Jilid 11
Rupanya tempo hari Liok-ma telah mengancam Cin Yak-leng dengan jiwa Soat Peng-say agar nona itu mau mengaku sebagai Sau Kim-leng serta berjanji akan dijadikan isteri Ciamtay Boh-ko, tanpa melawan ia lalu ikut pergi bersama Ciamtay Boh-ko.
Karena jiwa Soat Peng-say bergantung kepada Liok-ma, terpaksa Cin Yak-leng menerima kehendak Liok-ma, makanya waktu Ciamtay Boh-ko meninggalkan Ling-hiangcay, dia menyangka Cin Yak-leng yang dibawanya itu ialah Sau Kim-leng. Dia sangat gembira, ia membawa nona itu pesiar ke-mana2 sepanjang perjalanannya menuju ke Ciauciu-wan, dan situ ia hendak berlayar dan pulang.
Meski Ciamtay Boh-ko ini sudah biasa suka main perempuan, tapi sejak kecil iapun mendapat pendidikan secara keras, jadi bukan bangsa asing yang masih biadab.
Iapun tahu Sau Kim-leng adalah adik kandungnya sendiri dan tidak boleh diganggu, maka selama sebulan ini Cin Yak-leng masih tetap suci bersih.
Padahal Ciamtay Boh-ko cuma pura2 menyatakan hendak membawa Sau Kim-leng pulang ke lautan timur, bila hal ini sudah terlaksana, tujuannya juga bukan ingin menikahi adik kandungnya sendiri. Dalam hal ini dia dan ayahnya, yaitu Ciamtay Cu-ih memang ada maksud tujuan lain yang telah direncanakan sebelumnya.
Pada waktu Cin Yak-leng mengaku sebagai Sau Kimleng dan berjanji akan menikah dengan Ciamtay Boh-ko serta ikut dia pulang ke Tang-hay, tapi di depan Liok-ma ia telah menyatakan dengan tegas, yakni: Demi jiwa Peng-ko, makanya kuterima kehendakmu.
Sudah tentu Ciamtay Boh-ko merasa bingung oleh ucapan itu, ia cuma tahu kekasih "Sau Kim leng" disebut "Peng-ko" atau kakak Peng, tapi mengenai apa sebabnya demi jiwa Peng-ko si nona mau ikut dia pulang ke Tanghay, hal ini tetap sukar dipahaminya. Baru sekarang untuk pertama kalinya dia berhadapan dengan si "Peng-ko" yang disebut Cin Yak-leng itu.
Begitulah Soat Peng-say menjadi bingung juga demi mendengar bantahan Cin Yak-leng tadi, segera ia bertanya: "Leng-moay, apa katamu" Demi keselamatan jiwaku?”
Yak-leng tidak berani menjelaskan isi hatinya di depan Ciamtay Boh-ko, sebab kuatir orang akan pergi mencari lagi Sau Kim-leng yang tulen sehingga bisa menimbulkan dendam Liok-ma karena dirinya tidak pegang janji, lalu jiwa Peng-say akan terancam lagi.
Yang penting sekarang Peng-say terbukti selamat, ia mengira Liok-ma telah menepati janjinya, maka ia lantas berseru: "Peng-ko, jangan banyak bertanya, lekaslah menolong diriku!”
Mendadak Ciamtay Boh-ko melolos golok sabitnya yang masih menancap di kabin kereta itu, lalu berkata kepada Soat Peng-say sambil menyeringai: "Kau ingin selamat atau tidak?”
Sementara itu Peng-say sudah membuat sepasang pedang yang cocok dipakai, cepat ia melolos sebilah pedangnya dan siap tempur. Padahal dalam hati ia sangat takut, hanya lahirnya saja ia berlagak tenang.
Melihat ketegangan Soat Peng-say seperti menghadapi musuh besar di medan perang, Ciamtay Boh-ko merasa geli, ia menengadah dan ter-bahak2, ucapnya menghina: "Kongcumu takkan membunuh kau, agar adk Ling tidak benci padaku selama hidup bila kubunuh kau. Hendaklah kauturut saja kepada perintahku, lekas kau pergi, kalau tidak, pinggang tertabas putus, kan celaka!”
Tapi Peng-say diam saja tanpa menanggapi, ia kuatir bila sedikit lengah dan tahu2 golok sabit lawan menyambar tiba, kan jiwanya bisa melayang.
"Bagaimana, ketakutan ya"!" jengek Ciamtay Boh-ko dan mendadak ia pura2 membacok.
Tapi Peng-say bukanlah pemuda penakut, gertakan ini masih dapat ditahannya, ia tetap berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak.
"Sret sret", kembali Ciamtay Boh ko menabas dua kali, serangan pura2, tapi juga sungguh2. Bila Peng say tidak dapat menahan diri, bisa jadi serangan pancingan itu berubah menjadi sungguhan dan dia tentu akan terserang dengan kelabakan.
Untung tidak percuma dia berlatih Kungfunya, ia tahu dalam keadaan demikian diperlukan ketenangan dan kesabaran, semakin gugup semakin celaka. Untuk menjaga segala kemungkinan, pelahan2 ia menyisipkan tangan kanan pada ikat pinggangnya.
Ciamtay Boh-ko jadi melengak melihat tindakan Peng say itu, pikirnya: "Busyet, menghadapi lawan tangguh, jelas kau ketakutan, sekarang kau malah. sengaja menyembunyikan sebelah tanganmu, apakah kau sengaja hendak membikin dongkol padaku" Bagus, ingin kulihat hanya dengan satu tangan saja berapa jurus kau mampu menangkis seranganku?”
Ia benar2 marah. tapi tidak memperlihatkan perasaannya. Mendadak golok sabit berkelebat, secepat kilat ia menabas.
Dia cepat, tapi Peng-say juga tidak lambat. Ia tahu pentingnya momen, sedetikpun tidak boleh terlambat.
Pedang yang dipegangnya tetap berada di dalam sarungnya dan mendadak menegak sebatas pinggang, "trang", sarung pedang yang terbuat dan kulit itu tertabas dan bagian bawah lantas terlepas dan jatuh.
"Bagus, tangkis lagi satu kali?" seru Ciamtay Boh-ko, kembali golok sabit berkelebat, gaya serangannya tidak berubah. Peng-say juga tetap memegang pedangnya dan tidak sempat berganti cara lain, ia tetap menegakkan pedang di depan dada untuk menangkis. Maka sarung pedang yang sudah terlepas sebagian itu kembali tertabas sepotong pula.
Serangan Ciamtay Boh-ko bertambah gencar, ia membacok satu kali dari kanan dan menabas pula dari kiri, serangan berantai, setiap tabasan tidak pernah jauh dari batas pinggang Soat Peng-say, dia se-akan2 ingin menyatakan kalau tabasannya tidak tepat mengenai pinggang anak muda itu, andaikan dapat membunuhnya juga kurang cemerlang.
Sebaliknva setiap Peng-say menangkis satu kali, pedangnya lantas tertekan beberapa senti ke bawah, hal ini disebabkan kekuatannya jauh di bawah Ciam-tay Boh ko, maka setiap kali setelah menangkis, setiap kali pula tenaganya berkurang.
Sampai serangan kesebelas, ujung pedang Peng-say yang menegak itu sudah hampir menyentuh tanah, sarung pedangnya yang tiga kaki panjangnya itu pun tersisa beberapa inci saja. Melihat gelagatnya jika dia menangkis lagi dua-tiga kali, tangannya yang memegang gagang pedang itu berikut sisa sarung pedang pasti akan tertabas putus oleh golok Ciamtay Boh-ko.
"Hahahaha! Apa abamu sekarang"!" seru Ciam?tay Boh-ko dengan bergelak tertawa. "Akan kubuntungi tangan kirimu, ingin kulihat tangan kanan akan kau gunakan atau tidak?”
Sembari bicara kembali ia membacok lagi dua kali dan tangan Soat Peng-say tertekan lebih kebawah lagi. Bacokan kedua kali terakhir itu meski tetap mengenai batang pedang, tapi jelas menyambar lewat di tepi tangan Peng say.
Peng say menyadari bila lawan menabas lagi, tentu tangan sendiri akan tertabas dan akhirnya tetap tak terhindar dari kematian ditabas putus pinggangnya.
Bila dia ragu lagi, mungkin kesempatan melolos pedang yang lainpun ter-sia2. Keadaan tidak memungkinkan dia banyak berpikir pula, dia harus bertindak.
Begitulah pada detik terakhir, mendadak ia tekan pedangnya ke bawah, ujung pedang menancap tanah, ia bertekad tetap akan mempertahankan pedangnya sekalipun tangan sendiri akan tertabas.
Soat Koh cukup paham watak nekat Peng-say itu, ia tahu anak muda itu tidak nanti membuang pedangnya untuk mencari selamat. Betapapun ia tidak sampai hati untuk tinggal diam dan menyaksikan temannya dicelakai orang.
Maka ketika ujung pedang Peng-say tercancap di tanah dan golok sabit menyambar, mendadak iapun bergerak, "trang", ia tergetar mundur bersama Ciamtay Boh-ko.
Keruan Ciamtay Boh-ko terkejut, tak diduganya seorang nona muda jelita memiliki kekuatan setingkat dengan dirinya. Padahal tenaga Soat Koh lebih lemah daripada Soat Peng-say, apalagi kalau dibandingkan Ciamtay Boh-ko”
Soalnya Ciamtay Boh-ko sudah menabas belasan kali pada pedang Peng-say sehingga tenaganya sudah banyak terbuang, sedangkan Soat Koh bertujuan menolong Pengsay, tangkisannya menggunakan sepenuh tenaganya, dalam keadaan demikian tampaknya menjadi sama kuatnya ketika beradu senjata dan sama2 tergetar mundur.
Ciamtay Boh-ko hidup jauh di lautan timur sana, sudah biasa memerintah dan dipuja, hampir tidak pernah memandang sebelah mata terhadap siapapun juga.
Sekarang meski menyangka tenaga Soat Koh sangat kuat, ia hanya tercengang sejenak saja dan tidak menghiraukannya lagi, serunya dengan tertawa: "Aha, memang sejak tadi seharusnya nona maju membantu lakimu ini.”
Mendengar ucapan Ciamtay Boh-ko itu, Cin Yak-leng yang meringkuk di dalam kereta menjadi heran siapakah nona yang dimaksudkan itu. Padahal ia yakin sang "Peng-ko" pasti mampu melabrak dan menghalau Ciamtay Bohko, tak tahunya sekarang sang kakak Peng itu malah perlu bantuan orang. Kata2 "lakimu" ucapan Ciamtay Boh-ko tadi sangat menusuk perasaannya, sayang dia tertutuk dan tak bisa berkutik, kalau tidak, biarpun terluka dalam yang parah juga dia akan berdaya untuk melongok keluar. untuk melihat bagaimana macamnya si nona yang hendak membantu kakak Peng itu.
Begitulah terdengar Soat Koh lagi berkata dengan tertawa: "Ngaco-belo, dari mana kau tahu dia itu lakiku?"“
Ucapan Soat Koh ini sebenarnya sangat janggal dan lucu, dia mendamperat orang "ngaco-belo" tapi bertanya pula "dari mana kau tahu", dua kalimat yang bertentangan, apalagi diucapkan dengan tertawa, jadi se-akan2 dia senang orang bilang Soat Peng-say adalah "laki"nya, lalu dia tambahkan pertanyaan "dari mana kau tahu;" agar orang menjelaskan alasannya.
"Sejak tadi kalian kasak-kusuk disamping sana memangnya kau kira aku tidak tahu?" jawab Ciam-tay Bohko. "Kulihat lelaki itu tidaklah suka padamu, buktinya dia datang untuk menolong seorang gadis lain, buat apa kau membelanya mati2an?”
"Kau ngaco!' bentak Soat Koh.
"Hahaha, jika benar dia suka padamu, mengapa dia membela perempuan lain dengan mati2an?" seru Ciamtay Boh-ko dengan bergelak. "Makanya, nona manis, untuk apa kau bersusah payah membantu dia, kan sia2 belaka cintamu padanya?”
"Jangan percaya pada ocebannya, dia sengaja memecah-belah kita!" teriak Peng-say.
"Ha, kau kira aku akan takut jika dia membantu kau?”
jengek Ciamtay Boh-ko.
Sementara itu lengan kiri Peng-say yang kesemutan tadi sudah pulih kembali tenaganya, walaupun tidak setangkas semula, untuk memainkan pedang rasanya sudah kuat.
Segera ia membentak: "Jika tidak takut, boleh kau coba!”
"Huh. mantap benar ucapanmu, sedangkan orang mau membantu kau atau tidak kan juga belum jelas"!" kata Ciamtay Boh-ko.
Setelah merenungkan perkataan Ciamtay Boh-ko tadi, makin dipikir rasanya makin benar, mendadak Soat Koh berseru: "Aku tidak membantu dia!”
"Nah, dengar tidak" Dia bilang tidak membantu kau?”
dengan tertawa Ciamtay Boh ko menjengek.
Tapi mendadak Pang-say berteriak: "Kiong-Siang-kutthau!" "Apa katamu?" Ciamtay Boh-ko terkejut.
Belum lenyap suaranya, jurus serangan "Kiongsiang?kut-thau", jurus pertama Siang-liu-kiam-hoat, sudah dilancarkan Peng-say.
Mendadak meadengar istilah jurus serangan itu, Soat Koh terkejut, ketika dilihatnya pula anak muda itu telah menyerang, tanpa terasa iapun ikut melancarkan jurus serangan yang sama.
Jurus "Kiong-siang-kut-thau" yang dilancarkan dengan dua gerakan yang berbeda, begitu bergabung serentak menimbulkan daya ancaman yang luar biasa.
Gerak perubahan Ciamtay Boh-ko waktu menghadapi musuh boleh dikatakan cepat sekall, malahan selalu berebut mendahului. Cuma sayang, kecepatan Kungfu Tang-wan yang termashur itu kini kebentur Siang-liu-kiam-hoat, segala serangan mautnya menjadi sukar dikembangan.
Malahan untuk menangkis jurus pertama Kiong-siang-kutthau saja dia merasa kerepotan.
Setelah dua-tiga jurus, Ciamtay Boh-ko tambah kelabakan, ia berteriak gusar: "Kenapa mulutmu mencla-mencle, nona" Kau bilang tidak membantu dia, mengapa sekarang kau ikut bertempur?”
"Aku memang tidak membantu dia!" seru Soat Koh dengan muka bersungut.
"Kalau tidak membantu dia, silakan pergi saja!" seru Ciamtay Boh-ko sambil menangkis dengan susah payah.
"Tadi kudengar kau suruh dia menggunakan tangan kanan?" kata Soai Koh. "Karena dia tetap tidak mau menggunakan tangan kanan, maka aku mewakilkan dia menggunakan tangan kanan.”
Makin bertempur makin ngeri Ciamtay Boh-ko oleh serangan gabungan lawan yang lihay, ia memaki: "Budak busuk, tampaknya kau sudah ter-gila2 padanya! Tangan kanannya kan tidak buntung untuk apa kau mewakilkan dia" Huh, tidak tahu malu, dasar tidak laku kawin, maka kau ter-gila2 padanya meski orang tidak sudi padamu. Hm, belum pernah kulihat budak bermuka tebal macam kau ini, masa perempuan ter-gila2 kepada lelaki" Jika kau tidak tahan, kenapa tidak mengecer saja di tepi jalan!”
Rupanya Ciamtay Boh-ko ingin memancing kepergian Soat Koh, tak tahunya makin dimaki makin gencar dan lihay serangan Soat Koh. Makian terakhir itu terlalu kotor dan sangat menusuk perasaan, saking gemasnya, saat itu kebetulan Soat Koh dan Peng-say lagi memainkan jurus ke13 yang disebut "Siau-go-yan-he" atau lengkingan angkuh pancaran perasaan, mendadak Soat Koh bersiul nyaring, pedang terus disambitkan dan kontan menembus dada Ciamtay Boh ko. Kontan Ciamtay Boh-ko menjerit ngeri dan terkapar mandi darah.
Peng-say tidak keburu mencegah tindakan nona, cepat ia menarik kembali pedangnyn. Dilihatnya Soat Koh telah mencabut lagi pedangnya yang lain terus menerjang ke arah kereta.
Keruan Peng-say terkejut, cepat ia memburu maju dan menusuk dengan pedangnya sambil membentak: "He, kau mau apa?”
"Akan kubunuh dia (maksudnya orang yang berada di dalam kereta, Cin Yak-leng)!" seru Soat Koh tanpa menoleh. Tusukan Peng-say tadi mengenai tempat kosong, tampaknya tak sempat lagi merintangi si nona, terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk menusuk lagi. Meski dia tidak melolos pedang kedua, tapi serangan dengan melepaskan pedang pertama adalah hasil latihannya selama lima tahun, yaitu setengah jurus dari serangan dua pedang sekaligus, jitu lagi cepat Kontan bahu kanan Soat Koh tertusuk dengan tepat.
Sudah tentu Soat Koh tidak menyangka Peng-say berani melukainya, ia kesakitan sehingga pedang sendiri terlepas dari pegangan, mendadak ia membalik tubuh, tangan kiri dengan cepat memegang ujung pedang Peng-say yang melukai bahunya itu sambil berseru pedih: "Kau .... kau. . .
." Sembari berseru, sekuatnya ia terus menarik. Kuatir melukai tangan si nona, cepat Peng-say melepaskan rantai yang menggandeng pedang itu.
Tanpa menghiraukan luka di belakang bahunya Soat Koh pegang pedang rampasan itu dan berteriak: "Gurumu bukan Tio-lotoa melainkan bernama Tio Tay-peng, betul tidak?" Peng-say mengangguk, dengan penuh rasa penyesalan ia berkata: "Lukamu. . . .”
"Tidak perlu kau ber-pura2 simpatik," bentak Soat Koh.
"Ingin kutanya padamu, mengapa kau dusta padaku dan bilang gurumu bernama Tio-lotoa?”
"Kalian guru dan murid tidak senang terhadap guruku, dengan sendirinya tak dapat kukatakan nama asli beliau. . .
." "Gurumu telah menabas buntung lengan kiri guruku, tak tersangka sejarah hampir terulang lagi," kata Soat Koh dengan tersenyum getir. "Ingat, pada suatu hari pasti akan kubalas melukai bahu kirimu dengan pedangmu ini, sama halnya seperti guruku balas membuntungi lengan kanan gurumu dahulu!”
Habis berkata, tanpa berpaling lagi ia terus berlari pergi.
"Soat Koh, Soat Koh, berhenti! Dengarkan penjelasanku ..." seru Peng-say.
Tapi seorang mendadak menukas: "Penjelasan apalagi”
Bicaralah dengan kami!”
Peng-say berpaling dan melotot, dilihatnya entah sejak kapan delapan penunggang kuda telah mengitarinya, yang bicara itu adalah seorang kakek kurus kecil berusia lima puluhan lebih.
Seorang lagi yang tampak tinggi besar lantas menegur Peny-say pula: "He, Tosu yang menggeletak di sana itu apakah kau yang membunuhnya?”
Sementara itu Soat Koh telah menghilang di tengah orang banyak sana. dengan perlahan Peng-say lantas membalik tubuh.
Didengarnya seorang laki2 berusia 30-an dan berdandan seperti pekerja kasar sedang membentaknya: "Samsuko kami bertanya padamu, kau dengar tidak?”
Peng-say tidak ingin banyak cingcong dengan mereka, ia menjawab singkat: "Dengar, bukan aku yang membunuh mereka!" Seorang yang berdandan seperti saudagar dan membawa Swipea ikut bertanya: "Dengan sendirinya bukan kau yang membunuh mereka, hanya sedikit ilmu pedangmu yang tidak berarti ini masa dapat membunuh Tosu Bu-tong-pay?”
Seorang muda yang pendek kecil seperti monyet lantas menukas: "Kukira ucapan Gosuko ini kurang tepat. Ilmu pedang Pak-cay cukup terkenal, mana baleh diremehkan?”
Saudagar yang membawa Swipoa itu menjawab: "Ilmu pedang Pak-cay memang terkenal, tapi anak murid Sausupek itu rata2 tidak becus, betapapun hebat ilmu pedang yang diajarkan kepada mereka jadinya tak keruan setiba di tangan mereka.”
"Tepat, betul," seru si monyet sambil berkeplok tertawa.
"Kiranya Gosuko bicara mengenai orangnya dan bukan soal ilmu pedangnya.”
Padahal sebelum orang2 ini datang ke sini, sebelumnya mereka sudah mendapat keterangan bahwa kawanan Tosu itu dibunuh oleh putera Ciamtay Cu-ih, merekapun menyaksikan pula Soat Peng-say bergabung dengan Soat Koh dan berhasil membunuh Ciamtay Boh-ko, padahal Ciam-tay Boh ko adalah keturunan salah seorang Su-ki atau empat sakti, betapa tinggi kepandaian Ciamtay Boh-ko dapatlah dibayangkan.
Namun mereka tidak suka kepada anak murid Sau Cengin dari Pak cay, sebab sejak sang guru hilang. anak muridnya sama sekali tidak menaruh perhatian, bahkan tidak mau membantu ibu guru, mereka menganggap Pakcay sudah tamat riwayatnya dan sama bubar mencari jalannya sendiri2. Orang2 yang tidak setia kepada pergurnan ini sudah tentu dipandang hina oleh mereka.
Sedangkan usia Peng-say dan Soat Koh hanya likuran saja, jelas mereka tidak mungkin adalah murid Sau Ceng-in, tapi ilmu pedang yang mereka mainkan bergaya Pak-cay, maka mereka menyangka Peng-say berdua adalah cucu murid Sau Ceng-in.
Kalau anak murid Sau Ceng-in saja dipandang hina oleh mereka, dengan sendirinya cucu muridnya lebih2 diremehkan oleh mereka, maka begitu berhadapan mereka lantas ber-olok2 dan menyindirnya.
Selain beberapa orang yang bicara tadi, di antara rombongannya ada lagi tiga orang yang berusia 18 atau 19 tahun, mungkin mereka belum berpengalaman dan baru saja ikut para Suhengnya berkelana, mereka belum pintar putar lidah seperti kawannya, mereka hanya mendengarkan saja di samping.
Diantara lima orang yang telah buka suara tadi, si monyet tadi terhitung paling muda, kira2 baru likuran, tapi jelas sudah berpengalaman beberapa tahun merantau Kangouw, mereka dapat membedakan ilmu pedang dari berbagai aliran den golongan, juga ilmu pedang gaya Pakcay yang dimainkan Peng say dan Soat Koh tadi dapat dikenali mereka, cuma tiada seorangpun yang tahu bahwa limu pedang itu sebenarnye adalah Siang-liu-kiam-hoat yang mengguncangkan dunia Kangouw dari sinipun dapat diketahui babwa pengetahuan merekapun kurang luas.
Padahal Soat Peng-say hakikatnya bukan murid Pak-cay.
maka ia tidak ambil pusing biarpun orang menyindirnya, diam2 ia malahan membenarkan ucapan si saudagar yang membawa swipoa tadi, yang diherankan Peng-say adalah apa sebabnya Siang-liu-kiam-hoat yang dimainkannya bisa disangka ilmu pedang Pak-cay.
Diam2 ia berpikir: "Melihat Thay-yang-hiat (bagian pelipis) mereka sama menonjol dan sinar mata yang tajam, jelas mereka ini anak murid perguruan ternama, pula guru mereka pasti ada hubungan yang sangat erat dengan Sau Ceng-in dari Pak-cay, makanya sekali pandang mereka dapat mengenali gaya ilmu pedang Siaug-liu-kiam-hoat.”
Pelahan ia lantas mendekati kereta dan memanggil: "Leng-moay!”
Tapi Cin Yak-leng tidak menggubrisnya.
Mendadak si kakek kurus kering tadi bertanya: ; "Yang di dalam kereta apakah nona Sau Kim-leng?”
Cin Yak-leng tidak menjawab panggilan Peng-say tadi, sebaliknya menanggapi pertanyaan si kakek: "Betul, aku she Sau bernama Kim-leng.”
Peng-say jadi melengak, ia heran mengapa Yak-leng sengaja mengaku sebagai Sau Kim-leng, cepat ia berseru: "He, Leng-moay, kau . . . . “
Sudah tentu Yak-leng tahu apa yang akan diucapkan anak muda itu, omelnya: "Jangan kau panggil diriku. aku tidak bicara dengan kau!”
Si kakek kurus sangat menghina guru Soat Peng-say dan Soat Koh, tadi iapun mendengar Soat Koh menuduh guru Peng-say memenggal lengan kiri guru si nona, maka ia yakin guru kedua muda-mudi itu pasti bukan orang baik2.
Kalau gurunya saja bukan orang baik, tentu anak didik mereka tak dapat diharapkan akan baik.
Karena itulah ia lantas membentak: "Pergi, enyah kau! Tak tahu sopan santun. memangnya kata Leng-moay boleh sembarangan kau panggil?”
Peng-say jadi mendongkol, jawabnya: "Aku tidak boleh memanggilnya, memangnya kakek sialan macam kau boleh memanggilnya?" Sabar juga kakek itu, meski dianggap "kakek sialan" oleh Soat Peng-say, ia tidak menjadi marah, katanya: "Sudah tentu aku boleh memanggilnya demikian.
Nah, Leng-moay, Leng-moay. . . .”
"Hah, alangkah ngerinya!" sela Peng-say dengan tertawa.
"Ngeri apa maksudmu?" tanya si kakek.
"Habis, usiamu sudah tua, menjadi ayah adik Leng saja lebih daripada cukup, tapi kau memanggilnya adik dengan mesra. apakah tidak merasa ngeri?”
"Anak busuk, buta barangkali matamu?" omel si kakek dengan aseran "Kau tahu siapakah tuanmu ini?”
"Sudah tentu kutahu, tidak lebih cuma seorang kakek kecil dan kurus kering," jawab Peng-say.
Serentak ketujuh saudara seperguruan si kakek membentak: "Kurang ajar!”
Si monvet bahkan lantas menggulung lengan baju dan mendamperat: "Anak kurang ajar. kalau tidak kulabrak agaknya kau tidak tahu kelihayan tuanmu ini!”
Peng say tidak gentar, dengan tegas ia menjawab: "Mau berkelahi" Bagus, hayolah maju!”
Segera si monyet akan melompat turun dari kudanva, tapi si kakek keburu mencegahnya dan berkata: "Jangan kau hiraukan dia, Laksute (adik seperguruan keenam) Murid Sau-supek memang sudah lama tidak memikirkan guru lagi, manusia yang khianat mana bisa mengeluarkan anak didik yang sopan, dengan sendirinya kitapun tidak dianggap sebagai kaum Cianpwe lagi.”
Si moyet tidak berani membangkang perintah sang Suheng, ia cuma mendelik saja dan berucap: "Nah, dengarkan yang jelas. anak busuk. Guru tuan2mu ini bernama Sau Ceng-hong. asalnya adalah saudara sepupu dengan Sau Ceng-in, Sau-supek dari Pak-cay. Meski guru kalian telah mengkhianati perguruan, tapi jelek2 mereka adalah murid Sau-supek, apapun juga kalian lebih rendah seangkatan daripada kami, mana boleh kalian bersikap kasar terhadap Jisuko (kakak perguruan kedua) kami?”
Sungguh Peng-say mendongkol dan geli pula. Orang2 ini bukan saja salah sangka dirinya sebagai murid Pak-cay.
bahkan disangkanya cuma cucu murid Sau Ceng-in. Diam2 ia membatin: "Salah adik Leng. dia mengaku sebagai puteri Sau Ceng-in, dengan demikian sebagai Piaukonya sekarang aku berubah jadi murid keponakannya malah. Pantas si kakek kecil itu bilang aku tidak sopan memanggil Lengmoay padanya.”
Nama Cin Yak-leng dan Sau Kim-leng memang ada persamaan lafal pada kata terakhir, maka panggilan "Leng-moay" Peng-say tadi disangka oleh Ciamtay Boh-ko dan kedelapan orang ini sebagai memanggil Sau Kim-leng.
sungguh kebetulan juga salah paham ini.
Pada waktu si monyet berbicara, si kakek kecil telah melompat turun dari kudanya dan mendekati kereta dan berseru: "Sau-sumoay, guruku sangat prihatin ketika mendengar dirimu diculik oleh Ciamtay-kongcu. serentak beliau memerintahkan kami di bawah pimpinan Sau Penglam, Sau-suheng. memburu kesini untuk manyelamatknn dirimu. Syukur para kawan dari Bu-tong juga menerima berita dan mendahului memburu kemari untuk mengatur segala apa yang perlu, hasilnya Ciamtay-kongcu dapat dipancing keluar, sayang para kawan Bu-tong-pay sama gugur, namun si pengganas Ciamtay-kongcu juga dapat dibinasakan, selama ini Sumoay tentu telah banyak mengalami kesukaran.”
"Ah, tidak apa2," kata Yak-leng di dalam kereta.
"Di dunia Kangouw saat ini tersiar kabar bahwa Sausupek telah muncul kembali, entah hal ini betul atau tidak, untuk inilah guru kami ingin mengundang Sumoay agar suka mampir ke Soh-hok-han di Huiciu," demikian kata si kakek pula.
Peng-say terkejut, pikirnya: "Ah. kiranya mereka ini anak murid Soh-hok Hancu dari Lam-han. sungguh tak tersangka Soh-hok Hancu adalah saudara sepupu Leng-hiang Caycu, jadi antara Lam-han dan Pak-cay ada hubungan kekeluargaan, pantas mereka dapat melihat permainan Siang-liu-kiam-hoat bergaya ilmu pedang Pak-cay”
"Tapi dari mana mereka tahu Ciamtay Boh-ko membawa lari Sau Kim-leng?" demikian pikirnya pula.
"Jangan-jangan Sejak mula Yak-leng sudah mengaku sebagai Sau Kim-lemg mengapa bisa terjadi begini" Apa manfaatnya Yak-leng mengaku sebagai Sau Kim-leng”
Mungkinkah Leng-moay mengetahui Sau Kim-leng sesungguhnya adik kandung Ciamtay Boh-ko, karena simpatinya, maka dia sengaja memalsukan nona Sau" Dan berita tentang digondolnya Sau Kim-leng oleh Ciamtay Boh-ko jangan-jangan disiarkan sendiri oleh Sau Kim-leng”
Lalu apakah maksud tujuannya?”
Begitulah berbagai tanda tanya itu timbul dalam benaknya. Cin Yak-leng tidak menjawab pertanyaan si kakek kecil tadi, ia hanya bersuara samar2 saja. Tampaknya si kakek menjadi girang, disangkanya suara Yak-leng itu sebagai mengiakan dan setuju untuk ikut pergi ke Soh-hok-han, dengan tertawa ia lantas berkata: "Laksute, kau saja yang mengendarai kereta ini, sekarang juga kita pulang ke Huiciu." Cepat si monyet tadi melompat turun dari kudanya dan melompat ke atas kereta.
Di dalam kereta Yak-leng sendiri menjadi kelabakan.
Hakikatnya ia tidak tahu apa itu Soh-hok-han, lebih2 tidak tahu siapa si kakek dan rombongannya itu, hanya dari percakapan mereka tadi diketahui mereka ada hubungan erat dengan Sau Kim-leng, bahkan menyebut padanya sebagai Sumoay. Padahal dia cuma Sau Kim-leng gadungan, dia bertindak demikian adalah demi keselamatan Soat Peng-say, sebab dia harus pegang janjinya kepada Liok-ma yang mengharuskan dia mengaku sebagai Sau Kim-leng, jika dia melanggar janji, bisa jadi Liok-ma akan mencari dan membunuh Peng-say, karena itulah sebegitu jauh ia tetap mengaku sebagai Sau Kim-leng, Sekarang didengarnya si kakek kecil itu hendak membawanya ke Soh-Hok-han, dengan ragu2 ia bersuara samar2. tak tersangka si kakek menyangka dia setuju dan segera membawanya berangkat. Jika bertemu dengan paman Sau Kim-leng, yaitu Sau Ceng-hong yang terkenal dengan Soh-hok Hancu apakah kepalsuannya ini takkan terbongkar" karena pipiran inilah, dia menjadi bingung dan kelabakan di dalam kereta, Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar Pengsay membentak: "Nanti dulu! Kalian telah salah mengenali orang!”
"Kau bilang apa" Salah mengenali orang?" si kakek menegas.
"Dia. . .dia bukan. . . .”
Belum lanjut ucapannya. Yak-leng menjadi kuatir, cepat ia berseru: "Soat Peng-say, kau berani sembarangan omong"!”
Peng-say tidak menyangka Yak-leng sedemikian sungguh2 memalsukan diri Sau Kim-leng, ia menghela napas dan berkata: "Leng-moay, buat apa kau meng. . . .”
"Apakah kau minta tak kugubris kau selamanya?" ancam Yak-leng.
Melihat si nona terus menerus merintanginya, Peng-say tidak berani membongkar rahasianya, ia lantas berkata: "Leng-moay, selama sebulan ini apakah kau baik2 saja?”
Pertanyaan ini jelas bukan salam hormat biasa, dibalik pertanyaaanya itu jelas Peng-say ingin tahu selama sebulan ini apakah si nona telah dinodai Ciamtay Boh-ko atau tidak. Padahal selama sebulan ini, kuatir Cin Yak-leng berubah pikiran dan melarikan diri, sejauh itu Ciamtay Boh-ko tidak pernah mengganggu si nona, bahkan menjaga dan membelanya secara murni sebagai seorang kakak, baik makan maupan tinggal di hotel, selama itu Yak-leng mendapat perlakuan yang sangat mewah.
Namun Cin Yak-leng tetap tidak pernah lupa kepada Soat Peng-say, ia tidak tahu apakah benar Liok-ma telah mengampuni jiwa anak muda itu" Iapun membayangkan dirinya yang menyaru sebagai Sau Kim-leng, jika nanti harus menikah dengan orang yang belum pernah dikenalnya, apakah hidupnya takkan merana dan tersiksa”
Siapa tahu, pengorbanannya ini ternyata sia2 belaka, dalam waktu sesingkat itu tahu2 Peng-say telah bergaul lagi dengan gadis lain Meski didengarnya antara mereka terjadi perang mulut tapi juga dapat diketahui hubungan mereka sangat erat. Sungguh ia tidak menduga bahwa lelaki ternyata tal dapat dipercaya hal ini membuat dingin hatinya, Makin dipikir makin pedih dan juga merasakan penasaran yang tak terhingga.
Karena itulah, dengan ketus ia lantas menjawab pertanyaan Peng-say tadi: "Aku tidak ingin bicara denganmu, boleh kau cari Soat Koh itu saja!”
Peng-say melengak, pikirnya, "Apa yang kau cemburu”
Tidakkah kau dengar Soat Koh telah kulukai dan telah meninggalkan diriku dengan sakit hati.”
Ia merasa ucapan Yak-leng itu agak keterlaluan tidak tahu bahwa Yak-leng sebenarnya sangat berterima kasih karena dia telah melukai Soat Koh demi menyelamatkannya, betapapun ini suatu tanda anak muda ini masih ingat padanya. Tapi kemudian ketika Soat Koh berlari pergi, Peng-say telag berteriak pula agar nona itu kembali untuk diberi penjelasan segala, hal inipun menimbulkan rasa mendongkol Yak-leng.
Walaupun Peng-say tidak berhasil menahan kepergian Soat Koh, tapi hal inipun dapat dirasakan oleh Cin Yakleng bahwa hubungan di antara Peng-say dengan nona itu pasti tidak sederhana, karena itulah ia merasa sedih.
Si kakek kecil tadi sudah kenyang asam-garamnya kehidupan manusia, sudah tentu dia dapat memahami perasaan orang muda, ia menganggap tidaklah wajar Soat Peng-say mencintai "Sau Kim-leng" yang tingkatannya lebih tua, hal ini jelas tidak pantas. Tapi lantaran Cin Yak-leng tampaknya juga suka kepada Soat Peng-say, maka si kakek menjadi serba salah dan tak dapat berbuat apa2, ia cuma menggeleng saja dan menggerutu: "Tidak pantas, tidak pantas!”
"Memang tidak pantas!" si monyet tadi menambahkan.
"Jelas2 harus panggil bibi, tapi memanggil Leng-moay malah.”
Diam2 Peng-say membatin: "Kalau Leng-moay berkeras mengaku sebagai Sau Kim-leng, biarlah akupun mengaku sebagai mund Sau Ceng-in agar tidak di-olok2 mereka.”
Karena pikiran itu, segera ia menjawab: "Siapa bilang dia adalah bibi-guruku, Leng-moay adalah Sumoayku!”
Dengan sangsi si kakek kecil tadi bertanya: "Apakah Kungfumu kau dapatkan dari ajaran nyonya Sau-supek?”
"Bukan, ilmu pedangku justeru kuperoieh dari Sau-supek kalian," jawab Peng-say.
Kontan si monyet berteriak: "Omong kosong! Sau-supek sudah menghilang sejak 27 tahun yang lalu, berapa usiamu, masa kau sempat belajar pedang kepada pada Sau-supek”
Tapi si kakkek lantas berkata: "Jika demikian, jadi Sau-supek memang betul tidak meninggal" Akhir2 ini di dunia Kangouw tersiar berita muncul kembalinya Sau-supek, jadi benar hal ini?”
"Memangnya kalian berharap Sau-supek kalian lekas mati?" tanya Peng say.
"Sudah ....sudah tentu bukan begitu," jawab si kakek dengan kurang senang. "Coba jawab, berapa lama Sau-supek mengajarkan ilmu pedang padamu?”
"Rasanya tidak perlu kujawab pertanyaan ini," ujar Peng-say.
"Di mana Sau-supek sekarang?" desak si kakek.
"Kau tanya padaku, lalu kutanya siapa?" jawab Peng-say dengan lagak jenaka.
Kontan si monyet berteriak pula: "Persetan! Mana ada mund tidak tahu di mana berada gurunya sendiri" Kukira dia sengaja menipu kita, hakikatnya dia tidak pernah melihat Sau-supek.”
Di dalam hati Peng-say berkata: "Betul, aku memang tidak pernah melihat Sau-supek kalian, cuma Siang-liukiam-hoatku ini meski ajaran guruku, asal-usulnya memang diperoleh dari Sau-supek kalian.”
Agaknya si kakek juga tidak percaya sang paman guru yang telah menghilang 27 tahun yang lalu itu dapat menerima seorang murid yang masih begini muda. Tapi kalau Sau Kim-leng diketahui adalah anak perempuan Sausupek, logikanya jika sang paman guru itu dapat menggauli isterinya dan melahirkan anak dengan sendirinya juga ada kemungkinan dapat menambah seorang murid.
Tentang Sau-hujin melahirkan anak perempuan setelah lenyapnya sang suami memang merupakan suatu teka-teki di dunia persilatan. Ada yang mengira Sau-hujin telah berhubungan gelap dengan lelaki lain selama menghilangnya sang suami. Ada juga yang tidak sependapat, mereka memberi bukti kegiatan Sau-hujin yang berusaha mencari sang suami, jelas Sau-hujin sangat setia dan mencintai suaminya dan bukan tipe wanita yang tidak tahan kesepian.
Bagi Sau Ceng-hong yaitu So-hok Hancu, dia menyangsikan Sau Kim-leng memang betul adalah puteri Sau Ceng-in, cuma dia juga tidak percaya bahwa Sau Cengin belum mati, sebab dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan saudara sepupunya itu terluka parah dan tidak mungkin dapat disembuhkan, makanya terus menghilang dan mungkin juga sudah mati Tapi iapun kuatir jangan2 Sau Ceng-in memang belum mati dan karena itulah Sau Kim-leng besar kemungkinan adalah puterinya.
Pendek kata, masing2 mempuyai dugaan dan pendapatrya sendiri2, siapapun tidak dapat memberi jawaban yang pasti.
Agaknya si kakek kacil itu sependapat dengan jalan pikiran sang guru. Mendadak ia menubruk maju ke depan Soat Peng-say. Keruan Peng-gay kaget, cepat ia menghantam. Si kakek mendengus, ia tangkis pukulan Peng-say, berbareng tangannya menekan ke bawah dan mencengkeram pergelangan tangan anak muda itu.
Sekuatnya Peng-say meronta, tapi tak terlepas, segera tangan yang lain menghantam, tapi segera terpegang musuh pula dan sukar bergerak, terasa tenaga lawan menyalur masuk urat nadinya sehingga sekujur badan terasa pegal linu. "Masih selisih jauh kau, belum sesuai untuk mengaku sebagai murid Sau-supek," kata si kakek. Sekali lepas tangan, kontan Peng-say ter-huyung2 ke belakang, "bluk", akhirnya ia jatuh terjengkang walaupun sudah berusaha menegakkan tubuhnya.
Setelah jatuh, rasa pegal linu tadi serentak lenyap pula.
se-olah2 kalau tidak jatuh sisa tenaga musuh ditubuhnya sukarlah dipunahkan.
"Betul tidak" Kubilang dia berdusta. dua jurus Jisuko saja dia tidak tahan, mana mungkin dia murid Sau-supek?" seru si monyet. "Menurut pendapatku, untuk menjadi cucu murid Sau-supek saja dia belum memenuhi syarat.”
"Bagaimana keadaanmu, Peng-ko?" tanya Yak-leng dengan kuatir. .
"Jangan kuatir, Sau-sumoay," kata si kakek "Dia tidak apa2, hanya kubanting jatuh saja." " Lalu ia berpaling kepada si monyet: "Dia murid Sau-supek memang tiduk keliru, hanya saja tidak mungkin murid ajaran langsung Sau-supek.”
Lelaki berdandan sebagai kuli atau pekerja kasar tadi menimbrung: "Melihat gerak tubuhnya tadi tampaknya lebih mirip murid Bu-tong pay.”
"Leluhur Suhu dan Sau-supek memang berasal dan Bu tong-pay, sebelum kita belajar Kungfu perguruan kita juga diharuskan lebih dulu memupuk dasar Kungfu Bu-tong-pay, kalau bocah ini mahir Kungfu Bu-tong-pay dan mahir pula ilmu pedang Pak-cay, maka pasti tidak salahlah kalau dia mengaku murid Sau-supek," setelah berhenti sejenak, lalu si kakek menyambung pula: "Hendaknya Samsute tinggal disini untuk membereskan jenazah kawan Bu-tong pay itu, rombongan akan berangkat lebih dulu.”
Yang bertubuh tinggi besar tadi mengiakan.
Kakek kecil itu lantas mencemplak keatas kudanya dan berseru: "Hayolah berangkat!”
Segera si monyet menarik tali kendalinya dan melarikan kuda kereta ke depan.
Setelah terbanting jatuh oleh si kakek, sejak tadi Peng-say terus rebah tanpa bergerak. Bukannya terluka, hanya sedih karena kalah secara mengenaskan begitu, ia malu untuk berdiri. Setelah mendengar kereta itu sudah pergi barulah ia melompat bangun.
Didengarnya suara Cin Yak-leng lagi berteriak teriak: "Peng ko, Peng-ko! . .. . “
Hanya sebentar saja kereta itu sudah pergi jauh, sayup2 terdengar si kakek kecil sedang berkata; "Sau-sumoay, tidaklah pantas kau panggil dia Peng-ko, dia kan angkatan lebih muda dari padamu....”
Si tinggi besar yang ditinggalkan di situ lantas memanggil serombongan kuli pelabuhan untuk membereskun jenazah kawanan Tosu Bu-tong pay, sama sekali ia tidak memperhatikan kepergian Soat Peng-say. Seperginya Soat Peng-say, di dermaga lantas merapat sebuah kapal yang berbentuk aneh, dari kapal laut itu turun belasan lelaki berjubah putih dan seorang tua yang bertubuh pendek gemuk == 0O0dw0O0 == Kita ikuti dulu kepergian Soat Peng-say. Dia menuju ke tempat parkir keretanya tadi, tapi keretanya sudah tak ada, orang ditepi jalan bilang kereta itu telah dibawa pergi oleh seorang nona setelah menyewa seorang kusir di situ.
Kereta berwarna emas itu memang milik Soat Koh, kalau sudah dibawa pergi kan kebetulan. Sangu pemberian Tio Tay-peng waktu Soat Peng-say turun gunung masih cukup banyak, segera ia membeli seekor kuda terus memburu ke arah selatan.
Selang tak lama, dapatlah dia menyusul rombongan anak murid Lam-han tadi. Karena dia mengejar dengan bernapsu. waktu dia melihat rombongan sasarannya, merekapun melihat kedatangan Peng-say. Tapi Peng-say tidak lantas mendekati mereka, ia bertahan dalam jarak belasan tombak di belakang rombongan itu, bila mereka berjalan cepat, iapun menyusul dengan cepat, jika mereka lambat, iapun melambat.
Si kakek kecil ingin tahu apakah Soat Peng-say memang sengaja hendak menguntit, ia suruh rombongannya berhenti di tepi jalan.
Peng-say tidak takut maksudnya diketahui orang, orang lain berhenti, iapun idem dito.
"Kemari kau!" panggil si kakek kecil.
Peng-say pikir kenapa takut, disuruh kesana ya turuti saja, apa yang mesti ditakuti. Segera ia melarikan kudanya mendekati rombongan itu.
"Kau hendak ke mana?" tanya si kakek.
"Ke Soh-hok-han di Huiciu, kebetulan sama arah dengan tuan2," jawab Peng-say.
"Siapa yang mengundang kau ke sana?" tanya si kakek pula.
"Tidak diundang siapa2, aku sendiri ingin kesana," jawab Peng-say. "Konon penghuni Soh-hok-han di daerah selatan sana kebanyakan adalah tokoh2 yang berbudi luhur, tentunya bukan sarang penyamun atau ada perbuatan yang perlu dirahasiakan sehingga tertutup bagi orang luar.”
"Tamu yang berkunjung ke Soh-hok-han memang tidak dilarang, tapi orang yang tidak berkepentingan dilarang datang." ujar si kakek.
"Sedangkan orang yang cuma berkepandaian rendah seperti kau memang tidak memenuhi syarat untuk menjadi tamu Soh-hok-han," sambung si monyet.
Muka Peng say menjadi merah. katanya pula: "Tapi ada urusan penting perlu kutemui Soh-hok Hancu. Pula kalian bilang aku ini murid Pak-cay, dalam kedudukanku sebagai mund Pak-cay mau kukunjungi Soh hok-han, tentunya bukan orang yang tidak berkepentingan lag!?”
"Tapi Lam-han dan Pak-cay biasanya tiada hubungan, setiap orang boleh mengunjungi Soh-hok-han, hanya anak murid Pak-cay saja yang tidak boleh," kata si kakek.
Sialan, pikir Peng-say, ingin untung jadi buntung malah.
Jika tahu Lam-han dan Pak-cay tidak akur, tentu tadi dirinya takkan mengaku sebagai murid Pak-cay.
Tapi si kakek kecil lantas berkata pula: "Ada urusan apa hendak kau temui guruku" Jika betul urusannya memang penting, mungkin akan diberi kelonggaran.”
"Urusan penting memang ada, tapi bolehkah kukatakan nanti saja." jawab Peng-say.
"Masa kau ada urusan" Urusan penting kentut!" omel si monyet. "Huh, setiap orang tahu maksud tujuanmu menyusul kemari tentu ingin membawa lari kau punya Leng-moay.”
Cin Yak-leng meringkuk di dalam kereta dan tetap tak bisa berkutik, rupanya Hint-to yang ditutuk Ciamtay Bohko itu belum lagi terbuka maklumlah, Tiam-hiat-hoat Tangwan memang lain daripada yang lain, kalau bukan anak murid Tang-wan sendiri. sekalipun jago kelas tinggi seperti si kakek kecil juga tidak mampu membukanya, terpaksa harus menunggu berlalunya sang waktu agar Hiat to yang tertutuk itu terbuka dengan sendirinya.
Bergirang juga Yak-leng demi mendengar Soat Peng-say memburu tiba, tapi ia tidak berani minta tolong. Ia tahu ilmu silat Peng-say hakikatnya bukan tandingan anak murid Lam-han, kalau diteriaki agar menolongnya, bisa jadi akan membikin celaka anak muda itu malah.
Sesungguhnya iapun tidak suka pergi ke Soh-hok-han. ia kuatir sampai di sana rahasianya akan terbongkar. Diam2 ia berharap, mengingat kakek kecil itu bilang Lam-han dan Pak-cay sudah lama tiada hubungan, mungkin paman Sau Kim-leng itu selama ini belum kenal wajah si nona, asalkan nanti berlaku hati2, mungkin Sau Ceng-hong dapat dikelabui. lalu dapatlah berdaya melarikan diri untuk bertemu dengan Soat Peng-say dan keduanya dapat kabur se-jauh2nya, ke tempat yang terasing dan hidup bersama hingga tua. Karena bayangan yang indah di masa depan ini, ia tidak ingin Peng-say menyerempet bahaya lagi baginya, segera ia berseru membujuknya: "Peng-ko, kau pulang saja, tunggulah aku di rumah, aku pasti akan pulang untuk bertemu dengan kau.”
"Tidak.jika kau pergi ke Soh-hok-han, akupun pasti ikut ke sana," kata Peng-say.
Dari ucapan Peng-gay yang tegas itu, Yak-leng merasa anak muda itu bertekad akan "ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul", sungguh hatinya sangat terhibur.
Ia tidak tahu bahwa kepergian Soat Peng-say ke Soh-hokhan selain ingin menjaga keselamatannya juga ada tugas lain, yaitu ingin bertemu dengan Soh-hok Hancu untuk menunaikan pesan mendiang ibunya sebelum wafat.
Kiranya waktu ibunya akan menghembuskan napas terakhir telah meninggalkan pesan agar pada waktu Pengsay genap berusia 20 tahun, kitab pusaka "Siang jing-pit-lok" itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu Sok-hok Hancu dari Lam-han di Huiciu. Bahkan setelah kitab itu dikembalikan, Peng-say disuruhnya mengangkat Sohhok Hancu sebagai guru.
Mengembalikan kitab dan mengangkat guru, kedua hal inilah pesan tinggalan sang ibu sebelum wafat Padahal Peng-say sudah berguru kepada Tio Tay-peng, ia tidak ingin mengangkat guru lagi kepada Soh-hok Hancu, jadi pesan sang ibu ini tak dapat lagi dilaksanakan, hanya tentang kitab pusaka itu, harus dikembalikan dengan baik.
Karena usia Peng-say sekarang belum melebihi 20, soal pengembalian kitab itu masih cukup waktu tapi sekarang kebetulan terjadi persoalan Yak-leng ini, maka dia bertekad akan pergi ke Lam-han sekalian.
Si kakek juga tidak merintangi setelah mendengar Pengsay menyatakan tekadnya akan ikut ke Lam-han, jengeknya: "Baiklah jika kau memarg ada urusan, tapi awas, jangan main gila, jika berani sembarangan bertindak, jangan kau salahkan kamj bertindak kejam.”
Baru selesai si kakek bicara, mendadak dari belakang serombongan orang berkuda datang dengan cepat, hanya sekejap saja kereta mereka telah terkepung rapat.
Anak murid Lam-han sudah berpengalaman, mereka tidak menjadi gugup, mereka melihat rombongan yang datang ini semuanya berjubah putih dan menyandang bungkusan panjang di punggung, jelas dalam bungkusan itu tersembunyi senjata sebangsa golok atau pedang.
Setelah kereta terkepung, orang2 berseragam jubah putih itu tetap diam saja, semuanya berwajah seram.
Si kakek kurus kecil lantas mendahului menyapa: "Cayhe Kiau Lo-kiat, murid Soh-hok-han di Huiciu. Numpang tanya, adakah sesuatu keperluan?”
Mendadak suara seorang setengah serak menanggapi: "Hm, dengan nama Soh-hok-han kau kira akan membikin orang takut?”
Para murid Lam-han semua terkesiap, pikir mereka: "Mereka tidak takut kepada Soh-hok-han kita, jangan2 mereka sengaja hendak mencari perkara?”
Padahal Bu-lim-su-ki atau empat tokoh sakti dunia persilatan sudah hampir ratusan tahun termashur di dunia Kangouw, orang yang tidak gentar terhadap Soh-hok-han boleh dikatakan terlalu sedikit.
Dengan prihatin Kiau Lo-kiat lantas berkata pula: "Sudikah yang berbicara itu tampil ke muka?”
Mendadak dua penunggang kuda menyingkir ke samping, di belakang mereka lantas muncul seorang penunggang kuda lagi. Lantaran penunggang kuda itu adalah siorang kakek gemuk dan pendek, sedangkan kedua penunggang kuda di depannya tinggi besar, maka si kakek hampir ter-aling2 seluruhnya.
Kakek itu memajukan kudanya ke depan, tiba2 kelihatan di belakang punggung kuda tunggangannya itu bertumpang tindih dua sosok mayat, satu gemuk dan satu kurus, satu pendek dan satu jangkung yang gemuk pendek di atas, yang jangkung tertindih di bawah.
"Samsute!”
"Samsuko!" serentak para murid Lam-han berteriak.
Di antara ketujuh murid Lam-han itu hanya Kiau Lokiat saja yang menyebut "Samsute". Rupanya mayat si jangkung itu adalah Sutenya yang ditinggalkan di Ciau-ciu-wan untuk membereskan jenazah para Tosu Bu-tong-pay itu. Sungguh tidak kepalang duka dan gusar Kiau Lo-kiat melihat Samsutenya dibinasakan orang, ia tidak pedulikan lagi tokoh kosen darimana kakek pendek gemuk itu, serentak ia melayang dari kudanya, kesepuluh jarinya terpentang terus menubruk kakek gemuk itu.
Cepat sekali reaksi kakek itu, sebelah tangannya sempat mendahului menampar ke depan, angin pukulan yang dahsyat kontan menyampuk tubuh Kiau Lo kiat, terdengar jeritan Kiau Lo-kiat, kontan ia melayang balik.
Murid Lam-han yang lain sama terkejut, mereka menyangka Jisuko pasti tamat riwayatnya.
Tapi sungguh aneh, angin pukulan yang jelas maha dahsyat itu ternyata membawa tenaga yang teratur sedemikian jitunya, Kiau Lo-kiat hanya melayang kembali dan duduk lagi di atas kudanya tanpa kurang apapun.
hanya mukanya berubah pucat saking kagetnya.
Tenaga pukulan yang aneh itu sungguh sukar dibayangkan, yang hebat adalah setelah Kiau Lo-kiat tergetar balik dan duduk kembali di atas kudanya, sama sekali kudanya tidak terkejut, sama halnya Kiau Lo-kiat mencemplak ke atas kudanya dengan pelahan2.
"Sambut!" bentak si kakek gemuk sambil mengangkat mayat si jangkung. Meski oukup berat mayat itu, tapi seenteng kertas mayat itu melayang ke arah Kiau Lo kiat.
Karena sudah tahu tenaga si kakek jauh di atas dirinya, Kiau Lo-kiat tidak berani ayal, ia mengerahkan segenap tenaganya dan menyambut jenazah Samsutenya.
Setelah mayat itu berada dalam rangkulannya, seketika itu tidak terasa sesuatu, tapi sedikit lengah, mendadak Kiau Lo-kiat terperosot ke bawah kuda bersama mayat dalam rangkulannya itu.
Peng-say ter-heran2 menyaksikan itu. Begitu pula para murid Lam-han yang lain juga melongo heran, mereka mengira Jisuheng kurang hati2 sehingga terperosot ke bawah. Tapi cara jatuh Kiau Lo-kiat itu tampaknya juga bukan terperosot karena kurang hati2. Dengan kepandaian Kiau Lo-kiat, andaikan jatuh juga takkan terbanting dangan kaki di atas seperti anak kecil jatuh terjengkang begitu”
Walaupun pantatnya kesakitan, tapi mendadak Kiau Lokiat berteriak dengan tertawa girang: "Hai tidak mati, Samsute tidak mati!”
Kiranya waktu tubuh si jangkung dirangkul olehnya, dirasakan tubuh itu masih hangat, waktu jatuh ke tanah, terasa pula napas si jangkung yang menyembur pada samping lehernya membuatnya kerih.
Pada saat itulah dua penunggang kuda datang secepat terbang, setiba di depan si kakek gemuk tadi, ternyata mereka adalah dua pemuda kekar dan berdandan seperti belasan orang yang lain Salah seorang yang lebih tua memberi hormat dan berseru: "Suhu, Tecu dan Ci-kiat datang menyambut kedatangan Suhu, tapi terlambat.”
Kiau Lo-kiat kenal kedua orang ini, yang satu bernama Ih Ci ho dan yang lain bernama Lo Ci-kiat. Keduanya adalah murid kesayangan Ciamtay Cu-ih, ada lagi dua saudara seperguruan mereka yang lain, yaitu Ji Ci-eng dan Cian Ci-hiong, keempat orang berkunjung ke Tionggoan pada lima tahun yang lalu dan telah mengumandangkan nama kebesaran mereka. Di dunia persilatan mereka terkenal sebagai "Eng-Hong Ho Kiat. Tsngwan-su siu" atau empat ksatria muda dari Tang-wan.
Cuma sayang, meski nama mereka termashur, rata2 merekapun masih muda dan ganteng, tapi mereka pun mempunyai cirinya, yaitu gemar main perempuan, secara diam2 entah betapa banyak anak gadis dan perempuan baik2 yarg telah dirusak oleh mereka. Hanya saja sedikit orang yang mengetahui hal ini, Kiau Lo kiat juga mendengar kabar demikian. maka dia rada memandang hina kepada mereka, Kini setelah mendengar kedua orang itu menyebut si kakek sebagai "Suhu", segera ia. tahu kakek itulah Hong-hoa Wancu Ciamtay Cu-ih sendiri. Pantas begitu lihay tenaganya, herannya mengapa mendadak ia memimpin anak buahnya berkunjung ke Tionggoan”
Padahal sejak pertemuan di Ki-lian-san 27 tahun yang lalu, sepulangnya ke Tung-hay belum pernah lagi dia menginjak Tionggoan, sekarang dia muncul lagi secara mendadak, hal ini benar2 mencurigakan.
Sudah tentu Kiau Lo-kiat tidak tahu sebabnya Ciamtay Cu-ih tidak berkunjung ke Tionggoan selama 27 tahun ini adalah karena dia dilukai oleh ibu San Kim-leng sehingga mengalami kelumpuhan, baru beberapa tahun terakhir ini dia berbasil meyakinkan semacam ilmu penyembuhan dan baru pulihlah kesehatannya. Setelah sakian lama mengeram diluar lautan timur sana, ia menjadi ingin bergerak lagi ke Tionggoan agar dunia persilatan Tionggoan tidak melupakan tokoh sakti yang pernah malang melintang di dunia Kangouw dahulu.
Melihat air muka Ciamtay Cu-ih kurang senang, Ih Ciho dan Lo Ci-kiat mengira sang guru marah kepada mereka karena sambutan mereka yang terlambat, hati mereka jadi kebat-kebit. "Mana Ci-eng dan Ci-hiong?" demikian Ciamtay Cu ih bertanya.
Ci-ho dan Ci-kiat mengira sang guru akan lebih marah kepada kedua Suheng yang tidak ikut datang menyambut itu, untungnya ketidak datangnya kedua Suheng itu memang ada alasannya, maka cepat Ci-ho memberi lapor: "Kedua Suheng sedang merawat lukanya di Thay-san dan tak dapat datang menyambut Suhu.”
"Siapa yang melukai mereka" tanya Ciamtay Cu-ih dengan gusar. "Sau Peng-lam," tutur Ci-ho.
"Hah, Toa-suheng!" diam2 Kiau Lo-kiat dan lain2 mengeluh di dalam hati.
-oo0dw0oo-