Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 04

Jilid 4

Diam-diam Peng-say menggeleng kepala, pikirnya: "Adik Leng ini keterlaluan juga, mengapa suka melukai murid orang. Belum lagi satu peserpun diusut, dibereskan, kini datang lagi seorang yang dilirik saja marah!”

Kiranya kakek tinggi kurus ini bernama Kwa Liong dan berjuluk "kong-ju-pit-po" atau dilirik saja tidak terima, artinya biarpun dipandang sekejap saja dia tidak mau, dia terlebih ganas dari pada Pang Bong-ki, sedikit orang mengganggunya, maka celakalah orang itu, pasti akan dibunuh olehnya.

Begitulah Kwa Liong lantas berkata kepada Pang Bongki: "Pang-heng, kau bilang hendak taruhan dengan dia, maka aku harus turut ambil bagian untuk melampiaskan dendam muridku itu.”

"Cara bagaimana Kwa-laute akan melampiaskan dendam?" tanya Pang Bong-ki.

"Karena budak itu akan kau bawa pulang untuk dijadikan alat kesenangan muridmu, dengan sendirinya aku tidak dapat membunuhnya," kata Kwa Liong. "Maka begini saja, cukup kukorek sepasang matanya itu.”

"Eh, tumben Kwa-laute kenal belas kasihan." ujar Pang Bong-ki dengan tertawa.

"Habis bagaimana, murid Pang-heng penujui budak itu, anggaplah nasibnya lagi mujur," kata Kwa Liong. "Cuma belas kasihan juga ada batasnya, selain dia, setiap sanak keluarganya harus ikut memberi ganti rugi sepasang biji mata." Yak-leng menjadi gusar, ia segera membentak, "Kawanan bangsat, memangnya sanak keluargaku berbuat salah apa padamu?”

"Dan muridku berbuat salah apa pula padamu?”

"Dia. . . .dia berani meng. . . .mengintip nona mandi. . .

." Yak-leng menjawab dengan gelagapan dan muka merah.

"Hahahaha!" Kwa Liong bergelak tertawa. "Kan kau sendiri menyamar sebagai Suseng, kelakuanmu yang ke-bencong2an dengan sendirinya menimbulkan rasa curiga orang, tentu saja setiap orang ingin tahu sehingga muridku itu mengintip kau mandi. Yang penting, mestinya tidak perlu kau butakan matanya dengan Am-gi (senjata gelap atau rahasia).”

"Hm, muridmu yang kotor itu berani mengintip tubuhku, kalau bisa ingin kucabut nyawanya!" damperat Yak-leng dengan gemas.

"Budak busuk, melulu ucapanmu ini saja cukup alasan bagiku untuk babat habis setiap sanak keluargamu," bentak Kwa Liong dengan murka.

Soat Peng-say lantas melangkah maju dan berkata: "Ah, rasanya ucapanmu ini agak berkelebihan!”

"Nah, Kwa-laute, ada orang memprotes!" kata Pang Bong-ki dengan ter-bahak2.

Kwa Liong melirik Soat Peng-say sekejap, ucapnya dengan tak acuh: "Huh, untuk apa banyak omong dengan keroco begini, kirim saja dia ke akhirat!”

Tapi Pang Bong-ki lantas bisik-bisik ditepi telinga Kwa Liong: "Ssst, jangan kau remehkan boch ini!”

"Habis bertaruh apa?" teriak Kwa Liong.

"Pertarungan yang belum pasti menang lebih baik jangan pakai taruhan. Marilah saudara, kita maju bersama.”

Pang Bong-ki lantas menyengir terhadap Soat Peng-say, katanya: "Kakek Kwa ini tidak mau bertaruh seperti kukatakan tadi, tapi mengajak maju bersama. Eh, cucu yang baik, setelah kau tahu apa yang bakal terjadi, apakah kau masih berani berlagak?”

Peng-say tahu pertarungan sengit sukar dihindarkan, ia tidak menghiraukan olok2 orang, dari sakunya lantas dikeluarkannya seutas benang hitam panjang.

Mendengar kedua kakek itu akan maju sekaligus. Yakleng menjadi kuatir, ia lantas mencibir dan mencemooh: "Huh, tidak tahu malu, dua kakek maju bersama mengerubut seorang anak muda, kalian tidak kuatir tersiar ke Kangouw dan ditertawakan orang?”

"Ini bukan pertandingan mencari nama, tapi bertempur demi membalas sakit hati murid, maka tidak perlu pakai aturan satu-lawan-satu segala," jengek Kwa Liong. "Lagi pula, mulai sekarang, mana ada kesempatan lagi bagi kalian untuk menyiarkan kejadian ini?”

Segera Yak-leng hendak mendamperat pula, tapi Soat Peng-say lantas memanggilnya: "Adik Leng, kemarilah, tolong ikat tali ini pada tubuhku.”

Yak-leng mengira pemuda itu hendak memakai ikat pinggang, segera ia mendekatinya dan menerima tali hitam itu, katanya dengan kuatir: "Kakak Peng, engkau mungkin bukan tandingan mereka berdua, apa perlu kitapun maju bersama melawan mereka?”

"Tidak, tidak perlu," jawab Peng-say sambil menggeleng, "Bila aku kalah, hendaklah cepat kau lari. Eh, salah, tidak cuma ikat bagian pinggang, tapi sekalian ikat juga lengan kananku!”

Kiranya Cin Yak-leng hanya melibatkan tali hitam tadi pada pinggang anak muda itu. Ia terkejut mendengar pemintaan Peng-say, katanya: "Masa kau. . . .kau. . . .”

"Jangan tanya dulu, ikatlah lekas, makin erat makin baik!" pnta Peng-say.

Diam-diam Yak-leng heran, pikirnya: "Jika lengan kananmu terikat, lalu cara bagaimana menggunakan dua pedang?" Meski penuh tanda tanya, diikatnya juga lengan kanan Peng-say bersama tubuhnya menurut permintaan anak muda itu, malahan ia lilit tali itu hingga dua-tiga kali sehingga terikat erat.

Peng-say coba menarik lengan kanan dan terasa sukar bergerak lagi, lalu ia melangkah ke depan.

Sudah tentu Pang Bong-ki dan Kwa Liong melenggong menyaksikan cara Soat Peng-say menghadapi mereka itu, Pikir mereka: "Apakah bocah ini mahir ilmu sihir, kalau tidak masakah sengaja mengikat sebelah tangan sendiri untuk menempur kerubutan dua orang?”

Setiba di depan kedua kakek itu, Soat Peng-say angkat pedang tangan kiri yang masih berselubung itu di depan dada, lalu berkata: "Silakan mulai!”

"Kurang ajar!" teriak Pang Bong-ki mendongkol, "Kau berani memandang enteng kedua kakekmu"!”

Sekali bersuara, Soat Peng-say tidak sungkan-sungkan lagi, baru habis ucapan Pang Bong-ki, "sret", sarung pedang terlepas, sinar perak terus menyambar ke depan.

Pang Bong-ki dan Kwa Liong memang bukan kaum keroco, keduanya tidak kalah lihaynya dibandingkan Beng Eng-kiat. Mendadak mereka menyongsong maju, berbareng mereka menghantam.

Karena dua orang bergabung, mereka rikuh untuk mengeluarkan senjata andalan mereka yang sudah terkenal.

Maka terjadilah pertarungan sengit antara tiga orang itu, sama2 cepat dan sama lihaynya. pandangan Yak-leng sampai kabur dan sukar membedakan siapa kakak Peng dan siapa kedua kakek itu.

Sejenak kemudian, keluarlah pedang kedua Soat Pengsay dari sarungnya, inilah jurus serangan "Siang-liu-kiam-hoat" tulen.

Mendadak Soat Peng-say melepaskan pedang pertama yang berantai lembut di pergelangan tangan itu, hampir pada saat yang sama ia mencabut pedang kedua untuk ikut menyerang. Dengan sendirinya daya serangannya sukar dibayangkan. Terdengar suara berdering nyaring dan ketiga orang lantas terpencar mundur.

Dalam sekejap itu pedang kedua Soat Peng-say sudah masuk kembali sarungnya, lalu pedang pertama yang berantai kecil itupun ditarik kembali. Ia berdiri tegak dengan pedang tetap terhunus, sikapnya seperti tidak pernah menyentuh pedang kedua di belakang pundaknya.

Kalau memandang kearah Pang Bong-ki dan Kwa Liong berdua, ternyata senjata andalan masing-masing sudah dikeluarkan. Malahan butiran keringat tampak menghias kening mereka, keduanya berdiri di kanan-kiri depan Soat Peng-say.

Rupanya pada detik yang gawat itu, secepat kilat Pang Bong-ki telah mengeluarkan senjatanya yang khas, yaitu berupa sebuah Suipoa emas, alat yang biasa dibuat berhitung. Sedangkan senjata Kwa Liong berwujud sebuah gunting raksasa. Dengan mengeluarkan senjata mereka itulah baru sekadar mampu menangkis jurus Siang-liu-kiam-hoat Soat Peng-say tadi.

Namun dalam hati mereka cukup gamblang, bila mana mereka tidak bergabung dua lawan satu, biarpun menggunakan senjata juga sukar menangkis serangan Soat Peng-say yang liha itu.

Diam-diam kedua orang itu bersyukur di dalam hati, walaupun begitu mereka masih penasaran, Pang Bong-ki mengedipi Kwa Liong, segera mereka hendak menerjang lagi. Cuma pada saat itu juga mendadak terjadi keajaiban.

Soat Peng-say yang berdiri tegak di tengah kalangan itu mendadak tersabet oleh cambuk yang menyambar keluar dari semak2 tetumbuhan di samping sana. Kontan anak muda itu jatuh tersungkur. Rupanya Kin-sok-hiat bagian punggung tepat tersabet oleh cambuk itu.

Bahkan sebelum tubuh Soat Peng-say menyentuh tanah, secepat kilat cambuk itu berputar terus menyambar tiba pula, sekali ini bukan lagi menyabat Hoat-to, tapi cambuk itu berubah seperti ular yang hidup, dalam sekejap saja tubuh Peng-say telah terbelit oleh cambuk yang panjang itu hingga beberapa lilitan.

Waktu Soat Peng-say jatuh ke tanah, tubuhnya berikut kedua lengannya sudah terbelit erat oleh cambuk kulit, pedang kiri terlempar di sebelahnya, tubuh tidak mampu berkutik sedikitpun.

Meski sudah menyerang dua kali dengan cambuknya, tapi pemain cambuk itu belum lagi memperlihatkan diri.

Cambuk yang lemas itu digunakan menutuk atau menyabat Hoat-to dan dipakai meringkus orang pula, caranya cepat dan ajaib, sungguh sukar untuk dibayangkan.

Kalau Soat Peng-say telah roboh diringkus orang, ini berarti pemain cambuk itu telah memberi bantuan kepada Pang Bong-ki berdua, seharusnya mereka bergembira dan berterima kasih. Tapi aneh, mereka sama sekali tiada tanda2 bergirang, sebaliknya malah ketakutan hingga muka pucat dan berdiri mematung.

"Enyah!" terdengar bentakan tertahan di balik rumpun pohon sana.

Karena disuruh "enyah", Pang Bong-ki berdua menjadi girang, mereka saling pandang sekejap, tanpa omong lagi mereka terus lari sipat kuping.

Kejadian mendadak tadi telah mengejutkan Cin Yakleng, setelah Pang Bong-ki dan Kwa Liong kabur barulah ia tenangkan diri dan cepat menubruk Soat Peng-say, ia berusaha membuka belitan cambuknya.

"Berani kau"!" kembali terdengar bentakan dari balik pohon sana.

Namun Yak-leng tidak peduli, ia tetap berusaha membuka ringkusan Peng-say, tapi sukar membukanya.

Pada saat itulah seorang lantas melayang keluar dari balik pohon sana, belum lagi Yak-leng sempat menoleh, satu kali tepuk, "Hong-hu-hiat" di belakang kepala nona itu tertepuk oleh orang itu dan jatuh pingsan.

Ketika pendatang ini berdiri tegak, kiranya seorang nenek yang bertubuh agak tinggi, tapi rada bungkuk punggungnya, mukanya penuh keriput dan rambut putih.

Segera si nenek berseru ke arah pepohonan: "Lekas keluar mengenali orang, setan cilik!”

Dari balik pepohonan sana lantas menerobos keluar seorang anak laki-laki dengan pakaian merah, usianya mungkin belum genap sepuluh tahun.

Nenek itu tarik cambuknya sehingga Soat Peng-say terangkat keatas, lalu ia bertanya pula: "Apakah orang ini?”

"Ya, tidak salah, memang orang ini!" jawab anak laki-laki itu dengan tegas.

Dalam keadaan masih teringkus oleh cambuk, Soat Peng-say dibawa pergi oleh si nenek ke jalanan kecil menyusur pepohonan sana.

Soat Peng-say tak dapat berkutik, tapi mulutnya masih bisa bicara, segera ia bertanya: "Lau-thaypo (nenek), kau apakan adik perempuanku?”

Si nenek tidak menggubris pertanyaannya dan tetap melanjutkan perjalanannya.

Karena tidak tahu keadaan Cin Yak-leng, segera Pengsay berteriak: "Adik Leng, adik Leng. . . .”

Karena melihat Cin Yak-leng terbaring disana tanpa bergerak dan juga tidak menjawab seruannya, maka ia memanggil lagi terlebih keras.

Anak laki-laki tadi mengikut di belakang si nenek, ia merasa kasihan melihat Soat Peng-say berteriak-teriak menguatirkan temannya, anak kecil umumnya memang besar rasa simpatinya, segera iapun berkata: "Nenek, bagaimana kalau biarkan dia bertemu sekali lagi dengan adik perempuannya?”

"Peduli amat!" damperat si nenek.

Sejenak kemudian, Peng-say tak dapat melihat Cin Yakleng lagi, disangkanya anak dara itu sudah meninggal, maka ia berteriak pula dengan suara parau: "Adik Leng, adik Leng. . . .”

Karena gembar-gembornya, biarpun taman ini sangat luas, tidak urung didengar juga oleh kaum budak keluarga Cin. Beramai-ramai mereka keluar, ada yang membawa lampu dan ada ang berteriak bertanya: "Siapa itu?”

Karena luasnya taman, maka suara kawanan budak itu hanya terdengar sayup-sayup di kejauhan saja. Sudah tentu Peng-say mendengar suara ribut-ribut itu, segera ia berteriak terlebih keras lagi.

Si nenek lantas mengancamnya: "Bila berteriak lagi, akan kupotong lidahmu!”

Namun Soat Peng-say tidak peduli, ia justeru ingin menimbulkan perhatian seluruh penghuni istana agar mereka dapat menemukan Cin Yak-leng, bila mana nona itu tidak mati, tentu mereka akan menyelamatkannya.

Si nenek menjadi gusar karena peng-say masih terus menggembor, meski tidak benar-benar memotong lidahnya, tapi ia lantas menabok pula kepala anak muda itu dan membuatnya pingsan.

Entah sudah lewat berapa lama lagi, siang hari esoknya, lamat-lamat Soat Peng-say bari siuman kembali.

Agaknya ada Hiat-to yang belum terbuka, meski sudah siuman, tapi dia masih belum mampu bergerak. Ia coba memandang sekitarnya, ternyata tertutup oleh kain tenda kereta kuda, terdengar kusir sedang berseru di bagian depan, jelas dia berada didalam sebuah kereta.

Anak laki-laki berbaju merah yang duduk di sebelahnya dapat melihat Peng-say telah siuman, segera ia mendekatkan mukanya dan bertanya: "Kau lapar tidak?”

Leher Soat Peng-say tidak dapat bergerak, hanya bagian atap tenda kereta yang terlihat, ia menjawab dengan suara lemah: "Tidak!" Sejenak kemudian, ia coba bertanya: "Adik kecil, mana nenekmu?”

"Nenek berduduk di depan." jawab anak laki-laki itu.

"Entah nenekmu memukul mati adik perempuanku atau tidak"!" ujar Peng-say dengan menyesal.

"Tidak." kata anak berbaju merah itu dengan tertawa.

"Nenakmu bilang begitu padamu?" Peng-say menegas.

"Tidak," jawab anak itu dengan tertawa, "Bila mana adik perempuanmu sudah mati, saat ini tentu tak dapat bernapas lagi.”

Peng-say jadi melengak. Tapi anak laki-laki itu lantas menyambung: "Pagi tadi baru kuperiksa pernapasannya, kukira tidak lama lagi dia akan siuman dengan sendirinya seperti kau.”

"He, adikku juga berada di kereta ini?" tanya Peng-say dengan girang.

"Bukankah dia berbaring di sampingmu?" jawab si anak laki-laki berbaju merah.

Segera Peng-say ingin menoleh, akan tetapi, apa daya, kehendak ada tenaga kurang, sedikitpun kepalanya tak dapat bergerak. Ia menjadi gelisah. Ia tanya pula kepada anak laki-laki itu: "Adik cilik, apakah kau paham ilmu Tiam-hiat?”

"Tentu saja paham!" jawab anak laki-laki itu.

Peng-say lantas memohon: "Adik cilik yang baik, maukah kau menolongku, bukalah Hoat-to yang tertutuk agar aku dapat melihat keadaan adik perempuanku!?”

"Tidak, aku tidak berani," jawab anak itu sambil menggeleng. "Bila kulakukan, aku akan dihajar nenek.

Karena diam-diam kubawa adikmu keatas kereta, hal ini mengakibatkan aku didamperat oleh nenek, katanya aku suka cari gara-gara.”

Peng-say tidak memohon lagi, pikirnya; "Bisa jadi anak laki-laki baju merah ini kasihan padaku karena teriakanku, maka pada waktu aku pingsan diam2 ia kembali kesana membawa adik Leng kesini. Meski masih kecil, tapi hatinya sangat baik. Dia sudah diomeli neneknya, tidak boleh kubikin dia dihajar lagi.”

Tidak lama kemudian, Peng-say merasa Cin Yak-leng yang meringkuk disebelahnya bergerak sedikit, disangkanya si nona telah siuman, cepat ia berseru: "Adik Leng. . . .”

Tapi Yak-leng hanya bergerak saja tanpa menjawab.

Peng-say menjadi kuatir, tanyanya kepada si anak laki2: "Adikku sudah siuman belum?”

"Siuman sih sudah, tapi nenek bilang, seumpama sudah siuman juga pikirannya takkan jernih lagi, kecuali diberi minum Leng-ju-coan (air susu ajaib), kalau tidak, selamanya dia akan linglung.”

Karuan Peng-say terkejut, cepat ia tanya pula: "Pada bagian mana nenekmu memukul adikku itu?”

"Hong-hu-hiat." jawab anak itu.

Hampir saja Peng-say jatuh kelengar pula. Hong-hu-hiat itu terletak pada ubun-ubun kepala dan merupakan Hiat-to yang fatal, bila terpukul ringan hanya akan mengakibatkan pingsan, kalau berat bisa mati seketika.

"Dimana bisa didapatkan Leng-ju-coan?" tanya Peng-say pula.

"Di rumahku banyak sekali air begituan." jawab sia anak laki2. "Nenek bilang, setiba dirumah segera akan diberi minum kepada adikmu, asal saja jangan timbul maksud lari dalam benakmu.”

"Dimana letak rumahmu?" tanya Peng-say.

Anak itu menggeleng, sahutnya: "Nenek melarang kukatakan padamu.”

Peng-say menghela napas, katanya pula: Ai, entah dalam hal apa kuperbuat salah kepada kalian"! Adik cilik, apakah kau kenal padaku?”

"Sudah tentu kukenal, kalau tidak masakah nenek membawaku untuk mencari kau?" jawab si anak.

"Kau kenal padaku, mengapa aku tidak kenal kau, janganlah kau salah mengenali orang!" ujar Peng-say.

Pada umumnya anak kecil enggan mengaku salah, maka anak kecil itupun cepat menggeleng dan menjawab: "Tidak, tidak mungkin keliru. Kau tidak kenal diriku, soalnya kau asyik menemani bibi sehingga tidak memperhatikan diriku.”

"Bibi" Bibimu maksudmu?" peng-say menegas dengan melongo. "Siapa nama bibimu?”

"Ai, masa nama bibi saja kau lupakan, pantas nenek bilang kau tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik).”

seru si anak laki-laki.

Peng-say yakin setan cilik ini pasti keliru mengenali orang, maka dengan sungguh-sungguh dan tegas ia berkata pula: "Adik cilik, coba, kenali diriku lebih teliti, coba amat2i lagi lebih jelas, aku ini orang yang pesiar bersama bibimu itu?”

"Ah, jangan kau bikin bingung padaku." ujar anak laki-laki itu dengan tertawa, "Kemarin hanya sekali pandang saja lantas kukenal kau sebagai orang yang menemani bibi itu, masa bisa keliru!”

Umumnya anak kecil suka kukuh pada pendapatnya, biarpun salah juga tidak mau mengaku.

Setelah berpikir sejenak, Peng-say ganti siasat, ia coba main gertak, katana: "Ya, sudahlah, percuma kuribut dengan kau. Tapi awas, hendaklah kau periksa lagi lebih teliti, bila setiba di rumah dan bibimu mengetahui orang kau bawa pulang ternyata keliru, nah, bukan mustahil nenek akan membeset kulitmu.”

"Tidak, pasti tidak keliru!" si anak yakin pada pendiriannya.

Walaupun begitu, mau tak mau timbul juga rasa sangsinya, terbayang olehnya bilamana benar dia salah mengenali orang, bisa jadi nenek akan menghajarnya, maka ia menjadi ragu-ragu, ia terus mengawasi Soat Peng-say dari samping.

Tiba lohor, kereta kuda itu berhenti pada suatu tempat, si nenek memebeli makanan dan diantar kedalam kereta serta memberi pesan kepada anak laki-laki berbaju merah itu: "Setan cilik, makan dulu, setelah kenyang, suapi mereka.”

Pada kesempatan itu cepat Peng-say berseru: "Hei, nenek, kalian salah mengenali orang!”

"Coba jawab, siapa namamu?" tanya si nenek.

"Soat Peng-say," kata Peng-say.

"Soat salju, Peng-nya Peng-an (selamat), Say-nya barat, betul tidak?”

"Betul!" jawab Peng-say.

"Jika begitu jelas tidak salah lagi!" jengek si nenek.

Habis itu tanpa peduli gembar-gembor Soat Peng-say lagi, ia kembali ke depan kereta.

Soat Peng-say mati kutu, ia termenung-menung sejenak, kemudian ia tanya si anak laki-laki: "Orang yang pesiar bersama bibimu itu bernama siapa?”

"Soat Peng-say," jawab si anak.

Jawaban ini membikin Soat Peng-say menjadi bingung sendiri, ia pun tidak jelas lagi apakah dirinya memang orang yang pernah menemani bibi si anak atau bukan.

Karena tak berdaya, percuma Peng-say kelabakan sendirian, akhirnya iapun masa bodoh dan pasrah Allah.

Lohor hari ketiga, berhenti kereta itu di suatu tempat.

Anak laki2 itu melompat turun, tidak lama kemudian tenda kereta lantas dibuka, datang beberapa babu muda dan menggotong turun Soat peng-say.

Si nenek berjalan didepan, ia menjengek: "Dan kaupun jangan lupa menyembuhkan penyakit Siocia (tuan puteri)!”

"Menyembuhkan penyakit!" teriak Peng-say kaget, "Hei, nenek, jangan kau keliru, aku sama sekali tidak paham ilmu pengobatan segala, ada penyakit harus mencari tabib, bila aku Soat Peng-say yang disuruh mengobati orang sakit, pasti orang hidup akan berubah menjadi orang mati!”

"Setan cilik, orang hidup dan orang mati apa, mulutmu hendaklah bicara yang bersih sedikit!" omel si nenek, "Pokoknya kalau penyakit Siocia tidak dapat kau sembuhkan, maka tubuhmu akan dipereteli oleh lima ekor kuda." Nenek ini sudah sangat tua, tapi cara bicaranya seperti orang muda, galak dan cepat marah.

Soat Peng-say digotong ke suatu kamar dan dibaringkan di suatu tempat tidur dengan seperai bersulam indah, waktu tinggal pergi dan merapatkan pintu kamar, si nenek tidak lupa memberi pesan: "Akan kubuka Hiat-to yang tertutuk setelah kau mandi.”

Peng-say pikir kebetulan, memang badan terasa lelah dan kotor, tentu akan terasa segar setelah mandi nanti.

Tidak lama kemudian datanglah beberapa pelayan, ada yang menyiapkan baskom mandi besar, ada yang mengisi air, ada yang menyediakan handuk, semuanya sibuk menyediakan peralatan mandi.

Peng-say baru kelabakan ketika pelayan pertama mulai membelejeti bajunya, cepat ia berteriak: "He, jangan, lelaki dan perempuan tidak boleh bersentuhan, jangan pegang-pegang.”

"Kalau tidak boleh pegang-pegang, cara bagaimana kami dapat memandikan Siauya?" ujar pelayan itu dengan mengikik tawa. Muka Peng-say menjadi pucat, serunya: "Tidak, kumandi sendiri, kumandi sendiri saja. . . .”

Tapi beberapa pelayan genit itu tidak menghiraukannya lagi, mereka terus membuka semua pakaian Soat Peng-say dan merendamnya di baskom besar itu, sudah tentu digosok dan dipijat pula.

Jika orang lain mungkin akan gembira karena dapat mandi dilayani perempuan2 cantik, tapi mandi Soat pengsay ini hampir membuatnya kelengar di dalam bak mandi itu. Selesai mandi, Soat Peng-say berbaring pula di tempat tidur, sambil memandangi langit-langit kelambu ia berpikir: "Kenapa belum ada yang datang membuka Hiat-toku?”

Syukur tidak lama kemudian berkumandang suara tindakan kaki orang di luar. Lalu terdengar si anak laki-laki berbaju merah sedang berseru: "Nek, nenek, rasanya makin lama makin tidak cocok. . . .”

Si nenek berhenti di depan pintu kamar dan bertanya: "Tidak cocok bagaimana?”

"Rasanya Soat peng-say yang ini tidak sama dengan Soat Peng-say yang itu," kata anak laki-laki baju merah.

"Tidak sama"! Dalam hal apa tidak sama?" tanya si nenek dengan mendongkol.

"Yang ini agak lebih. . . .lebih tinggi." tutur anak itu dengan ter-gagap2. "Cara bicaranya juga berbeda, suaranya lebih kasar. . . .”

"Setan cilik," raung si nenek, "Jadi kau salah mengenali orang"!”

"O, ti. . . tidak, belum. . . .belum pasti, aku cuma. .

.cuma melihatnya dua kali dan tidak. . . tidak begitu jelas. .

. ." "Kalau tidak jelas, mengapa kau berkeras bilang pasti dia"!" si nenek meraung gusar pula.

Kemudian leher baju anak laki-laki itu terus ditarik dan diangkat keatas oleh si nenek sehingga anak itu berteriakteriak ketakutan: "Jang. . . jangan, nenek, jangan. . . .jangan membeset kulitku!”

"Katakan terus terang, dia atau bukan"!" bentak si nenek dengan bengis.

"Iy. . .iya!" jawab anak itu.

"Bluk", nenek itu melemparkan si anak baju merah dan meraung pula dengan gusar. "Pokoknya kalau keliru akan kubeset kulitmu!”

"Kukira dia. . . dia agak lebih tinggian dikit. . . ." si anak berusaha menjelaskan pula dengan takut-taku.

"Kalau cuma lebih tinggi sedikit, akan kupotong saja kakinya." kata si nenek.

Lalu nenek itu masuk ke kamar dan bertanya: "Soat Peng-say, coba jawab, kau benar-benar Soat Peng-say?”

"Sudah tentu benar, tanggung tulen!" jawab Peng-say penasaran.

"Tapi Ang-hay-ji (anak merah) bilang kau agak tinggian sedikit, apakah kau memang agak tinggi?" tanya pula si nenek.

Peng-say menjadi kuatir orang benar2 akan memotong kakinya, cepat ia menjawab: "O, tidak, tidak tinggi, tinggi Soat peng-say yang tulen memang pas begini, yang palsu sih aku tidak tahu.”

Nenek itu mengangguk, katanya: "Kupercaya padamu, masakah kau berani memalsukan Soat peng-say untuk menipu nenek?”

"Aku memang Soat peng-say tulen, kenapa mesti memalsu"!" ujar Peng-say dengan mendongkol.

Melihat anak muda ini bersitegang, si nenek tidak sangsi lagi, segera ia membuka Hiat-to yang tertutuk tempo hari.

Begitu dapat bergerak, serentak Soat peng-say melompat turun, tapi tak dapat berdiri tegak, ia jatuh tersungkur.

"Jangan terburu-buru." kata si nenek. "Ketahuailah Tiam-hiat-hoat nenek lain daripada orang lain, setelah Hiat-to terbuka, dalam dua hari tidak dapat mengerahkan tenaga dan juga tidak dapat mengerahkan tenaga dan juga tidak boleh berjalan cepat.”

Terkesiap Peng-say, buyarlah harapannya untuk melarikan diri.

Agaknya si nenek dapat meraba maksud Peng-say yang ingin kabur itu, segera ia menjengek: "Hayo ikut padaku!”

"Kemana?" tanya Peng-say.

Si nenek mendongkol, ia anggap anak muda itu sudah tahu sengaja tanya lagi, jawabnya kemudian: "Suruh kau ikut ya ikut saja, rewel apa lagi?”

Tiada jalan lain, terpaksa Peng-say berkata dengan menghela napas: "Baik, ikut juga boleh, cuma ingin kukatakan sebelumnya, aku tidak pernah belajar ilmu pengobatan, jika aku disuruh mengobati Siocoa kalian, mungkin orang. . . . .”

Mendadak si nenek menoleh dengan sorot mata yang tajam, seketika Peng-say mengkeret dan kata-kata "orang hidup akan berubah menjadi orang mati" ditelan kembali mentah-mentah.

Si nenek mendahului keluar dari kamar serambi itu, karena tidak mampu melarikan diri, terpaksa Soat Peng-say mengikut pergi.

Di luar adalah serambi panjang yang mengitari rumah besar, membelok dan berliku dan akhirnya menembus kesuatu serambi lain yang lurus, pada ujung jalan serambi yan ini terlihat sebuah pintu bundar, dipandang dari luar, kelihatan beraneka warna yang semarak, mungkin di balik pintu sana adalah taman bunga yang indah.

Setelah melalui pintu bulan itu, Peng-say mengendus bau harum yang memabukkan, ditengah taman bunga berwarna-warni itu berdiri sebuah rumah mungil. Jalan yang menuju ke villa itu adalah suatu jalan kecil diapit oleh tanaman bunga yang mekar semerbak. Untuk melalui jalan sempit itu terpaksa harus berhimpitan dengan pohon bunga yang rimbun.

Soat peng-say menyukai bunga yang berwarna-warni itu, dengan pelahan ia menyiak tumbuhan yang melambai menghadang di jalan sempit itu, ia kuatir kalau tangkai bunga akan patah bilamana terpegang terlalu keras.

Si nenek jalan di depan, mungkin kuatir Soat peng-say mengeluyur pergi maka terkadang dia berpaling ke belakang. Melihat kelakuan anak muda yang kuatir mematahkan tangkai bunga itu, segera ia mendengus: "Hm, Siocia kami terlebih cantik dari pada bunga, bahwa kau sayang pada bunga, tapi tidak sayang kepada Siocia kami, hm, memangnya kau kira penghuni Leng-hiang-cay boleh kau ganggu sesukamu?”

Peng-say terkejut mendengar istilah "Leng-hiang-cay”

atau perpustakaan harum dingin. Tapi mengingat dirinya tidak berbuat sesuatu kesalahan apapun, ia merasa tidak perlu gentar, segera ia bertanya: "Kau bilang apa, nenek”

Sedikitpun aku tidak paham!”

Si nenek berpaling, selagi dia hendak mendamperat, tibatiba terdengar bunyi suara kecapi, menyusul mana terdengar suara orang bernyanyi pelahan, jelas itulah suara orang perempuan yang merdu. Lagunya sedih mengharukan. Peng-say dapat menangkap arti syair lagu itu yang menyatakan rasa sedih karena ditinggal kekasih. Jadi perempuan ini sedang merindukan kekasihnya. Lantas siapakah kekasihnya, apakah lelaki itu seorang yang tidak punya perasaan”

Selagi Soat peng-say termenung, mendadak si nenek mendorongnya dan berkata: "Tampaknya kau masih punya sedikit Liangsim”

Soat Peng-say melengak, jawabnya dengan bingung: "Aku punya Liangsim apa". . . .”

"Justeru lantaran kau tidak punya Liangsim sehingga Siocia kami kau bikin merana, sekarang kucari kau kesini, tujuanku supaya kau sembuhkan sakit rindu Siocia kami.”

tutur si nenek dengan ketus. "Awas, jika tidak kau sembuhkan Siocia, akan kupenggal kepalamu.”

"Kalian salah mengenali orang, hakikatnya aku tidak kenal Siocia kalian," sahut Peng-say sambil menggeleng.

"Sakit rindu itu jelas aku tidak mampu menyembuhkannya.”

"Bangsat cilik," maki si nenek, "Kau sudah mencuri hati Siocia kami, sekarang kau bilang tidak kenal dia. Coba kutanya padamu, masa di dunia ini ada kejadian yang begini kebetulan. Orang itu mengaku bernama Soat pengsay, katanya tinggal di istana Kiu-bun-te-tok di Pakkhia, memangnya ditempat gubernur itu ada dua orang yang punya nama sama?”

Sampai disini. Peng-say seperti memahami sesuatu, ia tanya: "O, jadi 'Soat peng-say' itu mengaku bertempat tinggal di istana Kiu-bun-te-tok Pakkhia?”

"Setan cilik yang tidak punya Liangsim." si nenek mendamperat pula dengan gusar, "Masa kau melupakan ucapannya sendiri, tapi Ang-hay-ji tidaklah lupa, dengan jelas dia mendengar apa yang pernah kau katakan kepada Siocia kami.”

Soat Peng-say jadi teringat pula kepada keterangan anak berbaju merah itu, ia bergumam: "Lebih tinggi sedikit”

Ehm, memang agak lebih tinggi. . . .”

Tapi si nenek tidak gubris kepada gumamannya, ia berkata pula: "Aku tidak perdulikan kau tulen atau palsu, pokoknya kau harus menyembuhkan penyakit Siocia, kalau tidak, akan kupereteli tubuhmu dengan lima ekor kuda dan kupenggal kepalamu!”

Diam-diam Peng-say menggerutu, pikirnya: "O, Cin Yak-leng, gara-gara perbuatanmu, akulah yang kau bikin celaka. Jika terhadap orang lain mungkin kakak Peng masih sanggup menghadapinya, tapi memusuhi orang Leng-hiang-cay, aku menjadi mati kutu.”

Di dunia persilatan jaman ini terkenal sebutan "Lam-han Pak-cay", yaitu nama dua aliran persilatan yang sangat disegani. Leng-hiang-cay adalah Pak-cay yang dimaksudkan itu. Konon ilmu pedang Pak-cay tiada bandingannya di duna persilatan, bahkan Bu-tong-pay yang termashur selama beratus tahun karena ilmu pedangnya juga tidak lebih hebat daripada ilmu pedang Pak-cay.

Waktu Soat Peng-say tamat belajar dan mau berpisah dengan Tio Tay-peng, pernah Tay-peng memperingatkan kepadanya agar jangan sekali-kali bermusuhan dengan anak murid Pak-cay, lebih-lebih jangan pamer ilmu pedangnya dihadapan anak murid Pak-cay, sebab Co-pi-kiam-hoat (ilmu pedang tangan kiri) yang diajarkan itu boleh dikatakan tiada artinya sama sekali bagi anak murid Pakcay. Meskipun pesan itu diam-diam membikin penasaran Soat peng-say, tapi fakta telah membuktikan dia memang jauh bukan tandingan si nenek. Padahal nenek itu tidak terkenal didunia Kangouw, paling-paling cuma kaum hamba Pak-cay saja. Kalau budaknya saja selihay itu, apalagi majikan atau ahli-waris Pak-cay”

Kini Soat Peng-say sudah tahu orang yang memalsukan dirinya dan main roman dengan Siocia yang disebut si nenek jelas adalah karya Cin Yak-leng. Tapi ia kuatir bilamana hal ini diceritakan terus terang, bisa jadi dari malu sang Siocia akan menjad marah, maka ia tidak membicarakannya dengan si nenek, a pikir biarkan saja, yang penting dirinya sendiri memang Soat Peng-say tulen, apa yang akan terjadi nanti akan dihadapinya menurut gelagat. Maka ia tidak banyak omong lagi dan ikut si nenek menuju ke villa yang indah itu.

Dilihatnya bagian depan villa itu, pada kanan kirinya masing-masing ada sebuah ruangan duduk yang menghadap ke utara, ditengahnya adalah sebuah ruangan panjang yang menjurus keujung sana dibatasi dengan sebuah dinding terkapur putih, kalau dipandang ke selatan melalui lubang-lubang dinding, di dalamnya adalah sebuah lapangan yang luas dengan macam-macam alat latihan Kungfu, tentulah disini se-hari2 penghuni villa ini berlatih.

Soat Peng-say dibawa ke sebuah kamar yang terletak dibelakang ruangan duduk sebelah kanan, kemudian mendengar suara, seorang pelayan menyambut keluar dan bertanya: "Siapa?”

Dan ketika melihat si nenek membawa seorang lelaki yang tak dikenal, selagi pelayan itu hendak bertanya pula, cepat si nenek mengedip dan mendesis: "Ssst. . . .”

Pelayan itu seperti menyadari sesuatu, ia mengangguk dan bertanya dengan suara tertahan: "apakah dia ini Soat Peng-say?”

Si nenek mengangguk perlahan dan memberi tanda agar pelayan lain yang berada didalam kamar dipanggil keluar.

Pelayan ini tahu maksud si nenek agar Soat peng-say dapat bertemu sendirian dengan Siocia mereka, maka dengan mengulum senyum ia lantas berseru: "Siau Tho, Siau Tho, lekas keluar, dipanggil Lolo (nenek)!”

Pelayan yang bernama Siau Tho itu tampak keluar, tanpa memberi kesempatan bicara padanya, pelayan yang pertama lantas menariknya pergi.

Segera si nenek menarik muka dan berkata kepada Soat peng-say dengan suara tertahan: "Sekarang kuserahkan padamu!”

Bahwa Soat peng-say diharuskan menemui seorang nona yang belum dikenalnya didalam suatu kamar tersendiri, betapapun ia merasa kikuk dan serba susah, cepat ia menggoang tangan dan berkata: "Jangan. . . . . .”

Tapi si nenek tidak memusingkan apa yang dipikir Soat Peng-say, sekali dorong, kontan Peng-say terhuyunghuyung masuk kedalam kamar, lalu pintu kama dirapatkan.

Setelah berdiri tegak didalam kamar, Soat peng-say meng-amat2i kamar itu. Sungguh sebuah kamar yang sangat luas dan indah, setiap meja kursi berukir hasil karya seni yang bernilai tinggi, rak buku yang bersusun-susun, sebagian besar tertaruh kitab, bagian lain diberi benda-benda antik pajangan. Dinding sekeliling kamar bergantung lukisan dari pelukis ternama, terdapat pula kecapi dan pedang yang bergantungan di dinding.

Jelas inilah sebuah kamar baca, manabisa kamar tidur orang perempuan”

Hati Peng-say rada tenteram, ia coba mendekati rak buku, selagi hendak mengambil salah satu kitab itu untuk dibaca, tiba-tiba didengarnya sayup-sayup suara langkah orang. Ia coba memandang kesamping sana, tadi tak diperhatikannya, baru sekarang dia melihat jelas kamar baca ini ada pintu tembus kedalam sana dan suara langkah orang berkumandang dari dalam situ.

Soat Peng-say dapat menduga siapa yang datang sini, ia menjadi tegang, cepat ia duduk pada sebuah kursi malas yang berada disebelahnya. Lagaknya itu mirip seorang tamu yang sedang menunggu munculnya tuan rumah.

Dari tempat duduknya itu ia dapat melihat orang yang bakal muncul, tapi orang yang datang itu belum pasti dapat melihatnya dengan segera.

Sejenak kemudian, seorang perempuan muda berbaju putih tipis melangkah keluar, rambutnya yang panjang hitam gompiok semampir dibelakang pundak sehingga bajunya yang memang putih kelihatan lebih putih dan rambutnya yang hitam tampak lebih pekat. Tapi lantaran dia merangkul sebuah kecapi sehingga mukanya tidak kelihatan, hanya nampak potongan tubuhnya yang semampai serta pinggangnya yang kecil.

Nona itu mendekati meja panjang yang terletak didepan jendela dan menaruh kecapinya dengan pelahan, "cring-cring", sekenanya dia menyentil senar kecapi, lalu terdengar dia menghela napas pelahan.

Meski si nona berdiri membelakangi Soat Peng-say sehingga anak muda ini tidak melihat bagaimana air mukanya, tapi dari gerak-geriknya dapat diketahuinya si nona sedang kesal dan murung, hal ini semakin terungkap dari helaan napasnya tadi.

Diam-diam Peng-say membayangkan betapa Cin Yakleng telah membikin susah si nona, ia tahu sebabnya Cin Yak-leng menyamar sebagai lelaki tidak bertujuan mencelakai orang lain, tapi mengakibatkan nona ini terpikat dan merindukan dia, hal ini adalah tidak pantas, mestinya penyamarannya itu harus dijelaskan sejak mula.

Ada maksud Peng-say hendak menyapanya, tapi ia bngung sebutan apa yang harus digunakannya, karena itu tanpa terasa ia berdehem pelahan.

Sudah tentu nona itu tidak menduga-duga di kamarnya ada orang lain, dengan terkejut ia berpaling. Sekarang dapatlah Peng-say melihat wajahnya, ternyata cantiknya luar biasa dan sukar dilukiskan. Belum pernah Peng-say melihat perempuan secantik ini.

Sekalipun Cin Yak-leng juga cantik, tapi belum apa-apa kalau dibandingkan nona jelita yang sekarang ini. Lebihlebih raut wajahnya yang ke-kurus2an dan pandangannya yang sayu, melankolis, kata orang jaman kini, sungguh menimbulkan rasa kasih-sayang setiap orang yang memandangnya. Setelah melengak, kemudian si nona melihat Peng-say yang rada-rada mirip orang yang telah mencuri hatinya, tapi belum pernah dikenalnya, entah cara bagaimana bisa berada didalam kamar bacanya, segera ia berkerut kening dan menegur dengan kurang senang: "Siapa kau" Siapa suruh kau duduk disini" Keluar, lekas keluar!”

Belum lagi Soat Peng-say memperkenalkan diri untuk menjawab pertanyaan "siapa kau" dan baru saja terdengar "siapa suruh kau duduk disini", menyusul lantas kata-kata mengusir, hakikatnya Soat peng-say tidak diberi kesempatan untuk bicara.

Tapi watak Peng-say memang sabar, biarpun oran bicara kasar padanya, dia tetap tenang-tenang saja. Tapi orang mengusirnya, jika tidak keluar, rasanya tidak pantas karena dirinya masuk kesitu tanpa permisi.

Karena itulah ia lantas berbangkit, tidak terburu-buru juga tidak pelan-pelan, lalu menuju ke pintu kamar dengan sewajarnya.

Tapi ketika pintu terbuka, dilihatnya si nenek berdiri menghadang ditengah pintu, Peng-say memberi tanda dengan merangkap kedua tangannya didepan dada, maksudnya memohon si nenek memberi jalan baginya.

Dengan kurang senang si nenek berkata: "Kenapa disuruh keluar segerapun kau keluar"!”

Di balik ucapannya ini jelas si nenek menganggap Soat peng-say terlalu penurut dan melupakan maksud tujuan kedatangannya ini.

Segera Peng-say bermaksud menjawab, tapi cepat si nenek menambahkan pula: "Masuk dulu dan bicara belakang!”

Mendadak nona tadi berkata: "Liok-ma (mak Liok), apakah kau sudah pikun" Tempatku ini mana boleh sembarangan didatangi orang luar?”

Lolo atau nenek itu sejak ecil sudah menjual diri sebagai budak di keluarga Sau, penguasa Pak-cay ini. Aslinya si nenek she Liok, hanya sang majikan saja yang suka memanggilnya Liok-ma, orang lain, terutama kaum hamba tidak berani menyebutnya demikian melainkan memanggilnya Lolo.

Sepanjang hidup Liok-ma telah melayani kakek dan ayah sang Siocia, iapun menyaksikan kelahiran Siocia asuhannya ini, sesudah besar, kasih-sayangnya tidak kurang daripada ayah-bunda kandung sang Siocia sendiri.

Maka dengan tertawa Liok-ma menjawab: "Dia bukan orang luar, dia inilah Soat peng-say!”

"Siapa bilang dia ini Soat Peng-say?" jengek si nona.

"Ang-hay-ji yang bilang begitu, ia sendiri juga mengaku bernama Soat peng-say," ujar Liok-ma.

"Tidak nanti kupangling kepada Soat peng-say, dia ini jelas bukan Soat peng-say," kata si nona.

Liok-ma menjadi gusar, ia meraung terhadap Soat Pengsay: "Kurang ajar, anak busuk, jadi kau berdusta kepada Lolo"!" Berbareng sebuah tamparan segera akan mampir di muka Soat peng-say.

Untung pada saat itu juga mendadak seorang membentak: "Nanti dulu!”

Liok-ma melengak dan berpaling, dilihatnya seorang Kongcu cakap diantar datang oleh Ang-hay-ji.

Hampir saja Soat peng-say berteriak: "Adik Leng", tapi dilihatnya Cin Yak-leng mengedip padanya serta menegur dengan tertawa: "Ai, bikin susah kau, Toako!”

Dalam pada itu terdengar Ang-hay-ji atau si anak berbaju merah, sedang berseru: "He, nenek, inilah Soat Peng-say yang tulen, yang palsu itu memang benar rada tinggi sedikit." Entah darimana Cin Yak-leng mendapatkan seperangkat pakaian anak sekolahan, setelah berdandan, jadilah dia seorang Kongcu yang cakap, sambil mengebas kipas lempit dia mendekati Soat Peng-say dengan tersenyum simpul.

Dipandang sepintas lalu Cin Yak-leng sekarang memang rada-rada mirip Soat peng-say, waktu dia meninggalkan rumah dan berkelana mencari anak muda itu, lantaran namanya sendiri tidak mirip nama orang lelaki, maka selama itu dia menggunakan namanya Soat peng-say. Dia berkenalan dengan Siocia dari Pak-cay ini pada waktu malam sehingga sukar dibedakan dengan jelas antara lelaki dan perempuan. Kejadian itu sudah berselang setengah tahun. Ang-hay-ji tidak ingat lagi dengan, maka ketika melihat Soat Peng-say yang tulen, tanpa ayal dia bilang inilah Soat Peng-say yang sedang dicarinya.

Padahal kalau dibandingkan, sedikitnya Cin Yak-leng lebih pendek satu kepala daripada Soat Peng-say, tapi Ang-hay-ji hanya bilang "agak lebih tinggi sedikit" saja.

Melihat Cin Yak-leng sudah dapat bergerak dengan bebas, segera Soat Peng-say bertanya: "Apakah sudah kau minum Leng Ju-coan?”

Yak-leng kuatir Liok-ma mengetahui siapa dia sebenarnya, cepat ia berdehem dan memegang tangan nona cantik tadi dengan rayuan mesra: "Enci Kim-leng, setengah tahun tidak bertemu, sungguh sangat merindukan daku.”

Siocia yang bernama Sau Kim-leng itu ingin menarik tangannya, tapi tidak melepaskannya dengan sungguhsungguh, ucapnya dengan menunduk malu: "Mengapa orang itu memalsukan namamu, dia pernah apamu?”

"Dia kakakku, sesungguhnya dia inilah yang bernama Peng-say, aku sendiri bernama Soat Yak-leng," jawab Yak-leng. "Karena nama Yak-leng terasa kurang gemilang, maka diluaran aku menggunakan nama kakakku.”

Sau Kim-leng mengangkat kepalanya dan tersenyum kikuk terhadap Soat Peng-say, katanya: "Kiranya engkau adalah kakaknya, silahkan masuk kemari, silahkan!”

Habis berkata ia berpaling dan memandangi Cin Yakleng dengan mesra.

Kiranya tempo hari Cin Yak-leng menyaru sebagai lelaki, tapi ia lupa beda antara lelaki dan perempuan, dia bersikap mesra dengan Sau Kim-leng yang baru dijumpainya. Tak tersangka Sau Kim-leng juga tidak dapat membedakan mana jantan dan mana betina, ia anggap Cin Yak-leng sebagai kekasihnya, setengah tahun berpisah, dia jatuh sakit rindu bagi si "dia".

Kini melihat si "dia" ternyata tidak ingkar janji dan masih ingat padanya, Sau Kim-leng tertawa senang, ucapnya dengan lembut: "Kau ini memang pintar omong yang manis2, katamu merindukaktu segala, padahal Siau-ngo tay hanya berjarak tiga hari perjalanan dari rumahmu, tapi sudah setengah tahun kau tidak datang menjenguk diriku. Aku sendirikan anak perempuan dan tidak bebas pergi mencari kau. Umpaama kuberani mencari kau, jangan2 akan kau pandang hina pula. Yang benar akulah yang tidak pernah lupa, tapi kau yang telah melupakan diriku. Kalau tidak, mengapa janji tiga bulan baru sekarang kau datang lagi?”

Ang-hay-ji masih ingusan, ia tidak tahu seluk-beluk urusan muda-mudi, mendadak ia menyela: "Malahan datangnya kemari harus diringkus bersama kakaknya oleh Lolo." Seketika Sau Kim-leng melenggong, air matapun bercucuran, ucapnya degan tergagap: "Jadi-jadi engkau . . .

." Cepat Cin Yak-leng berkata dengan menyengir: "O, Cici yang baik, janganlah marah dulu. Sesungguh aku terlalu sibuk dan tidak sempat berkunjung kemari. Selagi aku hendak berangkat, entah mengapa Liok-ma terus main ringkus dan menculikku ke sini.”

Liok ma menjadi curiga, pikirnya: "Yang kubawa kemari hanya Soat Peng say, mana pernah kupaksa orang ini ikut ke sini?" Karena itu, ia lantas mengawasi Cin Yak-leng dengan cermat.

Tampaknya rasa menyesal Sau Kim-leng belum hapus, katanya dengan sayu: "Jangan kau bohongi diriku lagi.

Kalian putera orang kaya dan berpangkat, biasanya tentu tidak cukup hanya mempunyai seorang kekasih, mana engkau menaruh perhatian terhadap perempuan gunung macamku ini. Biarlah kukatakan terus terang dan tidak perlu malu2, sejak berpisah, siang dan malam senantiasa kuharapkan kedatanganmu. Asalkan mendengar orang berjalan diluar kamar lantas kusangka kau telah datang.

Siapa tahu tunggu punya tunggu, bayanganpun tetap tak nampak. Bilamana kuterjaga pada waktu tidur, aku lantas menangis mengenangkan dirimu. Sampai2 Siau Tho bilang aku ini bodoh, belum apa2 sudah sakit rindu kepada lelaki yang baru dikenalnya.”

Mendadak Liok-ma menjengek: "Hm, hakikatnya dia bukan lelaki!”

Rupanya setelah diamat-amati sejak tadi, baru sekarang dia mengetahui wajah asli Cin Yak-leng. Tapi Sau Kim-leng mengira si nenek sengaja ber-olok2, maka tidak diperhatikannya.

Melihat sang Siocia tidak percaya pada ucapannya.

segera si nenek bertanya kepada Ang-hayji: "Dimana dia mendapatkan pakaian laki2 itu?”

Ang-hay-ji masih kecil, hakikatnya dia tidak tahu urusan laki2 dan perempuan dan apa bedanya bagi sang bibi, maka dengan tertawa ia menjawab secara lugu: "Menurut perintah Lolo, kuberi minum dia sebotol Leng-ju-coan, setelah siuman dia lantas tanya kakak Peng-nya, kubilang Soat Peng-say telah dibawa Lolo menemai Kokoh (bibi).

Entah sebab apa, dia mendesak agar kucarikan seperangkat pakaian anak pelajar baginya. Kuingat Sau Tiong menyimpan seperangkat pakaian baju baru, aku tidak tahu apakah itu pakaian anak pelajar atau bukan, tapi kuambilkan juga pakaian itu. Selesai dia berdandan barulah kutahu dia inilah Soat Peng-say yang sebenarya.”

Sau Tiong yang dimaksudkan Ang-hay-ji adalah seorang budak muda keluarga Sau, dia sering disuruh belanja ke kota Pakkhia. Anak muda umumnya suka necis, dia sering melihat kaum Kongcu berdadan dengan perlente, maka diam2 iapun memesan seperangkat baju kaum Kongcu tersebut, tapi belum pernah dipakainya selama ini dan selalu disimpan saja, hal ini diketahui oleh Ang hay-ji, maka untuk memenuhi permintaan Cin Yak-leng, dia lantas mencuri pakaian baru Sau Tiong itu.

Keterangan Ang-hay-ji itu cukup jelas, tapi tiada sepatah katapun membongkar penyamaran Cin Yak-leng.

Maka si nenek lantas mendesak pula: "Sebelum memakai baju Sau Tiong ini, bagaimana bentuknya?”

"Serupa Kokoh," tutur Ang-hay ji dengan tertawa ngikik.

"Panjang rambutnya, cakap benar!”

Sampai di sini, air muka Sau Kim-leng menjadi pucat seketika, matanya yang jeli itu menatap tajam ke tubuh Cin Yak-leng. pandangnn yang gemas, sinar matanya itu seakan2 ingin menembus badan Cin Yak-leng Diam2 Soat Peng-say berkuatir melihat gelagat tidak menguntungkan, tapi seketika iapun tidak tahu cara bagaimana memecahkan kesukaran didepan mata ini.

Cin Yak-leng tidak tahu kelihayan "Pak cay" yang terkenal itu, ia pikir bila penyamarannya sudah terbongkar, maka biarlah nanti dijelaskan sekalian secara terus terang, toh bukan maksudku hendak berdusta. tapi Sau Kim-leng sendiri yang mengira dia sebagai lelaki. Namun ia pun tahu si nenek tidak boleh diremehkan, diam2 ia memberi tanda kepada Soat Peng-say, maksudnya menyuruh anak muda itu melarikan diri bilamana gelagat tidak menguntungkan.

Namun Soat Peng say menggeleng pelahan diam2 dia mengeluh dalam hati: "Jangankan aku tidak mampu lari, seumpama gerak-gerikku tanpa alangan apapun juga aku tidak sanggup lolos didepan mata si nenek.”

Tak tersangka Cin Yak-leng malah salah sangka, ia tidak tahu Hiat-to Soat Peng-say baru terbuka akibat tutukan si nenek yang lain daripada yang lain itu, dalam waktu satu dua hari anak muda itu tidak dapat mengerahkan tenaga dan tidak dapat berjalan cepat, ia mengira gelengan kepala Soat Peng-say itu menyuruhnya jangan kuatir.

Sebab itulah ia lantas berkata dengan terus terang, "Cici yang baik, kau tahu anak perempuan seperti kita ini tentu tidak leluasa bepergian, untuk menghindari gangguan lelaki busuk, paling baik kalau kita menyamar. Memang salah adik, tidak kukatakan hal ini kepadamu sehingga Cici . . .”

Tidak seharusnya Yak-leng merngeluarkan suara tertawa yang bernada geli, keruan air muka Sau Kim-leng seketika berubah hijau, mendadak ia menarik tangannya dan menyurut mundur beberapa langkah, saking marahnya sampai tubuhnya gemetar, ia tuding Yak-leng dan berkata dengan suara ter-putus": "Kau. . . kau menipu aku dan sekarang. . . sekarang kau meng-olok2 diriku pula. . . “

Rasa menyesal. dongkol, malu dan benci bercampur aduk, Sau Kim-leng merasa keterus-terangannya mengungkapkan isi hatinya tadi membuat dirinya kehilangan muka habis-an2, serentak ia membalik tubuh dan berlari kekamar tidurnya, tapi baru beberapa langkah ia lantas jatuh tersungkur.

Cepat Liok-ma melayang kesana dan membangunkan Sau Kim-leng, katanya dengan penuh kasih sayang: "Siau Leng, jangan sampai terganggu kesehatanmu, biar Liok-ma melampiaskan dendammu.”

'Siau Leng" atau Leng cilik adalah nama kecil Sau Kim-leng, sebagai budak tiga turunan keluarga Sau, kedudukan Liok-ma jelas berbeda daripada budak umumnya, dia selalu memangggil Sau Kim-leng dengan nama kecil.

Setelah mendudukkan Sau Kim-leng pada sebuah kursi, lalu Liok-ma berpaling, dengan ketus dan dingin ia berkata: "Soat Peng say, kalian kakak beradik ingin mati dengan cara bagaimana?”

Cin Yak-leng tidak menduga urusan akan berubah menjadi segawat ini, ia menggeleng dan menjawab: "Liok-ma, jangan kau takut-takuti orang, kesalahan kami tidak perlu harus ditebus dengan kematian.”

"Hm, kau kira anggota keluarga Sau Pak cay boleh dihina sesukamu?" jengek Liok-ma. "jangankan Siocia kami telah kau bikin susah sehebat ini, cukup seorang budak keluarga Sau kau hina sudah berhalangan menghukum mati padamu." Cin Yak-leng berkerut hidung dan berkata "Wah, mana begitu galak, sedikit2 lantas mau membunuh orang. Apakah kalian tidak tahu undang-undang?”

"Undang2" Hm, si tua raja berharga berapa peser dimata keluarga Sau Pak-cay kami"!" jengek Liok-ma.

"Ai. tampaknya kita telah ketemu bandit," ujar Cin Yak-leng sambil menjulur lidah. "Hayolah Peng koko, lekas kita pergi saja. Jika tinggal lama disini, jangan2 akan ketularan bau bandit!”

Dibalik ucapannya ini dia memberi isyarat kepada Soat Peng-say agar ber-siap2 kabur saja.

Tapi Liok-ma lantas berteriak: "Pergi" Hm, kalian ingin pergi ke mana?”

Soat Peng-say memandang keluar, dilihatnya kedua pelayan kamar Sau Kim-leng tadi menghadang di depan pintu, ia tahu tiada seorang anggota keluarga Sau Pak-cay yang tak mahir ilmu silat, tapi iapun tidak bermaksud kabur, ia malahan mendekati orang tua itu dan berkata: "Lolo, dalam perkara ini memang salah adik perempuanku, apakah engkau sudi memberi kelonggaran?”

"Aku cuma bertanya kalian ingin mati dengan cara bagaimana?" jawab Liok-ma dengan ketus.

Mendongkol juga Cin Yak-leng, tanyanya: "Numpang tanya, ada berapa macam kematian yang kau sediakan?”

"Ada kematian seberat gunung Thay dan ada kematian seenteng bulu, ada pula kematian yang cepat dan lambat, boleh kalian pilih," jawab Liok-ma.

Dari Tio Tay-peng pernah Soat Peng say diberitahu bahwa "Lam-han dan Pak-cay" suka bertindak se-wenang2 dan tiada satupun yang bicara tentang aturan umum.

Karena itulah iapun sungkan untuk banyak berdebat, segera ia bertanya: "Dari ucapan nenek ini, bolehkah kiranya kami memilih mati seberat gunung Thay saja?”

Ia pikir, kalau dapat mati dengan gilang-gemilang, maka cukup berharga rasanya. Cuma tidak diketahui dengan cara bagaimana mereka menghendaki pelaksanaan kematiannya.

Apalagi inipun suatu titik perputaran, sebab Soat Pengsay mengira Liok-ma akan menyuruhnya melakukan sesuatu yang maha sulit sebelum membunuh mereka. Ia pikir kalau perlu kesempatan ini akan gunakannya untuk kabur. Siapa tahu beginilah keterangan Liok-ma: "Jika kalian memilih mati seberat gunung Thay, maka akan kuberi kelonggaran kepada kalian dan menganggap kalian sebagai manusia, mayat kalian akan kami kubur selayaknya. Kalau tidak, kematian kalian akan berlangsung dengan penuh penderitaan, setelah matipun kalian akan dianggap seperti binatang dan dibuang kehutan untuk umpan anjing liar.”

Soat Peng say menggeleng kepala, katanya dengan gegetun: "O, kiranya sama saja, akhirnya juga mati!”

"Jadi kalian ingin memilih cara yang lain?" jengek Liok-ma.

"Toh sama2 mati, peduli menderita atau tidak, dikubur atau tidak, jika sudah mati segalanya habis perkara, hanya orang tolol yang bicara tentang penguburan secara besar-an2. bila menjadi isi perut anjing liar kan semuanya menjadi bersih malah?”

Liok-ma berbalik melengak, ia pikir anak muda ini ternyata mempunyai kelapangan hati dan pandang kematian sebagai sesuatu yang wajar. Mendadak, secepat kilat telapak tangannya menabas pundak Cin Yak-leng.

Tapi selama tujuh tahun berlatih ilmu yang tertera di Siang-jing-pit-lok ternyata tidak sia2, dengan cepat Cin Yak-leng miringkan tubuh dan mendak sedikit, "serr", tahu2 ia sudah menyelinap lewat di bawah tabasan tangan Liok-ma.

Namun Liok-ma memang lihay, sekali menyerang tidak kena, segera serangan lain menyusul secara ber-tubi2, telapak tangannya membalik menjadi mencengkeram.

Yak-leng merasa gelagat jelek, bicara tentang kecepatan jelas bukan tandingan si nenek. sedapatnya ia menggeliat kesamping dan melangkah mundur, segera ia bermaksud berkelit pula kesamping.

Tapi pengalaman Liok-ma sangat luas, dia se-akan2 dapat meraba setiap gerakan lawan, mendadak ia berseru: "Bagus!”

Ternyata sebelah tangannya sudah menanti lebih dulu pada arah yang hendak dituju Cin Yak-leng jadi si nona seperti masuk jaring sendiri. Waktu ia merasakan ancaman bahaya dan hendak melompat mundur, namun sudah terlambat, tahu2 ia sudah kena dibekuk oleh si nenek.

Sekaligus Cin Yak-leng diangkat dan dikempit oleh si nenek. "Hm, tak terduga kau juga mahir satu-dua jurus!”

jengeknya. Karena Hiat-to dan urat nadinya terjepit. meronta sedikit saja darah terasa bergolak dan sakitnya tidak kepalang, terpaksa Yak leng tak berani berkutik lagi dan pasrah nasib.

Gerak serangan kedua orang tadi berlangsung. dengan sangat cepat, hanya sekejap saja Cin Yak-leng sudah tertawan oleh si nenek, sama sekali Soat Peng-say tidak sempat memberi pertolongan, apalagi saat ini sebenarnya Peng-say juga tidak sanggup menolongnya.

"Soat Peng-say," kata si nenek, "anggaplah kau seorang jantan sejati yang tidak takut mati, tapi adikmu adalah seorang nona yang lemah-lembut, tidak seperti orang lelaki yang tahan siksaan. Maka sekarang juga kuharap kau mendengarkan rintihan sebelum ajalnya.”

Mana sanggup Soat Peng-say menyaksikan begitu saja Cin Yak-leng disiksa. ia menjadi murka dan meraung: "Kami memilih cara mati cepat saja.”

"Ingin mati dengan cepat, boleh, tapi juga tidak cukup hanya dengan sepatah katamu saja," kata Liok-ma dengan tertawa ter-kekeh2.

Seperti domba yang akan disembelih, terpaksa Soat Peng-say bertanya dengan sikap yang minta dikasihani, "Harus bagaimana lagi?”

"Harus coba melayani cambukku barang seratus jurus.!”

kata Liok-ma. "Seratus jurus" Mungkin sepuluh jurus saja tidak sanggup!" demikian pikir Soat Peng-say.

Lantaran dengan mudah dia ditutuk roboh oleh cambuk Liok-ma, maka Soat Peng-say menjadi kapok dan meremehkan dirinya sendiri. Ia tidak tahu bahwa Siang-liu-kiam-boat sesungguhnya bukan sembarangan iimu pedang, berhasilnya Liok-ma merobohkan dia hanya sekali serang saja adalah karena dia menyergapnya dari belakang, bilamana muka berbadapan muka, sebelum ratusan jurus Liok-ma pasti tidak mampu mengatasinya.

Karena menyangka si nenek sengaja hendak mempermainkan dia. dengan gusar Soat Peng-say lantas berkata: "Mau bunuh boleh lekas bunuh, kenapa engkau sengaja mempermainkan diriku?”

"Huh," jengek Liok-ma, "malam itu tampaknya kau begitu gagah perkasa. kedua tua bangka she Pang dan Kwa itupun teramat tidak becus. hanya satu jurus gabungan pedang ganda saja lantas ketakutan hingga terpaksa melolos senjata, padahalnya, paling2 juga cuma satu jurus itu saja, masakah kau masih ada jurus simpanan?”

Rupanya malam itu ketika Soat Peng say menghadapi Pang Bong-ki dan Kwa Liong berdua, Liok-ma dan Anghay-ji sudah sembunyi di balik pohon maka apa yang terjadi dapat dilihat oleh Liok-ma dengan jelas.

Waktu itu memang betul Soat Peng-say melolos pedang kedua, dengan jurus serangan pedang ganda itulah Pang Bong ki dan Kwa Liong dipaksa mengeluarkan senjata andalan mereka dan sekadar dapat menyelamatkan diri.

Bilamana Soat Peng-say melancarkan lagi jurus serangan kedua, pasti Pang Bong-ki dan Kwa Liong akan mandi darah. Akan tetapi Soat Peng-say bukan orang yang kejam, urusan apapun selalu diselesaikan secara baik2, asalkan Pang Bong-ki dan Kwa Liong mau mundur teratur, maka iapun tidak ingin melukai mereka, jadi bukannya tidak mempunyai jurus "simpanan" sebagaimana dikatakan si nenek tadi.

Namun Peng-say juga tidak membantahnya meski diolok2 bahwa dia tidak mempunyai kepandaian lain, katanya kemudian: "Numpang tanya, apakah sekarang aku sudah boleh memainkan ilmu pedangku?”

"O, ya, aku sampai lupa, sudah kuduga kau bukan orang yang lemah, masa takut menghadapi cambukku" Ternyata memang betul, bukanlah kau tidak mau, tapi tidak dapat,”

lalu si nenek berpaling kearah Ang-hay-ji dan berseru: "Coba ambilkan sebotol Leng-ju-coan!”

Diam2 Peug-say merasa heran, kalau benar si nenek akan membunuhnya, buat apa mesti banyak urusan lagi, apakah dia tidak kuatir kulari setelah minum Leng ju-coan”

Tidak lama datanglah Ang-hay-ji dengan berlari membawakan sebotol Leng-ju-coan.

"Air ini berkhasiat membangkitkan tenaga dan menambah semangat, setelah kau minum sebotol, Hiat-to yang terganggu akan pulih seperti semula," demikian kata Liok-ma.

Soat Peng-say menerima dan membuka tutup botol, tanpa sangsi ditenggaknya hingga habis, Sejenak kemudian ia coba mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga.

Sebelum ini, bila sedikit mengerahkan tenaga, Kin-siok-hiat yang tertutuk itu lantas kesakitan, tapi sekarang rasa sakit itu hampir tidak terasa lagi. Waktu dia mengatur napas lebih lanjut, dalam waktu singkat Kin-siok-hiat itu tiada halangan lagi dan sembuh sama sekali hanya dengan sebotol Leng-ju-coan saja.

Dengan lancarnya Kin-siok-hiat, Soat Peng-say dapat mengerahkan tenaga murninya ke seluruh tubuhnya, kini dapatlah dia memainkan ilmu pedangnya atau Ginkangnya tanpa halangan apapun.

Segera Liok-ma berkata pula: '"Siau Tho, pergi kekamar senjata. bawakan kedua pedang Soat-kongcu kemari.”

Ternyata Liok-ma juga sungkan2 sekarang dan menyebut Peng-say dengan 'Soat-kongcu".

Diam2 Peng-say membatin pantas kedua pedangnya hilang, kiranya diambil dan disimpan mereka.

Tidak lama kemudian Siau Tho sudah kembali dengan membawa sepasang pedang. Liok-ma menyuruhnya menyerahkan kepada Soat Peng-say.

Sudah tentu Sau Kim-leng tidak tahu apa maksud tujuan si nenek, tapi mereka menduga Liok-ma pasti ada perhitungan. kalau tidak, jika menuruti wataknya yang keras, sejak tadi tentu anak muda itu sudah dibunuhnya, masakah perlu buang tenaga mengajaknya bertanding segala. Setelah memegang senjata yang biasa dipakainya, Soat Peng-say merasa mantap, seumpama sekarang akan mati terbunuh juga berharga, paling sedikit kan masih dapat melawan dan tidak mati konyol.

Lalu Liok-ma berkata pula: "Siau Tho, bawa nona Soat kesana.”

Mereka menyangka Cin Yak-leng benar2 adik kandung Soat Peng say, sama sekali mereka tidak tahu bahwa Cin Yak-leng cuma omong asal omong saja, mana dia she Soat segala. Kepandaian Siau Tho masih cetek, dia kuatir tidak mampu mengatasi Cin Yak-leng. maka waktu menyingkirkan nona itu, lebih duiu ia tutuk Ciang-bun-biat sehingga nona itu jatuh pingsan. Habis itu ia memondong Yak-leng dan mundur ke samping Sau Kim-leng.

Terdengar Liok-ma memberi pesan lagi: "Bilamana Soat-kongcu ingin kabur, sekali hantam boleh kau hancurkan batok kepala nona Soat!”

Sau Tho mengiakan.

Tindakan ini sungguh amat keji. Kecuali Soat Peng-say tidak menghiraukan mati hidup Cin Yak-leng lagi, kalau tidak, biarpun dia dapat mengalahkan Liok-ma tetap tidak daptt menyelamatkan Yak-leng, betapapun dia tetap tak dapat pergi begitu saja.

Peng-say bertekad akan menempur si nenek dan berharap akan timbul keajaiban. Jika dia suruh lari sendirian dan meninggalkan Cin Yak leng, jelas hal ini tidak sudi diperbuatnya. Bilamana keajaiban bisa timbul, tentu mereka berdua ada harapan akan hidup, kalau tidak, biarpun mati dalam pertempuran juga tidak sia2 lagi.

Segera Peng-say bertanya: "Apakah disini kita bertempur?”

Cambuk kulit Liok-ma terbelit di pinggangnya, begitu dilepaskan, "tar, tarr", segera ia mengayun cambuknya beberapa kali, ia menyingkirkan meja-kursi yang berdekatan sehingga bagian tengah terluang beberapa meter persegi.

"Cukup luas tidak?" tanya si nenek dengan ketus.

-ooo0dw0ooo- = Apa maksud tujuan Liok-ma mengajak bertanding seratus jurus dengan Soat Peng say”

= Ada hubungan apa antara ilmu pedang tangan kiri Soat Peng-say itu dengan keluarga Sau yang terkenal sebagai aliran Pak-cay itu”

= Benarkah Soat Peng-say anak Tio Tay-peng”

= Bacalah jilid selanjutnya = -ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar