Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 12

Jilid 12

Karena sudah 27 tahun tidak menginjak daratan Tionggoan, Ciamtay Cu-ih tidak tahu Lam-han telah melahirkan seorang murid terkemuka dan bernama Sau Peng-lam Ilmu silat Sau Peng lam boleh dikata tidak di bawdh Bu-lim-su-ki pada 27 tahun yang lalu, dikalangan anak murid Su-ki saat ini ia terhitung jago nomor satu.

"Hm, Sau Peng-lam itu kutu busuk macam apa, darimana kutahu namanya?" jengek Ciamtay Cu-ih dengan mendongkol”

Dia menghina Toa-suheng mereka, dengan sendirinya Kiau Lo kiat dan rombongannya tidak senang, tapi mereka pun tidak berani buka suara selain mendengarkan saja.

Cepat Ih Ci ho memberi penjelasan: "Sau Peng-lam adalah anak Sau-cianpwe dan Lan-han, iapun murid pertama Lam han.”

"Omong kosong!" damperat Ciamtay Cu-ih sambil melotot kearah Kiau Lo-kiat.

"Tecu tidak berani," cepat Ci-ho menjawab dengan takut2.

"Isteri Sau Ceng-hong, Leng Tiong-cik, jelas2 mandul dan tidak bisa punya anak, darimana mendadak bisa lahir seorang anak?" kata Ciamtay Cu-ih.

"Konon Sau Peng-lam bukan anak kandungnya, tapi anak angkat Sau-cianpwe," tutur Ci-ho.

"O, jika demikian masih bisa dimengerti," kata Ciamtay Cu-ih sambil mengangguk. "Dan cara bagaimana kedua Suheng kalian dilukai, berdasar sebab apa Sau Peng-lam melukai mereka?”

"Sungguh menyakitkan hati jika diceritakan," tutur Ci-ho. "Sebenarnya kedua Suheng juga tidak bersalah apa2 terhadap Sau Peng-lam. Kemarin dulu kedua Suheng makan minum di restoran Cui-sian-ciu-lau di Thay-an, begitu naik ke loteng restoran itu lantas terlihat Sau Peng-lam sedang menenggak arak, kedua Suheng tidak menghiraukan dia, tapi dia lantas mencaci maki, katanya Tang-wan-su-siu adalah babi dan anjing. Tentu saja kedua Suheng menjadi marah dan mendekatinya dan menegur.

Tak tersangka kedua Suheng mendadak diserang, dengan dua kali depakan kedua Suheng terjungkal ke buwah loteng dan terbanting dengan cukup keras, sampai sekarang kedua Suheng belum lagi sanggup bangun. Coba Suhu, tidakkah keterlaluan perbuatan Sau Peng-lam itu" Dia harus dihajar adat, kalau perlu gurunya harus ditanyai mengapa membiarkan muridnya berbuat se-wenang2.”

Dia bicara dengan lantang, dia menyangka pasti akan mendapat dukungan sang guru. Tak terduga sasaran pelampias marah Ciamtay Cu-ih bukanlah Sau Peng-lam melainkan Ci-ho sendiri, mendadak terdengar "plak-plok”

dua kali, kontan Ci-ho mendekap pipinya yang bengap, ia menjadi bingung mengapa sang guru menamparnya, entah begaimana dia salah omong”

Dengan gusar Ciamtay Cu-ih lantas mendamperat.

"Memangnya gemilang kejadian kedua Suhengmu itu didepak orang hingga terjungkal" Nyaring benar cara bicaramu se-akan2 kuatir tidak didengar orang lain" Hm, dasar murid tidak becus, sia2 kuajar kalian!”

"Tapi. . .tapi, Suhu, kita harus mengadu kepada Sau-cianpwe. . . .”

"Mengadu apa?" bentak Ciamtay Cu-ih sebelum lanjut ucapan Ji Ci-ho, "Cara bagaimana harus kukatakan" Apa aku harus bilang: "Sau Ceng-hong, dengan dua kali depakan muridmu telah menjungkalkan dua muridku ke bawah loteng. Begitu" Hm, dasar murid goblok, hanya bikin malu saja!”

Ci-ho tidak berani bersuara lagi, diam2 ia membatin: "Baru datang di Tionggoan sini, entah mengapa Suhu lantas marah begitu?”

"Coba jawab," kata Ciamtay Cu-ih pula. Sudah dua tahun Sutemu Boh-ko datang ke Tionggoan sini, kalian tahu tidak?”

"Tecu tahu setelah menerima surat Suhu," jawab Ci-ho.

"Dan dimana orangnya?" bentak Ciamtay Cu-ih.

Tanpa terasa Peng-say, Kiau Lo-kiat dan lain-lain sama memandang mayat yang tertaruh dibelakang punggung kuda Ciamtay Cu-ih itu. Pikir2 mereka: "Aneh, kenapa tanya" Bukankah mayat anakmu berada di situ?”

Kiranya mayat yang pendek gemuk dan melintang di atas kuda Ciamtay Cu-ih itu tak-lain-tak-bukan adalah jenazah Ciamtay Boh-ko.

Terdengar Ci-ho menjawab: "Begitu Tecu menerima surat dari Suhu dahulu segara mencari berita jejak Sute, tapi sejauh itu belum .... belum diketahui ....”

"Bukankah kusuruh kalian menjemputnya di darmaga Ciau-ciu-wan?" bentak Ciamtay Cu-ih.

"Tecu berempat menunggu sampai sebulan lamanya di Ciau-ciu-wan dan tidak melihat datangnya Sute," tutur Ci ho pula. "Tecu pikir mungkin Sute telah mendarat melalui pelabuhan lain, maka kami tidak menunggu lagi dan sampai sekarang belum pernah bertemu dengan Boh-ko Sute." Padahal Cumtay Boh-ko tidak pernah mendarat melalui pelabuhan lain. Dua tahun yang lalu dia mendarat di Ciauciu-wan, dilihatnya keempat Suhengnya siap menjemputnya di dermaga. Ia merasa akan terikat bila tinggal bersama para Suheng itu, maka ia mendarat secara diam2 Dengan bebas dan gembira dia pesiar selama dua tahun. Betapa pun dia membawa sangu yang cukup, maka segala kesenangan orang hidup telah dirasakannya semua.

Karena dia pesiar kesana dan kesini dengan sendirinya sukar mencarinya bagi Ji Ci-ho dan lain2.

Ilmu silat Ciamtay Boh-ko memang lebih tinggi dibandingkan keempat Suhengnya, tapi yang dipikirnya hanya pesiar dan foya2, sama sekali tidak bergaul dengan orang Bu-lim, sebab itulah tiada orang Kangouw yang tahu bahwa putera kesayangan Tang-wan, salah seorang tokoh sakti dunia persilatan saat ini berada di daratan Tionggoan.

Akhirnya hampir segenap pelosok Tionggoan telah dikunjungi Ciamtay Boh-ko, tugas yang diberikan sang ayah juga sudah dicapainya, yaitu membawa pulang Sau Kim-leng ke Tang-hay. Selagi ia hendak berlayar pulang itulah dia terbunuh di Ciau-ciu wan.

Begitulah Ciamtay Cu-ih lantas meraung gusar; "Kalian orang mampus semua barangkali" Kalau ditunggu tidak datang, kabarnya juga sukar dicari, mengapa kalian tidak mencari orangnya pada setiap tempat?”

Padahal Ji Ci ho berempat juga lagi sibuk ber-foya2 sendiri, mana mereka sempat memikirkan Ciamtay Boh-ko segala. Merekapun tahu Kungfu sang Sute jauh lebih tinggi di atas mereka, dengan sendirinya tidak perlu kuatir akan terjadi apa2 pada diri Sute itu. Mereka pikir besar kemungkinan sang Sute tidak mau tinggal bersama mereka dan lebih suka pesiar sendiri dengan bebas, maka mereka pun tidak mencarinya lagi.

Maka Ci-ho tidak berani banyak omong, ia cuma mengiakan: "Betul juga, sekarang para Sute sudah ikut datang, orang banyak akan lebih mudah mencarinya. Muiai besok akan kubawa Ci-kiat dan para Sute mencarinya kesegenap pelosok, dalam Waktu sebulan tanggung dapat menemukan Boh-ko Sute.”

Dia mengira sang guru kangen kepada anaknya, maka dia sengaja bicara mengikuti arah angin kehendak gurunya.

Mendadak Ciamtay Cu-ih mengangkat mayat Ciamtay Boh-ko dibelakang terus disodorkan kepada Ci-ho sambil membentak: "Ini lihatlah, siapa dia?”

Keruan Ci ho ketakutan dan merosot turun dari kudanya, jeritnya: "Boh-ko Sute, siapa . . . . siapa yang membunuh kau" Suheng bersumpah takkan menjadi manusia jika tidak dapat membalas dendam bagimu . . . . " lalu menangislah dia ter-guguk2.

Tindakannya ini ternyata manjur juga, Ciamtay Cu-ih tidak marah lagi padanya. Merdadak sorot matanya yang bengis menatap Lo Ci-kiat, se-akan2 rasa dendam kematian anaknya itu akan dilampiaskan atas diri Ci-kiat.

Untung Ci kiat juga pintar melihat gelagat, cepat ia pun melompat turun dari kudanya, ia merangkul kedua kaki Ciamtay Boh-ko dan menangis ter-gerung2. entah cara bagaimana, bisa juga dia memeras air matanya sehingga bercucuran. Anak murid Tang-wan yang lain juga tidak mau ketinggalan, mereka sama menangis sedih. Tapi yang benar2 berduka bagi sang guru yang kehilangan anak itu paling2 cuma dua atau tiga orang.

Seketika ramailah suara orang menangis sehingga Ciamtay Cu ih juga ikut pilu, air matanya juga berderai.

Dia cuma mempunyai seorang anak, betapa sedihnya dapatlah dibayangkan. Mendadak sorot matanya yang bengis itu beralih kepada para murid Lam-han.

Cepat Kiau Lo kiat berkata: "Bukan kami yang membunuh anakmu, yang membunuhnya adalah seorang perempuan muda.”

Ciamtay Cu-ih sendiri sudah mencari tahu dengan jelas kepada kuli pelabuhan tentang apa yang terjadi di sana, maka iapun tahu siapa yang membunuh anaknya ia lantas bertanya: "Bagaimana bentuk perempuan muda itu?”

Kuatir Ciamtay Cu-ih melampiaskan rasa murkanya kepada mereka, terpaksa Kiau Lo kiat menguraikan bentuk wajah Soat Koh.

"Kan masih ada seorang lelaki muda yang ikut membunuh anakku?" tanya Ciamtay Cu-ih.

Betapapun rendahnya Kiau Lo kiat juga tidak nanti menjual nyawa Soat Peng-say, maka ia menjawab dengan menggeleng: "Wajahnya terlalu biasa. tiada sesuatu ciri yang dapat dilukiskan.”

Untung para kuli pelabuhan waktu itu hanya menonton dari kejauhan sehingga tidak jelas bagaimana air muka Soat Koh dan Peng-say, mereka hanya dapat menceritakan dandanan Peng-say serta warna bajunya.

Sekarang sebelah pedang Peng-say telah direbut Soat Koh, hanya tersisa sebilah pedang yang tersandang di punggungnya, dandanannya sekarang tiada ubahnya seperti ketiga murid Lan-han yang muda itu, betapapun Ciamtay Cu-ih tidak pernah menyangka Peng-say dapat berada di tengah anak murid Lam-han, sedangkan perhatiannya juga cuma terpusat kepada si pembunuhnya dan tidak begitu menghiraukan si pembantu.

Tegang juga Peng-say menghadapi keadaan demikian, tak terduga Kiau Lo kiat cukup luhur budinya dan setia kawan, Peng-say tidak dijualnya kontan.

Mendadak Ciamtay Cu-ih bertanya pula; "Perempuan muda itu murid Pak-cay bukan?" Sudah pasti kuli pelabuhan tidak ada yang tahu ilmu pedang apa yang dimainkan Soat Koh, jelas pertanyaan ini timbul dari rabaan Ciamtay Cu-ih sendiri.

Aneh juga dia dapat menduga ke arah sana, tidak nanti dia bertanya tanpa sebab, pasti ada sesuatu yang mendorongnya bertanya demikian, Maka Kiau Lo-kiat lantas menjawab: "Melihat gaya ilmu pedangnya memang mirip murid Pak-cay." Lalu dia menunduk dan memandang Samsutenya, katanya kemudian: "Mohon Cianpwe suka membuka Hiat-to Samsute kami yang tertutuk ini.”

Tadi, begitu Ciamtay Cu-ih mendarat, segera dilihatnya mayat putera kesayangannya, juga dilihatnya murid Lamhan yang jangkung itu sedang membereskan jenazah kawanan Tosu, dalam gusarnya si jangkung terus dibekuknya untuk ditanyai. Tapi si jangkung sangat keras kepala, semakin diperlakukan kasar semakin tidak mau bicara. Ciamtay Cu-ih menyangka dia adalah pembunuhnya, selagi ia hendak membunuhnya, untung ada penonton dipinggir jalan memberitahu tentang apa yang terjadi tadi.

Apalagi setelah bergebrak segera diketahuinya si jangkung adalah murid Lam-han, dengan sendirinya ia tidak mau membunuh si jangkung dan mengikat permusuhan dengan Sau Ceng-hong. Maka ia cuma menutuk Hiat-to yang membuatnya pingsan, lalu dibawanya mengejar keini.

Kiau Lo-kiat merasa tidak mampu membuka Hiat-to yang ditutuk oleh ilmu Tang-wan itu, terpaksa ia mohon pertolongan kepada Ciamtay Cu-ih sendiri.

Tapi Ciamtay Cu-ih tidak menggubrisnya, ia bertanya pula: "Kalau kau dapat melihat gaya ilmu pedang perempuan muda itu, jelas pada waktu anakku terbunuh kau pun berada di sana.”

Diam2 Kiau Lo-kiat merasakan gelagat jelek, ia tidak berani menjawab. Didengarnya Ciamtay Cu-ih berkata pula: "Melihat pembunuhan kalian tidak turun tangan menolong, kalian ini terhitung ksatria Kang-ouw macam apa?" Kiau Lo-kiat berusaha membela diri, katanya: "Puteramu membunuhi kawanan Tosu Bu-tong-pay, tentunya Cianpwe tahu hubungan erat Lam-han kami dengan Bu-tong pay, dalam keadaan begitu apakah mungkin kami menolong anakmu?" Ciamtay Cu-ih tidak peduli, katanya: "Kalian tidak menolong anakku, kalian harus dibunuh semua!”

Serentak anak murid Lam-han memprotes "Mana ada aturan begitu"!”

"Peduli ada aturannya atau tidak" Pokoknya kalian harus mati!" bentak Ciamtay Cu-ih. "Yang tidak ingin mati boleh berlutut dan menyembah tiga kali kepada jenazah anakku, akan kuhitung sampai tiga, siapa yang tidak menyembah segera kubinasakan Nah, satu .... dua ... .”

Si monyet tidak tahan, teriaknya: "Labrak saja dia!”

Serentak anak murid Lam-han itu melompat turun dari kuda masing2. Ciamtay Cu-ih tidak perlu dibantu murid2nya, ia lantas melompat turun dari kudanya, hanya satu-dua gebrak saja seorang murid Lam-han yang muda telah dapat dipegangnya terus didepak mencelat. Setiap kali seorang dipegang, setiap kali pula dia tendang pergi. Hanya belasan gebrak saja anak murid Lam-han itu sudah sama roboh di sana sini, semuanya tercengkeram Hiat-to yang membuatnya bisu serta ditendang satu kali.

Karena Ah-hiat atau Hiat to bisu tertutuk, dengan sendirinya anak murid Lam-han tidak dapat berteriak dan juga tak dapat bergerak. Maka tertawalah Ciamtay Cu-ih ter-bahak2, katanya: "Toasuheng kalian telah mendepak kedua muridku, sekarang kudepak kalian berdelapan, satu orang satu kali, jadi kubayar empat kali lipat.”

Habis berkata ia tambahi mendepak satu kali lagi kepada si jangkung agar depakannya genap delapan kali. Habis itu mendadak ia memandang kearah Soat Peng-say yang tidak ikut turun bertempur itu. Kebat-kebit hati Peng say.

Untung Ciamtay Cu-ih hanya manggut2 saja dan berkata: "Ehm, betapa pun kau ini memang lebih pintar, tahu tidak dapat melawan lantas tidak mau ikut bertempur.

Tapi bisa juga lantaran takut mati, maka kau diam saja Haha, jika betul kau takut mati, maka kau ini dapat dianggap murid teladan Sau Ceng-hong!”

Tadi dia bilang akan menghitung sampai tiga, tapi kata "tiga" itu tidak pernah diucapkan. Betapapun ia tidak nanti menghitung sampai tiga, sebab kalau Kiau Lo-kiat dan kawan2nya tetap tidak mau menyerah, tapi ia tidak berani membunuh anak murid Sau Ceng-hong.

Dan kalau dia tidak berhitung sampai tiga, tentu iapun tidak dapat menggertak akan membunuh Soat Peng-say dengan alasan pemuda itu tidak menyembah.

Tiba2 Ciamtay Cu-ih tanya Ji Ci-ho: "Hari apa Wi Kay-hou akan Kun-bun-se-jiu (cuci tangan di baskom emas)?”

"Menurut berita yang tersiar, Wi-cianpwe menetapkan lusa sebagai hari baik bagi upacara Kim-bun-se-jiu beliau,”

jawab Ci-ho. "Sudah lebih 27 tabun aku tidak berjumpa dengan dia, bolehlah kalian ikut aku pergi memberi selamat kepadanya," kata Ciamtay Cu-ih.

Segera Ci-ho mengangkat mayat Ciamtay Boh-ko dan melompat keatas kuda, para saudara seperguruannya juga lantas mencempak kekuda masing2 dan siap berangkat, Diam2 Peng-say berharap mereka lekas pergi. Apabila mereka sudah pergi, segera dirinya akan membawa lari Cin Yak-leng dengan kereta kuda itu, tatkala mana anak murid Lam-han tentu tak dapat merintanginya.

Tak terduga, mendadak Ciamtay Cu-ih berseru: "Ci-kiat, kau mengendarai kereta itu.”

Lo Ci-kiat melenggong, ia pikir jelas dirinya menunggang kuda, mengapa disuruh mengendarai kereta”

Didengarnya Ciamtay Cu-ih membentak pula: "Dengar tidak perintahku?" Cepat Ci-kiat melompat ketempat kusir di atas kereta itu.

"Coba periksa dulu, adakah seorang nona di dalam kereta itu?" tanya Ciamtay Cu-ih.

Ci-kiat menyingkap tirai dan melongok sekejap kedalam, lalu katanya: "Ada.”

"Baik," kata Ciamtay Cu-ih dengan mengangguk, "Berangkat dulu!”

Segera Ci-kiat melarikan keretanya ke depan diikuti para Sutenya.

Ciamtay Cu-ih berada paling belakang, ia berseru pula: "Dengarkan para murid Sau Ceng-hong, kalian tidak menolong jiwa anakku, apakah kalian sengaja hendak merampas calon bininya jika dia sudah dibunuh orang”

Hm, kebetulan aku menyusul tiba sehingga rencana kalian gagal total. Bini anakku akhirnya tetap menantuku. Meski anakku sudah mati, betapa pun puteri Sau Ceng-in dari Pak-cay ini harus tetap menjagai abu sembahyang anakku, biarlah dia menjanda selama hidup." Habis berkata barulah ia menyusul rombongannya.

Dengan sangat tenang Soat Peng-say menyaksikan kereta itu dibawa pergi orang, ia menyadari dengan sedikit kepandaian sendiri jelas tidak boleh sembarangan bertindak.

Sampai rombongan Ciamtay Cu-ih itu sudah pergi jauh ia tetap diam saja disitu tanpa mengejar.

Ia tidak sanggup membuka Hiat to rombongan Kiau Lo kiat yang ditutuk Ciamtay Cu-ih tadi tapi ia mengangkat mereka satu persatu ke bawah pohon ditepi jalan, lalu mengumpulkan kuda tunggangan mereka dan ditambat menjadi satu, akhirnya ia berduduk dan berjaga di situ.

Ditunggunya sampai lama sekali, lambat-laun si jangkung dapat bergerak sedikit demi sedikit, ia tahu Hiat-to mereka sudah hampir terbuka dengan sendirinya dan tidak perlu dijaga lagi, maka ia lantas mencemplak keatas kudanya dan tinggal pergi.

Bukan maksudnya tidak menghiraukan lagi keselamatan Cin Yak-leng, soalnya dia tahu tidak mampu melawan Ciamtay Cu-ih. maka ia pikir harus berusaha menolongnya dengan akal, betapapun Yak-leng harus diselamatkannya dari cengkeraman Ciamtay Cu-ih, Ucapan Ciamtay Cu-ih sebelum pergi itu membuat Pengsay merasa bingung, ia tidak paham mengapa Ciamtay Cuih memperlakukan puteri kandung sendiri dengan sekejam itu, anak lelakinya sudah mati, tapi anak perempuannya diharuskan menjanda selama hidup, sungguh terlalu aneh dan sukar dimengerti.

Kesadisan demikian tidak berbahaya, untuk sementara waktu Peng-say tidak perlu kuatir. jika Cin Yan-leng tidak sudi mengaku sebagai Sau Kim-leng, itulah yang berbahaya.

Maklum, terhadap anak perempuan kandung sendiri dengan sendirinya Ciamtay Cu-ih takkan membunuh atau memperkosanya, tapi terhadap perempuan lain jelas tidak ada jaminan. Sebab itulah bila Yak-leng menjelaskan kepada Ciamtay Cu-ih bahwa dia sesungguhnya bukan Sau Kim-leng, itu berarti malapetaka akan segera menimpanya.

Inilah yang menguatirkan Peng-say, tapi ia pikir Yakleng telah melarangnya membongkar rahasia penyamarannya, jelas nona itupun takkan membuka rahasia kepalsuannya sendiri. Untuk menolong Yak-leng dengan akal harus dilakukan sebelum Ciamtay Cu-ih pulang ke Tang-hay, jika dia sudah pulang kandang, tentu sukar untuk turun tangan.

Menurut pendapat Peng-say, Ciamtay Cu-ih bersama anak muridnya akan pergi ke tempat Wi Kay-hou untuk memberi selamat, ditempat keramaian itu suasana tentu cukup gaduh dan di situlah kesempatan paling baik untuk menolong Cin Yak-leng.

Tentang Wi Kay-bou, orang ini memang sangat termashur, dia adalah Sute Bok Jong-siong, satu di antara Tiong-goan-sam-yu atau tiga sekawan dari Tionggoan yang diberi julukan "Khim-lo" atau si kakek kecapi.

Bicara tentang Tionggoan-sam-lo, mereka adalah tiga tokoh besar ilmu silat yang paling menonjol belasan tahun terakhir ini, nama mereka tidak di baWah Bu-lim-su-ki, ilmu silat mereka pun tidak lebih asor. Lebih2 anak murid mereka juga sangat banyak, dalam hal kekuatan dan pengaruh, kecuali Say-koan (satu di antara Bu-lim-su-ki), ketiga Ki yang lain jelas tak dapat menandinginya.

Antara 20 tahun yang lalu, Tiong-goan-sam-yu berserikat dengan Say-lam-ji-ki, yaitu kedua Ki dari Say (barat dan Lam selatan) dan tersebutlah menjadi suatu keluarga besar dengan peraturan dan disiplin yang ketat, persekutuan mereka itu terkenal dengan manis "Ngo tay-lian-beng" atau persekutuan lima besar.

Karena itulah, Say-lam-ji-ki serta Tiong-goan-sam-vu semakun kuat dan berpengaruh, golongan atau aliran manapun tidak ada yang berani meremehkan anak murid lima besar itu. Maka Ngo-tay-lian-beng bolen dikatakan sama dengan rajanva dunia persilatan, nama dan pengaruhnya bahkan jauh di atas aliran Siau-lim dan Butong yang terkenal itu.

Pada waktu mengikat persekutuan, mestinya Tiong-goan sam-yu dan Say-lam ji-ki bermaksud menarik pula Tang-pak ji-ki (kedua Ki dan timur dan utara), tapi lantaran Tang-wan berada jauh di lautan timur dan termasuk wilayah negeri asing, untuk mengundangnya tidaklah mudah Adapun mengenai Pak-cay. karena hilangnya Sau Ceng-in anak muridnya juga bubar dan cari jalan keluar sendiri2, yang tersisa hanya kaum wanita dan para budaknya, jika mereka pun diajak masuk perserikatan, rasanya kurang gemiiang, maka tanpa dipertimbangkan nama Pak-cay lantas dicoret dari acara perundingan.

Wi Kay-hou sendiri tidak termasuk didalam Tiong-goansam-yu, tapi ilmu silatnya sangat tinggi, dia tergolong angkatan tua yang disegani didalam Ngo tay-lian-beng, ditambah lagi keluarga Wi sangat kaya raya, setiap tindak-tanduknya membawa pengaruh yang luas. Maka maksud Wi Kay-hou akan Kin-bun-se-jiu atau cuci tangan di baskom emas, artinya akan cuci tangan dan meninggalkan dunia persilatan, sudah tentu hal ini akan merugikan Ngo-tay lian-beng.

Setelah berita akan cuci tangannya Wi Kay-hou tersiar, tentu saja dunia persilatan menjadi gempar, dengan sendirinya pula setiap golongan dan aliran sama datang mengucakan selamat pada hari yang ditentukan dan ramainya tidak kepalang.

Pada waktu Soat Peng cay turun gunung, cukup jelas juga Tio Tay-peng menceritakan segala sesuatu mengenai keadaan dunia Kangouw, maka diketahuinya Wi Kay-hou beralamat tinggal di kota Cujoan yang terletak dikaki gunung Thay. Dirancang oleh Peng say pada hari berlangsungnya upacara "cuci tangan" Wi Kay-hau, yaitu pada saat yang paling ramai, kesempatan itu akan digunakannya untuk menolong Cin Yak-leng Soalnya Ciamtay Cu-ih dan muridnya sudah pernah melihat Soat Peng-say, kalau anak muda ini tidak menyamar, jangan harap akan dapat mendekati mereka untuk menolong Cin Yak-leng. Sebab itulah sebelum masuk kota Cujoan, lebih dulu ia menyamar sebagai seorang bungkuk, mukanya ditempeli pula beberapa potong koyok, rambutnya dibiarkan terurai, walaupun penyamarannya kurang sempurna, tapi sudah bolehlah. Seumpama teman lewat di depannya juga akan pangling.

Esoknya, setiba di dalam kota, di-mana2 terlihat tokoh Bu-lim yang datang hendak menyampaikan selamat, karena itulah hampir setiap hotel penuh terisi. Dengan susah payah akhirnya Peng-say berhasil mendapatkan sebuah kamar yang kotor di sebuah hotel kecil.

Petangnya ia ber-jalan2 mengelilingi kota. Mendadak hujan turun dengan lebat. Dilihatnya di tepi jalan ada sebuah rumah minum, cepat ia berlari masuk kesitu dan minta dibuatkan teh serta beberapa macam makanan kecil.

Rumah minum itu penuh tamu dan ramai orang membicarakan Wi Kay-hou yang mendadak mengumumkan niatnya akan Kim-bun-se-jiu.

Peng-say tidak berminat mendengarkan obrolan orang itu, dia asyik menyisir kuaci untuk menghilangkan rasa kesal. "He, bukankah itu Siausumoay?" demikian mendadak suara seorang yang sudah dikenalnya berseru di belakangnya. Waktu Peng-say menoleh, benar juga, dilihatnya orang2 yang mengerumuni sebuah meja itu memang dikenalnya semua. Ada Kiau Lo-kiat, si jangkung, lelaki berdandan kuli, si saudagar yang membawa suipoa serta si kurus kecil yang mirip kera, semuanya lengkap berada disitu.

Yang bicara itu adalah si monyet yang memang usil mulut itu, terlihat dia sedang menggapai dan memanggil: "Siausumoay! Siausumoay!”

Peng-say tidak berani memandangnya lebih lama, cepat ia berpaling kembali. Diam2 ia merasa sangat kebetulan, tidak disengaja tahu2 dirinya masuk di rumah minum yang sama dan berduduk dimeja yang bertetangga dengan mereka. Sejenak kemudian, terdengar suara seorang anak perempuan berseru dengan nyaring dan girang; "Ai, kiranya kalian berada disini, mana Toasuko?”

Sekilas melirik, Peng-say melihat anak perempuan yang lari masuk kehujanan itu berusia antara 16 tahun, cantik molek dan menyenangkan.

"Siausumoay, berani benar kau, diam2 mengeluyur keluar diluar tahu Suhu tanpa menghiraukan bahaya ditengah jalan"!" demikian si monyet menegur.

"Ah, merasa kesal berdiam di rumah, maka kukeluar mencari Toasuko, peduli bahaya ditengah jalan apa segala?”

jawab si nona cilik.

Si kera melelet lidah, katanya pula: "Wah, sunggub hebat, demi mencari Toasuko, seorang nona kecil menempuh perjalanan jauh sendirian. Sayang yang dicari bukan aku si Kang Ciau-lin, kalau aku yang dicari, wah, bisa semaput aku saking kegirangan.”

Nona cilik itu melotot, katanya: "Huh, siapa mau mencari Lak-kau-ji (si kera nomor enam) macam kau ini”

Kera hanya suka mengacau, mana bisa bekerja baik?”

"Wah, wah, dunia terbalik ini," seru si kera alias Kang Ciau-lin. "Tidak panggil Laksuko (kakak-guru keenam), tapi sebut diriku Lak-kau-ji. Ai, lebih baik kuletakkan jabatan sebagai Suko.”

"Habis, paman dan bibi serta para Suko sama memanggil kau Lak-kau-ji, masa aku harus dikecualikan?" ujar si nona dengan tertawa.

"Suhu dan Subo (ibu guru) memanggil demikian padaku kan pantas, kelima Suko memanggilku begitu juga aku terima, tapi Sute dan Sumoay juga memanggil begitu padaku tanpa menghormati diriku sebagai Suko, lalu apa artinya aku menjadi Laksuko kalian" Kan lebih baik semuanya menyebut aku sebagai Siausute (adik-guru terkecil) saja?”

"Aha, bagus," seru si nona dengan tertawa; "Aku memang sudah bosan selalu dipanggil sebagai Siausumoay, justeru tidak punya Siausute, lowongan ini memang perlu diisi, akan kusambut dengan baik jika kau mau mengisinya.”

Hendaklah maklum bahwa Kang Ciau-lin alias si kera ini memang suka berkelakar dengan nona cilik itu. Dia hendak omong lagi, tapi Kiau Lo-kiat lantas berdehem dan berkata: "Lak-kau-ji, kau sendiri tidak mempunyai wibawa sebagai seorang Suko, mana Siausumoay mau tunduk padamu.

Salahmu sendiri jika kau disebut Lak-kau-ji.”

Karena Ji-sukonya juga membela Siausumoay, Kang Ciau-lin bisa melihat gelagat, ia melelet lidah dan tidak bicara lagi.

Kiau Lo-kiat lantas tanya si nona cilik: "Siau-sumoay, diam2 kau keluar, Suhu tahu tidak?”

"Kalau tahu kan namanya bukan keluar secara diam",”

jawab si nona cilik.

"Bila Suhu mengetahui kau menghilang, beliau kan bisa kelabakan?" ujar Kiau Lo-kiat.

Nona cilik itu adalah keponakan perempuan Leng Tiongcik. puteri Sau Ceng-hong. Namanya Leng Seng, pada waktu berumur sepuluh, ia diantarkan ayahnya ke tempat Sau Ceng-hong dan menyuruh Leng Seng mengangkat sang paman sebagai guru.

Leng Tiong-cik sendiri mandul, tidak punya anak, meski kemudian Sau Ceng-hong mengangkat seorang anak lelaki dan diberi nama Sau Peng-lam, tapi sepuluh tahun yang lalu Sau Peng-lam sudah tamat belajar dan meninggalkan perguruan, hampir sepanjang tahun Sau Peng-lam berkelana didunia Kangouw dan jarang berkumpul dengan sang ayah angkat.

Selain isteri dan muridnya, Sau Ceng-hong tiada mempunyai keturunan sehingga hidupnya terasa kesepian.

Dengan datangnya Leng Seng, meski cuma keponakan, tapi lantaran anak dara itu sangat menyenangkan, pintar omong dan mahir bicara, maka dia sangat disayang Sau Ceng-hong melebihi anak kandung sendiri, bila tidak bertemu satu hari, rasanya seperti kehilangan sesuatu.

Sekali ini diam2 Leng Seng meninggalkan Hui ciu dan datang ke Soatang, untuk perjalanan ini saja makan waktu 20-an hari, jika Sau Ceng-hong tidak mengetahui kemana perginya Leng Seng, selama 20 hari ini pasti kelabakan setengah mati. Begitulah dengan tertawa Leng Seng lantas menanggapi ucapan Kiau Lo-kiat tadi: "Jangan kuatir Sudah kutingalkan secarik surat dirumah, kukatakan akan mencari Tousuko di Cujoan sini. Jika paman tahu tempat kepergianku, tentu beliau tidak akan kuatir lagi." “

"Ah, belum tentu," ujar Kiau Lo-kiat. "Menurut pendapatku begitu melihat surat yang kau tinggalkan, beliau pasti akan menyusul kemari.”

"Bukankah akhir2 ini paman sedang meyakinkan semacam Kungfu yang maha lihay?" kata Leng Seng.

"Tapi kalau kau menghilang, mana Suhu dapat berlatih Kungfu dengan tenang?" ujar Kiau Lo-kiat. "Kukira semuanya pasti akan ditinggalkan untuk sementara dan akan mencari kau lebih dulu.”

Mendadak Kiau Lo-kiat teringat sesuatu, segera ia bertanya: "Eh. darimana kau tahu jejak Toasuko sehingga mencarinya kemari?”

"Meski Toasuko bersama kalian menuju ke Ciau-jiu-wan, tapi ketika berangkat kudengar paman memberi pesan kepada Toasuko agar mampir di Cujoan dan mewakilkan beliau mengucapkan selamat kepada Wi-susiok yang akan Kim-bun-se-jiu, malahan Suko sudah dibekali kado.

Menurut perhitunganku, besok lusa adalah hari upacara Kim-bun-se-jiu Wi-susiok, maka setiba disini pasti dapat kutemukan Toasuko.”

"Dan sekarang sudah bertemu belum?" tanya Kiau Lo-kiat.

"Kalau sudah bertemu tentu aku takkan kehujanan hingga basah-kuyup begini," kata Leng Seng, "Justeru sepanjang jalan tadi kucari keterangan mengenai Toasuko.

maka kehujanan.”

"Ai, mengapa tidak ada orang yang sudi mencari diriku dengan diguyur hujan," kata Kang Ciau-lin dengan menyesal. "Agaknya pembawaan Toasuko memang berejeki besar.”

Si saudagar yang membawa suipoa ikut menimbrung: "He, Lak-kau-ji, kau ini kagum atau iri kepada Toasuko?”

"Katakanlah iri, tapi apa dayaku?" ucap Kang Ciau-lin sambil menyengir. "Selama hidup Siausumoay tak bakalan menyukai Lak-kau-ji, yang disukai dia hanya Toa. . . .”

"Hayo omong lagi"!" hardik Leng Seng dengan muka merah.

Seperti biasa Kang Ciu-lin melelet lidah dan menjawab: "Tidak, tidak berani omong lagi!”

Diam2 Peng say merasa heran melihat keakraban anak murid Lam-han itu, pikirnya: "Jisuko mereka yang bernama Kiau Lo-kiat ini tampaknya sudah tua. sedikitnya 50 lebih.

Maka Toasuko mereka yang bernama Sau Peng-lam itu pasti lebih tua daripada Kiau Lo-kiat. Sunggub aneh, mengapa seorang anak dara berumur 16-17 tahun bisa menyukai seorang kakek yang 30-40 tahun lebih tua dari padanya?" Didengarnya Kiau Lo-kiat lagi berkata: "Siau sumoay tidak menemukan Toasuko, kami pun belum bertemu dengan beliau, tampaknya Toasuko belum datang ke Cujoan sini.”

"Kalian tidak berada bersama Toasuko?" tanya Leng Seng.

"Tiga hari yang lalu Toasuko berpisah dengan kami di Thay-an," tutur Kiau Lo-kiat, "beliau pergi sendiri menyampaikan selamat kepada Wi-susiok sedangkan kami menuju ke Ciau-ciu-wan, sudah disepakati setelah upacara Kim-bun-se-jiu Wi-susiok itu selesai, segera Toasuko akan menyusul ke Ciau-ciu-wan untuk membantu kami. Tapi kalau terbukti Ciamtay Boh-ko sudah berlayar pulang, maka kami harus menyusul kesini untuk bertemu dengan Toa-suko serta pergi bersama ke tempat Wi-susiok Toasuko menyatakan tiga hari sebelum upacara, setiap siang hari dia pasti dapat ditemukan di Ciu-lau (restoran) kota ini.

Tapi hampir semua restoran sudah kami cari, tetap belum menemukan Toasuko.”

"Mengapa harus berada di Ciu-lau melulu?" omel Leng Seng dengan kurang senang.

"Siausumoay," kata Kiau Lo-kiat dengan tertawa "Tidakkah kau tahu, setiap hari Toasuko mesti minum arak, kalau sehari tidak minum sepuluh atau dua puluh kati, tentu rasanya tidak enak.”

"Hanya inilah kebiasaannya yang jelek." kata Leng Seng sambil berkerut kening.

"Meski gemar minum arak, tapi Toasuko tidak pernah menelantarkan tugas. maka hobi minum arak ini pun tak dapat dikatakan kebiasaan jelek," ujar Kiau Lo-kiat.

"Dan sekarang kalian menyusul kemari, apa ini berarti Ciamtay Boh-ko sudah berlayar pulang?" tanya Leng Seng.

"Bukan," jawab Kiau Lo-kiat. "Ciamtay Boh-ko sudah mati.”

Leng Seng terkejut, tanyanya pula: "Dan bagaimana dengan anak perempuan Sau-supek?”

"Dia jatuh di tangan Hong-hoa Wancu yang saat ini juga memimpin anak muridnya kesini untuk mengucapkan selamat kepada Wi-susiok," tutur Kiau Lo-kiat. "Maka kami ingin cepat menemui Toasuheng untuk berunding dengan beliau cara bagaimana akan menolong Sau-sumoay.”

"O. jadi Ciamtay Cu-ih berada dikota ini" Lalu cara bagaimana Sau-suci sampai jatuh di cengkeramannya?”

tanya Leng Seng pula.

Kiau Lo-kiat lantas menceritakan apa yang terjadi kemarin. Kang Ciau-lin tidak mau ketinggalan, terkadang ia pun menimbrung dan membumbui.

Dalam pada itu hujan tambah keras, tertampak seorang penjual pangsit dengan pikulannya yang kehujanan berteduh di bawah emper rumah minum itu.

Terdengar suara "tok-tok-tok", suara penjual pangsit mengetuk kepingan kayunya, tertampak pula kepulan asap dari kualinya. Anak murid Lam-han itu memang sudah lapar, Kang Ciau-lin segera mendahului berteriak: "He, penjual pangsit, buatkan delapan atau sepuluh mangkuk, tambah telur!”

Si kakek penjual pangsit mengiakan, dibukanya tutup kuali dan dilemparkaanya berpuluh biji pangsit mentah kedalam air mendidih Tidak lama kemudian, empat mangkuk pangsit lantas dihidangkan lebih dulu.

Dengan tertib si kera Kang Ciau-lin menyerahkan mangkuk pertama kepada Jisuko Kiau Lo-kiat, mangkuk kedua kepada Samsuko, si jangkung, Nio Hoat. Lalu berturut2 diberikannya kepada lelaki berdandan sebagai kuli, yaitu Sisuko Si Tay-cu dan kemudian si saudagar yang membawa suipoa, Go-suko Ko Kin-beng.

Waktu pangsit lain diantarkan, mestinya mangkuk kelima adalah bagian si kera sendiri, tapi disodorkannya kepada Leng Seng dan berkata: "Siau-sumoay, silakan kau makan dulu.”

Kalau sejak tadi Leng Seng suka bertengkar dengan Kang Ciau lin dan tidak menganggapnya sebagai Suheng, sekarang dia lantas berdiri menyambut mangkuk pangsit itu, katanya dengan hormat: "Terima kasih Laksuko.”

Agaknya disiplin perguruan Lam-han sangat keras, sehari2 boleh bergurau sesukanya. tapi peraturan dan sopan santun tetap harus dijaga.

Kiau Lo-kiat dan lain2 segera makan pangsit lebih dulu, tapi Leng Seng menunggu sampai bagian Kang Ciau-lin sudah siap barulah dimakan bersama Sebabis makan pangsit, si jangkung yang bernama Nio Hoat itu berkata: "Mungkin sebentar lagi Toasuko akan sampai di Cujoan sini. Hujan masih lebat, hotel juga sukar dicari, biarlah kita menunggunya dirumah minum ini.

Andaikan hari ini Toasuko tidak datang, besok juga pasti datang. Bagaimana pendapat Jisuko?”

"Lalu di mana kita akan bermalam nanti?" jawab Kiau Lo-kiat.

"Bila rumah minum ini tutup nanti, biarlah kita gunakan meja sekedar sebagai tempat tidur dan lewatkan semalam ini," ujar Nio Hoat. "Besok boleh kita bayar menurut sewa hotel kepada pemilik rumah minum ini, kukira dia pasti setuju." Setelah berpikir, akhirnya Kiau Lo-kiat mengangguk setuju, "Jika demikian, kita harus mengawasi jalan raya, jangan sampai Toasuko lewat begitu saja tanpa kita ketahui," kata si kera.

"Kukira tidak perlu," ujar Gosuko Ko Kin-beng.

"Mengapa tidak perlu?" tanya si kera dengan terbelalak.

"Besok lusa kan hari cuci tangan Wi-susiok, hari ini atau besok Toasuko pasti akan sampai di sini, begitu datang tentu akan mengantarkan kado lebih dulu, untuk menuju ke tempat kediaman Wi susiok harus melalui jalan ini, maka kita harus pasang mata awasi, tentu dapat melihat Toasuko jika beliau lalu disini.”

"Usulmu memang betul, cuma kita tidak perlu repot, betul tidak?" ucap Ko Kin-beng dengan tertawa sambil memberi tanda ke arab Leng Seng.

Saat itu Leng Seng sedang memandang orang yang berlalu lalang di tengah hujan, semangkuk pangsit baru dimakannya setengah mangkuk.

Maka pahamlah Kang Ciau-lin akan maksud sang Gosuko, dengan tertawa ia berseru: "Aha, memang betul.

Jika Siausumoay sudah mengawasi orang di jalanan, sepasang matanya jauh lebih awas dari pada delapan pasang mata kita. Lebih baik kita makan kuaci saja.”

Sementara itu semangkuk pangsit sudah disapu habis, ia lantas mulai menyisir kuaci pula.

Leng Seng menjadi kikuk karena ucapan si kera tadi, ia tidak memandang keluar lagi, sisa pangsit setengah mangkuk tidak dimakannya lagi, katanya: "Jisuko, berita tentang Sau-suci dari Pak-cay diculik Ciamtay Boh-ko mengapa tersiar sampai jauh ke Huiciu?”

Sejak tadi Peng-say memang heran mengenai hal ini, pertanyaan Leng Seng sungguh sangat kebetulan baginya, segera ia pasang kuping untuk mendengarkan.

Terdengar Kiau Lo-kiat bertutur: "Sebulan yang lalu tersiar berita bahwa Sau-supek dari Pak-cay kembali muncul di dunia Kangouw dan jejaknya terlihat di sekitar Holam dan Hopak. Jarak antara Huiciu dengan Holam dan Hopak sangat jauh, syukur anak murid Bu-tong tersebar dimana2, setiap orang tahu bubungan baik Lam-han kita dengan Bu-tong, maka dalam waktu singkat kita pun menerima berita merpati yang dikirim oleh murid Bu-tong yang kebetulan berada di wilayah Holam dan Hopak.

Demi membuktikan berita itu, Suhu membalas surat dan minta murid Bu-tong-pay yang berada di Soasay agar suka datang ke Siau-ngo-tay-san tempat kediaman Sau-supek itu, untuk menyelidiki kebenaran berita itu, sebab betul atau tidak berita itu pasti diketahui oleh anak perempuan Sau-supek. Tak terduga, beberapa hari kemudian datang pula berita merpati dari Bu-tong-pay dan menyatakan Sausumoay tidak berada di Leng hiang-cay, menurut keterangan budak yang masih tinggal di Pak-cay, katanya Sau-sumoay telah diculik Ciamtay Boh-ko dan akan dipaksa menjadi isterinya.”

Diam2 Peng-say mengangguk, pikirnya: "Yang diculik Ciamtny Boh-ko itu adalah Yak-leng dan bukan Sau Kimleng, budak Pak-cay tentunya tahu juga hal ini. Mungkin mereka sengaja memberitahukan begitu agar Lam-han memberi pertolongan “

Apa pun juga Peng-say tetap tidak percaya bahwa Cin Yak-leng secara sukarela mau mengaku sebagai Sau Kim leng, ia menduga Yak-leng tentu dipaksa oleh Liok-ma dengan ancaman yang sukar untuk ditolak sehingga mautak-mau Cin Yak-leng tidak berani lagi mengakui asalusulnya sendiri.

Sebenarnya Peng-say sangat benci kepada Sau Kim-leng yang lebih mementingkan keselamatan sendiri, ia tidak suka menjadi isteri Ciamtay Boh-ko, tapi Cin Yak-leng yang dikorbankan. Tapi sekarang setelah diketahui Pak-cay sengaja menyiarkan berita penculikan itu agar Lam-han memberi pertolongan, diam2 ia berterima kasih pula kepada Sau Kim-leng.

Apalagi setelah dipikir ketika Ciamtay Boh-ko sampai di Leng-hiang-cay. saat itu Sau Kim-leng mengiringi Pak-say sendiri ke Ciok-leng-tong sehingga tidak mungkin sempat memberi perintah kepada Liok-ma agar memaksa Cin Yakleng memalsukan dirinya. Maka besar kemungkinan tindakan itu diambil oleh Liok-ma dan bukan atas kehendak Sau Kim-leng.

Selagi berpikir, didengarnya Leng Seng berkata: "Jika Tang-wan berbesanan dengan Pak-cay, kan baik juga, kenapa kita mesti banyak urusan dan ikut campur?”

"Menurut budak Pak-cay, katanya Siocia mereka tidak sudi menjadi isteri Ciamtay Boh-ko, maka terjadilah penculikan itu," tutur Kiau Lo-kiat. "Sesuai peraturan Lam-han kita yang harus membantu pihak yang lemah dan memberantas pihak yang jahat, adalah layak jika kita memberi pertolongan. mana boleh dikatakan kita banyak urusan dan ikut campur urusan orang lain?”

"Diculik atau bukan, urusan Pak-cay kan tiada sangkut-pautnya dengan kita," kata Leng Seng.

Diam2 Peng-say mendongkol, pikirnya, anak perempuan secantik ini ternyata berhati kurang baik.

Terdengar Kiau Lo-kiat sedang berkata pula: "Antara Pak-cay dan Lam-han kita sebenarnya sudah putus hubungan sejuk kakek guru kita, anak muridnya juga saling bermusuhan, urusan Pak-cay memang tidak ada sangkut-pautnya dengan Lam-han kita. Tapi Pak-cay sekarang hanya tertinggal Sau-sumoay sendiri, Suhu tidak sampai hati tinggal diam, maka begitu menerima berita segera beliau mengirim berita merpati dengan tipu-daya yang di aturnya, anak murid Bu-tong-pay diminta menunggu di Ciau ciu-wan untuk merintangi berlayarnya Ciamtay Bohko, berbareng itu kita diperintahkan menuju ke Ciau-ciuwan pula. Tapi lantaran perjalanan jauh, setiba di tempat tujuan kita sudah agak terlambat, sungguh harus disesalkan korban kawan Bu-tong-pay yang jatuh itu. Hal ini belum lagi diketahui Suhu, meski Ciamtay Boh-ko sudah mati, bukan mustahil bila bertemu Ciamtay Cu-ih akan ditegur pula oleh Suhu.”

Sisuko Si Tay-cu ikut bicara: "Anaknya merampas gadis orang, sang ayah bukan saja tidak bertindak, sebaliknya malah membela anak sendiri dan mengharuskan anak gadis orang lain menjanda bagi kematian anaknya. Huh, Ciamtay Cu-ih itu manusia apa?”

Jangan dikira Si Tay-cu itu berdandan sebagai kuli dan kelihatan kampungan. tapi pembawaannya sangat simpatik dan berbudi luhur, segala kejahatan dipandangnya sebagai musuh. Bicara punya bicara saking gemasnya ia terus menggebrak meja. Kontan sebuah mangkuk pangsit mencelat dan jatuh ke bawah meja.

Syukur Ko Kin-beng cepat bertindak, sebelah kakinya sempat mencungkit sehingga mangkuk itu mencelat kembali keatas, dengan enteng mangkuk itu lantas ditangkap oleh Ko Kin-beng. Pada saat itulah, se-konyong2 si kakek penjual pangsit mendesis: "Awas, musuh datang, lekas pergi!”

Semua murid Lam-han terkejut demi mendengar ucapan si penjual pangsit itu.

"Adakah Ciamtay Cu-ih?" tanya Ko Kin-beng. Tapi si kakek penjual pangsit hanya memberi isyarat ke luar dan tidak bicara, lalu ia ketok2 pula kepingan kayunya.

Serentak anak murid Lam-han sama memandang keluar, tertampak di bawah hujan belasan orang sedang berlari kemari, cepat langkah mereka, tapi hampir tidak bersuara.

Orang2 ini sama memakai mantel hujan, sesudah dekat baru terlihat jelas, kiranya serombongan Nikoh.

Yang paling depan adalah seorang Nikoh tua bertubuh sangat tinggi, dia berdiri di depan rumah minum, dengan suara kasar ia kasar berteriak: "Sau Peng-lam, menggelinding keluar sini!”

Melihat Nikoh tua itu, serentak Kiau Lo-kiat dan kawan2nya berbangkit serta memberi hormat Dengan suara lantang Kiau Lo-kiat menyapa: "Ting-yat Susiok!”

Kiranya Nikoh tua itu bergelar Ting-yat Suthay, dia adalah Sumoaynya Ting-sian Suthay, si Nikoh penyair dari Tiong-goan-sam-yu.

Ting Sian Suthay adalah ketua Siong-san-pay di Holam, Sumoaynya, yakni Ting Yat, juga memimpin sendiri suatu kuil, yaitu ketua kuil Pek-hun-am (biara awan putih) dilereng gunung Siong-san, selain berpengaruh di Siong san-pay sendiri, ia juga disegani didunia persilatan.

Terdengar dia berteriak-teriak pula dengan suara kasar, "Di mana Sau Pek-lam bersembunyi, suruh dia keluar!”

Suaranya eras dan lebih kasar daripada kaum lelaki.

"Lapor Susiok, Sau-suheng tidak berada di sini,”

demikian Kiau Lo-kiat menjawab. "Sejak tadi Tecu sekalian telah menunggunya disini, tapi Sau-suheng dan tetap belum datang.”

Begitulah dengan suara kasar ia berteriak pula tanpa menghiraukan Kiau Lo-kiat: "Di mana Sau Peng-lam, suruh dia lekas keluar!"Suaranya keras dan lebih kasar daripada kaum lelaki.

"Lapor Susiok, Sau-suheng tidak berada disini," cepat Kiau Lo-kiat menjawab. "Sudah sejak tadi Tecu sekalian menunggu di sini, tapi Sau-suheng belum lagi muncul.”

Mendengar itu, diam2 Peng-say menganggap Sau Penglam itu benar2 orang yang suka cari gara2. Beberapa hari yang lalu baru saja menghajar murid Ciamtay Cu-ih, sekarang entah sebab apa telah membikin marah pula si Nikoh tua ini. Ting-yat memandang sekejap semua tamu di rumah minum itu dan tidak melihat Sau Peng-lam yang dicarinya, tiba2 sorot matanya hinggap pada diri Leng Seng, tanyanya: "'Kau inikah Seng-ji" Baik2kah bibimu?”

Dengan tertawa Leng Seng menjawab: "Terima kasih atas perhatian Susiok, bibi baik2 dan sehat2 saja. Susiok, entah salah apa Toasuko hingga membikin marah kepadamu" Biarlah kuberlutut menyembah untuk minta maaf kepadamu. harap Susiok jangan marah lagi.”

Habis berkata ia benar2 lantas berlutut dan hendak menyembah. Namun Ting-yat keburu mencegahnya, lengan jubahnya mengebas, seketika Leng Seng merasa suatu tenaga yang tak kelihatan menolak tubuhnya sehingga tidak mampu berlutut.

"Hm, disiplin Lam-han kalian makin hari makin kendur dan membiarkan muridnya main gila di luaran," jengek Ting-yat. "Bila urusan disini sudah beres, akan kupergi ke Huiciu untuk menanyai guru kalian.”

"Wah, jangan Susiok, janganlah engkau ke Sana," cepat Leng Seng berkata: "Selama ini paman sangat keras terhadap Toasuko, asalkan ada orang mengadu, Toasuko bisa dihajar sampai mati oleh paman.”

"Kalau binatang ini dihajar sampai mati akan lebih baik,”

ujar Ting-yat. "Dia telah membawa lari muridku yang terkecil, mana boleh tidak kuadukan kepada gurumu.”

Keterangan ini membuat para murid Lam-han sama melengak kaget.

Lebih2 Leng Seng, saking cemas hampir saja ia menangis, cepat ia berkata: "Susiok, kukira tidak mungkin, betapa beraninya Toasuko juga tak nanti berani mengganggu para Suci (kakak-guru) Siong-san-pay kalian.

Besar kemungkinan orang sengaja memfitnah dan mengadu-domba.”

"Kau berani membela dan membantah baginya?" teriak Ting-yat gusar. "Gi-kong, coba ceritakan apa yang kau lihat di Thay-an tempo hari.

Seorang Nikoh setengah baya lantas melangkah maju dan berkata: "Di kota Thay-an Tecu melihat sendiri Sau Peng-lam, Sau-suheng, berada bersama Gi-lim Sumoay sedang minum arak di Cui-sian-lau, jelas kelihatan Gi-lim Sumoay berada di bawah ancaman Sau-suheng hingga terpaksa ikut minum arak, sikapnva kelihatan takut dan susah." Meski sudah dilapori hal ini, tidak urung Ting-yat menjadi gusar pula demi mendengar lagi untuk kedua kalinya, mendadak ia menggebrak meja sehingga beberapa buah mangkuk pangsit sama mencelat dan jatuh berantakan. Para murid Lam-han kelihatan serba susah, diam2 merekapun menganggap perbuatan Toasuko mereka itu keterlaluan. Kalau sang Toasuko menghajar anak murid Ciamtay Cu-ih masih dapat dibenarkan karena murid Tang wan memang terkenal busuk. Tapi mengapa seorang Nikoh cilik juga diseretnya ikut minum arak di rumah makan, betapa pun perbuatan ini tidaklah pantas dan tak dapat dibenarkan. Apalagi Nikoh muda ini adalah murid Siong-san-pay, sedangkan watak Ting-yat Suthay terkenal sangat keras, tentu urusan ini tak dapat diterimanya, bila persoalan ini sampai diributkan, andaikan Toasuhengnya tidak dihajar sampai mati oleh guru, sedikitnya juga akan dipecat dan diusir. Air mata Leng Seng ber-linang2, ucapnya dengan nada rada gemetar: "Susiok, kukira.. . .kukira Gi-kong Suci telah .... salah lihat. . . .”

"Mana bisa kusalah lihat," jengek Gi-kong. "Gi-lim Sumoay adalah saudara seperguruanku sendiri, masa aku pangling" Bentuk Sau-subeng itu juga sangat mudah dikenali, tidak nanti kusalah lihat.”

"Jika begitu, mengapa tidak kau panggil Gi-lim Suci”

tanya Leng Seng.

"Aku tidak berani," jawab Gi-kong.

"Memangnya kau pun takut Toasuko kami menyeret kau ikut minum sekalian?" kata Leng Seng.

Ucapan ini membuat geli semua orang. tapi tiada seorang pun yang berani tertawa.

Segera Ting yat Suthay membentak: "Seng-ji, jangan sembarangan omong!”

"Soalnya. masih ada seorang lagi yang berduduk bersama mereka. aku tidak berani bertemu dengan orang itu," tutur Gi-kong.

"Oo! Siapa dia?" tanda Leng Seng.

"Thio Yan-coan," jawab Gi-kong.

Serentak anak mund Lam-han sama bersuara kaget, para tamu lain juga berubah pucat demi mendengar nama Thio Yan-coan. Kiranya Thio Yan-coan ini berjuluk "Ban-li-tok-heng”

atau jalan sendiri berlaksa li, artinya ke manapun dia selalu beroperasi seorang diri. Dia memang seorang bandit yang memusingkan kepala setiap orang Hek-to (kalangan hitam) maupun Pek-to (golongan putih). Ilmu silat orang ini sangat tinggi, ditambah lagi banyak tipu akalnya pergi datang tanpa meninggalkan bekas. cara turun tangannya juga sangat keji tanpa kenal kasihan, merampok, menculik, memperkosa anak gadis, hampir segala macam kejahatan dapat diperbuatnya.

Pernah beberapa kali tokoh2 Bu-lim bergabung bendak menangkapnya, tapi dia selalu dapat menghilang atau bersembunyi. Begitu orang2 yang hendak menangkapnya itu bubar, lalu didatanginya orang itu satu persatu, ada yang disergap ada yang diracuni, pokoknya semua orang yang memusuhi dia itu telah dikerjainya dan terbunuh.

Yang paling merontokkan nyali orang, terutama kaum wanitanya. ialah Thio Yan-coan ini gemar ia perempuan, bila perlu main perkosa. Perempuan yang agak lumayan parasnya hampir tidak yang dapat mempertahankan kesuciannya jika jatuh ditangannya, sebab itulah orang Bulim sama membencinya dan bila mungkin ingin menumpasnya. "Kau kenal keparat Thio Yan-coan itu, Gi-kong sumoay?" tanya Kiau Lo-kiat tiba2.

"Orang itu memang mudah dikenal," tutur Gi-kong.

"Pada dahi kanan orang itu ada toh hijau berbulu, toh hijau sebesar mata uang." Toh hijau berbulu memang merupakan tanda pengenal khas Thio Yan-coan, hal ini boleh dikatakan diketahui hampir setiap orang Kangouw. Orang suka bilang Thian memang maha pengasih meski salah menciptakan manusia maha jahat seperti Thio Yan-coan itu, tapi setidak2nya pada muka orang jahat itu diberinya juga tanda pengenal yang menyolok agar orang dapat ber-jaga2 bila melihatnya. Jika mukanya bersih tanpa cacat seperti orang biasa, mungkin orang yang menjadi korban keganasannya akan berlipat ganda jumlahnya.

Begitulah Ting-yat Suthay lantas berteriak pula: "Coba, Sau Peng-lam si binatang kecil ini ternyata bergaul dengan bangsat semacam Thio Yan-coan itu. bukankah dia telah terjerumus benar2 dan tiada obatnya lagi" Maka kalau guru kalian tidak mau mengurusnya, jika kutemukan dia pasti tidak kuampun, harus kupenggal kepalanya.”

Setelah merandek sejenak, ia menyambung pula: "Hm, orang takut kepada bangsat Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan itu, bila bertemu justeru akan kulabrak dia habis2an. Tapi ketika kuterima laporan dan memburu kesana, ternyata Gi-lim sudah dibawa pergi oleh mereka." Sampai di sini suaranya berubah menjadi parau, dengan menyesal ia berkata pula: "Ai, Gi-lim, anak ini, bagaimana ....

bagaimana jadinya nanti!”

Di antara murid Pek-hun-am ada yang menangis pelahan, semuanya membayangkan nasib Gi-lim yang kecil mungil dan lemah-lembut itu pasti tak terhindar dari perbuatan jahat Thio Yan-coan.

Hati Kiau Lo kiat dan kawan2nya juga berdebar, pikir mereka: "Melulu mengajak minum arak bersama Gi-lim sehingga melanggar pantangan seorang Nikoh, perbuatan Toasuko ini saja sudah melanggar tata-tertib perguruan, apalagi dia bergaul pula dengan penjahat macam Thio Yancoan jelas dosanya lebih2 tak dapat diampuni.”

Sejenak kemudian, berkatalah Kiau Lo-kiat: "Susiok mungkin Sau-suheng juga baru bertemu dengan Thio Yancoan dan belum kenal baik, soalnya Sau-suheng memang gemar minum arak, bisa jadi waktu itu dia sudah terlalu banyak menenggak arak sehingga pikirannya kurang sadar perbuatan orang mabuk tentu tak dapat dianggap. . . .”

Dia tahu Toasuheng itu tidak pernah mabuk betapa pun arak yang diminumnya, dia bicara begitu hanya karena ingin membela sang Suheng saja.

Dengan gusar Ting-yat berkata: "Betapapun dia mabuk juga tetap ada dua-tiga bagian masih sadar, masa orang macam dia tak dapat membedakan antara yang baik dan busuk?" Terpaksa Kiau Lo-kiat mengiakan, katanya: "Entah sekarang Sau-suheng berada dimana, Sutit sekalian juga sedang menunggu dan ingin bertemu dengan dia. Biarlah kami minta maaf dulu kepada Susiok dan nanti akan kami laporkan kepada Suhu biar memberi hukuman setimpal kepada Toasuheng.”

"Memangnya kau kira aku mau repot mengurusi Suheng kalian?" ucap Ting-yat dengan gusar, sekali tangan terjulur, mendadak pergelangan tangan Leng Seng dipegangnya.

Seketika Leng Seng merasa tangannya seperti terbelenggu, ia menjerit kaget dan berseru: "He, Su. .

.Susiok. . . .”

"Kalian telah membawa lari Gi-lim, biar akupun menawan seorang murid perempuan kalian sebagai sandera, kalau Gi-lim sudah kalian lepaskan, segera aku pun membebaskan Seng-ji," kata Ting-yat, lalu ia menyeret Leng Seng keluar.

Leng Seng merasa separoh badan bagian atas kaku tak bertenaga, tanpa kuasa ia diseret sehingga sempoyongan dan ikut keluar rumah minum itu.

Cepat Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat memburu maju dan menghadang di depan Ting yat, dengan hormat Kiau Lokiat berkata: "Ting-yat Susiok, yang bersalah adalah Toasuheng kami dan tiada sangkut-pautnya dengan Siausumoay, mohon Susiok sudi lepaskan. . . .”

"Baik, akan kulepaskan!" sela Ting-yat sambil melayang maju.

Kontan Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat merasa ditumbuk oleh arus tenaga yang maha kuat, napas terasa sesak dan tanpa kuasa tubuh terus mencelat ke belakang. Kiau Lo-kiat menumbuk daun pintu sebuah toko disebelah sana, sedangkan Nio Hoat mencelat kearah pikulan si penjual pangsit. Tampaknya pikulan penjual pangsit itu akan berantakan diseruduk oleh tubuh Nio Hoat yang gede itu, mendadak si kakek tukang pangsit menjulurkan sebelah tangannya menahan dipunggung Nio Hoat sehingga No Hoat dapat berdiri dengan tegak. Ting yat Suthay terkesiap, ia berpaling dan melototi si tukang pangsit, serunya kemudian: "O, kiranya kau!”

"Betul, aku!" jawab si tukang pangsit dengan tertawa.

"Ai, terlalu keras juga watak Suthay ini.”

"Peduli apa?" omel Ting-yat.

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar