Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 13

Jilid 13

PADA saat itulah dari jalan sana ada dua orang berlari datang dengan membawa payung dan menenteng lampu berkerudung. Begitu dekat mereka lantas berseru: "Adakah disitu Sin-ni dari Siong-san-pay?”

Agaknya Ting-yat merasa senang disebut "Sin-ni" atau Nikoh sakti, segera ia menjawab: "Ah, tidak berani. Tingyat dari Siong-san memang berada di sini. Dan siapa anda?”

Sesudah dekat, kelihatan kerudung lampu yang dibawa kedua orang itu tertulis huruf '"Wi". Seorang diantaranya lantas berkata: "Wanpwe diperintahkan oleb Suhu agar mengundang Ting-yat Supek dan para Suci ke tempat kediaman kami. Sebelum ini Wanpwe tidak tahu akan kedatangan Supek sehingga tidak mengadakan penyambutan, untuk ini harap Supek sudi memberi maaf." Habis berkata mereka lantas memberi hormat.

"Tidak perlu banyak adat," kata Ting-yat. "Apakah kalian murid Wi-sute, Wi Kay-hou?”

"Betul, Wanpwe bernama Hiang Tay-lian dan ini Bi Oh-gi Sute," jawab orang itu.

Watak Ting-yat suka disanjung, melihat Hiang Tay-lian dan Bi Oh-gi sangat menghormat padanya, Ting-yat sangat senang, katanya: "Baik, memang kami akan berkunjung ke tempat kalian.”

Lalu Hiang Tay-lian bertanya kepada No Hoat dan lain2: "Dan anda ini" ....”

"Cayhe Nio Hoat dari Lam-han," jawab Nio-hoat.

"Ah, kiranya Nio-samko dari Lam-han." Seru Hiang Tay-lian dengan gembira. "Sudah lama kudengar nama kebesaran Nio-samko, silakan para hadirin ikut pergi ketempat kami. Suhu sudah memberi pesan agar menyambut para ksatria yang datang dari segenap penjuru.

lantaran banyaknya pengunjung sehingga tidak merata penyambutan ini mohon para kawan suka memberi maaf Hayolah silakan.”

Sementara itu Kiau Lo-kiat sudah mendekat berkata: "Sebenarnya kami ingin bergabung dulu dengan Toasuheng, lalu berkunjung dan menyampaikan selamat kepada Wi-susiok.”

"O, anda tentunya Kiau-jisuko," kata Hiang Tay-lian, "Suhu sering memuji para Suheng dari Lam-han betapa lihay, bahkan Sau Peng-lam, Sau-suheng adalah ksatrianya ksatria. Jika Sau-suheng datang. kan sama saja para Suheng hadir lebih dulu.”

Kiau Lo-kiat pikir Siausumoaynya jelas akan diseret pergi oleh Ting-yat Suthay, melihat gelagatnya tidak mungkin dilepaskan meski dimohon, terpaksa ikut pergi saja sekalian agar dapat mengawasi keselamatan sang Sumoay. Maka ia lantas mengiakan atas undangan Hiang Tay-lian itu. "Dan orang tua ini kau undang atau tidak?" tiba2 Ting-Yat menuding sikakek tukang pangsit.

Hiang Tay-lian memandang si kakek sejenak, mendadak ia ingat sesuatu, cepat ia memberi hormat dan berkata: "Mungkin inilah Ho-supek dari Gan-tang-san" Ah, maaf, jika kurang hormat. Silakan, silakan Ho-supek hadir juga.”

Kiranya si kakek tukang pangsit ini bernama Ho Sam-jit, tokoh Gan-tang-san dan selatan Ciat-kang.

Sejak kecil pekerjaan Ho Sam-jit adalah menjual pangsit, setelah berhasil meyakinkan ilmu silat tetap tidak meninggalkan pekerjaannya itu, dengan pikulan pingsit itulah dia mengembara Kangouw, pikulan pangsit itu boleh dikatakan "trade mark" nya Cuma penjual pangsit dimana2 ada, kalau tidak kenal, siapapun tidak tahu bahwa dia seorang tokoh ilmu silat yang kosen. Tapi kalau jelas penjual pangsit mahir ilmu silat, maka pasti bukan orang lain kecuali Ho Sam-jit.

Begitulah Ho Sam-jit lantas bergelak tertawa dan berseru.

"Haha, bagus, memang aku ingin berkunjung ke tempat kalian." Lalu ia masuk ke rumah minum tadi dan membereskan mangkuk dan sumpit pangsit.

"Wanpwe tidak kenal, mohon Ho-cianpwe jangan marah?" cepat Kiau Lo-kiat minta maaf.

"Ah, tidak apa2, masa marah." ujar Ho Sam-jit dengan tertawa. "Kalian sudi makan pangsitku, adalah kalian langgananku, masa aku marah2" Eh, delapan mangkuk pangsit, satu mangkuk sepuluh duit jadi seluruhnya delapan puluh duit." Sambil omong ia terus menyodorkan tangannya untuk menerima pembayaran.

Kiau Lo-kiat merasa kikuk dan serba salah tidak diketahui sikap He Sam-jit itu sungguh2 atau bergurau saja.

"Makan pangsit harus kasih uang, kan Ho Sam-jit tidak bilang mau menjamu kalian?" ucap Ting-yat Suthay.

"Betul," kata Ho Sam-jit dengan tertawa." "Kita ini penjaja kecilan, semuanya dijual secara kontan. biarpun sobat anda atau sanak-pamili juga tidak boleh utang.”

"Baik, baik, pasti kubayar," seru Kiau Lo-kiat cepat2 menghitung uang, iapun tidak berani membayar lebih, ia bayar pas delapan puluh duit.

Setelah terima uang. Ho Sam-jit menjulurkan tangannya pula kepada Ting-yat Suthay dan berkata; "Kau pecahkan tiga buah mangkuk pangsit,seluruhnva 45 duit, hayo bayar!”

"Dasar pelit, orang perempuan juga kau peras." Omel Ting-yat dengan tertawa. "Gi-kong. bayar!”

Gi-kong mengiakan dan lekas menyerahkan jumlah uang yang disebut. Semua uang itu dimasukkan ke bumbung bambu yang terikat di pikulan, lalu Ho Sam-jit mengangkat pikulannya dan berkata: "Hayo berangkat.”

Sebelum pergi Hiang Tay-lian berkata kepada pemilik rumah minum: "Hitung saja semua minuman tuan2 ini, Wi-loya yang bayar nanti.”

"Ah, kiranya tetamu Wi-loya, mana kami berani menghitung dan menagih kepada Wi-loya, anggap saja kami yang menjamu tetamu Wi-loya," kata si pemilik rumah minum. Maka Hiang Tay-lian lantas membawa para undangannya ke rumah. Ting-yat tetap memegang tangan Leng Seng dan berjalan dibelakang Hiang Tay-lian, menyusul adalah Ho Sam-jit, anak murid Lam-han dan Siong-san-pay ikut dari belakang.

"Biarlah aku pun ikut pergi bersama mereka, mungkin dapat kuselundup ke tempat Wi Kay-hou," demikian pikir Peng-say.

Maka cepat2 ia membereskan rekening minumnya, tanpa menghiraukan hujan masih cukup lebat ia menyusur emper rumah sepanjang jalan dan ikut dibelakang rombongan Hiang Tay-lian tadi.

Setelah melintasi dua persimpangan jalan. terlihatlah di depan sana ada sebuah bangunan megah empat buah lampu besar berkerudung bergantung didepan pintu, belasan orang yang membawa obor berdiri di sekitar situ, beberapa orang lagi sibuk menyambut tamu Setelah rombongan Ting-yat, Ho Sam-jit dan lain2 itu musuk, menyusul masuk pula rombongan tamu lain dari kedua arah jalan.

Dengan tabahkan hati Peng-say mendekati gedung itu, kebetulan ada dua rombongan tamu sedang disongsong kedalam oleh anak murid W Kay-hou yang bertugas menyambut tamu itu, tanpa bersuara Peng say terus ikut masuk kesana. Mungkin Peng say disangka tamu juga, iapun disilakan masuk dengan bormat.

Begitu berada diruangan tamu yang luas itu terdengarlah suara berisik ramai, kiranya diruang tamu itu sudah hadir dua ratusan orang dan duduk di sana-sini sedang bicara dan bercanda dengan bebas, hakikatnya tiada seorang pun yang memperhatiken kedatangan Peng-say.

Lega hati Peng-say, pikirnya: "Ditengah orang banyak begini, tentu tiada orang memperhatikan diriku. Asalkan kutemukan rombongan Tang-wan tentu dapat kuselidiki dimana beradanya adik Leng.”

Ia lantas mendapatkan sebuah meja kecil di pojok, tidak lama kemudian ada pelayan mengantarkan teh, makanan kecil dan handuk panas. Setiap tamu mendapatkan pelayanan yang sama dan cukup baik.

Dilihatnya para Nikoh Siong-san pay mengerumuni sebuah meja di sisi kiri sana, sedangkan para murid Lamhan mengitari meja di sekelah lain, si nona cilik Leng Seng juga berduduk disana, tampaknya Ting-yat sudah melepaskan dia. Tapi Ting-yat Suthay dan Ho Sam jit tidak kelihatan.

Kebetulan juga, tidak jauh di sebelah sana lagi tampak berduduk rombongan murid Tang-wan.

Murid Tang-wan terbagi mengitari dua meja, tapi tidak nampak Cin Yak-leng, mungkin nona itu terkurung di suatu tempat.

Agar dapat mendengar percakapan orang Tang-wan dan mencari tahu tempat kurungan Cin Yak-leng Peng-say sengaja berpindah ke sebelah sana. Kebetulan ada sebuah meja kosong, cuma jaraknya agak jauh dengan rombongan Tang wan, tapi berdekatan dengan murid Lam-han.

Terpaksa Peng-say duduk di situ. Apa yang dibicarakan murid Tang wan itu tidak terdengar. sebaliknya semua pembicaraan murid Lam-han dapat didengarnya dengan jelas. Terdengar Leng Seng sedang bertanya: "Mengapa tidak tampak murid Bok Jong-siong, Bok-supek?”

"Konon Bok-supek dan Wi-susiok tidak akur meski keduanya adalah saudara seperguruan," tutur Kiau Lo-kiat.

"Markas pusat Thay-san-pay justeru berada d atas Thay-san yang terletak tidak jauh tapi tiada seorang pun murid Bok-supek mengucapkan selamat kepada Wi-susiok.”

"Kabarnya Wi-susiok tidak disukai oleh Suhengnya sehingga meninggalkan Thay-san-pay, lantaran itulah Wisusiok memilih Kim-bun-se jiu mengasingkan diri, entah betul tidak isyu yang tersiar ini?" kata si kera Kang Ciau-lin.

"Kau mendengar dari tempat minum bukan?" tanyaKiau Lo-kiat. "Isyu ini sama sekali tidak betul. Bahwa Wi-susiok tidak cocok dengan Bok-supek memang betul, tapi Khim-lo (si kakek kecapi Bok supek bukanlah orang yang berjiwa sempit tidak nanti dia mendesak sang Sute sehingga meningggalkan perguruan. Bahwa Wi-susiok mendadak menyatakan akan Kim-bun-se-jiu, hal ini pasti ada alasannya yang kuat.”

"Sebab apakah mereka tidak akur diantara sesama saudara perguruan?" tanya Leng Seng.

"Konon. Wi-susiok tidak setuju Bok supek menjadi ketua Thay-san-pay, sebaliknya Bok-supek anggap sang Sute terlalu banyak duitnya, se-hari2 hanya menjadi hartawan tanpa menghiraukan urusan di dalam Thay-san-pay Karena pertentangan pendapat itulah, hubungan mereka pun tambah lama tambah renggang," demikian tutur si kera.

"Hus, jangan sembarangan omong!" bentak Kiau Lo-kiat.

"Masa kusalah omong" Kan memang begitu?" ujar si kera.

"Kalau tidak jelas duduknya perkara jangan sembarangan omong," Kata Kiau Lo-kiat. "Persoalan itu adalah urusan dalam Thay-san-pay sendiri, orang luar jangan ikut mempersoalkannya.”

Mendadak terdengar suara ribut diluar, penyambut tamu berseru: "Ciangbunjin Yan-san-pay, Thian-bun Totiang tiba!”

"Aha, Ciu-to," seru Peng-say tertahan.

Ciu-to atau Tosu arak adalah julukan Thian-bun Totiang, yaitu salah satu di antara Tiong-goan-sam-yu, tiga sekawan daerah Tionggoan. Yang dimaksudkan tiga sekawan adalah Khim-lo, si kakek kecapi Bok Jong siong, si Nikoh penyair, Ting-sian Suthay dan Ciu-to Thian-bun Tojin. Di jaman kuno, yang dimaksudkan daerah Tionggoan adalah sekitar propinsi2 Soatang, Holam dan Hopak.

Thay-san terletak di Soatang. Yan-san terletak di Hopak dan Siong-san terletak di Holam, karena ketiga gunung dan ketiga aliran itu sama2 berada di wilayah Tionggoan, kebetulan di antara ketua ketiga aliran itupun terkenal sebagai penggemar kecapi, minum arak dan bersyair, di antara mereka pun ada hubungan persababatan yang akrab, maka orang Bu-lim lantas menyebut mereka sebagai Tionggoan-sam-yu. Perawakan Thian-bun Totiang tinggi besar, sangat gagah, mukanya merah seperti Kwan Kong. Mungkin orang yang gemar minum arak kebanyakan bermuka merah. Maka dari air mukanya saja orang akan segera tahu akan hobinya.

Serentak semua hadirin sama berdiri, di mana Thian-bun Tojin lewat, semua orang sama memberi hormat kepada salah seorang tokoh besar dan gembong Ngo-tay-lian-beng atau perserikatan lima besar ini.

Thian-bun Totiang langsung disambut masuk ke ruangan dalam. Mungkin orang yang boleh masuk ke ruangan dalam hanya tokoh pilihan saja.

Sesudah Thian-bun Totiang masuk, para tamu berduduk kembali di tempat masing2. Dengan sendirinya Peng-say juga ikut berdiri dan ikut terduduk lagi, begitu pula anak murid Lam-han, Siong-san dan Tang wan.

Sesudah berduduk, terdengar Leng Seng berkata: "Menurut pendapatku, paling baik Toasuko janganlah datang kemari. Disini telah hadir tokoh2 Bu-lim sebanyak ini, bila Toasuko sampai dituding dan didamperat Ting-yat Susiok sehingga menimbulkan amarah umum, urusan tentu bisa runyam.”

"Tapi Toasuheng mewakilkan Suhu untuk menyampaikan selamat kepada Wi-susiok, tak boleh tidak dia pasti akan hadir," kata Kiau Lo-kiat dengan menyesal.

Para murid Lam-han menjadi sedih dan berkuatir bagi Toasuheng mereka.

Tidak lama kemudian, diluar kembali terjadi kegaduhan.

Peng-say menyangka kedatangan tokoh besar lagi. Tapi tunggu punya tunggu tidak didengarnya petugas menyerukan nama tamu yang datang, Waktu ia melongok kesana, mana ada tamu agung segala, yang terlihat adalah beberapa orang berseragam hijau dengan menggotong dua daun pintu sedang masuk dengan ter-gesa2. Di atas daun pintu menggeletak dua orang dengan ditutupi kain putih yang berlepotan darah.

Melihat itu, para tamu sama berkerumun kesana untuk melihat. Segera terdengar seorang berkata: "Orang Yan-san-pay!”

Padahal ketua Yan-san-pay, yaitu Thian-bun Totiang, baru saja datang, hanya sebentar saja lantas disusul dengan dua sosok mayat sehingga terasa se-olah2 Thian-bun Tojin sengaja membawa mayat untuk mengucapkan selamat kepada Wi Kay-hou.

"Wah, Te-coat Tojin dari Yan-san-pay terluka parah, ada lagi seorang entah siapa?" demikian terdengar orang bertanya.

Lalu yang lain menjawab: "Murid Thian-bun Totiang, she Tang Apakah sudah meninggal?”

"Ya, meninggal," sahut yang bertanya tadi. "Coba lihat, bacokan itu melukai dadanya hingga tembus ke punggung, tentu saja mati.”

Di tengah suara berisik itu, kedua tubuh yang mati dan terluka itu telah digotong keruangan dalam. kesempatan itu segera digunakan beberapa orang untuk ikut masuk.

Di ruangan tamu masih ramai orang membicarakan kejadian itu. "Te-coat Tojin adalah tokoh Yan-san-pay yang lihay, siapa yang berani melukainya sedemikian rupa?”

"Orang yang sanggup melukai Te-coat Tojin dengan sendirinya berilmu silat jauh lebih tinggi dan juga pemberani, maka tidaklah perlu diherankan.”

Begitulah di ruangan situ orang ramai membicarakan peristiwa itu, lalu kelihatan Hiang Tay-lian keluar dengan ter-buru2, ia mendekati tempat duduk anak murid Lam-han dan berkata kepada Kiau Lo-kiat: "Kiau-suheng, Suhu mengundang.”

Kiau Lo-kiat mengiakan dan ikut Hiang Tay-lian ke ruangan dalam. Di ruangan tamu bagian dalam dilihatnya lima kursi besar berjajar di tengah, empat buah kursi itu kosong, hanya kursi keempat saja berduduk Thian-bun Tojin yang bertubuh tinggi besar itu.

Kiau Lo-kiat tahu kelima kursi itu disediakan untuk kelima ketua dari Ngo-tay lian-beng Ketua Say koan, Lamhan, Tay-san dan Siong-san belum datang, makanya kosong. Di kedua samping berduduk belasan Bu-lim cianpwe atau angkatan tua dunia persilatan, diantaranya terlihat Ting-yat Suthay dari Siong-san-pay, Ciamtay Cu-ih dari Tang-wan, Ho Sam-jit dari Gan-tang san.

Di bagian tuan rumah berduduk seorang lelaki setengah umur bertubuh gemuk pendek dan berjubah sutera, melihat potongannya orang akan segera tahu dia pasti seorang hartawan. Dia bukan lain adalah tuan rumahnya, Wi Kayhou. Lebih dulu Kiau Lo-kiat memberi hormat kepada tuan rumah, lalu disembahnya pula Thian-bun Tojin, Air muka Thian-bun Tojin tampak kalem, agaknya menahan rasa gusar yang hampir meledak, mendadak ia menepuk pegangan kursi dan membentak: "Mana Sau Peng-lam?”

Suaranya sangat keras sehingga seperti bunyi guntur menggelegar, para tamu di ruangan luar juga dapat mendengarnya. Tentu saja anak murid Lam-han sama melengak. Leng Seng lantas berbisik kepada para Suhengnya. "Kembali mereka menanyakan Toasuko.”

Nio Hoat mengangguk tanpa bicara, selang sejenak barulah ia mendesis: "Kita harus bersabar. Di sini berkumpul ksatria dari segenap penjuru, jangan sampai orang memandang hina kepada Lam-han kita.”

Diam2 Peng-say juga berpikir: "Ai, si Sau tua (ia maksudkan Sau Peng-lam yang disangkanya pasti lebih tua daripada Kiau Lo kiat) ini memang suka cari gara2, di mana2 dia membikin onar.”

Dalam pada itu anak telinga Kiau Lo-kiat terasa mendengung oleh karena suara bentakan Thian-bun yang keras tadi, kaki terasa lemas, dia memang sedang menyembah, sampai lama barulah ia dapat berbangkit. Lalu menjawab: "Lapor Supek, Sau-suheng telah berpisah dengan kami beberapa lama yang lalu, sudah disepakati akan bertemu lagi disini dan bersama2 akan menyampaikan selamat kepada Wi susiok, jika hari ini dia tidak datang, kuyakin besok pasti akan tiba.”

"Masa dia berani datang?" teriak Thian-bun dengan gusar "Sau Peng-lam adalah murid ahli-waris Lam-han kalian, betapa pun terhitung tokoh dari Beng-bun cing- pay (perguruan ternama dan golongan baik), tapi untuk apa dia bergaul dengan bangsat Thio Yam-coan yang namanya terkenal busuk?”

"Setahuku, Toasuko tidak kenal Thio Yan-coan," jawab Kiau Lo-kiat. "Memang biasanya Toasuko suka minum arak, besar kemungkinan lantaran sama2 suka minum dan secara kehetulan bertemu dirumah minum, lalu minum bersama." "Kau pun berani sembarangan mengoceh dan membela sibangtat Sau Peng-lam itu?" teriak Thian-bun dengan murka sambil berbangkit. "Sute, coba ceritakan, cara bagaimana sampai kau terluka dan Sau Peng-lam itu kenal Thio Yan-coan atau tidak?”

Kedua papan daun pintu tadi tertaruh di lantai, yang sebelah terbujur sesosok mayat, sebelah lain berbaring seorang Tojin, yaitu Te-coat Tojin dari Yan-san-pay.

wajahnya kelihatan pucat pasi, jenggotnya berlepotan darah segar.

Jelas luka Te-coat Tojin tidak ringan, cuma dia sudah mendapat obat luka "Thian-hiang-coat-siok. ciau" dari Tingyat Suthay, obat luka mujarab terkenal dari Siong-san-pay, maka jiwanya sudah tidak berhalangan. Ia lantas menjawab: "Pagi. . .pagi tadi, aku dan Tang-sutit berada di.

. . di Cui-sian-lau di kota Thay-an, disanalah kami bertemu dengan Siu Peng-lam dan ... dan Thio Yan coan, lalu ada lagi seorang. . . seorang Nikoh kecil. ..." bicara sampai disini napasnya tampak ter-engah2 dan tidak sanggup melanjutkan lagi.

Cepat Wi Kay-hou menyela: "Te-coat Suheng, tak perlu kau bicara lagi, biarlah kututurkan kepada Kiau-Sutit menurut apa yang kudengar dari uraianmu tadi." Lalu ia berpaling kepada Kiau Lo-kiat dan menyambung: "Kiau-hiantit, jauh2 kalian datang kemari untuk mengucapkan selamaf kepadaku, untuk ini aku sangat berterima kasih kepada kalian, terutama kepada Sau-suheng di rumah.

Mengenai diri Sau Peng-lam, Sau-sutit, entah cara bagaimana dia berkenalan dengan si keparat Thio Yan-coan itu, untuk ini kita masih harus menyelidiki duduknya perkara yang sebenarnya. Apabila benar Sau-hiantit bersalah, sebagai suatu keluarga besar dari Ngo-tay-lian-beng, kita harus memberi nasihat se-baik2nya kepadanya. . .

." "Memberi nasihat apa?" teriak Thian-bun dengan gusar.

"Harus bikin bersih pintu perguruan dan memenggal kepalanya.”

Melihat kemurkaan Thian-bun Tojin yang sukar ditahan itu, Kiau Lo-kiat menjadi takut. Tapi demi nampak Ciantay Cu-ih dan Ting-yat Suthay, yang satu cengar-cengir seakan bergembira menyaksikan orang tertimpa bencana, seorang lagi juga bersikap garang dan membantu pihak Thian-bun Tojin Mau-tak-mau Kau Lo-kiat jadi mendongkol juga.

Pikirnya: "Toasuheng tidak hadir di sini, sebagai murid tertua Lam-han tidak boleh kubikin malu nama baik Suhu.”

"Cianpwe adalah sahabat baik guru kami, selama ini Suhu kami tidak pernah memberi ampun kepada anak muridnya sendiri yang jelas2 bersalah, di bawah guru yang keras tidak nanti ada murid yang jahat." Kuatir Thian-bun mendamperat lagi karena Kiau Lo-kiat mengadakan pembelaan bagi Sau Peng-lam, Maka cepat Wi Kay-hou menyela: "Ya, masakah kami tidak tahu betapa kerasnya disiplin perguruan Sau-suheng”

Hanya saja perbuatan Sau-sutit sekali ini memang agak keterlaluan.”

"Untuk apa kau sebut dia Sutit" Sutit kentut!" kata Thian-bun dengan gusar.

Habis berkata baru dirasakan ucapannya kurang sopan, terutama di didepan Ting-yat Suthay, betapapun akan merosotkan derajat sendiri sebagai seorang tokoh besar.

Tapi kata2 yang sudah telanjur keluar tak dapat ditarik kenmbali, terpaksa ia hanya menarik napas dan duduk kembali di kursinya.

"Wi-susiok," kata Kiau Lo-kiat. "Sebenarnya apa yang terjadi, mohon Susiok suka memberi penjelasan.”

"Menurut cerita Te-coat Tobeng tadi, pagi2 dia dan murid Thian-bun Toheng, yaitu Tang Pek-seng, keduanya pergi ke Cui-san-lou untuk minum arak," demikian tutur Wi Kay-hou. "Begitu sampai di Ciu-lau itu segera terlihat tiga orang sedang makan minum disitu. Ketiga orang itu ialah si bangsat cabul Thio Yan-coan, Sau-sutit serta murid Tingyat Suthay, Gi-lim Siausuhu.”

"Te-coat Toheng merasa cara mereka makan minum itu sangat menyolok mata dan kurang senang. Sebenarnya dia tidak kenal kepada ketiga orang itu, hanya dari pakaian mereka dapat diketahui yang seorang adalah murid Lamhan dan seorang lagi murid Siong-san. Hendaklah Ting-yat Suthay jangan marah, jelas Gi-lim dipaksa orang sehingga dia tak dapat disalahkan. Te-coat Toheng bilang Thio Yancoan itu seorang lelaki perlente berusia antara 30-an, mula2 tidak tahu siapa dia, tapi kemudian didengarnya Sau-sutit bicara: 'Marilah, Thio-heng, kita habiskan satu cawan lagi.

Ginkangmu tersohor tiada bandingannya, tapi takaran minum arak jelas kau bukan tandinganku'. -Jika orang itu she Thio, konon Ginkangnya tiada bandingannya pula, melihat bentuknya pastilah dia Ban-li-tok-heng Thio Yancoan dan tidak mungkin keliru lagi. Pada hal Te-coat To heng adalah orang yang benci kepada kejahatan, melihat tiga orang itu makan minum bersama satu meja, Te-coat Toheng menjadi marah.”

Diam2 Kiau Lo-kiat merasa kemarahan Tojin itu memang beralasan, pikirnya: "Tiga orang minum arak bersama, yang satu adalah penjahat cabul yang terkenal busuk, seorang iagi Nikoh cilik yang masih polos, yang lain adalah murid utama Lam-han kita, sesungguhaya memang pandangan tidak sedap.”

"Kemudian Te-coat Toheng mendengar Thio Yan-coan itu berkata: 'Selama Thio Yan-coan malang melintang di dunia, yang paling kupandang rendah adalah mereka yang mengaku sebagai murid Beng-bun-ceng-pay segala. Sauheng, meski kau pun murid Lam-han, tapi jelas kau lain daripada yang lain, hari ini aku dapat minum arak bersamamu sungguh tidak sia2 hidupku ini. Marilah kita coba2 berlomba minum. Kekuatanku minum arak sedikitnya satu kali lipat lebih kuat daripadamu. Eh, Nikoh cilik. kau harus mengiringi kami minum kalau tidak mau, akan kucekoki kau. . . .”

Bicara sampai di sini, Kiau Lo-kiat memandang Wi Kayhou sekejap, lalu memandaog Te-coat pula dengan perasaan sangsi.

Segera Wi Kay-hou paham apa yang diragukan orang, ceput ia menambahkan: "Karena Te-coat Toheng terluka parah, dengan sendirinya penuturannya tidak sejelas ini.

aku memang telah membumbuinya, tapi garis besarnya memang demikian. Betul tidak, Te-coat Toheng?”

"Ya, be . . . .betul, betul," jawab Te-coat "Waktu itu juga Te-coat Toheng tidak sabar lagi, segera ia menggebrak meja dan mendamperat: 'Jadi kau ini Thio Yan-coan" Setiap orang Bu-lim bertekad akan membunuh kau, tapi kau malah menyebut namamu sendiri di sini, apakab. kau sudah bosan hidup.”

"Agaknya keparat Thio Yan-coan itu sangat angkuh, dia menjawab dengan ketus dan membikin marah Te-coat Toheng, serentak Te-coat Toheng melolos senjata untuk melabraknya. Mungkin terburu napsu ingin membinasakan bangsat itu, setelah bertempur sekian lama, sedikit lengah, akhir Te-coat Toheng terbacok dadanya. Melihat Susioknya terluka, segera Tang-hiantit berusaha menolongnya, tapi iapun terbunuh oleh Thio Yan-coan, ksatria muda harus tewas di tangan jahanam, sungguh sayang. Tatkala mana Sau Peng-lam hanya duduk saja di samping tanpa memberi bantuan, sesama anggota Ngo-tay-lian-beng, sikapnya itu harus disesalkan. Lantaran itulah maka Thian-bun Toheng sangat marah,”

Dengan gusar Thian-bun menukas: "Tentang setia kawan antara Ngo-tay-lian-beng, jelas hal ini diketabui oleh siapa pun juga. Yang lebih penting orang persilatan seperti kita ini betapa pun harus dapat membedakan antara yang baik dan busuk tapi bergaul dengan .... bargaul dengan seorang penjahat begitu. . ." saking gemasnya sehingga mukanya yaog merah berubah menjadi kelam.

Pada saat itulah tiba2 terdengar seorang berseru di luar: "Suhu, Tecu ingin memberi laporan!”

Thian-bun kenal itulah suara muridnya sendiri yang bernama Ong Gun, cepat ia menjawab: "Ada urusan apa”

Masuk!" Seorang lelaki gagah berumur 30-an tampak melangkah masuk. lebih dulu ia memberi hormat kepada Wi Kay-hou, lalu menghormati pula kepada Thian-bun dan berkata: "Suhu, menurut berita yang dikirim Jio-jing Susiok, katanya dia bersama anggota perguruan kita telah mencari jejak kedua bangsat cabul Thio Yan-coan dan Sau Peng-lam di sekitar Than-san, tapi tidak menemukan sesuatu jejaknya....”

Mendengar Toa-suhengnya dimasukkan daftar sebagai "penjahat cabul", diam2 Kiau Lo-kiat dan murid Lam-han yang lain merasa tersinggung. Tapi Toasuheng mereka memang betul bergaul dengan Thio Yan-coan, apa yang bisa mereka bantah”

Terdengar Ong Gun tadi sedang menutur pula. "Tapi diluar kota Cujoan telah diketemukan sesosok mayat, pada dada mayat itu menancap sebilah pedang, itulah pedang si penjahat cabul Sau Peng-lam.”

"Mayat siapa itu?" tanya Thian-bun cepat.

Sorot mata Ong Gun beralih ke arah Ciamtay Cu-ih, jawabnya: "Mayat seorang Suheng perguruan Ciamtaysusiok, waktu itu kami tak mengenalnya, sesudah mayat dibawa masuk kota barulah ada orang mengenalnya sebagai Lo Ci-kiat, Lo-suheng. . . .”

"Ahhh!" Ciamtay Cu-ih berseru kaget sambil berbangkit.

"Jadi Ci-kiat" Di mana jenazahnya?”

"Di sini!" segera ada orang berteriak diluar.

Ciamtay Cu-ih benar2 seorang yang dapat menahan perasaannya, meski mendengar berita duka itu secara mendadak, yang mati itu pun salah seorang murid kesayangan yang terkenal sebagai "Eng Hiong Ho Kiat", tapi dia masih tetap tenang2 saja dan berkata pula: "Mohon bantuan Hiantit, sukalah mayat itu digotong masuk kemari!" Ada orang mengiakan diluar, lalu dua orang menggotong masuk sebuab papan, tertampak di bagian dada mayat itu menancap sebilah pedang.

Pedang ini tertusuk melalui perut korbannya dan miring keatas, pedang yang panjangnya tiga kaki (hampir satu meter) itu hanya tersisa gagangnya yang hampir satu kaki panjangnya itu, jadi ujung pedang hampir mencapai tenggorokan korbannya. Jurus serangan dengan pedang menusuk dari bawah ke atas begini, sungguh jarang terlihat di dunia persilatan.

"Menurut berita Jin-jing Susiok," demikian Ong Gun menutur pula, "untuk menemukan kedua bangsat cabul itu, sebaiknya salah seorang Supek atau Susiok yang berada disini suka membantu kesana.”

"Aku saja?" serentak Ciamtay Cu-ih dan Ting-yat Suthay berseru.

Tapi pada saat itu pula dari luar berkumandang suara orang berseru: "Suhu, aku sudah kembali!" Suaranya halus dan merdu.

Seketika air muka Ting-yat berubah, "Itu dia Gi-lim! Hayolah menggelinding masuk!”

Pandangan semua orang lantas tertuju keluar pintu, semua ingin tahu bagaimana bentuk Nikoh cilik yang jadi gara2 karena minum arak bersama dengan dua penjahat cabul di restoran besar itu.

Seketika terbeliak juga pandanaan semua orang. terlihat Nikoh cilik ini memang lain daripada yang lain, lembut dan cartik, sungguh keelokan yang cemerlang.

Meski usianya baru 16 atau 17 tahun, jelas memiliki tubuh yang mempesona. walaupun memakai jubah pertapa yang longgar, namun tidak dapat menutupi tubuhnya yang indah itu. "Ba .... bagus perbuatanmu!" kata Ting-yat dengan menarik muka. "Cara bagaimana kau dapat pulang?”

"Suhu," kata Gi-lim sambil menangis, "Sekali ini hampir saja ....hampir saja murid tidak dapat bertemu lagi dengan engkau.”

Dari suaranya yang lembut dan merdu itu, setiap orang tentu akan merasa heran mengapa anak perempuan secantik ini rela menjadi Nikoh”

Apalagi kedua tangannya yang memegangi ujung lengan baju sang guru itu kelihatan putih halus. mau-tak-mau membuat hati Ong Gun dan kedua anak muda yang menggotong masuk mayat Lo Ci-kiat itu jadi terguncang.

Ciamtay Cu-ih hanya melirik sekejap saja kearah Gi-lim, lalu pandangannya berpindah kepada pedang yang menancap di tubuh Lo Ci-kiat itu, terlihat bagian gagang pedang dekat mata pedang yang tajam itu terukir lima huruf kecil "Lam-han Sau Peng-lam".

Ia berpaling ke arah Kiau Lo-kiat, dilihatnya pedang yang tergantung di pinggangnya juga berbentuk sama dengan untaian benang sutera hijau, Mendadak ia mendekati Kiau Lo-kiat terus mencolok kedua matanya, begitu cepat dan lihay serangannya, tahu2 jarinya sudah menempel kelopak mata lawan.

Keruan Kiau Lo-kiat terkejut, cepat ia gunakan jurus "Ki-hwe liau-thian" atau angkat obor menerangi langit, ia berusaha menangkis sebisanya.

Tiba2 terdengar Ciamtay Cu-ih mendengus, tangannya yang mencolok mata itu berputar dan tahu2 tangan Kiau Lo-kiat sudah tertangkap, menyusul tangan yang lain meraba kebawah, "sret", pedang Kiau Lo-kiat itu telah dilolosnya.

Kiau Lo-kiat tak dapat berkutik karena tangannya terpegang lawan, tahu2 ujung pedang sudah mengancam di dadanya, ia terkejut dan berteriak: "Aku .... aku tidak bersalah!”

Sekilas Ciamtay Cu-ih dapat membaca pada pedang Kiau Lo-kiat itu pun terukir lima huruf yang berbunyi "Lam-han Kiau Lo-kiat", bentuk huruf dan ukurannya serupa dengan huruf yang terukir di pedang lain.

"Gerakan menusuk dari bawah keatas begini apakah memang jurus serangan Lam-han-kiam-hoat kalian?" tanya Ciamtay Cu-ih sambil mengancam perut Kiau Lo-kiat dengan ujung pedang rampasannya itu.

Keringat dingin ber-ketes2 dari dahi Kiau Lo-kiat, jawabnya dengan keder: "Didalam Lam-han kiam-hoat kami tiada .... tiada terdapat jurus serangan begini.”

Ciamtay Cu-ih memang lagi heran, serangan yang mematikan Lo Ci-kiat itu jeias akibat tusukan pedang dari bagian perut menembus ke atas dan hampir mencapai leher, apakah serangan ini dilakukan Sau Peng-lam dengan berjongkok, lalu menusuk dari bawah ke atas" Sesudah membunuh mengapa pedang tidak dicabutnya, tapi sengaja meninggalkan bukti senjata pembunuh ini”

"Supek ini harap maklum, jurus serangan Sau-toako itu besar kemungkinan bukan Lam-han-kiam-hoat," demikian mendadak Gi-lim menyela.

Dia tidak kenal Ciamtay Cu-ih, ia tidak tahu orang inilah Hong-hoa-wancu, satu di antara Bu-lim-su-ki yang termashur. Karena melihat usianya lebih tua daripada gurunya, maka ia menyebutnya Supek. Ciamtay Cu-ih berpaling, dengan air muka guram ia berkata kepada Tingyat: "Coba dengarkan, Suthay, dengan sebutan apa murid anda memanggil bangsat itu?”

Dengan gusar Ting-yat menjawab: "Memangnya kau kira aku tidak punya kuping sehingga perlu kau mengingatkan?”

Hendaklah diketahui bahwa watak Ting-pay Suthay ini memang rada aneh, keras dan suka menang sendiri, salah atau benar juga suka membela orang sendiri. Sudah jelas diketahui muridnya bersalah, tetap dibelanya.

Sebenarnya ia pun gemas ketika didengarnya Gi-lim menyebut Sau Peng-lam sebagai "Sau-toako", Jika Ciamtay Cu-ih terlambat bicara sejenak, tentu dia sendiri akan mendamperat Gi-lim. Tapi Ciam?tay Cu-ih keburu mendahului buka mulut maka ia berbalik membela muridnya. Dengan suara keras ia berteriak: "Apa salahnya dia menyebut begitu" Apa pun kami adalah anggota Ngo-taylian beng, jika saling panggil Suheng dan Sute kau tidak perlu diherankan?”

Di balik ucapannya dia se-akan2 hendak bilang Tangwan kalian tidak termasuk dalam Ngo-tay-lian-beng, hakikatnya kami memandang rendah kepadamu.

Sudah tentu Ciamtay Cu-ih dapat menangkap arti yang terkandung didalam ucapan Ting-yat itu, segera ia balas menjenyek: "Bagus, bagus! Jadi Sau Peng-lam itu jelas anak murid Ngo-tay-lian-beng!?”

Habis bicara, mendadak tangan kirinya mendorong, Kontan Kiau Lo-kiat tertolak ke sana dan "blang", menumbuk dinding dengan keras.

Rasa gusar Ciamtay Cu-ih itu telah dilampiaskan diatas diri Kiau Lo-kiat, keruan Kiau Lo-kiat yang tidak berdosa harus menerima nasib, ia tertumbuk hingga kepala pusing dan mata ber-kunang2, isi perut se-akan2 berjungkir-balik.

Sekuatnya kedua tangannya menahan dinding agar tidak sampai jatuh terkulai tapi kedua kaki terasa lemas dan hampir tak kuat berdiri lagi. Tapi sebisanya ia bertahan, ia pikir, bila sampai ambruk, tentu nama baik perguruannya akan tercemar. Ting-yat Suthay lantas berkata. "Gi-lim, coba ceritakan.

cara bagaimana kau terjerat oleh mereka, ceritakan sejelas2nya kepada gurumu." Lalu tangan Gi-lim digandengnya dan diajak keluar.

Semua orang sama mafhum bilamana Nikoh cilik secantik ini jatuh dalam cengkeraman penjahat cabul semacam Thio Yan-coan itu, mustahil kesuciannya dapat dipertahankan. Dengan sendirinya seluk-beluk pengalamannya tidak leluasa dibeberkan didepan orang banyak. Sebab itulah Ting-yat Suthay sengaja membawa muridnya itu ke tempat lain untuk ditanyai dengan se-jelas2nya.

Diluar dugaan, se-konyong2 bayangan orang berkelebat.

tahu2 Ciamtay Cu-ih sudah menghadang di depan Ting-yat dan berkata: "Urusan ini menyangkut dua nyawa manusia, maka diharap Gi-lim Siausuhu suka bicara disini saja." Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula. "Tang Pek-seng.

Ting hiantit juga anak murid Ngo-tay-lian-beng, dia terbunuh oleh Sau Peng-lam, mengingat kalian sama2 anggota Ngo-tay-lian-beng, boleh jadi Yan-san-pay tidak mengusutnya lebih lanjut. Tapi muridku Lo Ci-kiat ini, dia tidak memenuhi syarat untuk bersaudara dengan penjahat cabul macam begitu.”

Tajam benar ucapan Ciamtay Cu-ih, secara langsung ia tangkis ucapan Ting-yat tadi yang membela Gi-lim waktu menyebut Sau-toako kepada Sau Peng-lam.

Watak Ting-yat memang keras dan aseran di hari2 biasa saja sang Suci, yaitu Ting-sian Suthay juga suka mengalah padanya, apalagi sekarang Ciamtay Cu-ih merintangi jalan perginya. Seketika alisnya menegak demi mendengar kata2 Ciamtay Cu-ih. Setiap orang yang kenal watak Ting-yat, begitu melihat alisnya menegak, segera orang tahu Nikoh tua itu segera akan main hantam. Padahal dia dan Ciamtay Cu-ih tergolong jago kelas satu jaman ini, bilamana keduanya mulai bergebrak, dalam waktu singkat tentu sukar menentukan kalah dan menang, pula persoalan ini tentu akan meluas dan sukar didamaikan.

Maka selaku tuan rumah cepat Wi Kay-hou melangkah maju menengahi, katanya sambil menjura kepada kedua tamunya: "Kedatangan kalian sama2 menjadi tamu undanganku, apa pun yang terjadi hendaklah mengingat pada diriku, janganlah bertengkar. Mungkin pelayanan kami kurang sempurna, harap kalian jangan marah.”

"Hahaha, sungguh lucu ucapan Wi-sute ini," jawab Tingyat dengan tertawa. "Aku marah kepada Hong-hoa-wancu, apa sangkut-pautnya dengan kau" Dia melarang aku pergi.

aku justeru mau pergi. Jika dia tidak merintangi jalanku, tentu tidak menjadi soal jika aku tetap tinggal di sini.”

Ciamtay Cu-ih sudah lama tidak menginjak daerah Tionggoan, tapi sejak dahulu ia tahu ilmu silat Ting-yat sangat tinggi. pada 27 tahun yang lalu mungkin dia tidak gentar padanya, tapi setelah terluka meski sekarang kesehatan sudah pulih, namun kekuatannya tidak dapat kembali seperti dahulu jangankan hendak menghadapi Ngotay lian-beng, mungkin untuk mengalahkan Ting-yat saja sukar. Apalagi kalau ribut dengan Ting-yat, tentu Ting-sian, si Nikoh penyair takkan tinggal diam, bahaya dikemudian hari tentu sukar dibayangkan. Karena itulah iapun bergelak dan berkata: "Yang kuharapkan adalah Gi-lim Siau-suhu suka menceritakan pengalamannya agar didengar orang banyak, memangnya Ciamtay Cu-ih ini orang macam apa, masa berani merintangi jalan Pek-hun-amcu dari Siong san-pay?”

Habis berkata segera ia melompat kembali ketempat duduknya tadi. "Asal kau tahu saja," ucap Ting-yat, ia tarik tangan Gi-lim dan berduduk kembali di tempatnya. Lalu bertanya pula: "Coba ceritakan, apa yang terjadi kemudian setelah kau tercecer dari rombongan kita?”

Ting-yat tahu Gi-lim masih muda belia dan hijau, ia kuatir segala sesuatu yang membikin malu perguruannya juga diceritakan begitu saja, maka cepat ia menambahkan: "Bicaralah yang penting2 saja, yang tidak perlu tidak usah diuraikan.”

Gi-lim mengiakan, tuturnya: "Tecu tidak berbuat sesuatu yang melanggar ajaran Suhu, yang Tecu harapkan adalah Suhu dapat membinasakan jahanam Thio Yan-coan yang menganiaya Tecu itu, ia. . .”

"Ya, kutahu, tidak perlu kau omong lagi," jawab Ting-yat sambil mengangguk. "Pasti akan kubunuh Thio Yan-coan dan Sau Peng-lam berdua bangsat itu. ...”

"Sau-toako juga?" Gi-lim menegas dengan heran. "Untuk apa Suhu akan membunuh Sau-toako, dia kan ...”

mendadak ia menunduk dan menangis, ucapnya pula dengan ter-guguk2: "Dia kan sudah . . .sudah mati?”

Semua orang sama terkejut. Dengan suara keras Thianbun Tojin bertanya: "Cara bagamana matinya" Siapa yang membunuh dia?”

"Yakni orang ... orang jahat yang datang dari Tang-hay ini!" jawab Gi-lim sambil menuding mayat Lo Ci-kiat.

Rasa gusar Thian-bun menjadi reda demi mendengar Sau Peng-lam sudah mati.

Ciamtay Cu-ih juga merasa senang, pikirnya: "Kiranya keparat Sau Peng-lam ini terbunuh oleh Ci-kiat. Jika demikian. jadi mereka lebih gugur ber-sama2. Bagus, jelek2 Ci-kiat ini boleh juga, tidak percuma kutugaskan dia mencari nama kedaerah Tionggoan ini.”

Mendadak ia melototi Gi-lim dan menjengek: "Hm, memangnya hanya Ngo-tay-lian-beng kalian yang orang baik, sedangkan Tang-wan kami adalah orang jahat?”

"Aku .... aku tidak tahu, yang kumaksudkan bukan Ciamtay supek, tapi kumaksudkan dia," ucap Gi-lim dengan menangis sambil menunjuk mayat Lo Ci-kiat. Dia mendengar gurunya menyebut kakek pendek gemuk ini sebagai Hong-hoa-wancu, maka tahulah dia siapa sang Supek ini. Ting-yat balas melototi Ciamtay Cu ih, damperatnya: "Untuk apa kau menakut-nakuti anak kecil" Jangan takut, Gi-lim, betapa jahat orang ini, ceritakan saja seluruhnya.

Suhu berada disini, masa ada orang berani bikin susah padamu." "Cut-keh-lang tidak boleh bohong, apakah Siausuhu berani bersumpah di depan Buddha?" kata Ciamtay Cu-ih tiba2. Rupanya ia kuatir Ting-yat akan menyuruh Gi-lim bercerita tentang ke-busukan Lo Ci-kiat. Sedangkan muridnya itu sudah mati, tanpa bukti hidup, tentu orang akan percaya pada cerita sepihak Gi-lim.

"Terhadap Suhu, tidak nanti aku berdusta," jawab Gi-lim, ia terus berlutut dan berdoa: "Tecu Gi-lim akan memberi laporan kepada Suhu dan para Supek dan Susiok, Tecu berjanji takkan berdusta sepatah katapun, Buddha maha sakti. tentu maklum akan ketulusan hati Tecu.”

Mendengar ucapannya yang tulus dan khidmat, kelihatannya juga menimbulkan rasa kasihan orang, maka semua orang sama terharu kepada ucapannya itu.

Seorang Susing (sastrawan) berjenggot hitam sejak tadi hanya mendengarkan disamping, sekarang tiba2 ia menyela: "Setelah Siausubu bersumpah setulus ini, dengan sendirinya semua orang percaya padamu,”

Kiranya orang itu she Bun, orang menyebutnya Bunsiansing, namanya apa malah tiada yang tahu. Hanya diketahui dia orang berasal dari selatan Siamsay, bersenjata Boan-koan-pit, terhitung jago ahli Tiam-hiat.

Dalam pada itu suasana di ruangan tamu ini menjadi hening, semua orang lama menantikan Gi-lim bercerita lebih lanjut. Sejenak kemudian, dengan pelahan barulah Gi-lim mulai menutur pula: "Kemarin sore, kuikut Suhu dan para Suci ke Thayan, di tengah jalan turun hujan lebat, karena kurang hati2 kakiku terpeleset dan hampir jatuh, kaki dan tanganku menjadi kotor setiba di kaki bukit, kupergi ke tepi sungai untuk cuci tangan. Se-konyong2 kulihat didalam air sungai di sampingku telah bertambah sebuah bayang orang lelaki.

Aku terkejut dan cepat berbangkit, namun punggungku lantas terasa sakit, aku telah tertutuk oleh orang itu.

Sungguh aku sangat takut, aku ingin berteriak minta toiong, namun tidak dapat bersuara lagi. Orang itu mengangkat tubuhku dan membawaku ke sebuah goa. Disitu kulihat jelas wajahnya. tampaknya dia tidak jahat, legalah hatiku.

Selang tak lama, kudengar para Suci sedang beeseru mencari diriku dari berbagai jurusan. Tapi apa dayaku, sama sekali aku tak dapat bergerak dan bersuura. 'Gi-lim, dimana kau"' demikian kudengar para Suci memanggil namaku. Orang itu hanya tertawa saja, dengan suara tertahan ia berkata padaku: 'Jika mereka mencarimu ke sini, segera kutangkap mereka sekalian.' Karena tidak menemukan diriku, para Suci telah putar balik lagi kesana dan akhirnya tak terdengar lagi suaranya. Orang itu lalu membuka Hiat-toku. Segera kulari keluar gua, siapa tahu gerak tubuh orang itu jauh lebih cepat dari padaku, baru saja kuterjang keluar, tahu2 dia sudah menghadang di depanku sehingga hampir saja kuseruduk dadanya. Dia terbahak2 dan berkata: Hahaha, masa kau dapat kabur"“

-Cepat aku lompat mundur dan melolos pedang,. segera ingin kutusuk dia, tapi lantas teringat olehku bahwa orang ini tiada maksud mencelakai diriku, Cut-keh lang mengutamakan welas-asih, mengapa harus kucelakai jiwanya" Sebab itulah aku tidak jadi menusuknya, kataku: "Mengapa kau rintangi diriku" Jika tidak menyingkir, segera akan kutu. . . .kutusuk kau! Orang itu tertawa, katanya: 'Baik juga hatimu, Siausuhu, kau tidak tega membunuhku, bukan"“

Aku menjawab: 'Aku tidak bermusuhan apapun denganmu, untuk apa kubunuh kau"!”

Dengan tertawa orang itu berkata pula: 'Bagus jika begitu, nah, duduklah, mari kita ber-cakap2.' 'Tidak, Suhu dan para Suci sedang mencari diriku, pula, Suhu melarang diriku bicara dengan sembarangan lelaki.' "Kata orang itu: 'Ah, kan sejak tadi kaupun sudah bicara denganku, bicara sedikit dan bicara banyak kan tiada bedanya"' Kataku: 'Lekas menyingkir, kau tahu betapa lihaynya Suhuku" Jika beliau melihat sikapmu yang tidak sopan ini, bisa jadi kedua kakimu akan ditabas kutung.' Dengan tertawa ia menjawab: Jika kau yang hendak membuntungi kakiku akan kuserahkan kakiku ini, Kalau gurumu, ah, dia sudah tua. tidak cocok bagi seleraku.”

"Diam!" bentak Ting-Yat mendadak. "Kata2 orang gila begitu masa selalu kau ingat.”

Dia tahu muridnya yang kecii ini masih polos dan kekanak2an, sama sekali belum paham seluk- beluk kehidupan manusia. Kata2 kotor yang diucapkan bangsat cabul itu hakikatnya tak dipahaminya, sebab itulah diuraikannya kembali seluruhnya seperti apa yang didengarnya. Tentu saja semua orang merasa geli, cuma rikuh terhadap Ting-yat Suthay, maka tiada yang berani tertawa.

Rupanya Gi-lim penasaran karena diomeli sang guru, dengan polos ia menjawab: "Bukan Tecu yang omong begitu, tapi orang itulah!”

"Sudahlah. pokoknya kata2 gila yang tidak penting begitu tidak perlu kau ceritakan, cukup ceritakan saja cara bagaimana kau pergoki Sau Peng-lam," kata Ting-yat, "Baiklah," jawab Gi-lim. "Sesudah pedangku terkutung oleh orang itu.

"Pedangmu terkutung?" potong Ting-yat.

"Ya, dia juga omong macam2 lagi dan tetap tidak mau membebaskan diriku. dia bilang aku. . . .bilang aku cantik dan ingin tidur denganku. . . .”

"Tutup mulutmu!" bentak Ting-yat. "Anak kecil, sembarangan omong, masa kata2 begitu juga kau ucapkan?”

"Bukan aku yang omong begitu, Suhu, tapi orang itu yang omong dan akupun tidak tidur bersama dia.”

"Diam!" bentak Ting-yat pula dengan lebih keras.

Salah seorang murid Tang-wan yang menggotong masuk mayat Lo Ci-kiat tadi tidak dapat menahan rasa gelinya, ia mengakak.

Ting-yat menjadi murka, disambarnya cangkir teh di atas meja, air teh panas pada cangkir itu terus disiramkan kearah murid Tang-wan itu.

Siraman ini menggunakan tenaga dalam Siong-san-pay, cepat lagi jitu, karena tidak sempat mengelak, kontan air teh yang panas itu menyiram mukanya, keruan murid Tang-wan itu ber-kaok2 kesakitan.

Ciamtay Cu-ih mtnjadi gusar, damperatnya: "Apa2an kau ini" Boleh omong masa tidak boleh tertawa. Sungguh mau menang sendiri!”

"Ting-yat dari Siong-San-pay memang suka menang sendiri, hal ini sudah berlangsung puluhan tahun, masa baru sekarang kau tahu?" teriak Ting yat dengan melirik hina. Segera ia angkat cangkir kosong itu dan hendak dilemparkan ke arah Ciam-tay Cu-ih.

Tapi Ciamtay Cu-ih sama sekali tidak menggubrisnya.

sebaliknya dia malah membalik tubuh kesebelah sana.

Melihat orang yang sama sekali tidak gentar itu, diam2 Ting-yat berpikir dua kali, selama ini iapun tahu kelihayan kungfu Tang wan yang termasuk diantara Bu-lim-su ki itu.

Pe-lahan2 ia menaruh kemkali cangkir teh itu, lalu berkata kepada Gi-lim: "Ceritakan lagi, hal2 yang tidak penting tidak perlu diuraikan.”

Gi-lim mengiakan dan menutur pula: "Suhu, betapapun orang itu tetap merintangi Tecu yang bermaksud keluar dari gua itu. Sementara itu hari sudab gelap, tidak kepalang rasa gelisah Tecu, mendadak kutusuk dia. Bukan maksud Tecu hendak membunuhnya melainkan cuma ingin menakuti saja. Tak terduga, mendadak tangan orang itu meraih tiba, ia meraba . . . meraba tubuhku. Tecu terkejut dan tahu2 pedangku sudah terampas olehnya.

Lihay amat Kungfu orang itu, dengan tangan kanan memegang gagang pedang, tangan kiri memegang batang pedang dengan ibu jari dan jari telunjuk, sekali tekuk dengan pelahan, pletak, pedangku dipatahkannya sepotong sepanjang satu dim.”

"Dipatahkannya dengan jari pedangmu itu, hanya sepanjang satu dim?" Ting-yat menegas.

"Ya," jawab Gi-lim.

Ting-yat dan Thian-bun Tojin saling pandang sekejap, keduanya sama mafhum, jika Thio Yan-coan itu mematahkan pedang pada bagian tengahnya, maka hal ini tidak perlu dibuat heran. Tapi hanya dengan dua jari dan dapat mematahkan sepotong kecil baja, maka tenaga jarinya sungguh luar biasa.

Mendadak Thian-bun melolos pedang murid yang berdiri disebelahnya, dengan ibu jari dan jari telunjuk ia tekuk ujung pedang itu, "pletak", pedang itu patah sepotong kecil, kira2 satu dim panjangnya, lalu ia bertanya: "Apakah begini caranya?”

"Ah, kiranya Thian-bun Supek juga bisa," seru Gi-lim.

"Cuma bagian pedangnya yang patah itu terlebih rajin daripada pedang Supek ini.”

Thian-bun mendengus dan mengembalikan pedang itu kepada muridnya, tangan lain yang memegang potongan pedang patah itu mendadak digabrukkan meja, "crat", potongan pedang patah sepanjang satu dim itu ambles rata dengan permukaan meja.

"Wah, dengan Kungfu Supek yang hebat ini, kuyakin orang jahat Thio Yan-coan itu pasti tidak bisa," seru Gi-lim sambil berkeplok. Tapi mendadak wajahnya guram lagi, ia menunduk dan menghela napas, katanya: "Ai, cuma sayang waktu itu Supek tidak dapat membantu, kalau tidak, tentu Sau-toako tidak sampai terluka parah.”

"Terluka parah bagaimana" Bukankah kau tadi bilang dia sudah mati?" tanya Thian-bun.

"Betul, lantaran Sau-toako terluka parah, makanya dia kena dicelakai oleh si jahat Lo Ci-kiat itu," jawab Gi-lim.

Ciamcay Cu-ih kembali mendengus, ia mendongkol karena Gi-lim menyebut Thio Yan-coan sebagai orang jahat, menyebut muridnya juga orang jahat. Jadi anak murid Tang-wan dipersamakan dengan bangsat cabul yang terkenal sangat busuk itu.

Melihat mata Gi-lim mengembeng air mata, agaknya setiap saat bisa menangis, maka tiada seorangpun yang berani tanya padanya.

Sejenak kemudian, Gi-lim mengusap air matanya dengan lengan baju, lalu bertutur pula dengan ter-sendat2: "Orang jahat Thio Yan-coan itu terus memaksa diriku, ia hendak menarik bajuku, segera kupukul dia, tapi kedua tanganku jadi tertangkap malah olehnya. Pada saat itulah diluar gua mendadak ada orang tertawa ter-babak2, suara tertawanya aneh, setiap kali tertawa hahaha, lalu berhenti, kemudian hahiha lagi.

Dengan bengis Thio Yan-coan lantas bertanya: 'Siapa itu diluar"' Tapi orang diluar gua itu tidak menjawabnya melainkan cuma hahaha lagi dua kali. Segera Thio Yan-coan mendamperat: 'Keparat, jika tahu gelagat hendaklah lekas enyah sana. kalau tidak, bila Thio-toaya mengamuk, tentu jiwamu bisa melayang!”

Orang di luar kembali tertawa hahaha lagi.

Thio Yan-coan tidak menghiraukannya, segera ia hendak menarik bajuku pula, tapi orang di luar gua lantas tertawa terlebih keras. Setiap kali orang itu tertawa, setiap kali pula Thio Yan-coan menjadi gusar. Sungguh aku sangat berharap orang itu akan menolong diriku. Akan tetapi rupanya orang itupun tahu kelihayan Thio Yan coan dan tidak berani masuk kedalam gua, ia masih tertawa saja di luar. Tidak kepalang gemas Thio Yan-coan, mendadak ia menutuk pula Hiat-toku dan segera melompat keluar. Tapi orang diluar itu sudah bersembunyi lebih dulu, ubek2an Thio Yan-coan mencarinya, tapi tidak bertemu, ia masuk lagi ke dalam gua. Tapi baru saja dia berada disebelahku orang tadi kembali ter-bahak2 lagi di luar. Aku merasa geli, tanpa terasa akupun tertawa.”

Ting-yat melototinya sekejap, katanya: "Apanya yang menggelikan" Jiwamu sendiri terancam, masa kau masih bisa tertawa"!”

Muka Gi-lim menjadi merah, jawabnya: "Ya, Tecu juga merasa tidak pantas tertawa, tapi entah mengapa tanpa terasa lantas tertawa begitu saja. Diam2 Thio Yan-coan lantas berjongkok dan merunduk ke mulut gua. agaknya dia akan segera menerjang keluar bila orang tadi bersuara lagi.

Tak tersangka orang diluar itu teramat cerdik, dia tidak bersuara sedikitpun. Sedangkan Thio Yan-coan masih terus menggeremet keluar, kupikir bila orang itu sampai tertangkap, maka urusan bisa celaka. Maka waktu kulihat Thio Yan-coan hampir menerjang keluar, segera aku berteriak: "Awas, dia akan keluar!”

Tapi tahu2 suara tertawa orang itu berkumandang dari kejauhan dan serunya: "Terima kasih! Tapi jangan kuatir, dia tak dapat menyusul diriku. Ginkangnya tidak becus!”

Padahal semua orang tahu Thio Yan coan itu berjuluk "Ban-li-lok-heng" atau berlaksa li selalu bersendirian, suatu tanda betapa lihay Ginkangnya dan selama ini jarang ada bandingannya. Sekarang orang itu berani menyatakan Ginkang orang she Thio ini tidak becus, jelas maksud tujuannya hanya ingin memancing kegusarannya.

Terdengar Gi-lim lagi menyambung ceritanya. sekonyong2 si jahat Thio Yan-coan melompat balik dicubitnya keras2, aku kesakitan dan menjerit, tapi secepat kilat dia lantas melompat ke gua sambil berteriak: 'Keparat.

mari kita coba2 berlomba Ginkang!”

Dengan mencubit diriku supaya aku menjerit, agaknya penjahat Thio Yan-coan sengaja hendak memancing kedatangan orang luar itu.

Namun orang itu ternyata tidak mudah tertipu, sebaliknya Thio Yan-coan sendiri yang terpedaya. Kiranya orang itu sudah bersembunyi lebih dulu didekat gua, begitu Thio Yan-coan melayang keluar diam2 ia lantas menyusup kedalam gua. 'Hiat-to mana yang ditutuknya"' Kujawab: 'Koh-hiat dan Goan-tiau-hiat. Siapa anda"“

'Bicara lagi nanti, kubuka dulu Hiat-tomu,' habis berkata lantas mengurut kedua Hiat-to yang kusebutkan itu.”

Diam2 Ting-yat berkerut kening. Ia pikir, lelaki dan perempuan tidak boleh berdekatan, apalagi kau sudah menjadi Nikoh. Goan-tiau-hiat terletak dan sekarang mesti di-urut2 oleh seorang lelaki. betapapun hal ini kurang pantas. Cuma waktu itu dalam keadaan gawat, Kalau Hiatto itu tidak dibuka, tentu sukar untuk lari dan akan dicelakai bangsat Thio Yan-coan itu. Mengingat untung ruginya ini, terpaksa ia pura2 tidak tahu dan tidak menegur.

Terdengar Gi-lim bercerita pula: "Tak terduga tenaga tutukan Thio Yan coan itu sangat lihay, meski orang itu telah mengurut sekuatnya. sampai sekian lama Hiat-to yang tertutuk tetap tak dapat buyar. Sementara itu suara siulan Thio Yan-coan sudah terdengar, agaknya dia telah putar balik lagi. Dengan kuatir kukatakan kepada orang itu: 'Lekas lari, jika kepergok, bisa kau dibunuhnya.”

Dia menjawab: 'Ngo-tay-lian-beng, senapas setanggungan, Siaumoay ada kesulitan kan pantas jika kutolong"“

"Dia juga orang dari Ngo-tay-lian-beng?" tanya Ting-yat.

"Suhu, dia itulah Sau Peng-lam, Sau-toako!" jawab Gi-lim.

"Ooo!" tanpa terasa Ting-yat, Thian-bun, Ciam-tay Cu-ih, Ho Sam-jit, Bun-siansing, Wi Kay-hou dan lain2 sama bersuara lega. Kim Lo-kiat juga menghela napas lega.

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar