Manusia Aneh Dialas Pegunungan Bab 17

Bab 17

Segera saja ia melangkah maju dengan tindakan lebar.

Ia angkat bogemnya terus menjotos kemuka musuh.

Tentu saja Nio Kiat tidak terima mentah-mentah, sekali tangannya membalik menangkis sembari balas mencengkeram kemuka si hwesio.

Kalau sampai cengkeraman ini kena, pasti biji mata Tiat-pi akan dicolok keluar.

A Siu semula geli melihat kelakuan sang Toute itu tapi ia menjadi terkejut melihat Tiat-pi bakal tertimpah bahaya, cepat dia berseru : Tarik tangan kesamping hantam punggungnya! Hong san Koay Khek “

Terhadap A Siu sekarang Tiat-pi sudah memujanya bagai dewa sakti, maka ia menurut petunjuk itu, tangan dengan cepat ditarik terus melangkah kesamping berbareng tangan yang lain menggebuk punggung musuh.

Walaupun A Siu memberi petunjuk seada-nya saja, tapi yang diucapkan itu adalah gerak tipu paling hebat dari Siau-yang-chit-kay mana mampu Nio Kiat menghindarinya.

Tanpa ampun lagi punggung nona dihantam dengan keras seketika isi perutnya seakan2 terjungkir balik dia ter-huyung2 sambil muntahkan darah lalu terkulai ditanah.

Tiat-pi sendiri terkesima ketika sekali hantam telah bikin lawannya roboh tak berdaya.

Tapi segera serunya : Haha, ternyata kau lebih tak becus dari padaku, sekali gebuk saja tak tahan.

Baiklah masih ada dua kali toyoran.

biar aku titip dulu padamu, kalau kelak bertemu lagi awas kau! Kedua Sutenya Nio Kiat menjadi heran melihat sang Suheng dijatuhkan orang, tapi gurunya tinggal diam saja.

Ketika mereka berpaling, tiba2 terlihat Ki Teng-nio setengah bersandar pada dinding batu dengan muka pucat bagai mayat, kepalanya terkulai dengan mata meram.

Hai, Suhu, Suhu! Kenapa kau! teriak mereka beramai.

Melihat keadaan Ki Teng-nio rada tidak beres, cepat A Siu mendahului melesat keatas batu disudut empang itu, ia periksa pernapasan orang, ternyata sudah sangat lemah tinggal senen-kemis saja.

Ia menjadi tak enak sendiri kalau dirinya tidak datang merecoki, me -hwe-jip-mo atau api nyasar dan darah naik hingga badannya lumpuh, tapi rasanya takkan mati begitu cepat.

Tiba2 ia melihat Ki Teng-nio sedikit pentang matanya, ternyata sinar matanya sudah guram, katanya lemah dan hampir tak terdengar : Kain..

.kain sutera..

merah,.

tapi hanya sekian saja, ketika sekali napasnya sesak putuslah nyawanya ! Kiranya dalam keadaan lumpuh karena tenaga dalamnya yang dilatihnya nyasar ditubuhnya, pula tadi telah kerahkan seluruh tenaga murninya untuk mengeluarkan ilmu Ho-im-liap-hun , tapi tidak membawa hasil apa-apa, saking gusarnya hingga urat nadi sendiri tergetar putus.

Sebab itulah maka Ki Teng-nio bisa tewas begitu cepat.

Dan sebelum ajalnya ia hendak menuturkan rahasia yang meliputi pedang dan kain suteranya yang merah, namun sudah tak keburu lagi.

Hayo, kalian bertiga ada yang tahu rahasia Jin-kiam Ang-leng ( Pedang Hijau dan Kain Merah ) tidak “ tiba2 Tiat-pi Hwesio membentak Kim-teng-sam-sat.

Hong san Koay Khek “

Namun Nio Kiat bertiga hanya menggeleng kepala.

Sudahlah, Toute, yang mengetahui hanya Ki Teng-nio sendiri dan dia sudah mati, ujar A Siu.

Bagus, kini yang tahu rahasia pusaka2 itu mungkin sudah habis mati semua, baik malah, dari pada selalu dibuat rebutan melulu, teriak Tiat-pi.

A Siu menghela napas, segera Tiat-pi Hwesio diajaknya tinggalkan puncak gunung itu.

Karena tiada tempat tujuan, A Siu sengaja pesiar kesana kemari untuk menambah pengalaman.

Dasar otaknya cukup cerdik, maka perlahan2 mulailah ia kenal tulisan.

Sebenarnya ia pikir hendak pergi mencari Siau Yan, itu teman kecil yang pernah dikatakan Jin-koh, namun mengingat sang waktu tak mengijinkan, terpaksa ia tidak berani merantau terlalu jauh.

Tapi sejak insaf dirinya ternyata berilmu silat sangat tinggi, iapun tidak gegabah turun tangan lagi, wataknya menjadi peramah dan sabar.

Begitu pula Tiat-pi Hwesio yang dogol kasar itu banyak terpengaruh oleh kelakuan si A Siu, iapun banyak belajar intisari lwekang dari sang guru itu.

Ketika sudah dekat waktunya A Siu harus pulang menemui Lo-liong-thau, Tiat-pi Hwesio seakan-akan otaknya menjadi terang, ia minta tinggal untuk selamanya disuatu biara buat sucikan diri.

Karena tak mau memaksa, A Siu lalu pulang sendiri kedaerah Biau.

Setiba dipegunungan tempat tinggalnya, sebelum sampai digua itu, dari jauh A Siu melihat Lo-liong-thau dan Tiat-hoa-popo sudah menanti disitu, cepatan saja ia berlari mendekati dan menyapa : Lo-liong-thau, Tiat-hoa-popo, aku sudah kembali! Hem, aku sangka kau takkan pulang lagi! jengek Lo-liong-thau.

A Siu, sejak kecil aku membesarkan kau, apa benar kau akan turut segala perkataanku “ Tentu saja, Lo-liong-thau, urusan apakah katakanlah, sahut A Siu.

Bukankah kau sudah tahu bahwa pemilihan Seng-co dari tujuh puluh dua gua suku bangsa kita sudah akan dimulai, tutur Lo-liong thau.

Dan setiap ada pemilihan, selalu banyak bangsa Han yang datang ikut sayembara tersebut hingga suku kita selalu dikalahkan.

Tapi sejak Seng-co kedelapan menghilang, kedudukan itu kalau jatuh lagi ketangan orang Han, lalu pamor suku kita harus ditaruh dimana “ Mendengar itu, diam2 A Siu mengkerut kening, suruh dia pergi bertengkar dengan orang untuk merebut kedudukan apa segala, sesungguhnya sangat bertentangan dengan watak pembawaannya.

Hong san Koay Khek “

A Siu, demikian Lo-liong-thau telah melanjutkan, menurut pendapatku, perebutan Seng-co sekali ini tiada yang bisa melawan kau.

Suatu hal yang kuharapkan dengan sangat ialah, bila kau sudah menjadi Seng-co, harus kau pimpin kepala tujuh puluh dua gua suku kita datang kemari untuk membawa aku pulang ke Tiok-teng-tiong! Melihat orang berkata dengan sungguh2 dan dari wajahnya tampak itulah satu2nya harapan yang sangat dirindukannya, pula mengingat dirinya telah dibesarkan selama ini, mau tak mau A Siu mengangguk juga.

Bagi Lo-liong-thau yang ilmu silatnya sebenarnya masih jauh diatas A Siu, sebenarnya bukan sesuatu hal sulit bila dia mau menonjolkan diri.

Tapi dia merasa diwaktu kecilnya telah diusir orang sekampung bagai binatang berhubung sejak dilahirkan badannya dalam keadaan tidak normal, hal mana senantiasa sangat disesalkanyya, maka sekarang kalau dia bisa dipapak oleh pemimpin2 suku mereka, ia merasa barulah cukup untuk menebus sakit hatinya itu.

Maka katanya pula : Baiklah, A Siu, bila kau sudah berjanji sekarang bolehlah kau ikut pulang dulu bersama Tiat-hoapopo! Lantas tampak Tiat-hoa-popo berbangkit, tapi A Siu menjadi terkejut melihat nenek itu jalannya meraba-raba dan geremat-geremet.

Hai, kenapakah kau Popo “ tanyanya cepat.

Oh, mataku kini sudah lamur, sudah lama aku merasa penyakit mataku akan membutakan mataku, dan barulah tahun lalu aku benar benar lamur sama sekali, sahut Tiat-hoat-popo.

tapi jangan kuatir aku kenal jalanan! Lekas A Siu maju memayang nenek itu dan keluar dari gua.

A Siu, hendaklah kau ingat baik2 pesanku, janganlah mengecewakan harapanku ! demikian Lo-liong-thau berseru dari jauh.

Dengan terharu A Siu menoleh, dia mengangguk dengan perasaan berat.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa kemudian ia akan bertemu dengan Kanglam-it-ci-seng Ti Putcian hingga lupa daratan akan semua pesan Lo-liong Thau itu.

ooOOoo BEGITULAH asal-usul si gadis A Siu itu.

Maka ketika Ti Put-cian diam2 mendengar tentang Lo-liong-thau di-singgung2 itu, ia menduga pasti orang tersebut jauh lebih lihay dari A Siu, boleh jadi A Siu akan dipaksa menurut segala perintahnya.

Hong san Koay Khek “

A Siu, segera terdengar Tiat hoa popo berkata pula dengan suara gusar, betapapun juga, gadis Han itu sudah sekian lamanya masuk gua itu, rasanya sudah mati keracunan didalam sana.

Kalau lewat malam ini ia tidak kembali, perebutan Seng-co akan diulangi lagi, dan kau masih ada kesempatan baik, maka harapan Lo liong thau hendaklah jangan kau kecewakan.

Sebenarnya A Siu sama sekali tidak pikirkan tentang kedudukan Seng co segala, yang terbayang selalu olehnya melulu sisastrawan muda ganteng itu.

Namun iapun ingat benar akan budi kebaikan Lo-liong-thau serta pesannya diwaktu hendak berpisah.

Maka akhirnya ia menyahuti dengan suara berat : Baiklah, Popo, aku akan berbuat sekuat tenagaku.

Melihat pembicaraan mereka sudah selesai, cepat Ti Put-cian gunakan ilmu entengi tubuhnya lagi kembali ketepi empang sebelah sana, ia sembunyi disemak-semak, maka tertampaklah Tiat-hoa-popo keluar lebih dulu dan A Siu ikut dibelakangnya.

Sungguhpun nenek itu tidak sedikit mendapatkan intisari dari Siau-yang-chit kay yang diajarkan Loliong-thau kepadanya, tapi kalau dibandingkan A Siu, benar2 ilmu entengi tubuh si gadis itu jarang ada bandingannya.

Malahan sesudah jauh, A Siu masih menoleh lagi sekejap kearah sembunyinya Ti Put-cian.

Maka Ti Put-cian yakin jejaknya memang sudah dapat diketahui gadis itu.

Iapun semakin heran melihat ilmu kepandaian A Siu yang luar biasa itu, sekalipun jago terkemuka dari Tiong goan, rasanya juga tidak lebih dari dia.

Ia menunggu sesudah kedua orang sudah pergi jauh barulah ia kembali kegua tempat pertandingan itu.

Sementara itu orang-orang Biau masih terus menari dan menyanyi walaupun sesungguhnya sudah tidak sabar menantikan kembalinya Jun-yan dari gua labah2 berbisa itu, sebab mereka menyangka sembilan bagian gadis itu sudah tewas didalam.

Ketika Ti Put-cian melihat sekitarnya, ia lihat orang2 Han yang berada disitu tadi sudah pergi semua.

A Siu sendiri dengan rambut terurai lagi duduk termenung disuatu gua itu.

Pelahan2 ia mendekati gadis itu dan menegurnya.

A Siu terkejut oleh teguran itu, tapi ia menjadi girang ketika tahu siapa yang berhadapan dengan dia.

Sungguh sejak hidup dipegunungan tanpa gangguan suatu pikiran apa pun, A Siu sama sekali lepas bebas dari segala ikatan batin, sebab itulah Hong san Koay Khek “

sampai ilmu Ho im-liap-hun Ki Teng-nio yang lihay juga tak mempan terhadapnya.

Tapi aneh, sejak bertemu dengan Ti Put-cian, hati si gadis seperti kena guna2.

Maka dengan ter-mangu2 A Siu mendongak memandangi Ti Put-ciang dengan sinar mata penuh arti.

Sudah tentu Ti Put-cian yang licin tahu akan maksud hati gadis jelita itu.

Ia pikir sangatlah kebetulan akan dapat memperalat si gadis yang lagi dibutakan cinta itu.

Maka dengan lagu suara merayu iapun berkata pula: A Siu percakapanmu dengan Tiat-hoa popo tadi sudah kudengar semuanya.

Aku sangat berterima kasih akan kesungguhan hatimu kepadaku.

Tapi siapakah gerangan Lo-liong-thau itu “ Apakah kepandaiannya lebih lihay dari kau” Ya, sahut A Siu mengangguk, ia jauh lebih lihay dariku.

Dia boleh dikata adalah Suhuku.

Untuk beberapa saat Ti Put-cian tercengang tapi segera timbul lagi akal kejinya, katanya kemudian : A Siu, betapa bahagiaku apabila mendapatkan cintamu yang kukuatirkan justru pertanggungan jawabmu terhadap Lo-liong-thau sedang mengenai kedudukan Seng-co bagiku tidak ada artinya.

Nyata betapa liciknya akal Ti Put-cian ini.

Mula2 ia telah peralat Lou Jun-yan berhubung gadis ini mempunyai andalan bantuan si orang aneh yang berkepandaian luar biasa itu.

Kini mendengar A Siu adalah Lo liong thau yang katanya jauh lebih lihay itu, lantas timbul pikiran akan memperalat A Siu untuk menarik bantuan dari kakek aneh itu.

Sebab itulah ia curahkan segenap kepandaiannya untuk memikat hati A Siu dengan kata2 penuh manis madu.

Ujarnya akhirnya : Betapa beruntungku apabila kelak akupun dapat mengangkat guru juga Lo liong thau.

Sudah tentu A Siu sangat terharu akan kesungguhan hati sang kekasih, sama sekali dia tidak bercuriga, maka dengan asyik sekali mereka tenggelam dialun asmara.

Sementara itu Jun-yan masih belum keluar dari gua meski sudah lewat sehari semalam.

Padahal saat mana Jun-yan sama sekali tidak tewas oleh racun saput labah2 yang jahat didalam gua itu, malahan sesudah ditutuk oleh manusia aneh itu, sejam kemudian jalan darahnya sudah lancar kembali lalu ia gerayangi seluruh isi kamar batu Hong san Koay Khek “

didalam gua itu dan dapat menemukan sebarang pedang kuno yang berwarna hijau gelap, pula sepotong kain sutra merah lalu keluar dari kamar itu.

Tapi bagi yang menanti diluar gua sampai sekian lama itu, mereka menyangka si gadis pasti sudah mati didalam.

Maka dengan ramai2 mereka menuntut diadakannya pemilihan ulangan terutama Ti Put-cian sebagai orang kedua sesudah Lou Jun-yan menjatuhkannya maka hak utama jatuh kepadanya untuk menyusul kedalam gua beracun yang dimasuki lebih dulu oleh Jun yan itu.

Sebab itulah belum jauh Put-cian masuk gua, tepat kepergok Jun-yan yang lagi keluar dari kamar batu itu.

Begitulah, maka Ti Put-cian sangat terkejut ketika mengetahui Jun-yan ternyata belum mati.

Namun sebagai seorang licik, sama sekali ia tidak memberi tanda2 mencurigakan, ia malah pura2 menyatakan kuatir atas keselamatan si gadis, maka sengaja datang mencarinya.

Dasar hati anak gadis, mudah disanjung dan gampang dirayu, walaupun sangat panas ketika melihat kelakuan Ti Put-cian terhadap A Siu, namun kini sesudah berada berduaan serta diuruk dengan kata2 madu, kembali ia lupa daratan, malahan Jun-yan merasa sangat bersyukur orang telah menyusul padanya.

Maka sembari bicara mereka melanjutkan kedepan.

Kalau diam2 Ti Put-cian sedang memikirkan akal keji cara bagaimana melenyapkan Jun-yan untuk se-lama2nya didalam gua ini, adalah sebaliknya Jun-yan meski biasanya nakal lincah, namun sifat aslinya sebenarnya tidaklah jahat.

Sama sekali ia tidak bayangkan bahwa elmaut sebenarnya setiap saat akan mencabut nyawanya.

Ketika suatu saat dimana obor mereka menyorot, mereka dikagetkan oleh sinar kemilauan yang menyilaukan mata.

Untuk sejenak Jun yan merandek hingga tanpa merasa Ti Put-cian mendahului kedepan beberapa kaki jauhnya.

Pada saat itu tiba2 Junyan merasa angin berkesiur suatu bayangan secepat kilat melesat lewat di sampingnya, dari samping gua yang gelap itu, tiba2 ia merasa tangannya sudah bertambah sesuatu benda, ketika ia memeriksanya, kiranya adalah sebatang pedang, yaitu pedang kuno yang diketemukan didalam gua tadi, tapi ditinggalkannya itu.

Kembali hati Jun-yan terkesiap, nyata gerak bayangan secepat itu, siapa lagi kalau bukan si orang aneh itu.

Ketika ia pandang Ti Put-cian, pemuda itu ternyata sudah sampai dimulut gua didepan sana.

Maka tanpa pikir iapun gantung pedang itu dipinggangnya.

Ternyata diujung gua ini sedikit menurun, menyambung pula sebuah gua yang lebih besar dan lebar.

Gua besar ini tampak sangat lembab dengan air lumpur sedikitnya Hong san Koay Khek “

setinggi betis.

Gua besar ini tidak panjang, sebab tampak sekali diujung sana sinar sang surya menyorot dengan terangnya.

Anehnya dilorong gua ini banyak terdapat jaring labah2 sebesar mata uang dengan warna yang sangat indah.

Sedang ditengah jaring yang wujutnya bagai selapis saput itu berdiam masing2 seekor labah-labah yang berwarna kehijau-hijauan.

Nampak ini, kedua orang itu sama terkejut, mereka tahu itu labah-labah mata uang serta saput mata uang sangat berbisa yang harus dilalui itu.

Ketika Jun-yan coba melongok kebawah, tanpa merasa ia berseru kaget.

Ternyata dibawah gua yang becek dengan air lumpur itu terdapat berpuluh rangka tulang belulang yang sebagian sudah lapuk, agaknya karena tak tahan akan rendaman air itu.

It-ci Toako, Seng-co apa segala aku tidak pingin lagi, biarlah orang Biau mereka yang menjabatnya saja, kata Jun-yan sambil mundur beberapa tindak.

Sebenarnya Ti Put-cian sudah ambil keputusan segera akan bereskan nyawa si gadis, dengan demikian ia akan keluar gua sendirian dan kedudukan Seng-co itu terang berada di tangannya.

Namun menghadapi rintangan gua luar biasa ini, mau tak mau ia kehabisan akal.

Aneh, ujarnya kemudian.

Lazimnya, kalau sudah ada delapan angkatan Seng-co, tentu gua ini ada jalan keluarnya.

Lalu cara bagai manakah mereka melalui gua ini “ Peduli amat, sahut Jun yan, kenapa kita mesti adu jiwa hanya untuk jadi Sengco segala “ Namun Put cian tidak menghiraukannya, ia angkat obornya tinggi2 dan memeriksa disekitarnya.

Ia lihat kecuali sebuah lubang gua ini, sekitarnya hanya dinding batu belaka yang terjal, terang tiada jalan tembus lain lagi.

Karena kehabisan akal, tiba2 timbul maksud kejinya, ia pura-pura berseru : Lihatlah, apakah itu! Tanpa curiga suatu apa, cepat Jun-yan mendekatinya dan melongok ketempat yang ditunjuk.

Pada saat itulah sebelah tangan Ti Put-cian sudah pegang pundaknya, asal sekali dorong saja, pasti Jun-yan akan terjerumus kedalam gua yang penuh sarang labah2 itu.

Tapi ketika ia hendak kerahkan tenaga, mendadak dilihatnya dipinggang si gadis tergantung sebatang pedang, walaupun sarungnya tidak menarik, tapi bentuknya rada aneh.

Hatinya tergerak, ia urung mendorong.

Hong san Koay Khek “

Sudah tentu Jun-yan tidak insaf bahwa barusan saja sebelah kakinya sebenarnya sudah melangkah masuk lubang kubur, dengan heran ia masih menanya : He, ada apakah kau bilang tadi “ Ti Put-cian menjadi terkejut, cepat sahutnya : Oh, ah, tidak, tadi aku kira semacam binatang aneh didalam air lumpur itu.

Lalu ia bilukkan perkataannya dan menanya : Eh, kenapa sekarang kau punya pedang “ Ehm, aku sendiripun heran, tahu-tahu pedang ini berada ditanganku, mungkin pemberian si orang aneh itu, sahut Jun-yan.

Habis ini, tanpa pikir ia tanggalkan senjata itu dan diangsurkan pada Put-cian.

Put-cian mundur beberapa langkah dulu dan kemudian melolos pedang itu, ia lihat pedang itu gelap tanpa bersinar, tipis bagai kertas, enteng seperti tiada bobot.

He, Tungkau kiam ! tanpa merasa ia berseru.

Nyata sebagai seorang cendekia, Put-cian banyak membaca dan mempelajari sejarah, maka ia tahu bahwa Tung-kau-kiam itu termasuk salah satu pedang pusaka tertajam yang digembleng oleh ahli pedang Au-ti-cu dijamannya Liat kok.

Sebagai seorang tokoh persilatan, tentu saja Put cian sangat kesemsem oleh pedang pusaka demikian ini.

Dan apabila ia periksa lebih teliti, ternyata digaran pedang itu terukir pula beberapa baris huruf kecil, ia membacanya dan untuk beberapa saat ter-menung2.

It-ci Toako, tulisan apakah yang berada dipedang itu “ Tung kau kiam apa katamu tadi “ tanya Jun yan heran.

Oh, digaran pedang ini tertulis bahwa pedang ini bernama Tung-kau-kiam dan asalnya milik Kiam sin Khong Siau lin dari Siangyang, tutur Put cian terpaksa.

Kiam-sin Khong Siau-lin” Siapakah dia” Jun-yan mengulangi dengan heran.

Ti Put-cian menjadi melengak mendengar pertanyaan itu, ia heran mengapa guru si gadis Thong-thian-sin-mo Jiau Pek-king tidak pernah mengatakan padanya tentang siapa Khong Siau lin itu” Padahal setahunya Kiam-sin atau dewa pedang Khong Siau lin dari Siangyang itu justru adalah gurunya Jiau Pek-king yang pada lebih dua puluh tahun yang lalu namanya sangat tersohor dikalangan Bu lim.

Karena ilmu pedangnya tiada bandingannya maka orang memberikan julukan Kiam-sin atau dewa pedang padanya.

Ketika Jiau Pek king mengangkat guru padanya, usia kedua orang itu selisih tidak banyak.

Tapi karena watak Jiau Pek king yang lain dari pada yang lain maka sering Hong san Koay Khek “

guru dan murid itu saling bertengkar.

Namun Khong Siau lin cukup sabar dan dapat memahami tabiat buruk sang murid, sedapat mungkin ia coba menginsafkannya.

Suatu kali, untuk sesuatu keperluan guru dan murid itu telah keluar, tapi pulangnya hanya Jiau Pek king saja sendirian sedang Khong Siau lin untuk seterusnya tak diketahui jejaknya lagi.

Sudah tentu keluarga Khong mengusut keselamatan Khong Siau lin kepada Jiau Pek-king, namun Pek-king justru sama sekali tidak mau menerangkan, karuan semakin menimbulkan curiga orang, jangan2 Pek-king yang mencelakai sang guru sendiri tapi terhadap tuduhan demikian iapun tidak membantah.

Berhubung dengan peristiwa ini, sudah ber-kali2 terjadi percekcokan dikalangan Bu lim, namun banyak juga kawan yang kenal baik Jiau Pek-king, walaupun wataknya menyendiri, namun bilang membunuh guru sendiri, rasanya tidak mungkin.

Urusan itu masih terus berlarut2 tidak pernah selesai dengan sendirinya Jiau Pek-king pun meninggalkan perguruan dan tindak tanduknya semakin tak terkekang, maka akhirnya mendapatkan julukan Thong-thian-sin-mo atau iblis raksasa maha sakti.

Kini Tun-kau-kiam ini terukir sebagai miliknya Khong Siau lin, padahal sebelum menghilang, orang tidak pernah melihat dia menggunakan pedang demikian maka dapat diduga pedang ini tentu diperolehnya sesudah orangnya menghilang, lalu kenapa bisa terdapat ditengah gua sunyi didaerah Biau ini “ Betapapun cerdiknya Ti Put-cian menghadapi soal ini iapun merasa bingung.

Semula Jun-yan pun tidak kenal siapakah Khong Siau lin itu, tapi lantas teringat olehnya diwaktu kecilnya, pada suatu hari seperti pernah ada seorang lelaki yang berbaju compang camping, dipundaknya menggandul dua buah buli2 besar, tengah malam buta mengunjungi gurunya.

Disitu kedua orang telah pasang omong sambil minum arak dengan bebas puas, sampai fajar barulah orangnya pergi.

Esok paginya ketika dia tanya sang guru, maka sekedar gurunya telah memberitahu padanya nama orang itu seperti Khong Siau-lin apa, cuma waktu itu masih terlalu kecil, maka tidak menaruh perhatian.

Begitulah, selagi ia termenung2, tiba2 ia mendengar bentakan Ti Put-cian yang seram.

Dengan terkejut ia berpaling dan segera ia berteriak : He, kau .

kau .

tapi belum sempat ia berkata lebih banyak, tahu2 sinar hijau berkelebat, dengan sorot mata yang bengis, saat itu Ti Put-cian telah tusukan pedang Tun-kau-kiam kedadanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar