Manusia Aneh Dialas Pegunungan Bab 15

Bab 15

Lapat2 aku masih ingat Jing-koh datang bersama seorang lelaki berkerudung katanya lelaki itu terluka, harus disembuhkan dengan dua macam obat apa yang aku tidak ingat lagi, mereka lantas berpisah sejak itu dan akupun terpencar dengan dia selama dua belas tahun tinggal dipegunungan.

Nona..

nona tinggal selama dua belas tahun didalam gunung, apakah tak pernah berjumpa pula dengan Ang Jin-kin” tanya Tiat-pi Hwesio ragu2, semula ia bermaksud menanya kepandaian A Siu dipelajari dari siapa, tapi tidak jadi.

Hong san Koay Khek “

Tidak, akupun tidak tahu kalau dia masih tertinggal digunung, tapi sekarang aku harus mencarinya, ujar A Siu.

Biar aku ikut, seru Tiat-pi Hwesio.

Tapi bagaimana dengan lukamu “ Asal nona suka menolong, sedikit turun tangan saja, pasti lukaku akan baik! Betul “ A Siu menegas dengan mata membelalak.

Ya, dengan Lwekangmu yang tinggi itu, tidak sulit rasanya lukaku hendak disembuhkan, kata Tiat-pi Hwesio.

Walaupun sebenarnya Lwekang A Siu sudah mencapai tingkatan jago kelas satu, tapi ia sendiri hakekatnya tidak mengerti.

Maka katanya : Bagaimana caranya, coba kau ajarkan padaku! Tiat-pi Hwesio menjadi heran dan melongo oleh sahutan si gadis.

Ia tutuk punggungnya sendiri dan berkata : Tempelkan telapak tanganmu disini dan kerahkan tenaga dalammu ! A Siu menurut.

Ketika tangannya menyentuh punggung Tiat-pi Hwesio dengan sendirinya timbul semacam tenaga perlawanan dari tubuhnya, sekejap saja beberapa jalan darahnya yang tadinya buntu kini tiba2 menjadi tembus.

Kiranya Tiat-pi Hwesio ini berhenti setengah jalan dan diusir dari Siau-lim-si, maka kepandaian yang masih dapat diandalkan olehnya adalah ilmu Gwakang, kini dengan bantuan A Siu, tanpa merasa tenaga dalamnya bertambah banyak hingga merupakan dasar latihan Lwekangnya dikemudian hari, karuan girangnya tidak kepalang sampai ia bersuara gembira.

Menyangka orang sudah sembuh seluruhnya, A Siu telah tarik kembali tangannya.

Tiba2 pikiran Tiat-pi Hwesio tergerak, mendadak ia menjura terus memberi sembah kepada A Siu dan katanya : Nona, meski usiamu lebih muda dariku, tapi aku mohon kau suka menerima aku sebagai Toute (murid)! A Siu melengak, ia tidak paham maksud orang, tanyanya : Apakah Toute itu “ Dengan ter-heran2, Tiat-pi Hwesio mendongak memandang si gadis, pikirnya, semua orang suka bilang aku tolol, tapi gadis ini ternyata lebih tolol dari padaku.

Namun begitu tak berani diucapkannya, hanya sahutnya : Artinya aku mengangkat nona sebagai suhu! Hong san Koay Khek “

Tapi A Siu masih tidak paham apa Suhu, apa Toute segala.

Maka Tiat-pi Hwesio coba menerangkan : Aku panggil nona Suhu dan nona sebut aku Toute.

Mau tak mau Tiat-pi Hwesio garuk2 kepala, sebab ia sendiri merasa sulit juga untuk menerangkan.

Lalu Suhu mengajarkan kepandaian kepada toute dan toute akan menurut segala perkataan Suhu.

Suhu suruh toute melakukan apa, toute lantas menurut, sahutnya kemudian.

A Siu menjadi gembira.

Ya, tahulah aku sekarang.

Baiklah, aku menjadi suhumu! katanya tertawa.

Tanpa disuruh lagi Tiat-pi Hwesio terus menjura memberi hormat sambil memanggil Suhu.

Kedua orang ini yang satu adalah Hwesio tolol, yang lain adalah nona cilik yang kekanak-kanakan, maka tidak heran apapun dapat terjadi.

Namun demikian ada baiknya juga bagi Tiat-pi Hwesio hingga kelak ia dapat mempelajari ilmu Lwekang yang tinggi dari A Siu.

Toute, daripada kita nganggur, marilah kita pergi mencari Jing-koh, kata A Siu kemudian.

Sudah tentu Tiat-pi Hwesio mengia.

Segera mereka berdua kembali kejalan pegunungan itu.

Sedapat mungkin A Siu ingin meng-ingat2 masa dahulu ketika dirinya dipanggul dipundak ayahnya pergi mencari obat bersama Jing-koh dan tempat mana yang telah didatanginya.

Namun ia tidak ingat lagi, hanya samar2 masih ingat pernah meng-uber2 kelinci hingga akhirnya ditolong Lo-liong-thau ketika seorang lelaki hendak mencelakai dirinya.

Begitulah mereka terus menjelajahi lereng pegunungan itu hingga dua hari, tapi tiada sesuatu yang mereka ketemukan, tapi sudah dekat dengan gua tempat tinggal Lo-liong-thau itu, A Siu pikir kenapa tidak pulang dulu untuk menanyakan orang aneh itu, mungkin ia masih ingat cara bagaimana dahulu menemukan dirinya.

Sesudah ambil keputusan, segera Tiat-pi Hwesio diajaknya kesana.

Dari jauh sudah tampak Lo-liong-thau lagi duduk didepan gua sambil melongak-longok, dan begitu melihat A Siu segera orang tua itu berteriak aneh : A Siu, kemana saja kau ngelayap sampai hari ini baru pulang” Hong san Koay Khek “

Sudah tentu Tiat-pi Hwesio tidak paham apa yang dimaksudkan kata2 orang dalam bahasa Biau yang ngawur itu, ia menyangka A Siu sedang dimaki, maka dengan mata mendelik ia membentak: Hai, kau setan alas ini, berani kurang ajar pada Suhuku ! tanpa pikir lagi ia mendekati dengan langkah lebar, begitu tongkatnya diangkat, mendadak ia mengemplang kepala orang.

Tapi Lo-liong-thau seperti tidak menghiraukannya, masih katanya dengan gusar : A Siu, siapakah orang ini “ Kenapa kau membawa kemari “ Habis itu, baru cepat ia mengulur tangannya memapak tongkat sihwesio yang sementara itu sudah hampir berkenalan dengan kepalanya.

Sekali tangkap dan ditarik, tahu2 tubuh Tiat-pi Hwesio menyelonong kedepan.

Karena inilah baru Hwesio tolol itu insyaf orang Biau yang aneh ini ternyata jauh lebih lihay daripada si A Siu, lekas2 ia kendorkan cekalannya dan menyusul terdengarlah suara krak , tongkatnya telah patah ditekuk orang aneh itu.

Saking terkejutnya sampai Tiat-pi Hwesio mencelat mundur pula setengah mengumpet dibelakang A Siu.

Cepat A Siu mendekati Lo-liong-thau, Tiat pi hendak ikut maju, tapi mendadak terasa suatu tenaga maha besar telah mendorongnya dibarengi dengan bentakan Lo-liongthau : Kau enyah keluar sana ! seketika tubuh Tiat-pi Hwesio ter-huyung2 mundur setombak lebih.

Toute jangan takut, memang beginilah watak Lo-liong-thau, kau tunggu dulu diluar situ, kata A Siu.

Sudah tentu Tiat-pi Hwesio tak berani membantah, dengan mata membelalak heran ia mundur lagi beberapa tindak.

Selama dua belas tahun ini, sudah tentu kepandaian Lo-liong-thau bertambah tinggi lagi daripada dulu.

Sekali tangannya menahan ditanah segera tubuhnya menerobos kedalam gua dan disusul A Siu dengan cepat.

Tapi A Siu menjadi heran ketika sudah berada didalam gua, ternyata disitu sudah bertambah seorang nenek.

Siapakah dia, Lo-liong-thau “ He, kenapa orang sendiri kau tak kenal lagi! ujar Lo-liong-thau dengan tertawa.

Tiba2 nenek itu berbangkit sambil mengamati-amati A Siu.

Ai, kau benar2 A Siu, betapa rindunya ibumu akan dirimu, serunya dengan girang.

Nenek, kau.

Hong san Koay Khek “

Aku adalah Tiat-hoa-popo, masakan kau tidak ingat lagi “

'' potong nenek itu sebelum A Siu menanya.

Tapi sesungguhnya A Siu tidak ingat siapakah gerangan Tiat-hoa-popo ini, maka ia rada kesima.

Ibu Lo-liong-thau, nini Teng-kiu adalah adik perempuanku, waktu kau masih kecil, sering juga aku menggendong kau.

ujar nenek itu.

Samar2 A Siu coba mengingat masa dulu memang seperti ada seorang nenek seperti ini, maka dengan girang serunya : Ah, tentunya ayah dan ibuku juga baik2 bukan” Aku tadinya hendak pulang menjenguk mereka, tapi sampai tengah jalan telah putar balik..

Ai, ibumu saking berduka ditinggal pergi ayahmu, lalu jatuh sakit dan sudah meninggal tahun yang lalu, sela Tiat-hoa-popo dengan menghela napas.

Apa, ibuku sudah meninggal “ A Siu menegas dengan sedih.

Jika begitu, terang ayahku tidak pernah pulang” Tentu Jing-koh juga benar2 masih berada ditengah gunung! Jing-koh siapa “ tanya sinenek.

Ialah wanita yang minta ayahku membawanya kegunung dahulu itu, sahut A Siu.

Ya, ingatlah aku, kata Tiat-hoa-popo.

Gara2 kedua orang asing itu, sekeluargamu jadi morat-marit.

Sesudah suaminya ditinggal pergi dirumahmu dan memesan agar kain kerudung suaminya itu jangan dibuka.

Siapa duga, suatu kali ibumu kurang hati2 hingga menyingkap kainnya itu, ibumu berteriak kaget, sebab muka lelaki itu sudah tidak berwujut manusia lagi, tapi penuh dengan darah kering dan bernanah pula.

Mendengar jeritan ibumu, lelaki itupun terus meloncat bangun dan berlari pergi entah kemana.

Orang sama berkata bahwa kedua orang asing itu adalah siluman yang sengaja datang hendak mencelakai sekeluargamu.

A Siu ter-mangu2 sejenak, dalam hati ia pikir tidaklah mungkin orang baik seperti Jing-koh itu, tak nanti mencelakai keluarganya.

Kalau bukan Tiat-hoa-popo kesasar jalan digunung dan dapat kupergoki tanpa sengaja, mungkin kita belum lagi tahu bahwa pemilihan Seng-co dari tujuh puluh dua gua suku kita segera akan diadakan dua tahun yang akan datang, kata Lo-liong-thau kemudian.

Hong san Koay Khek “

A Siu terkesima tidak paham tentang Seng-co apa segala.

Maka Tiat-hoa-popo telah berkata lagi : Ya, sekali ini mungkin bintang suku kita sudah mulai terang hingga terdapat dua orang kalian.

Dengan kepandaianmu, Lo-liong thau, rasanya kedudukan Seng-co kita takkan jatuh ditangan bangsa Han lagi! Tapi akupun takkan menjadi Seng-co, sahut Lo-liong-thau sesudah memikir sebentar.

Jika ingin kedudukan Seng-co tidak jatuh ditangan bangsa lain, rasanya A Siu yang dapat memenuhi kewajiban itu.

Sudah tentu A Siu tidak peduli tentang Seng-co apa segala dan betapa artinya kedudukan itu bagi bangsa mereka.

Ya, A Siu sibocah ini memang sejak semula orang menyangkanya punya rejeki besar, kini ternyata memiliki kepandaian tinggi, tentu saja kita sangat bersyukur, kata Tiat-hoa-popo kemudian.

Baiklah, dua tahun lagi, kalau waktunya sudah dekat, bolehlah kau kemari lagi, kata Lo-liong-thau.

Tiat-hoa-popo mengiakan dan sejak itu sering ia datang menjenguk Lo-liong-thau.

Cuma terhadap pertemuan mereka ini yang selamanya tak pernah diceritakannya kepada orang lain.

Sebaliknya Tiat-hoa-popo sendiri juga tidak sedikit memperoleh faedah dari Siau-yang chit-kay yang terukir didalam gua itu hingga menjadikannya diindahkan suku bangsanya serta diangkat se-akan2 pemimpin mereka.

A Siu, kata Lo-liong-thau kemudian, rasanya sudah tibalah waktunya kita menghadapi hari2 bahagia.

Sesudah kelak kau menjabat Seng-co, hendaklah datang membawa aku kembali kerumah.

Maka Hwesio gede tadi lekaslah kau enyahkan.

Lo-liong-thau, Toahwesio itu sudah mengangkat guru padaku, rasanya ia pasti akan turut perintahku, sahut A Siu, dan sesudah merandek sejenak, tiba2 ia menanya tentang kejadian dahulu dan tempat dimana ia diketemukan orang aneh itu.

Kejadian sebenarnya aku sendiri tidak tahu, ujar Lo-liong-thau, tapi tempat kutemukan kau adalah dibukit sebelah sana yang tidak jauh dari sini.

Tanpa bicara lagi segera A Siu berlari pergi sembari menteriaki Tiat-pi Hwesio.

Kemudian ia berpaling melambaikan tangan kepada Lo-liong-thau dan berseru : Loliong-thau, aku ingin pergi lagi untuk beberapa lamanya akan mencari tahu jejaknya Jing-koh ! Hong san Koay Khek “

Dengan sendirinya Lo-liong-thau tidak tahu siapa Jing-koh itu, dia hanya gelenggeleng kepala melihat kelincahan si gadis itu.

Sementara itu Tiat-pi Hwesio terus saja menyusuli A Siu dengan kencang, sesudah melintasi suatu bukit, A Siu coba membayangkan kejadian masa dahulu, tapi sama seperti sudah tak teringat olehnya, hanya lapat-lapat seperti ada air disuatu tempat yang dapat dibuat patokan olehnya.

Toute, ternyata Jing-koh itu benar-benar tidak pernah kembali kepada suaminya yang ditinggalkan itu dan katanya mukanya penuh darah, entah apa sebenarnya yang sudah terjadi, masakan mereka benar-benar jelmaan siluman” tanya A Siu ditengah jalan.

Siluman” Mana mungkin, sahut Tiat-pi Hwesio.

Menurut kabar orang Kangouw katanya mereka kena dipedayai Bong-san Sam-sia yang mahir menggunakan racun itu, dan Sam-siang-sin-tong Siang Hiap terkena racun jahat, maka isterinya, Ang Jing-kin tidak kenal jeri payah menyingkir kedaerah Biau ini dengan maksud mencari obat.

Tempo hari A Siu sudah mendengar sedikit tentang Ang Jing-kin dan suaminya itu, maka dia menjadi ketarik akan kisah-kisah Bu-lim, kembali dia tanya : Toute, cobalah ceritakan sedikit tentang jago2 silat yang menarik diantara bangsa Han kalian.

Benar Tiat-ti Hwesio seorang dogol tapi pengalamannya di Kangouw sesungguhnya cukup luas.

Maka dia menjadi bangga diminta oleh sang guru agar bercerita, segera dia memulai dengan dirinya sendiri yang tidak lupa dibumbu-bumbui dan di-tiup2 setinggi langit sampai A Siu ter-senyum2 geli tapi tak mencelanya.

Kemudian Tiat-pi menceritakan tentang Jing-ling-cu dari Heng-san yang katanya sebatang pedangnya tiada tandingan dikolong langit, tentang dua paderi wanita dari puncak emas Go bi-san yaitu Sian-hoat Suthay dan Biau-in Sut-hay yang mahir ilmu Ji-lay-it-ci atau jari tunggal Budha dan pernah menaklukan delapan iblis terkenal di Jing-le-kok lalu tentang betapa lihaynya Thi-thau-o dari Ngo-tay-san yang atos kepalanya, tentang kelakuan Thong-thian-sin-mo Jiauw Pek-king yang tak terkekang, tapi ilmu silatnya tiada bandingan hingga tiga saudara she ln dari Holan yang terkenal dengan ilmu pukulan geledek kena ditundukan dan tentang tokoh kenamaan didaerah Kang-lam, Tai-lik-sin Tong Po yang takut bini, tentang Chit-bak-losat Ki Teng-nio dan sumoynya Li-giam-ong To Hiat koh yang kejam tak kenal ampun.

Serentetan kisah yang aneh2 dan Iucu2 telah diceritakannya hingga A Siu ter-longong2 saking ketarik.

Dan tanpa merasa haripun sudah petang.

Hong san Koay Khek “

Dibawah sebuah pohon besar mereka duduk mengaso buat lewatkan sang malam, A Siu duduk bersila bersemadi menurutkan ukiran yang dipelajarinya dari gua, iapun memberi beberapa petunjuk seperlunya kepada Tiat-pi Hwesio hingga tidak sedikit manfaat bagi paderi itu.

Besok paginya mereka melanjutkan perjalanan, tapi tidak jauh tiba2 mereka mendengar gemerciknya air, A Siu menjadi girang, serunya, Hei, air, air air ! Ya, mungkin suatu sungai kecil, ya, ya, sungai kecil dan aku diletakkan ketanah oleh ayah ditepi air itu ! Segera A Siu mendahului berlari kedepan, tapi sudah dekat sungai itu masih tidak tertampak, setelah menerobos sebuah sela2 batu, tiba2 pandangan didepan terbeliak, sebuah sungai kecil mengalir dengan airnya yang bening menyusur sebuah lembah yang sekelilingnya terkurung oleh tebing2 curam.

Perlahan-lahan A Siu menyusur tepi sungai itu, sampai suatu tempat, tiba2 ia berkemak-kemik: Ya, ya, ini tempatnya ayah meletakkan aku ketanah.

Pada saat itulah tiba2 Tiat-pi Hwesio di belakangnya telah berseru : Hai, Suhu, apakah yang berada disamping kakimu itu “ Waktu A Siu menunduk, dia menjadi kaget.

Ternyata tidak jauh dari tempat berdirinya situ ada kerangka tengkorak yang utuh seperti tengkurap ditepi sungai.

Segera Tiat-pi mendekati kerangka tulang itu dan memeriksanya, tiba2 ia berseru lagi : Eh, pada tulang orang ini bersemu warna hitam, terang mati keracunan.

He, disini ada lagi sepotong lencana emas segi tiga ! Mendengar ada lencana emas disitu, hati A Siu tergerak.

Sebab ia masih ingat diwaktu kecilnya pernah memainkan sepotong lencana emas milik ayahnya yang biasanya dipakai sebagai jimat untuk menolak gangguan.

Maka cepat ia minta lencana itu dari Tiat-pi Hwesio.

Ia lihat diatas benda itu terukir seekor ayam jago yang lagi berkokok, terang sudah ia memang benar barang ayahnya dahulu, tanpa merasa ia mengeluh : O, ayah, jadi kau telah meninggal keracunan disini! Mendengar kerangka tulang itu adalah ayah si gadis, tiba2 Tiat-pi berseru : Aha, kebetulan, jika ayahmu berada disini, tentu Ang Jin-kin itupun takkan jauh dari tempat ini .

Lalu ia memandang sekitarnya terus berlari menuju kehilir sungai sana.

Hong san Koay Khek “

A Siu tidak urus kelakuan Hwesio dogol itu karena sedang berduka, tapi sejenak kemudian ia mendengar Tiat-pi lagi memanggilnya dikejauhan: Suhu lekas kemari! Mendengar suara agak genting, cepat A Siu menyusul kesana.

Sesudah menerobos suatu gua, terlihatlah dibalik sana Tiat-pi Hwesio lagi berdiri disuatu empang.

Ditepi ada lagi tiga kerangka tulang, dan diatas batu besar yang menonjol di-tengah2 empang ada lagi kerangka tulang lainnya, sebelah tangannya melambai kebawah seperti sebelum ajalnya telah melemparkan sesuatu kedalam empang, sebab itu sebagian tulang lengan itupun jatuh kedalam empang, hanya ketinggalan buku bagian atas.

Disamping kerangka tulang itu ada lagi seutas tulang ular dan sebutir biji buah-buahan.

Tiap-pi Hwesio tampak lagi memegangi tiga macam benda yang bentuknya aneh dan berkilau.

Toute, barang apakah yang kau lihat itu” tanya A Siu tidak mengerti.

Tiat-pi tertawa bangga, sahutnya: Orang selalu mengatakan aku goblok, tapi sekali ini rasanya akulah yang paling pintar.

Ketiga macam senjata ini disebut Tui-hong-liaphun-boan (petel mencabut nyawa), adalah senjata andalan dari Bong-san-sam-sia, rasanya ketiga rangka tulang di tepi empang ini bukan lain adalah tulang Bong-sansam-sia yang sudah menghilang selama dua belas tahun itu ! Lalu siapa lagi yang berada diatas batu di tengah empang itu” tanya A Siu.

Tiat-pi Hwesio menjadi bingung, padahal tadi ia sombongkan dirinya pintar.

Namun dijawabnya juga.

Aku menduga pasti seorang manusia juga.

A Siu geli melihat jawaban yang tak tegas itu.

Sengaja ia menanya lagi : Dan ketiga orang itu sebab apa telah mati “ Tentu saja Tiat-pi Hwesio semakin repot, ia hanya geleng2 kepala tak bisa menjawab.

Mereka mati keracunan oleh air sungai ini, tentu, ujar A Siu kemudian.

Ya, ya, memang aku sudah menduga mereka mati keracunan, sebab tulang mereka bersemu hitam, seru Tiat-pi.

Cuma air sungai sebening ini, masakan ada racunnya “ A Siu cukup cerdik, ketika melihat kerangka tulang ayahnya dan Bong-san-sam-sia sama tengkurap ditepi empang, segera ia menduga air ada sesuatu yang tak benar.

Maka katanya pula: Kalau perlu boleh coba kau minumnya seceguk.

Hong san Koay Khek “

Seketika Tiat-pi melompat mundur sambil goyang2 tangannya: Eh, eh, Suhu jangan bergurau, masakan air beracun boleh dibuat main2.

Pada saat itulah tiba2 seekor rusa kecil berlari lewat didekatan situ, seru A Siu : Kau tak berani biar rusa itu yang mencoba ! Dan sekali melesat dengan cepat ia menguber binatang itu.

Betapa enteng gerakan A Siu itu maka tidak seberapa jauh ekor binatang itu kena diseretnya.

Segera Tiat-pi Hwesio meraup sekukupan air dan dicekokan kemulut rusa, hanya sekejap saja segera kulit binatang itu berubah biru hangus terus roboh binasa.

Hebat sekali dugaan Suhu, memang betul orang2 itu mati minum air beracun ini tapi entah orang diatas batu sana, apakah juga mati keracunan “ teriak Tiat-pi Hwesio.

Habis itu tanpa pikir ia terus meloncat kedepan, ia sangka sekali loncat tentu akan mencapai batu ditengah empang itu.

Tak terduga tampaknya batu itu tidak jauh padahal sedikitnya hampir dua tombak, pula badan Tiat-pi Hwesio terlalu gendut maka sampai batu itu badannya sudah menurun kebawah, dan bila teringat olehnya air empang beracun ia menjadi sibuk dan ber-kaok2 minta tolong ! Syukur A Siu bisa berlaku sebat sekali, sekali melesat secepat kilat ia menyambar tengkuk sihwesio itu dan ditarik kedepan.

Maka sebelum kaki Tiat-pi Hwesio menyentuh air, tubuhnya sudah menurun diatas batu besar itu.

Sesudah berdiri tegak disitu, dengan muka pucat Tiat-pi ter-longong2 memandangi, A Siu tak mengurusnya lagi, cepat ia memeriksa kerangka tulang yang terdapat diatas batu itu, ia tunjuk sesuatu disamping kerangka tulang itu dan berkata pada Tiat-pi : Lihatlah, apakah itu “ Cepat Tiat-pi menjemputnya, ternyata itu adalah sepasang anting2, ketika ia periksa lebih teliti, ternyata anting2 itu terdapat tulisan, yang satu tertulis satu huruf Jin dan yang lain Kin .

He, Ang-jing-kin ! seru Tiat-pi terperanjat.

A Siu buta huruf, maka iapun melengak mendengar kerangka tulang inilah Ang Jinkin, hatinya kembali berduka.

Sementara itu Tiat-pi Hwesio telah putar kayun sekeliling batu besar itu, katanya dengan heran : Aneh, orang mengatakan dua macam pusaka Chit-bok-lo-sat Ki Tengnio berada di tangannya Bwe-hoa-siancu Ang Jing-kin.

Kalau ia sudah mati disini, kenapa pusaka2 itu tidak tertampak” Jangan2 telah kena dibawa pergi oleh salah Hong san Koay Khek “

seorang dari empat orang berkedok yang mengubernya itu “ Tapi peristiwa itu kenapa selamanya tidak pernah terdengar dikalangan Kangouw “ Sudah beberapa kali A Siu mendengar tentang dua macam pusaka Ki Teng-nio itu, maka katanya: Selalu kau singgung2 tentang pusaka sebenarnya dua macam benda apakah “ Menurut kabar, katanya yang satu adalah sebatang pedang dan yang lain sepotong kain sutera merah, sahut Tiat-pi Hwesio.

A Siu tidak mengerti apa kasiatnya kedua macam pusaka itu, kalau pedang masih bisa dimengerti, tapi sepotong kain sutera merah apa gunanya” ia memandangi kerangka tulang itu dengan ter-menung2, tiba2 hatinya tergerak, serunya: Ah, melihat keadaannya tentunya orang diatas batu ini sebelum ajalnya telah melemparkan sesuatu kedalam empang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar