Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 01

Jilid 1

Ki-lian-san, gunung ini membentang di wilayah propinsi Kamsiok di barat-laut Tiongkok. Puncak utamanya terletak di barat-daya propinsi itu. Gunungnya tinggi hawanya dingin, maka sepanjang tahun pegunungan ini tertimbun salju yang tak pernah cair, sebab itulah Ki-lian-san juga disebut orang dengan nama Soat-san atau Gunung Salju.

Waktu itu pertengahan bulan kesepuluh, salju turun bertebaran, tapi dijalan raya yang menuju Lanciu (ibukota propinsi Kamsiok) tampak sepasang muda-mudi sedang membedal kuda mereka secepat terbang.

Waktu bermalam dihotel Lanciu mereka sudah berunding dengan baik, meski bungan salju masih turun dengan lebatnya, jalanan penuh tertimbun gumpalan salju, orang berlalu lalang sama sekali tidak kelihatan, namun hasrat mereka untuk mendaki puncak Soat-san tidak pernah berkurang.

Setiba dikaki gunung, diluar dugaan hujan salju mendadak berhenti, malahan sinar sang surya mengintip dari balik awan dan memancarkan cahayanya yang gilang gemilang menambah indah pemandangan alam bersalju itu.

Kedua muda-mudi itu melompat turun dan berdiri disamping kuda masing-masing. Perawakan mereka hampir sama tinggi besarnya. Kedua mata sipemuda yang besar dibawah naungan alis yang tebal itu memancarkan cahaya penuh semangat, katanya, "Ih-nio, coba lihat, salju yang turun sejak pagi sekarang berhenti mendadak.”

Pemudi itu bernama Soat Ih-nio, lumayan parasnya, tapi mempunyai daya tarik yang khas. Ia melirik sekejap pemuda itu dan menjawab dengan tertawa, "Ya, memang beginilah Siau Tio (Tio cilik), coba renungkan sejak kita berkawan mengembara selama ini, pernahkah kita menemui cuaca yang membikin kecewa?”

Pemuda itu bernama Tio Tai-peng, usianya antara 25-26 tahun, lebih muda dua tahun daripada Soat Ih-nio.

Dia termenung sejenak, lalu menjawab sambil mengangguk, "Ehm, memang seperti tidak pernah,”

Dengan genit Soat Ih-nio mencolek kening Tio Tai-peng, katanya, "Kau ini, kalau bicara selamanya tidak pernah tegas. Pakai seperti segala, kalau pernah ya bilang pernah bila tidak pernah katakan tidak pernah. Ingat tidak ketika kita mendaki Bu-ih-san (gunung Bu-ih, terletak di utara propinsi Hok-kian) tahun lalu?”

Tio Tai-peng lantas terkenang kejadian dahulu, lalu berkata dengan tertawa, "Ya, waktu itu, pagi-pagi sudah hujan lebat. Aku tidak mau mendaki gunung ditengah hujan begitu, tapi kau justeru penuh minat. Lantaran tak dapat menolak kehendakmu, terpaksa kuiring kau dengan rasa mendongkol. Sepanjang jalan kupikir kau ini memang aneh, mendaki gunng waktu hujan, apanya yang bisa dilihat" Siapa tahu. . . . .”

"Dan seperti juga hari ini," potong Soat Ih-nio, "Kau pun tidak mau mendaki gunung dibawah hujan salju. Tapi buktinya ketika sampai dikaki gunung Bu-ih hujan lantas terang, sekarang setiba kita disini, salju juga berhenti turun.

Rasanya Lo-thian-ya (Thian yang maha kuasa) sengaja mengatur agar kita tidak kecewa bilamana hendak mendaki gunung dan pesiar. Nah, kan Lo-thian-ya saja suka membantu kita, masakah kau bicara pakai 'seperti' apa segala?" "Baiklah, Niocu (istriku), anggaplah aku salah omong, kata seperti memang tidak tepat, harus diganti menjadi hakikatnya tidak pernah menemui cuaca buruk. Nah, setuju?" Pada ucapan terakhir, dia menyengir kepada si nona.

"Cis, siapa Niocumu"!" semprot Soat Ih-nio.

"Bukan Niocu, habis siapa yang tidur bersamaku selama lebih dua tahunan ini?”

"Siapa lagi" Tentu saja gen. . .gend. . . ." mestinya si nona akan bilang "gendakmu", tapi belum terucapkan dua titik air matanya lantas meleleh.

Melihat si nona menangis, Tio Tai-peng lantas memegang kedua tangannya dan membujuk, "Ai, tanpa sebab mengapa engkau menjadi berduka" Bukankah engkau suka mendaki gunung, sekarang tempat tujuan sudah didepan mata, hayolah kita mulai mendaki!”

Soat Ih-nio memang bercita-cita menjelajahi segenap gunung besar dan sungai ternama seantero negeri ini. Cepat ia mengusap air matanya dan berkata, "Dimana akan kita tambatkan kuda kita.”

Ki-lian-san ini sangat tinggi, sehabis hujan salju pula, jalan sangat licin, kuda jelas tidak mungkin ikut mendaki keatas.

Setelah memandang sekelilingnya dan ternyata tiada sesuatu tempat yang ada aling-alingnya, terpaksa Tai-peng menjawab, "Lepaskan saja disini, biarkan mereka cari rumput dengan bebas.”

Mereka lantas menanggalkan rangsal masing-masing dari pelana kuda dan digendong sendiri, kuda dihalau pergi, tanpa berpaling lagi mereka lantas manjat keatas gunung.

Gerak-gerik mereka memang cekatan, semula mereka berjalan mengukuti jalan pegunungan, setiba diketinggian, orang biasa jelas tidak mungkin mendaki dengan bertangan kosong, tapi mereka tidak menggunakan sesuatu alat pembantu, hanya mengandalkan Ginkang masing-masing, seperti dua biji peluru saja, mereka melejit dan melayang, kira-kira sejam kemudian mereka sudah mencapai puncak gunung. Setelah menghela napas laga, muka Soat Ih-nio yang putih tampak rada kemerah-merahan, karena kedinginan, ia berkata, "Sukar benar pendakian ini, beberapa kali aku terpeleset dan hampir tergelincir kebawah.”

Tio Tai-peng melongok kebawah puncak, samar-samar keliahatn kuda mereka, tapi wijidnya sudah berubah menjadi dua titik kecil saja. Ia pun menghela napas dan berkata, "Ya, untung tidak sampai tergelincir, kalau tidak, pasti hancur lebur.”

Ih-nio memandang keatas, ternyata didepan menghadang pula sebuah puncak yang menegak tinggi seperti tiang es.

"Wah, cara bagaimana manjat keatas?" serunya.

Tai-peng ikut memandang kesana, ucapnya dengan tertawa, "Kau takut" Hah, nyali perempuan memang kecil, kukira sampai disini saja, bagaimana kalau kita putar balik?" Namun Soat Ih-nio berwatak keras dan tinggi hati, baru saja habis Tai-peng berucap, segera ia berlari kesana. Ia hendak membuktikan kesanggupannya dengan tindakan, bahwa biar pun perempuan dia tidak sudi menyerah menghadapi puncak yang tegak lurus itu.

Tio Tai-peng sudah berkumpul lebih dua tahun bersama Soat Ih-nio, sudah tentu ia kenal watak si nona. Ia tersenyum dan segera menyusul kesana. Dalam waktu sesingkat itu Ih-nio sudah mulai manjat keatas hingga beberapa tombak tingginya.

Mendaki puncak es yang tegak itu memang tidak mudah, ketika puncak itu dapat mereka taklukkan, terus saja mereka merebahkan diri saking lelahnya.

Tapi mereka tidak berani lama-lama tidur ditanah bersalju yang beku itu, hanya sebentar saja mereka lantas bangun berduduk, keduanya sama-sama bersemedi dan mengatur pernapasan dengan Lwekang masing-masing.

Kira-kira setanakan nasi, Tio Tai-peng mendahului melompat bangun. Soat Ih-nio tidak mau kalah, iapun ikut berdiri. Keduanya saling pandang dengan tersenyum lalu mengawasi puncak es yang tidak pernah cair sepanjang tahun ini. Mereka merasa seolah-olah berdiri diatas mega, dibawah kaki mereka adalah lautan awan, Ih-nio berkeplok gembira seperti anak kecil, soraknya, "Ai, sungguh menarik, bukankah sekarang kita serupa dewa diatas langit?”

"Bagaimana kalau kita berlakon naik mega atau mengapung diatas awan?" ujar Tai-peng dengan tertawa.

"Bagus, coba kita berlomba Ginkang siapa yang lebih tinggi?" seru Ih-nio.

"Ginkangku selamanya tak dapat menandingi kau." kata Tai-peng denga tertawa.

Soat Ih-nio mencibir, katanya, "Ah, mulut bilang kalah, dalam hati kau ingin menang." Habis berkata ia terus mendahului melayang kedepan sana.

"He, belum lagi diberi aba-aba, kenapa lantas lari lebih dulu"!" seru Tai-peng. Dia benar-benar cuma mengaku kalah dimulut, tapi dalam hati tidak mau kalah. Segera ia mengejar dengan kencang.

Puncak gunung ini sangat luas tanpa bertepi, namun naik-turun tidak rata, sebentar tinggi sebentar rendah, maka kedua orang juga sebentar se-akan2 ditelan lautan awan, lain saat timbul lagi diatas mega, keduanya saling kejar tanpa berhenti.

Sambil berlari dan mengejar Soat Ih-nio didepannya, Tio Tai-peng tidak pernah lupa meng-amat2i sekitar dan sepanjang jalan yang dilaluinya seakan-akan sedang mencari sesuatu benda yang aneh dan berharga.

Sekonyong-konyong Ih-nio berseru terkejut. Hati Taipeng tergetar, cepat ia memburu maju dan berdiri disamping si nona sambil bertanya, "Apa yang kau lihat?”

Tapi Ih-nio lantas berlari pula kejurusan barat-daya dan tidak memberi penjelasan. Namun Tai-peng sendiri lantas melihat juga sasaran yang membuat Soat Ih-nio berseru kaget tadi. Cepat ia mengerahkan Ginkangnya, hanya sekejap saja ia sudah menyusul si nona dan mendahului berhenti didepan sasaran itu.

Itulah seorang Tosu (pendeta agama To atau Tau) bermuka hitam, memegang pedang yang lagi ditusukan kedepan. Batang pedang terbenam didalam gundukan salju setinggi manusia, kelihatan bagian gagang pedang saja yang terpegang ditangan Tosu yang hitam itu.

Tosu ini bukan orang-orangan salju, tapi orang, manusia hidup. Dikatakan manusia hidup juga tidak betul, manusia sih memang betul manusia tulen, tapi kedua matanya tampak mendelik dan tidak dapat bergerak lagi, jelas sudah mati beku.

Dilihat dari sikapnya yang mendelik dan beringas itu, sepintas pandang orang pasti tidak menyangka Tosu ini sudah mati. Dapat dipastikan Tosu ini sudah mati cukup lama, tapi bilakah matinya sukar ditentukan. Jika ditinjau dari sekujur badannya yang tiada terdapat sedikitpun timbunan, maka masuk diakal bila dikatakan dia mati belum lama ini. Akan tetapi kalau melihat jubahnya yang sudah compang camping tertiup angin, ini membuktikan pula dia sudah mati lama, sedikitnya sudah beberapa tahun.

Setiba disitu, Soat It-nio jadi melenggong oleh apa yang dilihatnya sehingga lupa memikirkan Ginkang Tio Tai-peng tadi mengapa bisa mendadak lebih tinggi daripada biasanya. Terlihat Tio Tai-peng lagi menggerayangi baju Tosu itu, sejenak kemudian berhasil dikeluarkannya satu biji mutiara, "O, kiranya gara-gara mutiara ini!" ucapnya.

"Mutiara apa?" tanya Soat Ih-nio.

Tio Tai-peng melemparkan mutiara itu dan ditangkap Soat Ih-nio, setelah dipandang sekejap, ia berseru, "He, Pi-tun-cu (mutiara anti debu)?”

Pi-tun-cu ini berwarna merah tua, jika digenggam, meski tengah tanah bersalju yang dingin, rasanya tetap hangat.

Bila selalu dibawa dalam baju, maka debu takkan menempel dan kotoran akan lenyap, khasiatnya anti dingin dan menimbulkan hawa hangat.

Lantaran membawa Pi-tun-cu inilah maka bunga salju yang menaburi tubuh Tosu tadi tidak dapat menempel, meski dia sudah mati beberapa tahun tetap tidak terbenam oleh timbunan salju.

Selagi Soat Ih-nio mengamat-amati mutiara mestika itu tiba-tiba dilihatnya Tio Tai-peng lagi mengebut gundukan salju didepan Tosu itu dengan lengan baju.

Setelah salju terkebut rontok, tertampaklah disitu juga berdiri sesosok mayat. Karena tidak membekal Pi-tun-cu, salju yang menimbuni tubuhnya lantas membeku menjadi tiang es. Tapi lantaran pedang si Tosu sempat menusuk pada dadanya dari jarak dekat, maka setelah sekian tahun tiang es itu tidak menjadi bertambah besar melainkan cuma membungkus sekujur badannya saja.

Kini setelah bunga salju yang bertimbun di tiang es itu dikebut rontok, si "dia" yang beku didalam tiang es lantas terlihat jelas.

Seketika Soat Ih-nio berteriak kaget demi melihat jelas wajah si "dia".

"Kau kenal Dia?" tanya Tai-peng.

Ih-nio mengangguk, katanya, "Ya, dia. . . .dia seperti tokoh Hek-to (golongan hitam, bandit) yang terkenal didunia Kangoue, nama. . . .namanya. . . .!”

"Siapa namanya?" desak Tai-peng karena ucapan si nona kelihatan tergegap.

"CU. . . Cu Hway-tong. . . .”

"Hm, kiranya ahli racun yang kotor dan rendah itu!”

jengek Tai-peng.

Muka Soat Ih-nio tampak agak merah, iapun bertanya, "Siau Tio, apakah kau kenal Tosu itu?”

Tai-peng menggeleng, jawabnya, "Belum lama kuterjun didunia Kangouw, tokoh Kangouw ternama yang kukenal sangat terbatas.”

"Pernah kudengar bahwa ada seorang tokoh Bu-tong-pay yang selalu membekal Pi-tun-cu, entah siapa gelarnya?”

kata Ih-nio. "Oo". . ." Tai-peng bersuara tak acuh dan diam-diam melirik sekitarnya.

Sudah tentu Soat Ih-nio dapat melihat kelakuan pemuda itu, namun dia tidak menegurnya, ucapnya dengan tertawa, "Mutiara ini sungguh sangat menyenangkan.”

Tai-peng tahu si nona ingin memilikinya, maka lantas berkata, "Ambil saja.”

"He, tapi kaulah yang menemukannya"!" seru Ih-nio dengan kejut-kejut girang.

"Masa diantara kita masih perlu dibeda-bedakan lagi milikmu atau milikku?" ujar Tai-peng.

Ih-nio merasa bahagia oleh ucapan pemuda itu, dengan gembira ia simpan Pi-tun-cu itu, Pikirnya, "Tio cilik benar-benar sangat baik hati, benda mestika begini saja diberikan padaku.”

Mendadak Tai-peng berkata pula, "Ih-nio, kematian kedua orang ini tampaknya tidak beres.”

Soat Ih-nio pura-pura tidak tahu, ia tanya, "Apanya yang tidak beres?”

Tai-peng juga berlagak bodoh dan menjawab. "Tampaknya lebih dulu Cu Hway-tong menggunakan racun, pada waktu racun sudah bekerja pedang tokoh Butong-pay inipun sempat menusuk dada Cu Hway-tong, begitu lawan tertusuk mampus, iapun mati keracunan pada saat yang sama. . . .”

Membayangkan betapa cepatnya racun itu bekerja, diamdiam Tai-peng menjulur lidah, ucapnya pula, "Begitulah kedua orang lantas gugur bersama. Tapi sepantasnya mereka tidak mungkin tanpa sebab mengadu jiwa diatas puncak yang jarang diinjak manusia ini, tentu ada sesuatu yang menarik kedatangan mereka kesini.”

"Betul, tentu ada sesuatu, marilah kita menyelidikinya dari dua jurusan, kau periksa sebelah sana, kuteliti sebelah sini," kata Ih-nio.

Diam-diam Tai-peng mendengus, "Huh, apakah kau hendak menyingkirkan diriku" Hm, memangnya aku pun hendak meninggalkan kau, boleh coba kita adu untung.”

Maka ia lantas menjawab, "Baik, coba kuperiksa sebelah sana.”

Tanpa bicara lagi mereka terus berlari kejurusan masingmasing. Soat Ih-nio menuju arah tenggara, Tio Tai-peng kejurusan barat-laut.

Sambil berjalan Tio Tai-peng terus mencari dengan teliti, sampai sekian jauhnya ternyata tiada sesuatu apapun yang dilihat. Diam-diam ia mulai gelisah dan merasa tidak enak, pikirnya, "Jurusanku ini tiada sesuatu yang kutemukan, jangan-jangan nasibku kurang mujur dan salah pilih arah.”

Ia coba melanjutkan lagi, tapi makin lama makin tidak tentram, gerutunya sendiri, "Goblok, kenapa aku tidak lekas kembali kesana, bila terlambat lagi mungkin akan dibawa kabur Ih-nio.”

Seketika ia merasa seperti melihat Soat Ih-nio sedang kabur kebawah puncak, maka cepat ia berputar balik kearah tadi.

Ia mengikuti jejak Soat Ih-nio terus menguntit kedepan.

Setiba didepan sebuah puncak es, jejak itu lantas hilang.

Diam-diam ia mengeluh, "Wah, Ih-nio pasti menemukan sesuatu!”

Cepat ia menerobos kedalam goa yang gelap dikaki puncak yang bergelantungan dengan jalur-jalur es itu. Dia menggeser masuk dengan pelahan agar tidak menimbulkan suara, dilihatnya goa itu sangat besar, sukar dijajaki dalamnya. Untung didalam goa masih ada cahaya remang-remang sehingga terlihat jejak kaki Soat Ih-nio itu. Setiba disuatu belokan, tiba-tiba terdengar suara kresek-kresek, suara orang membalik-balik halaman buku.

Meski suara kresek itu sangat lirih, tapi cukup menggetarkan hati Tio Tai-peng, pikirnya, "Nyata memang nasibnya lebih mujur, dia yang menemukan, Untung dia ter-buru2 membacanya disini dan lupa membawanya kabur." Pelahan Tio Tai-peng menurunkan rangsalnya yang agak panjang itu, dilolosnya pedang yang mengkilap, dengan pedang terhunus ditangan kanan ia menggremet maju dengan hati-hati.

Yang pertama dilihat Tai-peng adalah bayangan punggung Soat Ih-nio yang berduduk disitu, didepan si nona adalah mulut goa, si nona sedang membalik-balik halaman sejilid buku tipis dan membacanya dengan cahaya yang menyorot masuk dari mulut goa sana. Disamping si nona tertaruh sebuah kotak kemala tempat kitab tipis itu.

Tutup kotak kemala itu cukup membuat melotot mata Tio Tai-peng. Dilihatnya tutup kotak kemala itu terukir dua batang pedang yang bersilang kekanan dan kekiri, tanda-tanda ini persis seperti berita yang tersiar mengenai kotak tempat kitab pusaka ilmu pedang sakti itu.

Diluar goa sana tampak pula bergelimpangan belasan mayat yang belum membusuk, seperti juga mayat si Tosu dan Cu Hway-tong yang dilihatnya sebelum ini, belasan mayat inipun mati saling membunuh.

Setelah melirik sekejap belasan mayat itu, dengan pedang terhunus Tai-peng lantas mendekati Soat Ih-nio dengan pelahan-pelahan.

Rupanya Soat Ih-nio lagi asyik membaca, sehingga tidak merasa akan kedatangan Tio Tai-peng.

Ketika sudah dekat dalam jangkauan pedangnya, Tio Tai-peng lantas mengertak gigi dan sorot matanya menjadi buas.

Mendengar kertakan gigi, Soat Ih-nio terkejut dan cepat menoleh, melihat Tio Tai-peng, ia lantas bertanya, "He, kau. . . hendak apa kau". . . .”

Tanpa bicara pedang Tio Tai-peng terus menusuk.

Namun Ih-nio sempat mengengos berbareng tangan kirinya lantas terangkat kebelakang hendak meloloskan pedang yang tersimpan didalam rangsalnya itu.

Tai-peng menyadari ilmu pedang tangan kiri si nona tidak kalah lihainya daripada dirinya, ia tidak memberi kesempatan baginya untuk melolos pedang, segera pedangnya menabas tangan kiri si nona.

Pada detik yang gawat ini, Ih-nio tidak sempat bicara juga tidak dapat melolos pedangnya, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan jiwanya hanya berkelit dan menghindar dengan Ginkangnya.

Ia yakin Ginkang sendiri tidak lebih asor daripada Tio Tai-peng, maka sedapatnya ia berloncatan kian-kemari.

Diluar dugaannya Ginkang Tio Tai-peng sebenarnya terlebih tinggi daripada dia, ujung pedang tetap mengincar lengan kirinya, hanya beberapa kali loncat dan uber, sekali tabas terkutunglah lengan kiri Soat Ih-nio sebatas pundak.

Hampir kelengar Ih-nio saking sakitnya, tapi sedapatnya ia bertahan, tangan kanan tetap menggenggam erat-erat kitab tipis itu, ia jatuh terduduk ditanah, luka lengan kirinya yang sudah buntung itu tidak terlalu banyak mengucurkan darah, maklum, suhu teramat dingin sehingga darah cepat membeku. Tai-peng tidak tega untuk menguber dan membunuh si nona, ia cuma berkata, "Lengan kirimu sudah buntung, kau bukan lagi tandinganku, lekas serahkan kitab itu kepadaku.”

Darah yang membeku itupun membuat mati rasa luka Soat Ih-nio, dengan menahan dendam ia menjawab, Siau Tio, ke. . .keji amat kau. . . . .”

Melihat rasa duka dan benci si nona, Tai-peng merasa bersalah, dengan suara pelahan ia berkata pula, "Serahkan kitab itu dan segera kupergi, akan. . . akan kuampuni jiwamu. . . .”

Mendadak Soat Ih-nio menengadah dan tertawa latah, serunya, "Hahaha, mengampuni jiwamu. . .hahaha, terima kasih. . . .alangkah merdunya ucapanmu, mengampuni jiwamu. . . .”

Mendadak ia berhenti tertawa dan menatap tajam Tio Tai-peng, katanya pula sambil tersenyum genit, "apakah. . .

apakah kau tahu bahwa tiada niatku hendak mengangkangi kitab ini" Memang sudah lama kutahu kau ingin mencari kitab ini. Seperti halnya diriku, maksud tujuanmu mendaki gunung dan menyusur sungai tiada lain adalah karena ingin mencari kitab pusaka ilmu pedang yang jarang diketahui orang Bu-lim ini.”

"Perempuan jalang," jengek Tio Tai-peng, "tidak perlu lagi omong-omong, lekas serahkan kitab itu.”

"Perempuan jalang?" Ih-nio menegas dengan pedih, "Kau. . . kau tahu asal-usulku". . . .”

"Sudah tentu tahu, kalau tidak masakah kuturun tangan lebih dulu. Siapa didunia Kangouw yang tidak tahu Hiau-nio-cu (perempuan atau nyonya cabul) Soat Ciau-hoa yang terkenal genit, keji dan jahat tiada taranya.”

"Akan. . . akan tetapi, terhadapmu. . . . .”

"Tidak perlu lagi kau bujuk-rayu padaku, anggaplah aku yang ceroboh, kurang pengalaman karena baru mulai mengembara. Semula kusangka kau seorang perempuan baik-baik, siapa tahu kau adalah Hiau-nio-cu Soat Ciau-hoa yang termashur.”

"Jika kau tahu aku ini perempuan tidak genah, mengapa tidak sejak mula memutuskan hubungan denganku dan sekarang kau malah mencelakai diriku?”

"Soalnya lantaran kutahu diam-diam kaupun sedang mencari tempat hilangnya belasan tokoh persilatan yang terjadi tujuh tahun yang lalu, kalau tempat itu dapat ditemukan, maka dapat pula menemukan kitab pusaka ilmu pedang yang diperebutkan mereka dengan mati-matian itu.”

"Kau cari, aku pun cari, kita serahkan kepada kemujuran masing-masing. Ketahuilah betapa cabul dan jahatnya Hiau-nio-cu seperti diriku ini kan juga ada kalanya ingin kembali kejalan yang baik. Sejak bertemu dengan kau. . . .”

sampai disini air matanya lantas bercucuran, ia tidak sanggup melanjutkan, diam-diam ia menyesal salah pilih orang. Namun Tio Tai-peng tidak doyan rayuan, dengan ketus ia berkata pula, "Sejak meninggalkan pintu perguruan dan berkelana didunia Kangouw, semula akupun mempunyai cita-cita yang tinggi. Siapa tahu kutemui orang macam kau, hatiku menjadi penasaran. Kemudian dapat kuketahui pula kau mempunyai hubungan erat dengan salah seorang tokoh yang hilang itu, yaitu tokoh ahli racun yang bernama Cu Hway-tong. Kukira orang she Cu itu mungkin akan memberitahukan padamu dimana tempat mengakibatkan perebutan dan pertarungan maut belasan tokoh terkemuka itu. Sebaliknya aku sama sekali tidak tahu, makanya kutetap berkumpul dengan kau.”

Soat Ih-nio atau Soat Ciau-hoa menjilat air mata pahit yang meleleh kebibirnya itu, mendadak ia tertawa terkekeh2, "Hehe, bercita-cita tinggi. . . .Hehe, memang betul, kutahu cita-citamu itu. Kutahu cita2 setiap anak murid perguruan ternama yang baru keluar dari pintu perguruan, mereka ingin mencari pasangan yang setimpal, saling cinta dan hidup bahagia, lalu berkelana didunia Kangouw melaksanakan tugas mulia. . . Aku, sudah tentu tidak setimpal bagimu, Akan tetapi, pada waktu mulai terjun kedunia Kangouw, aku Soat Ciau-hoa memangnya tidak mempunyai cita-cita yang tinggi" Namun apa yang terjadi”

Aku tertipu, tertipu oleh orang yang pertama yang kucintai, kehormatanku tercemar, aku ditinggalkan, jelas dia sengaja mempermainkan diriku, akibatnya aku terjerumus semakin dalam, sehingga terjadilah aku Soat Ciau-hoa si Hiau-nio-cu yang terkenal. Aku ingin menuntut balas, aku ingin mempermainkan mereka sebagai balas dendamku karena telah dipermainkan oleh dia. . . . .”

Tio Tai-peng merasa sebal mendengar ocehannya, ia meraung gusar, "Tidak perlu omong kosong, lekas serahkan kitab itu kepadaku. Anggaplah aku pun salah seorang korban balas dendammu itu!”

"Tidak." jawab Soat Ciau-hoa sambil menggeleng, "Kau bukan sasaran balas dendamku, Mukamu, perawakanmu, sangat mirip dia, malahan engkau terlebih polos dan jujur daripada dia, Kuanggap dia sudah meninggalkan diriku, maka kuanggap kau sebagai duplikatnya dan pasti takkan meninggalkan aku, makanya aku bertekad akan hidup baikbaik denganmu, bahkan. . . .”

"Persetan kau!" Tai-peng meraung gusar pula, "Masa aku kau anggap sebagai duplikatnya segala" Aku Tio Tai-peng bukan barang serep, bukan barang cadangan yang boleh kau pakai sesukamu"! Nah, lekas serahkan kitab itu, selanjutnya kita putus hubungan dan habis perkara.”

"Lengan kiriku sudah buntung, tidak dapat memainkan pedang lagi, dengan sendirinya kau tambah menghina diriku. Hm, putus hubungan dan habis perkara" Bagus, bagus sekali! Cuma kasihan pada anak kita yang akan lahir ini. . . .”

Sembari bicara dengan tangan kanannya yang gemetar ia menyodorkan kitab pusaka itu, katanya pula dengan tersenyum getir, "Nah, ambillah, semoga kau hidup senang didunia ini dan jangan sampai anak ini tidak pernah bertemu selamanya denganmu. . . . .”

Tai-peng jadi melengong, sama sekali tak terpikir olehnya Soat Ciau-hoa telah mengandung anaknya. "Ap. .

.apa betul!?" tanyanya dengan tergegap sambil menjulurkan tangannya untuk menerima kitab itu.

Soat Ciau-hoa memegang tangan kanan Tio Tai-peng yang terjulur itu terus diremasnya kuat-kuat, katanya, "Percayalah padaku, aku tidak berdusta. Jangan kau tinggalkan diriku, tinggal saja dan saksikan anak yang akan kulahirkan.”

Mendadak Tio Tai-peng menjerit, "Hah, dengan apa kau menusuk tanganku"!”

Waktu Soat Ciau-hoa memegang tangannya dan menusuknya dengan sesuatu, semula cuma sakit sedikit seperti digigit semut, tapi setelah Soat Ciau-hoa selesai bicara, tangannya menjadi kaku dan gatal tak terperikan, tentu saja Tai-peng kaget.

"Hm, masa kau lupa pernah aku berhubungan erat dengan Cu Hway-tong yang ahli racun itu" Mustahil dia tidak mengajarkan beberapa cara menggunakan racun padaku?" jengek Soat Ciau-hoa.

Karuan Tio Tai-peng terperanjat dan pucat. Cepat ia masukkan kitab pusaka tadi kedalam bajunya, waktu ia periksa tangannya, telapak tangan sudah berwarna hitam hangus, cepat ia merobek lengan baju kanan, terlihat warna hitam itupun mulai menjalar dan hampir mencapai pangkal lengan. Teringat pada kematian si Tosu yang hitam hangus itu, Tio Tai-peng tidak ragu-ragu lagi, dengan tangan kiri ia angkat pedangnya dan terus menabas lengan kanan sendiri sebatas pundak.

Darah hanya muncrat sedikit, lalu membeku dengan cepat. Kejadian ini boleh dikatakan serupa dengan cara buntungnya lengan kiri Soat Ciau-hoa tadi, cuma pengganas yang menabas lengan kedua-duanya adalah Tio Tai-peng sebdiri.

Soal Ciau-hoa kelihatan puas, ucapnya dengan tertawa, "Nah, Siau Tio, sekarang kau sudah sama denganku, kau biasa memainkan pedang dengan tangan kanan dan sekarang tangan kananmu sudah buntung, begitu pula aku.

Selanjutnya kita tidak perlu bicara tentang ilmu pedang lagi, marlah kita hidup mengasingkan diri dan menanti lahirnya anak kita, Mau"!”

Dengan gemas Tio Tai-peng memaki, "Orang bilang kau Soat Ciau-hoa cabul lagi keji, kenyataannya memang benar." Saking murkanya, mendadak ia melompat maju terus mendepak kepala Soat Ciau-hoa.

Si nona memejamkan mata dan berkata, "Tendanglah, baik juga bisa mati di kakimu.”

Tapi baru terayun kakinya, segera Tio Tai-peng berpikir, "Dia pantas mampus, tapi bayi dalam kandungan kan tidak berdosa?" Maka cepat ia menarik kembali kakinya.

Soat Ciau-hoa tahu orang tidak tega menendangnya, dia tetap memejamkan mata dan berkata, "Siau Tio, jangan kau salahkan kekejianku, kukerjai dengan racun adalah demi harapan kau akan berada disampingku untuk bersama-sama menyaksikan kelahiran jabang bayi kita.”

Mendadak Tio Tai-peng berludah terus membalik tubuh dan berlari pergi.

"He, kemana kau?" teriak Soat Ciau-hoa. Segera ia pun mengejar keluar goa.

Agaknya Tio Tai-peng bertekad tak mau bertemu lagi dengan Soat Ciau-hoa yang keji itu, dia berlari-lari sekuatnya. Soat Ciau-hoa mengejar dengan kencang.

Sementara itu salju turun lagi dengan lebatnya memenuhi tubuh mereka. "Siau Tio. . . ." sambil memburu Soat Ciau-hoa memanggil. Jarak kedua orang makin lama makin jauh, tempat yang dilalui mereka meninggalkan dua baris jejak kaki diatas salju, sehingga mirip dua orang jalan berjajar.

Akhirnya Soat Ciau-hoa tidak tahan, ia jatuh tersungkur diatas salju, dari dalam bajunya terlempar keluar satu jilid kitab pusaka lain yang sama tipisnya.

Pada saat itulah seekor merpati gunung bercuit terbang lewat diatas kepala Soat Ciau-hoa ditengah hujan salju lebat itu.

Ciau-hoa menengadah memandangi merpati yang terbang menjauh itu, salju turun terlebih lebat, teriaknya dengan parau, "Soat-koh. . . .Soat-koh. . . .”

Akan tetapi burung merpati gunung yang biasa disebut dengan nama Soat-koh itu tak dapat dipanggil kembali lagi, sama halnya Tio Tai-peng yang takkan dipanggilnya kembali untuk selamanya.

Lambat-laun jejak Tio Tai-peng pun hilang tertutup oleh bunga salju. Dengan putus asa, Soat Ciau-hoa merangkak bangun. Diraihnya sekalian kitab pusaka yang terjatuh tadi.

Kitab ini adalah kitab pusaka ilmu pedang lain yang disimpan dalam bajunya diluar tahu Tio Tai-peng. Kitab pusaka ini adalah sati diantara dua kitab pusaka "Siang-liu-kiam-hoat" atau ilmu pedang dua aliran.

Kitab pusaka tercerai, manusianya juga terpisah. . . .Soat Ciau-hoa merangkak bangun dan berjalan kedepan dengan terhuyung-huyung.

Bagian-02 Pak-khia atau peking sekarang hampir selalu menjadi ibukota kerajaan setiap dinasti. Dengan sendirinya banyak bermukim tokoh-tokoh ternama dan jago-jago terkenal.

Jika seorang menyebut Beng Eng-kiat dari Pak-khia, maka boleh dikatakan tiada orang yang tidak tahu dan tiada orang yang tidak kenal. Ini tidak berlaku bagi penduduk kota Pak-khia saja, sekalipun orang-orang dari kalangan Hek-to atau Pek-to (golongan hitam dan golongan putih, artinya jahat dan baik didunia persilatan) juga tahu nama kebesaran Beng Eng-kiat.

"Hebat!”

demikian setiap orang pasti akan mengacungkan ibu-jari apabila orang menyebut Siau-yauciang (ilmu pukulan serba bebas) dan Gway-hoat-kiam (ilmu pedang gembira) yang menjadi kungfu kebanggaan keluarga Beng itu.

Saking termashurnya, hampir setiap anak muda yang ingin belajar silat pasti merasa bangga bilamana bisa diterima menjadi murid keluarga Beng.

Akan tetapi syarat penerimaan murid keluarga Beng juga sangat ketat, usia Beng Eng-kiat sudah 60 lebih, tapi muridnya cuma tiga orang. Cara menerima murid ketiga anak didik Beng Eng-kiat itu jauh lebih longgar daripada sang guru, akan tetapi satu dan lain juga bergantung kepada calon murid itu bagaimana bakatnya dan kecerdasannya, kalau tidak biar pun putera hartawan atau bangsawan yang minta diterima menjadi murid juga pasti akan ditolak Sebab itulah anak didik keluarga Beng selama berkecimpung didunia Kangouw tidak pernah kecungdang dan pasti takkan membikin mali Beng Eng-kiat, dalam hal ini tentunya karena syarat penerimaan murid yang ketat itu, tapi yang lebih penting ialah ilmu silat keluarga Beng memang lain dari pada yang lain.

Dimulai sejak nama Beng Eng-kiat termashur didunia persilatan, selama hampir empat puluh tahun ini, belum pernah terdengar ada orang yang mampu melawan tiga puluh jurus Siau-yau-ciang dan juga tidak pernah ada yang dapat lolos dibawah 49 jurus Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng. Hari ini, menjelang magrib, diruangan latihan keluarga Beng hadir seorang lelaki setengah umur. Dandanan orang ini rada nyentrik. Rambutnya panjang terurai menutup pundak, berjubah hitam, ikat pinggang hitam, sepatu juga hitam. Bahkan kedua untai benang hiasan gagang kedua batang pedangnya juga terbuat dari benang hitam.

Dia duduk ditengah ruangan berlandaskan sehelai kasur tipis, pedang bersarung warna hitam dan selalu dipegang dengan tangan kiri tertaruh disamping, pedang lain yang bentuk dan warnanya serupa pedang pertama tadi tetap tersandang dipunggungnya, gagang pedang yang dililit dengan benang hitam tampak menongol diatas pundak kiri, begitu dia duduk disitu lalu tidak bergerak lagi seperti patung, air mukanya juga tidak memperlihatkan sesuatu perasaan apapun, sampai lama sekali duduk disitu dan ruangan latihan itupun tetap tenang.

Dalam pada itu budak keluarga Beng sudah mulai memasang lampu disekeliling dinding ruangan, sejenak kemudian ruangan itu lantas terang benderang.

Pada saat itulah tiba-tiba dari luar berkumandang suara orang tertawa dan bercakap, seorang pemuda lagi berkata, "Ketiga Suhu apakah boleh kumasuk untuk ikut menonton ilmu sakti?”

Seorang yang bersuara lantang menjawab, "Memang sering ada orang datang minta petunjuk, bila kau ingin menonton, silakan masuk saja.”

Sekejap kemudian ber-turut2 masuklah lima orang, Tiga orang didepan berusia 30-40 tahun, dibelakang mereka mengikut dua pemuda, yang seorang adalah pemuda yang bicara tadi, berusia 17-18 tahun, berjubah sulam dan ikat pinggang berhias batu permata, jelas berasal dari keluarga bangsawan. Pemuda yang lain berdandan sebagai kacung dan berusia lima belasan, dia ikut dibelakang pemuda perlente itu, jelas memang kacung pribadi pemuda itu.

Mendengar suara orang, orang berbaju hitam tadi memutar tubuhnya, semula dia duduk menghadap kedalam, setelah putar arah, dengan sinar matanya yang mencorong ia pandang orang-orang yang baru masuk itu.

Ketiga orang yang berjalan didepan itu adalah murid2 Beng Eng-kiat, yang tertua bernama Kay Hiau-thian, yang kedua bernama Kau Giok-ki dan ketiga bernama Nge Yupeng. Meski tinggi ilmu silat ketiga orang itu, namun tiada nampak sikap angkuh pada diri mereka. Sambil menjura Kay Hiau-thian lantas menyapa, "Maaf jika anda telah menunggu terlalu lama.”

Kau Giok-ki lantas menyambung, "Kami bertiga bersaudara mendapat kehormatan diundang ke istana Kiubun-te-tok (gubernur militer ibukota), makanya anda menunggu lama disini.”

Orang berbaju hitam itu bersikap tawar, katanya, "Orang she Tio adalah orang pegunungan, sudah lama mendengar kehebatan Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng, maka ingin minta petunjuk.”

Kay Hiau-thian memandang kedua pedang bawaan sibaju hitam, lalu katanya kepada Nge Yu-beng, "Sute, boleh kau layani dia.”

Orang berbaju hitam itu tiada sesuatu yang luar biasa, dia cuma menyebut dirinya she Tio, jelas bukan tokoh terkenal atau ahli silat yang sengaja datang minta petunjuk, Arti "minta petunjuk" ialah ingin coba-coba, jajal-jalal atau cikoa begitulah.

Biasanya bila orang ternama, tentu dia akan menyebut namanya lengkap agar pihak lawan tahu bahwa dia bukan kaum keroco tak terkenal.

Sebaliknya kalau orang yang terkenal atau jago silat yang baru terjun ke Kangouw, andaikan menyebutkan namanya juga orang tidak tahu macam apakah dia, sebeb itulah orang jenis ini kebanyakan tidak ingin menyebut namanya sendiri bila datang minta "coba".

Nge Yu-beng sendiri kurang bersemangat disuruh melayani jago yang tak bernama, dengan malas ia menerima pedang kayu yang disodorkan seorang pembantunya, sekali pedang kayu ia menegak, segera ia berseru, "Mari!".

Tapi sibaju hitam tidak menerima pedang kayu lain yang juga telah disodorkan kepadanya, iapun tidak berdiri, tapi tangan kiri meraba kesamping, pedang yang ditaruh disebelahnya itu lantas dilolos, iapun mengacungkan pedang itu kedepan dan berkata, "Silakan!”

Rada berubah air muka Nge Yu-beng, bukan gugup lantaran pihak lawan mau menggunakan pedang tajam sungguhan, pada hakkatnya dia meremehkan tantangan seorang jago pedang yang tak bernama, ia yakin biarpun orang melolos kedua pedangnya sekaligus juga dia mampu menaklukkannya.

Yang membuatnya kheki adalah karena pihak lawan tidak mau berdiri, jelas akan berkelahi dengan berduduk.

Bukankah ini berarti memandang enteng kepadanya”

"Apakah kaki anda kurang leluasa?" demikian Nge Yu-beng coba bertanya. Si baju hitam hanya menggeleng saja dan kembali berkata, "Silakan!”

Saking mendongkolnya hampir saja Nge Yu-beng mendamperat, tapi mengingat dirinya adalah murid jago ternama dan harus jaga harga diri, maka dengan menahan perasaan ia berkata, "Jika kaki anda tiada sesuatu halangan, akan lebih baik silakan berdiri saja.”

"Jika kau adalah Beng Eng-kiat sendiri, tentu aku akan berdiri," mendadak sibaju hitam menjawab dengan congkak. Cukup gamblang arti ucapannya, maksudnya, sayang kau cuma murid Beng Eng-kiat dan belum setimpal menyuruh kuberdiri untuk bertempur dengan kau.

Keruan hampir meledak perut Nge Yu-beng yang belum pernah mengalami kekalahan dalam sejarah hidupnya, segera ia berteriak, "Bagus!”

Dengan mendongkol Kay Hiau-thian lantas berseru juga, "Sute, untuk apa kau banyak bicara dengan manusia sombong begitu, perlihatkan saja beberapa jurus ilmu pedangmu!”

Diam-diam Nge Yu-beng memang sangat gemas, ia pikir dengan pedang kayu juga dapat kurobohkan kau, andaikan tidak mati juga pasti terluka parah.

Karena timbul pikiran kejinya, ia tidak sungkan-sungkan lagi, begitu pedang terangkat sedikit mengerahkan tenaga, segera ia menusuk kedepan, serangannya cepat dan lihai.

Tapi sibaju hitam tetap diam saja seperti sama sekali tidak menghiraukan serangan itu dan juga tiada tanda-tanda hendak menangkis atau balas menyerang.

Pemuda perlente yang berdiri disamping sampai menjerit kuatir, meski ia tidak mahir ilmu silat, tapi dapat dilihatnya sibaju hitam pasti akan celaka, pedang kayu Nge Yu-beng tentu akan melukainya.

Menyusul jeritan pemuda perlente itu, segera bergema pula jeritan ngeri, ternyata tidak seperti dugaan pemuda itu, yang celaka bukan sibaju hitam, sebaliknya Nge Yu-beng mendadak jatuh terguling sambil mengerang dengan memeluk pangkal lengan kanan.

Tentu saja pemuda perlente itu terheran-heran, ia membatin, "He, kenapa bisa terjadi begini?”

Dalam pada itu, Kau Giok-ki telah memburu maju dan mengangkat bangun Sutenya yang hampir kelengar karena kesakitan itu. Muka Kay Hiau-thian tampak kelam, tapi mau-tak-mau iapun harus memuji kelihaian ilmu pedang sibaju hitam, katanya sambil menarik muka, "Hebat benar Kiam-hoat anda!”

Air muka sibaju hitam tidak sedikitpun memperlihatkan rasa gembira, ia putar balik pedangnya masuk kesarungnya.

Sarung pedang itu terletak disamping belakangnya, dia tidak menoleh dan pedang itu dapat masuk sarungnya dengan tepat. Betapa gesit dan jitu rasanya terlebih cepat daripada jago pedang lain yang memasukkan pedang kesarungnya dengan dua tangan.

Gerakan memasukkan pedang kesaraungnya yang hebat ini juga membuat Kay Hiau-thian kagun tak terkatakan, ia coba tanya sang sute, "Bagaimana luka Yu-beng?”

Kau Giok-ki sudah memeriksa keadaan Nge Yu-beng, dengan sedih ia menjawab, "Tulang pangkal lengannya hancur, selama hidup ini mungkin tidak sanggup main pedang lagi.”

Seketika alis Kay Hiau-thian berjengkit, ucapnya dengan geram, "Orang she Tio, keji benar kau!”

"Yang keji adalah Sutemu." jengek sibaju hitam, "Coba kalau orang she Tio tidak mampu menahan serangannya, yang menggeletak sekarang pasti bukan dia melainkan aku.”

Karena berduka atas keadaan Sutenya, Kau Giok-ki menjadi murka, ia sambar pedang kayu yang terlempar dilantai tadi, sekali membentak segera iapun menabas pangkal lengan kanan sibaju hitam.

Akan tetapi orang berbaju hitam itu tetap diam saja dan membiarkan pangkal lengan kanan tertabas.

Diam-diam Kau Giok-ki bergirang dan merasa bersyukur dapat membalas dendam Sutenya. Tapi ia menjadi tercengang ketika melihat sibaju hitam sama sekali tidak bergeming meski terkena tabasannya, malahan pedang kayu sediri yang terpental.

Hampir pada saat yang sama tangan kiri sibaju hitam meraih kesamping pula, pedang dilolos dan pedang masuk lagi kesarungnya semua itu hanya berlangsung dalam sekejap saja, sedangkan Kau Giok-ki juga lantas menjerit ngeri dan roboh terguling sambil memeluk pangakal lengan kanan.

Sekali ini sipemuda perlente tadi dapat melihat sibaju hitam telah turun tangan, tapi bagaimana caranya melukai Kau Giok-ki dan cara bagaimana pedangnya masuk lagi kesarungnya tetap sukar diikuti olehnya.

Yang paling mengherankan dan membuatnya bingung adalah sibaju hitam yang tidak terluka sama sekali, meski kena ditabas pedang kayu Kau Giok-ki, pikirnya, "Apakah mungkin lengan kanannya terbuat dari baja?”

Cuma sayang lengan bajunya yang longgar itu menutupi seluruh lengan kanan sibaju hitam, kalau tidak tentu dia dapat mengetahui duduknya perkara.

Air muka Kay Hiau-thian menjadi pucat, setelah kedua Sutenya mengalami nasib malang. Ia melotot gusar kepada sibaju hitam, ia coba berjongkok dan memeriksa keadaan Kau Giok-ki, ia tahu lengan kanan Ji-sute itupun tamat riwayatnya, andaiakan kelak dapat disembuhkan juga tidak dapat menggunakan pedang lagi.

"Keji amat!" tanpa terasa tercetus kata-kata geram ini dari mulutnya.

Setelah melukai dua orang sama sekali tiada tampak rasa menyesal dan kasihan pada wajah sibaju hitam, dengan pongah ia berkata pula, "Hm, bilamana aku mau keji tentu tidak kugunakan punggung pedang!”

Meski sombong nadanya, tapi kenyataan memang begitu. Apabila serangan sibaju hitam tidak kenal ampun, yang digunakan bukan punggung pedang melainkan mata pedang yang tajam, saat ini darah pasti sudah berceceran.

Lengan kanan Kau Giok-ki dan Nge Yu-beng pasti sudah berpisah dengan tuannya, itu berarti cacat selama hidup.

Tapi sekarang, sedikitnya masih ada harapan untuk disembuhkan. Kay Hiau-thian lantas menepuk tangan, segera dua anak muda berlari masuk dan memberi hormat.

"Bawa para Susiok kalian keruangan belakang." kata Kay Hiau-thian.

Setelah Kau Giok-ki dan Nge Yu-beng yang sudah tak sadar itu dibawa pergi, Kay Hiau-thian lantas membuka jubah luarnya, lalu berseru, "Ambilkan pedangku!”

Dari luar ruangan segera seorang muridnya berlari masuk sambil menghaturkan sebilah pedang mengkilap.

Kay Hiau-thian mengangkat pedang itu dan diputar dua kali hingga menimbulkan suara keras, lalu ia meraung gusar, "Orang she Tio, marilah kitapun coba-coba.”

Dengan dingin sibaju hitam menjawab, "Apakah kau pun ingin mengalami nasib seperti kedua Sutemu! Tapi, hm, harus kau pikirkan lebih dulu, yang kau pakai sekarang adalah pedang sungguhan, jika kau berniat membunuhku maka kalau kau kalah juga jangan harap akan dapat hidup!”

Tergetar hati Kay Hiau-thian, ia menyadari bukan tandingan sibaju hitam, seketika timbul rasa takut matinya, ia menyurut mundur setindak.

"Hm, lebih baik panggil keluar Suhumu saja!" jengek si baju hitam.

"Ayahku sedang keluar, sebulan lagi baru pulang!" tiba-tiba seorang menanggapi dari luar sana.

Waktu sibaju hitam berpaling, dilihatnya orang yang masuk ini berusia tiga puluhan, halus dan sopan, jelas seorang Suseng (pelajar) yang setiap hari berkecimpung dengan kitab dab syair.

Di belakang Suseng ini mengikut seorang nona cilik yan lincah, usianya antara sebelas atau dua belas, memakai baju dan celana pendek warna kuning gading, wajahnya bulat telur menyenangkan.

"Kakek tidak dirumah lantas datang orang merecoki kita." demikian nona cilik itupun menggerutu.

"Siau-gi, jangan ikut bicara!" ucap si Suseng sambil melirik sinona cilik.

Agaknya anak dara itu sudah biasa dimanja, mestinya dia hendak menangkis ucapan sang ayah, tapi tiba-tiba dilihatnya disitu berdiri seorang anak muda yang berumur lebih tua sedikit daripada dirinya dan sedang memandangnya dengan kesima. Dasar kanak-kanak, si dara cilik lantas mencibir padanya.

Pembawaan anak muda (si kacung) itu memang polos, digoda si nona cilik, ia malah berjingkat kaget.

Dalam pada itu sibaju hitam tampaknya sangat kecewa setelah mendengar bahwa Beng Eng-kiat tidak dirumah, sambil menggeleng ia bergumam, "Wah, agaknya kedatanganku ini sia-sia belaka.”

Habis itu ia lantas memegang pedang yang tertaruh disampingnya itu dan berbangkit. Meski Kay Hiau-thian berdiri didepannya, tapi sama sekali tak dipandangnya, ia terus melangkah kesana.

Kay Hiau-thian sudah jeri, sama sekali ia tidak berani merintangi meski orang lalu didepannya, sebaliknya ia malah mengelak kesamping untuk memberi jalan.

Tapi si Suseng yang baru masuk tadi seperti sengaja menghadang didepan sibaju hitam waktu orang hendak keluar, ucapnya sambil menjura, "Apakah anda akan pergi dengan begini saja?”

Dengan dingin sibaju hitam menjawab, "Sebulan lagi bila Beng Eng-kiat sudah pulang tentu kudatang pula untuk minta petunjuk.”

"Anda sudah melukai dua orang Suhengku, lalu cara bagaimana memberi pertanggung jawaban?" tanya si Suseng. Si baju hitam lantas berhenti, ia mengerling sekejap kearah si Suseng, lalu bertanya, "Pertanggungan jawab”

Apakah perlu aku diajukan kesidang pengadilan?”

"Pak-khia adalah kota raja, anda telah melukai dua orang, ini pelanggaran undang-undang, mana boleh pergi begitu saja?" ujar si Suseng.

"Hahahaha!" sibaju hitam bergelak tertawa, "Jika begitu, biarlah kutunggu disini dan kalian boleh mengundang petugas untuk menangkap diriku.”

Si Suseng memandang kearah Kay Hiau-thian.

Kay Hiau-thian menjadi serba susah, ia menyangka si Suseng memberi tanda agar dirinya memanggil alat negara.

Padahal pertengkaran didunia persilatan mana ada yang main lapor kepada pihak yang berwajib segala. Maka cepat-cepat ia mendekati dan berkata, "Adik Si-hian, ini tidak boleh dilakukan.”

Suseng itu adalah putera tunggal Beng Eng-kiat nama lengkapnya Beng Si-hian. Lantaran terhadap pihak luar Beng Eng-kiat mengumumkan bahwa anaknya sendiri belajar Bun (sastra sipil) dan tidak belajar Bu (silat, militer), maka biarpun Beng Eng-kiat mempunyai seorang putera namun jarang diketahui orang Kangouw, malahan ketiga murid Beng Eng-kiat yang sangat terkenal didunia Kangouw baik kalangan hitam maupun golongan putih.

Begitulah terdengar Beng Si-hian bertanya, "Urusan apa tidak boleh dilakukan?”

"Menurut peraturan Bu-lim," tutur Kay Hiau-thian "jika terjadi pertarungan dan ada yang terluka atau mati maka perkaranya tidak boleh dilapor kepada pihak yang berwajib, sebab tindakan ini akan menimbulkan cemoohan orang.”

Dia menyangka putera kesayangan Suhu ini sepanjang hari hanya sekolah dan membaca melulu sama sekali tidak kenal peraturan yang menyangkut ilmu silat, maka dia lantas menjelaskan pereturan dasar yang harus diketahui setiap oran yang belajar silat ini.

"Kutahu peraturan ini." demikian Beng Si-hian menjawab sambil menggeleng, "Siaute tidak bermaksud meminta Suheng melapor kepada yang berwajib, tapi ingin meminjam pedang Suheng.”

Kay Hiau-thian jadi melengak, ia angkat pedangnya dan menegas dengan tergagap-gagap, "Kau. . .kau ingin pinjam pedangku" Untuk apa". . . . .”

Dengan hambar Beng Si-hian menjawab, "Akan kugunakan membayar kepadanya dengan cara yang sama seperti dia melukai Nge-suheng dan Kau-suheng.”

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar