Jilid 3
Kini ditanah pekuburan yang luas dan sunyi ini hanya terdapat mereka berdua saja, meski Siau-gi tidak takut diperlakukan kasar oleh pemuda baju hitam itu, tanpa terasa timbul juga rasa cemasnya.
Dilihatnya pemuda baju hitam itupun membawa beberapa ikat Gin-coa (kertas sembahyang), tampaknya memang benar hendak berziarah. Malahan kertas sembahyang itu lantas ditaruhnya pada sisa abu yang baru dibakar Siau-gi itu, maka sejenak kemudian kertas itupun terjilat bara dan mulai berkobar.
Orang membakar kertas sembahyang di makam ayahnya, meski Siau-gi menduga orang tidak bermaksud baik, hanya ingin mendekati dia dan mengajak ngobrol saja, tapi apapun juga dia tak dapat menolak, Pikirnya; "Seingatku ayah tidak mempunyai kenalan pemuda begini, tanpa sebab dia membakar kertas sembahyang kemakam ayah, dia pasti mempunyai sesuatu maksud tujuan.”
Tapi pemuda baju hitam itu tidak cuma membakar kertas sembahyang saja, bahkan ia lantas berlutut didepan makam Beng Si-hian dan menyambah tiga kali dengan khidmat.
Perbuatan ini membuat Siau-gi melenggong, apalagi dilihatnya cara memberi hormat pemuda itu sedemikan khidmatnya, sedemikian tulusnya, mau-tak-mau Siau-gi merasa terharu, cepat ia berdiri dan balas memberi hormat dan sambil berkata: "terima kasih atas kedatangan anda berziarah kemakam mendiang ayahku. Mohon tanya siapakah nama anda yang mulia agar Siaulicu (anak perempuan kecil) tahu cara bagaimana harus menyebut anda." Pemuda baju hitam itu berbangkit, iapun memberi hormat, lalu berkata: "Nona Siau-gi, engkau sudah pangling padaku?”
Kembali Siau-gi melengak, dalam benaknya terlintas lagi perasaan seperti sudah kenal orang, akan tetapi betapapun juga dia memang tidak ingat lagi bahwa pemuda ini taklain-tak-bukan ialah Soat Peng-say, si kacung yang pernah dilihatnya lima tahun yang lalu.
Hal inipun dapat dimaklumi selama lima tahun ini mereka sudah sama-sama tumbuh besar, lebih2 Soat Pengsay, perawakannya sekaran tinggi besar, kekar gagah, sama sekali berbeda daripada bentuk kacung dimasa lalu, pantaslah kalau Siau-gi pangling padanya.
Sebaliknya Soat Peng-say sebenarnya juga pangling pada Beng Siau-gi. Banyak perubahan pada diri si nona, sekalipun Siau-gi berjalan lalu didepannya juga tak dikenalnya lagi. Sebabnya Peng-say mengetahui nona ini ialah Beng Siau-gi adalah ketika nona itu keluar kota, Peng-say mendengar percakapan dua penduduk Pakkhia yang menyatakan keheranannya mengapa cucu tunggal Bengloyacu pagi-pagi keluar kota sendirian.
Kebetulan saat itu Soat Peng-say juga akan keluar kota, mendengar keterangan itu, hatinya tergerak, segera ia tanya lebih jelas nona mana yang dimaksudkan sebagai Beng Siau-gi, cucu Beng-loyacu yang termashur itu.
Maksud tujuan Soat Peng-say keluar kota adalah untuk menunaikan cita-cita Tio Tai-peng. Rupanya Tio Tai-peng merasa menyesal lima tahun yang lalu telah membunuh Beng Si-hian, maka sekarang setelah Soat Peng-say tamat belajar dan hendak berpisah, ia lantas memberi pesan agar setiba di Pakkhia hendaklah Soat Peng-say berziarah ke makam Beng Si-hian dan bersembahyang baginya.
Baru semalam Soat Peng-say sampai di Pakkhia, ia sudah mencari tahu dimana makam Beng Si-hian, maka pagi-pagi hari ini dia akan menuju kesana. Siapa tahu Beng Siau-gi terlebih pagi daripada dia dan keluar kota lebih dulu.
Dari keterangan yang diperoleh, Peng-say hanya tahu kuburan Beng Si-hian terletak diluar pintu gerbang Kongan-mui, tempatnya yang tepat belum diketahui, ia pikir akan mencarinya nanti jika sudah tiba ditempat tujuan.
Maka ketika diketahui Beng Siau-gi berjalan didepan, ia lantas menyusulnya dengan maksud hendak tanya letak makam ayah si nona.
Ketika dia berhasil menyusul Siau-gi, dilihatnya si nona sedemikian cantiknya, seketika ia menjadi kikuk dan tak dapat omong sehingga menimbulkan prasangka Siau-gi.
Kemudian ia coba menyapa, tapi timbul pula rasa kuatirnya bilamana si nona mengetahui dia adalah murid pembunuh ayahnya, maka dia tidak berani bicara terus terang akan maksud kedatangannya, dia hanya bertanya satu kaliamat yang sama sekali tiada artinya.
Sekarang si nona menanyakan namanya, setelah raguragu sejenak, akhirnya ia menjawab terus terang: "Nona Siau-gi, aku. . . . aku Soat Peng-say. . . .”
"Soat Peng-say", nama ini mana bisa dilupakan Siau-gi”
Begitu mendengar nama ini, segera teringat olehnya anak muda yang pernah mendekapnya lima tahun yang lalu.
Seketika muka Siau-gi bersemu merah dan berseru; "Ahh, kiranya engkau ini Soat-toako!”
Soat Peng-say tidak menduga si nona tidak marah padanya, sebaliknya malah memanggilnya "Soat-toako", ia menjadi girang, katanya pula dengan tersenyum; "Nona Siau-gi, kiranya engkau masih ingat pada namaku.”
Beng Siau-gi tidak memperhatikan rasa likat atau jengah meski memanggil pemuda itu sebagai "Toako", maklumlah, tutur kata dan tindak-tanduk Soat Peng-say yang baik dimasa dahulu itu telah berkesan mendalam dalam lubuk hatinya untuk menghormatinya sebagai toako.
Dipandangnya lengan kanan Soat Peng-say yang utuh tanpa cacat itu, Siau-gi bertanya dengan tertawa; "Kemudian cara bagaimana engkau meloloskan diri dari cengkeraman Okjin (orang jahat) itu?”
Terkesiap juga Soat Peng-say oleh pertanyaan ini, tapi ia berlagak seperti bergurau dan menjawab; "Aku tidak meloloskan diri, kuangkat dia sebagai guru!”
Siau-gi tidak percaya sedikitpun, ia menggeleng dan berkata; "Apabila kau angkat guru kepada Okjin itu, mustahil lengan kananmu masih dapat dipertahankan.”
Dari sebutan "Okjin" yang ber-ulang2 terlontar dari mulut si nona, Peng-say tahu dendam Siau-gi terhadap gurunya sangat mendalam, maka dirinya se-kali2 tidak boleh mengakui benar-benar telah menjadi muridnya.
Dengan tertawa ia lantas berkata; "Ditengah jalan aku pura-pura ingin buang air, dia melepaskan aku waktu kumasuk hutan untuk buang air, kesempatan itulah kugunakan untuk kabur.”
Keterangan yang sederhana ini ternyata dipercaya penuh oleh Beng Siau-gi, katanya dengan tertawa; "Memang sudah kuduga, engkau pasti dapat meloloskan diri dari cengkeraman Okjin itu.”
Gurunya sendiri ber-ulang2 disebut orang sebagai "Okjin", sudah tentu hati Soat Peng-say merasa tidak enak.
Tiba-tiba terdengar Siau-gi berkata pula dengan menghela napas; "Entah tinggal dimana sekarang Okjin itu"!”
Peng-say sengaja balas bertanya, "Kau ingin mencari dia?”
Tampak Siau-gi mengertak gigi penuh rasa dendam, jawabnya; "Mengapa tidak" Sudah tiga tahun kakek membawaku berkelana di Kangouw, namun sedikitpun tidak mendapat kabar beritanya, barangkali Okjin itu sudah mampus.”
Kalimat terakhir itu sangat menusuk perasaan Soat Pengsay, ia tersenyum getir dan bertanya, "Lalu mau apa bila kalian dapat menemukan dia?”
Siau-gi memandang Soat peng-say sekejap, ia meragukan apa maksud pertanyaan anak muda itu.
"Tentunya hendak menuntut balas bagi ayahmu,”
sambung Soat Peng-say setelah berdehem pelahan.
"Ya, sudah tentu, sakit hati kematian ayah sedalam lautan, kakek telah mengajarkan segenap ilmu pedangnya dan membawaku mencari Okjin itu, tujuannya adalah agar aku dapat menuntut balas dengan tanganku sendiri.”
Sungguh tak tersangka anak perempuan secantik bidadari begini dapat mengucapkan kata2 segarang ini. Diam-diam Peng-say merasa ngeri, tapi iapun tidak enak untuk membujuknya, teringat olehnya dahulu ia sendiri pernah berkata kepada si nona bahwa selama gunung tetap menghijau jangan kuatir tiada kayu bakar. Arti dari kata-kata itu adalah isyarat bahwa untuk menuntut balas masih cukup waktunya dan tidak perlu ter-buru2.
Dan sekarang apakah dirinya dapat membujuknya pula”
Tentu juga tidak boleh lantaran Tio Tai-peng telah menjadi gurunya, lalu ia menyuruh si nona jangan menuntut balas kematian ayahnya”
Se-konyong2 Siau-gi pasang kuping mendengarkan dengan cermat, lalu berkata; "He, siapa itu yang datang, begitu kencang dia melarikan kudanya"!”
Soat peng-say juga sudah mendengar suara kuda lari itu, katanya dengan tertawa; "Kita berziarah, dengan sendirinya masih ada orang lain juga ingin berziarah.”
"Soat-toako," kata Siau-gi dengan tersenyum manis, "Terima kasih atas kedatanganmu yang khusus bersembahyang di makam ayahku ini.”
Belum habis ucapannya, dari persimpangan jalan sana seorang penunggang kuda tampak membedal kudanya kearah sini dengan gugup, begitu melihat Siau-gi dari jauh orang muda itu lantas berteriak; "Beng-sumoai, lekas pulang, lekas. . . . .”
Dengan gelisah orang itu melarikan kudanya kedepan kuburan terus melompat turun, dengan napas ter-engah2 ia berseru pula; "Suhu dan Cin. . . . Cin-susiok, mereka. . .
.mereka sudah habis semuanya. . . . .”
"Bagaimana persoalannya, Ci-suheng, hendaknya kau bicara pelahan dengan lebih jelas." tanya Siau-gi dengan kuatir.
Anak muda ini adalah murid Kay Hiau-thian, dia mengembus napas, lalu bertutur; "Pagi-pagi tadi, kira-kira tidak lama setelah Sumoai pergi, di rumah kedatangan dua orang perempuan, yang satu berusia agak tua, seorang lagi mungkin belum ada dua puluh umurnya, begitu datang yang muda itu lantas menyatakan hendak berkenalan dengan Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng. Kebetulan Cin-susiok datang dan memergoki kejadian itu, maka Cinsusiok lantas melayani pihak penantang. Siapa tahu, belum.
. . .belum sampai sepuluh jurus, Cin-susiok lantas dikalahkan. . . .”
Siau-gi berkerut kening, pikirnya: "Meski Cin-susiok baru lima tahun belajar pedang dengan kakek, tapi sudah mendapatkan segenap keahlian kakek, masa tidak sampai sepuluh jurus sudah dikalahkan orang?”
"Kemudian Suhu juga turun kalangan," tutur pula anak muda tadi, "tapi. . . .tapi beliau juga. . . .juga tidak sanggup bertahan sampai sepuluh jurus. . . . .”
"Kay-supek juga kalah?" Siau-gi menegas dengan terkejut.
Anak muda itu meng-angguk2, katanya dengan sedih; "Cin-susiok masih ada harapan untuk hidup, tapi Suhu telah meninggal karena terluka parah.”
Selama lima tahun ini Beng Eng-kiat telah mengajarkan intisari Gway-hoat-kiam-hoat kepada Kay Hiau-thian.
Latihan selama lima tahun dengan tekun telah banyak menambahkan kemahiran Kay Hiau-thian dalam hal ilmu pedang itu sehinga jauh berbeda daripada kepandaiannya lima tahun yang lalu, siapa tahu dalam sepuluh jurus iapun dikalahkan orang, hal ini benar-benar membuat Beng Siau-gi terkejut, sebab biarpun ilmu pedangnya sekarang memang lebih banyak memperoleh petunjuk khusus dari kakeknya, tapi juga tidak selisih banyak dibandingkan kepandaian Kay Hiau-thian.
Setelah berhenti sejenak, lalu anak muda tadi berkata pula dengan menangis: "Suhu sudah meninggal, tiada orang lagi yang sanggup menghadapi tantangan perempuan muda itu, terpaksa. . . terpaksa Suco (kakek guru) dipanggil. . . . .”
"Dan kakek telah mengalahkan perempuan muda itu?”
tanya Siau-gi dengan tegang.
Namun anak muda itu menjawab dengan menggeleng kepala. "Apa benar begitu"! Kakek juga tidak sanggup melawannya"!" jerit Siau-gi, hampir-hampir ia tidak percaya kepada keterangan anak muda murid Kay Hiau-thian itu.
"Sebenarnya Suco dapat mengalahkan perempuan muda itu." tutur orang itu. "Tapi baru bergebrak belasan jurus, perempuan setengah baya yang datang bersama perempuan muda itu lantas berteriak menyuruh yang muda mundur, dia sendiri lantas maju untuk menghadapi Suco. Meski perempuan setengah baya itu memainkan ilmu pedang yang sama dengan perempuan muda, bahkan dia cuma bertangan satu, namun ilmu pedangnya jauh lebih tinggi daripada yang muda. Melihat gelagatnya tidak menguntungkan Suco, diam-diam kami berunding dan aku disuruh memanggil Sumoai supaya lekas pulang. . . .”
Sampai disini, hati Beng Siau-gi menjadi cemas dan gelisah seperti dibakar, cepat ia menceplak keatas kudanya dan dibedal ke kota secepat terbang.
Soat Peng-say lantas menyusulnya dengan kencang.
Tidak berapa lama, Soat Peng-say telah ikut Beng Siau-gi sampai diruangan berlatih keluarga Beng, terlihat disitu sudah berkurumun anak murid angkatan kedua, salah seorang melihat pulangnya Beng Siau-gi dan segera berteriak; "Itu dia Sumoai sudah pulang!”
Be-ramai2 semua orang lantas memberi jalan. Tertampaklah tiga sosok tubuh yang bermandi darah bersandar pada tiga buah kursi besar, seorang diantaranya adalah Beng Eng-kiat sendiri. Sambil menjerit Siau-gi terus menubruk kesana.
Melihat cucu perempuan satu2nya sudah pulang, Beng Eng-kiat sedikit membuka kelopak matanya yang terasa berat itu, ucapnya dengan lemah; "Siau-gi, kem. . . kembali Siang-liu-kiam. Ing. . . .ingat kakek dan ayahmu sama-sama mati dibawah Siang-liu-kiam. . . .Siang-liu-kiam dan keluarga Beng kita mempunyai dendam kesumat yang sukar diukur, kau harus. . . .harus. . . ." karena lukanya terlalu parah, suaranya hampir tak terdengar lagi.
Dengan menahan air mata duka, dengan suara pelahan Siau-gi berkata; "Siau-gi tahu, Yaya (kakek), Siau-gi pasti akan menuntut balas, akan kubunuh habis setiap musuh yang bisa memainkan Siang-liu-kiam-hoat!”
Mulut Beng Eng-kiat setengah terpentang, seperti mau bicara apa-apa lagi, tapi napasnya sudah terlalu lemah, sekali terhembus, mangkatlah dia.
Air mata Siau-gi berderai, jeritnya melengking: "Yaya, Yaya. . . . .”
Tapi sang kakek tidak bergerak lagi, sang kakek tak dapat mendengar lagi suaranya. Tidak kepalang sedih Beng Siau-gi, ia menangis ter-gerung2 sambil mendekap mayat sang kakek. Peng-say berdiri dibelakang Siau-gi, ia dapat mendengar semuanya, ia merasa heran siapakah perempuan bertangan satu yang juga mahir Siang-liu-kiam-hoat itu. Siapakah dia sebenarnya”
Suara tangis Beng Siau-gi masih tergerung hinga menggema ruangan seluas itu, para anak murid angkatan kedua juga ikut mencucurkan air mata, hampir Soat Pengsay juga ikut meneteskan air mata, ia mengusap matanya yang basah dan berusaha menghiburnya: "Nona. . . .nona Siau-gi, janganlah engkau terlalu berduka, engkau masih harus menyelesaikan banyak urusan.”
Tapi Siau-gi tidak menggubrisnya dan masih terus menangis. Dia benar-benar teramat berduka, satu2nya anggota keluarganya yaitu sang kakek sekarangpun meninggal, tentu saja dia sangat sedih dan kalau bisa ingin ikut mati saja.
Peng-say menghela napas, ia tahu membujuk lagi juga tiada gunanya, dengan muram ia mendekati kursi yang lain, dilihatnya menelentang orang yang disebut "Cin-susiok" itu.
Kiranya Cin-susiok yang dimaksudkan ini bukan lain daripada Siauya yang dulu pernah dilayani Soat Peng-say, yaitu Cin Siau-hoay, putera kesayangan gubernur militer kota Pakkhia. Sejak Peng-say dibawa pergi oleh Tio Tai-peng, setelah Beng Eng-kiat pulang, lalu Cin Siau-hoay datang lagi memohon agar diterima menjadi murid jago tua itu. Karena Cin Siau-hoay memang mempunyai perawakan dan bakat yang bagus, pula putera pembesar berkuasa setempat, terpaksa Beng Eng-kiat menerimanya.
Selama lima tahun ini banyak juga pelajaran yang diperoleh Cin Siau-hoay, cuma sayang, sebelum tamat belajar dia sudah dikalahkan oleh seorang perempuan yang lebih muda daripada dia.
Hanya luka Cin Siau-hoay saja yang tidak begitu gawat, namun begitu iapun tak sadarkan diri, setengah badannya bagian kiri tampak berlepotan darah, jelas tulang pangkal lengan kirinya tertabas luka.
Segera Soat Peng-say memondong tubuh Cin Siau-hoay, iapun tidak pamit kepada Beng Siau-gi, hanya berpesan sekedarnya kepada salah seorang murid angkatan kedua keluarga Beng, lalu dibawanya pergi.
Diluar Soat peng-say menyewa sebuah kereta kuda dan menyuruh kusir lekas membawanya kerumah gubernur.
Letak istana gubernur itu dibagian tengah kota Pakkhia, gedungnya megah dan halaman luas.
Setiba didepan istana, Peng-say memondong Cin Siauhoay turun dari kereta. Terharu juga sejenak Soat Peng-say memandangi gedung megah yang telah ditinggalkan lima tahun lamanya itu.
Segera ia melangkah kepintu gerbang yang bercat merah itu. Dengan sendirinya penjaga tidak kenal dia lagi, tapi kenal Cin-siauya yang dipondongnya, tanpa tanya lebih jelas penjaga itu lantas berlari kedalam untuk melapor.
Sekejap kemudian pintu gerbang lantas terpentang dan berbondong menyongsong keluar serombongan orang perempuan, yang paling depan adalah seorang nyonya tua bertongkat, begitu melihat cucu lelakinya yan berada dalam pangkuan Soat peng-say seperti orang mati, segera ia berteriak dan menangis; "O, anak Hoay. . . .Anak Hoay. . .
." Cepat Peng-say setengah berlutut dan berkata; "Thayhujin (nyonya tua), luka Siauya tidak terlalu parah, lekas mengundang tabib saja untuk mengobatinya.”
Mendengar cucunya tidak berbahaya, cepat si nenek memberi perintah; "Cin Hok, lekas panggil tabib!”
Seorang hamba tua mengiakan dan berlari pergi. Seorang hamba yang muda dan kuat lantas memondong Cin Siauhoay dari pangkuan Soat Peng-say.
Nyonya tua itu meng-amat2i Soat Peng-say sejenak, lalu bertanya; "Siapa she yang terhormat engkoh cilik ini, terima kasih atas kebaikanmu yang sudi mengantar pulang Siauhoay. Siapakah yang melukai dia?”
"Pengganas yang melukai Siauya itu entah kabur kemana, aku. . . .”
Belum habis Soat Peng-say bertutur, salah seorang Siocia (puteri) yang berdiri disamping si nenek yang sejak tadi selalu mengawasi Soat Peng-say, mendadak berseru: "He, kau ini Soat Peng-say"!”
Sudah lima tahun Soat Peng-say menghilang dan sekarang muncul mendadak, tentu saja para pelayan yang mengitari Lohujin sama terkejut.
"Kau. . . .kau benar Peng-say?" tanya nyonya tua itu dengan suara rada gemetar.
"Thayhujin, hamba memang betul Soat Peng-say yang pergi selama lima tahun itu," jawab Peng-say sambil memberi hormat.
Nyonya tua itu rada terguncang perasaannya, katanya: "Ke. . . .kemana saja kau selama ini, kami mencari kau ubek2an dan menyangka kau telah diculik orang, aku menyesal karena tak dapat memenuhi pesan keponakan perempuanku itu.”
Kiranya ibu Soat Peng-say adalah keponakan nyonya tua keluarga Cin, yaitu ibu Cin Ci-wan, nenek Cin Siau-hoay.
Waktu Soat Peng-say berumur sepuluh, ibunya sakit berat dan membawanya mondok dirumah keluarga Cin.
Tidak lama setelah berada disini, ibu Soat Peng-say meninggal. Oleh karena Soat Peng-say adalah anak haram, anak yang dilahirkan diluar perkawinan, ibunya malu untuk memberitahukan kepada orang lain bahwa Peng-say adalah anak kandungnya, tapi mengakui Peng-say sebagai anak seorang sahabatnya. Sebab itulah setelah ibu Peng-say meninggal, keluarga Cin tidak menganggap Peng-say sebagai sanak famili sendiri dan juga tidak dapat memandangnya sebagai kaum budak, maka dia disuruh meladeni Cin Siau-hoay sebagai kacung pribadinya.
Hanya Cin-lohujin saja diam-diam mengetahui Soat Peng-say adalah anak kandung keponakan perempuan sendiri dari perkawinan tidak resmi, tapi ia pun tidak enak untuk bicara terus terang, maka membiarkan anak muda itu menjadi kacung pribadi cucu kesayangannya.
Cin Siau-hoay sendiri sejak kecil sudah kehilangan ibu, yaitu mati pendarahan waktu ibunya melahirkan adik perempuannya, Cin Yak-leng.
Ci-lohujin yang mendidik dan membesarkan Cin Siauhoay dan Cin Yak-leng. Karena Siau-hoay adalah keturunan lelaki satu2nya, dengan sendirinya dia sangat disayang oleh sang nenek.
Lima tahun yang lalu, setelah Cin Siau-hoay lari pulang dari tempat Beng Eng-kiat, kemudian diketahui Soat Pengsay tidak ikut pulang. Esoknya keluarga Cin baru mengirim orang mencari dan menanyai keluarga Beng tentang diri Soat Peng-say. Tapi waktu itu keluarga Beng lagi sibuk mengurusi kematian Beng Si-hian, supaya tidak tambah repot, maka jawaban Kay Hiau-thian adalah tidak tahu.
Setelah dicari kian kemari tetap tidak ketemu, terpaksa keluarga Cin menganggap Peng-say hilang diculik orang.
Kejadian inipun membuat Cin-lohujin berduka sampai sekian lamanya. Kini melihat anak muda ini pulang dengan selamat, bahkan sudah tumbuh tinggi besar begini, tentu saja nyonya tua ini sangat girang dan menegurnya dengan nada setengah mengomel.
Dengan hormat Soat Peng-say kemudian berkata: "Thayhujin, diluar sini angin sangat kencang, silakan masuk saja, didalam nanti hamba akan menjelaskan.”
Dengan dipapah dayangnya Cin-lohujin lantas masuk keruangan dalam, sudah tentu Soat Peng-say tidak menceritakan pengalamannya dengan sungguh-sungguh, melainkan mengarang sekedarnya bagi nyonya tua itu.
Waktu Peng-say bertutur, Siocia yang mengenali Soat Peng-say tadi, yaitu Cin Yak-leng selalu menatap Peng-say dengan sorot matanya yang bening tajam se-akan2 hendak menembus hati anak muda yang bersuara itu.
Belum lagi Soat Peng-say habis berbohong, tampak datanglah seorang tabib tua, Cin-lohujin lantas sibuk menanyai keadaan luka cucunya sehingga tidak tanya lebih lanjut pengalaman Peng-say, seorang pelayan dipesannya agar mengatur tempat pondokan anak muda itu.
Petangnya ter-gesa2 Cin Ci-wan pulang dari kantornya, syukur luka Cin Siau-hoay tidak berbahaya, lengan kiri tidak sampai terkutung, tulang lengan juga tidak remuk, kalau dirawat sebulan dua bulan tentu akan sembuh.
Maka legalah hati Cin Ci-wan, ia panggil Soat Peng-say untuk ditanyai kejadian sampai terlukanya Cin Siau-hoay.
Secara ringkas Peng-say bercerita. Karena dia sendiri tidak hadir pada waktu itu. ia pun tidak terlalu jelas bagaimana terjadinya, yang diketahuinya adalah Cin Siau-hoay bertanding pedang dan dilukai seorang perempuan muda.
Cin Ci-wan tahu pertarungan antara orang Kangouw tak dapat dituntut dengan undang-undang negara. andaikata mengirim petugas untuk menangkap si pengganas juga sukar menemukannya. Diam-diam ia bersyukur puteranya tidak sampai terbunuh oleh perempuan muda itu. Kalau gurunya saja yang jagoan itupun terbunuh, maka boleh dikatakan sangat beruntung jiwa puteranya tidak ikut melayang. Malamnya sehabis makan, Peng-say berjalan-jalan sendirian ketaman bunga dibelakang rumah. Waktu makan, dengan cerita bohongnya iapun memenuhi sekedar pertanyaan Cin Ci-wan tentang pengalamannya selama menghilang lima tahun.
Malam ini bulan sabit tampak menghiasi angkasa nan kelam. Pada musim semi ini semuanya serba segar, Soat Peng-say mencium bau bunga yang harum, semangatnya terangsang, sambil menyusuri jalan kecil mengitari taman sembari merenungkan lagi ilmu pedang yang telah dipelajarinya dengan tekun selama lima tahun ini.
Ia terkadang mendongak memandangi bulan diangkasa, lain saat berkomat-kamit sambil menggerakkan kaki dan tangannya, orang yang tidak tahu bisa mengira dia orang sinting. Selagi lupa daratan, tiba-tiba didengarnya suara tertawa ngikik orang perempuan. Seketika Soat Peng-say terkejut, cepat ia berpaling dan siap siaga sambil membentak; "Siapa itu?”
Waktu tangkai tetumbuhan tersiah, muncul seorang siocia yang cantik.
Legalah hati Peng-say setelah mengenalinya, ucapnya dengan tertawa; "Kiranya Siocia.”
Siocia ini ialah Cin Yak-leng. Katanya; "Jika diriku lantas tidak menjadi soal bukan?”
"Maksudku asalkan bukan orang luar yang menerobos ketaman ini." jawab Peng-say.
"Memangnya dikala berlatih pedang kau kuatir diintip orang?" ujar Yak-leng dengan tertawa.
"Mana. . . mana kulatih pedang segala?" jawab Peng-say dengan gugup. "O, ya, Siocia, kepulangan hamba sekali ini antara lain bermaksud meminta kembali kepada Siocia buku 'Siang-jing-pit-lok' yang pernah Siocia ambil itu.”
"Siang-jing-pit-lok apa" Aku tidak tahu?" jawab Cin Yak-leng sambil menggeleng.
"Yaitu buku yang pernah Siocia ambil ketika bermain kekamar hamba dulu," kata Peng-say pula dengan cemas, "Kan Siocia sudah mengakui mengambil buku itu dan tidak mau mengembalikan padaku, katanya Siocia akan baca dulu, setelah melatihnya baru akan dikembalikan padaku.
Sekarang urusannya sudah berselang tujuh tahun, hamba yakin Siocia sudah berhasil melatih isinya dengan baik, maka kuharap sudilah Siocia mengembalikannya padaku.”
Cin Yak-leng mengerut kening dan berkata; "Ai, bicaramu tidak karuan, pakai Siocia dan hamba segala! Kau juga bukan kaum budak sungguh-sungguh, mengapa nadamu berbau budak"!”
Muka Peng-say menjadi merah, ucapnya; "Tapi aku. . .
.melayani kakakmu dan menyebut kakakmu sebagai Siauya, dengan sendirinya kupanggil engkau sebagai Siocia, kalau tidak bagaimana harus kupanggil?”
"Kau lebih tua dua tahun daripadaku, boleh kau sebut aku adik Leng saja dan aku pun akan memanggil kau kakak Peng, nah, kau setuju?”
"Eh, mana boleh jadi!" seru Peng-say sambil menggoyang tangannya, "Mana hamba berani, Engkau adalah Siocia terhormat, sedangkan aku. . . .aku. . . . .”
"Kau adalah putera bibi Soat, kan bukan kaum budak dan juga bukan orang luar," kata Yak-leng.
"Dar. . . darimana kau tahu?" tanya Peng-say dengan hati tergetar.
"Sesungguhnya nenek juga keterlaluan, sudah tahu asal-usulmu, mengapa tidak mau mengakui kau sebagai cucu keponakannya, tapi membiarkan kau menjadi pesuruh kakak," kata Yak-leng dengan gegetun.
"Masa Thayhujin juga tahu?" tanya Peng-say.
"Tentu saja tahu, kalau nenek tidak tahu, darimana pula kutahu?" ujar Yak-leng dengan tertawa.
Soat Peng-say menjadi sedih, ucapnya dengan muram; "Seumpama beliau hendak mengakui diriku juga tiada dasarnya, cara bagaimana nenekmu dapat mengakui diriku sebagai cucu keponakannya" Nenekmu she Soat, ibuku she Soat dan akupun she Soat, bisakah nenekmu mengakui aku sebagai cucu keponakannya?”
"Masa. . . .masa kau benar-benar tidak tahu she ayahmu?" tanya Yak-leng dengan tergagap.
Peng-say menggeleng, jawabnya; "Siocia, harap engkau jangan menanyai asal-usulku, silakan kembalikan saja buku itu.”
"Lagi2 Siocia segala," omel Yak-leng, "Baiklah, terserah cara bagaimana kau akan memanggil diriku. Tentang buku”
Maaf, Siociamu tidak pernah mengambilnya!”
Cepat Peng-say memberi hormat dan berkata; "Siocia yang baik. . . .eh, salah, adik Leng yang baik, kembalikanlah bukuku.”
"Nah, begini baru pantas," ujar Yak-leng dengan tertawa.
"Tapi tidak ada aturan sang kakak memberi hormat kepada adik perempuannya. Kakak Peng, aku mengakui pernah mencuri Siang-jing-pit-kip itu. Sebenarnya waktu itu juga akan kukembalikan padamu, tapi kaupun setuju setelah berhasil kulatih isinya baru akan kukembalikan, sayang sekarang belum berhasil kulatihnya, maka harap ditunda lagi beberapa tahun.”
Sudah tentu Peng-say tahu si nona sengaja mempersulit, kembali ia memberi hormat dan berucap; "Adik Leng yang baik, kitab itu bukan milikku sendiri, waktu ibuku akan meninggal, beliau meninggalkan pesan agar kukembalikan buku itu kepada pemiliknya bilamana aku berusia dua puluh, sekarang aku tepat berumur dua puluh, pesan ibuku itu harus kulaksanakan. Maka kumohon dengan sangat, janganlah engkau mempersulit kakak Peng, tidak mungkin kau belum melatihnya, harap kembalikan saja padaku.”
"Ck, ck-ck! Kasihan! Rasanya aku menjadi rikuh kalau tidak kukembalikan," ucap Cin Yak-leng sambil ber-kecek2, "Cuma aku memang tidak melatih isi kitab itu, bila kukembalikan begitu saja rasanya tidak rela. Bagaimana kalau kita main tukar barang saja?”
"Tukar barang bagaimana"!" tanya Peng-say dengan terkejut. "Adik Leng yang baik, memangnya apa yang kau kehendaki dariku?”
Ia pikir waktu ibu meninggal hanya meningalkan satu jilid Siang-jing-pit-lok dan satu biji mutiara Pi-tun-cu, dia minta tukar barang lain, jangan-jangan yang diincar adalah mutiaraku ini" Apalagi anak perempuan pada umumnya tentu suka pada batu permata, tanpa terasa ia lantas meraba tempat menyimpanan mutiara mestika itu se-akan2 kuatir mendadak mutiara itu akan direbut oleh Cin Yak-leng.
Sudah tentu si nona dapat merasakan gerak-gerik Pengsay itu, ia tertawa ngikik, katanya; "Kau ini, sejak kecil sudah kuperhatikan dirimu, barang apa yang kau miliki akulah yang paling tahu. Apakah kau kuatir kuminta tukar dengan mutiaramu yang berwarna merah itu?”
Soat Peng-say tidak sempat pikir cara bagaimana si nona bisa mengetahui dirinya memiliki sebiji mutiara yang selalu tersimpan dalam bajunya, maka ia hanya menggeleng dan menjawab; "Jika mutiara ini yang ingin kau tukar, maka jelas tidak boleh jadi. Mutiara ini adalah satu2nya benda tinggalan ibuku.”
"Jangan pelit, memangnya kau kira aku mengincar mutiaramu?" kata Yak-leng dengan tertawa. "Padahal akupun tidak suka mutiara, jika suka sudah kucuri sejak dulu." "Manabisa kau curi." ucap Peng-say tidak percaya.
"Kitab itu memang selalu kutaruh dikamar sehingga tak dapat kujaga, tapi mutiara ini selalu kubawa, cara bagaimana kau akan mencurinya?”
"Apanya yang sulit?" ujar Yak-leng. "Suatu hari pernah kuintip kau mandi. . . .”
Sampai disini cepat ia berhenti. Urusan pribadi ini mana boleh diceritakannya. Meski waktu itu usianya masih kecil, tapi anak perempuan mengintip anak lelaki mandi, betapapun hal ini bukan perbuatan yang terhormat, apalagi sekarang sudah besar, kalau diceritakan kan terasa malu.
"Ah, kiranya kau mencuri pada waktu kumandi, Wah, berbahaya. Untung bajuku jarang kutinggalkan diluar kamar mandi. Kalau tidak, demi melihat mutiara ini sangat menarik, tentu sudah kau ambil.”
Diam-diam Yak-leng bersyukur anak muda itu tidak menyinggung persoalan mengintip orang mandi, sikap kikuknya menjadi tenang kembali, dengan tertawa ia berkata pula; "Tapi pernah dua kali kuambil, tapi aku tidak tertarik, maka kutaruh kembali pada tempat semula.
Padahal kalau aku menaksirnya, tentu sudah lama kuambil dan kusembunyikan.”
"Tapi tetap berbahaya juga." ujar Peng-say. "Bila bajuku selalu kutanggalkan diluar kamar mandi, mungkin satu dua kali kau ambil mutiara itu dan merasa tidak tertarik, namun pada akhirnya bisa jadi kau akan tertarik, lalu mengambilnya dan takkan dikembalikan padaku untuk selamanya.”
"Huh, kau kira aku ini orang serakah" Kalau ambil barang orang lain lantas tidak mau mengembalikannya?”
omel Yak-leng. "O, tentu kau kembalikan, tentu, seperti sekarang juga akan kau kembalikan Siang-jing-pit-lok itu kepadaku," ujar Peng-say dengan tertawa.
"Tidak, kalau tidak ditukar barang dengan barang, takkan kukembalikan," kata Yak-leng.
"Adik Leng yang baik, barang apa yang ingin kau tukar, asalkan bukan mutiara merah ini, apapun kuberikan." kata Peng-say dengan setengah memohon.
Yak-leng menjadi girang, segera ia menegas; "Apa betul?" "Tentu saja betul," jawab Peng-say tanpa ragu. Ia pikir dirinya toh tidak mempunyai barang lain lagi yang dapat ditukarkan. Dengan tertawa senang Cin Yak-leng lantas berkata; "Sebelum kulatih isi kitab pusaka itu, sungguh aku tidak rela mengembalikannya kepadamu, asalkan kau tukar dengan mengajarkan ilmu silat lain padaku, maka akan kukembalikan kitabmu itu.”
Peng-say terkejut, ucapnya; "Ganti dengan ilmu silat lain"! Dari. . .darimana kupunya ilmu silat lain segala”
Dalam kitab Siang-jing-pit-lok itu terisi macam-macam Kungfu, baik Lwekang, Ciang-hoat dan Am-gi, semuanya tertulis lengkap. Memangnya ilmu silat apa yang kau harapkan dariku?”
"Memang betul, sudah kubaca kitab Siang-jing-pit-lok itu, disitu memang tercatat lengkap pelajaran Kungfu sebagaimana kau sebut tadi, kalau mau melatihnya memang sangat mudah, cuma sayang, disitu tiada terdapat pelajaran Kungfu bersenjata, sedangkan mengenai senjata, pedang adalah pangkalnya segala macam senjata, kalau mau belajar tentu kupilih ilmu pedang, makanya. . . .”
Makin tegang Peng-say mengikuti ucapan si nona hingga akhirnya dia seperti mau menangis, katanya; "Ai, adik Leng yang baik, kaupun tahu ilmu silatku kupelajari dari kitab Siang-jing-pit-lok itu masa kau anggap aku ini ahli pedang.
Kau sendiri bilang didalam kitab itu tiada terdapat pelajaran ilmu main pedang, aku. . . akupun tidak pernah belajar ilmu pedang lain. . . . .”
Ia kuatir si nona yang bandel dan jahil itu akan merecokinya lagi, sedangkan ilmu pedangnya dengan tegas telah diperingatkan oleh Tio Tai-peng bahwa selain puteranya sendiri, biarpun murid juga tak boleh diajari, apalagi orang luar. Bila larangan ini dilanggar dan ketahuan, maka tiada ampun lagi.
Sebab itulah dia tetap menyangkal pernah belajar ilmu pedang. Cin Yak-leng menatap Peng-say tajam-tajam, biji matanya yang bening terang itu se-akan2 sedang berkata; "Hm, di depanku juga kau berdusta!”
Peng-say menelan air liur sekedar menenangkan perasaan tegang orang yang suka bohong. Lalu berkata pula; "Terhadap ilmu yang tercantum dalam kitab Siang-jing-pit-lok itu memang cukup banyak pengetahuanku.
Begini saja, akan kuajari kau Kungfu yang terdapat didalam kitab itu, setuju?”
Tapi Cin Yak-leng menengadah dan menggeleng, jawabnya; "Untuk ini, kitab itu kan berada padaku, kalau mau dapat kulatih sendiri. Kukira besok bolehlah kita mulai berlatih, tujuh tahun saja cukup. Nah, kakak Peng, tujuh tahun lagi pasti akan kukembalikan Siang-jing-pit-lok itu!”
"Akan. . . .akan tetapi. . . ." Peng-say menjadi gugup.
"Tidak ada tetapi segala." ujar Yak-leng sambil menarik muka. "Jika ingin ambil kembali kitab itu sekarang, boleh, asalkan ditukar seperti permintaanku tadi. Ini sudah menjadi keputusan nona, tidak ada tawar menawar.”
Melihat kenakalan si nona yang sukar diajak berdamai itu, Peng-say menjadi kelabakan, serunya; "Tapi aku benar-benar tidak paham ilmu pedang apa-apa.”
Yak-leng tertawa, tanyanya; "Jika begitu, coba jawab, untuk apa kau membawa dua bilah pedang yang tajam luar biasa?" "Da. . . .darimana kau tahu?" jawab Peng-say dengan tercengang.
"Biasa, entah mengapa aku memang suka memperhatikan dirimu secara diam-diam, lebih2 setelah berpisah selama lima tahun, hampir sudah asing terhadap dirimu, maka aku harus mempelajari betapa banyak perubahan dirimu selama lima tahun ini. Tadi, waktu kau bersantap bersama ayah, diam-diam kugerayangi rangsal yang kau bawa, ingin kucari sesuatu yang sekiranya menarik bagiku. . . .”
"Ai, mengapa kau selalu suka menggeledah barangku diluar tahuku." kata Peng-say sambil menggeleng, "Untung kau. . . . .”
Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa lanjutannya dia pasti akan bilang; "Untung kau bukan isteriku, jika punya isteri seperti kau, maka runyamlah Soat Peng-say.”
"Kan sudah kukatakan, sudah kebiasaan," kata Yak-leng pula, "Kebiasaan sejak kecil itu memang sukar berubah.
Namun begitu akupun sangat memahami dirimu, misalnya kau suka menaruh barangmu dimana, cara bagaimana kau melipat pakaianmu, semua itu akupun tahu dengan jelas.
Apabila hal2 seperti itu ada perubahan luar biasa, itu menandakan pikiranmu tidak tenteram. Juga lantaran terbiasa kuperhatikan setiap gerak-gerikmu serta tutur katamnu, maka segera pula kudapat mengetahui kesalahan apa yang kau lakukan atau sedang berdusta. . . . .”
Diam-diam Peng-say terperanjat, pikirnya; "Wah, jadinya kau ini orang macam apa?”
Padahal biarpun ibu Soat Peng-say sendiri juga belum tentu lebih memahami pribadinya daripada Cin Yak-leng.
"Dan baru tadi, kulihat sifatmu hampir tiada perubahan sama sekali, baik melipat pakaian, bicara, gerak-gerikmu, semuanya serupa dulu kau pada lima tahun yang lalu dan kau pada saat sekarang, bedanya cuma tubuhmu bertambah tinggi besar dan membuatku pangling, selain itu boleh dikatakan tiada bedanya. Tadi kau telah berdusta dua hal, betul tidak" Tidak perlu kau menyangkal, soalnya aku sudah teramat memahami dirimu. Dustamu yang pertama adalah karanganmu mengenai pengalaman selama lima tahun menghilang itu. Dusta yang kedua, kau membohongi aku bahwa kau tidak mahir ilmu pedang, padahal menurut pandanganku serta perkiraanku, selama lima tahun ini tentu kau bersembunyi disuatu tempat dan belajar ilmu pedang yang maha lihai dengan seorang kosen. Kau ingin bukti bukan" Sederhana sekali. Kalau kau tidak belajar ilmu pedang kelas tinggi dengan orang kosen, tentu kau takkan komat-kamit dan ber-gerak2 sendirian waktu ber-jalan2 ditaman tadi. Ini membuktikan kau selama lima tahun ini tidak pernah lalai menyelami intisari ilmu pedang yang tinggi itu dimana dan kapanpun juga.”
Karena rahasianya telah dipecahkan orang dengan tepat dan jelas, apapula yang dapat dikatakan Soat Peng-say”
Terpaksa ia menyerah dan berkata; "Ya, memang, semuanya persis apa yang kau katakan.”
"Nah, setelah kubongkar dustamu, syarat tukar menukar tadi kau terima tidak?" tanya Yak-leng dengan tertawa.
"Tidak!" jawab Peng-say sambil menggeleng.
Sekali ini si nona tidak dapat memahami lagi jalan pikiran Soat Peng-say. Jawaban anak muda yang tegas dan ketus itu telah melukai harga diri si nona.
Maka senjata kaum wanita yang utama lantas muncul, yaitu air mata, meneteslah air mata Cin Yak-leng.
Sejak kecil Peng-say paling takut bila Yak-leng menangis.
Sekarang meski si nona tidak mengeluarkan suara tangisan, tapi air matanya yang tak bersuara itu terlebih lihai daripada tangis yang berwujud.
Sekarang ia menjadi kelabakan. Untuk menerima permintaan si nona tidak mungkin. Jika berkeras menolak, rasanya tidak tega.
Dalam keadaan serba susah ini, sungguh dia berharap akan datang penolong yang dapat menghindarkan dia dari kesulitan ini. Baru timbul pikiran ini, Thian telah memenuhi harapannya. Mendadak terdengar bentakan keras seorang; "Budak busuk, akhirnya kutemukan juga kau!”
Mendengar suara bentakan yang mirip benda pecah itu, seketika pucat wajah Cin Yak-leng. Cepat ia mengusap air mata dan bersembunyi ke belakang Soat Peng-say sambil berkata dengan gemetar; "Kak. . . .kakak Peng, kau. . . .kau harus menolong diriku. . . . .”
Segera Peng-say membusungkan dada dan berseru kearah datangnya bentakan tadi; "Siapa itu" Silakan keluar untuk bicara!”
"Siapa lagi, kakekmu!" jawab si suara seperti bende pecah itu. Baru lenyap suaranya, seperti badan halus saja tahu-tahu segulung benda putih muncul didepan Peng-say.
Inilah seorang kakek buntak berjenggot putih panjang, berjubah sulaman huruf Hok (rejeki) didepan dada, pakai kopiah batok semangka, melihat potongan tubuhnya lebih mirip hartawan kampungan. Akan tetapi mukanya yang bersungut itu sama sekali tiada tanda-tanda riang seorang hartawan, hanya air mukanya yang bersungut dan menakutkan inilah masih membuat orang ber-pikir2 kalau berhadapan dengan dia, kalau tidak, anak kecil saja berani menggodanya.
Pada waktu Peng-say hendak berpisah dengan Tio Taipeng, oleh gurunya itu telah diceritakan beberapa gembong iblis yang disegani didunia Kangouw serta bentuk tubuhnya yang khas. Dan kakek buntak sekarang ini paling gampang dikenalinya, segera ia memberi hormat dan menyapa; "Eh, kiranya Pang Bong-ki, Pang-loyacu.”
"Ehm, cucu yang baik, kenal juga kau kepada kakekmu,”
ujar Pang Bng-ki sambil berdehem.
Peng-say tidak marah meski orang menarik keuntungan atas dirinya dengan kata-kata, yaitu menganggap dirinya sebagai kakek Peng-say. Ia pikir, usiamu memang jauh lebih tua, jika kau menjadi kakekku juga sepadan. Maka ia bertanya pula; "Pang-loyacu ada keperluan apa berkunjung kesini?”
Sorot mata Pang Bong-ki yang tajam itu menyapu muka Cin Yak-leng yang sedang mengintip dari belakang Pengsay itu, lalu katanya dengan ter-kekeh2; "Hehe, budak busuk, apa gunanya kau sembunyi dibelakang seorang lelaki?" Merasa ada sandaran, meski belum jelas sandarannya itu mampu membelanya atau tidak, dengan nakal Yak-leng lantas mencibir kepada kakek buntak itu dan menjawab; "Bola semangka, mulutmu hendaklah cuci bersh sedikit, kau tahu siapa dia" Dia ini kakakku.”
Alangkah mesranya dia menyebut "kakakku" sehingga Peng-say merasa "sreg" didalam hati. Dalam keadaan demikian, biarpun persoalan ini bakal mencabut nyawanya juga dia tidak peduli.
Pada umumnya manusia suka sirik bila ciri lahiriahnya diperolokkan. Sekarang Cin Yak-leng menyebut si kakek buntak yang tubuhnya memang gemuk bundar dan cebol itu sebagai "bola semangka", tentu saja alis Pang Bong-ki lantas berjengkit, dengan murka ia mendamprat; "Budak busuk, kau berani kurang ajar padaku" Akan kurobek tubuhmu menjadi dua keping!" Habis berkata segera ia hendak mencengkeram nona itu.
Sudah tentu Peng-say tidak tinggal diam, cepat ia menangkis, katanya dengan tertawa; "Sabar Pang-loyacu, ada urusan apa boleh bicara saja baik-baik.”
Sekali gebrak saja bagi kaum ahli akan segera mengetahui pihak lawan berisi atau tidak. Maka Pang Bong-ki lantas menarik kembali tangannya dan menyurut mundur ketempatnya semula, ia pandang Soat Peng-say dan berpikir; "Tampaknya bocah ini jauh lebih lihai darpada adik perempuannya.”
Tapi ia lantas menjengek; "Cucu yang baik, jika kau tahu nama kebesaran kakekmu ini, tentunya kaupun tahu nama julukanku didunia Kangouw.”
Agar sesuatunya dapat diselesaikan dengan damai, Soat Peng-say menjawab dengan tertawa; "Usia adik perempuanku masih muda dan tak tahu urusan sehingga membikin marah engkau, untuk itu kuharap kemurahan hatimu agar sudi mengampuni dia sekali ini.”
"Mengampuni dia sekali ini?" teriak Pang Bong-ki. "Hm, tidak boleh jadi! Kakek berjuluk 'Kin-kin-kek-kau' (satu katipun dipersoalkan, artinya satu peser saja dihitung).
Melulu sebutannya padaku yang kurang ajar itu sudah cukup menghukum mati dia, apalagi dia telah membuntungi tangan muridku.”
Yak-leng lantas menjengek, "Siapa suruh muridmu itu berkelakuan jahat dan tangannya berani sembarangan menggerayang. Hm, dasar setali tiga uang, guru yang tak karuan tentu mengeluarkan murid yang tidak genah. Si cebol tidak nanti melahirkan anak jangkung!”
Rupanya murid Pang Bong-ki juga seorang pendek.
Padahal dia paling benci jika orang menyinggung tentang kecebolannya, karuan ia lantas berteriak dan hendak mencengkeram si nona pula.
Cepat Peng-say mencegah lagi dan berkata; "Nanti dulu, Pang-loyacu, bolehkah kutanyai sebentar adik perempuanku?”
"Hm, cucu lelaki memang berbeda daripada adik perempuannya," jengek Pang Bong-ki. "Mengingat sikapmu yang sopan-santun ini, biarlah kuberi kesempatan hidup padanya sebentar lagi.”
Segera Peng-say menarik Cin Yak-leng kesamping, lalu betanya dengan suara tertahan; "Adik Leng, sesungguhnya apa yang terjadi?”
"Untuk apa bertanya!?" seru Yak-leng. "Pendek kata, tangan muridnya itu memang pantas ditabas.”
"Adik Leng," ucap Peng-say dengan tertawa, "Kabarnya murid Pang Bong-ki itu juga orang jahat, seorang bandit yang biasa malang melintang didunia Kangouw, ilmu silatnya juga tidak lemah, bahwa kau dapat menguntungi tangannya, sungguh kejadian tidak sederhana.”
Muka Yak-leng menjadi merah, katanya dengan tergagap; "Ah, itu. . .itupun kebetulan saja, Thian yang memberkati diriku sehingga berhasil menabas buntung tangannya.”
= Sebab apa sehingga Cin Yak-leng membuntungi tangan murid Pang Bong-ki itu”
= Darimana puteri gubernur militer ini belajar Kungfunya”
= Siapakah kedua perempuan yang membunuh Beng Eng-kiat dan kedua muridnya”
-ooo0dw0ooo- "Ah, kenapa adik Leng rendah hati," ujar Peng-say, "Sekarang kedudukan kita sama satu satu, aku berdusta, kaupun telah berdusta.”
"Aku. . . . aku berdusta apa?" tanya Yak Leng dengan melengak.
"Kau membohongi aku, katanya tidak pernah melatih ilmu yang tercantum didalam Siang-jing-pit-lok itu, hal ini tidak betul, bukan?" kata Peng-say dengan tertawa.
Terpaksa Yak-leng menunduk dan tak dapat menjawab, ucapnya kemudian: "Kau mau membantu aku tidak?”
"Sudah tentu kubantu kau, biarpun kepala akan dipenggal juga takkan kubiarkan kakek itu mengganggu seujung rambutmu," jawab Peng-say tegas, "Cuma, kau harus menceritakan duduknya perkara agar aku dapat bicara dengan orang tua itu, jika dia tetap tak dapat diajak bicara secara baik-baik, nah, baru pakai kepalan.”
Yak-leng melirik Peng-say sekejap sambil menunduk, katanya dengan lirih: "Baiklah, takkan kubohongi kau lagi.
Sejak tahun yang lalu sudah berhasil kulatih ilmu yang tercantum didalam kitab pusaka pinjaman itu. Demi mencari dirimu, diluar tahu orang rumah aku keluar dengan menyamar sebagai Suseng pelancongan, yang benar aku ingin menyelidiki jejakmu.”
Pelahan Peng-say memegangi tangan Yak-leng dan si nona ternyata diam2 saja dan melanjutkan ceritanya: "Hampir setahun kucari engkau dan tidak memperoleh kabar apapun. Tapi pada akhir tahun yang lalu kepergok murid Pang Bong-ki, muridnya itu adalah seorang bandit besar, bahkan juga. . . .juga penjahat cabul, entah cara bagaimana penyamaranku dapat diketahuinya, dia pura-pura bersahabat denganku, akupun tidak tahu bahwa dia sesungguhnya dia orang jahat, malahan ingin kutanyai dia kabar berita dirimu, kulihat sikapnya sangat sopan, maka lantas seperjalanan dengan dia. Dia mengira aku mudah ditaklukkan, maka cuma beberapa hari saja kedoknya lantas terbuka. Suatu malam, diam2 dia menyusup ke kamarku, disitulah kukerjai dia, baru saja tangannya terjulur ke balik kelambu segera kutabas. . . .”
Sampai disini ceritanya dia merandek sejenak, mungkin hawa panas yang terpancar dari tangan Peng-say membuatnya tidak tahan, ia meronta dan melepaskan pegangan anak muda itu, hal ini tidak diperhatikan oleh Peng-say, dengan muka merah Yak-leng lantas menyambung: "Sesudah itu barulah bangsat cabul itu mengetahui akupun memiliki kungfu, cepat dia kabur. Habis itu akupun tidak menaruh perhatian atas kejadian itu dan melanjutkan pencarianku padamu. Tapi hari ketiga aku telah disusul oleh bangsat tua she Pang itu, jelas aku bukan tandingan tua bangka itu, syukur Thian melindungi diriku dan aku berhasil lolos, maka terjadilah lari dan kejar, akhirnya kulari pulang kerumah, kukira urusan akan selesai, siapa tahu. . .
." Peng-say mengangguk, katanya: "Pang Bong-ki itu seorang tokoh Kangouw kawakan terkenal pula 'satu peserpun diusut'. Setelah kau tabas kutung tangan muridnya, sekalipun lau lari ke ujung langit juga dia sanggup menemukan kau. Sekarang persoalannya sudah jelas, kita di pihak yang benar, biarlah kubicara secara baikbaik dengan dia. Tapi untuk menjaga segala kemungkinan, harap kau ambilkan kedua pedangku itu. Tanpa pedang jelas aku bukan tandingan kakek itu.”
"Kau, kau harus hati-hati." pesan Yak-leng.
"Jangan kuatir, tanggung tidak menjadi soal." jawab Peng-say dengan tertawa. Lalu ia memutar tubuh mendekati Pang Bong-ki.
"Hayo, budak liar, jangan lari!" segera Pang Bong-ki berteriak demi melihat Cin Yak-leng melangkah kedalam rumah. Peng-say lantas menghadang didepan si kakek, katanya: "Peng loyacu, marilah kita bicara menurut aturan.”
Diam-diam Pang Bong-ki berpikir, disini adalah rumahnya, andaikan budak itu bisa kabur, masa rumahnya bisa berpindah pula, maka tanpa kuatir ia lantas menjawab; "Bicara aturan apa?”
"Pang-loyacu seorang tua yang terhormat dan disegani. .
. ." sampai disini Peng-say sengaja merandek.
"Kalau terhormat dan disegani, lalu ada apa?" Pang Bong-ki menegas, ia pikir anak muda ini pintar juga menjilat pantat, tapi apa gunanya kau menjilat.
Maka terdengar Peng-say telah menyambung: "Tapi nama muridmu. . . .”
"Sudahlah, tidak perlu kau teruskan, kutahu maksudmu,”
potong Pang Bong-ki, "Tindak-tanduk muridku itu memang tidak dapat dipuji, tapi juga bukan sesuatu soal yang perlu direcoki. Dahulu, ketika gurunya masih muda, tindak-tanduk gurunya juga tidak banyak berbeda dari pada dia.”
"Hm, jika begitu, tampaknya memang tidak salah pepatah yang mengatakan tikus tidak melahirkan kucing, kalau gurunya begitu, masakah muridnya bisa lain?" ejek Peng-say.
Anehnya Pang Bong-ki tidak menjadi marah, juga tak malu, ia hanya berdehem lalu berkata: "Ada perbedaan sedikit, betapapun murid tidak dapat lebih unggul dari pada sang guru, dia kurang becus sehingga tangannya ditabas budak itu. Dia malah belum kapok dan memohon padaku agar menangkap si budak untuk dijodohkan kepadanya. Sebenarnya, betapapun juga budak itu akan kurobek menjadi dua keping tapi mengingat dirimu, kuberi kelonggaran padanya, boleh kau suruh adikmu membuntungi sebelah tangannya sendiri, lalu ikut pergi bersamaku dan jiwanya dapat ku-ampuni.”
Melihat orang tak dapat diajak bicara menurut aturan, Peng-say lantas menggeleng dan berkata: "Tidak, hal ini tidak mungkin terjadi.”
"Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak mungkin,”
ujar Pang Bong-ki. "Eh, itu dia, si budak liar itu sudah datang lagi. Kebetulan!”
Betul. Cin Yak-leng sudah muncul pula dengan membawa dua pedang bersarung hitam dan bergaran hitam, untaian benang mainan pada garan pedang itupun berwarna hitam. Peng-say menerima kedua pedang, yang satu disandangnya di punggung, yang lain dipegang dengan tangan kiri. Pang Bong-ki tidak mengganggu selama Peng-say menyandang pedang dan menghunus pedang yang lain pula, habis itu barulah ia menegur dengan tertawa: "EH, kau ingin main senjata denganku?”
"Betul," jawab Peng-say.
"Hahahaha!" Pang Bong-ki bergelak tertawa, "Tak tersangka, baru bertambah memegang dua pedang, sikapmu lantas garang. Baiklah, bagaimana kalau kita pakai taruhan." "Taruhan apa" Aku ikut!" Se-konyong2 sesosok bayangan orang melayang tiba, datangnya hampir berbareng dengan terdengarnya suara.
Pang Bong-ki memandang pendatang itu, lalu berkata: "Kwa-laute, angin apa yang meniup kau kesini?”
Kiranya orang itu juga seorang kakek, cuma tubuhnya tinggi kurus, boleh dikatakan tinggal kulit membalut tulang.
Tubuhnya sudah cukup jangkung, tapi memakai lagi topi yang berujung tinggi, berjenggot panjang seperti jenggot kambing, saking tinggi dan kurusnya, angin meniup saja rasanya dapat menerbangkan dia.
Diam-diam Peng-say terkejut, pikirnya: "Mengapa datang pula iblis ini?”
Ia menoleh, dengan sorot matanya ia ingin bertanya kepada Yak-leng apakah kenal pendatang ini, tapi si nona menggeleng sebagai tanda tidak tahu.
"Angin apa" Serupa kau!" demikian jawab si kakek kurus.
"Kenapa" Muridmu itu. . . . .”
"Muridku telah dirusak oleh budak ini!" sela si kakek kurus sebelum lanjut ucapan Pang Bong-ki, lalu ia melototi Cin Yak-leng dengan sorot mata yang benci.
Segera Yak-leng berteriak: "He, jangan kau sembarangan memfitnah orang. Siapa muridmu, hakikatnya nonamu tidak kenal!”
"Kau tidak kenal?" si kakek kurus menegas. "Coba jawab, sebulan yang lalu, pernahkah kau membutakan mata seseorang?”
"Ahhh!" Yak-leng berseru kaget. Tak perlu ditanya lagi, jelas buah karyanya.
-ooo0dw0ooo-