Manusia Aneh Dialas Pegunungan Bab 14

Bab 14

Tiba2 teringat olehnya tempat tinggal ayahnya adalah Tiok-teng-tong, lalu dimanakah tempat itu, kalau ketemukan orang, bukankah bisa menanya “ Dan betapa baiknya kalau bisa pulang menyambangi orang tua “ Setelah mengambil keputusan itu, segera ia percepat langkahnya kedepan, sampai hari hampir petang, dari jauh tiba-tiba dilihatnya ada asap seperti mengepul dari cerobong rumah penduduk, tak lama lagi, dilihatnya ditepi jalan ada empat-lima orang lagi merubungi segundukan api unggun dan sedang makan rusa panggang.

Melihat orang, tentu saja A Siu bergirang.

Sesudah dekat, ia lihat seluruhnya ada lima orang.

Tiga diantaranya laki-laki berewok semua dan lainnya, yang satu adalah hwesio gendut, sedang satunya lagi seorang lelaki kurus kecil.

Para paman, pergi ke Tiok-teng-tong harus ambil jalan mana “ segera A Siu menanya.

Rupanya kelima orang itu rada kaget ketika mendadak mendengar suara teguran orang, mereka menoleh berbareng, dan mereka menjadi tercengang demi melihat seorang gadis jelita berpakaian kulit binatang telah berdiri disitu.

Namun sejenak saja, satu diantara laki-laki berewok itu terus bersiul panjang seperti lelaki bangor umumnya.

Ehmmm, alangkah manisnya nona cilik ini, darimanakah kau dara cantik” segera kawannya menggoda.

Ah, kau ini, orang menanya kau, sebaliknya kau menegur “ ujar temannya yang satu lagi.

Sebagai seorang gadis yang masih hijau, sudah tentu A Siu tak paham kata-kata orang yang bersifat rendah, ia masih menantikan jawaban orang sambil membetulkan sedikit pakaiannya, ketika tanpa sengaja mutiara kalungnya itu tertarik keluar hingga memancarkan sinar gemilapan, kelima orang itu menjadi curiga.

He, mutiara mestika seperti ini, masakan dijagat ini ada dua butir “ seru satu diantara lelaki berewok tadi.

Hong san Koay Khek “

Mana bisa ada dua butir” sahut silelaki kurus kecil tadi dengan suaranya yang banci.

Lihatlah untaian kalungnya itu begitu indah buatannya, kalau bukan bikinan Onglothau, tukang emas kenamaan di Tiangsah yang terkenal itu, siapa lagi mampu membuatnya “ Hai, anak dara, dimana Ang Jin-kin berada, lekas kau mengaku! bentak sihwesio gendut mendadak.

A Siu menjadi bingung, ia tidak mengerti mengapa kelima orang itu sedemikian garang kepadanya, ia hanya mengulangi nama Ang Jin-kin yang ditanya itu, ia pikir nama ini seperti sudah dikenalnya, tapi siapa dan dimana ia tidak ingat.

Karena itu, dengan membelalak ia pandangi paderi gemuk itu.

Mendadak Hwesio itu putar2 tongkat paderinya hingga mengeluarkan angin, lalu bentaknya lagi: Hayo, anak dara, lekas katakan yang benar, dimana adanya Ang Jin-kin “ Hai, Hwesio gede, tiba2 silelaki kurus kecil itu menukas, caramu begini dan potonganmu bagai raksasa apa takkan bikin takut dara jelita ini “ Ya, ya, daripada Siucay kecut macam orang sakit tbc seperti kau, masih berani kau berlagak apa” sahut si hwesio tak mau kalah.

Karuan lelaki kurus kecil itu menjadi gusar.

Kiranya ia berjuluk Im-su Siucay atau si sastrawan akherat, walaupun datang berombongan dengan hwesio gemuk yang bergelar Tiat-pi Siansu itu, namun dalam hati mereka sebenarnya saling iri dan bermusuhan.

Karena kena diolok2, tentu saja menjadi murka.

Lihatlah ketiga saudara she Tio, keledai gundul ini yang mencari gebuk, bukan aku lm-su Siucay Swe Hiang-ang yang tidak kenal sobat, seru lelaki kurus itu kepada tiga kawannya yang berewok itu.

Lalu ia berpaling kepada Tiat-pi Siansu dan mendamprat : Baiklah, hari ini biar aku memberi hajaran kepada keledai gundul, supaya kau kenal lihaynya orang she Swe! Bagus, biar aku pereteli juga tulang2mu yang terbungkus kulit melulu itu ! teriak Tiat pi Siansu murka.

Ketiga lelaki berewok itu tidak melerai, sebaliknya mereka mundur semakin jauh supaya mereka berkelahi lebih bebas.

Namun begitu, entah sengaja atau tidak, mereka seakan-akan mengurung A Siu ditengah-tengah.

Hong san Koay Khek “

A Siu sendiri ter-longo2 melihat kelima orang itu saling bertengkar sendiri.

Ia lihat Tiat pi Siansu tinggi besar bagai raksasa, sebaliknya si Im-su Siucay itu kurus kecil, keduanya terang tak setanding.

Namun dasar masih kanak kanak, ia menjadi ketarik akan perkelahian yang bakal terjadi itu.

Kiranya datangnya kelima orang itu memang bukan tiada maksud tujuan, mereka sama-sama hendak mencari jejaknya seseorang.

Cuma satu sama lain hanya lahirnya saja akur, dalam batin setiap waktu bila perlu tidak segan2 menjegal pihak lain.

Ketiga lelaki berewok itu terkenal didaerah Hun-lam dengan julukan Thian-lam-sam-say atau tiga singa dari Hun lam selatan, yang tertua bernama Tok-jiau-say Thio Jiang, singa bercakar tunggal, kakak kedua bernama Kiu-thau-say Thio Seng, singa berkepala sembilan, dan yang terakhir ialah Cui-say-cu Thio Sia, singa mabuk.

Kini melihat Swe Hiang-ang akan saling gebrak dengan Tiat-pi Siansu, kebetulan malah bagi mereka, maka sengaja menonton akan menarik keuntungan dari pertengkaran kedua orang itu.

Sementara itu Tiat-pi Siansu sudah membentak : Nah, Siucay setan madat, lekas keluarkan senjatamu, supaya orang tidak mengatakan aku menghina seorang setan kurus macammu ini! Melayani keledai gundul seperti kau, kenapa perlu pakai senjata” sahut Im-su Siucay Swe Hiang-ang dengan tertawa dingin.

Berbareng itu, pukulan pertama terus dilontarkannya mengarah dada lawan.

Bagus, biar aku mengalah tiga serangan padamu ! sambut Tiat-pi Siansu dengan lincahnya, tubuhnya yang gede gemuk itu telah memutar kesamping dengan cepat sambil tongkatnya diangkat tinggi2, betul juga ia tidak balas menyerang.

A Siu menjadi senang melihat pertandingan telah dimulai.

Ia lihat cara menghindar si hwesio gendut itu tidak terlalu pintar, kalau saja Im-su-siucay itu terus menubruk maju dan menyusuli hantaman, pasti ia takkan dapat menghindarkan diri.

Apa yang dipikirkan oleh A Siu ini adalah ilmu silat tertinggi dalam Siau-yang-chit-kay yang lihay, tentu saja hal mana tak mungkin diketahui Im-su-siucay.

Dan karena serangan pertama tak kena, segera Im-su-siucay melontarkan serangan kedua.

Ketika melihat tenaga serangan sekali ini tidak terlalu keras, Tiat-pi Siansu bermaksud membiarkan dirinya dihantam dengan menggunakan ilmu Ngekang, tapi sekilas dapat dilihatnya pada telapak tangan lawan penuh berduri kecil2 dan tajam dengan warna merah tua, ia menjadi terkejut dan lekas mundur kebelakang.

Hong san Koay Khek “

Tapi dengan tertawa aneh sekali, lagi2 Im-su-siucay merangsang maju dan sebelah tangannya menggaplok lagi keatas kepala hwesio yang gundul.

Belum lagi Tiat-pi Siansu berdiri tegak, tiba2 melihat serangan orang yang sayup-sayup membawa angin yang berbau busuk, maka insyaflah dia kalau telapak lawan tentu berbisa.

Kalau sampai kena berkenalan dengan tangan orang, pasti kepalanya akan berlubang seperti sarang tawon oleh duri2 ditangan orang.

Maka tak terpikir lagi olehnya apakah kata-katanya akan mengalah tiga kali serangan itu sudah habis belum, sekali tongkatnya mengetok ketanah, mendadak senjata itu terus membal keatas, secepat kilat ujungnya menyodok ketelapak tangan lawan sambil berteriak : Cara turun tanganmu terlalu keji, jangan kau salahkan aku tak pegang janji, Siucay kecut! Walaupun Hwesio gendut ini tampaknya urip, tapi lucu-lucu ngong-tit , atau geblekgeblek jujur.

Dengan serangannya yang lihay yang disebut ting-thian-lip-te atau berdiri di bumi menyundul langit, kalau sampai Im-su-siucay Swe Hiang-ang kesodok, pasti dadanya akan amblek berlubang.

Tapi disaat berbahaya itu, sempat Swe Hiang-ang merosot kesamping hingga sodokan tongkat Tiat-pi Siansu mengenai tempat kosong.

Sebaliknya begitu turun ketanah, mendadak Im-su-siucay berjongkok, kedua kakinya terus menyepak.

Karena serangannya tadi luput, Tiat-pi Siansu lagi melengak, maka depakan musuh tak sempat dihindarinya, pahanya telah kena hingga tubuhnya ter-huyung2 mundur, dan akhirnya jatuh terlentang dengan muka pucat sambil ber-kaok2 kesakitan.

Ketika ia meraba pahanya, ternyata tangannya berlumuran darah.

Hm, keledai gundul, sekarang sudah kenal kelihayan tuanmu belum” jengek Im-susiucay menyindir.

Tiat-pi Siansu sesungguhnya tidak mengerti cara bagaimana pahanya bisa terluka, hanya kena didepak saja.

Begitu pula A Siu yang menyaksikan itupun merasa bingung, hanya Thian-lam-sam-say saja yang tahu bahwa diujung sepatu Im-su-siucay itu dipasang pelat baja yang sangat tajam, tentu saja daging paha musuh yang tertendang takkan tahan.

Tapi Tiat-pi Siansu masih merasa penasaran, cepat ia merangkak bangun, ia angkat tongkatnya lagi, tanpa bicara terus mengemplang dengan tipu Thay-san-ap-teng atau gunung raksasa menindih kepala.

Hong san Koay Khek “

Betapapun lihaynya Im-su-siucay, tak nanti ia berani menangkis serangan hebat ini, apalagi ia bertangan kosong, terpaksa cepat berkelit kesamping.

Dan saking bernafsunya kemplangan Tiat-pi Siansu itu hingga sebuah batu kena dihantam remuk, tangan sendiri yang berasa kesemutan, malah luka pahanya tadi ikut2 kesakitan lagi.

Karuan kesempatan bagus ini digunakan Im-su-siucay dengan baik untuk menubruk maju dari samping terus menggablok kepundak lawan.

Maka terdengarlah teriakan Tiat-pi Siansu terus terguling ketanah.

Waktu Im-susiucay periksa tangannya, ternyata telapak tangannya sudah berlepotan darah.

Kiranya tangan Im-su-siucay itu terkenal sebagai Sian-jing-ciang atau tangan dewa alias tangan kaktus, yaitu memakai kaos tangan dari kulit landak yang berduri.

Tentu saja pundak Tiat-pi Siansu yang kena dihantam itu seketika bertambah berpuluh lubang2 kecil dan jatuh knock-out , ia menggereng kesakitan, tapi tak berani merangsang maju lagi, melainkan dengan mata mendelik memandangi lawan yang licik itu.

Melihat Tiat-pi Siansu telah kalah kena hantamannya, Swe Hiang-ang menjadi jumawa seperti ayam jago yang habis mendapat kemenangan, dengan sinar mata sombong yang tiada takeran ia mengerling pada Thian-lam-sam-say hingga yang tersebut belakangan ini merasa kebat kebit.

Ha, ilmu kepandaian Swe-toako memang benar hebat! kata Thian-lam-sam-say setengah mengejek.

Hm, bila kalian ingin coba2, boleh tunggu nanti! sahut Swe Hiang-ang dengan angkuhnya.

Habis ini ia berpaling kepada A Siu dan membentak : Bocah, hayo katakanlah, dari manakah kau peroleh mutiara yang kau pakai itu” A Siu melengak oleh teguran itu, ia lihat wajah Im-su-siucay yang kurus bengis itu lagi memandang padanya dengan sinar mata jahat, ia menjadi muak rasanya.

Mutiara ini pemberian Jing-koh , sahutnya kemudian sambil melengos.

Sudah tentu Im-su siucay tidak pandang sebelah mata pada seorang gadis desa seperti A Siu, dengan suara keras ia membentak pula: Siapa Jing-koh “ Dia berada dimana “ Lekas katakan! A Siu mengkerutkan keningnya, lalu katanya : Kenapa kau begitu galak, aku justeru tak mau katakan, sahutnya kemudian.

Hong san Koay Khek “

Im-su-siucay menjadi murka.

Budak kurang ajar! bentaknya, terus melesat maju.

Tangannya diangkat terus hendak mencengkeram kemuka si gadis.

Hai, Im-su..

bentak Thiam-lam-sam-say hendak mencegah.

Tapi belum sampai ucapannya habis, tahu2 bukannya A Siu yang kena dicengkeram, tapi Im-su-siucay sendiri yang terpental pergi bagai layangan yang putus benangnya, hingga tepat terbanting disampingnya Tiat-pi Siansu.

Kalau tadi Im-su-siucay masih mentah2 bersitegang, siapa tahu sekarang ia sendiri menggeletak juga ditanah sambil meng-gereng2.

Thian-lam-say-say dan Tiat-pi Siansu menjadi bingung menyaksikan itu.

Tapi segera Tiat pi Siansu ter-bahak2 juga, Bagus, sekarang kaupun tahu rasa ! serunya sembari merangkak bangun terus balas menyepak ketubuh Im-su-siucay hingga sasaran ini terpental pergi setombak lebih.

Dalam keadaan terluka kena Lwekang yang dilontarkan A Siu tadi, dengan sendirinya Im-su-siucay tak dapat menghindari depakan si hwesio itu, malahan Tiat-pi Siansu merangkak bangun hendak menambahi sekali tendang lagi untuk melampiaskan rasa dongkolnya tadi, namun keburu diteriaki A Siu.

Tiat-pi Siansu menjadi gusar mendengar ada orang berani merintangi perbuatannya, segera ia hendak memaki, tapi mendadak teringat olehnya bahwa robohnya Im-su-siucay itu justeru disebabkan anak dara itu, jika dirinya berani-berani memakinya, mungkin akan celaka juga.

Karena itu ia menjadi terheran-heran.

Melihat Hwesio yang tolol2 lucu ini, A Siu menduga orang tentu tidak berjiwa jahat, segera ia hendak maju mengajak bicara pula.

Jangan lari ! bentak Thio Seng mendadak.

Habis itu bertiga saudara mereka lantas merubung kedepannya A Siu.

A Siu menjadi dongkol kebebasannnya dirintangi.

Kalian mau apa” bentaknya kemudian.

Apakah nona anak muridnya Bwe-hoa-siancu Ang Jin-kin “ tanya Thiam lam-samsay itu.

Entahlah, aku tidak kenal Bwe-hoa atau Thoa-hoa, sahut A Siu.

Lekas minggir ! Hong san Koay Khek “

Akan tetapi Thian-lam-sam-say itu malah mendesak lebih dekat.

Sesudah saling memberi tanda, mendadak Tok-jiau-say Thio Jiang, singa bercakar tunggal, mendadak ulur tangan terus mencakar ke lehernya A Siu hendak menarik kalung mutiara yang dipakainya itu.

Melihat kekurang ajaran orang, A Siu sangat mendongkol, sekenanya ia tangkis serangan orang.

Dengan tipu Tok-jiau-kim-liong atau cakar tunggal menawan naga, tujuan Thio Jiang ialah hendak mengarah mutiara dileher orang, tapi karena tangkisan A Siu itu, maka cengkeramannya itu menjadi kena ditangan si gadis.

Melihat A Siu kecil mungil, lengannya kecil bagai batang kayu, sebaliknya lengannya Thio Jiang hitam lebat dengan bulunya yang panjang-panjang, pula besar kuat penuh otot, setiap jarinya saja hampir sebesar lengan si A Siu, kalau sampai kena dicengkeram, sungguh entah bagaimana jadinya “ Demikian pikir Tiat pi Siansu, maka ia merasa penasaran, segera berteriak : Tok jiau say, jangan kau agulkan lenganmu yang lebih besar! A Siu tersenyum sambil melirik kearah Hwesio itu, ia pikir hati paderi dogol ini ternyata memang betul tidaklah jahat.

Pada saat itulah kelima jari tangan Thio Jiang sudah kontak dengan lengannya, cepat ia keluarkan tenaga dalamnya hingga Thio Jiang tergetar pergi seakan-akan kena aliran listerik.

Thio Jiang terkejut, ia bingung pula akan kepandaian A Siu itu, ia masih penasaran, sekali membentak, kembali ia mencengkeram lagi keatas kepala si gadis.

Diam2 A Siu mendongkol akan kebandelan lawan, sekali ini tak ia beri ampun lagi, sekonyong-konyong ia samber tangan orang terus disengkelit pergi hingga tubuh Thio Jiang yang besar terlempar keudara.

Melihat saudara mereka bakal kebanting mati, cepat2 Thio Sia dan Thio Seng berlari-lari hendak menyanggapi badannya Thio Jiang.

Di luar dugaan tenaga yang dipakai A Siu tampaknya enteng, tapi sebenarnya sangat besar, ketika tubuh Thio Jiang dapat mereka tangkap, mereka berdua ikut terguling juga ditanah.

Karuan yang paling geli adalah Tiat-pi Siansu, ia tepuk tangan bersorak tertawa.

Bagus, bagus, tiga ekor singa kalah dengan seekor kucing! serunya ter-bahak2.

Dan kau bagaimana, kau takluk padaku tidak” tanya A Siu mendadak kepada Tiatpi Siansu dengan tertawa-tawa.

Hong san Koay Khek “

Tiat-pi Siansu melengak.

Takluk” ia menegas.

Tapi segera iapun geleng2 kepala : Ah, tidak, tidak! Tiba2 A Siu menghampiri Tiat-pi Siansu hingga tubuh mereka satu sama lain seperti anak kecil berhadapan dengan raksasa saja.

Tanpa bicara A Siu terus ulur jari tengahnya menutuk pelahan ke Hoa-kap-hiat didada orang.

Ilmu kepandaian A Siu diperoleh dari menirukan gambar2 Siau-yang-chit-kay sebanyak tiga ratus empat puluh tiga jurus dalam gua itu, ia hanya tahu cara menggunakannya, tapi tidak mengerti bahwa Hoa-kap-hiat yang ditutuknya itu adalah salah satu jalan darah terpenting ditubuh manusia, dengan Lwekangnya, kalau sampai kena, dapat diduga Tiat-pi Siansu akan melayang jiwanya.

Tapi jelek2 Tiat-pi Siansu adalah keluaran Siau-lim-si, karena tololnya serta tak taat pada pantangan2 perguruan, maka ia diusir.

Sudah tentu dalam pengertian ilmu silat ia lebih paham daripada A Siu.

Ketika tiba2 merasa dadanya se-akan2 diseruduk suatu tenaga yang maha besar.

Karuan ia terkejut, cepat ia hendak berkelit, tapi sudah terlambat, terasa sebuah tulang iganya kena tertutuk patah hingga Tiat-pi Siansu terhuyung-huyung kebelakang dengan muka pucat.

Ah, Toahwesio telah terluka bukan” tanya A Siu cepat.

O, tak..

.tak apa, hanya luka sedikit, aku takluk sudah, sahut Tiat-pi Siansu dengan menahan sakit.

Menyaksikan itu, barulah sekarang Thiam lam-sam-say dan Im-su-siucay Swe Hiang-ang insyaf bahwa nona jelita yang mereka hadapi itu sebenarnya memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tanpa bicara lagi, Thian-lam-sam-say yang lukanya enteng terus merangkak bangun dan kabur pergi.

Begitu pula Swe Hiang-ang, walaupun dengan rasa sayang, iapun larikan diri.

A Siu tak urus mereka, sebaliknya ia merasa menyesal telah melukai sihwesio gede itu maka tanyanya : Toahwesio, apakah lukamu parah “ Dasar wataknya Tiat-pi Hwesio memang tolol jujur, terhadap kepandaian A Siu, sekarang ia sudah menyerah benar2, sahutnya : Ah, tidak, luka patah tulang ini sedikit hari saja akan baik.

Toahwesio, apakah orang2 tadi adalah kawanmu, kenapa mereka hendak merampas mutiaraku ini “ tanya A Siu tiba2 dengan heran.

Hong san Koay Khek “

Ya, mutiara mestika yang kau pakai itu sesungguhnya tak ternilai harganya, tapi bukan maksudku hendak mengincarnya, sahut Tiat-pi Siansu.

Aku hanya ingin mencari tahu jejak seseorang yang bernama Ang Jin-kin, yaitu pemilik asal dari mutiaramu itu.

Mendengar ini A Siu menjadi teringat pada peristiwa dua belas tahun yang lalu ketika Jing-koh memberikan kalung mutiara itu padanya, tatkala mana orang seperti perkenalkan diri bernama Ang Jing-kin, pantas ketika tadi mendengar nama itu disebut, ia merasa seperti sudah kenal.

Dan sekali ingat akan itu, segera ia menjadi ingat juga kejadian diwaktu kecilnya ketika kesasar dipergunungan itu.

Maka tuturnya kemudian : Ya, benar, Toa hwesio, bibi yang memberi mutiara ini memang bernama Ang Jing-kin, ada apakah kau hendak mencarinya “ Ceritanya terlalu panjang, kata Tiat-pi Hwesio, orang Bu-lim yang hendak mencarinya bukan aku saja, tapi masih sangat banyak.

Dia bersama suaminya sudah menghilang dua belas tahun tapi dua macam pusaka dipuncak Kim-teng-san diwilayah Kuiciu diketahui dibawa oleh mereka suami isteri! A Siu menjadi bingung oleh cerita itu, ia menjadi ketarik dan menanya lebih jelas.

Tapi dasar Tiat-pi Siansu tidak pandai bicara, setelah melantur2 kalang kabut, akhirnya barulah A Siu dapat menangkap maksud kedatangan mereka berlima itu adalah karena ingin mencari jejaknya Bwe-hoa-siancu Ang Jing-kin bersama suaminya, Sam-siangsin-tong Siang Hiap.

Kiranya pada dua belas tahun yang lalu pada saat Chit-bok-Lo-sat Ki Teng-nio lagi bersemedi, Ang Jin-kin dan Siang Hiap telah menggerayangi tempat kediamannya dan dapat menggondol lari dua macam pusaka.

Ki Teng-nio itu adalah tokoh terkemuka dari aliran sesat, baru saja ia selesai menjalankan tirakatnya lantas mengetahui pusakanya dicuri orang, akibatnya darah naik dan badan lumpuh, yaitu dalam istilah silat disebut Cau hwe-jip-mo atau api membakar diri sendiri.

Dengan badan lumpuh sudah tentu ia tak bisa menguber musuh, sampai siapa pencurinya ia pun tidak tahu.

Kemudian dikalangan Kangouw lantas tersiar kabar bahwa pernah orang melihat ada empat orang berkedok telah menguber Bwe-hoa-siancu dan Sam-siang-sin-tong berdua sampai kedaerah perbatasan diwilayah suku Biau.

Sejak itu pula empat orang berkedok dan suami istri Bwe-hoa-siancu menghilang juga.

Sedangkan diantara orang2 Kangouw yang terkenal dari lapisan Hek-to hanya tiga orang saja yang ikut lenyap, Hong san Koay Khek “

yaitu yang terkenal dengan Bong-san sam-sia atau tiga momok dari gunung Bong.

Karena itu, lantas orang menyangka Bong-san-samsia dapat mencium bau bahwa pada diri Bwe-hoa-siancu berdua ada menggondol pusaka orang maka mereka terus menguber dan akhirnya sama-sama lenyap didaerah Biau.

Namun orang2 berkedok itu seluruhnya ada empat orang, lalu kecuali Bong-san-sam-sia, siapa lagi yang seorang itu “ Sebenarnya ayahnya Bwe-hoa-siancu Ang Jing-kin adalah pendekar besar diwilayah barat Ohlam, pergaulannya luas dengan segala lapisan dan golongan.

Walaupun Sam-siang-sin-tong Siang Hiap resminya adalah anak menantunya tapi Siang Hiap sejak kecil sudah pintar dan cerdas luar biasa, makanya mendapat julukan Sin-tong atau anak sakti.

Tidak heran kalau sang mertua memandangnya bagai anak sendiri.

Ketika mendengar puteri kesayangan dan menantunya itu lenyap berbareng, pernah juga orang tua itu mencarinya jauh ketanah Biau ini, tapi sayang hasilnya nihil, malahan setahun kemudian, seluruh isi keluarganya telah dibunuh musuh hingga bersih, hanya puteri satu2nya Ang Jing-kin yang nama kecilnya disebut Siau Yan yang berhasil lolos, tapi kemana perginya juga tidak diketahui.

Sedari itu, sang waktu lewat dengan cepatnya, sekejap saja dua belas tahun sudah lalu.

Namun orang2 Bu-lim masih belum melupakan dua macam pusaka milik Ki Tengnio yang dibawa Ang Jing-kin itu, maka tidak pernah berhenti orang berusaha mencari jejaknya Ang Jing-kin, cuma semuanya harus pulang dengan kecewa atau mati menjadi korban binatang berbisa ditanah Biau ini.

Begitu pula maksud kedatangan Tiat-pi Siansu berlima itu, tiada lain juga serupa saja.

Nyata cerita ini serba baru semua bagi A Siu, sama sekali tak terduga olehnya bahwa di dunia ini masih begitu luas serta penuh manusia-manusia kejam.

Ia merenung sejenak, kemudian katanya : Jika sejak masuk gunung, Jing-koh tak pernah keluar lagi, lalu bagaimana dengan suaminya “

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar