata Ceng-hong.

Benar juga, sejenak kemudian terdengar suara Swipoa yang biasa dibawa Ko Kin-beng berbunyi "tik-tak-tik-tak”

diluar kelenteng, lalu suara teriakannya: "Suhu, apakah engkau berada disini?”

Maklumlah, karena bunga api yang menjulang di angkasa tadi hanya dapat dipandang dari jauh sehingga tempatnya juga cuma di-kira2kan saja, tapi tidak tahu pasti di kelenteng inilah sang guru berada.

Maka Sau Ceng-hong lantas menjawab: "Ya, aku di sini!" Cepat Ko Kin-beng berlari masuk kelenteng dan memberi hormat sambil memanggil Suhu, Ketika melihat Sau Peng-lam juga berada disitu, ia kegirangan dan menyapa: "Toa-suko baik2kah engkau" Wah, kami sama menguatirkan dirimu.”

Melihat rasa girang Ko Kin-beng itu sangat tulus dan sungguh2, hati Peng-lam terharu, katanya dengan tersenyum: "Untung nasibku baik, tidak sampai mati.”

Tengah bicara, sayup2 terdengar pula suara orang berlari datang, sekali ini ada dua orang.

"Siapa itu yang datang?" tanya Ceng-hong.

Yang seorang enteng dan cepat, yang lain langkahnya berat, itulah Jisute dan Laksute," ujar Peng-lam.

Ceng-hong mengangguk, katanya: "Kau memang pintar, anak Lam, sekali diberitahu segera paham. Bila kau dapat belajar setenang dan sesabar Lo-kiat, maka tidak perlu lagi kukuatiikan dirimu.”

Belum lagi Kiau Lo-kiat dan Kang Ciau-lin yang dimaksud Pang-lam itu masuk kelenteng, di kejauhan bergema pula suara tindakan murid ke-tiga No Hoat dan murid keempat Si Tay-cu.

Selang tidak lama, murid ketujuh To Kun dan murid kedelapan Lo Eng-pek serta kemanakan perempuan Siu Ceng-hong, yaitu Leng Hiang serta Soat Peng-say yang baru masuk perguruannya itu pun datang semua.

Melihat Sau Ceng-hong, setelah memberi hormat segera Peng-say bertanya: "Suhu, apa yang dikatakan Ciamtay Cu-ih?”

Pagi tadi. waktu Sau Ceng-hong berpisah dengan anak muridnya, dia bilang kepada Peng-say bahwa dia akan datang ke kelenteng Toapekong ini untuk berunding dengan Ciamtay Cu-ih agar suka membebaskan Cin Yak-leng, sebab itulah begitu bertemu Peng-say lantas bertanya.

Ceng-hong menggeleng dengan wajah sedih.

Peng-say gelisah, tanyanya cepat: "Apakah dia tidak mau membebaskan adik Leng?”

"Bukan," jawab Ceng-hong.

Segera Peng-say merasakan gelagat tidak enak, cepat ia menoleh dan melihat disamping pendopo sana ada sebuah kuburan baru, dengan terkejut ia tanya: "Siapa yang terkubur disitu?”

"Siausute, hendaklah kau jangan berduka," kata Peng-lam tiba2. "Biarlah kuceritakan apa yang terjadi semalam.”

"Maksudmu Piaumoay telah. . . .telah meninggal"!”

tanya Peng-say dengan suara parau.

"Ya, disitulah makamnya," jawab Peng-lam.

Peng-say berlari ke depan kuburan dan berduduk disitu, sampai sekian lamanya barulah air matanya berderai.

Semua orang ikut mendekati kuburan itu, sedangkan Sau Peng-lam lantas bercerita pengalamannya semalam.

Selesai mendengar cerita itu, Kiau Lo-kiat dan lain2 sama mencaci maki Ciamtay Cu-ih yang kejam dan pantas mampus itu. Peng-lam mengeluarkan sebuah seruling kemala. katanya. kepada Peng-say: "Waktu kukubur Piaumoaymu, dari bajunya jatuh keluar seruling ini, mungkin inilah benda kesayangannya, boleh kau simpan saja.”

Peng-say memegang seruling itu, teringat olehnya sejak kecil Cin Yak-leng memang gemar meniup seruling, tanpa terasa air matanya mengucur semakin deras, ia pandang kuburan itu dengan duka tak terhingga.

Sau Ceng-hong memberi tanda agar para muridnya masuk saja ke kelenteng dan membiarkan Peng-say berziarah sendiri dimakam itu. habis itu barulah mereka akan berangkat pulang ke Soh-hok-han Sesudah semua orang masuk ke kelenteng baru meledaklah tangis Soat Peng-say yang memilukan.

Diantara anak murid Sau Ceng-hong itu sebenarnya Leng Hiang paling senang karena diketahui Sau Peng-lam dalam keadaan sehat walafiat, tapi lantaran Soat Peng-say sedang menangisi kematian Piaumoaynya, ia tidak enak untuk bertanya hal2 yang mengembirakan kepada Sau Peng-lam. Ia tunggu setelah tangis Peng-say rada mereda barulah mendekati Peng-lam, pelahan ia pegang lengan sang Suheng dan bertanya dengan suara tertahan:"'Sssst, kau .... kau tidak apa2 bukan?”

"Ya, tidak apa2," jawab Peng-lam.

Selama beberapa hari ini Leng Hiang senantiasa berkuatir bagi keselamatan Toasuheng ini, semula didengarnya dia telah terbunuh oleh murid Tang-wan yang bernama Lo Ci-kiat, ia malah sudah menangis bagi kematian Peng-lam itu, cuma iapun cukup kenal Suhengnya itu sangat pintar dan cerdiK, kepandaiannya tinggi, rasanya belum pasti akan terbunuh oleh murid Tang wan, betapapun ia masih menaruh harapan.

Betul juga, kemudian ia mendapat tahu dari sang Paman bahwa Toasuhengnya memang belum mati. Sekarang dapat bertemu di kelenteng Toa-pekong ini, tekanan perasaannya selama beberapa hari ini sukar dibendung lagi, mendadak ia menarik lengan baju Peng-lam dan menangis.

Peng-lam tepuk2 pelahan bahu sang Sumoay cilik itu, desisnya: "He, kenapa, Sumoay" Siapa yang nakal, katakan, biar kuhajar dia?”

Leng Hiang tidak menjawab melainkan terus menangis.

Sejenak kemudian, setelah tangisnya sudah kesampaian, ia gunakan lengan baju Peng-lam untuk mengusap air mata, lalu berkata dengan tersendat: "Kau .... kau tidak mati!”

"Aku memang tidak mati, siapa bilang aku mati . . . .”

"Sumoay Siong-san-pay itu tidak berdusta, sungguh aku ....aku ketakutan dan kuatir setengah mati.”

"Sumoay dari Siong-san-pay itu sengaja berdusta, semula dia memang menyangka aku benar2 telah mati," kata Peng-lam.

Leng Hiang menengadah dan memandangnya dengan berlinang air mata, dilihatnya muka sang Suheng agak kurus dan pucat, dengan penuh kasih sayang ia berkata: "Toasuko, lukamu sekali ini sungguh tidak ringan, kau mesti pulang dulu untuk istirihat.”

Sementara itu Peng-say sudah berhenti menangis.

Ceng-hong lantas berkata: "Anak Lam, coba kau beritahukan Peng-say, segera kita akan pulang ke Huiciu melalui jalan air.”

Peng-lam mengiakan dan menuju keluar kelenteng, dilihatnya Peng-say masih duduk ter-mangu2 di depan kuburan. "Sute," sapanya "marilah kita ikut Suhu pulang.”

"Berangkatlah kalian, aku tidak ikut." jawab Peng-say sambil menggeleng.

"He, kau tidak ikut belajar kepada Suhuku?" tanya Peng-lam dengan heran. "Kau harus tahu, untuk menuntut balas bagi nona Cin perlu kau tekun belajar Kungfu dengan Gihuku." "Aku tidak jadi belajar lagi dengan Gihumu,”

"Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Peng-lam. "O.

jangan2 lantaran kematian nona Cin kau menjadi dendam terhadap Gihuku"“

Peng-say diam saja. Nyata, dia memang menyesal karena secara tidak langsung Sau Ceng-hong dianggapnya mengakibatkan kematian Cin Yak-leng.

Segera Peng-lam berkata pula: "Tentang Gihu memberitahukan asal-usul nona Cin kepada Ciamtay Cu-ih, itu hanya kesalahan yang tidak disengaja. kan kau sendiri tidak pernah menyatakan kepada Gihu agar jangan membocorkan asal-usulnya?”

Peng-say menghela napas kalau dipikir, memang sebelumnya soal ini tidak pernah diutarakannya, tentunya Sau Ceng-hong tidak dapat disalahkan.

"Dan tahukah kau sebelum datang ke kelenteng ini pagi tadi betapa Gihu bertekad akan menyelamatkan Piaumoaymu?" kata Peng-lam pula.

Lalu ia menceritakan keputusan Sau Ceng-hong yang rela mengajarkan Ci-he-kang kepada Ciamtay Cu-ih asalkan gembong Tang-wan itu mau membebaskan Cin Yak-leng.

Mau-tak-mau terharu juga Peng-say oleh cerita itu, ia merasa tidak selayaknya uring2an pada keadaan begini.

Apalagi ia sudah berjanji akan mengangkat Sau Ceng-hong sebagai guru, maka tidak seharusnya dia membangkang perintah sang guru.

Berpikir demikian, ia lantas berdiri sambil mengusap air mata, katanya: "Baiklah, mari kita berangkat!”

=Oo odwo oO= Begitulah di bawah pimpinan Sau Ceng-hong, rombongan mereka menumpang sebuah kapal besar dan berlayar menuju ke selatan.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di Huiciu.

Soh-bok-han adalah nama sebuah Tokoan, yakni kuil agama To. nama Soh-hok-han hampir dikenal oleh setiap orang di Huiciu. Belum tiba di tempat, Ko Kin-beng dan Kang Ciau-lin sudah mendahului lari pulang untuk memberi laporan, serentak likuran murid Lam-han berbondong2 lantas menyongsong keluar menyambut sang guru. Peng-say coba mengamat-amati anak murid Lam-han itu, yang tua usianya sudah lebih tiga puluhan, yang muda baru belasan tahun, di antaranya ada enam murid perempuan. Begitu melihat Leng Hiang, anak2 perempuan itu lantas tanya ini dan itu tanpa berhenti.

Kiau Lo-kiat lantas memperkenalkan Soat Peng-say kepada para saudara seperguruan. Menurut peraturan Lamhan, urutan murid biasanya berdasarkan waktu masuk perguruan, sebab itulah terkecil yang bernama Su Ki juga harus dipanggil Suheng oleh Soat Peng-say.

Tapi keadaan Peng-say sekarang lain daripada yang lain.

kalau berdasarkan waktu masuk perguan, padahal sebelum lahir, selagi masih didalam kandungan ibunya, dia sudah diterima sebagai murid Sau Ceng-hong, jadi kalau diurutkan dia hanya dibawah Sau Peng-lam dan Kiau Lokiat, seharusnya terhitung murid Lam-han yang ketiga.

Namun kenyataan Peng-say baru masuk perguruan sekarang, kalau dijadikan murid ketiga tentu murid2 lain akan penasaran, akhirnya diputuskan menurut usia. dengan demikian Peng-say terletak pada urutan nomor sebelas, diatasnya ada delapan Suheng dan dua Suci.

Soh-hok-han itu dibangun dilereng gunung, pepohonan rindang. Suasana teduh dan nyaman, burung berkicau merdu, air mengalir gemercik, kuil itu diragari tembok yang mengikuti naik-turunnya pegunungan. Dari kejauhan tampak seorang nyonya cantik setengab baya menyongsong tiba. Segera Leng Hiang ber-lari2 kesana dan menubruk kedalam pelukan nyonya cantik itu sambil berseru; "Bibi, aku bertambah lagi seorang Suko,”

Sembari bicara iapun menuding Soat Peng-say, Sebelumnya Peng-say sudah mendengar cerita para Suheng bahwa nyonya Sau, ibu gurunya, Leng Tiong-cik, terkenal lihay ilmu pedangnya. Maka cepat2 ia memburu maju dan menyembah, katanya: "Tecu Soat Peng-say menyampaikan sembah hormat kepada Sunio (ibu guru).”

Leng Tiong-cik mengamatinya sekejap, lalu berkata: "Tidak perlu banyak adat, berdirilah!" " Lalu katanya terhadap Sau Ceng-hong: "Setiap kali kau turun gunung tentu tidak puas kalau tidak membawa pulang beberapa macam mestika. Perjalananmu ke Cujoan sekali ini kutaksir sedikitnya akan kau terima tiga-empat murid baru, mengapa sekarang cuma terima satu?”

"Bukankah kau sendiri sering bilang perajurit mengutamakan tangkasnya dan tidak perlu jumlahnya.”

ujar Ceng-hong dengan tertawa "Coba, bagaimana penilaianmu pada yang satu ini?”

Selama beberapa hari ini Soat Peng-say terlalu banyak memikirkan kematian Cin Yak-leng, wajahnya masih murung dan agak pucat. masih jalas kelihatan kasih mesranya antara remaja dari pada sikap gigih seorang ksatria. Sedangkan Leng Tiong-cik terkenal sebagai pahlawannya kaum wanita. tentu saja ia kurang senang melihat keadaan Peng-say itu, ia mendengus: "Mukanya tidak jelek, hanya bersifat perempuan, tidak mirip orang yang belajar silat, akan lebih baik jika ikut belajar baca- tulis dengan kau, kelak dapat ikut menempuh ujian negara dan mencari pangkat.”

Muka Peng-say menjadi merah, pikirnya: " Rupanya Sunio melihat badanku lemah sehingga aku dipandang rendah, selanjutnya aku harus giat belajar. harus kukebut dan melebihi para Suheng agar tidak dihina lagi.”

Ceng-hong ter-bahak2, serunya: "Aha, itupun bagus! Jika satu hari kita dapat mengeluarkan Cong- goan (gelar sarjana kesusasteraan jaman feodal), kan bisa menjadi topik dunia persilatan"!”

Leng Tiong-cik lantas melototi Sau Peng-lam dan berkata: "Gimana, berkelahi lagi dengan orang dan terluka lag! bukan" Mengapa mukamu begini pucat?”

Luka golok Peng-lam sudah sembuh selama dirawat sepanjang jalan, hanya tenaganya saja belum pulih seluruhnya, Sejak kecil dia diasuh dan dibesarkan Leng Tiong-cik, nyonya Sau itu memandangnya seperti anak kandung sendiri, meski nada ucapannya seperti mengomel, tapi dalam hati sebenarnya sangat sayang.

Dengan tersenyum Peng-lam lantas menjawab: "Sudah sembuh lukaku, jika nasib tidak lagi mujur, sekali ini hampir saja tak dapat bertemu lagi dengan Gibo (ibu angkat)." Kembali Leng Tiong-cik melototinya sekejap dan berkata: "Ya, supaya kau tahu bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Bagaimana, kalah secara ikhlas atau tidak?”

"Wah, golok kilat si Thio Yan-coan itu memang luar biasa, anak tidak sanggup melawannya, untuk itu anak perlu minta petunjuk kepada Gibo," jawab Peng-lam.

"Kejahatan Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan sudah termashur, setiap orang tahu dia adalah penjahat perusak anak gadis.”

Air muka Leng Tiong-cik berubah tenang demi mendengar Perg-lam dikalahkan oleh bangsat cabul itu. Ia manggut2 dan berkata: "Bagus juga jika lawanmu ialah bangsat semacam Thio Yan-coan itu. Kukira kau bikin onar dan cari perkara lagi. Memangnyaya bagaimana golok kilatnya" Boleh juga kita berbincang agar lain kali dapat kau hajar dia.”

Meski perempuan, namun jiwa pahlawan Leng TioDgcik tidak dibawah kaum lelaki, demi mendengar berkelahi, seketika ia bersemangat.

Sau Ceng-hong hanya tersenyum saja tanpa ikut bicara.

Sepanjang jalan waktu pulang, sudah belasan kali Peng-lam bertanya kepada sang guru caranya mematahkan golok kilat Thio Yan-coan itu. namun Ceng-hong tidak mau memberi komentar. ia sengaja memberi kesempatan kepada Penglam sepulangnya di Soh-hok-han untuk bertanya dan minta petunjuk kepada sang isteri, tujuannya suah jelas, yakni ingin membikin senang hati isterinya.

Benar juga, ketika Peng-lam mohon petunjuk padanya, Leng Tiong-cik menjadi senang dan bersemangat.

Begitulah semua orang lantas masuk ke Soh-hok-han dan saling bercerita pengalaman masing2 selama berpisah.

Keenam murid perempuan mengerumuni Leng Hiang dan mendengarkan ceritanya. Mereka belum pernah turun gunung dan mengembara, sudah tentu ceritera Leng Hiang sangat menarik bagi mereka.

Keng Ciau-lin juga tidak kalah asyiknya bercerita dan sedang membual cara bagaimana sang Toasuko menempur Thio Yan-coan dan membunuh Lo Ci-kiat. Sudah tentu dia banyak menambahi bumbu disana sini, ditambah kecap dan ditambahi cuka sehingga se-akan2 Thio Yan-coan yang dikalahkan Tou-sukonya.

Sedangkan Leng Tiong-cik dan Sau Peng-lam berduduk dipojok ruangan sana, keduanya lagi tukar pikiran cara bagaimana mematahkan ilmu golok Thio Yan-coan yang maha cepat itu. Obrolan orang lain se-olah2 tak didengar oleh mereka.

Di antara mereka hanya Soat Peng-say saja yang berduduk terpencil sendirian dengan wajah murung, maka anak murid yang lain juga tidak menghiraukan dia.

Sau Ceng-hong melihat kesedihan Peng-say itu diamz ia ikut berduka, dipanggilnya Kiau Lo-kiat' katanya: "Sutemu yang Kesebelas itu baru datang dan belum terbiasa keadaan disini, boleh kau bawa dia pargi istirahat saja.”

== odwodwo == Semalaman itu tidak terjadi apa2. Esok paginya. selagi Peng-say bersemadi ditempat tidur, dilihatnya Kiau Lo-kiat datang dengan membawa satu tumpukan kitab lama.

Waktu diperiksanya. kiranya sebangsa Su-si-ngo-keng (empat buku dan lima kitab, ajaran Khonghucu).

Dengan tertawa Kiau Lo-kiat berkata: "Sunio menyuruh kubawa kitab ini kesini. Kata Sunio, tempat kita ini sangat tenang dan sejuk. cocok untuk bersekolah, beliau pesan agar Sute suka giat membaca, kelak kalau berhasil lulus ujian negara tentu nama Soh-hok-han akan ikut gemilang dan berjaya." Sungguh tak tersangka, ucapan sang ibu guru disangkanya cuma bergurau itu ternyata benar2 dilaksanakannya. Tentu saja Peng-say sangat mendongkol, ia bertanya: "Pikiran Suhu sendiri bagaimana"“

"Semalam Suhu sudah mulai Cekoan (bersemadi dan berpuasa), sekali beliau mulai Cekoan, biasanya sampai setengah bulan atau setahun baru lebaran." tutur Kiau Lo-kiat.

Peng-say tidak bertanya lagi. Ia pikir biarlah nanti Kalau Suhu sudah keluar baru dibicarakan. Jika pikiran Suhu sama dengan Sunio, maka dirinya akan pergi saja dari sini, betapapun ia tidak dapat menuruti kehendak sang ibu guru, hanya bersekolah dan mencari pangkat, lalu siapa yang akan menuntut balas bagi Piaumoay”

Sebelum pergi Kuau Lo-kiat memberi pesan pula: "Oya, Sunio juga bilang, katanya kau pun tidak perlu menghadap beliau setiap hari untuk menyampaikan selamat, soal makan pada waktunya akan diantar oleh kaum pelayan, Sute diminta supaya giat sekolah saja.”

Dari kata2 ini dapatlah Peng-say menarik kesimpulan bahwa Leng Tiong-cik memang tidak suka padanya, bertemu setiap hari saja tidak sudi. Diam2 Peng-say penasaran, ia tidak tahu berbuat salah apa sehingga menimbulkan diskriminasi sang ibu guru”

Saking gemasnya mestinya dia hendak bicara terus terang kepada Kiau Lo-kiat dan akan tinggal pergi. Tapi lantas teringat pesan ibunya yang menyuruhnya mengembalikan kitab, meski maksudnya tidak dijelaskan, namun dapat diketahui harapan orang tua adalah agar supaya dirinya dapat belajar ilmu silat kepada Sau Cenghong. Lalu teringat pula kebaikan hati Sau Ceng-hong kepadanya, hal ini dapat diketahui dari tekadnya akan menoiong Cin Yak-leng itu. Kalau sekarang dirinya pergi tanpa pamit rasanya tidak pantas. Apalagi selama belajar silat kepadanya, kepada siapa pula dia dapat belajar?”

Setelah berpikir demikian, segera ia urungkan maksudnya, ia memberi hormat dan berkata: "Terima kasih, Ji-suheng maksud Sunio dapat kumaklumi, biarlah mulai hari ini aku akan giat bersekolah,”

Kiau Lo-kiat mengangguk dengan arti yang mendalam, ucapnya dengan tersenyuum: "Baik sekali jika kau dapat berbuat demikian, kutahu Suhu pasti takkan mengabaikan kau." Sesudah Kiau Lo-kiat pergi, Peng-say berduduk menyanding meja, ia memandang keluar jendela, tampak pemandangan alam sekitarnya indah permai dan membangkitkan semangat. Ia coba membalik-balik halaman kitab2 antaran Kiau Lo-kiat tadi, meski suasana sangat menyenangkan, tapi apapun juga sukar baginya uatuk membaca. Tanpa sengaja ia meraba bajunya, tersentuhlah seruling tinggalan Cin Yak-leng itu. Teringat kesenangan waktu masih kanak2 bersama nona itu, tanpa terasa ia menjadi sedih pula dan hendak mencucur air mata.

Sejenak kemudian, mulailah ia meniup serulingnya.

membawakan lagu yang paling disukai Cin Yak-leng semenjak kecil. Bolak-balik dia terus membawakan satu lagu tanpa bosan2nya. Walaupun begitu, segenap perasaannya se-olah2 dicurahkan kedalam suara seruling sehingga tidak membosankan pendengarnya.

Sehari suntuk ia terus meniupkan lagu itu, mungkin sudah berpuluh, bahkan seratus kali. Sampai malam tiba suara seruling yang merdu menawan itu terus bergema dan mengalun tak ter-putus2.

Selagi Peng-say tenggelam dalam suara serulingnya, tiba2 diluar kamar ada orang menegurnya: "Sute, bolehkah kumasuk?”

Peng-say menurunkan serulingnya dan menjawab: "Apakah Toasuko?”

"Betul, aku!" jawab Peng-lam.

Peng-say membuka pintu kamar, katanya: "Malam2 Toasuko berkunjung kemari, entah ada petunjuk apa?”

"Apakah Sute ahli dalam hal seni musik?" tanya Peng-lam sambil melangkah kedalam kamar.

"Ah, hanya tahu sekadarnya, mana dapat disebut sebagai ahli?”

"Sute tidak perlu rendah hati, para saudara seperguruan sama memuji tiupan serulingmu yang merdu, sekalipun ahli seruling juga tidak lebih dari pada ini?”

"Mana Siawte berani dibandingkan dengan kaum ahli”

Ah, Toasuko suka memuji, sungguh aku menjadi malu sendiri." "Kita orang sendiri, tidak perlu omong secara sungkan2,”

Kata Peng-lam. "Terus terang, Sute, kedatanganku ini justeru ingin minta petunjuk padamu, jika kau sungkan lagi, aku menjadi tidak enak.”

"Suko ingin memberi petunjuk apa boleh silakan bicara saja, asalkan kutahu pasti akan kukatakan." ujar Peng-say.

Peng-lam lantas mengeluarkan buku tanda nada seruling karya Wi Kay-hou itu, dibaliknya halaman buku itu hingga bagian belakang, lalu ia bertanya: "Huruf aneh apakah ini”

Mengapa aku tidak pernah lihat selain buku ini?”

Peng-say menerima buku itu dan dibacanya, syukur dia paham tulisan itu, katanya: "Ini bukan huruf aneh, tapi tanda nada.”

"Tanda nada" Mengapa dilukis seperti cebong dan sukar dipahami orang?”

"Pantas Toasuko tidak tahu, tanda nada ini memang berasal dari benua barat dan belum lama tersiar ke negeri kita, memang belum banyak orang yang paham, waktu pertama kali kulihat tanda nada inipun merasa bingung, untung kemudian Yak-leng memberi petunjuk padaku dan akhirnya akupun paham.”

Tanda rada mirip cebong atau berudu yang dimaksudkan itu sebenarnya adalah not balok yang kita kenal sekarang.

Cin Yak-leng adalah puteri gubernur militer kota raja, sejak kecil gemar main alat musik, karena itulah ayahnya telah mengundung guru musik yang paling terkemuka di kotaraja itu untuk mengajar Yak-leng bermain macam2 alat musik.

Guru musik itu ternyata mahir seni musik timur dan barat, di mulai mengajari Yak-leng dengan dasar2 teori musik barat, sebab itulah sejak kecil Yak-leng sudah dapat membaca not balok berasal dari barat itu.

Diantara berbagai alat musik, yang paling disukai Yakleng ialah seruling, setelah dia mahir meniup seruling menurut not balok, sayangnya tiada teman pemain yang dapat mengiringinya.

Kakaknya sendiri tidak suka musik. akhirnya dia paksa Peng-say belajar agar nanti dia mempunyai teman main.

Sejak kecil Peng-say memang suka mengalah dan menuruti kehendak Yak-leng, setelah di-desak2, terpaksa ia ikut belajar setiap hari, apa yang Yak-leng bisa, secara tidak langsung Peng-say juga mendapatkan pelajaran yang sama dari guru musik itu. Karena itulah di istana gubernur waktu itu sering terdengar paduan musik yang dimainkan oleh mereka berdua dan sering menarik perhatian orang yang lalu dan banyak memberi pujian.

Bala terkenang kepada masa lalu itu, Peng-say menjadi murung lagi. Peng-lam tahu sutenya terkenang lagi kepada Cin Yakleng. dengan menyesal ia berkata: "Kematian nona Cin memang teramat menyedihkan, kau harus membalaskan sakit hatinya!”

"Cara bagaimana membalasnya?" ucap Peng-say dengan tersenyum getir. Ia tuding kitab2 diatas meja dan menambahkan: "Dengan barang2 permainan ini?”

Peng-lam menghiburnya: "Kutahu Gihu membawa kau kesini adalah untuk mengajarkan ilmu sakti kepadamu, maka janganlah kau putus asa, setelah Gihu selesai melakukan tirakatnya, beliau pasti tidak tinggal diam. Ai, kita jangan bicara lagi hal2 ini. Buku nada ini boleh kau ambil saja dan pelajarilah baik2, aku sendiri tidak paham, menyimpannya juga tak berguna.”

-ooo0dw0ooo- 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar