Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 14

Jilid 14

Diantara hadirin memang sudah ada yang menduga orang yang diceritakan Gi-lim itu bisa jadi Sau Peng-lam, tapi harus menunggu penjelasan Gi-lim sendiri barulah dapat dipastikan.

Begitulah Gi-lim lantas menyambung pula: "Mendengar suara suitan Thio Yan-coan itu makin dekat. Sau-toako lantas minta maaf padaku dan mendadak aku dipondongnya dan dibawa keluar gua, kami bersembunyi ditengah semak2 rumput yang lebat. Baru kami bersembunyi, segera terlihat Thio Yan-coan menyusup kedalam gua. Dengan sendirinya dia tidak menemukan diriku. dia mengamuk dan mencaci-maki, banyak kata2nya yang sukar ditirukan, akupun tidak tahu artinya. Lalu dia keluar lagi dengan pegang pedangku yang hujan, bintang dan rembuian suram, dia tidak melihat kami, tapi dia menaksir kami pasti tidak dapat lari jauh dan mungkin bersembunyi disekitar situ, maka dia masih terus membacok dan menabas. Satu kali sungguh sangat berbahaya, pedangnya menyambar lewat diatas kepalaku, hanya selisih satu-dua inci kepalaku hampir tertabas.

-Setelah membacok dan menabas sekian lama ia tetap tidak berhasil, disertai caci-maki ia terus menuju kedepan sambil masih terus membabat kian-kemari dengan pedangnya. Se-konyong2 kurasakan ada barang cairan menetesi mukaku, berbareng itu kucium bau anyirnya darah. Dengan terkejut kutanya dengan suara tertahan: 'Apakah kau terluka"“

Sau-toako membekap mulutku, selang sejenak, terdengar suara tabasan pedang Thio Yan-coan sudah semakin menjauh barulah dia menjawab dengan lirih: 'Tidak berhalangan.”

-Dia lantas melepaskan tangannya yang mendekap mulutku itu. Akan tetapi kurasakan tetesan darah pada mukanya makin lama makin deras, aku menjadi kuatir, kataku: 'Lukamu cukup parah, darah harus dihentikan dulu, aku membawa obat luka Tbian-hiang toan-liok-ciau.' Dia mendesis pula agar aku jangan bersuara keras2. Terpaksa aku meraba lukanya. Pada saat itulah mendadak Thio Yancoan berlari balik lagi sambil berteriak: 'Aha, kiranya kalian sembunyi disini, sudah kulihat, hayo lekas berdiri!”

Diam2 aku mengeluh karena menyangka tempat sembunyi kami benar2 diketahui Thio Yan-coan, segera aku bermaksud berdiri, tapi kaki tidak mau bergerak . . . .”

"Kau tertipu," sela Ting-yat. "Keparat she Thio itu hanya main gertak saja, sebenarnya dia tidak melihat kalian.”

"Memang betul. Suhu sendiri tidak berada disana, darimana Suhu tahu?" tanya Gi-lim.

"Apa sukarnya menebak kejadian itu?" ujar Ting-yat, "Jika dia benar2 melihat kalian, buat apa ber-gembor2, cukup dia mendekati kalian dan sekali bacok membinasakan Sau Peng-lam. Tampaknya bocah she Sau itupun masih hijau dan mudah tertipu.”

"Tidak, seperti Suhu, Sau-toako juga dapat menerkanya.”

tutur Gi-lim "Mendadak ia mendekap mulutku karena kuatir aku bersuara. Selang sejenak, Thio Yan-coan berkaok2 lagi dan tetap tidak mendengar sesuatu suara, lalu dia berpindah tempat dan membacoki rumput pula. Sesudah jauh dia pergi, dengan suara tertahan Sau-toako berkata padaku: 'Sumoay, jika kita dapat bertahan setengah jam lagi, setelah jalan darahmu lancar kembali, dapatlah kubuka Hiat-tomu yang tertutuk. Cuma kukuatir keparat she Thio itu akan putar balik lagi dan mungkin akan kepergok. Maka kita harus menyerempet bahaya, biarlah kita bersembunyi saja di dalam gua. . . . .”

Bercerita sampai disini, tanpa terasa Bun-si-susing. Ho Sam-jit, Wi Kay-hou dan lain sama2 bertepuk tangan memuji. "Bagus. berani dan cerdik!" seru Bun-si-siansing.

"Tapi aku menjadi takut, namun rasa kagumku kepada Sau-toako saat itu sudah tiada taranya, jika dia menghendaki begitu, kuyakin pasti tidak salah lagi. Maka aku lantas mengiakan. Lalu aku dipondongnya pula dan menyusup ke dalam gua. Dia menaruh diriku ditanah. Aku berkata padanya: 'Di bajuku ada obat luka mujarab, boleh ambil dan bubuhkan pada lukamu.”

Tapi dia menjawab: 'Kurang leluasa jika kuambil sekarang. biarlah nanti saja bila kau sendiri sudah dapat bergerak.”

-'Ia lantas melolos pedangnya dan memotong lengan bajunya untuk membalut bahu kirinya yang terluka. Baru sekarang kutahu. rupanya lantaran hendak melindungi diriku, waktu bersembunyi ditengah semak2 rumput itu, tabasan pedang Thio Yan-coan yang ngawur itu berhasil mampir di bagian bahunya, namun begitu dia tetap tidak bergerak dan tidak bersuara walapun dapat kubayangkan dia pasti sangat kesakitan Waktu itu. Syukur dalam kegelapan Thio Yan coan juga tidak mengetahui kejadian itu. Aku merasa susah dan tidak mengerti, mengapa Sautoako bilang tidak leluasa mengambil obat dalam bajuku. . .

." "Hm, jika begitu. jadi Sau Peng-lam itu adalah Cing-jin-kun-cu (orang baik2 dan lelaki sejati)," dengus Ting yat Suthay.

Terbelalak mata Gi-lim yang bening itu, ia merasa heran, katanya: "Dengan sendirinya Sau-toako adalah orang baik kelas satu Selamanya dia tidak kenal padaku, tapi tanpa menghiraukan keselamatan sendiri dia tampil kemuka menolong diriku.”

Tiba2 Ciamtay Cu-ih menjengek: "Meski kau tidak kenal dia, mungkin sebelumnya dia sudah pernah melihat kau, kalau tidak masakah begitu bersemangat dia berusaha menolong kau?”

Dibalik ucapannya itu se-akan2 hendak mengatakan bahwa sebabnya Sau Peng-lam menolongnya dengan mati2an adalah karena terpikat oleh kecantikan Gi-lim yang luar biasa itu.

Gi-lim menjawab; "Tidak, Sau-toako sendiri mengaku belum pernah melihat diriku. Tidak nanti Sau-toako berdusta padaku, pasti tidak!”

Ucapannya sangat tegas dan pasti. meski suara tetap lembut, tapi cukup meyakinkan. Diam2 Ciamtay Cu-ih berpikir: "Sebabnya keparat Sau Peng-lam itu berbuat nekat begitu, besar kemungkinan dia sengaja hendak bertempur dengan Thio Yan coan agar namanya bisa tambah terkenal di dunia Kang-ouw.”

Terdengar Gi-lim bertutur pula: "Sesudah Sau-toako membalut lukanya sendiri, lalu dia mengurut pula Hiattoku. Tidak lama kemudian, terdengar suara kresekan diluar gua dan makin lama makin dekat, rupanya Thio Yan-coan benar2 putar balik lagi dan masih terus membabati rumput diluar sana. Tentu saja hatiku berdebar.

Terdengar dia masuk gua lagi terus berduduk tanpa bersuara apa-pun. Sedapatnya aku bertahan, sampai bernapas saja tidak berani. Mendadak aku merasa Hiat-to yang diurut Sau-toako itu kesakitan, karena tidak ter-duga2, aku menjerit tertahan. Maka celakalah sekali ini, Thio Yan-coan lantas ter-bahak2 dan melangkah kearahku. Sedangkan Sau-toako hanya berjongkok saja di samping, tetap tidak bergerak dan tidak bersuara. Sambil melangkah maju Thio Yan-coan berkata dengan tertawa: 'Ai, dombaku sayang, kiranya kau masih bersembunyi di dalam gua ini"“

-Segera ia menjulurkan tangannya untuk meraih tubuhku. Mendadak terdengar suara cret satu kali, dia telah kena ditusuk oleh pedang Sau-toako. Sayang tusukan itu tidak tepat mengenai tempat yang fatal, Thio Yan-coan sempat melompat mundur dan melolos dalam kegelapan segera ia membacok ke arah Sau-toako. Trang. pedang dan golok beradu. mereka lantas saling gebrak. Setelah bergebrak beberapa jurus dalam kegelapan lalu keduanya sama2 melompat mundur. Dalam kegelapan yang sunyi.

suara napas mereka kedengaran dengan jelas. hatiku ketakutan setengah mati.”

"Berapa jurus Sau Peng-lam bergebrak dengan dia?”

tanya Thian-bun Tojin mendadak.

"Waktu itu Tecu dalam keadaan bingung sehingga tidak tahu persis berapa lama mereka bergebrak," jawab Gi-lim.

"Kudengar Thio Yan-coan berkata dengan tertawa: "Aha, kau ini murid Lam-han! Lam-han-kiam-hoat bukanlah tandinganku. Eh, siapa namamu"' Sau-toako menjawab: 'Ngo-tay-lian-beng. senapas setanggungan. Baik Lam-han maupun Siong-san semuanya akan membinasakan bangsat cabul macam kau ini. . .' Belum habis ucapan Sau-toako segera Thio Yan-coan menerjang maju lagi. Kiranya dia sengaja memancing Sau-toako bersuara agar dapat mengetahui tempatnya dengan persis.Beberapa gebrakan lagi, mendadak Sau-toako menjerit, agaknya dia terluka lagi. Dengan tertawa Thio Yan-coan berkata: 'Kan sudah kukatakan Lam-han-kiam-hoat bukan tandinganku. biarpun gurumu sendiri si Sau tua juga bukan tandinganku.”

Tapi Tau-toako tidak menggubris ocehannya. Sebabnya Hiat-to yang diurut Sau-tosko tadi mendadak kesakitan, rupanya karena Hiat-to itu telah terbuka dan sekarang terasa sakit pula. Aku coba merangkak bangun dan berusaha menemukan pedang buntung. Sau-toako mendengar suaraku, dia berseru dengan girang: 'He. Hiattomu sudah terbuka. lekas pergi!”

Aku menjawab: 'Suheng dari Lam-han, biarlah kubantu kau melabrak orang jahat ini.”

Tapi Sau-toako malah mencegah, katanya: 'Tidak, lekas kau pergi saja! Gabungan kita berdua juga tak dapat mengalahkan dia.”

-Thio Yan-Coan tertawa, katanya: 'Bagus, asal kau tahu saja, untuk apa kau mengantarkan nyawa percuma" Eh, aku menjadi kagum kepada keperwiraanmu. siapa namamu"“

Dengan ketus Sau-toako menjawab: 'Jika kau tanya siapa namaku yang terhormat, tentu tidak berhalangan akan kuberitahukan. Tapi kau tanya secara kasar, tidak nanti kukatakan padamu.”

Lalu Sau-toako ber-kaok2 pula mendesak aku agar lekas pergi, katanya kawan2 kita sama berkumpul di Cu-joan, bila kulari kesini tentu orang jahat itu tidak berani menggangguku lagi.

Tapi aku masih ragu. kataku: 'Jika kupergi lalu bagaimana baiknya bila dia membunuhmu?”

-Sau-toako menjawab: 'Tidak, dia takkan membunuhku kurintangi dia, hayolah kenapa tidak lekas pergi kau!'. . .

Aduh! -Di tengah suara benturan senjata, agaknya Sau toako terluka lagi. Dia tambah gelisah dan berteriak pula padaku: 'Lekas pergi, kalau tidak segera akan kumaki kau!”

-Tiba2 dapat kutemukan pedang buntung yang dibuang Thio Yan-coan tadi. segera aku berseru: kita berdua mengerubuti dia!”

Dengan tertawa Thio Yan coan berkata: 'Bagus, lihatlah pertunjukan Thio Yan-coan seorang diri menempur dua murid Lam-han dan Siong-san pay.”

-Mendadak Sau-toako benar2 mendamprat diriku: 'Nikoh cilik yang tidak tahu urusan, barangkali kau sudah pikun, lekas lari kau, kalau tidak. bila kelak bertemu lagi bisa kutempeleng kau!”

Dengan cengar cengir Thio Yan coan berkata:'NiKOh cilik ini merasa berat meninggalkan aku, dia tak akan pergi.”

Sau-toako tambah gelisah, teriaknya gemas: 'Kau mau pergi atau tidak"' Aku menjawab tegas: 'Tidak!”

-Sau-toako mengancam pula: 'Jika kau tidak pergi segera akan kumaki gurumu si tua Ting-sian yang pikun itu sehingga mendidik murid linglung macammu ini.”

-Aku menjelaskan: 'Ting-sian Supek bukan guruku.”

Dia lantas berkata pula, "O, jika begitu, akan kumaki Ting-yat si tua pikun itu. . . .”

Ting-yat menarik muka karena namanya disinggung, jelas dia sangat mendongkol.

Cepat Gi-lim menyambung: "Suhu, jangan marah, ucapan Sau-toako adalah demi kebaikanku, ia tidak sengaja memaki Suhu, -Tecu menjawab; 'Aku sendiri yang pikundan bukan ajaran Suhu!'. . .Diluar dugaan, se-konyong2 Thio Yancoan menubruk kearahku, aku terkejut dan menabas serabutan dengan pedang buntung sehingga dia terdesak mundur lagi. -Sau-toako berseru pula padaku; 'Hayolah lekas pergi jika kau tidak mengharapkan aku memaki gurumu, masih banyak kata2 kurang sedap didengar akan kuhamburkan, kau tidak takut"“

-Aku menjawab; 'Janganlah kau memaki, marilah kita lari bersama saja!'. . .

-Tapi SWau-toako berkata; 'Tidak, lantaran kau berdiri disitu, ilmu pedangku yang paling lihay menjadi terhalang dan tak dapat kumainkan dengan leluasa. Tapi begitu kau pergi, segera orang jahat ini dapat kubinasakan.”

-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya; 'Tampaknya baik juga hatimu terhadap Nikoh cilik ini, cuma sayang, namamu saja dia tidak tahu.”

-Kupikir ucapan orang jahat itu ada benarnya, segera kukatakan; 'Suheng dari Lam-han, siapakah namamu”

Akan kukatakan kepada Suhu di Cu-joan nanti bahwa engkau yang telah menyelamatkan jiwaku.”

- Sau-toako lantas berteriak; 'Lekas pergi, lekas! Untuk apa omong ber-tele2 tanpa habis. Aku she Kiau, Kiau Lo-kiat. . . .”

Mendengar sampai disini, Kiau Lo-kiat jadi melengak, ia heran mengapa Toa-suheng memalsukan namanya”

Bun-siansing manggut2, katanya; "Sau Peng-lam benar2 hebat, berbuat bajik tidak perlu menonjolkan nama, memang inilah jiwa ksatria sejati.”

Tapi Kiau Lo-kiat berpendapat lain, ia tahu Toasuhengnya itu banyak tipu akalnya, tindakannya itu pasti ada maksud lain. Sungguh harus disesalkan, Toa-suheng yang pintar dan cerdas itu harus tewas ditangan Lo Ci-kiat dari Tang-wan.

Dalam pada itu Ting-yat telah pandang Kiau Lo-kiat sekejap, lalu bergumam sendiri: "Kurang ajar benar Sau Peng-lam itu, dia berani memaki aku, Hm, besar kemungkinan dia kuatir kuusut perbuatannya, maka sengaja mengalihkan dosanya kepada orang lain.”

Mendadak teringat sesuatu olehnya, ia melototi Kiau Lokiat dan bertanya: "He, orang yang memaki diriku di gua itu apa betul kau?”

Cepat Kiau Lo-kiat menjawab dengan hormat: "Buk ....

bukan, mana Tecu ber . . . . berani!”

Dengan tersenyum Wi Kay hou juga menengahi: "Tingyat Suthay, si Sau Peng-lam sengaja memalsukan nama Sutenya, kukira memang beralasan. Kita tahu Kiau-sutit ini berguru kepada Sau-suheng pada usia likuran, Waktu itu Kiau-sutit sendiri sudah mahir ilmu-ilmu silat, meski tingkatannya tergolong angkatan muda, tapi kini setelah belajar 28 tahun kepada Sau-suheng, usianya sudah terhitung lanjut, jenggotnya juga sudah panjang, untuk menjadi kakek Gi-lim Sutit juga pantas.”

Seketika pahamlah Ting-yat setelah mendengar penjelasan Wi Kay-hou ini. Rupanya demi menjaga kebersihan nama Gi-lim, maka Sau Peng-lam sengaja memalsukan nama Kiau Lo-kiat.

Hendaklah maklum bahwa umur Sau Peng-lam baru 33 tahun. jadi jauh lebih muda daripada Kiau Lo-kiat.

Sebabnya dia menjadi Suheng dengan usia yang lebih muda adalah karena dia masuk perguruan terlebih dulu.

Di dunia persilatan umumnya memang ada dua macam aturan, bergantung kepada perguruan masing2. Ada yang urutan Suheng dan Sute dihitung menurut usia, ada yang berdasarkan dulu dan lamanya seseorang masuk perguruan.

Dan perguruan Lam-han menganut peraturan yang kedua ini. Pada waktu Sau Peng-lam mengangkat guru Sau Cenghong, waktu itu dia baru berumur tiga tahun. Tidak lama setelah masuk perguruan, Sau Ceng-hong melihat pembawaan anak ini sangat bagus, pintar dan cerdiK, bakat belajar silatnya sangat tinggi maka timbul hasrat Sau Ceng-hong akan mengangkat sebagai murid ahli-waris.

Cuma keluarga Sau dari Lam-han juga serupa dengan keluarga Sau dan Pak-cay, ada sebagian Kungfu keluarga tidak boleh diajarkan kepada murid kecuali kepada anaknya sendiri. Bila Sau Peng-lam hendak diangkat menjadi ahliwaris, maka segenap kepandaian Sau Ceng-hong harus diajarkan seluruhnya, dan bila seluruh kemahiran Kungfunya harus diajarkan, maka Sau Peng-lam harus diangkat menjadi anak, Kebetulan Sau Peng-lam memang anak yatim piatu, isteri Sau Ceng-hong, yaitu Leng Tiong cik, juga mandul!, tidak dapat melahirkan. Setelah berpikir beberapa hari, akhirnya Sau Ceng-hong memutuskan mengangkat Sau Peng-lam sebagai anak. Dengan demikian hubungan antara Sau Ceng-hong dan Sau Peng-lam dan guru-murid berubah menjadi ayah anak.

Kiau Lo-kiat masuk perguruan dua tahun lebih belakang daripada Sau Peng-lam. Waktu itu Peng-lam berusia lima tahun meski sudah ada dasar Lwe-kang hasil latihan selama dua tahun, namun Peng-lam tetap dianggap sebagai anak kecil oleh Kiau Lo-kiat yang berguru dengan membekal ilmu silat. Sekarang, setelah lewat 28 tahun, Kungfu Kiau Lo-kiat berbalik jauh ketinggalan dibanding Sau Peng-lam Pada permulaan masuk perguruan, sang Suhu menyuruh Kiau Lo-kiat memanggil seorang anak kecil berumur lima tahun sebagai Suheng, dalam hatinya betapapun merasa kurang "sreg". Tapi sekarang ia menyadari memang bakat pembawaan sendiri selisih jauh dibandingi dengan Sau Peng-lam, malahan semakin berlatih semakin jauh ketinggalan. Maka kini dia tidak canggung2 lagi memanggil Suheng kepada Peng-lam.

Jika Sau Peng-lam ternyata lelaki yang masih muda, bila Nikoh jelita ini berhasil lolos dan ditanya pengalamannya di gua gelap itu, sekali akan menimbulkan desas-desus yang merusak baiknya. Sebab ditengah gua yang gelap itu, kedua orang tidak dapat melihat wajah masing2, Gi-lim tidak tahu bagaimana bentuk penolongnya itu. jika menurut seperti pengakuan Sau Peng-lam itu bahwa penolongnya bernama Kiau Lo-kiat dari Lam-han,, padahal semua orang tahu Lokiat sudah kakek2, maka orangpun takkan sangsi dan berprasangka jelek.

Jadi tujuan Sau Peng-lam memalsukan nama Lo-kiat itu jelas demi menjaga kebersihan nama Gi-lim serta menegakkan kehormatan Siong-san-pay, berpikir demikian, tersembul juga senyuman pada wajah Ting-yat, katanya sambil manggut2: "Hm, boleh juga cara berpikir bocah itu.

Kemudian bagaimana, Gi-lim" Coba lanjutkan!”

Gi-lim lantas menyambung: "Tatkala itu aku tetap ngotot dan tidak mau pergi, kataku: 'Kiau-toako, Ngo-tay-lian-beng kita senapas setanggungan engkau telah menyerempet bahaya demi menyelamatkan diriku, sekarang mana boleh kutinggalkan kau di sini" Jika Suhu tahu tindakanku yang tidak bijaksana ini tentu aku bisa dibunuhnya. ...”

"Bagus bagus sekali," seru Ting-yat sambil berkeplok.

"Orang persilatan seperti kita ini jika tidak tahu rasa setia kawan dan keluburan budi, maka lebih baik mati daripada hidup. Dalam hal ini baik lelaki maupun perempuan tiada perbedaannya.”

Gi-lim lantas menyambung pula; "Namun Sau-toako lantas mendamperat diriku malah, katanya; 'Kau Nikoh cilik brengsek, disini kau hanya mengganggu saja sehingga aku tidak dapat mengeluarkan Lam-han-kiam-hoat yang tiada tandingannya dikolong langit ini, agaknya jiwaku yang sudah tua ini ditakdirkan harus amblas ditangan Thio Yan-coan ini. Aha, rupanya kau telah bersekongkol dengan orang she Thio ini dan sengaja hendak bikin celaka padaku, mungkin aku yang lagi sial, ditengah jalan ketemu Nikoh, bahkan Nikoh brengsek, Nikoh konyol. Sia2 aku memiliki Kungfu maha tinggi. percuma ilmu pedangku yang tiada tandingannya ini, tapi apa daya, selama Nikoh sialan ini berada disini tetap tak dapat kukembangkan. Baiklah, Thio Yan-coan, silakan sekali bacok kau binasakan diriku saja, hari ini aku mesti menerima nasib. . . .”

Gi-lim memang pintar bicara dan dapat menirukan kata2 orang lain, cuma sayang, suaranya yang nyaring dan lembut itu sebaliknya harus menirukan kata2 Sau Peng-lam yang kasar dan kotor, maka kedengarannya menjadi rada janggal dan menggelikan.

Terdengar ia bercerita pula: "Meski kutahu dampratannya padaku itu hanya pura2 saja, tapi mengingat kepandaianku memang rendah dan tak dapat membantunya, di gua yang sempit itu memang bisa jadi merintangi gerak-geriknya sehingga tidak dapat mengeluarkan Lam-han-kiam-hoatnya yang hebat. . . .”

"Hm, bocah itu sengaja membual, masa kau percaya?”

jengek Ting-yat. "Lam-han-kiam-hoat mereka paling2 juga cuma begitu, masa dikatakan tiada tandingannya di kolong langit ini?”

Tujuannya hanya menggertak saja agar Thio Yan-coan itu takut dan mundur teratur," tutur Gi-lim pula. "Karena dia terus memaki, terpaksa aku berkata: 'Kiau-toako, baiklah aku akan pergi sampai bertemu pula." Tapi dia lantas memaki lagi 'Kau Nikoh sialan, bila ketemu Nikoh, setiap judi pasti kalah Selamanya aku tidak kenal kau.

selanjutnya akupun takkan melihat kau. Selama hidupku paling gemar berjudi, jika melihat Nikoh lantas kalah judi, untuk apa kulihat kau lagi"' . . . . “

Ting-yat menjadi murka, mendadak ia gebrak meja dan berdiri, teriaknya: "Anak keparat. Mestinya kau tusuk dia hingga tubuhnya berlubang! Dan kenapa waktu itu kau tidak cepat angkat kaki?”

"Tecu memang terus angkat kaki," jawab Gi-lim. "Begitu keluar gua, segera kudengar suara keras beradunya senjata.

Kupikir bila Thio Yan-coan itu menang, tentu dia akan mengejar dan menangkap diriku lagi. Sebaliknya jika 'Kiau-toako' itu yang menang, sekeluarnya nanti dia akan melihat diriku, padahal bila melihat Nikoh dia pasti akan kalah judi.

Karena itulah aku terus berlari secepatnya ingin kususul Suhu dan minta engkau pergi kesana untuk membereskan penjahat Thio Yan-coan itu.”

Setelah merandek sejenak, mendadak Gi-lim bertanya: "Suhu, kemudian Sua-toako mengalami nasib malang, apakah disebabkan. . . disebabkan dia melihat diriku yang mendatangkan sial baginya.”

"Omong kosong!" teriak Ting-yat dengan gusar. "Masa melihat Nikon, lantas kalah judi segala, semua itu hanva omong kosong belaka, mana boleh dipercaya" Coba lihat, semua orang yang hadir di sini melihat kita guru dan murid, apakah merekapun akan sial?”

Semua orang sama merasa geli, tapi tiada satupun yang berani tertawa.

Gi-lim lantas berkata pula: "Ya, betul juga. Tecu lantas ber-lari2, paginva. sampailah Tecu di kota Thay-an, hatiku rada tenang. kupikir besar kemungkinan dapat menemukan Suhu di dalam kota. Siapa tahu, pada saat itu juga tahu2 Thio Yan-coan sudah menyusul tiba. Melihat dia, kakiku jadi lemas, hanya beberapa langkah kuberlari lantas tertangkap olehnya. Kupikir kalau dia dapat menyusul diriku, maka kiau-toako dari Lam-han itu tentu sudah terbunuh olehnya di gua sana. Aku menjadi berduka, karena jalanan cukup ramai orang berlalu-lalang, orang she Thio itu tidak berani bertindak kasar padaku, dia cuma berkata: 'Asal kau ikut padaku, aku pun takkan mengganggu kau. Tapi jika kau bandel dan tidak menurut perkataanku, segera akan ku-belejeti pakaianmu hingga telanjang bulat dan kupertontonkan kepada orang banyak.”

-Tentu saja aku ketakutan dan tidak berani membantah, terpaksa kuikut masuk ke kota Setiba di depan restoran Cui-sian-lau itu, dia berkata pula padaku: 'Siausuhu, kau mirip dewi kayangan, disini adalah Cui-sian-lau (restoran dewa mabuk), tempat cocok dengan orangnya. Marilah kita keatas, marilah kita minum dan bergembira se-puas2nya.”

-Aku menjawab: 'Cut-keh-lang tidak boleh sembarangan makan minum. itulah peraturan Pek-hua-am kami.”

'Ah, ada2 saja peraturan Pek-hun-am kalian" Sebentar akan kusuruh kau melanggar pantangan lebih besar lagi.

Huh, peraturan suci dan pantangan apa segala, semuanya cuma menipu orang saja. Gurumu!. . . .”

Sampai disini, dia melirik Ting-yat sekejap dan tidak berani meneruskan.

"Ocehan orang jabht begitu tidak perlu kau tirukan," kata Ting-yat. "Coba ceritakan bagaimana selanjutnya.”

"Ya," jawab Gi-lim. "Kemudian kukatakan: "Ah, kau sembarangan omong, guruku tidak pernah main sembunyi2 untuk minum arak dan makan daging. . . .”

Seketika tertawalah orang banyak.

Meski Gi-lim tidak menirukan ucapan "Thio Yan-coan, tapi dari bantahannya itu jelas Thio Yan-coan sengaja menuduh Ting-yat suka makan daging dan mihum arak secara sembunyi2.

Tentu saja muka Ting-yat menjadi kelam, pikirnya: "Anak ini benar2 terlalu polos, kalau bicara tidak kenal pantangan segala.”

Gi-lim telah menyambung pula: "Mendadak orang jahat itu menarik bajuku dan berkata: "Hayo ikut masuk dan mengiringi aku minum arak, kalau tidak mau segera kurobek bajumu,”

Karena tidak sanggup melawan, terpaksa aku ikut dia masuk ke restoran itu. Orang jahat itu lantas pesan arak dan satapan. Dia benar2 orang busuk. kutegaskan aku tidak makan barang berjiwa, dia justeru pesan daging sapi, daging babi, daging ayam, semuanya serba daging. Dia malah mengancam, jika aku tidak mau makan, segera dia akan meng-koyak2 pakaianku.

Pada saat itulah. tiba2 seorang naik pula keloteng.

kulihat pinggangnya bergantung sebilah pedang, mukanya pucat lesi, tubuhnya berlepotan darah. Tanpa permisi ia ikut duduk di sisi meja itu. Tanpa bicara dia angkat awan arak didepanku terus ditenggaknya hingga habis. Beruntun dia menuang tiga cawan dan diminum, lalu dia menuang lagi satu cawan berkata kepada Thio Yan-coan; 'Mari minum!”

Kepadaku iapun berkata: 'Silakan minum!' Ia sendiri lantas menghabiskan pula isi cawannya.

-Dari suaranya segera kutahu siapa dia. Syukur dan terima kasih kepada langit dan bumi, dia ternyata tidak terbunuh oleh Thio Yan-coan, hanya badannya berlumuran darah, agaknya lukanya tidak ringan akibat membela diriku." Gi-lim berhenti sejenak, lalu menyambung pula: "Thio Yan-coan memandangnya dari atas kebawah, lalu dari bawah keatas, kemudian berkata: O, kiranya kau!Orang itu menjawab: 'Ya aku!”

Thio Yan-coan mengacungkan ibu jarinya kedepan orang itu dan berkata: 'Sungguh lelaki sejati.' Orang itupun mengacungkan jempolnya kepada Thio Yan-coan dan berkata: 'Sungguh permainan golok yang hebat! Kedua orang lantas sama2 bergelak tertawa dan bersama2 menenggak arak. Aku sangat heran semalam kedua orang baru saja bertempur dengan sengit, mengapa sekarang keduanya berubah menjadi kawan baik”

-Thio Yan-coan itu berkata kepada orang itu: 'Kau bukan Kiau Lo-kiat. orang she Kiau itu sudah tua bangka, mana bisa segagah dan seganteng kau ini!”

Orang itu menjawab dengan tertawa; 'Betul. aku memang bukan Kiau Lo-kiat.”

-Mendadak Thio Yan-coan mengetuk meja dan berseru: 'Aha, kutahu, kau Sau Peng-lam dari Lam-han. Sudah lama kudengar murid utama Lam-han gagah perwira dan berani bertanggung jawab, tergolong tokoh nomor satu di dunia Kangouw.' Baru sekarang Sau-toako mengaku, katanya dengan tertawa; 'Terima kasih atas pujianmu. Sau Peng-lam adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu janganlah kau tertawakan.' Thio Yan-coan berkata pula; 'Tidak berkelahi tidak saling kenal. Bagaimana kalau kita bersahabat saja" Jika Sau-heng penujui Nikoh jelita ini, biarlah Cayhe mengalah dan memberikannya padamu. Mengutamakan perempuan dan meremehkan persahabatan kan bukan perbuatan kaum kita". . .”

"Bangsat!" maki Ting-yat dengan muka kelam: "Pantas mampus. bangsat itu!”

Gi-lim menjadi sedih dan akan menangis, tuturnya pula: "Suhu, mendadak Sau-toako memaki diriku, dia bilang: 'Muka Nikoh cilik ini pucat pasi, setiap hari hanya makan sayur dan tahu melulu, pasti tidak akan menyenangkan.

Apalagi sudah pantanganku, bila melihat Nikoh aku lantas marah, kalau bisa ingin kubunuh habis semua Nikoh didunia ini!' -Dengan tertawa Thio Yan-coan bertanya: 'Aneh, mengapa begitu"“

Sau-toako menjawab: 'Bicara terus terang, aku ini mempunyai hobi berjudi, bila berjudi lantas lupa daratan.

Kalau tangan lagi pegang kartu, biarpun kau tanya siapa namaku mungkin aku pun lupa. Akan tetapi bila aku melihat Nikoh. maka tidak bolehlah aku berjudi, sebab pasti kalah. Jadi nikoh adalah lambang kesialan bagiku. Malahan setiap murid Lam-han juga begini. Sebab itulah murid Lam-han kami bila bertemu dengan para Supek dan Susiok serta para Suci atau Sumoay dari Siong-san-pay, meski lahirnya kami bersikap menghormat, tapi di dalam batin sama mengeluh. "akan sial!. . . .”

Ting-yat menjadi gusar, "plak", mendadak ia menampar muka Kiau Lo-kiat yang berdiri tidak jauh di sebelahnya.

Pukulan cepat lagi keras, Kiau Lo kiat tidak keburu menghindar, kontan ia merasa kepala pusing dan mata berkunang2, hampir saja roboh terjungkal.

"Ah, Ting-yat Suthay," dengan tertawa Wi Kay-hou membujuk, "mengapa engkau jadi marah2 begini" Demi menolong muridmu, Sau-hiantit sengaja omong kosong dengan Thio Yan-coan itu, mengapa ocehannya itu kau anggap sunggguh2?”

"Kau bilang tujunnnya hendak menolong Gi-lim?" Tingyat menegas dengan melengak.

"Itulah tafsiranku," kata Wi Kay-hou. 'Betul tidak, Gi-lim Sutit?”

Mata Gi-lim menjadi bawah pula, jawabnya: "Ya, sesungguhnya Sau-toako sangat baik, hanya. . . hanya cara bicaranya yang rada2 kasar dan kurang sopan. Karena Suhu marah. Tecu tidak berani bercerita lagi.”

"Bicara terus, satu katapun tak boleh kau lewatkan ceritakan, harus kau ceritakan seluruhnya dengan lengkap,”

seru Ting-yat. "Ingin kutahu sesungguhnya dia bermaksud baik atau busuk. Jika bocah itu benar2 seorang bajingan tengik. biarpun dia sudan mati tetap aku akan membikin perhitungan dengan si Sau tua.”

Gi-lim menjadi ragu2 dan tidak berani bercerita pula.

"Hayo, bicaralah!" seru Ting-yat. "Ceritakan seluruhnya.

jangan kau menyembunyikan ucapan Baik atau buruk kata2nya kan dapat kita bedakan dengan jelas?”

Gi-lim mengiakan, sambungnya: "Sau-toako berkata pula: "Thio-heng, orang belajar silat seperti kita ini selama hidup selalu mencari kehidupan diantara ujung senjata.

Walaupun orang yang berkepandaian tinggi selalu lebih untung, tapi kalau dipikir secara mendalam sesungguhnya juga bergantung kepada nasib, betul tidak" Jangan kau kira Nikoh cilik ini kurus kecil seperti anak ayam begini, seumpama dia benar-benar dewi kayangan yang baru turun di bumi ini juga aku Sau Peng-lam takkan meliriknya barang sekejap. Betapapun jiwa seorang lebih penting daripada urusan lain. mengutamakan perempuan dan meremehkan jiwa sendiri ter-lebih2 tolol. Karena itulah, Nikoh cilik begini jangan se-kali2 kau menyentuhnya.

-Dengan tertawa Thio Yan-coan menjawab; 'Sau heng, tadinya kusangka kau ini seorang lelaki yang tidak takut kepada langit dan tidak gentar kepada bumi, mengapa terhadap seorang Nikoh bisa mempunyai pantangan sebanyak itu"“

Sau-toako berkata 'Ya, soalnya sudah sering aku mengalami kesialan bila melihat Nikoh, karena pengalaman, terpaksa aku harus percaya. Coba kau pikir, semalam aku tanpa kurang sesuatu apapun, muka Nikoh kecil ini belum sempat kulihat, baru suaranya saja kudengar dan aku lantas terluka oleh tabasan golokmu, bahkan jiwaku hampir melayang. Apakah ini bukan bukti nyata Nikoh membikin sial diriku"“

-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya: 'Ya, memang betul juga.' Sau-toako lantas berkata pula: 'Maka dari itu, Thio-heng, lebih baik kita jangan bicara, apalagi bertemu dengan Nikoh, hendaklah lekas kau suruh Nikoh cilik ini enyah saja, marilah kita minum berduaan se-puas2nya. Hendaklah kau terima nasihatku, jangan kau sentuh dia jika tidak ingin ketiban nasib buruk. Tiga racun di dunia ini hendaklah kau hindari se-jauh2nya.”

Dengan heran Thio Yan-coan bertanya: "Apa itu tiga racun didunia ini"“

Sau-toako kelihatan heran jawabnya: 'Masa tiga racun di dunia ini tidak kau ketahui" -Kata orang: 'Nikoh warangan kobra, ingin selamat jangan sentuh dia. Jadii Nikoh itu racun pertama, kedua warangan dan ketiga baru kobra.

Untuk ini setiap murid lelaki Ngo-tay-lian-beng kami selalu mengingatnya dengan baik2. . . .”

Sampai di sini, Ting-yat tidak tahan lagi, dengan gusar ia menggebrak meja dan memaki: "Keparat!”

Kiau Lo-kiat sudah kapok, sejak tadi dia sudah berdiri menjauhi, sekarang ia menyurut mundur pula karena kuatir Nikoh tua itu menjadikan dia sebagai sasaran pelampiasan pula.

Wi Kay-hou menyela dengan menghela napas: "Sesungguhnya Sau-hiantit itu bermaksud baik, cuma caranya sembarangan omong itu memang rada keterlaluan.

Namun harus dipikir kembali lagi, jika tidak bicara secara sungguh2, rasanya tidaklah mudah jika dia ingin menipu bangsat besar semacam Thio Yan-coan itu.”

"Wi-susiok. jadi menurut pikiranmu, apa yang diucapkan Sau-toako itu sengaja digunakannya untuk menipu orang she Thio itu?" tanya Gi-lim.

"Kukira memang begitulah," kata Wi Kay-hou. "Mana mungkin Ngo-tay-lian-beng mengpaarkan kata2 kasar itu kepada anak muridnya" Jika betul ada pantangan begitu, masakah aku mau mengundang Ting-yat Suthay dan para Sutit ikut hadir pada upacaraku Kim-bun-se-jiu besok lusa?”

Keterangan Wi Kay-hou ini membuat reda rasa gusar Ting-yat, namun dia masih mendengus dan memaki pula: "Mulut busuk anak keparat itu entah ajaran manusia konyol dari mana?”

Nyata, di balik ucapannya itu, ketua Lam-han yaitu guru merangkap ayah angkat Sau Peng-lam itu jadi ikut dimakinya. Wi Kay-hou berkata pula: "Hendaklah Suthay jangan Kesal. Soalnya ilmu silat Thio Yan-coan itu sangat lihay, Sau-sutit merasa bukan tandingannya, sedangkan Gi-lim Sutit berada dalam keadaan bahaya, terpaksa dia mengarang berbagai kata2 untuk menipu jahanam itu agar mau membebaskan Gi-lim Sutit “

"Apakah karena itu Thio Yan-coan lantas melepaskan kau?" tanya Ting-yat sambil berpaling kearah Gi-lim.

"Tidak," jawab Gi-lim. "Thio Yan-coan kelihatan ragu2, dia memandang padaku, lalu berkata: 'Terima kasih atas nasihat Sau-heng, tentang Nikoh cilik ini, toh kita sudah telanjur melihat dia, biarkan saja dia tetap tinggal disini”

Sau-toako menggerutu: 'Wah, lebih lama melihat dia, lebih banyak pula sialnya.”

-Pada saat itulah mendadak seorang pemuda dimeja sebelah melolos pedang terus melompat ke depan Thio Yan-coan sambil membentak; "Jadi kau inilah Thio Yan-coan?”

-Thio Yan-coan mengiakan dan bertanya ada apa”

Pemuda itu berkata pula: 'Akan kubunuh kau si bangsat cabul ini' Segera pedangnya menusuk, dari jurus pedangnya jelas dia orang Yan-san-pay, ialah Suheng ini.”

Sambil berkata dia tuding mayat yang menggeletak di papan pintu itu. Sejenak kemudian ia menyambung pula: "Thio Yan-coan tidak berdiri, dia miringkan tubuh menghindarkan serangan Suheng dari Yan-san-pay ini dan berkata: 'Sau-heng, orang ini dari Yan-san-pay, kau bantu dia tidak"“

Sau-toako menjawwab: 'Ngo-tay-lian-beng, senapas setanggung. sudah tentu kubantu dia.”

Kata Thio Yan-coan: 'Biarpun kalian Lam-han, Yan-san dan Siong-san bergabung menjadi satu juga bukan tandinganku' -'Bukan tandinganmu juga tetap akan kuhantam kau,”

sambil berkata Sau-toako lantas melolos pedang.

-Dalam pada itu Suheng dari Yan-san-pay ini sudah menusuk tujuh atau delapan kali dan selalu dapat dihindarkan Thio Yan-coan. Dia meludah dan mengejek Sau-toako: 'Huh, Ngo-tay-lian-beng kami mana ada bangsat cabul macam kau ini"“

Berbareng ia terus menusuk Sau-toako malah. Cepat Sau-toako melompat kesamping, segera iapun angkat pedangnya dan menusuk punggung Thio Yan-coan.

Waktu itu akupun melolos pedangku yang sudah patah itu dan ikut mengerubuti Thio Yan-coan. Tapi penjahat ini benar2 sangat lihay, dia hanya bergeliat sekali, tahu2 tangannya sudah bertambah sebilah golok. Lalu katanya dengan tertawa: 'Duduk, silakan duduk, marilah minum arak!' Lalu goloknya dimasukkan kembali kesarungnya.

Ternyata entah kapan dada Suheng Yan-san-pay ini sudah terkena golok musuh. darah segar tampak menyembur keluar, dia melototi Thio Yan-coan dengan tubuh sempoyongan, lalu roboh terkapar.”

Bicara sampai disini, pandangan Gi-lim beralih kepada Te-coat Tojin yang juga berbaring dipapan pintu itu, dan katanya pula: "Susiok dari Yan-san-pay ini lantas melompat kedepan Thio Yan-coan, sekali bentak, Susiok ini melolos pedang dan menyerang dengan gencar. Sudah tentu ilmu pedang Susiok ini sangat lihay. Tapi Thio Yan-coan masih tetap berduduk di kursinya dan menangkis dengan goloknya. Belasan kali Susiok ini menyarang dan belasan kali ditangkis Thio Yan-coan yang tetap berduduk saja tanpa berdiri.”

Mau-tak mau air muka Thian-bun Tojin tampak guram, tanyanya kepada Te-coat Tojin: "Sute, apakah betul bangsat itu begitu lihay?”

Te-coat Tojin meaghela napas panjang, mukanya yang memang pucat itu kini bertambah putih seperti mayat, pelahan2 ia melengos ke samping tanpa menjawab.

Tidak menjawab berarti membenarkan secara diam2.

Jelas Te-coat mengakui kelihayan ilmu silat Thio Yan-coan.

Karena itu sorot mata semua orang beralih pula ke arah Gi-lim dan ingin mendengarkan lanjutan ceritanya.

Gi-lim lantas menyambung: "Waktu itu mendadak Sautoako ayun pedangnya dan menusuk Thio Yao-coan. Tapi Thio Yan-coan sempat putar goloknya untuk menangkis, dia tergeliat dan akhirnya berbangkit.”

"Apakah kau tidak keliru?" tanya Ting-yat. "Masa Te-coat Totiang menusuknya belasan kali dan dia tetap berduduk saja, sebaliknya Sau Peng-lam cuma menusuknya satu kali lantas dapat memaksa dia berdiri?”

"Untuk itu Thio Yan-coan telah memberi penjelasan,”

jawab Gi-lim. "Dia bilang: 'Sau-heng, kau kuanggap sebagai sahabat, jika kuterima seranganmu dengan tetap berduduk berarti aku memandang rendah padamu. Meski ilmu silatku lebih tinggi daripadamu, tapi kuhormati kepribadianmu, tak peduli kalah atau menang aku harus merangkis seranganmu dengan berdiri, tidak dapat dipersamakan dengan caraku menghadapi si hidung kerbau (kata olok2 terhadap Tosu) ini.' -Sau-toako mendengus, katanya: 'Tidak perlu kau puji diriku ' Segera dia menyerang tiga kali ber-turut2. Begitu hebat serangannya sehingga sekujur badan Thio Yan-coan se-akan2 terkurung oleh sinar pedangnya. . . .”

"Ehm, itulah hasil karya kebanggaan Sau-loji, yaitu apa yang disebut 'Tiangkang-sam-tiap-long, (gelombang Tiangkang bertumpuk tiga), kata Ting-yat sambil manggut-manggut, "Konon ketiga serangan berantai ini sangat lihay, serangan kedua lebih kuat daripada serangan pertama dan serangan ketiga lebih lihay lagi daripada serangan kedua. Lalu cara bagaimana bangsat she Thio itu mematahkan serangan tersebut?”

Para hadirin juga tahu jurus serangan berantai "Tiangkang-sam-tiap-long" dari Lam-han-kiam-hoat yang lihay itu, merekapun ingin tahu cara bagaimana Thio Yan-coan mematahkan serangan Sau Peng-lam itu.

Maka terdengar Gi-lim menyambung lagi: "Setiap kali Thio Yan-coan menangkis satu jurus, setiap kali pula dia mundur satu langkah sehingga ber-turut2 ia menyurut tiga langkah ke belakang. Lalu ia berteriak memuji: 'Kiam-hoat bagus!”

Dia berpaling kepada Te-coat Totiang dan bertanya; 'Hidung kerbau, kenapa kau tidak ikut mengerubut"“

-Kiranya Te-coat Susiok lantas berdiri menonton di samping ketika Sau-toako mulai menyerang tadi. Dengan dingin Te-coat Susiok menjawab: 'Aku adalah Cing-jinkuncu dari Yan-san-pay, mana sudi bergabung dengan penjahat cabul macam dia"“

Aku tidak tahan dan ikut berseru: 'Te-coat Susiok, Sausuheng adalah orang baik, jangan kau salah sangka,”

-Te-coat Susiok tidak percaya padaku, dia mengejek: 'Orang baik" Hehe, ya, memang, dia orang baik yang sekomplotan dengan Thio Yan-coan!”

-Baru habis ucapannya, se-konyong2 Te-coat Susiok menjerit sambil mendekap dadanya sendiri, air mukanya kelihatan sangat aneh, ya kaget, ya ngeri. Sedangkan Thio Yan-coan lantas menyimpan kembali goloknya dan berkata: 'Duduk, silakan duduk, marilah minum arak lagi.-Dari sela2 jari Te-coat Susiok kulihat merembes keluar darah segar, rupanya Te-coat Susiok telah terluka, entah dengan cara bagaimana golok Thio Yan-coan telah berhasil melukai dada Te-coat Susiok, padahal tidak kulihat orang she Thio itu menyerang. Aku menjadi takut dan berseru: 'Jangan .... jangan membunuh orang!”

-Thio Yan-coan tertawa dan berkata: 'Jika si cantik bilang jangan membunuh tentu takkan kubunuh dia “

Sambil mendekap lukanya Te-coat Susiok terus lari pergi. Sau-toako bermaksud menyusulnya untuk menolong, tapi Thio Yan-coan berkata pula: 'Sau-heng, silakan duduk dan minum arak saja. Si hidung kerbau itu teramat angkuh, matipun dia tidak sudi ditolong olehmu, untik apa kau cari susah sendiri"“

-Sau-toaKo menggeleng sambil tertawa getir, beruntun ia minum dua tiga cawan arak. Thio Yan-coan itu berkata pula: 'Hidung kerbau tadi terhitung tokoh kelas terkemuka di Yan-can-pay, bacokanku tadi cukup cepat, tapi dia sempat menyurut mundur dua-tiga inci kebelakang sehingga bacokanku tidak sampai menewwskan dia Jago di dunia ini yang mampu lolos dari seranganku ini Te-coat Tojin terhitung orang pertama, ternyata Kungfu Yan-san-pay memang boleh juga. Tapi, Sau-heng, karena si hidung kerbau ini tidak mampus, kelak tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagimu.”

-Dengan tertawa Sau-toako lantas menjawab: 'Selama hidupku hampir setiap hari ada kesulitan, peduli amat! Eh, Thio-heng, caramu bergebrak denganku kiranya kau sengaja bermurah hati padaku, padahal dengan jurus seranganmu yang maha lihay ini jelas aku tidak mampu menghindarnya.”

-Dengan tertawa Thio Yan-coan menjawab: 'Tadi aku memang bermurah hati sedikit, yakni sebagai balas kebaikanmu yang tidak membunuhku di gua sana semalam ' -Kuheran mendengar ucapanya itu. Jadi dalam pertempuran mereka di gua sana semalam telah dimenangkan oleh Sau-toako, tapi Sau-toako telah mengampuni jiwa orang she Thio itu”

Mendengar sampai disini. semua orang merasa kurang puas atas sikap Sau Peng-lam itu, mereka menganggap tidak seharusnya Sau Peng-lam bermurah hati terhadap bangsat cabul yang tak terampunkan itu.

Gi-lim menyambung pula: "Sau-toako lantas menjawab: 'Tidak. di gua sana semalam aku sudah bertempur sepenuh tenaga. tapi kepandaianku jelas dibawahmu, mengapa kau bilang aku bermurah hati padamu"', Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya; 'Semalam Nikoh cilik ini bersuara waktu bersembunyi di dalam gua sehingga dapat kutemukan dia, tapi kau diam saja dengan menahan napas, sudah tentu sama sekali tak kuduga kau berani sembunyi disitu. Ketika kupegang Nikoh cilik ini, segera aku bermaksud mengerjai dia untuk merusak kesuciannya.

Jika kau tunggu lagi sejenak, bilamana aku sedang terombang-ambing dan lupa daratan, sekali kau tusuk tentu jiwaku bisa melayang. Kau bukan anak kecil, kukira kau cukup dapat berpikir. Tapi kutahu kau adalah seorang lelaki sejati, seorang ksatria yang berjiwa besar, kau tidak sudi main sergap, sebab itulah pedangmu itu hanya menusuk pelahan saja di bahuku.

-Sau-toako menjawab: 'Mana boleh kutunggu lagi, jika kutunggu, bukankah Nikoh cilik ini akan kau nodai”

Biarpun aku akan sial jika ketemu nikoh, tapi apapun juga Siong-san-pay adalah anggota Ngo-tay-lian-beng, kau bikin susah anggota Ngo-tay-lian-beng kami. mana boleh kutinggal diam.”

-Dengan tertawa Thio Yan-coan berkata: 'Biarpun begitu, namun tusukanmu itu bila didorong lebih keras sedikit, tentu lenganku akan terkutung mengapa kau cuma menusuk pelahan, habis itu lantas ditarik kembali"“

-Sau-toiko menjawab:'Sebagai murid Lam-han mana boleh kuserang secara gelap. Soalnya lebih dulu kau membacok pundakku, maka kubalas tusuk bahumu, jadi seri, lalu kita boleh bertanding lagi secara terangan, siapapun tidak menarik keuntungan dari yang lain.”

-Thio Yan-coan ter-bahak2, katanya: 'Bagus bagus, kujadikan kau sebagai sahabatku. Marilah kita habiskan satu cawan!' Kata Sau-toako: 'Ilmu silatku bukan tandinganmu, tapi soal minum arak jelas kau bukan tandinganku.”

Agaknya Thio Yan-coan tidak mau kalah, jawabnya: 'Masa takaran minumku tak dapat melebihi kau" Eh, boleh juga kita berlomba. Marilah, kita masing2 coba habiskan dulu sepuluh mangkuk.”

-Sau-toako berkerut kening, katanya: 'Thio-heng, tadinya kukira kaupun seorang jantan yang tidak suka menarik keuntungan lebih daripada orang lain, makanya aku mau bertanding minum arak dengan kau Tapi ternyata kau bukan lelaki sebagaimana kuduga, sungguh aku sangat kecewa.' -Thio Yan-coan melirik Sau-toako, ia bertanya: 'Bilakah kutarik keuntungan darimu"“

Sau-toako menjawab: 'Habis, sudah jelas kau tahu aku jemu melihat Nikoh, bila melihat Nikoh perutku lantas mual, cara bagaimana aku dapat minum arak, apalagi berlomba minum dengan kau"“

-Kembali Thio Yan-coan bergelak tertawa, katanya: 'Sauheng, kutahu dengan segala daya-upayamu ingin kau selamatkan Nikoh cilik ini. Akan tetapi ketahuilah, sudah menjadi watakku yang gemar main perempuan melebihi sayang pada nyawanya sendiri, sekali kupenujui Nikoh cilik ini, apapun juga tak akan kulepaskan dia. Jika kau ingin kubebaskan dia, maka hanya ada satu syarat.”

-Dengan tegas Sau-toako menjawab: 'Baik, katakan syaratmu, mendaki gunung bergolok atau terjun kelautan api, bila Sau Peng-lam berkerut kening jangan kau anggap sebagai lelaki.”

Dengan tertawa Thio Yan-coan menuang dua mangkok arak dan berkata: 'Silakan habiskan dulu arak ini dan segera kukatakan padamu.”

-Sau-toako terus angkat semangkuk arak itu dan berseru: 'Baik, minum!' Thio Yan-coan juga angkat mangkuk arak yang lain, bersama2 mereka menghabiskan isi mangkuk masing2.

Dengan tertawa Thio Yan-coan lantas berkata: 'Sau-heng, karena Cayhe sudah menganggap kau sebagai sahabat, maka segala sesuatu juga harus menurut peraturan Kangouw, yakni: 'isteri sahabat, tidak boleh diganggu. Nah, jika kau berjanji akan menikahi Nikoh cilik ini. . . .”

Bertutur sampai disini, muka Gi-lim kelihatan merah jengah, ia menunduk dan suaranya semakin lirih sehingga hampir tidak terdengar.

Ting-yat menggebrak meja dan berteriak: "Ngaco belo! Makin omong makin kotor. Lalu bagaimana?”

Dengan suara lirih Gi-lim menyambung lagi: "Thio Yan-coan itu terus mengoceh tak keruan, katanya: "Seorang lelaki sejati, sekali bicara tidak nanti dijilat kembali. Bila kau berjanji akan menikahi dia, segera kubebaskan dia, bahkan akan kuminta maaf padanya. Selain jalan ini, tidak nanti kulepaskan dia”

-Sau-toako mendamperatnya: 'Cris, apa kau sengaja hendak membuat diriku sial selama hidup" Sudahlah, soal ini jangan kau singgung lagi.”

-Thio Yan-coan lantas membual macam2 lagi, katanya: 'bila rambutku dibiarkan tumbuh panjang kan bukan Nikoh lagi. Dia mengoceh banyak kata2 gila lagi, aku mendekap kuping dan tidak sudi mendengarkan.

-Sau toako juga lantas membentak. "Tutup mulut! Jika kau sembarangan omong lagi, mau-tak-mau aku bertindak Pokoknya, jika tidak kau lepaskan dia, biarlah kita bertempur lagi mati2an.”

Thio Yan-coan tertawa, katanya: 'Kau bukan tandinganku, bertempur hanya akan bikin jiwamu amblas.”

Tapi Sau-toako membantah, katanya: 'Jika bertempur dengan berdiri aku memang bukan tandinganmu, tapi bertempur dengan berduduk jelas kau bukan tandinganku.

..." Dari penuturan Gi-lim tadi semua orang sudah tahu cara bagaimana Thio Yan-coan berduduk menghadapi serangan Te-coat Tojin yang lihay. dari sini dapat diketahui betapa lihaynya dia bertempur sambil berduduk. Tapi sekarang Sau Peng-lam justeru menyarankan bertempur dengan berduduk pasti dapat mengalahkan Thio Yan-coan, jelas kata2 ini hanya ingin memancing kemarahan lawan saja.

Ho Sam-jit manggut2, katanya: "Terhadap bangsat cabul begitu kalau dapat memancingnya berjingkrak dan murka, lalu mencari kesempatan untuk turun tangan, jalan ini memang akal bagus.”

"Akan tetapi Thio Yan-coan itu tidak menjadi marah setelah mendengar ucapan Sau-toako itu," tutur Gi-lim lebih lanjut. "Dia malah tertawa dan berkata: Sau-heng, yang kukagumi adalah ketabahan dan jiwa ksatriamu, tapi bukan ilmu silatmu.”

Kontan Sau-toako menjaWab: 'Dan yang kukagumi adalah kecepatan golokmu jika bertempur dengan berdiri, tapi bukan permainan golokmu dengan berduduk.”

"Thio Yan-coan ter-bahak2 pula, kataya, 'Dalam hal ini ada yang tidak diketahui olehmu Waktu muda pernah kakiku menderita penyakit dan selama dua tahun terpaksa aku harus berlatih golok sambil berduduk. Jadi bertempur dengan berduduk adalah kemahiranku. Tadi aku bergebrak dengan si Tojin hidung kerbau itu degan berduduk bukan karena aku menghina dia, soalnya aku memang sudah biasa bertempur dengan berduduk, jadi malas untuk berdiri.

Untuk ini, jelas kau pun bukan tandinganku.”

-Sau-toako menjawab pula: 'Agaknya Thio-heng juga tidak tahu akan diriku, bahwa kau berlatih ilmu golok dengan berduduk selama dua tahun lantaran kau menderita sakit pada kakimu, tapi tahukah kau bahywa dahulu setiap hari aku berlatih lmu pedang dengan berduduk". . . .”

Sampai di sini, pandangan semua orang sama tertuju kearah Kiau Lo-kiat, semua orang ingin tahu apakah ucapan Sau Peng-lam itu betul atau tidak" Maklumlah, selama ini mereka tidak tahu apakah diantara ilmu silat Lam-han yang terkenal itu terdapat Cara latihan dengan berduduk seperti apa yang dikatakan Sau Peng-lam”

Terpaksa Kiau Lo-kiat menggeleng dan berkata: Toasuheng sengaja menipu dia, didalam perguruan kami sama sekali tidak terdapat cara berlatih demikian.”

"Ya, Thio Yan-coan juga tidak percaya," tukai Gi-lim.

"Dia menegas: 'Apakah betul ucapan Sau-heng ini" Wah, rasanya aku menjadi ingin belajar kenal dengan ilmu pedang Lam-han yang bernama ilmu pedang. . . . ilmu pedang apa, Sau-heng", -Sau-toako tertawa, jawabnya: 'Sesungguhnya ilmu pedungku ini bukan ciptaan guruku melainkan hasil pemikiranku sendiri.”

Mendengar ini, air muka Thio Yan-coan seketika berubah, katanya: 'O. kiranya demikian. Wah. bakat Sauheng sungguh sangat mengagumkan'. . . ." “

Semua orang maklum apa sebabnya Thio Yan-coan sangat tertarik oleh keterangan Sau Peng-lam itu. Sebab bukan sesuatu pekerjaan mudah untuk menciptakan sejurus ilmu pukulan atau ilmu pedang kalau tidak memiliki Kungfu maha tinggi dan mempunyai pengetahuan yang luas serta kecerdasan luar biasa, tidak nanti dapat menciptakan sesuatu jurus baru atau membuat aliran tersendiri. Diam2 Kiau Lo-kiat jadi berpikir: "Wah, kiranya diam2 Toa-suheng telah menciptakan sejurus ilmu pedang baru, mengapa dia tidak pernah lapor kepada Suhu" Apakah dia ingin mendirikan perguruan tersendiri dan melepaskan diri dari Lam-han?”

Didengarnya Gi-lim menyambung pula: "Sau-toako tertawa dan berkata: 'Ah, ilmu pedang yang berbau busuk masa kau kagumi"“

Thio Yan-coan sangat heran dan bertanya: 'Bau busuk apa maksudmu"“

-Akupun sangat heran, paling2 ilmu pedangnya dikatakan jelek, masa dibilang bau busuk" Tapi Sau-toako lantas menjelaskan: 'Terus terang kukatakan, setiap pagi hari, bila aku kebelakang untuk buang air besar, ketika berjongkok didalam kakus itulah, aku merasa sebal melihat kawanan lalat terbang kian kemari. Maka pedang kuangkat dan kugunakan menusuki kawanan lalat. Semula tusukan pedangku selalu meleset, tapi lama2 menjadi jitu, setiap pedangku bergerak si lalat lantas jatuh. Lambat-laun dari gerakan menusuk lalat itu dapatlah kupikirkan sejurus ilmu pedang. Cuma waktu memainkan pedang itu selamanya kuberjongkok dalam kakus, sebab itulah kukatakan berbau busuk.' -Aku merasa geli oleh ceritanya itu. Sau-toako memang jenaka, bisa saja dia berlatih pedang cara aneh begitu.

Sebaliknya air muka Thio Yan-coan menjadi kelam setelah mendengar keterangan Sau-toako itu, katanya: 'Sau-heng, kuanggap kau sebagai sahabat, tapi uraianmu ini kurasakan terlalu menghina, memangnya kau anggap Thio Yan-coan ini sebagai lalat didalam kakus itu" Baik. akan kubelajar kenal dengan ilmu .... ilmu pedang. . . . !”

Sampai disini, diam2 semua orang mengangguk. Mereka tahu, pertandingan diantara jago silat kelas tinggi tidaklah boleh lengah dan gelisah, Cara bicara Sau Peng-lam itu sengaja hendak memancing kemarahan pihak lawan.

Sekarang Thio Yan-coan benar2 dibikin marah, jadi langkah pertamanya sudah berhasil.

"Lalu bagaimana?" Ting-yat bertanya.

"Sau-toako tertawa," tutur Gi-lim, "Katanya: 'Caranya kulatih ilmu pedangku ini hanya karena iseng saja dan tiada maksud tujuan hendak kugunakan untuk mengadu kepandaian dengan orang lain, maka janganlah Thio-heng salah paham, betapapun aku tidak berani mengangap Thioheng sebagai lalat didalam kakus.”

-Aku merasa geli mendengar dia menyebut lalat didalam kakus, tanpa terasa aku tertawa Thio Yan-coan menjadi gusar, golok diloloskan dan ditaruh di atas meja, katanya; 'Baik. sekarang boleh kita mulai bertarung dengan berduduk.' -Diam2 aku merasa kuatir melihat sorot matanya yang buas itu, jelas orang she Thio itu tidak kenal ampun lagi dan bermaksud membunuh Sau-toako. Tapi Siu-toako tetap tenang2 saja. katanya dengan tertawa: "Main senjata dengan berduduk jelas kau bukan tandinganku. Padahal kita baru saja bersahabat, kenapa mesti cekcok pula.

Apalagi seorang lelaki sejati tidak nanti kutarik keuntungan dari sahabat sendiri dengan mengandalkan Kungfu kemahiran sendiri”

-Tapi Thio Yan-coan menjawab: 'Aku sendiri yang ingin bertanding dan takkan kutuduh kau menarik keuntungan atas diriku.' 'O, jadi Thio-heng bertekad harus bertanding"“

'Ya, harus!' jawab Thio Yan-coan.

-'Bertanding sambil berduduk' Sau-toako menegas.

-'Ya, bertanding dengan tetap berduduk.' jawab Thio Yan-coan. "Akhirnya Sau-toako berkata: "Baik, jika demikian, kita harus menetapkan suatu peraturan. Sebelum kalah-menang diketahui, barang siapa berdiri lebih dulu akan kuanggap kalah.”

Tanpa pikir Thio Yan-coan menjawab; 'Betul, sebelum kalah atau menang diketahui, barang siapa berdiri lebih dulu dianggap kalah.”

"Sau-toako lantas bertanya pula: 'Dan bagaimana bagi yang kalah"“

'Terserah padamu.' jawab Thio Yan-coan. Sau-toako termenung, katanya: 'Baiklah, bagi yang kalah, pertama, kelak bila melihat Nikoh cilik ini tidak boleh lagi berkata kasar dan bersikap kurang sopan padanya, tapi harus memberi hormat dan menyapa: 'Siau-suhu, Tecu Thio Yancoan menyampaikan salam hormat.”

"Thio Yan-coan mengomel: 'Huh, darimana kau tahu aku yang bakal kalah" Jika kau yang kalah. lalu bagaimana"Sau-toako menjawab: 'Aku-pun begitu. Pokoknya. siapa yang kalah harus menjadi cucu murid Tingyat Losuthay atau menjadi murid Nikoh kecil ini.”

Suhu, coba bayangkan. jenaka bukan Sau-toako itu”

Masa mereka bertanding sendiri, yang kalah harus menjadi murid Siong-san-pay dan mana boleh kuterima mereka sebagai murid.”

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar