Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 02

Jilid 2

Habis berkata tanpa menunggu persetujuan Kay Hiauthian ia lantas menjulurkan tangannya, Mestinya Kay Hiauthian tidak mau memberikan pedangnya, sebab ia tahu putera tunggal sang guru ini sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Diluar dugaan gerakan tangan Beng Si-hian ternyata cepat luar biasa, baru saja ia terkejut tahu-tahu pedangnya sudah berpindah ketangan Beng Si-hian.

Melihat cara Beng Si-hian merebut pedang itu terbelalaklah sinar mata sibaju hitam serunya sambil tertawa, "Hahaha, hebat sekali! Beng Eng-kiat tidak dirumah bertemu dengan anaknya juga boleh.”

Beng Si-hian memegang pedang dengan ujung menjurus miring kebawah, ia pandang sibaju hitam dengan lekat-lekat katanya, "Asalkan anda dapat mengalahkan diriku, maka tidak perlu lagi bertemu dengan ayahku.”

"Hm, konon Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng kalian disebut ilmu pedang yang tak terkalahkan." jengek sibaju hitam.

"Dapatkah mempertahankan nama baik itu kukira bergantung pada pertarungan ini!" jawab Beng Si-hian.

"Kau benar-benar berani mewakili ayahmu?" tanya sibaju hitam dengan kereng.

"Cayhe sudah belajar pedang selama lebih dua puluh tahun dengan ayah, kuyakin sudah memperoleh seluruh inti ilmu pedang ayahku, dengan sendirinya kuberani mewakili beliau." jawabnya Beng Si-hian tegas.

"Bagus!" seru sibaju hitam, "Jika begitu boleh kita bertanding dengan baik.”

Habis berkata ia kempit pedang ditangan kiri itu dibawah ketiaknya, lalu mengeluarkan satu utas benang hitam, rambutnya yang panjang terurai itu diikatnya dengan baik agar tidak tersebar bilamana mulai bertempur, sebab hal ini akan mengganggu pandangannya.

Beng Si-hian juga tidak berani gegabah, ia menanggalkan jubah luar sehingga kelihatan baju dalam yang putih.

Putrinya yang kecil Beng Siau-gi, lantas menyodorkan sepotong kain sutera untuk mengikat baju dalam sang ayah yang panjang itu.

Kay Hiau-thian tercengang menyaksikan keprihatinan kedua orang yang siap tempur itu. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa Beng Si-hian telah belajar ilmu pedang selama dua puluh tahun lebih dengan ayahnya. Sedangkan dirinya yang menjadi murid tertua belum lagi ada dua puluh tahun belajar kepada sang guru.

Ia tidak paham mengapa gurunya merahasiakan urusan ini, jelas Beng Si-hian belajar Bun pada siang hari dan malam hari diam-diam belajar ilmu pedang dengan ayahnya. Sebab itulah orang luar tiada satupun yang tahu, sejauh itu Beng Si-hian dianggap sebagai Suseng yang sepanjang hari membaca melulu didalam kamar.

Setelah kedua orang meringkasi tubuh masing-masing, lalu kedua orang berdiri muka berhadapan muka, suatu pertarungan sengit segera akan mulai.

Agar kelihatan adil, dengan tegas sibaju hitam memberitahu, "Beng-kongcu, lengan kananku ini adalah lengan palsu terbuat dari tembaga, Hal ini perlu kuberitahukan lebih dulu.”

"Terima kasih atas penjelasan anda," jawab Si-hian sambil mengangguk.

Padahal pertandingan diantara ahli silat tidak boleh selisih atau lengah sedikitpun, jika sebelumnya Beng Si-hian tidak tahu lengan kanan sibaju hitam adalah lengan palsu buatan tembaga, kalau pedangnya menabas kesitu dan dia mengira akan kena sasarannya dan menang, maka mungkin dia akan lena dan kesempatan itu dapat digunakan oleh sibaju hitam untuk balas menyerangnya.

Tapi sekarang setelah ciri sibaju hitam dikatakan terus terang, tentu Beng Si-hian takkan berbuat kesalahan begitu, dia tidak perlu lagi menghiraukan lengan kanan lawan.

Baru sekarang juga pemuda perlente tadi baru mengerti apa sebabnya sibaju hitam tidak terluka ketika kena tabasan pedang kayu Kau Giok-ki tadi, Pikirnya, "Ternyata benar lengan buatan logam besi sebagaimana kuduga. Aneh juga, kalau begitu sibaju hitam ini hanya memiliki sebuah tangan, mengapa memakai dua pedang?”

Kalau si pemuda perlente ini heran, tentu saja orangorang lain juga mempunyai pikiran serupa. Tanpa terasa mereka sama memandang pedang yang tersandang dipunggung sibaju hitam dan sama bertanya dalam hati, "Entah cara bagaimana dia menggunakan pedang cadangannya itu?”

Hanya Beng Si-hian saja yang tidak memusingkan pedang lain yang masih tersandang dipunggung sibaju hitam, pertarungan bisa terjadi setiap saat, sedetikpun ia tak berani lengah.

Begitulah kedua orang berdiri berhadapan, sampai sekian lamanya tiba-tiba, lengan kanan Beng Si-hian sedikit bergerak. Saat itu pedang yang selalu dipegang tangan kiri sibaju hitam masih tersimpan disarungnya, begitu Beng Si-hian bergerak secepat kilat pedang itupun dilolosnya. Tapi lantaran tangan kanannya tangan palsu sehingga tidak dapat membantu ketika pedang itu terlolos seketika, sarung pedang lantas terlempar kesamping.

Belum lagi sarung pedang itu jatuh kelantai, dalam sekejap itu sibaju hitam sudah melancarkan tiga kali serangan dengan cepat luar biasa. Orang yang kurang tinggi ilmu silatnya, jangankan menangkis, membedakan arah gerakannya saja sukar.

Si pemuda perlente tadi menjerit kaget, disangkanya BengSi-hian pasti akan mengalami nasib serupa Kau Giokki dan Nge Yu-heng. Diluar dugaannya Beng Si-hian dapat menyelinap lewat dibawah taburan bayangan pedang sibaju hitam. Sampai Kay Hiau-thian sendiripun mengira riwayat Beng Si-hian pasti akan tamat, siapa tahu Beng Si-hian tetap tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa. Malahan segera melancarkan serangan balasan, cepatnya juga tak terperikan. Ditengah kalangan hanya tertampak bayangan putih dan bayangan hitam saling bergumul, tak terlihat siapa yang sedang menyerang dan jurus ilmu pedang apa yang digunakan. Keruan Kay Hiau-thian melongo. Samar-samar dia memang dapat membedakan ilmu pedang yang dimainkan Beng Si-hian juga Gway-hoat-kiam-hoat, tapi kalau dibandingkan dirinya, bahkan saja beberapa kali lebih cepat, bahkan juga jauh lebih lihai.

Inilah benar-benar Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng yang tak terkalahkan! Diam-diam Kay Hiau-thian menghela napas gegetun dan mengakui dirinya masih kalah jauh dibandingkan sang Sute. Padahal ia sendiri sudah hampir dua puluh tahun belajar ilmu pedang dan mengira tiada tandingannya lagi, siapa tahu bedanya seperti langit dan bumi bila dibandingkan Beng Si-hian.

Hanya dalam waktu singkat saja entah berapa puluh jurus sudah berlangsung, mendadak terdengar suara keluhan tertahan, ini menandakan salah seorang sudah terluka dan kalah.

Siapakah yang terluka dan siapa yang kalah”

Ternyata sibaju hitam sedang berdiri tegak dengan gagahnya, butiran keringat tampak menghiasi dahinya, sorot matanya yang tajam menatap Beng Si-hian, tangan kirinya tidak lagi memegang satu pedang, tapi dua. Yang satu tetap tergenggam tapi yang lain bergelantung karena diberi tali mengikat antara gagang pedang dan pergelangan tangan.

Rupanya pedang cadangan yang tersandang dipunggungnya itu juga telah digunakan. Bilakah pedang itu dilolos tak diketahui, cuma satu hal dapat dibayangkan yaitu waktu pedang pertama dilepaskan, secepat kilat ia melolos pedang kedua maka terjadilah serangan dua pedang sekaligus.

Agaknya dengan serangan dua pedang sekaligus itulah Beng Si-hian telah dikalahkan. Pada saat sibaju hitam menarik tali pengikat pedang untuk menarik kembali pedang pertama itulah, "bluk", Beng Si-hian jatuh terkapar.

Pada saat Beng Si-hian roboh itulah setiap orang dapat melihat baju dada Beng Si-hian yang putih itu ada luka goresan panjang, darahpun menguncur dari luka itu.

Beng Siau-gi menjerit, menyusul robohnya sang ayah, segera pula ia menubruk keatas tubuh Beng Si-hian, mengangkat tubuh sang ayah, darah masih terus mengalir sehingga membasahi sekujur badan Siau-gi.

Bersandar pada pangkuan putrinya yang kecil itu, sedapatnya Beng Si-hian membuka matanya dan berkata dengan lemah, "Be. . . beritahukan kepada Yaya (kakek), Siang. . . Siang-liu-kiam. . . ." habis ucapan ini iapun menghembuskan napasnya yang terakhir.

Sesaat sebelum meninggal, dia menyesal karena tidak taat kepada pesan sang ayah Beng Eng-kiat. Lantaran gusarnya karena terlukanya kedua Suhengnya, maka ilmu pedang yang dipelajarinya secara rahasia selama lebih dua puluh tahun ditonjolkan, akibatnya dia haris menebus kesalahan ini dengan nyawanya dibawah Siang-liu-kiamhoat (ilmu pedang dua aliran) yang dikuatirkan Beng Engkiat itu. Beng Siau-gi ini kecil-kecil cabai rawit, ia tahu ayahnya sudah meninggal, sang ibu memang sudah wafat, sekarang tertinggal dia sebatang-kara.

Namun dia tidak menangis, ia rebahkan jenazah sang ayah, pedang yang masih tergenggam ditangan ayahnya itu diambilnya, begitu berbangkit segera ia menubruk kearah sibaju hitam yang tampak merasa menyesal itu.

Pada waktu sibaju hitam sedang memasukkan pedang kedua kesarungnya dipunggung, berbareng itu ia pun melompat mundur untuk menghindari terjangan Beng Siaugi. Karena menubruk tempat kosong, segera Siau-gi memutar pedangnya, cepat ia menabas pula dengan jurus serangan Gway-hoat-kiam-hoat yang lihai.

Sungguh hal inipun sama sekali tak terduga oleh Kay Hiau-thian bahwa cucu perempuan sang guru ternyata juga mahir ilmu pedang, bahkan cukup lihai tampaknya.

Sambil mengelakkan serangan Siau-gi tadi, sibaju hitam lantas berjongkok untuk menjemput sarung pedangnya yang terlempar tadi. Akan tetapi dalam sekejap itu pula Beng Siau-gi telah melancarkan sembilan kali serangan, ketika sibaju hitam selesai memasukkan pedang kesarungnya, tanpa terasa iapun sudah mundur sembilan langkah.

Padahal usia Beng Siau-gi baru dua belasan, tapi kelihaian ilmu pedangnya ternyata tidak kalah lihainya daripada Kay Hiau-thian yang telah belajar hampir dua puluh tahun. Diam-diam Kay Hiau-thian merasa malu diri, tapi juga dendam kepada sang guru yang tidak mengajarkan intisari ilmu pedang padanya.

Nyata orang she Kay ini berjiwa sempit, dia tidak sedih atas kematian putra tunggal sang guru, juga tidak turun tangan membantu cucu sang guru satu2nya ini, tapi memikirkan kepentingannya sendiri.

Setelah mengelak belasan kali, lama-lama sibaju hitam mendongkol juga, mendadak ia lolos pedang pertama, sekali sampuk mencelatlah pedang Beng Siau-gi.

Sudah kehilangan pedang, tapi Beng Siau-gi tetap tidak gentar, dengan bertangan kosong dikeluarkannya ilmu kedua andalan keluarga Beng, yaitu Siau-yau-ciang-hoat, dengan cepat ia melancarkan pukulan.

Betapapun sibaju hitam sungkan melayani seorang dara cilik bertangan kosong dengan menghunus pedang, maka ia tidak balas menyerang, ber-turut2 iapun menyurut mundur belasan langkah.

Akhirnya sibaju hitam terdesak mundur sampai pojok dinding, mau-tak-mau ia naik pitam juga, mendadak pedangnya terayun.

Pada saat itulah, si kacung yang berdiri dibelakang pemuda perlente tadi berteriak, "Huh, tidak tahu malu!”

Berbareng ia terus memburu maju. Akan tetapi lantas dilihatnya gerakan pedang sibaju hitam hanya digunakan untuk menggertak Beng Siau-gi saja dan bukannya menyerang benar-benar, rupanya ia sendiri yang salah sangka. Tapi dara cilik itu masih tetap tidak peduli, masih terus menyerang. Si kacung menjadi kuatir kalau sibaju hitam menjadi kalap karena didesak oleh Beng Siau-gi dan bukan mustahil akhirnya bisa turun tangan keji. Maka ia coba melerainya, "Nona cilik, harap berhenti saja.”

Tapi Beng Siau-gi terlalu berduka atas meninggalnya sang ayah yang selama ini menjadi sandarannya dan tidak pernah berpisah, ia sudah kalap dan nekat, maka ia menoleh dan mendamperat kacung itu, "Setan cilik busuk, tidak perlu kau ikut campur!" Sambil bicara pukulannya masih terus dilancarkan.

Terpaksa sibaju hitam berkelit kesana dan menghindar kemari, ia mendongkol dan repot juga, serunya kepada si kacung, "Setan cilik, seret pergi budak cilik ini, kalau tidak, bisa sekali tendang kurobohkan dia.”

Si kacung tahu ucapan sibaju hitam bukan cuma gertak sambal belaka, kalau sudah didesak hingga kepepet, untuk melepaskan diri memang bisa jadi dia menendang sianak dara. Karena kuatir, segera sikacung menubruk maju, kedua tangannya terus menikap ditengah pukulan Beng Siau-gi yang gencar itu, dia berhasil mendekap dara cantik itu dengan erat. Dipeluk oleh seorang anak muda yang cuma beberapa tahun lebih tua daripada dirinya, tentu saja Siau-gi malu dan juga gusar, teriaknya, "Lep. . . .lepaskan aku!”

"Engkau harus sayang pada jiwamu sendiri," jawab sikacung, "Takkan kulepaskan kau jika engkau tidak menurut pada perkataanku.”

Bahwa dirinya disuruh jangan menyerang musuh yang membunuh ayahnya, tentu saja Siau-gi tidak mau menurut.

Ia kerahkan tenaga dan meronta sekuatnya. Ia mengira sekali meronta pasti dapat melepaskan diri, tak terduga sama sekali tidak bergeser dan sikacung masih tetap mendekapnya dengan kencang.

Kejadian ini dapat diikuti sibaju hitam dengan jelas, diam-diam ia terkejut. Dari angin pukulan Beng Siau-gi dapat dinilainya tenaga sidara cilik itu tidaklah lemah, sedikitnya sudah berlatih selama tujuh atau delapan tahun, tapi sikacung terlebih kuat, padahal usianya beru lima belas, kalau tidak berlatih Lwekang sejak lahir rasanya tidak mungkin dapat menahan daya rontakan Beng Siau-gi yang kuat itu.

Malahan sikacung lantas membujuk pula, "Nona cilik, ayahmu gugur dimedan tempur, hal ini tak dapat menyalahkan paman hitam itu. Harus diketahui, bilamana ayahmu menang, paman hitam itupun mungkin akan mati dibawah pedang ayahmu.”

Diam-diam sibaju hitam menggurutu, "Kurang ajar! Sudah jelas setan cilik inipun mendengar keparat itu she Tio, mengapa dia sebut paman hitam, malahan kulit badannya cukup putih. Mungkin karena bajunya serba hitam." Beng Siau-gi tidak menurut bujukan sikacung, ia meronta lagi dua-tiga kali dan tetap tidak dapat terlepas.

Kembali sikacung membujuk lagi, "Asalkan gunung tetap menghijau janganlah kuatir tiada kayu bakar. Nona cilik hendaklah engkau dapat berpikir dengan panjang dan cermat.”

"Bagus kau setan cilik itu, berani menghasut putri Beng Si-hian itu bersabar dulu dan menuntut balas padaku dikemudian hari." demikian sibaju hitam menggerutu pula didalam hati.

Namun dasar wataknya juga angkuh, dia hanya memaki didalam hati saja, pikirnya, "Aku Tio Tai-peng adalah seorang lelaki yang tidak pernah main sembunyi2, setelah kau sibudak cilik ini dewasa boleh saja datang mencari aku lagi, andaikan aku kau bunuh juga aku tidak akan menyesal dan merasa penasaran, asal saja kau mampu.”

Lelaki berbaju hitam ini memang betul Tio Tai-peng yang telah meninggalkan Soat Ciau-hoa dipegunungan Soat-san lima belas tahun yang lalu itu.

Tio Tai-peng adalah anak murid perguruan ternama, kecuali cara kejinya terhadap Soat Ciau-hoa, biasanya dia memang seorang kesatria yang berbudi luhur. Misalnya sekarang menghadapi keluarga Beng, bilamana orang lain mungkin sekali tabas sudah dibinasakan Beng Siau-gi agar tidak meninggalkan bibit bencana dikemudian hari.

Dalam pada itu Beng Siau-gi lagi serba susah, ia memang tidak sanggup melepaskan diri dari dekapan sikacung, hal ini membuatnya putus asa, selain itu ia menyadari apa yang dikatakan sikacung tadi, pikirnya, "Betul juga, bilamana kuadu jiwa dengan musuh sekarang, tentu sia-sia belaka, salah-salah malahan jiwaku bisa ikut melayang, Asalkan aku masih hidup, biarpun sepuluh atau dua puluh tahun lagi juga aku masih dapat menuntut balas padanya.”

Setelah tekad menuntut balas tertanam dilubuk hatinya, ia lantas berkata, "Baiklah, kuturut perkataanmu. . . . .”

Mendengar sidara cilik mau terima bujukannya, segera sikacung melepaskan tangan dan mundur kebelakang.

Maka tidak tahan lagi rasa duka Beng Siau-gi atas kematian ayahnya yang tercinta itu, ia terus memburu ketempat jenazah sang ayah dan mendekapnya dan menangis ter-gerung2, begitu sedih tangisnya sehingga suaranya sangat memilukan.

Tidak lama kemudian, suara tangis Siau-gi semakin lirih, tapi suara sedu-sedannya itu tambah membuat orang terharu, Kay Hiau-thian mendekati dara cilik itu, seperti mau membujuknya tapi juga seperti enggan.

Rupanya orang she Kay ini diam-diam dendam kepada gurunya yang pilih kasih, tapi menghadapi keadaan sekarang, sebagai murid tertua, tentunya dia tak dapat tinggal diam, maka dia sengaja mendekati Siau-gi dengan lagak serba susah, padahal dalam hati menggerutu, "Menangislah, budak busuk, menangislah lebih keras! Kalau kau mati menangis tentu si setan tua tak punya keturunan dan intisari ilmu pedangnya tentu akan diajarkan padaku.”

Melihat Beng Siau-gi menangis sedemikian sedihnya, diam-diam Tio Tai-peng sangat menyesal, ia menyesali pedang kedua sendiri itu hanya dapat digunakan dan tak dapat dikendalikan, asalkan pedang itu menyerang pasti akan membunuh orang. Padahal ia sendiri bukan orang yang gemar membunuh, tentu dia akan memberi jalan hidup bagi Beng Si-hian kalau bisa.

Diam-diam ia menggeleng kepala, ia berdiri ter-mangu2 sejenak, ia masukkan pedang pada sarungnya, lalu melangkah pergi.

Tapi sebelum dia keluar pintu ruangan itu, mendadak si pemuda perlente tadi menyusulnya sambil berseru, "Berhenti dulu, Suhu!”

"Siapa Suhumu"!" jawab Tio Tai-peng sambil menoleh dan melotot gusar.

Pemuda itu lantas menonjolkan nama ayahnya yang berkuasa itu, katanya. "Aku putera Kiu-bun-te-tok di Pakkhia sini.”

"Biarpun kau anak raja juga aku tidak peduli!" jengek Tio Tai-peng.

Tapi pemuda perlente itu tidak menghiraukan ucapan yang bernada mengejek ini, ia memberi hormat dan berkata pula, "Ayahku paling menghormati ahli silat, sewaktu aku masih kanak-kanak ayah sudah berniat mencarikan seorang guru ternama untuk mengajari diriku, cuma sayang. . . . .”

"Ilmu silatmu sekarang sudah lumayan, kurang apa lagi?" dengus Tio Tai-peng pula.

Dia pikir kalau kacungnya saja memiliki Kungfu yang tidak lemah, dengan sendirinya ilmu silat sang majikan pasti lebih hebat. Ini berdasarkan kekuatan sikacung waktu menyikap Beng Siau-gi tadi.

Pemuda perlente itu jadi melengak malah, ia menggeleng dan menjawab dengan tertawa, "Aku belum pernah berguru." Tentu saja Tio Tai-peng tidak percaya, ia tidak tahu bahwa kacungnya bisa ilmu silat sebaliknya pemuda perlente ini memang sama sekali tidak paham ilmu silat, Maka ia mendengus pula, "Barangkali karena belum ketemukan guru pandai maka belum mengangkat guru?”

Cepat pemuda itu mengangguk, jawabnya, "Betul,betul, memang begitulah. Sayang didunia Kangouw ini banyak orang yang bernama kosong belaka, sebab itulah sejauh ini ayah belum menemukan seorang guru yang baik bagiku, akhirnya didengarnya Beng Eng-kiat dikota ini adalah seorang ahli silat.”

"Makanya hari ini ayahmu mengundang ketiga murid Beng Eng-kiat dan menjamunya dengan harapan agar mereka suka bicara didepan sang guru supaya kau diterima menjadi murid, begitu bukan?" jengek Tai-peng pula.

"Ya, terkaan Suhu sangat jitu dan tepat." sahut pemuda itu dengan mengangguk.

Pemuda ini tidak malu sebagai putera seorang pembesar, belum lagi menduduki sesuatu jabatan sudah mahir katakata menjilat dan suka mengumpak.

Namun Tio Tai-peng tidak doyan umpakan, ia tidak suka dipuji, dengan suara keras ia mendamperat, "Jika kau panggil lagi Suhu padaku, bisa kurobek mulutmu.”

Pemuda itu terkejut, cepat ia berkata pula, "Ya, ya, ayahku Kiu-bun-te-tok. . . .”

Tio Tai-peng menjadi gusar, bentaknya, "Jangan kau tonjolkan lagi pangkat ayahmu untuk menggertak padaku! Coba kutanya padamu, kau benar-benar ingin mengangkat guru padaku?”

"Be. . .betul, entah. . . entah Suhu. . .eh salah. Entah. .

.entah Cianpwe sudi menerima diriku atau tidak?" ucap pemuda itu dengan gelagapan dan mem-bungkuk2 badan.

"Melihat perawakan dan tulangmu, kau memang pilihan untuk belajar ilmu silat kelas tinggi." jengek Tio Tai-peng.

Pemuda perlente itu mengira ada harapan, dengan girang ia berkata pula, "Ya, Kay, Nge dan Kau bertiga Suhu juga bilang begitu, mereka telah berjanji pada ayah bahwa guru mereka pasti akan menerimaku.”

"Aha, jika begitu kan sudah beres, tunggu saja pulangnya Beng Eng-kiat nanti, boleh kau angkat padanya," kata Tai-peng.

Si pemuda mengira Tio Tai-peng salah artikan ucapannya tadi, cepat-cepat ia menambahkan, "Tapi Kay bertiga Suhu bilang guru mereka sudah menyatakan tidak menerima murid lagi, namun mereka yakin apabila Beng Eng-kiat melihat diriku, tentu guru mereka akan menarik kembali keputusannya dan menerimaku sebagai murid, inipun membuktikan bahwa diriku memang berbakat bagus untuk belajar ilmu silat.”

Dengan sorot mata dingin Tio Tai-peng memandang sekejap pemuda perlente ini lalu mengangguk dan berkata, "Untuk hal ini kau memang boleh omong besar, kalau Beng Eng-kiat mau menerima kau, maka bolehlah kau belajar padanya dengan senang, tentunya kau tahu Gway-hoatkiam-hoat keluarga Beng. . . .”

"Tidak, tidak!" mendadak pemuda itu menyela.

Tio Tai-peng sangat mendongkol karena orang memotong ucapannya dengan cara tidak sopan, tanyanya dengan kurang senang, "Tidak bagaimana?”

"Beng Eng-kiat juga orang yang bernama kosong belaka.”

ujar pemuda itu.

"Hm, darimana kau tahu?" jengek Tio Tai-peng.

"Coba pikir, jika Beng Eng-kiat bukan orang yang bernama kosong, tentu Gway-hoat-kiam-hoat kebanggaannya takkan dikalahkan oleh ilmu pedang Cianpwe," kata pemuda itu.

"Salah kau," ucap Tai-peng, "Ketidak becusan ketiga murid Beng Eng-kiat memang benar, tapi ilmu pedang Beng Si-hian boleh dikatakan jarang ada bandingannya didunia persilatan, kemenanganku tadi hanya secara kebetulan saja." Segera sipemuda perlente itu mengeluarkan pula Kungfu keturunan keluarganya, yaitu menjilat dan mengumpak, dengan tertawa dia berkata, "Ah, Cianpwe suka rendah hati saja, padahal setiap orang yang melek dapat melihat dengan jelas bahwa ilmu pedang Cianpwe jauh lebih hebat daripada Gway-hoat-kiam-hoat, hanya ilmu pedang Cianpwe saja yang jarang ada bandingannya, bukankah kemenangan Cianpwe boleh dikatakan tiada artinya sama sekali.”

Tio Tai-peng justru seorang yang tidak suka diumpak, dia lantas menjengek, "Hm, jika menurut jalan pikiranmu, bilamana kelak akupun dikalahkan orang lain, tentu kau akan bilang ilm pedangku juga tiada artinya sama sekali.”

"O, tidak, tidak mungkin," seru sipemuda sambil menggeleng-geleng kepala, "Ilmu pedang Cianpwe boleh dikatakan seperti sang surya tinggi ditengah cakrawala, didunia ini tiada Kiam-hoat lain yang dapat mengalahkan ilmu pedang Cianpwe.”

"Jika demikian, jadi kau anggap didunia ini guru yang terbaik hanya aku seorang saja?" tanya Tai-peng.

Pemuda perlente itu mengira jilatannya telah membawa hasil, dengan girang ia menjawab, "Betul, betul, didunia ini hanya engkau saja yang dapat menerima orang berbakat bagus untuk belajar silat seperti diriku ini.”

"Ya, murid yang berbakat bagus pasti diharapkan setiap orang, akupun tidak terkecuali," kata Tai-peng.

Mengira Tio Tai-peng tidak menolak lagi, segera pemuda itu hendak menyembah dan mengangkat guru.

Tapi baru saja sebelah kakinya tertekuk, mendadak Taipeng berseru, "Nanti dulu!”

Pelahan pemuda itu berbangkit dan bertanya, "Apakah Cianpwe ingin bicara tentang syarat mengangkat guru?”

Tai-peng tambah gemas mendengar pemuda itu bicara tentang mengangkat guru dengan syarat, seperti orang jual-beli saja, tapi ia menahan perasaannya dan berkata: "Tentang syarat, tidak perlu. Dengan pengaruh ayahmu, bilamana kuterima kau sebagai murid, tentu harta dan pangkat akan mudah kuperoleh.”

"Ya, ya, sudah tentu," tukas sipemuda dengan girang.

"Memang ayahku. . . . .”

Tapi Tai-peng lantas memberi tanda agar pemuda itu tidak melanjutkan ucapannya yang cuma membikin keki saja, Katanya: "Syarat memang tidak ada, tapi ada satu peraturan yang kutetapkan.”

"Peraturan" Peraturan apa?" tanya pemuda itu.

"Peraturanku tidak sama dengan peraturan perguruan lain yang melarang membunuh, melarang main perempuan dan sebagainya. Asalkan kau jadi belajar padaku, setelah tamat belajar dan keluar dari perguruan, apapun yang akan kau lakukan takkan kupersoalkan.”

"Kebetulan," demikian pikir pemuda itu, "Tanpa larangan dan ikatan apa-apa, tentu aku dapat berbuat sekehendak hatiku. Dengan Kungfuku yang tinggi nanti, siapa yang dapat merintangi aku?”

"Tentang peraturanku," Tai-peng melanjutkan pula, "Yaitu murid harus serupa dengan sang guru.”

"Urusan apa yang harus serupa dengan sang guru?" tanya pemuda itu.

"Bukan urusan, tapi pengalaman," jawab Tai-peng, "Pengalamanku membuatku kehilangan sebelah lenganku, maka muridku biarpun tidak menjalani pengalamanku diharuskan menerima akibat seperti pengalamanku itu.”

Keruan pemuda itu terkesiap, tanyanya, "Jadi maksud Cianpwe hanya orang yang terkutung sebelah lengannya yang boleh mengangkat guru kepada Cianpwe?”

"Betul," jawab Tai-peng dengan ketus, "Jika kau ingin mengangkat guru padaku, lebih dulu mengutungi lengan kanan sendiri.”

Pemuda itu berjingkat kaget dan menyurut mundur.

Tay-peng ter-bahak2 geli, ucapnya, "Hahaha, takut bukan" Jika takut sakit, maka batalkan saja niatmu hendak mengangkat guru padaku.”

Tiba-tiba pemuda itu berpikir peraturan yang dikatakan Tio Tai-peng itu bisa jadi hanya untuk menguji tekadnya saja, untuk menguji kesungguhan hatinya. Mendadak ia tabahkan diri terus bertekuk lutut.

Hal ini diluar dugaan Tio Tai-peng malah, tanyanya, "Eh, kau benar-benar mau mengangkat guru padaku"!”

Dengan mengertak gigi pemuda itu mengangguk, tampaknya sangat mantap dan teguh pendiriannya.

"Baik, jika begitu boleh kau kutungi dulu lengan kanan sendiri!" jengek Tio Tai-peng sambil melolos pedangnya dan dilemparkan kedepan pemuda perlente itu.

Pemuda itu tetap mengira orang hanya ingin menguji tekadnya saja, ia pikir aku harus memperlihatkan tekadku yang sejati, maka tanpa pikir diraihnya pedang itu, diangkat terus menabas kelengan kanan sendiri.

Tindakan ini membuat sikacung tadi kaget setengah mati, cepat ia memburu maju dan memegang tangan kiri sipemuda yang memegang pedang itu sambil berseru, "He, jangan, Siauya (tuan muda)!”

"Minggir sana!" bentak pemuda perlente itu dengan lagak sungguh2, sekuatnya ia hendak melepaskan pegangan sikacung. Betapapun kacung itu masih terlalu muda, masih hijau dan polos, ia tidak tahu sang majikan cuma pura-pura saja, sebaliknya ia memegangnya dengan erat dan tidak mau melepaskannya. Bagi Tio Tai-peng yang sudah berpengalaman, permainan pemuda perlente itu tentu saja tak dapat mengelabui dia, malahan dia mengira sikacung sengaja membantu main sandiwara dengan sang majikan, maka sekali depak ia bikin kacung itu terjungkal.

Kacung itu berdiri membelakangi Tio Tai-peng dan tidak menduga akan didepak, keruan ia terus terpental dan terguling2. Tapi segara kacung itu melompat bangun tanpa mengeluh, cuma dari bajunya mendadak mendadak terjatuh sesuatu benda kecil.

"Setan cilik, memangnya kau perlu ikut main sandiwara!" damperat Tai-peng. Tapi demi mendadak melihat benda yang terjatuh dari baju kacung itu, benda itu sedang menggelinding, ia bersuara heran, segera ia melangkah maju dan dijemputnya benda kecil yang berwarna merah tua itu.

Setelah memegang benda itu, tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, segera ia pandang sikacung dengan melenggong.

Karena benda kesayangannya diambil Tio Tai-peng, sikacung menjadi gelisah, serunya, "Kembalikan mutiaraku!”

"Mutiara ini sangat menarik, jual saja padaku!" kata Tai-peng sengaja.

"Tidak, tidak dijual!" jawab sikacung tegas.

"Seratus tahil perak, kubeli," kata Tai-peng pula.

Kay Hiau-thian ter-heran2 menyaksikan kejadian itu, ia pikir cuma satu biji mutiaran saja masakah berharga seratus tahil perak.

Tapi sikacung sama sekali tidak terpikat oleh tawaran seratus tahil perak itu, ia berteriak: "Sekali kukatakan tidak dijual, tetap tidak kujual, seribu tahil. . . . .”

"Baik, jadi seribu tahil, Nah, inilah uang kertas seribu tahil, barang kuterima dan harga kubayar lunas!" sela Tai-peng sambil mengeluarkan secomot uang kertas dan dilemparkan kepada sikacung.

Kejadian ini juga membikin sipemuda perlente tadi melongo heran, ia pikir biarpun Ya-beng-cu (mutiara bercahaya diwaktu malam) juga tidak laku seribu tahil perak, tapi orang buntung ini berani membayar mutiara anak kecil semahal ini, apakah dia sudah sinting”

Kacung tadi telah memungut uang kertas yang dilemparkan kepadanya itu dan disodorkan kembali kepada Tio Tai-peng, katanya: "Maksudku biarpun seribu tahil atau selaksa tahil juga tidak kujual!”

Bahwa Tio Tai-peng berani membeli sebiji mutiara begitu dengan harga seribu tahil perak, hal ini cukup membuat orang ter-heran2. Sebaliknya anak yang bekerja sebagai kacung ternyata tidak sudi menjual barangnya dengan harga sebagus itu, hal ini membuat orang terlebih heran.

Tio Tai-peng ternyata bukan orang yang tidak kenal aturan, orang tetap tidak mau menjual, maka iapun tidak mau memaksa, ia terima kembali uang kertasnya dan mengembalikan pula mutiara itu, lalu dengan suara halus ia bertanya: "Adik cilik, mengapa mutiara ini tidak kau jual?”

Mendadak mata sikacung menjadi merah dan berkilau, jawabnya: "Inilah satu2nya barang yang dapat membuatku terkenang kepada ibuku." Dengan hati-hati lalu ia menyimpan kembali mutiara itu kedalam bajunya.

Tergerak hati Tio Tai-peng tanyanya pula: "Apakah ibumu sudah meninggal?”

Kacung itu mengangguk.

Tay-peng menghela napas, sikapnya bertambah ramah, tanyanya pula: "Adik cilik, kau she apa?”

Melihat sikap Tio Tai-peng mendadak berubah ramah padanya, sikacung tidak dendam lagi karena dirinya ditendang tadi, ia menjawab: "Aku she Soat.”

Meski sebelumnya Tai-peng sudah dapat menerkanya, tapi demi mendengar kacung itu menjawab she "soat", tanpa terasa ia tetap tergetar seperti mendengar bunyi guntur yang menggelegar.

Kacung itu tidak memperhatikan perubahan air muka Tio Tai-peng, ia terus membalik kesana dan berseru kepada pemuda perlente tadi: "Bangunlah, Siauya!”

"Bukan urusanmu, Soat Peng Say, berdiri dipinggir sana!" kata sipemuda perlente.

Si kacung, Soat Peng Say lantas membujuk; "Siauya, orang she Tio ini bukan orang baik. Dia sendiri buntung, maka dia ingin membalas dendam kepada setiap orang didunia ini. Tidakkah Siauya menyaksikan dia membikin remuk tulang pangkal lengan kanan Kau dan Nge Suhu tadi" Didunia ini tidak mungkin ada orang yang mau menerima murid bertangan buntung, hanya dia saja yang berwatak aneh begini, tampaknya jika dia mempunyai anak lelaki mungkin juga lengan kanan anaknya akan dibikin buntung." "Ngaco-belo!" bentak Tai-peng.

Mendadak Soat Peng-say berpaling, dengan tabah ia bertanya; "Seumpama betul aku ngaco-belo, tapi mengapa kau menghendaki muridmu harus serupa dengan kau?”

Tio Tai-peng memandangi kedua mata Soat Peng-say yang besar itu dengan terkesima, makin dipandang makin dirasakan mata anak muda itu mirip benar dengan matanya sendiri. Demi menghindarkan salah paham Soat Peng-say yang mengira dia mempunyai kelainan jiwa akan menuntut balas kepada setiap manusia didunia ini, maka ia coba memberi penjelasan; "Kau tahu ilmu pedangku adalah Coh-pi-kiam-hoat (ilmu pedang dengan tangan kiri), jika ingin belajar ilmu pedangku, orang yang bertangan dua malahan sukar belajar dengan perhatian penuh. Makanya orang yang ingin menjadi muridku diharuskan buntung juga. Jadi aku bukanlah orang berwatak aneh dan juga tiada maksud tujuan hendak menuntut balas sakit hatiku kepada setiap orang didunia ini.”

Bicara sampai disini, mendadak ia berpaling kearah sipemuda perlente dan berkata pula; "Nah, lekas turun tangan!”

Sekarang pemuda itu percaya orang tidak bermaksud menguji kesungguhan hatinya, tapi benar-benar menyuruhnya membuntungi lengan kanan sendiri baru mau menerimanya sebagai murid, karuan ia menjadi ketakutan, pedang lantas dibuang dan cepat merangkak bangun, katanya; "Sudahlah, aku. . . aku tidak. . . tidak jadi berguru padamu. . . .”

"Tidak, tidak bisa," kata Tio Tai-peng dengan tertawa, "Sudah pasti kuterima kau menjadi muridku dan tidak dapat ditawar lagi.”

Pemuda perlente itu tambah ketakutan, mukanya menjadi pucat, ia menyurut mundur beberapa tindak dan berseru dengan tergagap; "Meng. . .mengapa. . . .”

"Habis kemana lagi mencari orang berbakat bagus seperti kau?" ucap Tio Tai-peng dengan menarik muka dan berlagak serius, "Calon murid bagus seperti kau ini setiap orang ingin menerimanya, kesempatan baik mana boleh tersia-sia. Nah, lekas maju kemari, jika kau tidak berani mengutungi lenganmu, biar aku saja yang melakukannya.”

Melihat orang menjemput pedangnya dan benar-benar hendak membuntungi lengannya, pemuda itu menjadi ketakutan dan cepat lari pergi dengan ter-birit2. Seumpama sekarang ada ilmu pedang nomor satu didunia juga dia tidak berminat lagi.

Karena sang majkan sudah kabur, segera sikacung hendak menyusul kesana. Tapi dengan suara halus Tio Taipeng lantas berseru padanya; "Tio Peng-say, kemari dulu, ingin kubicara dengan kau!”

Soat Peng-say menoleh dan bertanya; "Kau bicara padaku?" Dengan senyum ramah Tai-peng mengangguk.

"Jika begitu kau telah membuat kesalahan." kata Soat Peng-say. "Aku tidak she Tio, tapi she Soat.”

Tai-peng menggeleng, katanya, "Ibumu she Soat bukan?”

"He, darimana kau tahu?" jawab Soat Peng-say dengan heran.

Diam-diam Tai-peng menghela napas gegetun, sedapatnya ia berkata dengan tersenyum; "Coba jawab, adakah aturan didunia ini orang ikut she ibunya?”

Soat Peng-say tampak muram, jawabnya, "Aku tidak punya ayah, terpaksa ikut she ibu.”

Hati Tai-peng seperti tertusuk, sungguh ia ingin memeluk anak muda itu dan menceritakan duduknya perkara kepadanya, Tapi ia kuatir Soat Peng-say akan ketakutan, mungkin apa yang diceritakannya nanti juga takkan mendatangkan pengertian anak muda itu, terpaksa ia menahan rasa ingin memeluk dan mengenalkan dirinya. Ia pikir akan mengikat dulu kesan baik anak muda itu, baru kemudian menjelaskan persoalannya secara pelahan.

Maka ia lantas berkata; "Siapa bilang kau tidak punya ayah" Kukenal ayahmu she Tio, makanya kupanggil kau Tio Peng-say.”

"Kau kenal ayahku?" tanya Soat Peng-say tidak percaya.

"Jika begitu, coba katakan, siapa nama ibuku" Jika benar kau kenal ayahku, tentu kaupun tahu nama ibuku.”

"Sudah tentu kutahu nama ibumu." jawab Tai-peng, "Lebih dua tahun kukenal baik ibumu, masakah aku tidak tahu namanya. Ibumu she Soat dan bernama Ciau-hoa bukan?" "Salah!" mendadak Soat Peng-say menggeleng.

"O, ya, ibumu mempunyai nama lain lagi, Soat Ih-nio, betul tidak?" demikian cepat Tio Tai-peng menambahkan.

Ia yakin sekali ini pasti tidak salah lagi.

Tak terduga Soat Peng-say tetap menggeleng dan berkata; "Kau ngawur! Hakikatnya kau tidak tahu nama ibuku dan tentu juga tidak kenal ayahku.”

Habis berkata ia terus angkat kaki pula.

Tio Tai-peng menjadi gelisah, segera ia memburu maju dan bertanya; "Habis siapa nama ibumu yang benar?”

"Tidak nanti kukatakan padamu," jawab Soat Peng-say sambil berpaling, "Bukankah kau bilang kenal baik ibuku selama lebih dua tahun. Jika kau kenal beliau, mengapa malah tanya padaku?”

Tai-peng meng-garuk2 kepalanya yang tidak gatal, katanya pula; "Ah, jangan2 ibumu mempunyai nama lain lagi. Namanya yang ketiga justeru tidak kuketahui. Akan tetapi, aku bicara sungguh-sungguh, aku tidak bohong, aku memang benar-benar berkawan baik dengan ibumu selama dua tahun lebih, sedangkan ayahmu she Tio, hal inipun jelas dan pasti.”

Tentu saja, jika dia tidak tahu jelas dan pasti akan she sendiri, lalu siapa lagi yang lebih tahu”

Tertampak Soat Peng-say tidak sabar lagi, katanya; "Sudahlah aku tidak mau bicara ber-tele2 dengan kau. Kau mengincar diriku, sengaja ber-putar2 lidah, Huh, jangan kau salah sasaran, biarpun kecil aku Soat Peng-say tidak nanti tertipu.”

Diam-diam Tio Tai-peng merasa geli, ia tahu anak muda itu menyangka sang ayah hendak menipu mutiara mestika Pi-tun-cu itu. Maka sambil menggeleng ia berkata; "Siapa yang mengincar kau" Jangan kau kira kuincar mutiaramu itu." "Habis untuk apa kau menahanku disini dan mengajak omong tak karuan, apa maksudmu?" tanya Soat Peng-say.

Tai-peng tersenyum getir karena dituduh mempunyai maksud tertentu, katanya kemudian; "Maksud tujuan lain tidak ada, aku cuma ingin menerima kau sebagai muridku.”

Soat Peng-say terkejut, cepat ia menggoyang tangan dan menjawab, "O, tidak, jangan, aku ini bodoh seperti kerbau, jangan kau salah pilih.”

"Tapi bakatmu sama sekali tidak dibawah kaum Kongcu tadi." ujar Tai-peng.

Timbul pikiran Soat Peng-say hendak mengeluyur pergi seperti majikannya, ia berlagak tenang dan menjawab; "Kau maksudkan Siauyaku tadi?”

"Siauya apa" Hakikatnya dia tidak ada harganya untuk menjadi Siauyamu," kata Tai-peng dengan mendongkol.

Ia pikir hanya anakku yang pantas menjadi Siauya orang, tiada orang lain yang boleh menjadi Siauyanya.

Selagi Tio Tai-peng merasa penasaran, kesempatan itu digunakan Soat Peng-say untuk menyelinap keluar.

Tapi dari lagak lagu anak muda itu Tai-peng sudah tahu ia bermaksud lari, maka begitu tubuh orang bergerak, serentak ia pun mencengkeram.

Tak tersangka gerak tubuh Soat Peng-say ternyata sangat licin, sedikit mengengos saja ia dapat menghindari cengkeraman Tio Tai-peng. Karuan Tai-peng terkejut, secepat kilat tangannya membalik dan mencengkeram pula.

Cengkeraman kedua kalinya ini memakai gerak cepat tusukan pedang, sedangkan Soat Peng-say belum cukup tinggi kepandaiannya untuk "mendengarkan suara angin membedakan arah", cengkeraman Tai-peng dari belakang itu sukar diraba kemana tujuannya, ketika dia berkelit kekanan, kebetulan jatuh kecengkeraman Tio Tai-peng yang pura-pura bergerak kekiri, tapi terus menangkap kekanan itu. Seperti elang mencengkeram anak ayam saja, seketika Soat Peng-say terpegang Hiat-to bagian kuduknya hingga sama sekali tak dapat berkutik lagi terus diangkat keatas.

"Lepaskan, lepaskan aku," teriak Soat Peng-say," Aku tidak mau berguru padamu, aku tidak ingin menjadi orang yang cacat.”

Merasa anak muda itu hendak menghindari dirinya, sebagai ayah, diam-diam Tio Tai-peng merasa berduka.

Tapi ia sengaja me-nakut2inya; "Tidak, betapapun kau harus mengangkat guru padaku. Cacat badan saja apa halangannya?”

Apa pun juga Soat Peng-say masih terlalu muda, usianya belum genap lima belas, demi teringat peraturan Tio Taipeng yang menerima murid dengan menguntungi lengan kanan calon murid, ia menjadi takut dan menangis.

Selagi Tai-peng hendak membawa pergi Soat Peng-say, se-konyong2 terdengar seorang membentak; "Orang jahat, lepaskan dia!”

Yang bersuara ini kiranya Beng Siau-gi.

Sejak tadi ia menangis sambil mendekap jenazah ayahnya, akhirnya air matapun terkuras kering, pada saat itulah ia menengadah dan melihat Soat Peng-say hendak dibawa pergi oleh Tio Tai-peng.

Terpikir olehnya: "Dengan tulus hati dia telah menyelamatkan aku, sekarang dia mengalami kesulitan, adalah pantas kalau kubalas menolong dia!”

Dalam hati kecilnya timbul pikiran yang luhur dan ingin menolong sesamanya tanpa memikirkan ilmu silat sendiri sesungguhnya selisih sangat jauh dengan Tio Tai-peng.

Segera ia jemput pula pedang tadi terus memburu kesana.

Melihat Beng Siau-gi akan menyerempet bahaya, sama sekali Kay Hiau-thian tak mencegah atau menghalanginya, sebaliknya diam-diam ia malah berharap semoga sekali tabas Tio Tai-peng akan membinasakan anak dara itu.

Ketika pedang Beng Siau-gi menusuk tiba, sambil tertawa Tio Tai-peng melayang belasan tombak jauhnya kedepan, setiba dipintu gerbang keluarga Beng itu, ia sempat meninggalkan pesan: "Budak cilik, belajarlah baik-baik kepada kakekmu, lima tahun lagi akan kusuruh anak-didikanku ini kesini untuk bertanding dengan kau!”

Dengan cepat Beng Siau-gi memburu maju dan menusuk pula dengan pedangnya. Tapi Tio Tai-peng lantas melayang keatas pohon besar diluar rumah, disitu pepohonan ber-deret2 ditepi jalan.

Begitulah, sebelum Beng Siau-gi mengejar tiba, dengan mengempit Soat Peng-say, Tio Tai-peng terus melayang pergi seperti terbang diatas pepohonan itu.

== ooo OdOwO ooo == Dengan cepat lima tahun telah berlalu.

Selama waktu lima tahun yang singkat ini, bagi kota tua seperti Pakkhia, selain usia para penduduknya bertambah banyak, suasana dan keadaan kota ini tidak ada perobahan sedikitpun.

Hari itu tepat hari raya Jingbeng, hari orang melakukan pembersihan makam sanak famili dan leluhur. Pagi-pagi sekali penduduk Pakkhia sudah ber-bondong2 menuju keluar kota untuk berziarah kemakam leluhur masingmasing. Baru saja Kong-an-bun, pintu gerbang selatan kota pakkhia dibuka, orang pertama yang keluar kota adalah seorang nona berbaju putih sebagai tanda berkabung dengan kuda tunggangan berbulu putih pula.

Kaum puteri keluarga berpangkat atau bangsawan di Pakkhia tidak nanti keluar kota dengan menunggang kuda, biasanya mereka pasti menggunakan kereta kuda, Tapi nona penunggang kuda ini meski bukan puteri keluarga bangsawan, namun hampir setiap penduduk Pakkhia pasti kenal dia. Siapapun tahu nona cantik dan menyenangkan ini adalah cucu tunggal kesayangan Beng-loyacu, Beng Engkiat yang termashur, Seringkali orang melihat jago tua yang terhormat dan disegani itu membawa serta cucu perempuan satu2nya itu pesiar keluar, Tapi sekarang, cucu perempuan jago tua itu yakni Beng Siau-gi keluar kota sendirian dengan menunggang kuda, hal ini memang jarang atau hampir tidak pernah terjadi.

Sebenarnya Beng Siau-gi memang tidak keluar kota sendirian, kakeknya sudah berjanji akan menyuruh dua muridnya, yaitu paman guru Siau-gi untuk mengiringi nona itu keluar kota. Tapi pagi-pagi hari ini Beng Siau-gi sudah menunggu sekian lama, ternyata satu diantara kedua Susiok itu tidak kunjung muncul, ia menjadi tidak sabar untuk menunggu lagi, diam-diam ia menguluyur keluar kota sendirian. Ia pikir pada hari Jingbeng itu, harus se-pagi2nya berziarah, perlu apa ditemani para Susiok”

Beng Si-hian putera tunggal Beng Eng-kiat, dimakamkan disuatu tempat kira-kira lima li diluar pintu kota Kong-an-bun. Dengan menunggang kuda tidak perlu setengah jam sudah bisa sampai disitu.

Belum lama Siau-gi keluar kota, tiba-tiba terdengar seekor kuda membedal cepat dari belakang, Siau-gi berkerut kening, disangkanya sang kakek merasa kuatir ketika mengetahui dia keluar kota sendirian, maka Kay-supek disuruh menyusulnya.

Segera ia berpaling, tapi bukan paman guru Kay Hiauthian yang dilihatnya, melainkan seorang pemuda gagah dan tampan sedang melarikan kudanya yang hitam mulus kejurusan sini. Karena bukan Kay-supek yang disangkanya, Siau-gi tidak meng-amat2i lagi penunggang kuda serba hitam itu, cepat ia berpaling kembali kedepan.

Ketika penunggang kuda berbaju hitam itu membedal kudanya sampai dibelakang kuda Beng Siau-gi, mendadak ia memperlambat lari kudanya, lalu berseru memanggil; "No. . . .nona. . . .”

Agaknya penunggang kuda berbaju hitam yang kelihatan gagah ini ternyata bermuka tipis, malu-malu, baru berseru memanggil "Nona", lanjutannya lantas sukar diucapkan lagi.

Menurut pengalaman Siau-gi, memang sering dia dibuntuti oleh anak muda dan dipanggil "nona", lalu tak berani bicara lagi, Maka seperti biasanya, iapun anggap sepi saja, sama sekali tak digubrisnya. Dengan demikian ia berharap orang akan malu sendiri dan tinggal pergi.

Ia pikir jika Kay-supek ikut mengawalnya, tentu penunggang kuda ini sudah didamperatnya dan disuruh pergi. Cuma sayang, sekarang ia sendirian, sedangkan penunggang kuda berbaju hitam ini tetap tidak tahu diri, tidak digubris masih tetap saja mengintil dibelakang.

Sekarang Siau-gi jadi menyesal Kay-supek tidak ikut datang, ia pikir orang ini pasti dari luar daerah, karena tidak kenal dia, maka mencari kesempatan untuk pasang omong.

Kalau penduduk setempat kebanyakan tahu siapa Beng Siau-gi dan tentu tak berani main gila padanya.

Memangnya siapa yang berani mengganggu cucu tunggal jago tua Beng loyacu yang termashur itu”

Rupanya penunggang berbaju hitam itu teramat polos, setelah kata2nya sukar terucapkan dan si nona juga tidak menggubrisnya, ia tambah kikuk dan lebih-lebih tidak sanggup bicara lagi. Entah apa maksudnya dia hanya mengintil saja dibelakang dengan diam.

Perbuatan begini sesungguhnya teramat tidak sopan bagi seorang anak perawan, jika anak perempuan biasa dan bernyali kecil, tentu menyangka pemuda baju hitam ini bermaksud jahat dan tak berani melanjutkan perjalanan.

Tapi Beng Siau-gi bukanlah gadis biasa. Kungfunya tinggi dan nyalinya besar, ia pikir; "Baiklah, boleh mengintil terus, Nanti kalau berani berbuat kasar terhadapku, segera akan kuhajar adat padamu supaya kau tahu kelihayan nonamu!”

Setelah mengambil keputusan begini, segera ia melarikan kudanya dengan cepat.

Pemuda baju hitam itu se-olah2 kuatir Beng Siau-gi akan kabur, begitu si gadis membedal kudanya, segera iapun mengejar dengan cepat, bahkan senantiasa mempertahankan jarak sedemikian dekatnya sehingga sepintas pandang orang bisa mengira sepasang kekasih yang sedang bercanda.

Beng Siau-gi terus membedal kudanya dengan cepat, hanya sekejap saja sudah sampai disuatu persimpangan jalan kecil. Kedua tepi persimpangan jalan kecil itu penuh pepohonan lebat, diujung sana ada sebuah tanah pekuburan, karena hari masih pagi, dijalan simpang sana tiada terdapat peziarah lain.

Sampai disini timbul rasa waswas Beng Siau-gi, ia pikir jalan simpang ini agak panjang, harus hati-hati terhadap segala kemungkinan. Ia kuatir ditengah jalan simpang sana sipenunggang kuda berbaju hitam itu bisa jadi akan berbuat tidak senonoh padanya.

Karena itulah, waktu belok kejalan simpangan situ, ia sengaja melambatkan kudanya. Dengan demikian penunggang kuda hitam itu mendapatkan kesempatan lagi, iapun ikut belok kejalan simpang situ, dengan tabahkan hati ia bertanya pula; "Nona. . . nona akan membersihkan makam?”

Diam-diam Siau-gi mendongkol, pertanyaan ini benar2 berlebihan. Memangnya mau apa pagi2 datang ketanah pekuburan jika tidak hendak berziarah atau membersihkan makam" Ia yakin si pemuda baju hitam sengaja hendak memancing bicara padanya, maka dia tetap tidak menggubrisnya. Karena tidak digubris si nona, pemuda baju hitam itu menjadi risi sendiri, katanya pula dengan ter-gagap2; "Cay.

. . .cayhe juga datang untuk membersihkan makam. . . .”

tiba-tiba teringat olehnya kata-kata "membersihkan makam”

terasa tidak tepat, maka cepat ia bungkam.

"Kiranya dia juga datang berziarah, jadinya akulah yang salah sangka padanya." demikian pikir Siau-gi. Karena itu, diam-diam timbul rasa menyesalnya karena prasangka tadi.

Pemuda baju hitam itu ingin bicara pula, tapi dilihatnya si nona membedal lagi kudanya kedepan. Ia pandang bayangan punggung si nona dan menghela napas pelahan, ia merasa dirinya terlalu penakut, masa menjelaskan siapa dirinya sendiri saja tidak berani.

Setiba diujung jalan simpang itu, Beng Siau-gi sedikit melirik kebelakang, tidak terlihat si pemuda baju hitam menyusulnya, Diam-diam ia berbalik merasa kesal, Pikirnya: "Sebentar dia tentu akan datang kemari. Entah dia anggota keluarga mana dan hendak berziarah makam siapa?" Di tanah pekuburan dengan rerumputan yang tumbuh lebat disana-sini ini tak terhitung banyaknya makam yang malang melintang tak teratur, Siau-gi turun dari kudanya da menuntunnya menuju kemakam ayahnya.

Sambil berjalan, dalam benaknya terbayang wajah pemuda baju hitam yang ganteng tadi, ia merasa wajah itu seperti sudah dikenalnya, tapi entah pernah dilihatnya dimana" Setiba didepan sebuah kuburan yang dibangun dengan megah, Siau-gi menambat kudanya pada tetumbuhan didekat situ, lalu diturunkannya alat-alat pembersih rumput seperti arit dan cangkul kecil serta sesajian, kertas bakar dan sebagainya.

Karena setiap bulan dia pasti berziarah satu kali, maka rumput liar dikuburan Beng Si-hian itu tidak banyak, setelah dibabati sejenak, ia lantas mengatur sesajian dan mulai bersembahyang.

Habis membakar kertas sembahyang, selagi dia duduk termenung menghadapi makam sang ayah, tiba2 terdengar suara langkah orang mendatangi.

Waktu ia menoleh, ternyata dia lagi! Mau-tak-mau tegang juga perasaannya, Disangkanya pemuda ini bukan berziarah tujuannya, buktinya dia tidak membersihkan makam yang dituju, sebaliknya mendekati makam ayah Siau-gi ini.

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar