Jilid 8
Tak tersangka belum setahun dia bekerja sudah tertimpa musibah, benda pusaka sang majikan, yaitu delapan ekor kuda kemala, telah hilang dicuri orang.
Houya, sang majikan itu bermaksud melapor kepada yang berwajib, tapi bila hal ini dilaporkan akan berarti tamat pula karir Li Yu-seng, bukan saja periuk nasinya berantakan, selanjutnya juga jangan berharap akan mendapat pekerjaan lagi, bila tersiar ke dunia persilatan nama Li Yu-seng pasti juga tercemar.
Mau-tak-mau ia tepuk dada dan menjamin benda pusaka yang bilang itu pasti akan ditemukan kembali sehingga sang majikan batal lapor perkara ini kepada yang berwajib. Tapi majikan juga memberi batas waktu, dalam satu bulan barang yang hilang harus kembali.
Keruan selama beberapa hari akhir2 ini kaki Li Yu-seng hampir patah lari kesana dan balik kesini, tapi bayangan Giok-be atau kuda kemala tetap tak terlihat. Sementara itu batas waktu sebulan sudah hampir berakhir, tentu saja ia tambah kelabakan sehingga seperti semut di dalam wajan yang panas. Suatu hari dia minum arak di satu restoran untuk menghilangkan rasa kesalnya, kebetulan dia bertemu dengan si kakek botak yang bernama Tan Goan-hay, karena sama-sama bekerja di keluarga bangsawan, keduanya sudah kenal. Dalam pasang omong mereka baru diketahui mereka senasib setanggungan. Rupanya majikan Tan Goan-hay juga kehilangan benda pusaka.
Ketika mereka berdua mengadakan kontak pula dengan kawan lain, diketahui pula bahwa kedua keluarga raja muda lain juga kemalingan, kedua kepala penjaga rumah tangga itu masing2 bernama Ho Kong-lim dan Tan Yambok, yang satu ahli golok Toan-bun-to dari Kwitang dan yang lain jago Ang-kun dari Hopak.
Kedua orang itupun serupa Tan dan Li berdua, demi menjaga gengsi, mereka minta kepada majikan masing2 agar jangan lapor kepada pihak yang berwajib, mereka menjamin dalam waktu singkat barang yang hilang pasti dapat ditemukan.
Akan tetapi keempat jago pengawal itu sudah bergabung dan telah melakukan penyelidikan bersama dan sampai sekarang belum lagi menemukan seuatu tanda2 yang memberi harapan.
Mereka menjadi heran juga bahwa di antara tujuh macam benda pusaka yang terkenal di kota raja ini, masih ada dua macam lain milik keluarga pangeran yang lain belum terdengar ikut tercuri. Jangan2 jago pengawal di istana pangeran itupun serupa mereka, menjaga gengsi dan sengaja tidak melaporkan kecurian itu.
Keempat orang itu lantas mengunjungi Hoa ih-congkoan atau kepala penjaga istana dan menjelaskan benda pusaka majikan mereka telah hilang dicuri orang, maka minta bantuan agar Hoa-ih-cong-koan istana pangeran itu mau bergabung dengan mereka untuk menyelidiki bersama peristiwa itu. Tak tersangka Hoa-ih congkoan itu justeru menyatakan benda pusaka milik majikannya masih tersimpan dengan baik dan tidak pernah hilang. Agar keempat rekannya itu mau percaya, dia sengaja memperlihatkan benda pusaka sang majikan, bahkan menepuk dada dan menyatakan betapa ketat penjagaannya sehingga tidak mungkin si maling mampu menggerayangi istana pangeran itu.
Kiranya Hou ih congkoan istana pangeran itu bernama The Kim ciam, anak murid Siau-lim-pay dari keluarga preman, usianya belum 30 tahun sudah termashur karena ilmu permaiaan tongkat Hang-mo-tiang-hoat yang jarang ada tandingannya, Sebab itulah dia menjadi tinggi hati dan anggap tiada maling yang berani mengganggunya.
Padahal nama The Kim-ciam sebenarnya tidak lebih gemilang daripada nama Tan Goan-hay di dunia persilatan.
Kalau sipencuri benda pusaka berani merecoki Tan Goanhay, mustahil tidak berani terhadap The Kim ciam, dia cuma lebih mujur, yaitu giliran terakhir menjadi incaran si maling.
Karena ajakan kerja sama mereka ditolak. Tan Goan-hay berempat juga tidak banyak bicara, hanya mulai malamnya mereka lantas mengawasi istana pangeran itu dengan cermat. mereka yakin istana pangeran itu pasti juga akan didatangi si pencuri. Maka diam2 ia mengintai. Benar juga, pada malam itu mereka menyaksikan si pencuri benda pusaka itu melayang masuk ke istana pangeran itu.
Mereka menyesal karena The Kim ciam tidak mau bekerja sama, maka mereka sengaja tinggal diam, mereka hanya siap siaga bilamana maling itu hendak kabur membawa hasil curiannya barulah mereka akan muncul dan membekuknya, Akan tetapi nona Soat itu cukup cerdik. ditambah lagi Ginkangnya memang tidak lemah, biarpun di bawah pengawasan para jagoan itu benda pusaka istana pangeran itu tetap berhasil digerayanginya dan dibawa lari. Cuma iapun tidak menyadari bahwa jejaknya telah diketahui dan sedang diintai, ketika dia membawa barang curian dan melayang keluar dari istana pangeran itu, serentak ia terkepung oleh Tan Goan-hay berempat.
Sudah tentu ia kewalahan dikerubut empat jagoan itu.
apalagi ditambah The Kim-ciam yang menyusul tiba, ia lebih kepayahan, terpaksa ia bertahan sekuatnya.
Menjelang fajar, dengan beberapa jurus serangan pedangnya yang aneh dapatlah dia membobol kepungan dan lari pulang ke hotel. Ia tahu dalam waktu singkat musuh pasti akan mencium jejaknya dan menyusul tiba, maka cepat ia meringkasi ketujuh benda pusaka hasil curiannya dan membangunkan kusir kereta lalu kabur keluar kota. Ia yakin keretanya yang cukup cepat itu pasti dapat lolos dari kejaran musuh. tak terduga Hwesio. Tosu dan Preman, tiga gembong bandit sudah lama mengintainya dan telah mencegatnya tidak jauh di luar kota.
Waktu kereta itu menyerempet Soat Peng-say, hal ini bukannya disengaja melainkan karena gugupnya si kusir.
Soat Peng-say sendiri karena mengantuk diatas kudanya sehingga dengan mudah tersenggol jatuh terjungkal.
Sementara itu Tan Goan-hay berlima demi menjaga gengsi tetap tidak mau menghubungi pihak yang berwajib meski jejak si pencuri sudah diketahui. Tentu saja hal ini sangat menguntungkan nona Soat, tanpa halangan dia dapat kabur keluar kota. Sedangkan Tan Goan-hay berlima masih sibuk mencari jejaknya di tengah kota. Untungluh setelah dicari kian kemari, akhirnya pada hotel yang dipondoki nona Soat itu diperoleh keterangan bentuk dan wajah maling benda pusaka yang serupa dengan nona Soat itu, maka mereka terus menyiapkan segala keperluan dan bermaksud mengadakan pengejaran jarak jauh dan bertekad membekuk maling perempuan itu.
Setiba dipintu gerbang timur, tiba2 mereka kepergok barisan opas yang dipimpin kepala opas Pakkhia yang bernama Ong Cin-ek. Kepala opas Ong itupun kenal Tan Goan-hay dan konco2nya itu adalah para jago pengawal istana pangeran, dengan sendirinya ia menegur sapa dan memberitahu maksud tujuannya yang hendak mengejar kawanan bandit yang mengacau di kotaraja.
Tan Goan-hay dan lain2 pura2 menyatakan hendak membantu Ong Cin-ek, dengan sendirinya tawaran ini diterima baik. Mereka tidak tahu bahwa Ong Cin-ek sudah tahu terjadinya pencurian2 itu, kedatangannya sekarang ini justeru hendak menangkap maling yang melakukan pencurian secara besar2an itu.
Kiranya majikan Li Yu-seng yang diam2 telah laporkan peristiwa pencurian itu kepada pihak yang berwajib, hanya saja untuk menjaga jangan sampai membikin malu jago pengawalnya sendiri, pihak yang berwajib hanya diminta agar meyelidikinya secara diam2 selama sisa batas waktu yang masih ada, yaitu lima hari. Tugas penyelidikan itu dilakukan oleh Ong Cin-ek yang cukup berpengalaman.
Selama dua hari dia menyelidiki setiap orang yang kira2 harus dicurigai, diketahui kotaraja telah kedatangan kawanan bandit yang dipimpin oleh tiga gembong bandit Hwesio, Tosu dan Preman itu Berbareng itu juga ditemukan seorang tamu perempuan berkereta warna emas yang patut dicurigai, maka diam2 dikirim petugas untuk mengawasi perak-geriknya.
Malam hari ketika diketahui kawanan bandit telah meninggalkan kota, hal ini tidak diperhatikan oleh Ong Cin-ek, sebab kawanan bandit itu hanya beberapa hari berdiam di dalam kota dan laporan tentang pencurian sudah terjadi 20 hari, jelas pencurian bukan dilakukan oleh kawanan bandit itu. Maka kecurigaannya tertuju kepada tamu perempuan muda she Soat yang sudah sebulan tinggal di kotaraja itu, begitu kawanan bandit itu pergi, perhatiannya lantas dipusatkan kepada diri tamu she Soat.
Pengawasan diperketat. Maka begitu mendapat laporan bahwa pagi2 perempuan muda she Soat itu telah angkat kaki, Ong Cin-ek menjadi sibuk dan cepat2 pimpin belasan anak buahnya melakukan pengejaran dan kebetulan bergabung dengan rombongan Tan Goan-hay.
Di tengah jalan diperoleh laporan pula bahwa di luar kota terjadi pembegalan, setelah ditanya lebih jelas, diketahuinya kawanan bandit hendak main hitam makan hitam. Maka cepat ia mengerahkan barisannya ke sana.
Akhirnya tersusul juga kereta yang dimaksud. tapi Tan Goan-hay menganggap kereta itu kosong dan tidak perlu digeledah. Sudah tentu Ong Cin-ek serba susah dan tidak berani membantah.
Hanya Li Yu-seng saja, karena batas waktunya tinggal dua hari saja. bila besok juga terlewatkan dengan sia2, berarti periuk nasinya akan berantakan. Maka ia coba menggertak Soat Peng-say pula dengan ayunan cambuknya, sekali sabat ujung kabin kereta sempal sebagian, lalu bentaknya: "Lekas katakan, siapa yang membunuh belasan orang di sana tadi" Dilakukan seorang perempuan bukan?”
Soat Peng-say tetap duduk saja tanpa bergerak, ia berlagak pilon seperti tidak tahu betapa lihaynya sabatan cambuk Li Yu-seng itu, dengan tertawa ia menjawab: "Eh.
tuan ini hendaklah bersabar sedikit, bila ingin tahu apa yang terjadi, harap tenang dan dengarkan cerita hamba.”
Li Yu-seng menjadi gusar dan mendamperat: "Kentut makmu! Lekas ceritakan, jika rewel, sekali hantam kuhancurkan kepala-anjingmu!”
Saking gregetan ia benar2 ingin membinasakan Soat Peng-say dengan sekali hantam. Tapi Tan Goan-hay telah mencegahnya: "Li-laute, apa yang dikatakan saudara cilik ini memang betul juga, tenanglah dan dengarkan ceritanya.”
Di antara mereka ilmu silat Tan Goan-hay terhitung paling tinggi, walaupun tidak resmi dan telah menjadi kepala rombongan, maka terpaksa Li Yu-seng menurut, begitu pula yang lain. Ho Kong-lim dan Tan Yam-bok adalah kedua orang yang menghentikan kereta tadi. mereka masih memegangi kuda penarik kereta dan mengikuti perkembangan selanjutnya, kedua orang ini cukup percaya kepada kemampuan Tan Goan-hay, segalanya mereka serahkan kepada keputusannya.
Tapi Li Yu-seng lantas mendesak lagi: "Hayo, lekas ceritakan!”
Namun Soat Peng-say justeru bicara dengan seenaknya, ucapnya dengan pelahan: "Pagi tadi hamba sendirian meninggalkan kota. . . .”
"Jadi sejak pagi keluar kota kereta ini memang kosong?”
sela Tan Goan-hay.
Peng-say tertawa, ia tidak membenarkan secara langsung, tapi berkata pula: "Hamba sendirian keluar kota, sampai di sini. . . .”
"Bohong kau!" bentak Ong Cin-ek mendadak. "Di dalam keretamu kan ada seorang penumpang perempuan, lekas katakan siapa dia"!”
"Kubohong atau tidak ada sangkut-paut apa dengan kau?" jawab Peng-say dengan tertawa.
Ong Cin-ek jadi melengak sehingga tidak sanggup bersuara lagi. Padahal Soat Peng-say memang tidak bohong, dia memang keluar kota sendirian. Maka ia lantas menyambung: "Setiba di sini, kulihat belasan penjahat menghadang di tengah jalan dan mengatakan didalam kereta ada benda mestika segala, malahan mereka terus mengganas, ya panah, ya golok, semuanya tertuju kereta ini, se-akan2 dengan begitu benda mestika akan keluar dengan sendirinya dari dalam kereta.”
Dia sengaja menekankan suaranya pada istilah "benda mestika" sehingga bagi pendengaran si nona Soat di dalam kereta, rasanya ialah yang dimaksudkan sebagai "mestikanya". Keruan ia sangat mendongkol.
"Pada saat itulah tiba2 datang seorang Lihiap (pendekar perempuan) yang berbusur kecil," tutur Peng-say pula.
"Terdengar suara jepretan beberapa kali dan kontan beberapa orang lantas roboh Hanya tersisa tiga pentolan bandit saja tidak terpanah ulu hatinya yang mematikan.
Tapi panah kecil itu beracun, meski cuma mengenai lengan kanan mereka, hanya sebentar saja lengan mereka lantas berubah menjadi hitam.”
"Hm, kiranya dia murid ahli racun Cu Hway-tong!”
jengeK Tan Goan-hay.
"Siapa itu Cu Hway-tong?" tanya Tan Yam-bok.
"Berapa usia Tan-hiaute tahun ini?" tanya Tan Goan-hay.
Di antara kelima orang usia Tan Yam-bok memang paling muda, ia jadi melengak karena tidak tahu apa sebabnya mendadak orang menanyakan umurnya, jawabnya kemudian: "Tahun ini 27.”
"Pantas kau tidak kenal nama Cu Hway-tong," tutur Tan Goan-hay. "Pada 30 tahun yang lalu Cu Hway-tong itu sudah malang melintang di dunia Kingouw, bukan saja ilmu pedangnya, bahkan keahliannya menggunakan racun sangat ditakuti setiap orang persilatan. Tapi entah mengapa, 27 tahun yang lalu mendadak dia menghilang dari dunia ramai, bisa jadi dia sengaja mengasingknn diri untuk mempelajari semacam ilmu pedang dan ilmu pedangnya sudah sama2 kita ketahui.”
"Dilihat dari ilmu pedang muridnya, agaknya tidak sia2 selama 27 tahun Cu Hway-tong mengasingkan diri," ujar Tan Yam-bok. Nyata ia sangat mengagumi ilmu pedang si maling perempuan she Soat itu.
Diam2 Peng-say membatin: "Kiranya nona itu pun mahir ilmu pedang. entah selama 27 tahun ilmu pedang apa yang diciptakan oleh gurunya yang bernama Cu Hway-tong itu sehingga musuh juga merasa kagum sekali.”
Mendadak Li Yu-seng membentak: "Kemudian bagaimana. hayo lekas teruskan, kusir!”
"Kemudian. . . kemudian ketiga pentolan bandit itu merasakan lihaynya racun yang mengenai lengan mereka, buru2 mereka mengutungi lengan sendiri dan melarikan diri," tutur Peng-say dengan ter-gagap2.
"Yang kutanya bagaimana kemudian dengan maling perempuan itu?" kata Li Yu-seng dengan mendesak, Soat Peng-say sengaja membetulkan istilah orang, katanya: "Maksudmu si pendekar perempuan itu?”
Kuatir Li Yu-seng ribut lagi dengan Soat Peng-say, cepat Tan Goan-hay menimpali: "Betul, kemudian bagaimana dengan pendekar perempuan itu?”
"Wah, akupuu tidak jelas," ujar Peng-say sambil mengangkat bahu. "Hamba terus kabur mengendarai kereta ini, mana sempat ku perhatikan diri pendekar perempuan itu. Eh. sekarang hamba boleh pergi bukan?”
Tan Goan-hay mengangguk.
Ong Cin-ek menjadi kelabakan, cepat ia menimbrung: "Pergi" Mana boleh" Kau harus ikut kami ke kantor, di tengah jalan sana jatuh korban belasan orang, kau harus menjadi saksi dalam perkara ini.”
Melihat cara Ong Cin-ek tanya Soat Peng-say tentang "maling perempuan" tadi, Tan Goan-hay tahu kepala opas itu pasti sudah tahu hal2 pencurian yang terjadi di kota raja, betapapun Ong Cin-ek tidak boleh mendapatkan keterangan dari Soat Peng-say mengenai benda2 pusaka kelima keluarga pangeran yang hilang itu, maka cepat ia menyela: "Ong-thauji, kita jangan menuduh orang baik2 dan merintangi perjalanan penduduk yang tak bersalah.
Keretanya sudah dirusak oleh kawanan penjahat. masa sekarang kita membikin susah lagi padanya?”
"Masa Tan-heng menganggap dia orang baik2 dan. . . .”
"Sudahlah, tak perlu omong lagi, berilah kebebasan padanya dan kebaikanmu pasti takkan kami lupakan," ucap Tan Goan-hay sebelum Ong Cin-ek melanjutkan kata2nya.
"Apalagi belasan mayat tadi jelas adalah kawanan bandit yang menjadi buronan pemerintah, bila mayat2 itu kau bawa pulang, bukankah akan merupakan jasa besar bagimu?" "Betul juga ucapanmu Tan-losu," kata Ong Cin-ek dengan tertawa. Dalam hati ia tahu tentu kelima keluarga pangeran tempat bekerja Tan Goan-hay berlima itu kehilangan barang pusaka dan mereka ingin menyelidikinya sendiri demi gengsi. Tapi peduli apa jika mereka tidak mau perkara ini terbuka, yang benar bilamana mayat kawanan bandit itu dibawa pulang ke kotaraja memang akan merupakan jasa besar. Yang diherankannya cuma sikap Tan Goan-hay tadi, bilamana kereta warna emas itu dilepaskan, kemana lagi mereka akan mencari maling benda pusaka itu kelak" Dalam pada itu Tan Goan-hay telah mengedipi kedua kawannya yang menahan kuda penarik kereta dan berkata: "Lepaskan, biarkan dia pergi!”
Segera Ho Kong-lim dan Tan Yam-bok melompat kembali keatas kudanya masing2 tanpa membantah The Kim-ciam juga tidak omong lagi, dia cukup cerdik, dengan sendirinya ia tahu maksud Tan Goan-hay melepaskan Soat Peng-say. Ia kuatir Li Yu-seng tidak paham kehendak Tan Goan-hay, maka cepat ia membisikinya: "Jangan kuatir, Li laute, kita bereskan nanti!”
Otak Li Yu-seng memang lebih sederhana daripada yang lain, tapi demi melihat keempat kawannya tidak merasa kuatir dan mungkin mereka sudah mempunyai pendirian lain untuk mengusut barang2 yang hilang, terpaksa iapun tidak berbicara lagi.
Dilihatnya Soat Peng-cay menarik tali kendali dan menjalankan keretanya dengan cara ke-tolol2-an, sebentar kemudian kereta itupun berlari pergi, namun jalannya tetap meliuk ke kanan dan berbelok ke kiri.
Diam2 Tan Goan-hay mendengus dari kejauhan- "Hm, sampai saat ini kau masih berlagak pilon"!”
Dia menyangka Soat Peng-say sengaja pura2 ketakutan sehingga cara mengendarai keretanya tidak benar, ia tidak tahu bahwa memang baru pertama kali ini Soat Peng-say menjadi kusir, hakikatnya dia memang tidak dapat mengendarai keretanya dengan baik.
"00O00"dw"00O00”
Setelah jauh meninggalkan kotaraja dan melewati dua kota Hongtay dan Tayhin, di tengah jalan barulah si nona Soat didalam kereta melongok keluar dan berkata kepada Soat Peng-say: "Melihat caramu mengendarai kereta ini, biarpun gratis juga tiada tamu yang mau menumpang keretamu ini. Waktu menghadapi musuh tadi, lagak dan bicaramu sungguh sangat bagus, upah sehari sepuluh tahil perak sungguh tidak sia2 kukeluarkan.”
Sementara itu Soat Peng-say sudah mulai paham cara menguasai keretanya, jalan kereta sudah mulai stabil. Si nona Soat mengajak ngobrol padanya juga tidak dihiraukannya, dia benar2 memusatkan perhatiannya mengendarai keretanya.
"Ingin kutanya padamu, sebab apa kau sebut diriku Lihiap?" tanya si nona pula. Agaknya sebutan ini telah menimbulkan kesan baik pada si nona sehingga dia lupa Peng-say tadi juga menganggapnya sebagai "benda mestika". Karena Peng-say masih diam saja, nona itu lantas berteriak pula: "He. kusir, jangan berlagak gagu, kutanya padamu, sebab apa kau tolong diriku meski kau tahu aku memang si maling yang mereka cari itu?”
Baru sekarang Peng-say menjawab: "Apa jadinya kalau aku tidak menolong nona" Bila kukhianati kau, masakah aku dapat hidup bila kau panah aku dari belakang?”
Nona Soat itu tidak puas dengan jawaban Peng-say, ia tahu anak muda itu sama sekali tidak takut akan dipanah, tapi berkat ketabahan dan akalnya yang berani itulah Tan Goan-hay berhasil dikelabui.
Maka nona Soat itu lantas mengomel: "Jangan omong kosong, untuk apa kupanah kau" Aku bukan iblis yang suka sembarangan membunuh rakyat jelata. Kutahu tujuanmu menolong diriku, upah sepuluh tahil perak sehari bukanlah pekerjaan yang mudah dicari, jika aku tertangkap mereka, kemana lagi kau akan mendapatkan pekerjaan baik ini, betul tidak?”
"Betul, betul, betul sekali," seru Peng-say sambil tertawa.
"Satu hari sepuluh tahil, satu peser saja tidak boleh kurang.”
"Dasar mata duitan!" omel nona Soat dengan mendongkol. Tapi Peng-say tidak peduli, ia bergumam dan menghitung2 sendiri: "Sehari sepuluh tahil, sebulan tiga ratus tahil, setengah tahun tentu delapan ratus tahil, cukup bekerja setengah tahun saja aku Tio-jilengcu sudah dapat mencari isteri yang putih dan cantik di kotaraja nanti.”
"He, Tio-jilengcu, apakah kau mimpi"!" tanya nona Soat.
"Mimpi" Memangnya kenapa" Bukankah nona sudah berjanji satu hari sepuluh tahil, apakah engkau akan ingkar janji?”
"Ingkar janji sih tidak, cuma upah sehari sepuluh tahil perak memang terlalu mahal dan terlalu berat bagiku, tidak dapat kupakai tenagamu dalam jangka panjang, paling lama hanya satu bulan saja.”
"Satu bulan tiga ratus tahil perak, untuk mencari isteri gadis desa juga cukup.”
"Tio jilengcu, tampaknya kau orang yang bisa puas dengan kenyataan.”
"Orang yang puas menurut kenyataan adalah orang yang bahagia, sering2 orang di dunia ini tidak kenal puas dari hasil yang diperolehnya dan selalu berusaha mendapat lebih banyak, akibatnya memanjat semakin tinggi, jatuhnya juga tambah sakit. Setelah jatuh kembali lagi kepada kenyataan semula, namun suasana semula juga sudah berubah. Kalau sudah begitu, nah, barulah dia sadar.”
Uraian Soat Peng-say ini memang bukannya tak beralasan dan bukannya dia sok berfilsafah. Tempo hari ketika di Siau-ngo-tay-san, Liok-ma berniat menjodohkan dia dengan Sau Kim-leng, melihat nona Sau itu secantik bidadari, apalagi keturunan salah satu di antara Su-ki yang termashur. Meski kemudian dia tetap menolak, tapi pernah juga dia hampir melupakan sang Piaumoay yang dibesarkan bersama sejak kecil. Syukur akhirnya dia tidak melupaknn sama sekali kepada sang Piaumoay. Tapi ketika dia ingat kepada Cin Yak-leng den jatuh kembali kepada realitas semula, sementara itu si nona sudah mengalami nasib diculik Ciamtay Boh-ho, sekarang, entah di mana si nona dan ke mana dia harus mencarinya.
Apabila teringat kepada Cin Yak-leng, seketika Peng-say pusing kepala. Dasar dia memang tidak mahir mengendarai kereta, perhatiannya terpencar memikirkan Cin Yak-leng, ketika dekat sebuah jembatan, hampir saja kereta itu menyelonong masuk ke sungai. Masih untung si nona Soat keburu menjerit, dalam kagetnya Peng-say sempat menarik tali kendali dan membetulkan arah keretanya.
Nona Soat itu tepuk2 dada sendiri bersyukur kereta tidak jadi masuk sungai, jika terjerumus ke sungai, ia tak bisa berenang, pasti akan mengalami nasib malang tenggelam didasar sungai.
Setelah tenang kembali, si nona lantas mengomel: "Hei, Tio jilengcu, jangan kau melamun akan mencari bini melulu! Kendarai keretamu dengan baik, bisa jadi akan kupakai tenagamu selama setengah tahun.”
Tapi Peng-say tidak berminat bicara lagi, ia curahkan perhatian pada kemudi keretanya.
Mungkin merasa kesal berada sendirian di dalam kereta dan tiada teman mengobrol, tidak lama kemudian nona Soat itu melongok keluar pula dan berseru: "Tio jilengcu, apabila pagi tadi orang she Tan itu tidak tertipu olehmu dan membuka pintu kereta, coba, lantas bagaimana tindakanmu?”
"Kalau dia membuka pintu kereta, biarkan saja dia periksa sesukanya," jawab Peng-say.
Nona itu seperti ingin mengetahui sampai di mana ketulusan hati Soat Peng say akan menolongnya, dengan tertawa ia bertanya pula: "Tapi aku kan bersembunyi di dalam kereta, kalau terlihat lantas bagaimana?”
"Siapa bilang nona berada di dalam kereta?" Peng-say balas bertanya.
"Kalau tidak bersembunyi di dalam kereta habis berada di mana?" tanya si nona dengan heran.
"Tatkala mana nona bersembunyi di bawah kereta, memangnya kau kira aku tidak tahu?”
"Darimana kau tahu?”
"Hahahaha! Tentunya masih ingat waktu orang she Tan itu tanya padaku siapa penumpang di dalam kereta”
Kujawab tidak ada penumpangnya. Aku tidak berdusta padanya, sebab kukatakan didalam kereta tidak ada penumpangnya, kan tidak termasuk dibawah kereta.”
Si nona mendongkol karena Peng-say tidak menjawab pertanyaan, omelnya: "Yang kutanya adalah cara bagaimana kau tahu aku bersembunyi di bawah kereta"!”
"Sebelumnya kan ketiga pentolan bandit itu sudah menggeledah seluruh kereta dan tidak dapat menemukan nona, tahu2 nona muncul di samping kereta. Waktu itu aku sangat heran. jelas didalam kereta tiada seorangpun, nona kan bukan badan halus. mengapa mendadak bisa muncul di samping kereta" Maka kuyakin nona pasti tidak pernah meninggalkan kereta, jelas kereta ini ada alat rahasianya dan nona pasti bersembunyi di tempat yang dirahasiakan itu. Maka ketika nona menghajar kawanan bandit itu, secara teliti telah kupelajari keadaan kereta ini. Betul juga, kulihat dibawah kereta masih ada satu lapis yang tebal cukup untuk direbahi badan satu orang.”
"Ya, kau memang pintar, tapi kau tetap berhasil mendustai Orang she Tan itu," ujar si nona Soat dengan tertawa.
"Apa artinya ucapanmu?”
"Kan kau katakan bahwa di dalam kereta ini tiada penumpangnya, padahal ada, Aku tidak bersembunyi dibawah kereta, tapi kau kira aku telah bersembunyi disitu.
Bukankah orang she Tan itu telah kau tipu dengan keteranganmu bahwa di dalam kereta tiada seorang penumpang pun?”
Soat Peng-say menoleh dan memandang si nona sekejap, mendadak ia tertawa ter-bahak2.
"Apa yang kau tertawakan?" omel si nona.
"Aku sangat kagum kepada nona, biarpun berdusta.
mukamu tidak merah sedikitpun.”
"Hm, kenapa aku berdusta" Aku memang tidak bersembunyi waktu itu. Untuk apa aku bersembunyi”
Memangnya kau kira aku takut kepada mereka?”
"Takut atau tidak adalah urusanmu, yang jelas. dia tidak menggeledah kereta ini bukanlah lantaran dia mudah ditipu. soalnya dia juga tahu di dalam kereta waktu itu tiada penumpangnya.”
"Hm, jangan sok pintar dan mengira tahu segalanya!”
jengek si nona.
"Bukan maksudku sok pintar, cuma cara nona berdusta terasa kurang rapi sedikit," kata Peng-say. "Coba pikirkan, apa gunanya kereta ini nona tutup rapat2, bukankah kereta ini sudah berlubang seperti sarang tawon oleh karena dipanah oleh anak buah kawanan bandit itu. Biarpun lubang2 itu tidak besar, tapi bagi orang she Tan itu tentu tidak sulit untuk mengetahui keadaan di dalam kereta.”
Rupanya nona she Soat itu memang berdusta. Dia menyadari bukan tandingan Tan Goan-hay berlima, maka ketika tersusul dia lantas sembunyi di bawah kereta, dia bilang tidak takut, padaha! dia sangat ketakutan. Cuma dasar wataknya memang suka menang, meski Soat Pengsay telah mengetahui rahasia keretanya dia tetap sengaja menganggap Soat Peng-say berhasil menipu Tan Goan-hay dan kawan2nya sekedar mengumpak anak muda itu. Tak terduga Peng-say tidak tahu apa artinya pujian, dia berbalik membongkar kebohongan si nona sehingga terpaksa nona Soat itu tidak dapat membantah lagi. Setelah dibuat kikuk, nona itu tidak ceriwis lagi seperti tadi, sampai setengah hari dia tidak bicara lagi.
Menjelang lohor, kereta mereka lalu di suatu dusun yang cukup banyak penduduknya. Mendadak nona Soat itu berseru: "Berhenti! Berhenti!”
Tapi Peng-say tidak menghiraukannya, sebaliknya tambah mencambuk kudanya sehingga dusun dilaluinya dengan cepat. Nona Soat itu menjadi gusar, bentaknya: "Suruh kau berhenti, apakah kau tuli?”
"Nona sudah lapar bukan?" tanya Peng-say.
"Ya, lekas putar balik ke sana, habis makan kenyang baru melanjutkan perjalanan," teriak si nona.
"Kuminta nona suka tahan lapar dulu, sampai malam nanti boleh makan dobel, makan siang malam sekaligus,”
ujar Peng-say. "Berdasarkan apa kau membantah perintah?" bentak si nona. "Kubilang putar balik ke sana maka harus lekas putar balik.”
Peng-say menghela napas, jawabnya: "Baiklah!" -Segera ia memutar kudanya ke arah datangnya tadi.
Tapi sebelum masuk ke kampung itu, mendadak Pengsay memutar keretanya lagi dengan cepat terus dibedal secepat terbang ke arah semula.
"He, kerja apa kau ini"!" teriak si nona dengan gusar.
"Silakan nona berpaling ke sana dan lihatlah sendiri,”
ujar Peng-say. Waktu nona Soat itu membuka jendela dan melongok kebelakang, dilihatnya di dalam kampung sana ada lima penunggang kuda sedang tanya jalan kepada penduduk disitu, jelas itulah rombongan Tan Goan-hay, cepat ia menutup jendela pula dan berteriak: "Lekas lekas larikan kudanya lebih cepat!”
Kiranya rombongan Tan Goan-hay itu telah meninggalkan barisan opas yang dipimpin Ong Cin-ek dan menguntit arah yang dituju kereta warna emas ini. Kuda tunggangan mereka adalah kuda pilihan, meski setiap tiba di suatu kampung mereka harus tanya dulu kepada penduduk setempat kearah mana perginya kereta itu, tapi jarak pengejaran mereka makin lama makin dekat.
Untung mereka asyik tanya jalan kepada penduduk sehingga tidak melihat kereta warna emas itu berputar balik, kalau tidak, tidak sampai seminuman teh pasti akan disusul oleh mereka.
Beberapa kali Peng-say sengaja membelok kejalan simpang, akhirnya nona Soat itu merasa aman, katanya dengan tertawa: "He, Jilengcu (si dungu), namamu ini tidak baik. Orang bernama Lengcu jika otaknya rada2 tolol, tapi tulus dan lugu. Padahal kau tidak kelihatan bodoh, bahkan cukup pintar.”
"Terima kasih atas pujian nona," jawab Peng-say. "Dan entah siapa nama nona yang terhormat?”
"Namaku hanya satu huruf saja, yakni Koh.”
"Soat Koh" Soat Koh". . . ." Peng say mengulangi nama itu beberapa kali.
"Bagaimana, enak didengar atau tidak namaku?”
"Ya, jauh lebih enak didengar daripada namaku?" ujar Peng-say dengan tertawa.
"Menurut cerita ibuku, pada waktu ibu mengandung diriku, kebetulan dilihatnya burung merpati salju terbang lewat di atas kepala beliau, nama lain daripada merpati salju adalah Soat-koh, kebetulan akupun she Soat, maka ibu lantas memberi nama Soat Koh padaku.”
"Pantas aku merasa nama Soat Koh sudah pernah kudengar, aku jadi ingat kepada gumam guruku waktu kami tinggal diatas gunung sana, setiap kali turun salju dan ada burung salju terbang lewat. Suhu suka menyebut "Soat koh', tadinya kusangka guruku sedang terkenang kepada orang yang bernama Soat-koh, baru sekarang kutahu yang dimaksudkannya adalah merpati salju.”
"Kau juga punya Suhu?" tanya Soat Koh.
"Memangnya kau kira cuma kalian yang belajar silat saja yang punya guru dan orang udik pencari kayu seperti kami ini tidak punya guru?" jawab Peng-say dengan tertawa "Hendaklah maklum bahwa dalam segala pekerjaan pasti ada gurunya Pencari kayu juga perlu mengangkat guru, pada waktu hujan salju dan perlu mencari kayu lebih2 perlu diberi petunjuk oleh sang guru. Kalau tidak, bukan mustahil akan kesasar diatas gunung bersalju, bahkan kalau kurang hati2 bisa terjerumus kejurang yang tertutup salju dan jiwapun bisa melayang.”
Mestinya Soat Koh hendak tanya siapa gurunya, tapi demi mendengar hanya seorang pencari kayu saja, ia menjadi malas bertanya. Cuma diam2 iapun merasa kagum bahwa murid seorang pencari kayu ternyata cukup cerdas dan tangkas. Begitulah Soat Peng-say menghalau keretanya menuju kejalan yang sepi, apabila ketemu jalan persimpangan, yang dipilih tentu adalah jalan yang kecil.
Keretanya tiba di suatu jalan persimpangan yang terdiri dari tiga jalan kecil yang sama, segera ia pilih satu jalan itu dan membelokkan keretanya ke Sana Jalan itu semakin jauh semakin sepi dan akhirnya tiba di lereng pegunungan yang jauh dari khalayak ramai.
Soat Koh tahu jalan pikiran Soat Peng-say, jelas anak muda itu sengaja hendak meloloskan diri dari pencarian Tan Goan-hay dan konco2nya, untuk Peng say sengaja menuju ke jalan yang sepi dari penduduk, dengan demikian sukar bagi rombongsn Tan Goan-hay untuk mencari keterangan. Sementara itu hari sudah mulai gelap. malam hampir tiba Soat Koh menjadi sedih, ia ragu malam nanti akan mondok di mana jika cara demikian perjalanannya”
Akhirnya di jalan yang dilalui hanya tampak rumput dan batu belaka, orang berjalan kaki saja rasanya sulit melalui jalan pegunungan kecil ini, dengan sendirinya kereta mereka lebih2 tak keruan jalannya, guncangannya yang keras membuat orang kepala pusing.
Kuatir akan kesasar bila perjalanan diteruskan. cepat Soat Koh berseru: "He, Jilengcu, bolehlah kita istirahat saja di sini!”
Peng-say melihat keempat kuda penarik kereta juga sudah lelah, ia lantas memilih suatu tempat yang agak lapang dan menghentikan keretanya.
Soat Koh keluar dari kabin kereta dan memandang sekelilingnya, dilihatnya lereng gunung sana diliputi hutan lebat, sang surya sudah terbenam sehingga suasana sekitarnya terasa dingin dan kelam, tapi juga terasa tenang dan damai, membuat orang lupa pada keramaian duniawi.
Di sebelah sana ada sebuah selokan yang mengalirkan air yang bersumber pada sebuah gua dikejauhan sana, air selokan itu mengalir dengan tenang dan jernih.
Soat Koh mendaki selokan itu dan meraup air yang jernih itu untuk diminum, serunya dengan girang: "Jilengcu, lekas kemari, minumlah air sumber ini. segar sekali rasanya!" Pelahan Peng-say mendekati selokan itu, katanya dengan tertawa: "Caramu minum itu terlalu banyak buang tenaga.”
Habis berkata ia terus bertiarap, kepalanya dibenamkan ke dalam air dan diminumnya air jernih itu, dalam Waktu singkat perutnya sudah penuh terisi air.
"Jilengcu," kata Soat Koh dengan tertawa, "Apakah pencari kayu seperti kalian ini biasanya memang suka minum cara kerbau begini?”
Merasa nada pertanyaan orang mengandung ejekan, dengan ketus Peng-say menjawab: "Orang lelaki seperti kami tidak perlu berlaku halus segala, kalau haus ya minumlah sekenyangnya, kenapa mesti berlagak seperti perempuan"!”
Soat Koh tahu meski otak anak muda itu tidak dungu, tapi sifatnya rada2 dogol, malahan boleh dikatakan tidak dapat merayu anak perempuan, benar2 pemuda udik sejati, maka pantaslah jika nama Jilengcu. Maka dengan menggeleng ia berkata: "Jilengcu, dengarkan, biar kuajari kau sedikit sopan santun. bicara dengan orang perempuan hendaklah halus dan ramah. menghadapi urusan apapun mengalah, kalau tidak, selama hidupmu jangan mendapatkan bini yang baik. Sebaiknya bila kau turut pada petunjukku, kutanggung tanpa membuang uang juga akan mendapatkan isteri cantik.”
Peng-say sengaja hendak bertengkar dengan dia, ia menjawab: "Ah, jangan nona menipu diriku si dogol ini.
mana ada urusan seenak itu di dunia ini, tanpa buang uang akan mendapatkan isteri cantik".
"Sekalipun kau punya uang juga tiada gunanya, memangnya kau kira perempuan baru mau menjadi isterimu jika uangmu banjak" Contohnya seperti diriku ini, biarpun kau tumpuk uangmu berlaksa tahil di depanku juga nonamu takkan terpikat olehmu.”
"Ai, masa engkau berani omong," Peng-say sengaja ber-olok2. "Ke mana kuhalau kereta ini, ke sana pula kau ikut, jelas2 kau lengket padaku, masa bilang tidak bakal terpikat olehku?”
Seketika Soat Koh mendelik, katanya: "Kurang ajar! Bicara yang benar, apa kau minta kubanting hingga setengah mampus"!”
Melihat sikap si nona di waktu marah sangat mirip Cin Yak-leng, Peng-say jadi sengaja menggodanya, ia sengaja berlagak dungu dan berkata pula: "Ah, aku tidak percaya nona mampu membanting aku hingga setengah mati.
Asalkan kau tidak pakai panah, biarpun kau pukul tubuhku seratus kali juga aku takkan menjerit kesakitan, malahan kukuatir tangan nona yang putih dan halus itu akan . . . “
"Tutup mulut!" bentak Soat Koh.
Kuatir juga Peng-say kalau si nona benar2 naik pitam, ia lantas tutup mulut dan tidak berani omong lagi.
"Kemari kau!" bentak Soat Koh.
Peng-say menurut dan mendekati si nona.
"Ingin kulihat kau akan berteriak kesakitan atau tidak"!”
omel Soat Koh sambil angkat telapak tangannya.
Peng-say tahu hantaman si nona tidak boleh diremehkan, jika terkena tepat, kepala lembu saja bisa hancur. Namun dia justeru tidak menghindar, ia pandang wajah si nona yang marah itu dengan terkesima.
Soat Koh menjadi tidak tega ketika tangan sudah terangkat, teringat olehnya jasa Peng-say yang telah berhasil mengingusi musuh, dengan menghela napas ia berkata : "Sudahlah, lain kali hendaklah hati2 dan tahu aturan sedikit.”
Peng-say memang anak kolokan, diberi hati tambah minta kepala, ia lantas membual pula: "Nona Soat kau takkan ikut padaku meski hartaku ber-juta2 tahil, tapi kalau tidak punya duit malahan engkau mau ikut padaku, begitu bukan?" Soat Koh tidak merasakan ucapan orang sebagai kata2 kurang sopan, ia memberi penjelasan: "Bukan begitu maksudku, aku cuma memberi misal, supaya kau tahu perempuan tidak melulu memandang duit saja, lalu mau ikut padamu “
"Lalu cara bagaimana baru nona mau ikut aku si Jilengcu ini?" Peng-say melanjutkan bualannya.
"Kau harus pandai membujuk, lemah lembut, santun, jangan jorok, jangan tamak dan mata duitan, dengan demikian, biarpun kantongmu kosong juga banyak perempuan yang kepincuk padamu. Hendaklah kau tahu, bini yang dibeli dengan duit kebanyakan tak dapat dipercaya.”
Peng-say memang sengaja membual dan bicara dengan nada pemuda bangor, tujuannya membikin marah si nona, siapa tahu Soat Koh tidak menjadi marah, sebaliknya malah memberi petuah. Tapi dia sengaja bicara dengan nada berlawanan, katanya pula: "Ah, Jilengcu tidak percaya pada teorimu ini. Tanpa duit, jangan harap mendapatkan perempuan. Oya, bicata tentang duit, aku menjadi ingat hari ini aku belum terima upah. Sepuluh tahil perak hendaklah kau bayarkan padaku sekarang “
"Kenapa sekarang juga kau minta uang, malam-malam lagi?" tanya Soat Koh heran.
"Hah, jangan kau kira aku ini orang tolol," ujar Peng-say deng&n tertawa. "Ucapan nona tadi memang sebagian dapat dibenarkan. Tapi mengenai jangan mata duitan, ah, kukira setiap manusia di dunia ini pasti suka pada duit Jangan2 maksudmu supaya aku jangan minta upah padamu" Masakah ada orang bekerja tanpa diberi upah?”
"Jilengcu," kata Soat Koh sambil menggeleng, "pintarnya kau memang pintar, tapi kalau bodoh ternyata melebihi kerbau. Memangnya siapa hendak anglap upahmu”
Kusuruh kau jangan mata duitan, maksudku dalam hal uang hendaklah kau berpikir panjang, jangan kikir, satu peser saja harus dihitung. Lebih2 terhadap perempuan.
jangan sekali2 pelit, kalau pelit, betapapun cantik dan baiknya seorang perempuan juga tidak sudi mendekati kau." "Masa aku pernah pelit" tanya Peng-say dengan tertawa, "Melihat caramu bicara mengenai duit, pasti kau ini sangat pelit," kata si nona.
Peng-say ter-bahak2 ucapnya: "Hahahaba, benar juga perkataan nona. Jika begitu upah sepuluh tahil harus kuterima sekarang, kontan, tidak boleh utang!" Sembari bicara ia terus menyodorkan tangannya.
Soat Koh mendongkol, katanya: "Sialan! Kau kira nonamu tidak mampu membayar upah sepuluh tahil sehari"!”
Peng-say meng-geleng2 dan berkata: "Orang yang mata duitan harus selalu pegang uang, bila tiap hari kuterima upah kontan, caraku mengendarai kereta barulah bersemangat Selain itu bayar setiap hari juga akan terasa ringan, bila numpuk sampai beberapa hari, bukannya kuatir nona tidak mampu bayar tapi mungkin nona akan merasa sayang jika sekaligus membayar sekian puluh atau ratus tahil, malahan untuk itu nona akan minta potongan harga padaku, kan aku yang rugi.”
"Kurang ajar!" omel Soat Koh. "Memangnya kau kira nonamu ini orang kikir, biarpun beribu tahil juga tak pernah kusayangkan bilamana memang harus dikeluarkan, apalagi memotong upahmu dan minta korting segala. Jangankan cuma sepuluh tahil sehari, biarpun seratus tahil sehari juga akhirnya akan kubayar lunas tanpa kurang satu peserpun.”
"Bagus, kutahu watak nona memang sosial," ujar Peng-say sambil tertawa. "Seperti kata orang: diperoleh dengan mudah, buangnya juga mudah. Betul tidak, nona Soat?”
Diam2 Soat Koh merasa gusar karena nada orang seolah2 menyindir hartanya diperoleh dari mencuri. Akan tetapi hal ini memang fakta, apa yang dapat dikatakan.
Terpaksa ia mengeluarkan sepotong perak sepuluh tahil dan dilemparkan kepada anak muda itu sambil berseru: "Ini, ambil!”
"Terima kasih!" dengan tertawa gembira Peng-say menyimpan uang perak itu.
"Eh. Jilengcu, kau lapar tidak?" tanya Soat Koh.
Mendingan jika tidak ditanya, sekali menyinggung soal perut, seketika Soat Peng-say merasa perutnya men-jerit2, ia menelan air liur dan menjawab: "Sejak pagi belum terisi sebutir nasipun, tentu saja lapar. Tapi apakah nona membawa makanan?”
"Tentu saja bawa," ujar Soat Koh dengan tertawa. Lalu ia menuju ke kereta dan mengeluarkan makanan kering terus digerageti dengan lahapnya.
"Wah, tampaknya nona hanya memikirkan diri sendiri, kenapa tidak bagi sedikit kepada Jilengcu?”
"He, tak usah ya!" kata Soat Koh. "Kita kan sudah janji sepuluh tahil satu hari tidak termasuk makan tiga kali" Jika kau ingin makan, boleh kau beli sendiri, peduli apa dengan diriku.”
"Di pegunungan sunyi begini apa yang dapat dibeli biarpun punya uang banyak?" kata Peng-say. "Eh, nona yang baik, sukalah engkau membagi sedikit padaku.”
Soat Koh tidak menggubrisnya, sebaliknya ia sengaja ber-kecek2 sehingga kelihatan lezat sekali makanannya itu.
"Eh, bagaimana kalau kubeli makananmu"!" tanya Peng-say.
Soat Koh tidak menjawab, ia cuma memperlihatkan sebuah jarinya.
"Apa maksudmu?" seru Peng-say terkejut "Maksudmu makanan kering begitu harus kubayar satu tahil?”
"Salah." kata Soat Koh "Bukan satu tahil, tapi sepuluh tahil. Beli atau tidak terserah padamu. Pokoknya, harga pas, satu peserpun tidak boleh kurang.”
"Hai, caramu ini bukan jual barang, tapi gorok leher!”
teriak Peng say.
"Terserah apa yang ingin kau katakan," ucap Soat Koh dengan tertawa "Biasanya aku tidak sudi makanan kering begini, siapa tahu, kalau perut lapar, rasa makanan kering ini jauh lebih lezat dari pada hidangan di restoran yang paling besar. He, Jilengcu, selama hidupmu ini pernah tidak kau masuk restoran!”
Membayangkan santapan yang enak di restoren, rasa lapar Peng-say lebih2 tak tertahankan, mendadak ia berseru: "Baiklah kubeli makananmu!”
Segera ia mengeluarkan potongan perak yang baru disimpannya tadi dan dilemparkan kembali kepada si nona.
Soat Koh terima perak itu, katanya dengan tertawa: "Baik! sekarang kau boleh makan sesukamu dengan sekenyangnya.”
Tanpa sungkan lagi Peng-say lantas mendekati si nona, ia sambar makanan kering yang tersedia dan dimakannya dengan rakus. "He, pelahan2, jangan sampai keselak!" seru Soat Koh dengan ter-kikik2 geli.
Untuk pertama kalinya si nona dapat mengerjai anak muda itu, terbayang olehnya air muka Peng-say yang menyengir waktu merogoh uang perak tadi, sungguh ia ingin ter-bahak2.
Setelah mengisi perut dengan kenyang, sementara itu hari sudah gelap, bulan sudah mengintip diufuk timur, angin meniup silir2 dan terasa rada dingin.
"Bagaimana baiknya malam ini?" tanya Soat Koh dengan sedih.
"Jalan pegunungan ini aku tidak apal, ketambahan kurang mahir mengendarai kereta ini, kalau kita melanjutkan perjalanan tentu berbahaya, terpaksa kita bermalam di udara terbuka di sini." kata Peng-say "Bermalam di udara terbuka bagaimana?" hati Soat Koh rada terguncang.
"Sudah tentu engkau tidur didalam kereta dan aku tidur diluar," ujar Peng-say dengan tulus.
"Angin pegunungan diwaktu malam cukup dingin, tiada selimut pula, apakah kau tahan?" tanya Soat Koh.
"Tahan atau tidak terpaksa malam ini harus kita lewatkan," ujar Peng-say.
"Jika demikian, terpaksa mesti bikin susah padamu,”
ucap Soat Koh dengan menyesal, pada dasarnya wataknya memang tidak jelek.
Esok paginya, Soat Koh bangun lebih dulu. Dilihatnya Peng-say meringkuk ditepi pohon Siong sana, bajunya tampak basah oleh embun semalam suntuk, perasaannya tambah tidak enak.
Sampai matahari sudah mulai terbit barulah Peng-say bergeliat dan menguap, lalu bangun.
Didengarnya So?t Koh berseru padanya dengan tertawa: "Setan pemalas, hayolah lekas cuci muka dan meneruskan perjalanan.”
Air pegunungan jernih dan segar, dibuat cuci muka terasa sangat nyaman. Peng-say menghirup hawa udara segar dalam2. Diam2 ia merasa gegetun selama sebulan ini dilewatkannya dengan sia2.
Tengah melamun, tiba2 Soat Koh melemparkan sebuah sisir padanya dan berseru: "Lekas sisir rambutmu yang morat-marit itu!”
Dengan air selokan sebagai cermin, Peng-say lantas menyisir rambutnya dengan rapi serta diikat di atas kepala.
Rambut manusia sama seperti papan merek sebuah toko, selama sebulan Peng-say tidak cuci muka dan sisir rambut, tentu saja wajahnya kotor dan menjemukan. Tapi setelah berdandan rapi, jelas gayanya menjadi lain, kini kelihatan ganteng dan cakap. Waktu ia berpaling, hampir saja Soat Koh pangling. "Melihat potongannya yang gagah ini, mana mungkin dia seorang pencari kayu segala?" demikian si nona membatin dengan terkesima.
Sarapan pagi tetap dengan makanan kering, untuk ini Soat Koh memberi serpis gratis kepada Peng-say, ia tidak minta bayaran lagi.
Keempat kuda penarik kereta juga kenyang makan rumput dan mengaso satu malam, tenaganya telah pulih.
Peng-say memasang kuda penarik kereta itu, setelah siap, ia silakan si nona naik kereta, ia sendiri melompat ketempat kusir dan kereta lantas dihalau turun kembali kebawah gunung. Tengah perjalanan, Soat Koh berkata kepadanya: "Jilengcu, kemarin kau tidak mau berhenti di kampung sana, tentu sudah kau duga rombongan Tan Goan-hay akan mengejar kemari, Anehnya, mereka kan sudah membebaskan kau, mengapa mengejar lagi?”
"Yang mereka kejar bukan diriku, tapi kau, nona!" jawab Peng-say.
"Aku tidak berada di atas kereta ini, untuk apa mengejar diriku?”
"Sebenarnya tidak dapat dikatakan mengejar," ujar Peng-say. "Kalau mengejar, tentu sudah lama tersusul. Agaknya mereka menyangka nona tidak berada didalam kereta ini, andaikan tersusul juga tiada gunanya. Maka mereka sengaja menguntit secara diam2 dan inilah yang berguna bagi mereka." "Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Soat Koh.
"Kemarin mereka tidak tahu didalam kereta ini ada alat rahasianya, ketika melihat kereta ini kosong tanpa penumpang, Tan Goan-hay mengira engkau telah lari meninggalkan kereta ini dengan ketakutan, tapi merekapun menyangsikan aku sengaja mengendarai kereta kosong untuk mengulur waktu. mereka anggap aku adalah anak buahmu, dengan sendirinya merekapun sangsi atas keteranganku kemarin, mereka yakin cepat atau lambat aku pasti akan berjumpai dengan nona, maka secara diam2 kereta ini dikuntit dan akhirnya pasti dapat memergoki nona pula.”
"Tapi kalau sebelumnya kau dan aku sudah berunding dengan baik dan takkan bertemu lagi di tengah jalan, bukunkah mereka akan kecelik?" ujar Soat Koh.
"Nona telah mencuri ketujuh macam benda pusaka terkenal di kotaraja, periuk nasi mereka jelas akan berantakan, demi gengsi mereka harus berusaba membekuk dirimu dan tidak nanti melepaskan kereta ini begitu saja.
Sebab selain jalan ini, sesungguhnya memang teramat sulit untuk mencari dirimu di dunia seluas ini. Jalan yang paling baik adalah menguntit kereta ini, bila nona muncul untuk bertemu denganku, maka mendadak merekapun akan muncul." "Kalau begitu, paling baik kau dan aku jangan bertemu saja," ujar Soat Koh dengan tertawa.
"Sementara ini kukira tidak menjadi soal," kata Peng-say.
"Tapi kalau caramu bicara denganku seperti sekarang ini, tentu dengan mudah akan dilihat oleh mereka dan inilah yang berbahaya.”
Soat Koh tidak sependapat, katanya: "Ah, dasar nyalimu kecil seperti tikus. Jalan kecil dan sepi begini, siapa yang akan lihat" Kuyakin sedikitpun tidak berbahaya.”
Karena tidak sependapat, sekarang Soat Koh yang balas mengolok kekuatiran Peng-say malah.
Tengah bicara, tahu2 kereta mereka sudah sampai di jalan besar yang kedua tepi jalan banyak pepohonan "Lekas tutup jendela, nona Soat!" seru Peng-say dengan prihatin.
Tapi si nona lantas mendelik malah, omelnya: "Apa yang kau takuti" Jika kau takut, boleh kau bersembunyi di dalam kereta, biar aku sendiri yang mengendarai kereta ini.”
"Wah, jika nona yang mengendarai kereta ini, biarpun seratus tahil perak sehari juga aku tidak berani terima, terpaksa kutinggalkan kereta dan berjalan kaki saja.”
"Menangnya kenapa" Kau kira nonamu tidak sanggup mengendarai kereta ini" Kau takut kereta ini akan terbalik dan kau akan mati tertindih?”
"Tidak. aku tidak takut soal keretanya akan terbalik atau tidak. Tapi bila kepergok rombongan Tan Goan-hay, bisa jadi mereka mengira aku benar2 anak buahmu dan sekali tusuk dengan pedangnya, kan aku bisa mati konyol nanti?”
"Upahmu sepuluh tahil sehari, masa kau takut mati lagi"“
"Sepuluh tahil sehari memang menarik, tapi jiwa terlebih berharga Jika engkau tidak menurut nasihatku dan jiwaku harus ikut melayang, wah, leoih baik kubatalkan hubungan kerja kita ini.”
Habis berkata mendadak ia menarik tali kendali dan menginjak rem, lalu melompat turun dari tempat duduknya.
Meski di mulut Soat Koh bicara dengan ketus, tapi sesunggubnya dia tidak mahir mengendarai keretanya.
Melihat Soat Peng-say mendadak mogok kerja, ia menjadi gugup, serunya cepat: "He.jangan pergi dulu! Baiklah kuturut padamu!”
-oo0dw0ooo-