Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 15

Jilid 15

Bicara sampai disini, tersembul senyumannya yang hambar, Sejak tadi dia merasa sedih dan menangis, Kini terunjuk senyumannya sehingga menambah kecantikannya.

"Lelaki bangor begitu, segala kata apapun dapat diucapkan mereka, masa kau sangka sungguh2," ujar Tingyat, "Kukira tujuan Sau Peng-lam itu hanya ingin memancing marah Thio Yan-coan Lalu cara bagaimana orang she Thio itu menjawabnya?”

"Thio Yan-coan menjadi ragu2 meiihat sikap Sau-toako yakin pasti menang itu," tutur Gi-lim. "Maka Sau-toako memancing lagi: 'Bagaimana,jika kau merasa pasti kalah dan tidak ingin menjadi murid Siong-san-pay, maka bolehlah kita batalkan pertandingan ini.”

-Dengan gusar Thio Yan-coan menjawab: 'Omong kosong! Baik. jadi, barang siapa kalah dia harus mengangkat Nikoh cilik ini sebagai guru!”

Cepat aku berseru: "He, tidak boleh jadi! Aku tidak mau menerima kalian sebagai murid. Kungfuku rendah, lagi pula guruku juga tidak mengizinkan. Setiap orang Siong-san-pay kami adalah Nikoh, mana boleh ....”

-Tapi Sau-toako lantas memotong ucapanku, katanya: 'Itulah keputusan hasil kompromi kami, mau atau tidak harus kau terima dan jangan banyak omong, lalu dia berpaling dan berkata pula kepada Thio Yan-coan: 'Dan kedua, barang siapa kalah, dia harus angkat golok dan sekaii potong, jadilah dia sebagai Thaykam.”

Suhu, entah apa artinya sekali potong dengan golok lantas menjadi Thaykam?”

Pertanyaan ini membikin semua orang sama tertawa, mereka anggap Nikoh cilik ini benar2 hijau pelonco dan tidak tahu seluk beluk orang hidup. Thaykam adalah orang kasim, orang kebiri, dayang keraton. Arti sekali potong dengan golok lantas menjadi Thaykam ialah yang kalah harus mengebiri dirinva sendiri.

Ting-yat juga merasa geli meiihat kepolosan anak muridnya itu, tapi dia hanya tersenyum saja dan menjawab: "Ah, itupun kata2 kasar kaum bergajul. JiKa tidak tahu, tidak perlu kau tanyakan.”

"O, kiranya bukan kata2 baik," ucap Gi-lim. "Sehabis mendengar ucapan Sau-toako itu, Thio Yan-coan lantas melototi Sau-toako dan bertanya: 'Memangnya kau yakin pasti akan menang"“

Sau-toako menjawab: "Ya, pasti! Bila bertempur dengan berdiri, di dunia ini nomor urutanku adalah ke-39. tapi kalau bertempur dengan berduduk, nomor urutanku ialah ke 2!' -Tampaknya Thio Yan-coan sangat heran oleh keterangan Sau-toako ini, ia tanya: 'O, kau cuma nomor 2 lantas siapa yang nomor satu,”

Sau-toako menjawab: 'Yang nomor satu ialah Mo-kaukaucu (ketua agama) Tonghong Put-pay!'. ..”

Air muka semua orang sama berubah demi mendengar Gi-lim menyebut "Mo-kau-kaucu Tong-hong Put-pay".

Agaknya Gi-lim juga merasakan suasana diruangan besar ini mendadak berubah aneh, ia menjadi heran dan juga takut, ia menyangka ucapannya tadi ada yang keliru, maka cepat ia tanya: "Suhu, apakah ucapanku tadi ada yang tidak benar?”

"Jangan kau sebut lagi nama orang ini," kata Ting-yat, "Kemudian bagaimana jawaban Thio Yan-coan.

Dia lantas mengangguk dan berkata: "Baik, jika kau bilang jago nomor satu ialah Tonghong-kaocu, akupun setuju. Cuma kau mengaku nomor dua, kukira agak tertalu besar bualanmu. Memangnya kau dapat melebihi ayahmu.

Sau-siansing”

Sau-toako menjawab: 'Yang kumaksudkan kan bertanding sambil berduduk" Jika bertempur dengan berdiri, ayahku memang menduduki urutan keenam. Aku sendiri ke-39. jelas selisih sangat jauh dengan beliau.”

-Thio Yan-coan mengangguk, katanya: 'O, kiranya demikian. Lantas aku nomor berupa jika bertempur dengan berdiri" Siapa pula yang memberikan nomor urutan itu"“

Sau-toako menjawab sambil Setengah berbisik, katanya: 'Wah, inilah rahasia besar. Karena persahabatan kita, biarlah kukatakan terus terang, tapi jangan kau katakan pula kepada orang lain, kalau tidak, bisa jadi dunia persilatan akan terjadi pergolakan hebat.... Tiga bulan yang lalu, kelima Ciangbunjin Ngo-tay-lian beng kami berkumpul di Soh-hok-han dan membicarakan tokoh Bulim masa kini. Saking gembiranya dalam ber-bincang2 itu, kelima Ciangbunjin lantas memberikan daftar urutan para tokoh dunia sekarang. Terus terang, Thio-heng, kelima guru kami itu sangat benci kepada kepribadianmu, kau dicaci-maki habis2an dan tidak laku satu peserpun. Tapi bicara mengenai ilmu silatmu, mengenai Kungfumu, semuanya merasa kepandaianmu masih boleh juga. Kalau bertempur dengan berdiri menurut urutan di dunia persilatan sekarang ini kau terhitung jago nomor 13.”

Serentak Thian-bun Tojin dan Ting-yat Suthay berkata: "Si Sau Peng-lam itu sermbarangan mengoceh, mana pernah terjadi pertandingan begitu?”

"O, kiranya Sau-toako cuma membohongi dia," kata Gi-lim "Thio Yan-coan itu tampaknya juga setengah percaya setengah tidak. Dia berkata: 'Para ketua Ngo tay-lian-beng adalah pimpinan dunia persilatan masa kini, bisa mendapatkan pujian mereka sungguh akupun merasa bangga. Bahwa, diriku diberi nomor urutan ke-13, haha, aku harus berterima kasih. Eh, Sau-heng, apakah di depan kelima Ciangbunjin itu kaupun mempertunjukkan kau punya ilmu pedang kakus yang berbau busuk itu" Kalau tidak, mengapa mereka memberi kau kau nomor dua"“

-Sau-toako tertawa dan menjawab; 'Tentang ilmu pedang kakus ini memang kurang sopan jika kumainkan di depan umum, apalagi harus kuperlihatkan di depan kelima Ciangbunjin. Gaya ilmu pedang berbau busuk ini tidak pantas dilihat, namun sangat lihay. Pernah kubicara dengan tokoh terkemuka dari Ma-kau dan mereka pun mengakui di dunia ini selain Tonghong-kaucu sendiri tiada orang lain lagi yang mampu menandingi diriku. Hanya saja, Thio-heng, persoalannya harus dipikirkan kembali, meski ilmu pedangku ini sangat hebat, kecuali kugunakan menusuk lalat waktu berak, sesungguhnya sukar dipraktekkan. Habis, coba kau bayangkan, bilamana benar2 bertempur, siapakah yang mau bertanding denganku sambil berduduk”

Seumpama kita sudah berjanji akan bertandig dengan berduduk, bilamana nanti kau kalah, bisa jadi dari malu kau menjadi gusar, lalu mendadak berdiri. Padahal kau jago nomor 13 jika bertempur dengan berdiri maka dengan mudah dapat kau bunuh diriku yang jago nomor dua jika bertempur sambil berduduk. Maka dari itu, kau ini jago nomor 13 tulen, sebaliknya aku ini jago nomor dua cuma nama kosong belaka.”

-Thio Yan-coan mendengus, katanya: 'Hm, Sau-heng, mulutmu ini memang pintar bicara Dari mana pula kau tahu bahwa bertempur dengan berduduk aku pasti kalah, darimana pula kau tahu dari malu aku akan menjadi gusar, lalu berdiri dan membunuhmu"“

Sau-toako menjawab: 'Asakan kau berjanji setelah kalah kau takkan membunuhku, maka syarat kedua tentang menjadi Thaykam boleh kita batalkan, supaya kau tidak sampai putus turunan dan berdosa kepada leluhurmu. Nah, tidak perlu banyak bicara lagi, marilah kita mulai bergebrak!' -Habis berkata, kontan Sau-toako menjungkir-balikkan meja sehingga mangkuk piring berantakan. Kedua orang lantas duduk berhadapan, yang satu memegang golok dan yang lain memegang pedang. -'Hayolah mulai! Siapa yang berdiri lebih dulu, siapa yang mengangkat pantat lebih dulu meningggalkan kursinya, dia dianggap kalah"' seru Sau-toako. 'Baik, ingin kulihat siapa yang akan berdiri lebih dulu!'jawab Thio Yan-coan.”

Gi-lim berbenti sejenak, lalu menyambung pula: "Baru saja mereka mau bergebrak, tiba2 Thio Yan-coan melirik sekejap ke arahku dan mendadak tertawa ter-bahak2, katanya: 'Sau heng, sudahlah, aku menyerah saja. Rupanya diam2 kau menyembunyikan teman dan sengaja hendak membikin susah padaku, bila kita sudah ,ulai bertanding, temanmu terus mengganggu, atau nikoh cilik ini meng-kili2 dibelakangku kan mungkin aku akan terpaksa berbangkit.”

-Sau-toako tertawa, katanya: 'Tidak, kujamin tak ada orang ketiga yang ikut campur pertandingan kita ini, Nikoh cilik, apakah kau menghendaki aku kalah bertanding"“

-Aku menjawab: 'Sudah tentu kuharapkan kau menang, kau jago nomor dua jika bertempur dengan berduduk, manabisa kalah.”

Sau-toako mengangguk, katanya: 'Bagus, jika begitu silakan kau pergi saja, makin cepat makin baik, makin jauh makin baik! Sialan, jika ditunggui seorang pere mpuan gundul begini, tanpa bertempur saja aku sudah kalah.”

-Tanpa menunggu tanggapan Thio Yan-coan kontan pedang Sau-toako lantas menusuknya. Thio Yan-coan menangkis dan balas menyerang sambil berkata: 'Hebat, sungguh akal bagus caramu menolong si Nikoh cilik ini.

Sau-heng, kau benar2 seorang pencinta yang baik hati.

Cuma pertaruhanmu ini terlalu besar dan juga terlalu berbahaya bagimu.”

-Waktu itu barulah aku paham, kiranya maksud Sautoako bertanding dengan berduduk dan barang siapa bangkit lebih dulu dianggap kalah, tujuannya adalah untuk menyelamatkan diriku agar aku sempat melarikan diri.

Agar tidak dianggap kalah Thio Yan-coan tidak dapat meninggalkan kursinya dengan sendirinya dia tak sempat menawan diriku.”

Mendengar sampai disini, diam2 semua orang merasa gegetun atas usaha Sau Peng-lam dengan susah payah itu.

Ilmu silatnya tak dapat mengungguli Thio Yan-coan, selain mengalahkan dia dengan akal memang tiada jalan lain untuk menolong Gi-lim.

"Tentang pencinta segala, semua itu kata2 kasar.

selanjutnya jangan kau sebut dan jangan kau pikir," kata Ting-yat.

Gi-lim menunduk, jawabnya: "O, kiranya kata2 itupun tidak baik. Tahulah Tecu sekarang.”

"Kesempatan baik itu mestinya kau gunakan untuk angkat kaki bukan" Jika Thio Yan-coan berhasil membunuh Sau Peng-lam, tentu kau tak dapat kabur," kata Ting-yat pula.

"Ya, Sau-toako juga terus mendesak, terpaksa aku memberi hormat kepadanya dan berkata: "Terima kasih atas pertolongan Sau-suheng. Habis itu aku lantas meninggalkan tempat itu. Tapi baru sampai diujung tangga.

mendadak kudengar Thio Yan-coan membentak: 'Kena!”

Waktu aku menoleh. dua titik darah muncrat pada mukaku. Kiranya pundak Sau-toako telah terkena golok.

Terlihat Thio Yan-coan lagi tertawa dan berkata: 'Bagaimana ilmu pedang jago nomor dua di dunia ini, kukira juga cuma begini saja!”

Sao-toako menjawab: 'Sebelum Nikoh itu pergi, mana bisa kukalahkan kau" Ai, agaknya memang sudah ditakdirkan aku mesti mengalami petaka ini.”

-Kupikir Sau-toako jemu kepada Nikoh, jika kutinggal lagi disitu mungkin akan membikin celaka jiwanya.

Terpaksa kuturun dari loteng restoran itu. Setiba dibawah, kudengar dering nyaring beradunya senjata, kembali terdengar Thio Yan-coan membentak: 'Kena!”

Tentu saja aku terkejut dan berkuatir, kuyakin Sau-toako pasti terluka pula. Tapi aku tidak berani naik lagi keloteng, terpaksa aku berputar kebelakang dan melompat keatas wuwungan restoran itu, dari situ aku mengintip ke bawah melalui jendela. Kulihat Sau-toako masih terus bertempur dengan sengit meski tubuhnya sudah berlepotan darah segar, sebaliknya Thio Yan-coan sama sekali tidak terluka.

Tidak lama kemudian, kembali Thio Yan-coan membentak dan lengan kiri Sau-toako terbacok lagi satu kali. Ia lantas menarik goloknya, katanya dengan tertawa: 'Sau-heng, seranganku ini sengaja kuberi kelonggaran!”

-Sau-toako menjawab dengan tertawa: 'Dengan sendirinya kutahu. Jika bacokanmu agak keras, tentu lenganku ini sudah buntung!”

Coba, Suhu, dalam keadaan begitu Sau-suheng masih dapat tertawa. Maka Thio Yan-coan berkata pula: 'Dan pertarungan ini dilanjutkan tidak"“

Dengan tegas Sau-toako menjawab: 'Sudah tentu diteruskan, kalah atau menang kan belum jelas, siapapun belum ada yang berdiri.”

-Thio Yan-coan itu membujuk: 'Kukira lebih baik kau mengaku kalah saja dan berdirilah. Biarlah kita batalkan segala perjanjian tadi dan kau tidak perlu mengangkat guru kepada Nikoh cilik itu”

Namun Sau-toako tidak mau terima. jawabnya: 'Tidak bisa. Seorang lelaki sejati, sekali sudah bicara tidak nanti dijilat kembali.”

-Thio Yan-coan berkata: 'Sudah banyak lelaki kepala batu di dunia ini, tapi orang seperti Sau-heng baru sekarang untuk pertama kalinya kulihat. Baik, anggaplah kita seri, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.

Bagaimana" kalau kita sudahi pertandingan ini"“

-Sau-toako tertawa dan memandangi dia tanpa bersuara.

Darah segar bercucuran dari luka yang memenuhi tubuhnya. Mendadak Thio Yan-coan membuang goloknya.

baru saja dia mau berbangkit, sekonyong2 teringat olehnya bila berdiri akan berarti kalah. makanya tubuhnya cuma bergeliat sedikit, Lalu berduduk kembali sehingga belum sampai berbangkit dari kursinya. Dengan tertawa Sau-toako berkata: 'Thio-heng, kau sungguh sangat cerdik!. . . .”

Mendengar sampai disini, tanpa terasa semua orang sama menghela napas menyesal, semuanya merasa sayang bagi usaha Sau Peng-lam.

Gi-lim lantas menyambung pula: "Thio Yan-coan menjemput kembali goloknya dan berkata: 'Awas, Sauheng, akan kumainkan golok kilat. Bila terlambat sebentar lagi mungkin Nikoh cilik itu akan kabur dan sukar disusul.”

Aku menjadi gemetar mendengar dia akan mengejar diriku. Akupun kuatir Sau-toako akan dicelakai olehnya, aku menjadi bingung. Tiba2 teringat olehku sebabnya Sautoako bertempur mati2an dengan orang jahat itu adalah demi menolong diriku. Jika sekarang kubunuh diri didepan mereka, maka urusan akan menjadi beres dan Sau-toako tidak akan ikut menjadi korban.

-Segera aku melolos pedangku yang patah itu, selagi aku hendak melompat masuk kesana, mendadak kulihat Sautoako tergeliat, orangnya berikut kursinya jatuh terguling, kulihat tangan Sau-toako menahan lantai dan berusaha merangkak bangun dengan kursi yang masih menindih tubuhnya. Tapi lantaran lukanya cukup parah, seketika dia tak dapat berbangkit.

-Thio Yan-coan sangat senang, katanya dengan tertawa: 'Bagaimana. jago nomor dua bertempur sambil berduduk, lalu jago nomor berapa jika merangkak"“

Sambil bicara dan bergelak tertawa terus berdiri.

-Mendadak Sau-toako ter-bahak2, katanya: 'Aha, kau 'kalah!' Thio Yan-coan tertawa dan menjaWab: 'Kau sendiri sudah kalah sedemikian rupa, masa kau bilang aku yang kalah"' Sambil mendekam di lantai Sau-toako bertanya: 'Coba jawab, bagaimana menurut perjanjian kita"“

-Thio Yan-coan menjawab: 'Kita sudah berjanji akan bertempur dengan berduduk, barang siapa berdiri lebih dulu, bila pantat meninggalkan kursinya lantas dianggap ....

dianggap. . . . dianggap . . 'sampai beberapa kali dia menyebut dianggap dan tak dapat menyambung. Baru sekarang dia menyadari telah terjebak. Dia sendiri sudah berdiri, sebaliknya Sau-toako sejak tadi belum pernah berdiri, bahkan kursi juga masih menempel ditubuhnya, meski keadaannya rada runyam, tapi menurut perjanjian jelas Sau-toako yang menang.”

Serentak semua orang bersorak dan tertawa gembira.

Hanya Ciamtay Cu-ih saja yang mendengus, katanya: "Hm, bocah bergajul itu sengaja main akal bulus dengan bangsat cabul semacam Thio Yan-coan itu, apakah tidak membikin malu kaum Beng-bun-cing-pay kita?”

"Akal bulus apa katamu?" damperat Ting-yat dengan gusar. "Seorang lelaki sejati boleh adu akal dan tidak perlu adu kekuatan. Memangnya Hong hoa-wan kalian ada ksatria muda yang berbudi luhur begitu?”

Rupanya ia sangat berterima kasih kepada Sau Peng-lam setelah mengikuti cerita Gi-lim tadi, tanpa menghiraukan keselamatan sendiri Peng-lam telah menjaga nama baik Siong-san-pay serta menyelamatkan kesucian Gi-lim. Maka rasa marahnya semula kepada Sau Peng-lam kini sudah melayang ke-awang2.

Ciamtay Cu-ih menjengek pula: "Hm, ksatria muda ahli merangkak yang hebat!”

Dengan murka Ting-yat menjawab: "Apakah Hong-hoawan kalian. . . .”

Belum lanjut ucapannya, cepat Wi Kay-hou menyela, katanya kepada Gi-lim: "Lalu bagaimana Siausuhu, Thio Yan-coan mengaku kalah atau tidak?”

Gi-lim menutur pula: "Thio Yan-coan berdiri dengan melenggong, seketika ia merasa bingung dan dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sau-toako lantas berseru: 'Siau-sumoay dari Siong-san-pay, turunlah kemari, bahagialah kau mendapatkan murid baru!”

Kiranya dia sudah tahu sejak tadi persembunyianku di atas rumah. Meski orang she Thio itu terkenal jahat, tapi apa yang pernah dikatakannya tidak diingkarinya, waktu itu dengan mudah mestinya dia dapat membunuh Sau-toako, habis itu baru membekuk lagi diriku. Tapi semua ini tidak dilakukannya, dia malah berseru padaku: 'Dengarkan, nona cilik, lain kali bila kau berani bertemu lagi denganku. sekali tabas segcea akan kubinasakan kau.”

-Memangnya aku tidak sudi menerima orang jahat begitu sebagai murid, ucapannya itu sudah tentu kebetulan bagiku.

Habis bicara Thio Yan-coan lantas menyimpan goloknya terus melangkah pergi. Baru sekarang aku berani melompat turun, kubangunkan Sau-toako dan membububi lukanya dengan obat, kuhitung luka diseluruh tubuhnya berjumlah 18 tempat.”

Mendadak Ciamtay Cu-ih menyeletuk; "Selamat, Tingyat Suthay, selamat!”

"Selamat apa?" tanya Ting-yat dengan heran.

"Selamat padamu karena kau baru saja menerima seorang cucu murid yang termashur," kata Ciamtay Cu-ih.

Keruan Ting-yat menjadi murka, ia menggebrak meja dan hendak melabrak orang.

Tapi Thian-bun Tojin keburu mencegah. katanya: "Ciamtay-sicu, kukira tidak boleh kau omong begitu.

Antara Su-ki dan Sam-yu kita mana boleh berkelekar iseng begini?”

Karena merasa bersalah, pula merasa segan terhadap Thian-bun Tojin, maka Ciamtay Cu-ih melengos kesana dan pura2 tidak dengar.

Gi-lim lantas menyambung lagi ceritanya: "Sehabis kububuhi obat pada luka Sau-toako, tiba2 tangga loteng berbunyi, naiklah dua orang yang kukenal sebagai murid Hong-hoa-wan, satu diantaranya ialah si jahat Lo Ci-kiat ini. Dia memandang padaku, lalu memandang pula Sau toako, akhirnya aku lagi yang ditatapnya dengan sikap yang kurang sopan. Sau-toako melototi orang she Lo itu, mendadak ia tanya padaku: 'Sumoay, apakah kau tahu Kungfu apa yang menjadi andalan Hong hoa-wan"“

-Aku menjawab tidak tahu, sebab Kungfu Hong-hoa-wan kabarnya sangat banyak. Sau-toako berkata pula: "Kungfu andalan Hong-hoa-wan memang sangat banyak, tapi satu diantaranya yang paling terkenal ialah .... Hehe, agar tidak menyakitkan hati, biarlah tidak kukatakan.”

-Habis berkata ia melirik sekejap kearah Lo Ci kiat.

Karena itulah Lo Ci-kiat lantas mendekati Sau-toako dan membentak: 'Kungfu apa" Coba sebutkan!”

Dengan tertawa Sau-toako berkata: 'Sebenarnya tidak ingin kukatakan, apakah kau sengaja memaksa kukatakan”

Baiklah, Kungfu itu adalah jurus yang disebut belibis hinggap ditanah pasir dengan pantat lebih dulu!”

"Lo Ci-kiat menggebrak meja dan membentak: 'Omong kosong! Tidak ada jurus belibis jatuh dengan pantat lebih dulu segala! Ngaco belo!”

Sau-toako tertawa dan menjawab: 'Itulah jurus andalan Tang-wan kalian. masa tidak pernah kau-dengar. Apa kau ingin tahu" Coba kau membalik tubuhmu, biar kupertunjukkan jurus tersebut!”

-Rupanya Lo Ci-kiat tahu Sau-toako sengaja hendak menyindirnya, segera ia menjotos. Mestinya Sau-toako hendak mengelak, tapi dia sudah terlalu banyak kehilangan darah, tenaganya sangat lemah, baru bergerak segera dia jatuh terduduk lagi, Jotosan lawan dengan tepat mengenai hidungnya sehingga mencucurkan darah pula. . . Segera Lo Ci-kiat hendak menghantam lagi, tapi dapat kutangkis, kataku: 'Jangan kau serang orang yang terluka parah, memangnya terhitung orang gagah macam apa tindakanmu ini"' Lo Ci-kiat lantas memaki: Nikoh cilik, rupanya kau terpikat oleh bangsat cilik yang ganteng ini ya" Hayo, menyingkir, kalau tidak, nanti kaupun kuhajar!”

-Aku menjawab: 'Kutahu kau ini murid Tang-wan, kau berani menghina diriku, pasti akan kulaporkan kepada gurumu Hong-hoa-wancu.”

-Dia menjawab dengan cengar-cengir: 'Huh; kau sendiri tidak patuh pada peraturan suci, setiap orang dapat menghajar kau!”

Berbareng sebelah tangannya terus meraih diriku, cepat kutangkis, tak terduga dia cuma memancing saja, tangan yang lain mendadak mencolek pipiku sambil bergelak tertawa. Gusar dan dongkol aku, beruntun kuserang tiga kali dan semuanya dapat dihindarkan olehnya.

-Tiba-tiba Sau-toako berkata padaku: 'Sumoay, tidak perlu kau gubris dia, biar kuatur tenagaku sebentar lagi dan segalanya akan beres.”

Kulihat air muka Sau-toako pucat lesi. Pada saat itulah Lo Cia-kiat berlari maju hendak memukulnya lagi. Tapi mendadak sebelah kaki Sau-toako mendepak dan tepat mengenai bokongnya. Karena depakan yang cepat lagi jitu itu. Lo Ci-kiat tidak dapat berdiri tegak lagi, ia jatuh terguling ke bawah loteng.

-Dengan suara pelahan Sau-toako berkata padaku: Sumoay, inilah jurus paling diandalkan Hong-hoa-wan mereka, namanya belibis hinggap di padang pasir dan jatuh dengan pantat lebih dulu. Coba lihat, cara jatuhnya tadi mirip nama jurus itu bukan”

-Aku hendak tertawa. tapi melihat wajahnya kian lama kian pucat, aku menjadi kuatir, kataku: 'Hendaklah kau istirahat sebentar dan jangan bicara.”

Kulibat lukanya mengalirkan darah lagi, jelas depakannya tadi terlalu kuat menggunakan tenaga sehingga lukanya pecah lagi.

-Dalam pada itu Lo Ci-kiat yang terguling kebawah loteng itu telah berlari ke atas loteng lagi, kini dia sudah membawa sebilah golok melengkung ia membentak: 'Kau ini Sau Peng-lam dari Lam-han bukan"“

Sau-toako menjawab dengan tertawa: 'Murid Tang-wan yang pamer jurus jatuh dengan bokong lebih dulu, termasuk anda sudah berjumlah tiga orang. Pantas .... pantas . . . .”

-Sambil bicara ia terus ter-batuk2. Kukuatir Lo Ci-kiat mencelakai dia, maka akupun melolos pedang dan berjaga disamping. Lo Ci-kiat lantas bicara kepada temannya: 'Le-sute, kau layani Nikoh cilik ini.”

Temannya mengiakan, dengan golok melengkung segera dia membacok diriku. Terpaksa kutangkis dengan pedang, Disebelah sana Lo Ci-kiat juga melancarkan serangan gencar terhadap Sau-toako. Sekuatnya Sau-toako menangkis, keadaannya cukup gawat. Bseerapa jurus lagi, pedang Sau-toako terbentur jatuh. Segera golok Lo Ci-kiat mengancam di dada Sau-toako dan mengejek dengan tertawa: 'Asalkan kau panggil kakek tiga kali padaku, segera kuampuni jiwamu.”

-Sau-toako tertawa, jawabnya: 'Baik, akan kupanggil, sesudah itu, kau harus mengajarkan jurus. . . .jurus belibis jatuh dengan pantat lebih dulu padaku. . . .' Belum habis ucapannya, si jahat Lo Ci-kiat ini terus mendorong goloknya dan menancap di dada Sau-toako, hati orang jahat ini sungguh amat keji dan kejam. . . .”

Bercerita sampai disini, air mata Gi-lim lantas berderai membasahi kedua pipinya. Dengan tersendat ia menyambung pula: "Mel. . . melihat keadaan Sau-toako itu.

segera kuterjang kesana hendak mencegahnya, namun golok melengkung Lo Ci-kiat itu sudah menikam dada Sautoako . . .”

Seketika semua orang sama bungkam. suasana menjadi hening. Ciamtay Cu-ih merasa sorot mata orang banyak tertuju kearahnya dengan penuh rasa benci dan gusar serta menghina. Dia ingin bicara sesuatu, tapi tidak tahu apa yang yang harus dikatakan.

Selang sejenak barulah dia berucap: "Ceritamu ini kukira tidak seluruhnya benar dan tidak sejujurnya. Kau bilang Lo Ci-kiat telah membunuh Sau Peng-lam, tapi mengapa Ci-kiat meninggal pula di tangan bocah she Sau itu?”

"Setelah tertikam goloknya, Sau-toako tertawa." tutur Gi-lim pula. "Dia lantas membisiki aku; 'Siausumoay, ada .... ada suatu rahasia besar akan kuceritakan padamu. Kau tahu jurus pedang nomor satu didunia, yaitu Siang-liu-kiam-hoat, kitab .... kitab pusaka ilmu pedang itu ber.... berada di . . . . makin lirih suaranya sehingga akupun tidak mendengar, hanya kelihatan bibirnya saja ber-gerak2 dan entah apa yang dikatakan. . . .”

Tujuan Ciamtay Cu-ih mengirim keempat muridnya, yaitu "Eng Hiong Ho Kiat", kedaerah Tionggoan, maksudnya ingin mencari tahu sumber berita mengenai Siang-liu-kiam-hoat ilmu pedang nomor satu di dunia itu.

Jika di Tionggoan betul muncul ilmu pedang tersebut, maka mereka diwajibkan segera memberi laporan.

Sekarang ia sendiri mendengar Gi-lim menyinggung Siang-liu-kiam-hoat, tentu saja ia terkesiap, seketika ia menjadi tegang, tanyanya: "Di .. .dimana. . . .”

Maklum, sejak tersiarnya berita tentang Siang-liu-kiamhoat nomor satu di dunia, sejak itu hampir setiap orang persilatan sama menaruh perhatian terhadap jejak kitab pusaka ilmu pedang itu, siapapun ingin menemukan kitab itu dan menjadi jago pedang nomor satu di dunia.

Hanya saja selama berpuluh tahun cuma berita itu saja yang tersiar, tapi belum pernah terbukti Siang-liu-kiam-hoat muncul di dunia persilatan, maka lama2 orangpun sama melupakannya dan menganggapnya sebagai isyu belaka.

Tapi Ciamtay Cu-ih tahu Siang-liu-kiam-hoat itu benar2 ilmu pedang keluarga Sau dari Pak-cay dan bukan omong kosong belaka. Selama 27 tahun ini tidak pernah dia melupakan jejak Siang-liu-kiam- boh meski dia jauh berada dilautan timur sana, Sekarang mendadak terdengar beritanya, maka iapun ingin tahu dan bertanya dimana beradanya kitab pusaka itu. Tapi segera teringat olehnya bilamana terang2an ia ikut bertanya tentang kitab pusaka itu, hal ini sama artinya dirinya juga mengincar kitab pusaka yang dianggap cuma isyu oleh orang lain itu.

Sebab itulah dia tidak lantas bertanya lebih lanjut, diam2 ia hanya berharap Gi-lim yang masih hijau itu akan bercerita terus terang rahasia apa yang didengarnya. asalkan dirinya mengetahui jejak kitab pusaka itu. maka tidak sulit baginya untuk memastikan pemilik kitab itu masih hidup atau sudah mati.

Jadi yang diperhatikan olehnya sesungguhnya bukan dimana beradanya Siang-liu-kiam-hoat melainkan matihidupnya Sau Ceng-in dari Pak-cay.

Semua orang tidak memperhatikan gerak-gerik Ciamtay Cu-ih, merekapun tidak peduli cerita Gi-lim tentang Siangliu-kiam-boh segala, sebab mereka menganggap hal itu cuma isyu, cuma desas-desus cuma omong-kosong belaka, di dunia ini hakikatnya tidak ada Siang-liu-kiam-hoat, Mereka cuma menduga sebabnya Sau Peng-lam menyebut Siang-liu-kiam-boh sebelum ajalnya itu pasti mempunyai maksud tujuan tertentu.

Betul juga, segera terdengar Gi-lim bercerita pula: "Ketika mendengar Sau-toako bicara tentang ilmu pedang nomor satu di dunia, Lo Ci-kiat jadi ketarik dan ingin tahu.

ia mendekati Sau-toako dan berjongkok, ia ingin mendengarkan kitab pusaka itu berada dimana. Diluar dugaan mendadak Sau-toako menyambar pedangnya yang terjatuh dilantai itu, terus dicobloskan ke perut Lo Ci kiat. .

. .Kontan orang jahat she Lo itu terjungkal, kaki dan tangannva berkelejotan, dan tidak dapat bangun lagi.

Kiranya Sau-toako dapat menyelami ketamakan orang yang mengincar Siang-liu-kiam-boh, maka ia sengaja memancing si jahat she Lo itu kedekatnya, lalu membunuhnya untuk melampiaskan sakit hatinya. . . .”

Habis bercerita, Gi-lim menjadi lemas lunglai, ia bergeliat dan jatuh pingsan. Cepat Ting-yat menahan pinggang Gi-lim dan memandang Ciamtay Cu-ih dengan menndelik. Semua orang sama terdiam, semuanya sama membayangkan betapa mendebarkan pertarungan yang terjadi di Cui-sian-lau itu.

Dalam pandangan Thian-bun Tojin, Bun-sian-sing, Ho Sam-jit dan lokoh2 kelas tinggi, sudah tentu ilmu silat Sau Peng-lam, Lo Ci-kiat dan lain2 mungkin tiada sasuatu yang istimewa, tapi apa yang terjadi dalam pertarungan sengit itu sangat ngeri dan jarang terjadi didunia Kangouw. Apalagi kejadian itu dk'sahkan o!eh seorang N'koh jilita se-bagai Gi litr, je'as nada seiuatu yang sengajn di-besar2kan atau di-bumbu2i.

Thian-bun Tojin lantas tanya Te-coat Tojin; "Sute, setelah terluka, lalu kau kemana?”

"Maksudku hendak lari ke bawah loteng untuk mencari bala bantuan guna menumpas bangsat cabul itu," tutur Te-coat, "Tapi lantaran lukaku terlalu parah. setiba dibawah aku lantas jatuh tersungkur dan tidak dapat bergerak lagi.”

"Jika demikian, jadi kau pun menyaksikan sendiri apa yang terjadi itu?" tanya Thian-bun.

"Ya, Sau Peng-lam dan Lo Ci-kiat sama2 berhati keji dan bertindak kejam, akhirnya keduanya gugur bersama," jawab Te-coat Tojin.

Sorot mata Ciamtay Cu-ih lantas beralih ke arah Kiau Lo-kiat. dengan muka guram ia mendengus: "Kiau-hiantit, beberapa hari yang lalu Sau Peng-lam telah melukai Ci-eng dan Ci-hiong, pagi tadi dia membinasakan Ci-kiat pula di tempat yang sama. Sesungguhnya Tang-wan kami ada permusuhan apa dengan Lam-han kalian sehingga tanpa sebab musabab Suhengmu selalu mencari perkara kepada anak murid Tang-wan kami?”

Kiau Lo-kiat menggeleng, jawabnya: "Entah, Tecu tidak tahu. Semua itu adalah sengketa pribadi antara Sau-toasuheng dengan Lo-suheng dari Tang-wan kalian, sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan hubungan baik antara Tang-wan dan Lam-han.”

Walaupun begitu, dalam hati Kiau Lo-kiat berpikir besar kemungkinan Toa-suheng mengetahui tindak-tanduk anak murid Tang-wan yang tidak pantas, makanya Toa-suheng menjadi marah dan sengaja hendak menghajar mereka.

Sudah tentu kuatir bikin marah Ciamtay Cu-ih, maka apa yang dipikirnya itu tidak berani dikatakannya.

Ciamtay Cu-ih lantas mendengus: "Hm, tidak ada sangkut-paut apa, mengapa kau mengelakkan tanggungjawab. . . .”

Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara gedubrakan, daun jendela disebelah kiri mendadak terpentang didobrak orang, lalu melayang masuk satu orang. Para hadirin adalah jago2 kelas tinggi dan dapat memberi reaksi dengan cepat, begitu melihat sesuatu, segera mereka menyingkir kesamping dan siap siaga.

Belum lagi terlihat jelas siapa orang yang melayang masuk itu, "brak", kembali melayang masuk pula satu orang. Keduanya terus mendekam di lantai dan tidak bergerak. Dari pakaian mereka yang serba putih jelas mereka adalah anak murid Tang-wan. Di bagian bokong mereka jelas kelihatan ada bekas di depak oleh kaki.

Terdengar di luar jendela ada orang berseru lantang: "Inilah gaya belibis hinggap di padang pasir dan jatuh dengan pantat lebih dulu!”

Secepat terbang Ciamtay Cu-ih terus melayang keluar jendela disertai dengan suatu pukulan dahsyat, sebelah tangannya menolak ambang jendela, ttubuhnya terus melayang ke atap rumah, dengan sebelah kaki berdiri ditepi emper, berpuluh tombak disekelilingnya dapat dilihat dengan jelas. Akan tetapi suasana sunyi senyap. hujan rintik2, malam kelam, tiada nampak bayangan seorangpun, ia pikir orang ini tentu sembunyi disekitar sini, tidak mungkin dalam waktu sekejap ini menghilang tanpa bekas. Ia menyadari orang ini pasti lawan tangguh, segera ia lolos golok melengkung, dengan gerak cepat ia mengitar satu keliling gedung keluarga Wi ini.

Waktu itu kecuali Thian-bun Tojin yang menjaga gengsi dan tetap berduduk ditempatnya, yang lain seperti Ting-yat Suthay, Ho Sam-jit, Bun-siansing dan tokoh2 lain serentak juga ikut melompat keluar. mereka sempat melihat seorang tua berjubah putih bertubuh pendek gemuk sedang meluncur dengan cepat dalam kegelapan, begitu cepat sehingga mirip sejalur bayangan putih berkelebat di kejauhan. Diam2 mereka sangat kagum terhadap Ginkang Ciamtay Cu-ih yang tinggi dan tidak malu sebagai salah satu tokoh Su-ki yang terkenal itu.

Meski sangat cepat Ciamtay Cu-ih memeriksa sekitar kediaman keluarga Wi itu, hampir setiap pelosok telah ditelitinya. Sesudab mengitar satu keliling, lalu dia melompat masuk kembali keruangan tamu tadi. Dilihatnya kedua muridnya masih meringkuk dilantai, pada pantat mereka masih terlihat jelas bekas kaki yang membikin matu Hong hoa-wan dari Tang wan itu.

Segera Ciamtay Cu-ih meraih salah seorang itu sehihgga rebah telentang, dilihatnya orang ini adalah muridnya yang bernama Sun Ci-cun, sedang seorang lagi ialah Ko Ci-thong.

Dia menepuk Hiat-to Sun Ci-cun, lalu bertanya: "Kau dikerjai siapa tadi?”

Sun Ci cun ingin bicara, tapi sukar mengeluarkan suara.

Ciamtay Cu ih terkejut. Caranya membuka Hiat-to yang tertutuk itu sudab hampir menggunakan tenaga dalam yang penuh, tapi Hiat-to Sun Ci-cun ternyata beium lagi terbuka, maka dapat diketahui tenaga tutukan lawan terlebih kuat dari pada dirinya.

Biarpun perawakan Ciamtay Co-ih pendek gemuk, tapi semangat tempurnya sangat kuat, setelah mengetahui sedang menghadapi musuh lihay, dia tidak menjadi keder, sebaliknya bertambah semangat.

Diam2 ia mengerahkan tenaga dalam sendiri dan disalurkan ke Leng-tay-hiat di punggung Ci-cun. Selang sebentar lagi, pelahan2 Ci-cun mulai dapat bersuara: "Su ....

Suhu . . . .”

Ciamtay Cu-ih tidak menjawabnya, ia menyalurkan tenaga dalamnya lebih lanjut. Akhirnya dapatlah Ci-cun bicara dengan jelas: "Suhu, Tecu tidak tahu siapa lawan itu.”

"Dimana kalian dikerjai dia?" tanya Ciamtay Cu-ih.

"Tecu dan Ko-sute sedang buang air diluar sana, mendadak Tecu merasa punggung kesemutan dan begitulah kami telah dikerjai oleh keparat jahanam itu,"' tutur Ci-cun.

"Hus, orang adalah tokoh kelas tinggi dunia persilatan, jangan sembarangan memaki!" damperat Ciamtay Cu-ih.

Terpaksa Ci-cun mengiakan dan tidak berani bersuara lagi. Seketika Ciamtay Cu-ih tidak dapat meraba orang macam apakah pihak lawan. Waktu ia berpaling, dilihatnya Thian-bun Tojin tenang2 saja seperti tidak mau tahu terhadap apa yang terjadi, Mendadak terpikir olehnya: "Ah, jangan2 orang itu berada di tengah orang banyak diruangan pendopo?”

Segera ia mengajak Ci-cun ke ruangan besar, dilihatnya orang lagi ramai membicarakan kematian seorang murid Yan-san-pay dan seorang murid Tang-Wan. Semua orang lantas bungkam demi nampak munculnya Ciantay Cu-ih.

Sorot mata Ciamtay Cu-ih yang tajam itu menyapu pandang wajah setiap orang. Yang hadir disitu semuanya adalah jago angkatan muda, meski tidak banyak yang dikenalnya, tapi dari dandanan mereka hampir sebagian besar diketahuinya dari golongan atau aliran mana. Ia menduga diantara jago angkatan muda ini pasti tiada yang memiliki tenaga dalam sekuat itu, apabila orang itu mencampurkan diri disini tentu akan kelihatan menyolok.

Se-konyong2 sorot matanya yang tajam berhenti pada diri satu orang.

Bentuk orang ini agak janggal dan memuakkan. Entah sakit bisul atau sebab lain, mukanya tertempel beberapa potong koyok, punggungnya menonjol, jelas seorang bungkuk. Mendadak Ciamtay Cu-ih teringat kepada satu orang, Ia terkejut. Pikirnya: "Apakah mungkin dia" Konon orang ini mengasingkan diri jauh di utara yang dingin sana dan tidak pernah masuk ke Tionggoan, juga tiada sesuatu hubungan dengan Ngo-tay-lian-beng, mengapa dia bisa hadir di tempat Wi Kay-hou ini" Tapi kalau bukan dia, di dunia persilatan kan tiada orang bungkuk lain yang berbentuk seperti ini" Wah, jika betul dia, rasanya sukar dilayani.”

Pandangan semua orang serentak juga beralih kesana mengikuti tatapan Ciamtay Cu-ih. Beberapa orang yang berusia agak lanjut dan berpengalaman segera bersuara heran. Wi Kay-hou juga lantas tampil kedepan dan memberi hormat kepada orang bungkuk itu, katanya: "Maaf, sama sekali Cayhe tidak tahu kehadiran anda sehingga tidak melakukan penyambutan selayaknya.”

Padahal si bungkuk itu sama sekali bukan tokoh kosen dunia persilatan segala, dia tak-lain-tak-bukan ulah Soat Peng-say. Dia menyamar sebagai orang bungkuk, tapi kuatir dikenal orang Tang-wan, maka sejak tadi dia selalu memencilkan diri dibelakang orang banyak dengan menunduk. Sekarang pandangan orang banyak sama terpusat kepadanya, seketika Peng-say serba susah, cepat ia berbangkit dan membalas hormat Wi Kay-hou, katanya;"Ah, mana Cayhe berani menerima penghormatan sebesar ini.”

Wi Kay-hou tahu tokoh bungkuk yang disegani itu berasal dari daerah utara, tapi logat orang ini jelas orang dan daerah Tionggoan. Umurnya juga tidak cocok, diam2 ia menjadi curiga.

Tapi iapun tahu tindak-tanduk tokoh bungkuk itu selamanya sukar diraba, maka dia masih tetap bersikap hormat dan berkata: "Cayhe Wi Kay-hou, mohon tanya siapa nama anda yang terhormat?”

Melihat orang sudah berusia lanjut, juga tergolong Bulim cianpwe atau angkatan tua dunia persilatan, tapi sedemikian menaruh hormat kepada dirinya, betapapun Peng-say merasa rikuh, dengan gugup ia menjawab: ' O, Cayhe she Soat.”

"Apakah Soat artinya salju?"' tanya Wi Kay-hou.

"Betul, betul, Soat artinya salju." jawab Peng-say.

Jawaban ini membuat beberapa orang bersuara kaget pula. Sebab tokoh bungkuk yang tinggal di daerah utara yang dingin dan sepanjang tahun diliputi salju itu memang she Soat.

Orang she Soat tidak banyak, sekarang diketahui Pengsay mengaku she Soat, bentuknya juga bungkuk dan bermuka jelek, segera orang menyangka dia ini benar2 tokoh bungkuk dari utara itu.

Tapi setelah Wi Kay-hou memancingnya lebih cermat, diketahuinya usia Peng-say selisih terlalu jauh dengan tokoh yang terkenal itu, rasanya tidak mungkin si tokoh itu sendiri, andaikan ada hubungannya, paling2 juga cuma angkatan mudanya.

Maka dia lantas bertanya: "Cara bagaimana anda menyebut Say-pak-beng-to Soat-tayhiap" Apakah beliau itu angkatan tua anda?”

Karena Ciamtay Cu-ih masih menatapnya dengan sikap garang Peng-say kuatir penyamarannya diketahui, bilamana hal ini terjadi, lalu setelah ditanya dan diketahui pula dirinya bukan anak murid Lam-han, besar kemungkinan Ciamtay Cu-ih akan mendesak pula pengakuan Kiau Lokiat tentang siapa yang ikut membunuh anaknya, dan kalau Kiau Lo-kiat mengaku, maka dirinya bisa celaka.

Dalam keadaan kepepet begini dilihatnya Wi Kay-hou sangat menghormat kepada pendekar besar yang juga she Soat itu, diam2 Peng-say merasa akan lebih aman jika untuk sementara dirinya mengikuti arah angin saja agar penyamarannya tidak diketahui Ciamtay Cu-ih, maka dia lantas menjawab pertanyaan Wi Kay-hou tadi.

"Kau tanya tentang Say-pak-beng-to Soat-tayhiap" Hehe, beliau memang boleh dikatakan angkatan tua kami!”

Karena tidak menemukan orang lain yang mencurigakan di ruangan ini, Ciamtay Cu-ih menduga orang yang mengerjai kedua muridnya itu pasti si bungkuk ini. Jika menghadapi Say-pak-beng-to (si unta sakti dari utara) Soat Ko-hong sendiri, mungkin dirinya harus berpikir dua kali, tapi orang ini hanya angkatan muda keluarga Soat, kenapa mesti takut padanya. Apalagi dia yang mencari perkara lebih dulu kepada Tang-wan, Sebagai satu di antara Su-ki yang disegani, selama hidup Ciamtay Cu-ih tidak pernah tunduk kepada siapapun juga, sekarang iapun tidak rela Tang-wan dihina orang. Segera ia mendengus: "Hong-hoa-wan dan Soat-siansing dari Say-pak selamanya tiada sesuatu sengketa apapun, entah sebab apa anda telah meaghajar muridku yang tak becus ini?”

Menghadapi Ciamtay Cu-ih, Peng-say jadi ingat orang ini sengaja menyuruh anaknya berbuat se-wenang2, bahkan menyuruhnya menikahi puterinya sendiri, perbuatan demikian tiada ubahnya seperti hewan, seketika darah bergolak di rongga dada Peng say, saking gemasnya segera ia hendak memakinyi sebagai hewan. Tapi segera teringat lagi akibatnya jika dirinya bertindak ceroboh, mungkin gagal menolong adik Leng, sebaliknya jiwa sendiripun akan melayang disini.

Karena tidak tahu apa maksud ucapan Ciamtay Cu-ih tadi, tapi iapun mengikuti nada orang dan menjawab: "Anakmu sendiri berbuat jahat, muridmu pasti juga bukan orang baik2. Selama hidup Say-pak-beng-to Soat-cianpwe suka melakukan kebajikan, menumpas kaum lalim dan membantu kaum lemah. Aku yang menjadi angkatan muda beliau dengan sendirinya juga ingin mewakilkan beliau untuk memberi hajaran kepada muridmu.”

Tidak kepalang gusar Ciamtay Cu-ih sehingga mukanya merah padam. Sedangkan Wi Kay-hou bertambah yakin Soat Peng-say pasti anak murid Soat Ko-hong, setelah mendengar jawabannya itu, ia menjadi kuatir Ciamtay Cu-ih akan menyerang Soat Peng-say, akibatnya tentu akan mendatangkan pembalasan Soat Ko-hong yang terkenal sukar dilayani itu. Maka cepat ia menengahi, katanya: "Ciamtay-wancu dan Soat-heng, kalian berkunjung kemari, dengan sendirinya kalian adalah tamu agungku. Hendaklah kalian ingat diriku dan sudilah minum secawan perdamaian. Hayo ambilkan arak!”

Segera kaum pelayan mengiakan dan menuangkan arak! Sudah tentu Ciamtay Cu-ih tidak gentar terhadap si bungkuk muda ini, tapi teringat kepada macam2 tindakan keji Soat Ko-hong seperti yang tersiar di dunia kangouw, betapapun ia sungkan untuk bermusuhan dengan orang begitu. Akan tetapi ketika arak disodorkan oleh pelayan, ia tidak lantas menerimanya, ia ingin tahu dulu bagaimana sikap lawan. Sebaliknya Soat Peng-say juga sangat gemas terhadap Ciamtay Cu-ih, terutama bila ingat orang ini mengharuskan adik Leng menjanda selama hidup bagi anaknya, meski dia jeri terhadap kepandaian orang, namun hal ini tidak mengurangi rasa bencinya kepada Ciamtay Cu-ih.

Karena itulah iapun memandang Ciamtay Cu-ih dengan melotot, iapun tidak menerima arak yang disodorkan kepadanya. Malahan mestinya dia ingin memaki orang, tapi terpengaruh oleh wibawa Ciamtay Cu-ih, ia tidak berani bersuara. Mendadak Ciamtay Cu-ih menjengek: "Eh, marilah kita berkawan . ..." berbareng itu secepat kilat dia jabat sebelah tangan Soat Peng-say.

Cepat Peng-say meronta, tapi tidak terlepas, segera ia merasakan tangannya kesakitan, tulang telapak tangan sampai bunyi berkeliutan, rasanya akan hancur teremas.

Tapi Ciamtiy Cu-ih tidak lagi mengerahkan tenaga remasannya, maksudnya cuma hendak membikin Soat Peng-say kesakitan dan minta ampun saja. Tak terduga Peng-say memang anak bandel. biarpun sakitnya merasuk tulang, namun karena bencinya terhadap Ciamtay Cu-ih, biar matipun dia tidak sudi minta ampun, Maka sama sekali ia tidak bersuara,, ia hanya meringis kesakitan dan tetap bertahan.

Wi Kay hou dapat melihat butiran keringat sebesar kedelai menghiasi dahi Soat Peng-say, namun anak muda ini masih tetap bertahan tanpa bersuara, diam2 iapun kagum terhadap kekerasan hati Peng-say. Segera ia bermaksud melerai.

Tapi sebelum dia bersuara, se-konyong2 seseorang berseru dengan suara melengking tajam! "Ciamtay-wancu, kenapa kau iseng dan merecoki anak Soat Ko-hong"!”

Waktu semua orang berpaling, terlihatlah di depan pintu berdiri seorang bungkuk pendek gemuk.

Muka orang bungkuk ini penuh panu, banyak pula toh hijau dan berbulu, mukanya sungguh jelek, tubuhnya gemuk dan sangat pendek, ditambah lagi punggungnya yang menggunung, dipandang dari jauh mirip satu biji bakpao raksasa.

Kebanyakan hadirin tidak pernah melihat muka asli Soat Ko-hong. Sekarang pendatang ini memberitahukan namanya sendiri dan cocok dengan potongannya yang aneh itu, maka terkesiap juga orang banyak.

Yang lebih hebat lagi, si bungkuk yang buntak ini tampaknya sangat lambat gerak-geriknya tapi entah cara bagaimana, tahu2 dia telah menggelinding kesamping Soat Peng-say. Sambil menepuk pundak Peng-say, dengan tertawa ia berkata. "Anak baik, cucu sayang, kau telah membual bagi kakek, bahwa kakek suka menumpas yang lalim dan menolong kaum lemah, semua obrolanmu itu sungguh sangat menyenangkan hatiku!”

Tapi ia terkejut karena tepukannya tidak membuat pegangan Ciamtay Cu-ih terlepas. Maka sembari bicara dengan Soat Peng-say ia terus mengerahkan tenaga dalamnya, waktu dia menepuk lagi untuk kedua kalinya, sekarang telah digunakan tenaga sepenuhnya.

Pandangan Peng-say menjadi gelap, darah terasa bergolak dan hampir saja tertumpah keluar, sebisanya dia bertahan dan menelan kembali darah yang akan membanjir keluar itu. Tangan Ciamtay Cu-ih sekarang juga merasa kesakitan dan tidak sanggup menjabat lebih erat lagi, terpaksa ia lepas tangan dan mundur selangkah, pikirnya: "Keji amat hati orang bungkuk ini, demi untuk menggetar lepas tanganku, dia tidak segan2 menimbulkan luka dalam anak-buahnya sendiri." Tapi Soat Peng-say lantas bergelak tertawa, katanya kepada Ciamtay Cu-ih: "Haha, tampaknya Kungfu Honghoa-wan kalian juga cuma begini saja, kalau dibandingkan Soat-cianpwe ini sungguh selisih sangat jauh, kukira lebih baik kau angkat guru saja kepada Soat-cianpwe dan mungkin kau akan tambah pandai. . . .”

Sebenarnya luka dalam Soat Peng-say cukup parah, waktu bicara, isi perutnya serasa berjungkir balik tak keruan, sekuatnya ia selesaikan ucapannya dan tubuhpun ter-huyung2. Ciamtay Cu-ih berkata: "Baik, kau suruh aku belajar kepada Soat-siansing, saranmu ini memang sangat baik.

Kau sendiri adalah anak murid Soat siansing, kepandaianmu tentu juga sangat tinggi biarlah kubelajar kenal dulu dengan kau.”

Dengan ucapannya itu secara langsung dia menantang Soat Peng-say, sebagai seorang tokoh ternama, dengan sendirinya Soat Ko-hong tidak dapat ikut campur.

Soat Ko-hong lantas menyurut mundur dua tindak, katanya dengan tertawa; "Eh. cucuku sayang, kukira kepandaianmu masih terlalu cetek, jelas kau bukan tandingan Hong hoa-wancu, begitu gebrak tentu kau bisa dibinasakan olehnya. Padahal kakek sudah terlanjur sayang kepada cucu ganteng seperti kau ini, jika terbunuh tentu sukar mencari cucu yang lain. Begini saja, kau berlutut dan menyembah serta panggil kakek padaku dan mintalah agar kakek turun tangan bagimu.”

Soat Peng-say memandang Ciamtay Cu-ih sekejap, lalu memandang Soat Ko-hong pula. Pikirnya: "Jika benar harus kuhadapi orang she Ciamtay ini, bisa jadi sekali gebrak saja aku akan terbunuh lalu cara bagaimana dapat kuselamatkan adik Leng" Sebaliknya, seorang lelaki gagah perwira mana boleh tanpa alasan menyebut orang bungkuk ini sebagai kakek, aku terhina tidak menjadi soal, tapi leluhur juga ikut terhina, itulah yang tidak boleh terjadi. Sekali aku menyembah padanya, itu berarti aku telah minta perlindungan kepada Say-pak-beng-to lalu selamanva sukar lagi bagiku untuk mengangkat namaku sendiri.”

Karena pikirannya bergolak, tubuh Peng-say menjadi gemetar. "Hm. kukira kau memang pengecut!" demikian Ciamtay Cu-ih mengejek pula, "Maka lebih baik kau menyembah dan mobon bantuan orang, kan tidak menjadi soal bagimu?" Lamat2 ia dapat melihat hubungan Soat Peng-say dan Soat Ko-hong rada2 luar biasa, jelas bukan anggota keluarga sendiri, buktinya Peng-say cuma menyebut tokoh bungkuk itu sebagai "Cianpwe" dan tidak menggunakan panggilan lain. Sebab itulah ia sengaja memancingnya dengan kata2 yang menusuk perasaan, asalkan Soat Pengsay tidak tahan dan maju sendiri untuk menghadapi dia, maka urusan menjadi mudah diselesaikan.

Pikiran Peng-say juga sedang bekeria, teringat olehnya selama lebih sebulan ini, sejak di Siau-ngo-tay-san dirinya dikalahkan Liok-ma, ber-turut2 ditemui pula tokoh2 kelas tinggi, kepandaian sendiri sesungguhnya selisih sangat jauh dibandingkan anak murid Su-ki maupun Sam-yu, jelas untuk menolong adik Leng bukanlah pekerjaan yang mudah. Tapi teringat olehnya cerita sejarah di jaman permulaan dinasti Han, sebelum masa jayanya Han Sin pernah dihina orang dengan disuruh merangkak lewat selangkangan, tapi dia rela melakukannya dan akhirnya malah mendapat pahala dan jadilah dia panglima yang tak terkalahkan dan berhasil ikut membangun dinasti Han yang jaya itu.

Seorang lelaki sejati, jika tidak sabar terhadap soal kecil, tentu akibatnya akan mengacaukan urusan besar. Asalkan kelak dapat berjaya dan menonjol, apa halangannya sekarang mendapatkan sedikit hinaan”

Karena pikiran itulah, mendadak ia membalik tubuh terus berlutut kepada Soat Ko-hong, disembahnya tokoh bungkuk itu, katanya: "Kakek, kelakuan Ciamtay Cu-ih ini tiada ubahnya seperti hewan, setiap orang Bu-lim wajib membunuhnya. Untuk itu hendaklah kakek menegakkan keadilan dan menumpas orang jahat ini bagi dunia Kangouw. Perbuatan Soat Peng-say ini benar2 diluar dugaan siapapun juga termasuk Soat Ko-bong dan Ciamtay Cu-ih, tiada seorangpun yang menyangka anak muda yang keras kepala ini mau tunduk dan menyembah kepada orang.

Hendaklah dimaklumi bahwa setiap orang persilatan pada umumnya mengutamakan nama dan kehormatan, biarpun di-sayat2 juga tidak mau tunduk, apalagi dihina di depan umum.

Tadinya semua orang mengira si bungkuk muda ini adalah cucu Soat Ko-hong, umpama bukan cucu sungguh2, mungkin juga cucu murid atau cucu keponakan dan sebagainya. Hanya Soat Ko-hong sendiri yang tahu anak muda ini tiada sangkut-paut sedikitpun dengan dirinya.

Namun Ciamtay Cu-ih dapat melihat ketidak beresan diantara hubungan Soat Ko-hong dan Soat Peng-say itu, hanya saja ia tidak dapat menerka dengan pasti huhungan sesungguhnya antara kedua orang itu, namun didengarnya panggilan "kakek" yang diucapkan Peng-say itu terasa sangat dipaksakan. ia menduga mungkin anak muda itu takut mati, maka terpaksa memanggil kakek kepada si bungkuk untuk minta perlindungan.

Begitulah Soat Ko-hong lantas bergelak tertawa dan berseru: "Hahahaha! Cucu sayang, bagaimana, apakah kita benar2 hendak main2?”

Kedengarannya dia bicara kepada Soat Peng-say, tapi dia berkata sambil menghadapi. Ciamtay Cu-ih, jadi ucapannya "cucu sayang" itu se-akan2 ditujukan kepada tokoh Tang-wan itu.

Keruan Ciamtay Cu-ih tambah murka, ia tahu pertarungan ini bukan saja menyangkut mati-hidupnya sendiri, bahkan juga menyangkut jaya dan runtuhnya Honghoa-wan. Maka diam2 ia menghimpun tenaga dan siap siaga, ia tertawa hambar dan berkata: "Rupanya Soat-siansing ada maksud pamer ilmu saktinya di depan orang banyak, agar semua orang dapat menambah pengalaman, terpaksa kuiringi kehendak Soat-siansing.”

Dari tepukan Soat Ko-hong tadi Ciamtay Cu-ih sudah tahu tenaga dalam si bungkuk terlebih kuat daripada dirinya, bahkan kelihatan sangat keras, sekali dilontarkan sukar ditahan lagi dan pasti akan terus melanda lawan seperti gugur gunung dahsyatnya. Maka diam2 Ciamtay Cu-ih mengambil keputusan dalam serarus jurus pertama hanya akan bertahan saja tanpa menyerang, akan ditunggunya bilamana kekuatan musuh sudah mulai lemah baru dia akan melancarkan serangan balasan.

Sesungguhnya ilmu silat Hong-hoa-wan di lautan timur juga berasal dari Tionggoan, mengutamakan kelunakan untuk mengatasi kekerasan, maka dalam hal kesabaran Ciamtay Cu-ih cukup tahan uji. Ia pikir asalkan dapat bertanding sama kuatnya dengan tokoh bungkuk ini, maka nama baik Hong-hoa-wan dapatlah ditegakkan kembali dan berjaya seperti 27 tahun yang lalu. Ia menduga bila si bungkuk tak dapat merobohkan lawannya, akhirnya tentu akan gelisah dan menyerang secara ceroboh, apabila pertarungan sudah melebihi ratusan jurus, bukan mustahil akan dapat ditemukan lubang2 kelemahan si bungkuk, tatkala mana dapatlah dia merobohkan lawan tersebut dengan mudah. Rupanya maksud kedatangannya kedaratan Tionggoan ini salah satu tujuannya ialah ingin menegakkan nama Hong-hoa-wan. Maklumlah sudah 27 tahun dia mengasingkan diri, pada umumnya orang Bulim sudah melupakan dia. Di dunia persilatan sekarang orang hanya memuja Sam-yu Ji-ki atau Tiga serangkai dan dua tokoh sakti, yaitu apa yang sekarang bergabung di dalam Ngo tay-lian-beng atau persekutuan lima besar ini. Terhadap Ji-ki atau dua tokoh sakli yang lain, meski diketahui Ciamtay Cu-ih masih hidup dilautan bebas sana, tapi dianggap sudah menghilang seperti halnya Sau Ceng-in dari Pak-cay.

Nama "Say-pak-beng-to" atau si untu sakti dari utara, memang tidak segemilang Sam-yu dan Ji-ki, tapi dalam pandangnn tokoh2 angkatan tua, ilmu silat si makhluk aneh ini bahkan diatas kelima tokoh besar itu. Apabila sekarang Ciamtay Cu-ih dapat mengalahkannya sejurus-dua, maka harga diri Ciamtay Cu-ih pasti akan menanjak dan tiada seorangpun yang berani meremehkan dia.

Soat Ko-hong sendiri juga sedang me-nimang2 lawannya, ia lihat perawakan Ciamtay Cu-ih kurus kecil seperti badan anak kecil, kalau ditimbang mungkin tidak ada 80 kati. tapi berdirinya ternyata begitu tegak dan kukuh seperti bukit yang tak tergoyahkan, sikapnya yang kereng jelas menampilkan gaya seorang guru besar suatu aliran tersendiri, jelas betapa tinggi Lwekang si kakek kecil ini tidak boleh dipandang enteng. Maka diam2 Soat Ko-hong merasa waswas, betapapun si bungkuk tidak boleh terjungkal ditangan seorang kakek kecil begini. Karena itulah dia tidak berani sembarangan melancarkan serangan, tapi mengawasi lawan dengan cermat.

Begitulah kedua orang pendek itu saling menatap dengan prihatin, senyuman mereka sudah lenyap dan pertarungan sengit segera akan terjadi.

Thian-bun Tojin, Ting-yat Suthay dan lain2 sama tidak suka kepada Ciamtay Cu-ih. sebab pada 27 tahun yang lalu, pada masa jayanya Ciamtay Cu-ih, boleh dikatakan di mata tokoh Tang-wan itu tidak merasakan adanya Tionggoansamyu, anak murid tiga serangkai itupun sering dihinanya.

Tapi sekarang jaman telah berubah, Sam-yu dan Ji-ki telah bersekutu dan memimpin dunia persilatan, namun Ciamtay Cu-ih sama sekali tidak memberikan salam atau kata2 pujian lain, dalam pandangannya se-olah2 persekutuan lima besar itu telah merosotkan harga diri Bulim-suki dahulu.

Mengenai pribadi Soat Ko-hong, namanya sangat busuk di dunia persilatan. Meski dia tidak melakukan kejahatan dan memusuhi Ngo-tay-lian-beng, tapi hampir semua tokoh utama kelima besar itu lama memandang Soat Ko-hong sebagai manusia rendah dan tidak sudi berkumpul dengan dia. Sebab itulah, bagaimana hasil dari pertarungan antara Ciamtay Cu-ih dan Soat Ko-hong ini bukan soal bagi mereka. Bahkan dalam hati Thian-bun Tojin dan Ting-yat Suthay berharap semoga pertarungan kedua orang itu berlangsung dengan sengitnya, kalau keduanya mampus bersama malahan kebetulan bagi mereka.

Hanya Wi Kay-hou saja yang mempunyai hubungan yang rada akrab dengan Ciamtay Cu-ih, di samping itu iapun tuan rumahnya, maka sedapatnya ia ingin mencegah pertarungan kedua orang itu.

Akan tetapi kedua orang itu adalah tokoh yang punya harga diri, barang siapa mundur lebih dulu berarti kalah.

Walaupun keduanya juga menyadari pertarungan ini tanpa tujuan berarti, cuma keduanya sudah kadung sama ngotot sehingga mau-tak-mau harus saling gebrak.

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar