Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 10

Jilid 10 

Peng say tahu si nona hanya bergurau saja, maka ia cuma tertawa dan tidak menanggapi.

Kedua orang lantas naik ke atas kereta, Peng-say tetap berduduk di tempat kusir, sekali ia menyendal tali kendalinya, segera kereta itu dilarikan secepat terbang menyusur jalan raya.

"Jilengcu," seru Soat Koh sambil melongok keluar jendela, "Kungfumu tidak di bawahku, kemanapun kau dapat cari makan, untuk apa kau menjadi kusirku?”

"Mencari makan memang mudah, tapi mencari sepuluh tahil satu hari, inilah yang sukar!”

"Maksudmu . . . .”

"Asalkan nona tidak memutuskan hubungan kerja kita ini, pekerjaan ini akan tetap kulakukan.”

"Tapi sekarang aku tidak sanggup membayar kau lagi,”

kata Soat Koh dengan tertawa.

"Memangnya kenapa" Apakah nona lagi seret, belum punya kontan" Tidak menjadi soal, tidak perlu kau bayar upahku setiap hari, boleh dicatat saja dalam buku utangpiutang, nanti kalau keuanganmu sudah lancar, bolehlah kau bayar sekaligus padaku.”

"Eh, jangan kau pandang nonamu serudin itu, masa satu hari sepuluh tahil perak saja tidak mampu kubayar"! Soalnya sekarang aku merasa sungkan jika harus memakai seorang pahlawan sebagai saisku.”

"Hahahaha! Jika aku ini pahlawan, maka nona kan lebih daripada pendekar besar. Seorang pahlawan menjadi sais seorang pendekar besar kan juga pantas?”

"Tapi upah sepuluh tahil perak sehari bagi seorang pahlawan kukira terlalu sedikit!" ujar Soat Koh dengan tertawa. "Eh, biar kupertimbangkan dahulu. sepantasnya kutambah berapa upahmu Jika tambah terlalu banyak, jangan2 nanti aku tidak mampu bayar, bila tambah gaji terlalu sedikit, rasanya juga . . . .”

"Tambah sedikit juga tetap kukerjakan, tidak tambah gaji juga kukerjakan, satu peserpun aku tidak minta, cukup memberi makan tiga kali dan menghargai kepribadian Jilengcu, maka cara kerjaku pasti lebih giat.”

"Apa katamu?" Soat Koh menegas, hampir2 ia menyangsikan telinganya sendiri.

"Kubilang, jika kau menghargai diriku, upah menjadi kusir ini tidak perlu bayar sepeserpun, aku hanya kerja bakti bagimu, cukup kau beri makan tiga kali, memberi kesempan tidur yang cukup,kukerja dengan gratis.”

Soat Koh benar2 tidak percaya kepada telinganya sendiri, ia melenggong sejenak. tanyanya kemudian: "Jika begitu, tidakkah kau gagalkan rencanamu sendiri?”

Seketika Peng say tidak paham arti ucapan si nona.

tanyanya dengan suara keras: "Rencana apa maksudmu?”

"Bukankah sudah kau rencanakan, setelah bekerja setengah tahun, upah yang kau tabung itu akan kau gunakan untuk kawin?”

Baru sekarang Peng-say ingat kepada bualannya tempo hari, ia ter-bahak2. Katanya kemudian: "Ah, ucapanku itu hanya untuk main2 saja. Sekarang setelah kutahu nona bukan maling sembarang maling, asalkan tenaga Jilengcu dapat nona pakai, masa perlu kubicara tentang upah segala”

Yang nona laksanakan ini adalah tugas suci, usaha sosial.

bila Jilengcu dapat ikut mengabdi bagi kebaikan sesamanya, jangankan soal upah, seumpama ketemu sasaran besar dan nona mendadak memerlukan tenaga sambilan, dengan suka hati juga akan kubantu.”

Mau-tak-mau Soat Koh meng-angguk2 akan keluhuran budi orang, katanya: "Jilengcu, sungguh tidak pantas pernah kumaki kau mata duitan.”

"Ah. tidak apa2, sama2," jawab Peng-say. "Semula aku tidak tahu duduknya perkara, aku menyesal karena gadis cantik macam kau sudi menjadi maling. maka ku-olok2 kau sehingga nona menangis, sungguh akupun menyesal.”

"Sayang aku bukan lelaki, kalau tidak, sungguh kita layak menjadi sahabat karib.”

"Lelaki dan perempuan kan juga boleh bersahabat karib?" "Boleh sih boleh., cuma . ...cuma agak kurang leluasa,”

kata Soat Koh. "Eh, lain kali, jika operasi lagi, kau masuk, aku jaga di luar, kupercaya kita pasti dapat bekerja sama dengan baik.”

"Huh, justeru kukuatir kau bicara lain di mulut lain di hati. Kebanyakan lelaki tidak mempunyai Liangsim (hati nurani yang baik).”

"Ah, berdasarkan apa kau omong begini?”

"Sembilan di antara sepuluh lelaki kalau melihat untung lantas lupa budi, betapapun si perempuan baik padanya, bila melihat sesuatu yang menguntungkan, dia tidak segan2 untuk mencaploknya sendiri, sampai membunuh teman perempuannya juga tidak sayang2 lagi”

"Aku tidak percaya didunia ada lelaki sekejam ini.

Kukira cara bicara nona agak terlalu berlebihan," demikian Peng-say berusaha membela kaum lelaki.

"Kau tidak percaya?" tanya Soat Koh dengan gemas. "Di dunia ini justera ada lelaki yang demikian. Akan kuberi suatu contoh, pernah ada seorang she ... . " mendadak ia ingat Peng-say mengaku she Tio, maka ia lantas bertanya: "Eh, gurumu she apa?”

"She Tio," jawab Peng-say dengan jujur.

Air muka Soat Koh seketika berubah hebat, tanyanya pula: 'She Tio" Dan siapa namanya?”

Peng-say merasakan sikap si nona yang rada aneh itu, ia tidak berani lagi mengaku terus terang bahwa gurunya bernama Tio Tay-peng, maka dengan tertawa ia menjawab: "Guruku bernama Tio lotoa!”

"Huh, setiap orang she Tio pasti bukan manusia baik2,”

dengus Soat Koh.

"He. apakah termasuk aku Tio-jilengcu?" tanya Peng-say.

"Kukira tidak semua orang she Tio sebusuk apa yang kau bayangkan. Setidaknya aku pasti bukan orang busuk yang kau sangka itu.”

"Hm, memang enak didengar ucapanmu," jengek Soat Koh. "Kau tahu, ada seorang she Tio yang keji, demi mengangkangi satu jilid kitab pusaka, dia tega membuntungi sebelah lengan seorang perempuan yang mencintai dia.”

"Hah, masa betul?" tanya Peng-say dengan suara agak gemetar.

"Masa aku omong kosong?" seru Soat Koh dengan gemas. "Biar kukatakan terus terang, perempuan yang malang itu bukan lain ialah guruku.”

"Kemudian bagaimana dengan orang she Tio itu?" tanya Peng say.

"Dia juga tidak menarik keuntungan dari perbuatannya itu, kamudian lengan kanannya juga dibuntungi oleh guruku." "Dan kitab pusaka itu?”

"Dia mengira kitab pusaka ilmu pedang itu akan dapat dikangkanginya, dia tidak tahu bahwa kitab itu terdiri dari dua jilid, yang diperolehnya tidak lebih hanya setengah bagian saja.”

"O, jadi yang setengah bagian tetap diperoleh gurumu, bukan?”

"Untung sebelumnya Suhu menyimpan setengah bagian kitab itu di dalam baju dan asyik membaca setengah bagian yang lain. Orang she Tio itu cuma memikirkan kitab yang dipegang guruku, pada saat guruku lengah. sekali tabas dia menguntungi lengan kiri guruku. Tak disangkanya bahwa kitab itu masih ada setengah bagian lagi. Jika tahu, mungkin dia takkan mengampuni jiwa guruku.”

"Kitab pusaka macam apakah sehingga menimbulkan angkara-murka orang she Tio itu"' tanya Perg-say.

Soat Koh bermaksud menerangkan, tapi mendadak teringat olehnya peringatan sang guru yang mengatakan: "Jangan mempunyai pikiran mencelakai orang lain, tapi harus punya pikiran menjaga kemungkinan dicelakai orang lain." Karena itulah ia menjadi urung bicara. Pikirnya: "Tahu orangnya, tahu mukanya, tapi sukar mengetahui hatinya.

Meski Jilengcu ini kelihatan orang baik, tapi siapa berani menjamin hatinya takkan berubah dan mencelakaiku bila dia mendengar tentang Siang-liu kiam-hoat?”

Padahal Peng-say tentu saja tahu kitab yang dimaksudkannya adalah Siang-hu-kiam-boh, kalau si nona tidak mau bicara terus terang, maka iapun tidak perlu tanya, hanya bila teringat sang guru ternyata seorang berhati sekeji itu, tanpa terasa timbul rasa sedihnya.

Karena sama2 menanggung pikiran, kedua orang tidak bicara lagi. Siangnya mereka istirahat di suatu kota Kecil dan makan sekadarnya, lalu melanjutkan perjalanan, Soat Koh tidak menjelaskan hendak pergi kemana, menurut pikiran Peng-say, "sudah tentu semakin jauh meninggalkan Pakkhia semakin baik bagi si nona. Jika nona itu tidak minta diantar kesesuatu tempat, biarlah kuhalau kereta ini menurut pikiranku sendiri.”

Dengan sendirinya tempat yang dituju Peng-say adalah lautan di timur sana, untuk ke sana harus melalui pantai Soatang. Maka Peng-say terus membedal kudanya ke perbatasan Hopak dan Soa-tang, menjelang magrib keretanya sudah masuk di wilayah Soatang.

Mendadak Soat Koh membuka jendela depan dan berkata kepadanya: "Celam adalah kota besar di propinsi Soatang, bolehlah kita bermalam disana, esok kita dapat menjual ketujuh benda pusaka ini.”

Pada waktu hari mulai gelap, kereta merekapun memasuki kota Celam. Esoknya Soat Koh menjual ketujuh benda pusaka itu kepada seorang saudagar besar dengan nilai sepuluh laksa tahil. Selama tiga malam ber-turut2, Soat Koh dan Peng-say mem-bagi2kan kesepuluh laksa tahil perak itu kepada kaum miskin di dalam maupun di luar kota Celam. Kaum jembel yang menerima berkah itu tidak tahu akan kedatangan tamu yang tak diundang itu. tahu2 paginya mereka melihat di rumahnya telah bertambah sebungkus uang perak. Keruan mereka kegirangan. Mereka tidak tahu siapakah yang memberi sedekah, hanya dari bungkusannya terlihat gambar seekor burung berwarna seputih salju.

Ada diantara penerima berkat itu mengenali burung itu adalah Soat-koh yang suka pada salju, hanya di musim dingin dan turun salju saja burung itu terlihat. Karena itulah mereka lantas menyebut si pemberi berkat sebagai "Soat Hiap" atau pendekar salju.

Tiga hari kemudian, selesailah Soat Koh dan Peng-say membagikan harta karun itu. Nama "Soat Hiap" segera menggemparkan seluruh kota Celam, di-mana2 orang membicarakan tokoh "Soat Hiap" yang misterius itu, semuanva bilang "Soat Hiap" adalah Koan-im Hudco yang turun dari langit untuk menolong kaum penderita.

Tentu saja Soat Koh sangat senang mendengar berita yang ramai tersiar itu Dilihatnya masih ada sebagian kaum miskin yang belum mendapatkan bagian sedekah ia lantas berunding dengan Peng-say untuk beroperasi di Celam agar segenap kaum Miskin itu dapat menerima berkatnya secara merata. Akan tetapi Peng-say tidak setuju. katanya: "Tujuan kita adalah menolong kaum miskin untuk itu jangan kita berbalik membikin susah kepada mereka. Coba kau pikir, kita beroperasi kota ini, lalu hasil curian kita itu dibagikan kepada orang miskin di kota ini pula, apabila diselidiki diusut oleh pihak yang berwajib, bukankah si miskin yang menerima sedekah itu berbalik masuk penjara" Jika terjadi demikian, orang miskin itu tidak lagi berterima kasih padamu, sebaliknya akan menganggap kau ini maling sialan yang suka bikin susah orang.”

Soat Koh pikir pendapat Peng-say itu memang beralasan.

dengan tertawa ia lantas berkata: "Jika demikian, biarlah kita beroperasi di kota lain. lalu kita angkut hasil curian kita ke sini untuk disebarkan kepada kaum miskin yang memerlukannya.”

"Maling juga mesti pegang etiket, perbuatan merampas milik orang kaya untuk diberikan kepada kaum miskin ini juga harus mencari sasaran yang tepat, harus kita selidiki dulu orang kaya yang pelit dan kejam, apakah sudah kau selidiki hal ini?”

"Untuk apa main selidik segala" Asalkan orang kaya pasti pelit dan tidak berbudi, kita datang saja ke kota lain dan mencari sasaran yang kaya, kan beres?”

"Salah jalan pikiranmu ini," kata Peng-say, "Hendaklah maklum, tidak semua orang kaya itu jahat. Ada sementara orang itu berusaha secara jujur. bahwa kekayaan mereka bertambah menumpuk, sering2 adalah karena mereka hidup hemat dan dapat menabung, apakah kita sampai hati mencuri harta mereka. Maka sebelum operasi, sebaiknya kita mencari keterangan sejelasnya sasaran yang kita tuju, kalau sudah pasti harta kekayaannya diperoleh dengan jalan tidak halal barulah kita turun tangan.”

"Huh, ocehanmu hanya meruntuhkan semangatku saja,”

omel Soat Koh. "Mencuri milik orang kaya, kan takkan menjadikan dia bangkrut, Paling2 hanya sebagian kecil Kekayaannya saja dan dia tetap dapat hidup, kenapa mesti buang2 waktu main selidik segala?”

"Apakah tujuanmu mencuri yang kaya dan menolong yang miskin hanya timbul untuk kepuasan saja dan tidak membedakan siapa yang pantas dicuri dan siapa yang tidak?" ujar Peng-say dengan tertawa. "Umpamanya, kalau harta orang kaya yang kau curi itu disediakan akan dibuat bayar utang, meski kehilangan itu tidak mengakibatkan dia jatuh rudin, tapi dia akan kehilangan kepercayaan di dunia perdagangan, bagi orang dagang, hal ini sama seperti jalan hidupnya kau sumbat.”

"Sudahlah, alasanmu memang macam2, tak dapat berdebat dengan kau," kata Soat, "Pokoknya kuturut usulmu, marilah kita pergi kota lain dan menyelidikinya dengan pelahan.”

"Memangnya kau hendak ke mana?”

"Operasi kita sudah terjadi di daerah Hopak, di Soa-tang sini tidak leluasa, biarlah kita ke propinsi Holam yang terdekat saja.”

"Tapi aku harus keluar lautan, tak dapat kutemani kau ke Holam.

"Keluar lautan" Untuk apa?”

"Pernah kau dengar istilah Tang wan, Say koan. Lamhan dan Pak-cay?”

"Ya, pernah," jawab Soat Koh sambil mengangguk.

"Pernah kudengar dari guruku, katanya itulah tempat kediaman keempat tokoh sakti dunia persilatan jaman kini.”

"Nah, Tang-wan atau Hong hoa-wan itu berada jauh di lautan timur sana," tutur Peng-say "Untuk keluar lautan harus melalui semenanjung Soatang, sekarang kita sudah berada di wilayah Soatang, kesempatan ini harus kugunakan untuk keluar lautan . . . . “

"Kau hendak pergi ke Hong-hoa-wan?" Soat Koh menegas dengan terkejut. "Apakah kau ingin mencari mampus?" "Kenapa kau anggap pergi ke Hong-hoa-wan berarti mencari mampus?" tanya Peng-say.

"Hong hoa-wan terletak jauh di negeri asing sana, jangankan perjalanan mengarungi samudera sangat berbahaya, setiap saat kapalmu bisa tenggelam, seumpama beruntung dapat kau capai Hong-hoa wan, kaupun jangan harap akan datang pulang dengan selamat. Sebab Honghoa-wancu adalah gembong iblis yang paling benci pada pengunjung yang berani mendatangi pulaunya. Sudah lama dia merajai negeri pulau sana, penduduk asli pulau itu dibodohinya. maka ia takut kedatangan orang Tionggoan yang mungkin akan berebut pengaruh dengan dia. Sebab itulah, asalkan melihat orang Tionggoan muncul di pulaunya, tentu akan ditawannya dan dilemparkan ke laut untuk umpan ikan hiu.”

"Hehe, jangan kau bicara seperti menggertak anak kecil,”

seru Peng-say dengan bergelak tertawa.

"Sama sekali bukan gertak," kata Soat Koh dengan sungguh2.

"Takkan terjadi apa2 jika kau pergi ke Say-koan, Lam-han atau Pak-cay, tapi jangan sekali2 pergi ke Tang-wan.

Ngo-hoa Koancu. Soh-hok Hancu dan Leng-hiang Caycu konon bukan orang jahat, jika kau mengunjungi mereka, asalkan kau tidak bikin onar tentu takkan menimbulkan kesulitan, tapi Hong-hoa Wancu terkenal bagai orang jahat, biarpun kau tidak cari perkara juga akan mendatangkan malapetaka jika kau berani menginjak pulaunya.”

"Kepergianku ke Hong-hoa-wan sana memang mau mencari perkara!" kata Peng-say.

"He, apakah kau sudah bosan hidup?" tanya Soat Koh.

"Kau tidak tahu bahwa putera Hong-hoa Wancu ada permusuhan besar denganku, jadi kepergianku kesana sudah jelas harus kulaksanakan.”

"O, kiranya kau ke sana hendak mencari putera Honghoa Wancu untuk menuntut balas, jika demikian urusannya menjadi lain.”

"Maka kita berpisah disini saja, kau pergi ke Holam, aku akan menuju ke Ciau ciu-wan (semenanjung Soatang), bilamana aku dapat pulang dengan hidup, setahun lagi kita berjumpa pula di sini.”

"Apa artinya jika kupergi ke Holam sendirian, mencuri dan menyebarkan hasil curian itu sendirian teman ngobrol saja tidak ada, kukira akan kesepian dan mengesalkan,”

kata Soat Koh dengan gegetun. "Begini saja, akan kutemani kau pergi ke Hong-hoa-wan, sepulangnya dari sana dapat kau bantu diriku melakukan pekerjaan tanpa modal itu, setuju tidak?”

Peng-say menyadari jika pergi sendiri ke Hong-hoa-wan, hampir dapat dipastikan sukar pulang lagi. Tapi kalau dikawani Soat Koh. dengan gabungan pedang kiri dan pedang kanan mereka. bukan mustahil Ciamtay Cu-ih juga dapat mereka kalahkan. Maka dengan girang ia bertanya: "Kau tidak takut bahaya?”

"Bahaya?" Soat Koh menegas. "Coba jawab, berbahaya tidak waktu kau bantu diriku menempur Tan Goan-hay dan begundalnya itu.”

"Sudah tentu kawanan Tan Goan-hay tak dapat disamakan dengan Hong-hoa Wancu," ujar Peng-say.

Tapi Soat Koh tidak menjadi jeri, katanya tegas: "Peduli amat, syukur kalau dapat pulang bersama dengan hidup, kalau tidak, asalkan dapat menempur salah seorang dari empat tokoh sakti masa kini kan juga berharga.”

"Bagus, jika begitu. Hayolah kita berangkat!" seru Peng-say dengan tertawa.

Selama tiga hari mereka tinggal di suatu kelenteng bobrok. Peng-say lantas memasang kuda penarik kereta, sekali cambuk berbunyi, hanya sekejap saja kelenteng rusak itu sudah jauh ditinggalkan.

Setengah harian itu mereka melarikan keretanya, menjelang lohor sampailah mereka di tepi laut .

semenanjung Soatang, terlihat berpuluh kapal berlabuh di sana dan sedang bongkar-muat dengan ramai.

Sejak pagi mereka belum mengisi perut, mereka sudah kelaparan, sementara mereka tidak bertanya tentang kapal yang akan berlayar keluar lautan, tapi lebih dulu mencari rumah makan serta pesan santapan setelah memarkir keretanya. Begitu hidangan sudah siap, terus saja Peng-say mencomot sepotong bakpau dan dimakan dengan lahapnya.

"Jilengcu, kau lihat tidak?" tiba2 Soat Koh berbisik padanya.

"Melihat apa?" jawab Peng-say taapa menahan suara.

Soat Koh mengomel: "Yang kau pikirkan hanya makan melulu, waktu masuk kemari sama sekali tidak kau perhatikan, iihatlah keempat Tosu di meja sebelah sana sejak tadi selalu melirik dan mengawsi kita. Bisa jadi kau masuk perangkap orang belum lagi mengetahui siapa yang melakukan?”

"Oo.apa betul?" tanya Peng-say sambil memandang sekitarnya.

Benar juga dilihatnya di meja pojok kiri sana berduduk empat Tosu muda, semuanya lagi menggerogoti bakpau dengan kepala tertunduk, tiada seorangpun yang kelihatan melirik ke sini.

"Mana ada orang melirik kita" Ah, kau jangan sok curiga!" ujar Peng-say dengan tertawa.

"Tampaknya kau memang dungu," omel Soat Koh pula dengan mendongkol. "Kau tatap mereka terang2an begini, memangnya mereka berani lagi melirik kau?”

"Mau melirik, mau melotot, biarkan saja, kalau berani, hayolah berdiri!" teriak Peng-say. Habis berkata ia menyikat lagi hidangan yang tersedia.

Sambil makan Soat Koh masih terus mengawasi gerakgerik keempat Tosu itu.

"Awas, jangan makanan masuk ke hidungmu!" demikian Peng-say berseloroh.

Soat Koh melototinya dan berkata: "Ucapanmu tadi ternyata cespleng, sampai saat ini mereka tidak berani lagi memandang ke sini.”

"Hakikatnya kita tidak kenal mereka, bisa jadi mula2 mereka salah mengenali orang, maka begitu kita datang mereka lantas mengamat2i, mungkin sekarang mereka tahu salah lihat, maka mereka tidak tertarik lagi kepada kita.”

Dugaan Peng-say ternyata cocok dengan jalan pikiran keempat Tosu muda itu. Setelah mereka menyaksikan Peng-say dan Soat Koh bicara dan bergurau dengan bebas.

mereka lantas tahu salah mengenali orang. Kini Soat Koh berbalik mengawasi gerak gerik mereka, mau-tak-mau mereka menjadi kikuk sendiri dan kuatir menimbulkan onar, maka buru2 mereka habiskan makanan, lalu menuju ke meja kasir untuk membayar.

Pada saat itulah tiba2 masuklah seorang lelakj dan bertanya dengan suara keras: "He, kasir, siapa yang menempelkan poster berhadiah diluar itu?”

Si kasir memandang sekejap lelaki itu, agaknya sudah kenal, maka jawabnya dengan tak acuh: "Siapa tahu?”

"Huh, hadiah kentut! Poster begitu . . . ." demikian lelaki itu mengoceh pula.

Dengan mendongkol si kasir lantas menyela: "Hei, pakai kentut apa segala" Tahu tidak banyak tamu sedang makan”

Jika mau makan, boleh teken bon, tapi jangan sembarangan mengoceh di sini!”

"O, maaf," cepat lelaki itu menjawab dengan cengar-cengir. "Aku memang orang kasar, apa yang kukatakan tadi tidak sengaja, janganlah marah.”

Mungkin orang ini sudah biasa utang di rumah makan ini, maka dipandang rendah oleh si kasir, meski dia sudah minta maaf, tapi si kasir tidak menggubrisnya.

Keempat Tosu tadi sebenarnya sudah selesai membayar rekening makan, tapi mereka masih berdiri di samping meja kasir dan mendengarkan.

Selagi lelaki itu hendak berduduk, seorang Tosu itu mendekatinya dan bertanya sambil menepuk bahunya: "He, siapa suruh kau tanya urusan poster berhadiah di luar itu?”

Orang itu mendelik dan menjawab: "Tuanmu suka tanya, kenapa, apa tidak boleh?”

Dia tidak berani bicara kasar kepada si kasir yang biasa memberi utang padanya, terhadap Tosu ini dia tidak mau mengalah, kata2nya ketus, se-akan2 bila perlu boleh rasakan kepalanku ini.

Tosu itu masih muda, dengan sendirinya juga gampang naik darah. Melihat sikap orang yang kasar, segera ia cengkeram pergelangan tangannya sambil membentak dengan suara tertahan: "Lekas mengaku, siapa yang menyuruh kau tanya tentang poster?”

Setengah badan lelaki itu menjadi kesemutan dan tak dapat bergerak, ia meringis kesakitan dan ber-teriak2: "Baik akan kukatakan .... akan kukatakan!. . . .”

Tosu itu mengendurkan cengkeramannya sehingga orang itu dapat bernapas, dengan menyengir ia berkata: "Toya, anak jadah yang berdusta. Soalnya kuheran melihat poster berhadiah itu, maka kutanya si kasir, sama sekali aku tidak disuruh siapa2.”

Agaknya Tosu itu tidak percaya. kembali ia memecet lebih keras, keruan orang itu menjerit seperti babi hendak disembelih.

Tosu lain yang lebih berpengalaman lantas membujuk kawannya: "Sute, sudahlah, tampaknya ia hanya tanya secara tidak sengaja.”

Si TOSU muda terus mendorong ke depan sehingga lelaki itu jatuh terjungkal. Setelah mendengus, keempat Tosu itu lantas melangkah pergi.

"Nah, Li Toa-gu, baru sekarang kau tahu rasa! Makanya lain kali harus hati2 kalau bicara!" ejek si kasir.

Dengan malu lelaki tadi merangkak bangun sambil mengomel, lalu ia pesan bakpau dan mulai makan.

Kejadian ini tidak diperhatikan Soat Peng-say tapi justeru menarik perhatian Soat Koh. Selesai makan dan keluar dari rumah makan itu, Soat Koh lantas memandang ke timur dan melongok ke barat, akhirnya dapat dilihatnya sehelai poster yang tertempel di depan rumah makan, ia mendekatinya dan membaca isinya.

Tidak jauh meninggalkan rumah makan, Soat Koh lantas berkata kepada Peng-say: "Apa yang dikatakan Li Toa-gu tadi memang betul, poster itu memang berhadiah. Cuma cara membuat poster begitu kukira tiada gunanya sama sekali. Poster mencari orang dengan hadiah seharusnya melukiskan wajah orang yang dicari, paling tidak juga mesti menyebutkan ciri2nya, tapi poster itu hanya tertulis disediakan hadiah seribu tahil perak untuk menangkap Ciamtay Boh-ko. Memangnya siapa yang tahu macam apakah bentuk Ciamtay Boh-ko itu?”

Mendadak Peng-say berpaling dan bertanya: "Jadi poster berhadiah itu mencari Ciamtay Boh ko" Di mana poster itu?" "Lihat, disana juga ada poster yang serupa," jawab Soat Koh sambil menuding ke depan.

Tadi karena buru2 mencari rumah makan, maka Pengsay tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sekarang dilihatnya di dinding rumah sana memang benar tertempel beberapa lembar poster kertas putih, semuanya tertulis: "Hadiah seribu tahil perak bagi siapapun yang dapat menangkap Ciamtay Boh-ko “

"Coba katakan, apa gunanya menempelkan poster ini di sini?" kata Soat Koh. "Biarpun semua jalan besar dan gang kecil dipenuhi poster begeni. paling2 juga Cuma mengejutkan orang yang akan ditangkapnya dan takkan mendatangkan hasil apapun.”

Peng-say berhenti di tepi jalan dan memandang dinding yang bertempelkan poster itu, katanya kemudian: "Kukira bukannya tiada gunanya sama sekali.”

"Jadi ada gunanya" Coba katakan, apa gunanya?”

"Jika orang yang dicari ini memang tidak dikenal oleh orang yang menyediakan hadiah, coba kaupikirkan, bukankah ini suatu cara memancingnya keluar yang paling baik?" "Aha, betul! Tujuan yang menyediakan hadiah ini memang hendak memancingnya keluar," seru Soat Koh "Hadiah seribu tahil perak yang tertulis ini hanya sebagai pajangan saja, sebenarnya cuma omong kosong belaka.”

Sorot mata Peng say yang tajam menatap sekelihngnya, tiba2 ia bertanya dengan suara tertahan: "Menurut pendapatmu, siapakah gerangan orang yang menyediakan hadiah ini?”

"Kukira pasti keempat Tosu di rumah makan tadi,”

jawab Soat Koh. ' Mereka menuduh Li Toa-gu disuruh orang untuk menanyakan siapa yang menempelkan poster itu, maka mereka hendak memaksanya mengaku.”

"Keempat Tosu itu hanya anak buah saja," ujar Peng-say, "mereka cuma disuruh mengawasi reaksi yang timbul dari poster berhadiah itu, orang yang ingin menangkap Ciamtay Boh-ko jelas berada di belakang layar.”

"Menurut kau, siapa kira2 dalang yang menyediakan hadiah itu?”

"Sukar untuk dipastikan sekarang. Coba kau terka, apakah cocok dengan perkiraanku atau tidak.”

Soat Koh berpikir sejenak, lalu berkata: "Ke-empat Tosu itu menyandang pedang, tampaknya mereka adalah murid Bu-tong-pay, jangan2 pihak Bu-tong-pay yang hendak menangkap Ciamtay Boh-ko?”

"Kukira demikianlah adanya," ucap Peng-say.

"Eh, mengapa mendadak kau jadi tertarik oleh poster berhadiah itu?”

"Putera Hong-hoa Wancu itu bernama Ciam-tay Bohko!" tutur Peng say dengan gemas.

"O, jadi Ciamtay Boh-ko saat ini berada di Tionggoan?”

seru Soat Koh terkesiap.

"Ya, besar kemungkinan dia belum meninggalkan Tionggoan, kalau tidak, tentu Bu-tong-pay takkan menyebarkan poster berhadiah di semenanjung sini untuk memancing keluarnya Ciamtay Boh-ko, rupanya mereka yakin Ciamtay Boh-ko kalau mau pulang pasti akan melalui pelabuhan Ciau-ciu-wan sini. Sampai di sini, mendadak ia berhenti bicara.

"Sesungguhnya ada permusuhan atau sakit hati apa antara kau dengan Ciamtay Boh-ko," Bilakah dia datang ke Tionggoan sini .... “

"Sssst, lihat itu!" sela Peng-say dengan mendesis.

Waktu Soat Koh berpaling mengikuti pandangan Pengsay, terlihat sebuah kereta berhenti di tepi dinding, dimana juga tertempel selembar poster. Tampak seorang pemuda pendek gemuk melompat turun dari kereta, dipandangnya sejenak poster itu. lalu mendengus, mendadak poster itu dirobeknya. "Ciamtay Boh-ko!" seru Soat Koh dengan suara tertahan.

"Belum tentu, bisa jadi bukan Ciamtay Boh-ko sendiri, yang jelas Ciamtay Boh-ko pasti berada di sekitar sini dan belum berlayar!" desis Peng-say, raeksi suaranya sangat lirih, tapi Soat Koh dapat mendengar nada anak muda itu sangat terangsang.

Sehabis merobek poster itu, pemuda pendek gemuk itu lantas memaki: "Dirodok. siapa yang menempel poster ini”

Kalau tertangkap pasti kubeset kulitnya!”

Kemudian ia melompat ke atas kereta dan memerintahkan kusirnya: "Coba cari lagi, masih ada tidak?”

Waktu kereta itu berangkat, dari gang sebelah sana lantas menyelinap keluar empat orang, siapa lagi kalau bukan keempat Tosu tadi Mereka terus menguntit di belakang kereta itu. "Melihat sikapnya yang penasaran itu. kukira dia pasti Ciamtay Boh-ko sendiri," kata Soat Koh.

"Betul, dia memang Ciamtay Boh-ko!" ucap Peng-say dengan pasti.

Dari suara pemuda pendek gemuk tadi, dia dapat memastikan orang adalah Ciamtay Boh-ko. Maklum, waktu di Siau-ngo-tay-san dahulu, sebelum muncul Ciamtay Bohkoh sudah bersuara hendak membawa Sau Kim-leng pulang ke Tang-hay, suaranya sampai sekarang masih dikenal oleh Peng-say.

Begitulah Peng-say dan Soat Koh lantas membuntuti pula kereta itu, hanya jaraknya agak jauh, sampai keempat Tosu itupun tidak tahu.

"Kau tidak pernah bertemu dengan Ciamtay Boh-koh?”

tanya Soat Koh di tengah jalan.

"Hanya pernah kudengar suaranya," jawab Peng-say.

"Aneh, kalian tidak pernah bertemu, lalu cara bagaimana kalian bisa mengikat permusuhan?”

"Dia menangkap dan membawa lari kawanku, inilah awalnya permusuhan kami.”

"Kawanmu ditangkapnya, direbut kembali saja kan beres, untuk apa mesti bermusuhan dengan orang yang sukar direcoki ini?”

"Kau tidak tahu, kawanku itu ... . “

"Kawanmu kenapa?" tanya Soat Koh karena Peng-"ay tidak meneruskan ucapannya.

Bila teringat Cin Yak-leng sudah lebih sebulan diculik oleh Ciamtay Boh-koh, hati Peng-say menjadi sakit seperti di-sayat2, sungguh ia tidak tahu betapa Cin Yak-leng telah di-"koyak2" oleb Ciamtay Boh-ko.

Sudah tentu sukar baginya untuk menceritakan kekuatirannya itu kepada Soat Koh, maka ia hanya berkata: "Tidak apa2, sebentar bila engkau suka bantu menyelamatkan dia terlepas dari cengkeraman iblis, selama hidup takkan kulupakan budi kebaikanmu.”

"Mengapa kau bicara seperti terhadap orang yang tak kau kenal?" ujar Soat Koh dengan kurang senang.

"Kawanmu kan juga kawanku, jika Ciamtay Boh-ko tidak mau membebaskan kawanmu, biarlah kita melabrak dia, persetan siapa bapaknya, kita tidak peduli.”

Sepanjang jalan itu si pemuda pendek gemuk telah merobek puluhan poster, setiba di pelabuhan, ia pesan pula kepada kusirnya: "Pergilah menyewa sebuah kapal layar ke lautan timur sana, uang sewa tidak soal bagiku.”

Si kusir mengiakan terus pergi mencari kapal. Pada saat itulah muncul belasan Tosu dan mengepung kereta kuda itu. Terdengar seorang Tosu tua bertanya: "Apakah Ciamtay-kongcu berada di dalam?”

Tapi sampai sekian lama tiada suara jawaban dari dalam kereta. Tosu tua itu berkata pula: "Kongcu tidak perlu sewa kapal lagi, sudah lama kami siapkan sebuah kapal bagimu dan sedang menunggu kedatangan Kongcu.”

Baru sekarang terdengar pemuda pendek gemuk itu bersuaru: "Apakah kalian yang menempel poster penangkapan Ciamtay Boh-ko dengan hadiah itu?”

"Ya, maaf, kalau tidak begitu, cara bagaimana kami dapat mengenali Wajah Ciamtay kongcu?" jawab si Tosu itu dengan ramah..

"Aku inilah Ciamtay Boh-ko, kalian mau apa?" kata pemuda pendek gemuk itu.

"Anak murid Bu-tong sengaja datang kemari untuk mengantar Kongcu sendiri naik keatas kapal," kata si tosu tua.

"Sendiri" Kalau kami berdua?" jengek Ciamtay Boh-ko.

"Entah siapa lagi yang seorang?”

"Isteriku!”

Mendadak sekujur badan Peng-say rada gemetar demi mendengar kata2 itu.

"Apakah kawanmu itu perempuan?" tanya Soat Koh tiba2.

Saat itu telinga Soat Peng-say hanya ter-ngiang2 kata "isteriku" yang diucapkan Ciamtay Boh-ko itu, pertanyaan Soat Koh sama sekali tak terdengar olehnya. Merasa tidak digubris, dengan sendirinya Soat Koh merasa kurang senang, dengan mulut menjengkit ia melengos ke sana.

Dalam pada itu terdengar Tosu tua itu sedang bertanya pula: "Berada di mana nyonya anda sekarang" Siapa namanya yang terhonnat?”

"Dia berada di dalam kereta, jika mampu boleh kalian merampasnya!" seru Ciamtay Boh-ko dengan tertawa latah.

"Ah, mana berani kami sembarangan bertindak," ujar si Tosu tua. "Tapi kalau nyonya anda ialah puteri Pak-cay, maka disilakan dia suka ikut ke tempat kami di Huiciu.”

"Hm, kalian hanya mengundang dia dan tidak mengundang diriku?" jengek Ciamtay Boh-ko.

"Jika Kongcu suka ikut ke sana, tentu saja kami sambut dengan senang hati," kata Tosu itu.

"Apa maksud tujuan kalian mengundang isteriku?" teriak Ciamtay Boh-ko dengan gusar.

"Kami bertindak menurut perintah, lebih dari itu kami tidak tahu," jawab si Tosu tua.

"Kalau tidak kuizinkan dia pergi?”

"Jika begitu, maaf, Kongcu! . . . .”

"O, maksudmu mau-tak-mau kalian harus membawanya pergi" Bagus, bagus, kalian sembarangan menempel poster, memangnya sedang kupertimbangkan apakah harus kubunuh kalian atau tidak, tampaknya sekarang kalian memang pantas dibinasakan. . . ." Baru habis kata "dibinasakan”

terucapkan sesosok bayangan lantas menubruk keluar dari kereta. Tidak jelas senjata apa yang dipakai, tahu2 para Tosu yang mengepung kereta itu sama menjerit, darah daging berhamburan, hanya sekejap saja tiga orang Tosu telah binasa dengan pinggang tertabas kutung. "Rebut kereta dan serbu!" teriak si Tosu tua dengan gusar.

Mendengar aba2 itu, serentak kawanan Tosu itu membagi diri menjadi dua kelompok, yang satu berusaha merebut kereta, yang lain mengerubut Ciamtay Boh-ko.

Belum lagi kawanan Tosu yang merebut kereta itu sempat melarikan kereta, terdengar suara "blak-bluk”

beberapa kali, kawanan Tosu yang mengerubut Ciamtay Boh-ko itu semuanya roboh dengan tubuh tertabas putus sebatas pinggang.

"Cui-hun, larikan kereta ke selatan, kawan2 lain mencegat musuh!" teriak li Tosu tua. ia tahu musuh terlalu lihay, untuk mengalahkannya jelas tidak mampu, yang diharap hanya merintanginya, sementara agar Cui-hun cukup waktu untuk kabur bersama keretanya.

Begitulah dengan memimpin sisa lima orang kawannya.

Tosu tua itu terus menerjang ke arah Ciamtay Boh-ko, Senjata Ciamtay Boh-ko adalah sebilah golok sabit, begitu cepat permainan goloknya, sekali tabas tentu jatuh satu korban, tiada serangan kosong. Hanya Tosu tua itu saja yang mampu menangkis satu kali, tapi serangan kedua juga tidak sanggup ditahannya, nasibnya serupa para Sutenya, iapun binasa dengan tubuh putus menjadi dua.

Kematian keenam Tosu itu hanya berlangsung dalam waktu singkat, namun kereta tadipun sudah dilarikan belasan tombak jauhnya.

Ciamtay Boh-ko mengincar baik2 pinggang Cui-hun Tojin yang mengendarai kereta itu, lalu goloknya disambitkan. Golok sabit itu terus menyambar ke sana dengan berputar seperti roda, hanya sekejap saja Cui-hun sudah tersusul, "kres' pinggang Cui-hun tertabas dengan telak, golok itu menancap di kabin kereta dan bergetar.

Mayat Cui-hun yang terbagi menjadi dua potong lantas terguling ke bawah kereta. Karena kehilangan pengendali, kereta itu berlari sendinan ke depan, tapi tidak seberapa jauh lantas berhenti dengan sendirinya.

Dengan tersenyum angkuh Ciamtay Boh-ko mendekati kereta itu dengan pelahan, dipegangnya selongsong moncong kuda, kereta itu dibawanya kembali ke tempat semula. Hampir semua kuli pelabuhan menyaksikan pertempuran ngeri tadi, mereka sama ketakutan. seketika mereka terkesima dan tiada yang berani bergerak, rupanya kuatir menimbulkan salah sangka pemuda pendek gemuk itu, jangan2 golok sabit akan menyambar tiba dan jiwa ikut melayang. Terhadap mayat yang bergelimpangan di sekitarnya, Ciamtay Boh-ko anggap tidak tahu saja, dengan menggendong tangan ia memandang jauh ke lautan sana, ditunggunya berita si kusir yang disuruhnya pergi mencarter kapal tadi.

Soat Peng-say juga terkesima menyaksikan kejadian hebat tadi, sama sekali tak disangkanya Ciamtay Boh-ko bisa sedemikian lihaynya. Ia menyadari, bila tidak dibantu Soat Koh, jelas dirinya cuma akan mengantar nyawa percuma. Tapi apapun juga dia tidak dapat menyaksikan Cin Yakleng dibawa pergi, segera ia berpaling dan minta bantuan: "Nona Soat, marilah kita maju bersama.”

Tak terduga, Soat Koh hanya menggeleng saja.

jawabnya: "Tidak, aku masih ingin hidup lebih lama lagi, maaf, tak dapat kupenuhi permintaanmu.”

"Tapi. . .tapi kau kan sudah menyanggupi. . . .”

"Betul, pernah kusanggupi akan ikut kau keluar lautan dan juga kusanggupi akan menempur Hong-hoa Wancu . . .

. " "Dan sekarang aku cuma mohon engkau suka bantu menempur Ciamtay Boh-ko saja.”

"Bertempur bukan soal bagiku, paling2 cuma mati dengan pinggang putus tertabas. Hanya ingin kutanya, berharga tidak kematian demikian?”

"Demi menolong kawan, masa tidak berharga" Bukankah dunia persilatan paling mengutamakan setia kawan?" "Di mana kawanmu?" tanya Soat Koh.

"Berada di dalam kereta itu," jawab Peng-say.

"Hm, jelas2 yang di dalam kereta itu adalah isteri orang, mengapa anda bersusah payah hendak menolongnya?”

jengek Soat Koh.

Air muka Peng-say tampak sangat pedih, ia menggeleng dan berkata dengan pasti: "Tidak mungkin terjadi. Adik Leng jelas diculik oleh dia. Jangan kau percaya ocehannya, tidak nanti adik Leng mau menjadi isterinya.”

"Pernah hubungan apa adik Leng dengan kau?" tanya Soat Koh.

"Dia Piaumouyku, puteri Kiu-bun-te-tok di Pakkhia itu.”

"Hanya begitu saja?" Soat Koh menegas.

"Memangnya kau sangka di antara kami ada hubungan sesuatu yang tidak beres" Jika terdapat pikiranmu yang kotor ini, aku lebih suka tidak minta bantuanmu.”

Soat Koh menghela napas, katanya: "Soalnya kulihat kau sangat memperhatikan dia, Bukan soal bagiku membantu kau, tapi tidak kuharapkan kau teramat memperhatikan dia." Peng-say merasa heran dalam keadaan demikian si nona sempat mengutarakan hal2 yang aneh ini, ia mendongkol, katanya: "Jangan kuatir, dengan membantuku jiwamu takkan melayang.”

"Jiwa melayang bukan soal pokok bagiku, asalkan kau berjanji, bilamana beruntung tidak sampai mampus, selanjutnya kau tidak akan bertemu lagi dengan Piaumoaymu.”

"Hah, sungguh aneh permintaanmu ini." seru Pang-say dengan mendongkol. "Nona Soat, terima kasih atas bantuanmu, silakan kau pergi saja, aku sendiri sanggup menghadapi musuh.”

"Jangan mengantar nyawa, bisa jadi kau punya adik Leng tidak berada di dalam kereta itu," seru Soat Koh sambil memegang tangan anak muda itu.

Mendadak Peng-say berteriak, "Leng-moay, Leng-moay, apakah kau berada di dalam kereta"!”

Cin Yak-leng berada di dalam kereta, dia tertutuk dan tak dapat bergerak, demi mendengar suara Peng-say, ia kegirangan setengah mati dan segera berteriak: "Peng-ko, Peng-ko! “

Peng-say berpaling memandang Soat Koh, maksudnya ingin membuktikan bahwa adik Leng jelas berada di dalam kereta. Kecut hati Soat Koh demi mendengar seruan si nona di dalam kereta itu sedemikian mesranva terhadap si Jilengcu.

Ia tidak menggubris terhadap sorot mata Peng-say yang ingin mohon bantuannya itu.

"Jadi kau .... kau. . ." Peng-say tidak dapat melanjutkan karena merasa kecewa atas sikap si nona.

Lantaran tidak mendapatkan jawaban Peng-say, terdengar Cin Yak-leng berteriak pula: "Peng-ko, Peng-ko, lekas kemari tolonglah aku. . . .”

Seketika darah Peng-say bergolak, tanpa menghiraukan bahaya apapun segera ia lepaskan pegangan Soat Koh dan melangkah kesana. Ia berbenti setelah berhadapan dengan Ciamtay Boh-ko dalam jarak kira2 dua tiga meter.

Pelahan2 Ciamtay Boh-ko membalik tubuh dan mengamat2i Peng-say sejenak, habis itu meadadak ia tertawa terbahak2.

"Leag-moay, Leng-moay! Hahahaha! Alangkah mesranya panggilanmu tadi?" demikian ia ber-olok2. "Tapi apakah kau tahu bahwa Leng-moay sudah menyanggupi akan menjadi isteriku?”

"Tidak, aku tidak pernah menyanggupi," cepat Cin Yak-leng menyela "Kubilang demi keselamatan Peng ko barulah kusanggupi, aku tidak berjanji dengan sesungguh hati.”

= Sanggupkah Peng say melawan Ciamtay Boh-ko yang lihay itu dan dapatkah dia merampas kembali Cin Yakleng" = Apakah Soat Koh akan membantu Peng-say “

"== Bacalah jilid selanjutnya ==“

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar