Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 17

Jilid 17

Gi-lim tidak biasa berdusta, hatinya menjadi pedih, ucapnya dengan tersendat: "Akulah yang salah, jika tempo hari aku tidak cuci tangan ditepi kali, tentu aku takkan kepergok Thio Yan-coan dan ditawan dan tentu pula takkan membikin susah Sau-toako, mana. . . .mana berani kusesali kakekmu?”

"Baiklah jika kau tidak menyesali beliau, kakek memang tidak suka orang menyesali dia," kata Fi-yan. "Waktu itu Yaya bilang hendak melihat tindak-tanduk Thio Yan-coan apakah benar2 sudah sedemikian busuknya sehingga sukar diobati, ingin tahu apakah dia akan ingkar janji atau tidak jika kalah. Akhirnya. hihihi, Cici. . . ." sampai di sini mendadak ia tertawa, lalu menyambung pula: "Sau-toakomu itupun pintar putar lidah, dia bilang bertempur dengan berduduk dia jago nomor dua didunia, kakek menjadi rada percaya kepada ocehannya, bahkan mengira dia benar2 menguasai semacam ilmu pedang yang dilatihnya sembari berak malahan juga percaya Thio Yancoan takkan mampu mengalahkan dia. Hihi.”

Dalam kegelapan Gi-lim tidak dapat melihat air muka anak dara itu, tapi dapat dibayangkan Fifi pasti gembira, semakin riang tertawa Fifi, semakin pedih pula hatinya.

"Kemudian Thio Yan-coan telah melarikan diri," tutur Fifi lebih lanjut "Kakek bilang orang she Thio itu memang brengsek, sudah berjanji akan mengangkat kau sebagai guru bila dia kalah, nyatanya dia ingkar janji,”

"Sau-toako hanya menggunakan akal saja dan tidak benar2 mengalahkan dia," ujar Gi-lim.

"Cici, hatimu sungguh baik," kata Fifi. "Thio Yan-coan itu telah mengganggu kau sedemikian rupa, tapi kau masih juga membelanya. Sesudah Sau-toako tertusuk mati, lalu kau pondong jenazahnya berkeliaran tanpa tujuan, kakek lantas berkata: 'Nikoh cilik ini bisa jadi akan gila karena kematian Sau Peng-lam itu, coba kita kuntit dia.”

"Begitulah kami lantas menguntil di belakangmu, melihat caramu yang merasa berat meninggalkan jenazah itu, Kakek berkata pula padaku: 'Coba lihat, Fifi, NiKoh cilik itu sedemikian sedihnya, apabila bocah she Sau itu tidak mati, si Nikoh cilik tak dapat tidak harus piara rambut kembali dan menjadi isterinya.”

Muka Gi-lim menjadi merah, dalam kegelapan ia merasa telinga dan lehernya serasa panas, tiba2 Fifi bertanya: "Cici, apa betul ucapan kakek itu?”

"Aku .... aku merasa tidak tenteram karena telah mengakibatkan kematian orang, sungguh akupun ingin mati saja untuk menggantikan Sau-toako agar dia bisa hidup kembali," jawab Gi-lim dengan sungguh2 dan tersendat "Biarpun aku .... aku harus masuk neraka dan takkan menjelma kembali juga aku rela.”

Pada saat itulah orang ditempat tidur itu mengeluh pelahan satu kali.

Dengan girang Gi-lim berseru: "Ha, dia ....dia sudah siuman Fifi, tanya kepadanya apakah dia sudah agak baikan?" "Kenapa harus aku yang bertanya" Memangnya kau sendiri tidak punya mulut?" ujar Fifi.

Gi-lim ragu2 sejenak, akhirnya ia mendekati tempat tidur, dari balik kelambu ia bertanya: "Enghiong ini, apakah engkau . . . ." Belum habis ucapannya, terdengar orang itu mengeluh pelahan pula, suaranya sangat menderita.

Diam2 Gi-lim berpikir: "Saat ini dia sedang menderita kesakitan, mana boleh kuganggu dia lagi.”

Selang sejenak, terdengar napas orang itu mulai teratur, agaknya obat yang diminumkannya telah bekerja sehingga si sakit dapat pulas.

"Cici, mengapa kau rela mati bagi Sau Peng-lam”

Apakah kau benar2 suka padanya?" tanya Fifi dengan suara pelahan.

"O. tidak, bukan begitu maksudku," jawab Gi-lim. "Aku ini Cut-keh-lang (orang beragama, sudah meninggalkan rumah), janganlah kau gunakan kata2 yang bisa membikin kotor pada Hudco (Buddha). Sau-toako tidak pernah kenal padaku, tapi dia mati demi menolong diriku. Sungguh aku merasa sangat ....sangat tidak enak. . . .”

"Jika dia dapat hidup kembali, apakah akan kau lakukan apapun baginya?" tanya Fifi.

"Ya, biarpun aku akan mati seribu kali juga aku tidak menyesal," jawab Gi-lim, Mendadak Fifi berteriak: "Nah Sau-toako, kau dengar sendiri, Gi-lim Cici bilang. . . .”

"Jangan kau bercanda, Fifi!”

Tapi Kik Fi-yan tidak menghiraukan dan melanjutkan seruannya: "Dia bilang asalkan kau tidak mati, maka segala apapun akan disanggupinya.”

Dari nada si anak dara yang terdengar sungguh-sungguh dan tiada tanda2 bergurau itu, seketika hati Gi-lim menjadi bingung dan berdetak keras, ucapnya dengan ter-patah2: "Kau , . kau...”

Se-konyong2, 'crit-crit', pandangan menjadi terang, Fifi telah menyalakan api dan menyulut lilin lalu menyingkap kelambu lalu menggapai Gi-lim dengan tertawa.

Pelahan Gi-lim mendekati tempat tidur, mendadak kepala terasa pusing, tubuh terus ambruk ke belakang.

Untung Fifi keburu menahan punggungnya hingga tidak sampai roboh, kata anak dara itu dengan tertawa: "Kutahu kau pasti akan terkejut Cici, coba kau lihat, siapa dia?”

"Dia. . .dia. . . ." Gi-lim tidsk sanggup melanjutkan, uaranya sangat lemah, kerongkongannya serasa tersumbat.

Kiranya orang yang berbaring ditempat tidur ini taklaintak-bukan ialah Sau Peng-lam adanya.

Dengan erat Gi-lim mencengkeram lengan Fi?fi tanyanva dengan suara gemetar: "Dia . . . .dia tidak mati?”

"Sekarang dia memang tidak mati, tapi kalau obatmu tidak manjur, bisa jadi dia akan mati," jawab Fi-yan dengan tertawa.

"Tidak, dia pasti takkan mati. . .takkan mati. . . O, dia tidak mati!" ratap Gi-lim, saking kejut dan girangnya mendadak ia menangis.

"He, dia tidak mati, mengapa kau malah menangis?" kata Fifi.

Kedua kaki Gi-lim terasa lemas, ia tidak tahan lagi, ia terkulai dilantai dan menangis tersedu-sedan, katanya: "O, betapa senang hatiku. . . .Fifi, sungguh aku harus berterima kasih kepadamu. Kiranya .... kiranya kau yang menolong .... menolong Sau-toako.”

"Kau sendiri yang menolongnya, mana aku mampu menolong dia, aku kan tidak punya obat mujarab," ujar Fifi.

Mendadak Gi-lim paham duduknya perkara, ia berbangkit, ia pegang tangan Fifi dan berkata: "Ya, kutahu.

kakekmu yang menyelamatkan dia.”

Pada saat itulah ditempat ketinggian diluar sana mendadak ada orang berteriak: "Gi-lim, Gi-lim!" Jelas itulah suara Ting-yat Suthay.

Gi-lim terkejut, belum lagi ia menjawab. serentak Kik Fi-yan meniup padam lilin dan sebelah tangan mendekap mulut Gi-lim sambil membisikinya: "Jangan bersuara, ingat, tempat apakah ini!”

Seketika Gi-lim menjadi bingung, ia tahu dirinya berada di rumah pelacuran, keadaannya memang serba salah, tapi jelas2 suara panggilan gurunya terdengar tanpa dijawabnya, selama hidupnya boleh dikatakan baru terjadi sekali ini.

Terdengar Ting-yai berteriak pula: "Thio Yan-coan, menggelinding keluar sini!”

Tiba2 diruangan depan sana berkumandang suara gelak tertawa orang, lalu berkata: "Apakah disitu Ting-yat Suthay dari Pek-hun-am, Siong-san-pay" Sepantasnya Wanpwe keluar menjumpai Suthay, cuma sayang, saat ini bebarapa pacarku yang cantik sedang mengerumuni diriku sehingga tidak sempat keluar, harap dimaafkan jika aku kurang sopan! Hahahaha!”

Habis itu beberapa perempuan lantas tertawa cekakak dan cekikik, suaranya genit, jelas suara perempuan Pelacur dirumah maksiat ini.

Lalu terdengar seorang pelacur berkata dengan suara yang di-bikin2: "Ai, sayangku, jangan peduli dia. Ehh, cium lagi sekali! Uhhh, sedaap! Hihih'!”

Begitulah suara beberapa pelacur itu makin omong makin cabul dan makin mesra", jelas sengaja hendak membikin kheki Ting-yat Suthay.

Dengan gusar Ting-yat membentak pula: "Thio Yancoan, jika tidak mau keluar, pasti kucincang tubuhmu hingga beribu potong!”

"Wah, tak usah ya!" jawab Thio Yan-coan dengan tertawa "Kalau aku tidak keluar akan kau-cincang menjadi ribuan potong, kukira bila kukeluar juga akan kau cincang diriku menjadi ratusan potong. Sama2 dicincang, lebih baik aku tidak keluar saja. Eh, Ting-yat Suthay, tempat beginian tidaklah pantas didatangi Cut-keh-lang seperti kau ini, kukira lebih baik lekas kau pulang saja. Muridmu tidak berada di sini, dia adalah seorang Siau-suhu yang taat pada agamanya, manabisa ia datang kemari" Kan aneh jika kau mencarinya disini?”

"Nyalakan api, bakar!" teriak Ting-yat dengan murka.

"Bakar saja sarang anjing ini, coba lihat dia akan keluar atau tidak?”

"Ting yat Suthay," seru Thio Yan-coan dengan tertawa "tempat ini sangat terkenal di kota Cu-joan ini, namanya Kun-giok-ih' (rumah si cantik), memang tidak menjadi soal jika kau bakar, tapi di dunia Kangouw pasti segera akan tersiar berita hangat bahwa rumah bunga jalanan di kota Cu-joan telah dibakar oleh Ting-yat Suthay dari Siong-san-pay Tentu orang akan bertanya untuk apakah Ting-yat Suthay yang terkenal saleh itu datang ke tempat begituan”

Lalu orang akan menjawab bahwa tujuan Suthay hendak mencari muridnya. Tentu pula orang akan heran, mengapa anak murid Pek-hun-am yang suci itu bisa berada di Kungiok-ih dan pasti akan ramailah orang memperbincangkan kejadian ini. Jadinya paati akan sangat merugikan nama baik Siong-san-pay kalian. Maka ingin kukatakan terus terang padamu, aku Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan tidak gentar pada langit dan tidak takut pada bumi, dikolong langit ini aku cuma takut kepada muridmu seorang. Bila melihat dia, lekas2 aku angkat kaki menghindarinya, mana kuberani mengganggu dia?”

Diam2 Ting-yat berpikir apa yang diuraikan Thio Yancoan ini memang tidak salah, tapi menurut laporan muridnya tadi, katanya dengan jelas2 dilihatnva Gi-lim masuk kerumah berlampu merah ini, masakah laporan itu tidak betul”

Begitulah saking gusarnya Ting-yat menginjak keras2 sehingga genting sama pecah, tapi tak dapat bertindak apa2.

Tiba2 suara seorang mendengus diujung rumah seberang sana dan bertanya: "Thio Yan-coan, muridku Pang Ci-ki apakah kau yang membunuhnya?”

Jelas itulah suara Ciamtay Cu-ih, Hong-hoa wancu.

"Eh, maaf, maaf, sampai2 Hong-hoa-wancu juga berkunjung kemari! Wah, selanjutnya Kun giok-ih di Cujoan pasti akan termashur ke seluruh jagat ini, usahanya pasti akan bertambah maju dan banjir tamu," demikian jawab Thio Yan-coan "Tadi memang kubunuh seorang secunguk, tapi permainan goloknya terlalu tidak becus, gayanya memang mirip2 Kungfu Tang-wan, mengenai namanya apakah Pang Ci-ki atau bukan, aku sendiri tidak tahu dan tidak sempat tanya.”

"Baik!" ucap Ciamtay Cu-ih.

Habis itu, "siuut', mendadak sesosok bayangan menerobos masuk kedalam ruangan, lalu terdengar suara "blang-blung" dan gemerincingnya senjata beradu, nyata Ciamtay Cu-ih dan Thio Yan-coan sudah bergebrak didalam kamar. Berdiri diatas rumah dan mendengar suara benturan senjata kedua orang itu, diam2 Ting-yat harus merasa kagum, pikirnya: Keparat Thio Yan-coan itu memang mempungai Kungfu sejati, dia sanggup bertempur secepat kilat dan dapat menandingi Hong-hoa-wancu dengan sama kuatnya." Mendadak terdengar suara "blang" yang keras, suara benturan senjata segera berhenti. Tangan Gi-lim yang menggenggam tangan Fifi penuh keringat dingin. Entah pertempuran kedua itu telah dimenangkan siapa”

Menurut akal, beberapa kali Thio Yan-coan hendak mengganggunya, seharusnya dia berharap Ciamtay Cu-ih yang menang. Tapi aneh, dalam hati ia justeru berharap Ciamtay Cu-ih akan dikalahkan Thio yan-coan. Akan lebih baik jika Ciamtay Cu-ih terus lari pergi setelah kalah, juga gurunya bisa lekas pergi, dengan demikian Sau Peng-lam dapat merawat lukanya dengan tenang.

Maklumlah, keadaan Sau Peng-lam saat ini cukup gawat, bilamana Ciamtay Cu-ih menerjang tiba dan membikin ribut, kalau luka Peng-lam kambuh lagi, maka pasti akan binasa.

Dalam pada itu terdengar suara Thio Yan-coan bergema dikejauhan: "Ciamtay-wancu, kamar itu terlalu sempit, gerak-gerik kurang leluasa, marilah kita bertempur 300 jurus lagi ditempat yang lapang sana untuk menentukan siapa yang lebih lihay. Jika kau menang, biarlah si Melati yang cantik manis ini akan kuserahkan padamu, sebaliknya bila kau kalah, maka si Melati adalah bagianku.”

Di bilik ucapannya itu se-olah2 hendak bilang sebabnya Ciamlay Cu-ih bertempur dengan dia adalah karena berebut perempuan, demi mendapatkan salah seorang pelacur "Kun-giok-ih" yang bernama si Melati.

Bagi Thio Yan-coan yang namanya memang terkenal busuk tentu saja bukan soal, dia sudah biasa masuk keluar rumah maksiat seperti orang masuk restoran, sedikitpun tidak. mengherankan. Akan tetapi Ciamtay Cu-ih adalah seorang guru besar suatu perguruan ternama. mana boleh disejajarkan dengan bergajul semacam Thio Yan-coan ini”

Waktu bertarung didalam kamar tadi, hanya dalam sekejap saja mereka sudah bergebrak lima puluhan jurus, permainan golok Thio Yan-coan ternyata sangat lihay, menyerang atau berjaga sangat teratur. Menurut peikiraan Ciamtay Cu-ih, ilmu silat lawan jelas tidak di bawah dirinya, apabila harus bertempur lagi 300 jurus, betapapun ia tidak yakin akan menang.

Karena itulah ia tidak menanggapi tantangan Thio Yancoan tadi, seketika suasana menjadi sunyi senyap.

Gi-lim seakan- dapat mendengar suara detak jantung sendiri, ia mendekatkan kepalanya ketepi telinga Fifi dan bertanya dengan suara tertahan: "Apakah mereka akan masuk ke sini?”

Padahal umur Fifi jauh lebih muda dari padanya, dalam keadaan genting itu Gi-lim merasa kehilangan akal dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, ia seperti berubah menjadi anak kecil yang tidak paham apapun, Fifi tidak menjawabnya, tapi lantas mendekap mulutnya.

Maka terdengarlah Wi Kay-hou sedang berkata: "Ciamtay-wancu, kejahatan keparat Thio Yan-coan sudah kelewat takaran, biarlah kita bereskan dia lain hari saja dan tidak perlu ter-buru2. Rumah pelacuran ini sangat menjijikkan, sudah lama ada niatku hendak menumpasnya, sekarang menjadi kebetulan. Tay-lian, Oh-gi, be-ramai2 kalian masuk kesana dan periksu seluruhnya, satu orangpun tidak boleh lolos.”

Murid keluarga Wi, yaitu Hiang Tay-lian dan Bi Oh-gi, berbareng mengiakan. Menyusul Ting-yat juga cepat memberi perintah kepada anak muridnya agar mengepung rapat sekeliling rumah maksiat ini.

Sebagai Nikoh, tidak leluasa bagi mereka berterobosan di rumah pelacuran, sekarang Wi Kay-hou bersama muridnya tampil untuk menggeledahnya, tentu saja kebetulan bagi Ting-yat Suthay.

Gi-lim menjadi kelabakan, didengarnya suara bentakan anak murid keluarga Wi sedang mengobrak-abrik rumah pelacuran itu, mereka memeriksa satu kamar demi satu kamar, Wi-kay-hou dam Ciamtay Cu-ih mengawasi disamping. Terdengar jerit tangis orang, agaknya Okui atau germo serta pembantunya telah dihajar oleh rombongan Hiang Tay-lian. Ditambah lagi anak murid Tang-wan yang ingin melampiaskan kematian temannya yang dibunuh Thio Yancoan itu, mereka pun ikut beraksi, semua alat perabot rumah pelacuran itu telah dihancurkan mereka.

Terdengar rombongan Hiang Tay-lian sudah mulai memeriksa kamar2 samping, sebentar lagi pasti akan sampai dikamar tempat persembunyinya. saking cemasnya hampir saja Gi-lim jatuh kelengar, Pikirnya: "Suhu datang hendak menyelamatkan diriku, tapi aku tidak bersuara, sebaliknya mengeram di kamar rumah pelacuran bersama seorang lelaki. Meski dia terluka parah, tapi bila orang2 Thay-san-pay dan Hong-hoa-wan itu membanjir tiba dan mempergoki dirinya, biarpun aku punya seribu mulut juga sukar memberi penjelasan dan mencuci bersih diriku. Jika nama baik Siong-san-pay sampai tercemar, cara bagaimana aku harus bertanggung-jawab terhadap Suhu dan para Suci?" Karena merasa berdosa dan putus asa, mendadak ia hendak membenturkan kepalanya di dinding untuk membunuh diri. Syukur Fifi keburu menariknya sambil membentak dengan suara tertahan: "Jangan! Marilah kita menerjang keluar!”

Tapi mendadak terdengar suara 'kresak kresek', tahu2 Sau Peng-lam telah berbangkit dan berduduk di tempat tidur, ucapnya dengan pelahan:' Nyalakan lilin!”

"Untuk apa"!" tanya Fifi.

"Kubilang nyalakan lilin!" kata Peng-lam pula, suaranya kereng.

Fifi tidak tanya lagi, ia mengetik api dan menyulut lilin.

Di bawah cahaya lilin Gi-lim dapat melihat muka Sau Peng-lam yang pucat pasi seperti mayat itu, tanpa terasa ia menjerit pelahan.

Tiba2 Sau Peng-lam menunjuk mantelnya yang tertaruh diujung tempat tidur dan berkata: "Sampirkan mantel itu pada tubuhku!”

Dengan gemetar Gi-lim melaksanakan permintaan Sau Peng-lam itu. Peng-lam memegangi dada baju mantel itu untuk menutupi luka dan noda darah dibagian dada, lalu berkata: "Lekas kalian berbaring ditempat tidur.”

Kik fi-yan mengikik-tawa, katanya: "Hah, permainan menarik" Segera ia menarik Gi-lim dan menyusup ke dalam selimut.

Dalam pada itu orang2 diluar sudah melihat cahaya lilin di kamar ini, terdengar beberapa orang berseru: "Coba periksa kamar itu!”

Serentak membanjirlah orang2 itu kearah sini. Sekuatnya Sau Peng-lam melangkah maju dan merapatkan daun pintu serta dipalang sekalian, lalu ia berpaling dan memandang ketempat tidur, segera ia mendekati ranjang itu dan menyingkap kelambu, katanya: "Semuanya menyusup kedalam selimut!”

"Kau .... kau jangan bergerak, hati2 dengar lukamu . . . .”

kata Gi-lim. Tapi Peng-lam lantas mendorong kepala Gi-lim kedalam selimut, sebaliknya rambut Fi-yan yang panjang itu ditariknya keluar dan dilebarkan diatas bantal.

Karena mendorong dan menarik ini, Peng-lam merasa darah mengucur keluar lagi dari lukanya. Kakinya terasa lemas, ia berduduk ditepi ranjang.

Sementara itu orang2 tadi sudah datang, ada yang sedang menggedor pintu dan ada yang berteriak: "Hayo buka pintu, bangsat!”

Menyusul lantas terdengar suara "blang" yang keras, pintu kamar telah didobrak hingga terpentang, beberapa orang menerjang masuk sekaligus. Dan orang yang paling depan adalah murid Tang-wan yaitu Ji Ci-eng dan Ci Cihiong, sesudah isrirahat di Thay-an kemarin dan merasa mulai sehat, segera mereka menyusul kesini untuk bergabung dengan gurunya.

Mereka menjadi kaget demi mengetahui siapa yang berada di dalam kamar ini, teriak mereka: "He, kau Sau . . .

. Sau Peng-lam!. . . .”

Mungkin karena pernah didepak hingga mencelat, mereka menjadi kapok dan kuatir tertendang lagi, serentak mereka menyurut mundur, suara merekapun terasa gemetar. Hiang Tay-lian dan Bi Oh-gi tidak kenal Sau Peng-lam, tapi mereka mendengar cerita Gi-lim, katanya Sau Penglam sudah dibunuh Lo Ci-kiat. Kini Ci-eng dan Ci-hiong berteriak nama Sau Peng-lam, mereka terkesiap dan tanpa terasa melompat mundur juga, Semuanya terbelalak memandangi Peng-lam.

Pelahan Peng-lam berdiri, ucapnya: "Kalian....kalian sebanyak ini. . . .”

"Sau Peng-lam," potong Ci-hiong, "kiranya....kiranya kau tidak mati. . . .”

"Hm, masa begitu gampang mati?" jengek Peng-lam.

Segera Ciamtay Cu-ih memburu maju, serunya: "Jadi kau inilah Sau Peng-lam" Bagus, bagus sekali!”

Peng-lam memandangnya sekejap tanpa menjawab.

"Apa yang kau lakukan dirumah pelacuran ini"! tanya Ciamtay Cu-ih.

"Hahahaha!" Peng-lam bergelak tertawa. "Ini namanya sudah tahu sengaja tanya. Memangnya kerja apa orang berada di rumah pelacuran?”

"Biasanya peraturan perguruan Soh-hok-han di Huiciu terkenal sangat keras, sebagai murid tertua Lam-han, ahliwaris Kun cu-kiam Sau-siansing, kabarnya kau pun pernah mengangkat guru kepada Tong-thian Totiang dari Bu-tong, seorang tokoh muda yang mengemban tugas suci dua aliran besar didunia persilatan, tapi sekarang diketemukan mengeram dirumah pelacuran, sungguh lucu dan menggelikan!" demikian Ciamtay Cu-ih ber-olok2.

"Bagaimana peraturan Lam-han dan Bu-tong semua itu adalah urusan kami dan tidak perlu orang lain ikut merisaukannya," jawab Peng-lam.

Ciamtay Cu-ih cukup berpengalaman, melihat air muka Peng-lam pucat dan badan gemetar, jelas tanda terluka parah, ia menjadi sangsi ada sesuatu yang tidak beres. Tiba2 terpikir olehnya: "Nikoh cilik dari Siong-san-pay itu bilang bocah ini telah dibinasakan Ci-kiat, kenyataannya bocah ini belum mati, jelas Nikoh cilik itu sengaja berdusta. Dari cara bicaranya yang menyebut Sau-toako dengan mesra, bisa jadi mereka berdua sudah ada hubungan pribadi yang intim." Lalu terpikir pula olehnya: "Orang jelas melihat Nikon cilik itu masuk kerumah pelacuran ini, tapi sekarang jejaknya menghilang tanpa bekas. mungkin sekali disembunyikan oleh bocah she Sau ini. Hm Ngo-tay-lianbeng mereka suka mengaku sebagai Beng-bun-cing-pay dan memandang hina Hong-hoa-wan kami, maka sekarang aku harus berusaha menemukan Nikoh Cilik itu disini, dengan demikian bukan cuma Lam-han dan Siong-san-pay saja yang malu, bahkan Ngo-tay-lian-beng juga akan tercorengmoreng mukanya sehingga tidak berani omong besar lagi didunia Kangouw.”

Segera ia memandang seluruh kamar itu, ternyata tiada seorang lainpun, ia pikir mungkin Nikoh cilik itu disembunyikan diatas tempat tidur, segera ia berseru: "Ci-eng, coba singkap kelambunya, besar kemungkinan ada tontonan menarik di tempat tidur itu.”

Ci-eng mengiakan dan melangkah maju. Tapi dia pernah dikerjai Sau Peng-lam, tanpa terasa ia memandang Penglam sekejap dengan ragu2.

"Apakah kau sudah bosan hidup?" kata Peng-lam.

Ci-eng merandek, tapi mengingatt Suhu berjaga dibelakang, rasa jerinya lantas hilang. "Sret", segera ia melolos pedangnya.

"Mau apa kau?" tanya Peng-lam kepada Ciamtay Cu-ih.

"Siong-san-pay kehilangan seorang murid perempuan, ada orang melihat dia masuk kerumah bordil ini, maka kami harus mencarinya," jawab Ciamtay Cu-ih.

"Urusan dalam Ngo-tay-lian-beng masa perlu orang lautan sana seperti dirimu ini untuk ikut campur?" jengek Peng-lam.

"Pokoknya urusan hari ini harus kuselidiki hingga jelas.”

kata Ciamtay Cu-ih tegas. "Ci-eng, kerjakan!”

Sambil mengiakan segera Ci-eng menjulurkan pedangnya untuk menyingkap kelambu.

Saat itu Gi-lim dan Fifi saling rangkul bersembunyi didalam selimut, semua percakapan Sau Peng-lam dengan Ciamtay Cu-ih itu dapat didengar mereka dengan jelas, diam2 mereka mengeluh bisa celaka jika mereka sampai dipergoki bersembunyi disitu, tubuh mereka menjadi gemetar. Waktu Ci-eng menyingkap kelambu, sungguh takut mereka tak terhingga. Serentak pandangan semua orang tertuju keatas ranjang, tertampaklah di dalam selimut bersulam indah itu memang ada orangnya, tapi dibantal jelas pula kelihatan rambut panjang terurai, selimut bersulam itu kelihatan bergetar, nyata orang yang sembunyi disitu sangat ketakutan.

Ciamtay Cu-ih merasa kecewa demi nampak rambut panjang yang terurai di atas bantal itu, jelas orang yang bersembunyi ini bukan Nikoh cilik yang berkepala gundul.

Rupanya Sau Peng-lam ini memang benar lagi tidur dengan pelacur. Sau Peng-lam lantas mendengus.: "Ciamtay-wancu, konon ilmu yang kau latih adalah Tong-cu-kang (ilmu dasar kanak2), selama hidupmu belum pernah melihat perempuan yang telanjang bulat, jelas kau pun tidak berani masuk rumah bordil dan main perempuan. Sekarang mumpung ada kesempatan, kenapa tidak suruh muridmu menyingkap selimut agar kau bisa bertambah pengalaman?”

Ucapan Peng-lam ini sebenarnya sangat berbahaya, hanya gertak sambel belaka. Cuma ia yakin sebagai seorang guru-besar suatu aliran termashur, tentu Ciamtay Cu-ih menjaga gengsi dan tidak berani sengaja memandang seorang perempuan jalang yang telanjang didepan orang sebanyak ini. Betul juga, Ciamtay Cu-ih menjadi gusar dan membentak: "Omong kosong! Kentut belaka!" "Berbareng sebelah tangannya lantas memotong kedepan Peng-lam mengegos kesamping, tapi lantaran dia terluka parah, gerak geriknya kurang leluasa pukulan Ciamtay Cuih inipun sangat lihay, karena sampukan angin pukulan yang dahsyat itu, ia jatuh terguling ditempat tidur, tapi sekuatnya ia bangkit kembali, namun darah segar lantas tersembur keluar dari mulutnya.

Segera Ciamtay Cu-ih bermaksud menghantam lagi.

mendadak diluar jendela ada orang berteriak memaki: "Hai, tua menganiaya muda, tidak tahu malu"!”

Belum lagi kata2 terakhir "malu" itu lenyap serentak Ciamtay Cu-ih memutar balik tangannya dan menghantam keluar jendela, menyusul ia melayang keluar.

Dibawah cahaya lilin yang menvorot keluar dari kamar, dilihatnya seorang bungkuk bermuka buruk sedang h^edak lari kepojok halaman sana, "Berhenti!" bentak Ciamtay Cu h dengan suara menggelegar.

Si bungkuk itu tak-lain-tak-bukan adalah samaran Soat Peng-say. Tadi setelah menghadapi Ciamtay Cu-ih di tempat Wi Kay-hou, pada waktu Kik Fi-yan muncul dan menjadi pusat perhatian orang banyak, kesempattan itu lantas digunakan Peng-say untuk mengeluyur keluar. Baru saja sampai di serambi, tahu-tahu Soat Ko-hong melayang tiba dan menepuk pelahan punggungnya yang dibuat bungkuk itu sambil menegur: "He, bungkuk palsu, kenapa kau menyaru orang bungkuk" Memangnya apa paedabnya menjadi orang bungkuk" Sebab apa pula kau mengaku sebagai anak muridku?" Peng-say tahu tabiat orang ini agak aneh, ilmu silatnya juga sangat tinggi, apabila jawabannya kurang tepat, bisa jadi akan mendatangkan kematian. Tapi diruangan besar tadi dirinya telah menyebutnya sebagai "Soat-tayhiap" yang budiman dan suka menolong kaum lemah, jadi tidak berbuat sesuatu yang merugikan dia, asalkan dirinya tetap bersikap demikian, rasanya orang tiada alasan buat marah.

Maka Peng-say lantas menjawab: "Soalnya Wanpwe sering nmndengar cerita orang bahwa Soat-tayhiap sangat disegani orang dan suka menolong orang yang kepepet, sebab itulah tanpa sadar Wanpwe lantas menyamar seperti bentuk Soat-tayhiap, untuk kelancanganku ini mohon dimaafkan.”

"Hahaha. kau bilang aku ini suka menolong orang, suka rmmbantu yang lemah dan memberantas yang jahat, semua itu ngaco-belo belaka, seru Soat Ko-hong dengan gelak tertawa. Sudah tentu dia tahu ucapan Peng-say itu hanya bualan belaka. Tapi di dunia ini manusia mana yang tidak suka diumpak dan dipuji" Begitu pula orang Kangouw, semakin tinggi ilmu silatnya, semakin ingin mendapatkan nama.

Sebenarnya di dunia persilatan Soat Ko-hong tidak disukai orang, seumpama ada yang bicara langsung dengan dia, paling2 juga cuma memuji ilmu silatnya yang tinggi dengan pengalamannya yang luas, tapi tidak pernah orang memuji tindak-tanduknya yang luhur budi apa segala.

Tentu saja ia senang mendapat pujian Peng-say, ia mengamati anak muda itu sejenak, lalu berkata: "Siapa namamu" Murid perguruan mana?”

"Wanpwe kebetulan juga she Soat, jadi bukan sengaja memalsukan she jang sama dengan Cianpwe." jawab Peng-say.

"Hm, tidak sengaja apa" Jelas kau hendak menggunakan nama Yaya untuk menggertak dan menipu orang," jengek Soat Ko-hong. "Padahal Ciamtay Cu-ih itu adalah seorang tokoh sakti dunia persilatan saat ini, dengan satu jari saja dia sanggup membinasakan kau, tapi kau berani bersikap kasar padanya. H m, besar juga nyalimu!”

Bila mendengar nama Ciamtay Cu-ih, seketika Peng-say jadi kheki, segera ia berteriak: "Selama Wanpwe masih bernapas, pasti akan kubunuh jahanam ini dengan tanganku sendiri!”

Soat Ko-hong merasa heran. tanyanya: "Memangnya Ciamyay Cu-ih ada permusuhan apa dengan kau?”

Peng-say ragu2 sejenak, ia pikir kalau melulu mengandalkan tenaga sendiri jelas sukar menyelamatkan adiK Leng, apa salahnya jika sekalian kusembah dia lagi dan mohon pertolongannya”

Segera ia berlutut dan menyembah beberapa kali, tuturnya: "Adik perempuan Wanpwe jatuh di bawah cengkeraman jahanam itu, maka kumohon dengan sangat sudilah kiranya Cianpwe bantu menolongnya.”

Soat Ko-hong berkerut kening dan menggeleng berulang2, katanya; "Pekerjaan yang tidak mendatangkan untung, selamanya tidak mau dilakukan si bungkuk she Soat. Siapakah adik perempuanmu" Apa manfaatnya setelah kuselamatkan dia?”

Sampai disini percakapan mereka, tiba-tiba terdengan disamping pintu sana ada orang berseru dengan suara tertahan: "Lekas laporkan kepada Suhu bahwa kembali seorang murid Tang-wan terbunuh, seorang murid Siong-san-pay juga terluka dan sempat lari pulang.”

Maka Soat Ko-hong tidak tanya lebih lanjut, ia berkata: "Urusanmu boleh kita bicarakan lagi nanti, di depan mata ada tontonan menarik. jika kau ingin tambah pengalaman boleh ikut pergi melihatnya.”

Peng-say pikir asalkan masih berada disamping si bungkuk ini, tentu masih ada kesempatan untuk mohon bantuannya. Maka ia lantas menjawab: "Baik, kemana Cianpwe pergi, kesana pula Wanpwe akan ikut.”

"Supaya kau tdak kecewa, biarlah kita bicara dimuka, bahwa urusan apapun harus menguntungkan barulah akan kulakukan, jika kau cuma menyanjung puji dimulut saja dan menghendaki kakek keluar tenaga bagimu, maka urusan ini jangan kau sebut lagi." demikian kata Soat Ko-hong.

Tentu saja Peng-say melenggong dan tidak tahu bagaimana jawabnya.

Mendadak Soat Ko-hong berkata- "Mereka sudah berangkat, hayolah ikut padaku!" "Serentak Peng-say merasa pergelangan tangan kanan terpegang kencang, tahu2 tubuhnya sudah terapung terus dilarikan sepanjang jalan kota. Setiba di rumah pelacuran "Kun-giok-ih" itu, Soat Ko-hong membisiki Peng-say agar jangan bersuara. Mereka bersembunyi dibalik pohon dan mengintai gerak-gerik orang di dalam rumah itu.

Di tempat sembunyinya mereka dapat mendengar dengan jelas pertarungan antara Thio Yan-coan dan Ciamtay Cu-ih, lalu Wi Kay-hou dan anak buahnya mengobrak-abrik Kun-giok-ih, kemudian Sau Peng-lam unjuk diri. Ketika Ciamtay Cu-ih hendak menyerang Sau Peng-lam pula, Peng-say tidak tahan, ia lantas berteriak: "Tua menganiaya muda, tidak tahu malu.”

Setelah bersuara barulah Peng say menyadari kecerobohannya segera ia putar tubuh dan hendak sembunyi, tak terduga gerakan Ciamtay Cu-ih terlalu cepat baginya, begitu membentak: "Berhenti", serentak angin pukulan juga mengurung seluruh tubuh anak muda itu, apabila tenaga pukulan dikerahkan sepenuhnya, bukan mustahil isi perut Soat Peng-say akan hancur dan tulang patah. Tapi demi melihat siapa anak muda itu, Ciam-tay Cu-ih menjadi jeri terhadap Soat Ko-hong dan urung mengerahkan tenaga pukulannya.

"Hm, kiranya kau"!" jengeknya, sorot matanya tertuju ke arah Soat Ko-hong yang berdiri di Sana dan berkata pula: "Soat-tocu, berulang kali kau hasut anak muda ini merecoki diriku, sebenarnya apa maksudmu?”

Soat Ko-hong ter-bahak2, "Bocah ini mengaku sebagai anak-cucuku, padahal aku tidak pernah kenal dia. Dia she Soat sendiri, apa sangkut pautnya dengan diriku yang juga she Soat" Ciamtay-wancu, bukanlah si bungkuk takut padamu, soalnya aku tidak ingin menjadi tameng bagi seorang anak muda keroco begini, Menjadi tameng harus ada untungnya, bila pekerjaan tanpa menghasilnya, betapapun si bungkuk tidak sudi melakukannya.”

Ciamtay Cu-ih bergirang oleh keterangan Soat Ko-hong itu, cepat ia berkata: "Jika benar orang ini tiada sangkut pautnya dengan Soat-heng, baiklah, akupun tidak perlu sungkan2 lagi padamu.”

Selagi ia menghimpun tenaga untuk menyerang pula, tiba-tiba didalam jendela ada orang menjengek: "Hm, tua menganiaya muda, tidak tahu malu!”

Ciamtay Cu-ih menoleh, dilihatnya seorang berdiri di balik jendela, siapa lagi kalau bukan Sau Penq-lam.

Tidak kepalang murka Ciamtay Cu-ih karena disindir Sana sini. Tapi "tua menganiaya yang muda, tidak tahu malu", kata2 ini memang tepat mengenai sasarannya, padahal iimu silat kedua orang di depannya ini jauh di bawahnya, untuk membunuhnya boleh dikatakan terlalu mudah baginya. Namun tuduhan "Tua menganiaya muda”

memang sukar dielakkan, dan kalau benar orang tua menganiaya anak muda, jelas perbuatan ini "tidak kenal malu" Sebaliknya kalau dia mengampuni mereka secara begini saja, rasanya iapun penasaran.

Maka ia lantas mendengus dan berkata kepada Sau Penglam: "Urusanmu biarlah kelak kubereskan dengan gurumu.”

" Lalu ia berpaling dan berkata kepada Soat Peng-say: "Siaucu (anak kecil. coba katakan, kau ini murid perguruan aliran mana?”

"Bangrat!" kontan Peng-say mendamperat. "Kau telah menculik adik Leng, sekarang kau malah menanyai diriku?”

Ciamtay Cu-ih menjadi heran dan bingung, pikirnya: "Aneh, bilakah pernah kuculik adik Leng-mu segala”

Sedangkan kenal kau saja tidak?”

Tapi didepan orang banyak ia merasa tidak enak untuk bertanya, ia coba menoleh dan berkata kepada muridnya: "Ci-eng, binasakan bocah ini, kemudian tangkap Sau Peng-lam.”

Kalau muridnya yang disuruh maju, dengan sendirinya tak dapat lagi dikatakan "tua mengaiaya muda", Ci-eng mengiakan, segera ia melolos pedang dan melompat maju. Peng-say juga akan melolos pedangnya, tapi baru saja tangannya bergerak, tahu2 golok melengkung Ci-eng sudah menyambar tiba dan mengancam didepan dadanya.

Tanpa pikir Peng-say berteriak: "Ciamtay Cu-ih, aku dan Soat Koh . . . .”

Ciamtay Cu-ih terkejut demi mendengar Peng-say menyebut nama "Soat Koh". Cepat tangan kirinya memukul sehingga golok Ci-eng tergetar kesamping dan menyambar lewat di sisi tubuh Peng-say. "Kau bilang apa?" tanya Ciamtay Cu-ih.

"Kubilang sekalipun hari ini aku Soat Peng-say harus mati juga berharga karena akupun telah membunuh anakmu!" jawab Peng-say nyaring.

"Apa . . . .apa katamu" Jadi . . . jadi kau inilah salah seorang pembunuh anakku?" tanya Ciamtay Cu-ih.

Peng-say sudah nekat, ia tahu tiada gunanya menutupi rahasia dirinya lagi, biarlah mati secara terang2an saja.

Maka koyok yang menghiasi mukanya segera dibuangnya, "bret", ia menarik baju luarnya dan membuang semua ganjel punggungnya, seketika ia berdiri tegak lurus, mana lagi ada si bungkuk bermuka buruk segala, kini ia sudah kembali sebagai pemuda yang gagah.

"Betul, aku inilah salah seorang pembunuh anakmu,”

demikian ia berteriak lantang "Puteramu menculik gadis orang, aku dan Soat Koh yang membunuhnya. Jika kau ingin menuntut balas bagi anakmu. boleh kau bunuh saja diriku. Tapi kau telah menculik adik Leng, kemana kau sembunyikan dia" Hendaklah kau tahu, kematian anakmu tiada sangkut pautnya dengan adik Leng, masa karena kematian anakmu itu lantas kau hendak paksa adik Leng menjanda selama hidup?”

"Kurangajar!" damperat Ciamtay Cu-ih. "Pantas tempo hari tidak kutemukan kau, kiranya kau mencampurkan dirimu di tengah anak murid Lam-han sehingga aku tertipu.

Sekarang ingin kutanya padamu, dimana Soat Koh" Ilmu pedang gabungan kalian yang digunakan membunuh anakku apakah.... apakah ajaran Sau Kim-leng?”

Sebenarnya ia hendak tanya "apakah Siang-liu-kiamhoat", tapi kuatir pertanyaannya ini akan menimbulkan hasrat Soat Ko-hong untuk memiliki ilmu pedang ini, lalu Soat Peng-say akan dijadikan sandera lagi. jika demikian urusan tentu akan bertambah panjang.

Nama Siang-liu-kiam-hoat didengarnya dari Ciamtay Boh-ko sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir.

yaitu ketika Ciamtay Cu-ih baru turun dari kapalnya dan melihat anaknya terkapar di dermaga, pada detik terakhir itulah Ciamtay Boh-ko sempat memberitahu kepada ayahnya bahwa dia dilukai oleh gabungan dua pedang yang disebut Siang-liu-kiam-hoat.

Tadinya Ciamtay Cu-ih mengira perempuan yang membunuh anaknya itu memakai dua pedang sekaligus, gabungan sepasang pedang itulah yang disebut Siang-hukiam-hoat Padahal sudah lama ia-pun mengincar ilmu pedang maha sakti itu, sebab itulah dia bertekad akan mencari perempuan yang bernama Soat Koh itu sehingga terhadap pembantu pembunuh yang lain tidak begitu diperhatikannya.

Tapi kemudian lantas teringat pula olehnya ucapan Sau Ceng-in dahulu bahwa Siang-liu-kiam-hoat sukar diyakinkan oleh seseorang terkecuali orang itu memang jenius dan tekun berlatih selama berpuluh tahun. Apabila dilatih dua orang, masing2 berlatih setengah bagian, hasilnya memang bolehlah, tapi juga sukar mencapai puncaknya. Sekarang kematian anaknya itu menurut keterangan kuli pelabuhan akibat dikerubut seorang perempuan dibantu seorang lelaki. Jelas pesan Ciam-tay Boh-ko sebelum ajal itu tentang gabungan dua pedang, maksudnya gabungan permainan pedang dua orang yang terdiri dari laki2 dan perempuan. Sebab kalau Soat Koh seorang mahir memainkan Siang-liukiam-hoat tentu cukup kuat untuk membunuh anaknya, untuk apa mesti dibantu pula oleh seorang lelaki”

Sebab itulah dia memastikan orang yang membunuh anaknya itu terdiri dari sepasang lelaki dan perempuan yang masing2 mahir memainkan setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat, untuk mendapatkan ilmu pedang sakti itu, tidak cukup melulu mencari Soat Koh saja dan harus pula menemukan si lelaki itu.

Tapi kemanakah mencarinya" Soat Koh sudah diketahui namanya, Kiau Lo-kiat juga sudah menjelaskan bentuk wajahnya, rasanya masih dapat ditemukan. Sedangkan lelaki itu tidak jelas namanya dan juga tak diketahui bentuk Wajahnya, lalu cara bagaimana akan mencarinya”

Diluar dugaan, tanpa dicari malah orangnya sudah mengaku sendiri sebagai salah seorang pembunuh anaknya.

Keruan ia kegirangan. lebih2 setelah mengetabui ilmu silat Soat Peng-say hampir tidak ada artinya, tapi bersama Soat Koh dapat membunuh anaknya, jelas hal ini disebabkan jasa gabungan kedua pedang dari Siang-liu-kiam-hoat.

Ia pikir setelah satu tertangkap, yang lain tentu tidak sulit untuk ditawan pula. Asalkan kedua orang sudah tertangkap semua, maka Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap berarti akan diperolehnya pula. Terdorong oleh hasrat ingin memiliki ilmu pedang maha sakti itulah, lebih dulu ia lantas tanya Soat Peng-say dimana beradanya Soat Koh.

Begitulah dengan ketus Peng-say lantas menjawab: "Hm, kau kira ilmu pedang yang kami gunakan untuk membunuh puteramu itu adalah ajaran Sau Kim-leng" Hah. kau salah besar! Memangnya kau kira sebelum meninggal ibu Sau Kim-leng akan memberitahukan kunci ilmu pedang Siangliu-kiam-hoat kepada anak perempuannya" Haha, biar kukatakan sejujurnya kepadamu, ibu Sau Kim-leng juga tidak paham Siang-liu-kiam-hoat, jadi tidak ada gunanya sama sekali biarpun kau culik adik Leng.”

Dia kuatir Ciamtay Cu-ih akan kecewa, lalu membunuh Cin Yak-leng, maka sejauh ini dia belum berani membongkar rahasia penyamaran Cin Yak-leng. Ia bermaksud mengalihkan persoalannya kepada dirinya sendiri agar Ciamtay Cu-ih merasa tidak bermanfaat membawa pulang "Sau Kim-leng", dan kalau Cin Yak-leng sudah lolos dari cengkeraman maut, andaikan dirinya harus mati mengganti nyawa Ciamtay Boh-ko juga terasa berharga. Sekarang iapun paham maksud tujuan Ciamtay Cu-ih menyuruh Ciamtay Boh-ko membawa pulang Sau Kim-leng kelautan timur, tidaklah masuk diakal puteranya sendiri disuruh mengawini puteri kandungnya sendiri pula. Jadi jelas pasti ada tujuan lain.

Sesungguhnya Ciamtay Cu-ih memang tiada maksud menyuruh puteranya sendiri berbuat sebiadab itu, soalnya dia mengira nyonya Sau Ceng-in pasti tahu rahasia Siang-liu-kiam-hoat. Kalau Sau Ceng-in sudah mati. di dunia ini hanya Sau-hujin saja satu2nya orang yang tahu ilmu pedang maha sakti itu.

Sebab itulah ketika Sau-hujin mencari suaminya ke lautan timur, dengan obat bius dia berhasil mengerjai Sau-hujin, lebih dulu ia menodai kesucian Sau-hujin, lalu dengan berbagai cara bujuk rayu untuk memikat nyonya Sau, ia mengira dengan jerih payahnya itu. setelah nyonya Sau mau menjadi isterinya, maka rahasia Siang-liu-kiam hoat nanti juga akan diberitahukan kepadanya.

Untuk menutupi maksud busuknya itu, sejauh itu ia tidak pernah menyinggung tentang Siang-liu-kiam-hoat segala. yang diperlihatkan hanya kemesraanya sebagai tanda bahwa sebabnya dia menodai tubuh Sau-hujin adalah karena dia jatuh cinta kepada kecantikannya.

Padahal waktu itu usia Sau-hujin sudah lebih 30 tahun, sakalipun cantik juga sudah tergolong setengah baya.

Sebaliknya Ciamtay Cu-ih adalah penguasa suatu pulau, biarpun di rumahnya sudah ada sekian isteri dan sekian selir seperti hidup raja-raja di Tionggoan, tapi banyak juga haram yang jauh lebih cantik daripada Sau-hujin.

Jadi cintanya kepada Sau-hujin hanya bertujuan mengorek rahasia Siang-liu-kiam-hoat. Di luar dugaan, hasil dari cinta itu akhirnya Sau-hujin hamil dan melahirkan anak perempuan.

Dengan demikian Ciamtay Cu-ih tambah yakin Sauhujin pasti akan setia kepadanya, soal rahasia Siang-liu-kiam-hoat akhirnya pasti akan diceritakan padanya. Sebab itulah pengawasannya terterhadap nyonya Sau itupun mulai kendur.

Tak tersangka meski Sau-hujin telah melahirkan puteri baginya, dia masih tetap dendam kepada Ciamtay Cu-ih yang telah menodai dia. Secara diam2 iapun berusaha mengatur jalan untuk kabur, terutama pada saat pengawasan Ciamtay Cu-ih sudah mulai kendur. Akhirnya, pada suatu hari Sau-hujin sengaja mencekoki arak Ciamtay Cu-ih hingga mabuk, lalu ditikamnya dan lari pulang ke Tionggoan dengan membawa anak perempuannya.

Cuma sayang, tikaman Sau-hujin itu tidak membinasakan Ciamtay Cu-ih melainkan cuma terluka parah saja dan mengalami kelumpuhan.

Kelumpuhan itu berlangsung belasan tahun, tapi selama belasan tahun itu Ciamtay Cu-ih juga tidak melupakan rahasia Siang-liu-kiam-hoat. Walaupun didapat kabar bahwa Sau-hujin sudah meninggal, tapi ia yakin anak perempuannya pasti diwarisi rahasia ilmu pedang sakti itu, ia berharap akan mendapatkan ilmu pedang itu melalui diri anak perempuannya.

Tapi lantas terpikir lagi setelah anak perempuannya mendapat didikan Sau-hujin, mungkin anak itupun tidak condong kepada dirinya, tentu juga serupa sang ibu dan dendam padanya. Maka agar harapannya bisa terkabul ia perlu mencari suatu akal supaya anak perempuan itu mau membeberkan dengan sukarela rahasia Siang-liu-kiam-hoat.

Karena itulah dia lantas pakai alasan ada kebiasaan di negeri kepulauan sana dan menyurub Ciamtay Boh-ko ke Tionggoan untuk membawa pulang Siu Kim-leng, ia sengaja menyuruh anak dara itu kawin dengan kakaknya sendiri, dalam keadaan takut, bila si nona mohon jangan dikawinkan dengan kakaknya, maka Sau Kim-leng akan dipaksa membeberkan rahasia Sinng-liu-kiam-hoat sebagai imbalannya. Kemudian Ciamtay Boh ko keburu mati terbunuh, tapi Ciamtay Cu-ih tetap tidak lupa menakuti anak perempuan kandung sendiri dengan sengaja hendaK menyuruh dia menjanda selama hidup. Dengan demikian bila Sau Kimleng dibawa pulang ke Tang-hay dan nanti mohon diampuni agar tidak menjanda atau boleh juga pulang ke Tionggoan untuk kawin lagi dengan orang lain, permintaan inipun akan diluluskan asalkan si nona membeberkan rahasia Siang-liu-kiam-hoat.

Begitulah, hanya demi memperoleh rahasia Siang-liukiam-hoat, segala akal dari jalan licik dan kotor digunakan Ciamtay Cu-ih, sampai2 anak sendiripun tidak segan dikorbankan. Dari sini pula dapat diketahui betapa tinggi nilai dan menariknya Siang-liu-kiam-hoat bagi tokoh kelas Wahid seperti dia ini.

Dan karena tujuan Ciamtay Cu-ih hanya pada Siang-liukiam-hoat, menculik Sau Kim-leng pulang ke Tang hay hanya sebagai alasan belaka. Kini melihat Soat Peng-say membela si nona yang disangkanya sebagai Sau Kim-leng dengan mati2an, ia lantas bertanya: "Apakah kau suka kepada Sau Kim-leng" Baik juga, asal kau ikut aku pulang ke Tang-hay, maka dia takkan kusuruh menjanda bagi anakku yang mati itu, malahan akan kuberi kebebasan kepadanya disana.”

Setelah mengikuti pembicaraan mereka, Sau Peng-lam dapat meraba maksud tujuan Ciamtay Cu-ih, sambil bersandar diambang jendela ia berseru: "Soat-locianpwe, keluarga Sau dari Pak-cay ada sejurus Siang-liu-kiam-hoat, barang siapa memperolehnya akan tiada tandingannya di kolong langit ini. Tampaknya Ciamtay-wancu menjadi merah matanya dan mengiccar ilmu pedang itu, makanya dia sengaja menculik satu2nya keturunan keluarga Sau, tujuannya jelas ingin mengorek kunci ilmu pedang sakti itu, tapi.

. . ." Bicara sampai disini ia tidak tahan lagi, kerongkongan terasa anyir dan darah hampir tersembur lagi, sekuatnya ia bertahan dan melangkah mundur dengan sempoyongan, akhirnya ia jatuh terduduk ditepi rajang.

Tapi segera teringat olehnya Gi-lim masih tersembunyi didalam selimut, orang adalah Cut-keh-lang yang suci bersih, mana boleh dirinya berduduk ditepi tempat tidurnya. Cepat ia bermaksud berdiri lagi, tapi terasa tidak bertenaga, Dalam pada itu, setelah Soat Ko-hong mendengar keterangan tentang Siang-liu-kiam-hoat milik keluarga Sau dari Pak-cay, barang siapa memperolehnya akan tiada tandingannya didunia, sungguh berita ini membuatnya terkesiap, padahal selama ini belum pernah didengarnya Siang-liu-kiam-hoat itu milik keluarga Sau, yang didengarnya cuma berita "Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia! Ia pikir tanpa angin tidak nanti menimbulkan gelombang, kalau bisa terjadi apa yang dilihatnya sekarang tentu pula ada sebab-musababnya.

Anak muda yang menyamar sebagai bungkuk ini jelas tidak seberapa ilmu silatnya, tapi dia bergabung dengan seorang perempuan yang bernama Soat Koh dan dapat membunuh putera Ciamtay Cu-ih dengan Siang-liu-kiamhoat, ini menandakan ilmu pedang itu memang luar biasa.

Kesempatan ini tidak boleh di-sia2kan, asalkan dapat mengatasi anak muda ini, perempuan yang bernama Soat Koh itu pasti akan dapat ditemukan melalui keterangannya nanti.

Pribadi Soat Ko-hong sebenarnya tidak tergolong jahat, cuma wataknya tamak, suka mencari keuntungan. Kini melihat pada diri Soat Peng-say dapat ditarik manfaat, tentu saja kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja.

Tatkala mana Ciamtay Cu-ih telah menjulurkan tangan kirinya untuk meraih pundak kanan Soat Peng-say terus ditarik kesana. Cepat Soat Ko-hong membentak: "Nanti dulu!”

Berbareng iapun melayang maju dan pundak kiri Soat Peng-say lantas dipegangnya.

Jangan mengira dia seorang bungkuk gemuk dan gerakgeriknya seperti kurang leluasa, ternyata dia dapat bertindak cepat luar biasa, jaraknya dengan Soat Peng-say mestinya cukup jauh, tapi hanya sekali melayang saja dia sudah sampai di belakangnya dan begitu tangan meraih pundak arak muda itu segera ditariknya kebelakang.

Padahal saat itu pundak kanan Peng-say sudah lebih dulu dicengkeram tangan Ciamtay Cu-ih dan terasa seperti dijepit oleh tangan yang kuat, tanpa kuasa ia terseret kedepan. Tapi mendadak dari belakang pundak kirinya dicengkeram pula oleh tangan lain serta dibetot kebelakang.

Karena ditarik dan dibetot kedepan dan kebelakang, karuan ruas tulang Peng-say se-akan2 memereteli, hampir saja ia jatuh kelengar saking sakitnya.

Melihat Soat Ko-hong telah ikut turun tangan, Ciamtay Cu-ih tahu bila tarikannya tidak dihentikan. yang menjadi korban pasti Soat Peng-say, bisa jadi tubuh anak muda itu akan terobek menjadi dua keping. Maka cepat ia ayun golok melengkung ditangan lain dan membacok sambil membentak: "Lepas tangan, Soat-heng!”

Cepat Soat Ko-hong juga mengayun tangannya, "trang", golok Ciamtay Cu-ih tertangkis, tangan si bungkuk ternyata sudah bertambah dengan sebuah roda yang bercahaya emas kemilau. Roda ini terus berputar, sekeliling roda terpasang delapan pisau kecil.

Tangan Ciamtay Cu-ih tergetar kaku, ia tahu tenaga dalam lawan sangat hebat, segera ia putar goloknya dengan kencang, hanya sekejap saja ia sudah membacok delapan kali, serunya: "Soat-heng, tiada permusuhan apapun, untuk apa moeti bertengkar lantaran bocah ini?”

Soat Ko-hong memutar rodanya, pisau kecil pada rodanya itu dapat menangkis semua serangan Ciamtay Cuih. ia menjawab: Ciamtay-wancu, di depan orang banyak tadi bocah ini sudah menyembah dan memanggil kakek padaku, hal ini didengar dan disaksikan orang banyak.

Meski Cayhe dengan Ciamtay-wancu tiada permusuhan apapun, tapi seorang yang telah memanggil kakek padaku mana boleh kubiarkan dibekuk dan dibunuh olehmu, jika seorang kakek tidak dapat membela cucunya. selanjutnya siapa lagi yang mau memanggil kakek padaku?”

Sembari bicara kedua orang terus saling gebrak, suara nyaring beradunya senjata terus mendering, pertarungan makin lama makin cepat.

"Soat-heng," kata Ciamtay Cu-ih dengan gusar, "orang ini telah membunuh putera kandungku, dendam ini mana boleh kubiarkan begitu saja?”

Soat Ko-hong bergelak tertawa, katanya: "Baik, demi kehormatan Ciamiay-wancu, bolehlah kubalaskan sakit hatimu. Marilah, silakan Ciamtay-heng menarik kesana dan aku pun akan menarik kesini. Satu-dua-tiga, biar kita betot bocah ini menjad dua potong.”

Habis bicara, segera ia berteriak pula: "Satu, dua, tiga!”

" Berbareng ia terus menarik sekuatnya, seketika ruas tulang seluruh tubuh Soat Peng-say se-akan2 retak.

Ciamtay Cu-ih terkesiap, pikirnya: "Wah, jika aku tidak lepas tangan, bocah ini tentu akan mati terobek menjadi dua.”

Baginya soal menuntut balas adalah urusan kecil, urusan Siang-liu-kiam-hoat jauh lebih penting. Jika Siang-liu-kiam-boh belum diperoleh, betapapun ia tidak mau mencelakai Soat Peng-say. Maka ia lantas lepas tangan dan Soat Pengsay lantas terbetot kesana oleh Soat Ko-hong.

"Hahahaha" Terima kasih?" seru Soat Ko-hong dengan tertawa. "Ciamtay-wancu benar2 sahabat sejati dan baik hati. Demi menghormati si bungkuk, sampai sakit hati kematian anak tidak kau-balas lagi. Sungguh orang yang mengutamakan setia kawan seperti dirimu ini boleh dikatakan tiada bandingannya.”

"Asal Soat-heng tahu saja," ujar Ciamtay Cu-ih dengan dingin "Hanya sekali ini saja aku mengalah dan tiada kedua kalinya.”

Soat Ko hong tertawa, jawabnya: "Ah, janganlah Ciamtay-wancu berkata demikian, mengingat keluhuran budi Ciamtay-wancu, bisa jadi akan terulang lagi kedua kalinya." Ciamtay Cu-ih mendengus, ia memberi tanda kepada anak muridnya dan berseru: "Hayo kita pergi!" " Bersama anak muridnya segera mereka mengundurkan diri.

Dalam pada itu, karena ingin cepat menemukan Gi-lim, sejak tadi Ting-yat Suthay sudah menggeledah ke arah lain bersama kawanan Nikoh Siong-san-pay.

Wi Kay-hou lantas berkata kepada anak muridnya: "Setiap tamu yang datang ke Cu-joan sini, keamanan mereka adalah tanggung-jawab kita. Jika Siausuhu Siongsan-pay itu menghilang, betapapun kita harus menemukannya.”

Segera ia pimpin rombongannya mencari ke jurusan lain.

Dalam sekejap saja di Kun-giok-ih itu hanya tersisa Soat Ko-hong dan Soat Peng-say saja.

Dengan cengar-cengir Soat Ko-hong lantas berkata kepada Peng-say: "Hihi, kau ternyala tidak bungkuk, sebaliknya ganteng dan cakap. Eh. Siau-cu, kaupun tidak perlu lagi panggil kakek padaku, si bungkuk penujui kau, bagaimana kalau kuterima kau sebagai muridku?”

Peng-say sudah merasakan betapa sakitnya ketika dibetot ke kanan dan ke kiri oleh mereka tadi, ruas tulang sekujur badan serasa hendak rontok, rasa sakit itu sampai sekarang pun belum lenyap.

Kini si bungkuk menyatakan hendak menerimanya sebagai murid, mau-tak-mau ia berpikir: "Ilmu silat si bungkuk ini berpuluh kali lebih tinggi daripada gurunya, Ciamtay Cu-ih juga agak jeri padanya. untuk menyelamatkan adik Leng dari cengkeraman Ciamtay Cuih terpaksa harus ku-angkat guru padanya dan minta bantuannya. Akan tetapi tadi dia menyaksikan murid Tangwan hendak menbunuhku dan sama sekali tidak menggubris, dia baru turun tangan menyelamatkan diriku setelah mendengar Siang-liu-kiam-hoat. Sekarang dia menyatakan sendiri hendak menerima diriku sebagai murid, jelas maksud tujuannya tidak baik.”

Melihat anak muda itu diam saja dan tampak ragu2, segera Soat Ko-hong menambahkan: "Ilmu silat dan nama kebesaran Say-pak-beng-to sudah kau saksikan sendiri, sampai saat ini akupun belum pernah menerima murid. Di dunia ini bukanlah tiada anak yang baik, soalnya tidak mencocoki seleraku. Sekarang si bungkuk penujui kau, asalkan kau berguru padaku, seluruh kepandaian si bungkuk akan diajarkan kepadamu. Tatkala mana jangankan anak buah Tang-wan bukan lagi tandinganmu, asalkan kau berlatih dengan tekun, dalam waktu tidak lama lagi kau pun dapat mengalahkan Ciamtay Cu-ih. Nah, Siaucu (anak kecil), mengapa tidak lekas kau menyembah kepada gurumu?”

Semakin bersemangat si bungkuk hendak menerima Peng-say sebagai murid, semakin besar pula rasa curiga anak muda itu. Pikirnya: "Jika dia benar2 suka kepadaku, kenapa tadi dia mencengkeram pundakku sekuat itu dan tanpa kenal ampun" Jelas tujuannya karena hendak memperoleh Siang-liu-kiam-hoat, maka dia merampas diriku dari cengkeraman Ciamtay Cu-ih. Orang yang berhati keji dan culas begini, bila kujadi muridnya, seterusnya mungkin aku akan terjeblos lebih dalam ke neraka. Di tengah Ngo-tay-lian-beng tidak kurang tokoh ternama dan berilmu tinggi, untuk belajar ilmu sakti harus kucari tokoh2 angkatan tua dari kelima aliran besar itu, betapapun tinggi ilmu silat si bungkuk ini se-kali2 tidak boleh kuangkat dia sebagai guru.”

Melihat Peng-say masih ragu dan tidak menanggapi kehendaknya, rasa gusar Soat Koh-hong mulai timbul.

Padahal di dunia Kangouw entah berapa banyak orang yang ingin mengangkat guru padanya, bahkan dengan macam2 daya upaya berusaha menjadi murid akuannya saja tidak mudah. Sekarang dengan sukarela si bungkuk mau menerimanya sebagai murid, tapi Peng-say berbalik jual mahal. Coba kalau bukan lantaran Siang-liu-kiam-hoat, bisa jadi sejak tadi si bungkuk sudah membinasakan dia.

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar