Manusia Aneh Dialas Pegunungan Bab 16

Bab 16

Bagus, Jika begitu biar aku selulup kedalam empang untuk mencarinya! teriak Tiatpi tanpa pikir, lalu ia membuka jubahnya dan benar-benar hendak terjun kedalam empang.

Melihat kedogolan si hwesio, A Siu menjadi geli.

Toute, apa barangkali kau sudah bosan hidup “ tegurnya.

Tiat-pi melengak dengan mata membelalak lebar, untuk beberapa lama ia bingung apa yang dimaksudkan si gadis, tapi buk , tiba2 ia tabok perutnya sendiri yang gendut itu dan terteriak : Haya, aku benar2 tolol, bukankah air empang itu beracun, mengapa aku menjadi lupa “ Lalu ia menyambung pula dengan wajah menyesal : Ai sayang, jika begitu pusaka pusaka Ki Teng-nio itu tentu akan hilang ditelan empang ini untuk selamanya.

Tapi itu hanya dugaanku saja, mungkin kejadian sebenarnya bukanlah demikian, ujar A Siu kemudian.

Tiba2 matanya tertatap pada sesuatu benda pula disebelah kerangka tulang sana.

Cepat ia menjemputnya pula dan meng-amat2i.

Apakah ini “ tanyanya sambil angsur benda itu kepada Tiat-pi.

Waktu Tiat-pi bersihkan karatan diatas benda itu, ternyata itu adalah sebuah piau yang diatasnya terdapat sehuruf Tin .

Tin “ Adakah sesuatu orang bernama Tin “ tanya A Siu memikir.

Hong san Koay Khek “

Diantara bangsa Han yang bernama Tin sudah tentu tentu terlalu banyak, sahut Tiat pi Hwesio.

Tapi sungguh aneh.

Dahulu yang menguber-uber Ang Jing-kin dan suaminya itu seluruhnya ada empat orang.

Kalau Bong-san-sam-sia sudah mati disini kenapa yang seorang lagi tak kelihatan, pula bagaimana dengan nasib suaminya Ang Jin-kin itu “ Mendengar itu, betul juga pikir A Siu, walaupun dogol, kadang2 Hwesio gendut ini dapat pula berpikir.

Maka katanya: Teka-teki ini kecuali mereka sendiri berdua, rasanya tiada orang lain lagi yang bisa tahu.

Tapi sekarang aku menjadi ingin tahu apakah manfaat kedua pusaka yang dibuat rebutan itu, kalau kau tidak mengetahui, kenapa kita tidak pergi menanya pada pemilik asalnya” Tiat-pi meloncat kaget.

Ha, menanya pemilik asalnya “ Itulah aku tak berani pergi! Eh, bukankah kau bilang apa yang Suhu perintahkan, akan menurut” omel A Siu.

Ya..

ta..

tapi pemilik asalnya itu, Cit-bok-lo-sat Ki Teng-nio meski lumpuh, tapi ia masih punya tiga murid yang terkenal dengan sebutan Kim-teng-sam-sat (Tiga Iblis Dari Puncak Emas) yang kepandaiannya sudah hampir menurunkan seluruh kemahiran sang guru, pu..

pula meski Ki Teng-nio sudah lumpuh, tapi mahir ilmu 'bersuara mencabut nyawa', menyembur senjata rahasia dengan mulut, lihaynya tiada kepalang.

..

Sudahlah, sudahlah, betapapun lihaynya, toh kita tidak mencari berkelahi padanya “ Apakah kau benar2 tidak turut pada kata2ku “ potong A Siu tidak sabar.

Nyata dasar masih hijau, pula jiwanya terlalu polos, maka sama sekali tak terpikir olehnya tentang baik jahatnya orang Kangouw.

Terpaksa Tiat-pi Hwesio mengaku terus terang bahwa ia dahulu sudah pernah merasakan bogem mentah dari Hek-hong-tongcu Nio Kiat, satu diantara tiga murid Ki Teng-nio itu.

Sebab itulah, ia minta agar A Siu suka berlaku hati2.

A Siu ganda tertawa saja, segera mereka menuju ke gunung Kim-teng-san diwilayah Kuiciu.

Sepanjang jalan semua orang menjadi ter-heran2 melihat seorang gadis jelita bikin perjalanan bersama satu hwesio gendut yang berwajah bengis.

Sementara itu A Siu sudah berganti pakaian putih sebagaimana gadis umumnya.

Hong san Koay Khek “

Sesudah beberapa hari, tibalah mereka dikaki gunung Kim-teng-san itu.

Sepanjang jalan A Siu merasa segalanya serba baru baginya hingga sering menanya ini itu kepada Tiat-pi Hwesio.

Kim-teng-san itu tidak terlalu tinggi, tapi terjal sekali.

Setiba dikaki gunung itu, A Siu menjadi bingung karena dimana-mana tebing curam belaka, kemana harus mencari tempat tinggal orang, maka ia menanya Tiat-pi : Toute, gunung sebesar ini, dimana tempat tinggalnya Ki Teng-nio “ Menurut cerita orang Kangouw, dikaki gunung ia pasang sebuah genta raksasa, siapa yang membunyikan genta itu, lantas ada orang datang menyambut, tutur Tiat-pi Hwesio.

Mereka coba mengitari lereng gunung itu, betul juga, disuatu tanjakan terdapat suatu genta raksasa yang digantung diantara dua pohon besar sebagai kerangka.

Tinggi genta itu sedikitnya dua-tiga tombak, entah tadinya cara bagaimana menggantungnya keatas.

Ketika A Siu mendongak, ia lihat diatas kerangka pohon itu terletak pula sebuah palu pemukul genta.

Tiat-pi angkat pundak nampak betapa tingginya genta itu.

Sebaliknya A Siu tersenyum saja.

Tiba-tiba ia enjot tubuhnya setinggi lebih setombak, selagi tubuhnya masih terapung di udara kedua kakinya mengenjot lagi dan kembali tubuhnya membubung keatas pula.

Segera palu diatas kerangka tadi sudah dapat dipegangnya terus dipukulkan tiga kali keatas genta itu.

Lalu palu itu ia letakkan kembali ketempatnya dan orangnya menurun kebawah dengan enteng.

Suara genta itu nyaring sekali berkumandang menggema angkasa pegunungan itu hingga lama sekali.

Ketika suara genta sudah hampir reda tiba-tiba terdengar suara genta juga diatas gunung sana dipukul tiga kali.

Menyusul diatas suatu tebing yang curam dan tinggi sekali muncul satu orang, saking jauhnya hingga orang itu hanya sebesar jari saja.

Mendadak orang itu menerjun kebawah dengan cepatnya.

Karena tak tahu seluk-beluknya sampai A Siu bersuara kaget.

Tapi hanya sekejap saja tahu-tahu orang tadi sudah turun sampai dibawah melalui seutas rotan pegunungan yang sangat kuat, orang itu membuai gesitnya bagai kera saja dan sekejap pula orangnya sudah berhadapan dengan mereka.

Hong san Koay Khek “

Kenal siapa orang yang datang ini, wajah tiat-pi Hwesio terus berubah.

Kiranya orang ini sudah bukan kanak2 lagi, tapi justru berdandan seperti anak kecil, malahan rambut di atas kepalanya diikat menjadi dua gelungan hingga tampaknya sangat lucu.

Dengan sinar mata yang bengis ia mengawasi kedua tamunya ini lalu menegur kearah Tiat-pi: Keledai gundul rupanya kepandaianmu sudah maju banyak hingga mampu menabuh genta pencabut nyawa digunung kami ini ! Tiat-pi tidak menjawab sebaliknya ia membisiki A Siu : Suhu, inilah murid pertamanya Ki Teng-nio yang bernama Hek-hong-tongcu Nio Kiat.

Maka dengan tersenyum A Siu melangkah maju dan menyapa : Karena ada sesuatu urusan perlu aku menanya pada Chit-bok-lo-sat Ki Teng-nio, maka sukalah Toako membawa kami kepadanya” Budak kurangajar, bentak Nio Kiat mendadak.

Nama guruku masakan dapat kau sebut sesukanya “ Mengingat usiamu masih terlalu muda, biarlah aku tidak persoalkan lebih panjang.

Nah, lekas enyah saja dari sini! Habis ini ia berpaling kepada Tiat-pi : Tapi kau keledai gundul ini tidak boleh pergi dari sini! Eh, aneh, sahut A Siu dengan heran, nama orang perlunya dipanggiI, kenapa kau melarang aku menyebut nama gurumu “ Kedatanganku ini ada yang perlu menanya gurumu, kenapa kau mengusir aku “ Mendadak Nio Kiat bergelak ketawa, Ha haha, rupanya kau kena dibohongi keledai gundul itu, hingga berani-berani datang bergurau ke sini.

Hahaha, hendaklah kau ketahui bahwa keledai gundul itu sudah kenyang merasakan pukulanku ! Keledai gundul ini tidak membohongi aku tapi akulah yang mengajaknya kemari! sahut A Siu terus terang.

Nyata ia tidak tahu bahwa kata2 keledai gundul itu adalah makian kepada kepala Hwesio yang pelontos, tapi ia menirukan apa yang diucapkan Nio Kiat saja.

Tentu saja bagi Tiat pi Hwesio yang mendengarkan menjadi mendongkol dan geli.

Akan tetapi Nio Kiat belum mau percaya, tanyanya pula dengan bengis : Budak kecil berani membual! Siapa namamu “ Aku bernama A Siu dan keledai gundul ini adalah muridku, sahut A Siu.

Suhu, aku bukan gundul, tapi keparat itu sengaja memaki aku ! teriak Tiat-pi tak tahan.

Hong san Koay Khek “

A Siu menjadi melengak, tapi lantas katanya : Oh, jadi aku salah omong.

Melihat kedua orang itu benar2 saling sebut guru dan murid, Hek-hong-tongcu Nio Kiat menjadi heran tak terhingga.

Ia lihat A Siu cantik molek ke-kanak2an, sebaliknya Tiat-pi Hwesio itu walaupun dogol, tapi juga bukan kaum lemah dikalangan Kangouw, mengapa bisa mengangkat guru pada seorang gadis jelita demikian “ Dalam pada itu A Siu telah mendesak lagi agar menunjukkan jalan untuk menemui gurunya.

Ia pikir orang mohon bertemu dengan menurut aturan, yaitu dengan menabuh genta, kalau tak dibawanya keatas gunung, mungkin gurunya juga akan menyalahkannya.

Baiklah mari kalian ikut padaku, katanya kemudian.

Kiranya ilmu kepandaian Chitbok-lo-sat Ki Teng-nio itu sudah mencapai puncaknya pada dua puluh tahun yang lalu.

Semula ia adalah anak murid seorang paderi suci kenamaan, tapi karena tidak taat pada ajaran suci, ia telah diusir dari perguruan lalu dia menyingkir jauh kedaerah terpencil diperbatasan ini dan tanpa sengaja dapat memperoleh semacam kitab ilmu silat dari aliran sesat, keruan seperti harimau tumbuh sayap, kepandaiannya semakin tinggi dan kelakuannya bertambah menyendiri.

Ia pikir kalau ilmu silat dalam kitab baru itu sudah sempurna dilatihnya, tatkala mana pasti akan menjagoi dunia silat.

Tapi celaka baginya ketika sampai detik terakhir peyakinannya tahu tahu datang Ang Jing-kin bersama suaminya dan berhasil mencuri dua macam pusakanya.

Saking gusarnya hingga darah meluap dan tenaga dalam nyasar menyebabkan badannya menjadi lumpuh.

Sehabis itu wataknya makin hari makin aneh, tapi hatinya semakin merasa sunyi juga.

Maka setiap kali ada orang luar datang minta berjumpa, ia memberi pesan murid2nya agar menyambut dengan beraturan.

Sebab itulah maka Hek-hong-tongcu Nio Kiat mau bawa A Siu dan Tiat-pi Hwesio keatas gunung.

Setelah lama mereka menanjak keatas gunung mengikuti jalan yang ber-liku2, akhirnya tiba juga dipuncak tertinggi gunung itu.

Karena diatas gunung tandus tak tumbuh rumput dan pohon, maka batu cadas disitu licin mengkilap, bisa tersorot cahaya sang surya, maka sinar membalik ke-emas2an membikin puncak gunung itu seluruhnya se-akan2 berlapiskan emas, sebab itulah maka disebut Kim-teng-san , atau gunung puncak emas.

Di-tengah2 puncak gunung itu terdapat sebuah empang yang luasnya lebih dua tombak, ditengah empang yang membelakangi tebing terdapat sebuah batu cadas menonjol keluar, diatasnya persis tumbuh satu pohon Siong yang tua dan rindang hingga mirip sebuah payung, dan diatas batu itulah duduk bersila seorang wanita Hong san Koay Khek “

berbaju hitam.

Disamping wanita tua ini berdiri dua orang lelaki yang berdandan seperti Nio Kiat, yang satu bertubuh jangkung dan yang lain berwajah pucat lesi.

Suhu, tetamu sudah datang ! lapor Nio Kiat segera kehadapan wanita berbaju hitam itu.

Mendengar itu, barulah per-lahan2 wanita itu membuka matanya, dan seketika sinar matanya bagai kilat memancar keatas tubuh A Siu berdua.

Diam2 A Siu terkejut, tak terduga olehnya Lwekang orang itu ternyata begitu hebat.

Kalian berdua datang kemari, ada urusan apa “ segera wanita itu membuka suara.

Melihat ditepi kedua mata orang ada lima bekas luka kecil2 sebesar kuku hingga dipandang dari jauh mirip tujuh mata dimukanya, A Siu menduga tentu inilah orang disebut Chit bok-lo-sat atau siwanita bermata tujuh itu, Memangnya ia tidak kenal sungkan2 apa segala, terus saja ia menanya: Apakah kau inikah Chit-bok-lo-sat Ki Tengnio “ Seketika Tiat-pi Hweshio dan Kim-teng-sam-sat berubah hebat wajahnya mendengar si gadis terang2an menyebut nama orang.

Begitu pula Kim Teng-nio telah pentang matanya melototi si gadis.

Tapi A Siu merasa tidak berbuat sesuatu kesalahan, sama sekali ia tak gentar.

Melihat sikap si gadis yang luar biasa ini, Ki Teng-nio coba menahan rasa gusarnya, ia tersenyum dingin, lalu sahutnya : Ya, benar.

Ada urusan apakah kau “ Aku ingin menanya tentang kejadian belasan tahun yang lalu, yaitu pedang dan kain sutera merah yang tercuri oleh Jing-koh..

Sekonyong-konyong Ki Teng-nio bersuit aneh hingga rambutnya yang kusut itu seakan-akan menegak.

Nyata peristiwa itu merupakan kejadian yang tidak pernah dilupakan olehnya sebagai suatu noda besar selama hidupnya, malah ia menjadi korban pula hingga badannya lumpuh, sama sekali tak terduga A Siu berani menyinggung hal itu dihadapannya, tentu saja ia menjadi murka sebelum A Siu selesai berkata.

Mendadak ia membentak pula : Budak kurang ajar, hehe, hehehe! nyata saking murkanya hingga ia tertawa dingin saja.

Disamping sana, Kim-teng-sam-sat terus saja merubung maju demi nampak kegusaran sang guru yang tak terhingga itu.

Hong san Koay Khek “

Namun A Siu menjadi tercengang, dengan tertawa ia menanya : He, aneh kau ini, aku hanya menanya, kenapa kau marah2 “ Hemm, budak semacam kau ini, benar2 aku belum pernah melihat, kata Ki Tengnio kemudian.

Tapi kalau kau sudah berani datang kemari, rasanya kaupun punya andalan apa2, Lalu ia berpaling berteriak sengit kepada ketiga muridnya itu : Ambilkan senjata ! Cepat juga Kim-teng-sam-sat bergerak begitu mendengar suara teriakan gurunya yang keras melengking, sekali jari mereka menjentik, secepat kilat tiga macam senjata rahasia telah menyambar kemuka Ki Teng-nio.

A Siu semakin heran melihat kelakuan mereka yang aneh itu, senjata rahasia itu tidak diarahkan padanya, sebaliknya menyerang guru mereka sendiri “ Namun lantas terlihat Ki Teng nio sedikit mengap mulutnya, tahu2 ketiga senjata rahasia itu telah masuk kedalam mulutnya menyusul Kim-teng-sam-sat terus melompat mundur.

Sebaliknya A Siu masih ter-heran2, tak paham apa artinya itu “ Sementara itu terdengar Ki Teng-nio sudah bersuara aneh sekali, dan sedikit mulutnya bergerak krok , tahu2 senjata rahasia telah menyembur dari mulutnya.

Anehnya sesudah senjata itu disembur keluar, mula2 seperti ber-putar2 saja didepan Ki Teng-nio, lambat laun sesudah berputar makin cepat, mendadak terus menyambar kearah A Siu.

Sementara itu A Siu sudah melihat jelas senjata rahasia itu adalah sepotong Huihong-ciok atau batu belalang terbang.

Karena datangnya batu itu tampaknya lambat2 saja, maka A Siu tidak ambil perhatian.

Siapa duga ketika batu itu menyambar lewat diatas empang, air empang itu tiba2 bergolak seperti ditiup angin kencang.

Barulah sekarang A Siu tahu betapa hebat tenaga dalam yang dilontarkan Ki Teng-nio itu untuk meniup batu belalang itu.

Belum lagi batu itu mendekati, segera dia merasa suatu tenaga maha hebat telah menyerang dulu kedadanya hingga hampir2 dia tidak bisa tegak.

Namun dengan Lwekang yang diperolehnya tanpa sadar dari Siau-yang-chit-kay yang hebat, A Siu tidak mudah dirobohkan, ia justru ingin mencoba betapa lihaynya tenaga dalam orang.

Tidak mundur, ia malah melangkah maju terus meraup batu yang sudah menyambar tiba itu.

Hong san Koay Khek “

Melihat usia A Siu semuda itu tidak tergetar mundur oleh tenaga semburan batu, sebaliknya malah melangkah maju, pula melihat si gadis berani mengulur tangan hendak menangkap batunya, dalam terkejutnya Ki Teng-nio menduga pula pasti tangan A Siu bakal patah kebentur senjata rahasianya itu.

Ketika A Siu rangkap tangannya menyambut batu itu, ia merasa tenaga yang maha besar seakan2 mematahkan tangannya hingga separoh tubuhnya seperti lumpuh.

Lekas2 dia kerahkan tenaga dalamnya buat melancarkan jalan darahnya.

Ia menjadi terkejut, lalu pertama kali inilah A Siu menjumpai tenaga dalam yang luar biasa, maka dengan mata membelalak ia pandang wanita kosen itu.

Sebaliknya bagi Ki Teng-nio dan ketiga muridnya juga terperanjat tidak kepalang.

Menyembur senjata rahasia dengan mulutnya adalah semacam kepandaian tunggal wanita kosen itu sejak badannya lumpuh, maka boleh dikata dilontarkan dengan segenap tenaga dalamnya.

Tapi seorang gadis lemah gemulai seperti A Siu ternyata mampu menangkap batunya, tentu saja ia terkesiap, dengan suara tajam ia menanya: Budak cilik, siapakah gurumu” semula ia menduga si gadis ini mungkin anak murid kedua Nikoh dari Go-bi-pay atau murid Thong-thian-sin-mo Jiauw Pek-ki tersohor, namun ilmu silat mereka paling banyak juga mampu menangkap senjata rahasianya seperti perbuatan si gadis tadi saja.

Padahal usia gadis ini masih muda belia begini, seumpama melatih diri sejak masih dikandungan sang ibu juga tidak mungkin mencapai tingkatan demikian.

Maka terdengarlah A Siu menjawab : Suhu” Ah, aku tidak punya suhu, tapi punya Toute, ialah Hweshio gendut ini ! sembari berkata ia-pun menunjuk Tiat-pi Hwesio yang berada di belakangnya.

Mendengar jawaban si gadis yang susah dipercaya itu, Ki Teng-nio bertambah gusar, bentaknya : Bagus jawabanmu.

Tak punya Suhu katamu” Nih, sambutlah senjata kedua! kembali batu kedua menyembur keluar lagi dari mulutnya secepat kilat.

Kalau batu pertama tadi sangat lambat, adalah batu kedua ini ternyata cepat luar biasa.

A Siu terkejut oleh menyambarnya batu yang cepat itu, lekas2 ia mengegos kesamping sembari kebas lengan bajunya untuk mengebut batu itu seraya mengerahkan tenaga dalamnya membuang batu itu kesamping, tapi tidak urung ia sendiripun ter-huyung2 beberapa tindak ke belakang.

Hong san Koay Khek “

Karena itu, tanpa bicara lagi Ki Teng-nio semprotkan batu ketiga terlebih keras lagi.

Namun sekali ini A Siu sudah bersiap sedia, sekali tangannya mengayun, tiba2 batu yang kena ditangkapnya tadi terus ia sambitkan kedepan hingga kedua batu saling bentur hingga hancur remuk ditengah udara.

Tenaga dalam kedua orang sama2 hebatnya, tentu saja kedua batu itu hancur menjadi bubuk.

Kejadian ini membikin Kim-teng-sam-sat semakin terkejut.

Tiba2 Ki Teng-nio tertawa ter-kekeh2 aneh, mendadak ia berseru meraung bagai singa menggerung, suaranya makin lama makin seram, walaupun waktu itu siang hari bolong, tapi suara meraung itu membikin suasana seakan-akan dimalam sunyi yang dingin.

Semula A Siu merasa heran akan suara Ki Teng-nio itu, sejenak kemudian ia merasa pandangannya se-akan2 kabur dan kepalanya pening.

Ia terkejut, cepat ia menjalankan lwekang yang dipelajarinya dari Siau-yang-chiat-kay, ia pusatkan pikiran dan tenangkan batin, dengan sinar matanya yang bening bercahaya itu ia tatap Ki Teng-nio.

Apa yang dilontarkan waktu itu adalah semacam ilmu sakti Ki Teng-nio yang lain, yaitu disebut Ho-im-liap-hun atau meraung mencabut nyawa.

Semacam ilmu kepandaiannya yang memabukkan lawan dengan suara, cuma ciri daripada ilmu ini adalah tiada gunanya ditujukan kepada anak2 kecil yang sama sekali masih belum bisa berpikir.

Walaupun A Siu bukan kanak2 lagi, tapi selama belasan tahun ia tinggal menyepi dipegunungan sunyi, dengan sendirinya hatinya bersih dan pikirannya jernih, ditambah lagi Lwekang yang dilatihnya dari Siau-yang-chit-kay, tentu saja ilmu Ki Teng-nio itu tidak membawa hasil apa2.

Malahan melihat kelakuan wanita tua ini A Siu merasa geli, ia terus menatap diri orang dengan tersenyum.

Tak lama kemudian, ia lihat Ki Teng-nio masih terus meraung-raung, saking bernapsunya, tertampak urat-urat mukanya berkerut-kerut se-akan2 kekejangan.

Eh, eh, Ki Teng-nio kenapakah kau meraung semacam serigala lapar” Ada apa kenapa tak kau bicarakan saja ! demikian kata A Siu dengan tertawa.

Melihat ilmu andalannya Ho-im-liap-hun tidak manjur, sama sekali tak merobohkan A Siu dari terkejut Chit-bok-lo-sat menjadi gusar.

Diakhiri dengan sekali suara aneh mendadak ia berhenti meraung dengan napas memburu.

Kenapa kalian tidak turun tangan ! teriaknya kemudian dengan suara lemah.

Hong san Koay Khek “

Kata2nya itu terang ditujukan kepada ketiga muridnya.

Tapi melihat sang guru saja tak berdaya kalahkan, apa lagi mereka.

Namun terpaksa He-hong-tongcu bertiga melangkah maju dengan ragu-ragu.

Diluar dugaan mendadak A Siu berseru: Marilah kita pergi, Toute! lalu dia memberi tanda pada Tiat-pi Hwesio sambil memutar tubuh.

Melihat A Siu tahan uji akan kepandaiannya Ki Teng-nio terutama terhadap ilmu raungan pencabut nyawa yang Iihay itu, Tiat-pi Hwesio sudah menjunjung A Siu sebagai malaikat dewata, la menjadi heran tiba-tiba sang guru mengajaknya pergi dengan membelalak ia menanya : Pergi” Bukanlah Suhu hendak menanya perempuan tua bangka itu.

Sudahlah, kalau dia tidak mau berkata, tak perlu kita paksa dia, sahut A Siu.

Tiat-pi tambah heran oleh jawaban A Siu yang polos ini, betapapun Tiat-pi dogol tolol, tapi dikalangan Kangouw ia sudah bisa melihat pihak menang memaksa pihak yang terdesak.

Maka sesudah tertegun sejenak, katanya kemudian: Nah, kau saja Hekhong-tong-tongcu, lekas kau maju kemari biar aku toyor kau tiga kali dahulu kau menjotos aku sekali, kini aku memberi rante dua kali padamu, Gurumu kalah dengan guruku, apa kau berani membangkang ! Nio Kiat sendiri bukanlah jago lemah, walaupun terkesiap melihat Suhunya tak berdaya merobohkan seorang gadis jelita, tapi kalau ia disuruh terima gebuk mentah2, sudah tentu tidak mau menyerah begitu saja.

Maka dengan wajah gusar ia menjadi terpaku ditempatnya.

Pengecut, kau tak berani kemari, biar aku mendekati kau ! teriak Tiat-pi Hwesio semakin dapat angin.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar