Bab 13
Dan begitu Ang Jing-kin sambitkan senjata rahasianya, segera orangnya ikut melompat ke depan, keatas batu besar ditengah empang itu, cepat ia samber ular mati itu, sekalian petik buah Chit-kim-ko tadi, walaupun saat itu juga dari belakang terdengar suara menyambernya senjata rahasia musuh, namun iapun tidak pikirkan lagi, terpaksa Hong san Koay Khek “
hanya sedikit mengegos, tapi pundaknya lantas terasa kesakitan, ternyata sebuah piau baja sudah menancap dibahunya.
Dengan menahan sakit, Jing-kin masukkan ular mati dan Chit-kim-ko yang berhasil diperolehnya itu kedalam baju, habis itu cepat ia memutar tubuh, dengan sikap angkuh sambil pedang terhunus ditangan, ejeknya kemudian : Nah, kedua benda ini sudah berada ditanganku, apa maumu sekarang “ Hahaha, tiba-tiba sijangkung tadi bergelak ketawa, memang benar kedua barang itu sudah kau dapatkan, tapi kenapa kau tidak tanya dirimu sendiri, dengan kepandaian suami isteri kalian tak mampu menandingi kami berempat, kini kau berada sendirian, dapatkah kau selamat tinggalkan tempat ini “ Jing-kin menjadi terkesiap, ia pikir memang benar juga gertakan orang itu, selagi dirinya terluka lagi, terang takkan ungkulan melawan keroyokan mereka.
Dalam gugupnya, cepat ia cabut piau yang masih menancap dipundaknya itu dan hendak dilempar ketanah, tiba-tiba sekilas dapat dilihatnya pada senjata rahasia itu terukir dua huruf kecil sekali.
Hati Jing-kin tergerak, ia pikir kalau diatas senjata rahasia itu ada tulisannya, tentu itu nama atau tanda pengenal sipemiliknya.
Cuma sayang kedua huruf kecil itu sangat lembut ketika ia hendak menegasi lebih dekat, sekonyong-konyong sebuah piau baja menyamber datang pula, cring , dengan tepat membentur piau yang dipegangnya, syukur tidak sampai terjatuh.
Sudah berulang kali Ang Jing-kin diserang oleh senjata2 rahasia seperti itu, tapi sebegitu jauh ia belum mengetahui jelas siapa diantara empat orang itu yang menyambitkannya.
Ketika tangannya kesemutan karena benturan piau yang dipeganginya itu, segera ia sadar tentu si-empunya kuatir rahasianya terbongkar oleh kedua huruf itu.
Cepat ia masukkan piau yang ditangkapnya itu kedalam baju.
Berhubung kejadian itu, rupanya diantara empat orang itu lantas terjadi perdebatan, satu diantaranya tiba2 bisik2 pada sijangkung, tapi sijangkung rupanya tidak setuju hingga beberapa kali mereka tarik urat, saling tidak mau mengalah.
Diam2 Ang Jing-kin mengamat-amati orang berkedok itu, ia menduga tentu itulah sipemilik piau, orang ini berperawakan sedang, tiada tanda-tanda istimewa, pula berkedok, menjadi susah dikenali.
Hong san Koay Khek “
Sesudah berdebat sejenak, rupanya sijangkung mendapat suara lebih banyak, maka sekali ia memberi aba2, segera empat orang terpencar mengepung Ang Jing-kin, ditengah2 empang diatas batu besar itu, jarak mereka hanya terbatas oleh air empang, jauhnya kira2 lebih dua tombak, hendak meloloskan diri dari kepungan” rasanya tidaklah mudah.
Tapi sehabis empat orang itu berpencar mengambil kedudukan mengepung dipinggir empang sana, merekapun tidak lantas membuka serangan, melainkan terus duduk anteng di tempatnya masing2.
Jing-kin menjadi heran, tapi ia pun tak berani sembarang bergerak, ia ingin tahu dulu apa yang dikehendaki musuh2 itu.
Tapi sudah lama, masih empat orang itu berdiam saja, tiba2 tergerak pikiran Jing-kin, ia insaf orang sengaja mengepungnya ditengah empang itu, dengan begitu akhirnya ia sendiri akan menyerah tak berdaya.
Namun ia pantang menyerah, ia coba tunggu kesempatan dan berharap bisa terjang keluar, ia bertahan sekuatnya, dan tunggu menunggu demikian ternyata berlangsung sampai tiga hari tiga malam, selama itu boleh dikata Ang Jing kin tidur saja tidak berani, kuatir kalau mendadak diserbu keempat musuh itu.
Sampai esok hari keempat, ia sudah terlalu letih, lapar dan dahaga, sebaliknya keempat orang itu seenaknya mengeluarkan rangsum mereka dan memakannya dengan nikmat, mulut mereka sengaja ber-kecap2 hingga mengeluarkan suara seakan2 orang kelaparan ketemukan makanan.
Karuan tidak buatan gemasnya Ang Jingkin, sedapat mungkin ia tahan selera yang terus memuncak, ia pura2 melengos kejurusan lain tak mau menatap musuh.
Bwe-hoa-siancu , tiba2 satu diantara empat orang itu berseru, sudah tiga hari kau bertahan, rasanya tiga hari lagi kaupun takkan bisa lolos, biasanya kau sok pintar, kenapa sekarang begini bandel “ Jing-kin tahu maksud orang tetap mengincar kedua barang miliknya itu, tapi meski ia benar2 serahkan barang2 itu, serupa saja jiwanya tak terjamin mengingat kekejaman musuh2 itu.
Maka ia hanya tertawa dingin tanpa gubris.
Haha, Bwe-hoa-siancu, nih, makan sedikit ! seru sijangkung tadi.
Berbareng itu sepotong Siopia terus dilemparkan kearahnya.
Sesungguhnya Ang Jing-kin sudah terlalu lapar, tanpa kuasa ia ulur tangan hendak menyanggapi makanan itu.
Diluar dugaan cara melempar sijangkung itu memakai Hong san Koay Khek “
tenaga efek, ketika sampai didekat Ang Jing-kin, mendadak makanan itu bisa membiluk kesamping terus nyemplung keempang.
Maka tertawalah keempat orang itu ber-gelak2 dengan senangnya.
Sebaliknya Ang Jing-kin malu dan murka, kalau tenaga mengijinkan, segera ia bermaksud menubruk maju buat adu jiwa.
Sementara itu didengarnya sijangkung itu berkata lagi ; Bwe-hoa-siancu, ditempat begini kau masih berlagak, makanan demikian kau tidak doyan, tunggulah nanti pulang kerumah nenekmu minta disusui, hahaha ! Habis tertawa, ia berjongkok, dengan tangannya ia mengeruk air empang yang jernih itu buat minum.
Tiga hari yang lalu Ang Jing-kin telah menyaksikan Kek Pang terbinasa sebab minum air sungai yang beracun itu, kini melihat orang juga minum air sungai, pula ketiga kawannya juga akan menirukan sijangkung, diam-diam hatinya bersyukur musuh2 itu mencari kematian sendiri dan memberi jalan hidup bagi dirinya.
Dalam saat demikian, sinar matanya terus menatap orang berkedok yang berdebat dengan sijangkung tadi.
Ia lihat orang ini tidak gunakan tangannya mengeruk air, tapi berjongkok sambil sedikit menyingkap kain kedoknya, dengan mulutnya akan menghirup air empang itu.
Sekilas Jing-kin mengenali separuh muka orang itu seketika kepalanya se-akan2 pening, serunya tak lampias : Keparat she Cu, ki..kiranya kau adanya “ Mendadak orang yang dikatakan she Cu itu terkejut, belum sampai air menempel mulut, cepat ia melompat mundur dengan tertegun.
Sedang tangan Ang Jing-kin terus menuding orang dengan gemetar tapi tak sanggup buka suara.
Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar suara jeritan berulang2 dari ketiga orang yang lagi minum tadi, lalu bergedebuk roboh ketanah kulit badan mereka seketika berubah biru gosong, lalu tak berkutik pula.
Nyata merekapun binasa oleh racun air sungai seperti halnya Kek Pang.
Diam2 Jing-kin menyesal terburu napsu bersuara, kalau tadi diam2 menanti, bukankah jahanam she Cu itupun tak terluput dari kematian “ Dan kini manusia itu sudah lantas angkat langkah seribu melihat kawan2nya sudah terbinasa.
Hati Ang Jing-kin merasa lega sesudah ketiga musuh sudah mati dan seorang lagi lari terbirit2.
Ia hitung2 masih ada waktu belasan hari dari janjinya dengan sang suami Hong san Koay Khek “
dan dapat membawa kembali empedu Kiu-bwe-coa dan Chit-kim-ko untuk menolong jiwanya, sungguh ia tidak pernah membayangkan akan begini mudah menyelesaikan kepungan musuh tadi.
Saking girangnya, belum lagi ia berbangkit tiba2 matanya serasa gelap, orangnyapun jatuh pingsan di atas batu itu.
Dalam pada itu, mengenai diri si A Siu yang ditinggalkan sendiri dan terlupa itu, dasar kanak-kanak, ketika tiba-tiba dilihatnya ada seekor kelinci putih dengan kedua matanya yang merah bundar didalam semak-semak rumput lagi memandang padanya, ia menjadi sangat tertarik, tanpa bilang-bilang lagi ia terus memburu kearah kelinci itu.
Binatang itu rupanya binal juga, ketika melihat sibocah mendekati, ia tidak lari, sebaliknya mengeluarkan gerak-gerik yang menggoda hingga makin menggembirakan hati A Siu, dengan tertawa-tawa ia berjongkok terus hendak menangkap kelinci itu, tapi sedikit binatang itu melompat, tangan A Siu yang kecil telah menangkap tempat kosong, kelinci itu tidak lari terus, tapi masih menggoda pula dengan berbagai macam mimik, tentu saja A Siu semakin getol, ia memburu dan menangkapnya lagi, namun luput pula, dan begitulah seterusnya hingga makin lama makin jauh.
A Siu bergurau dengan kelinci putih itu, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa saat itulah, ayahnya Kek Pang telah menemui ajalnya meminum air beracun.
Maka tanpa merasa A Siu telah mengejar kelinci itu sampai beberapa li dan memasuki sebuah lembah yang dikedua tepi dinding tebing curam, makin jauh jalan makin lika-liku, tapi ia masih terus mengudak.
Maka tanpa merasa haripun mulai gelap, perutnya berasa lapar, barulah sekarang A Siu ingat pada ayah dan bibi Jing-koh, ia mulai bingung dan kuatir, segera ia bermaksud kembali kejalan semula, tapi makin putar makin kesasar, haripun makin gelap hingga berulang kali ia jatuh bangun, saking letihnya ia merebah sekenanya ditanah dan pulas.
Besok paginya, ia ber-lari2 lagi hendak pulang kembali, tapi sudah kian kemari masih belum ketemukan jalan yang betul, sampai kelaparan, lalu ia petik buah-buahan yang diketemukan dan dimakan sekedarnya, keadaan begitu sampai beruntun tiga malam, baiknya dimalam hari, karena dadanya memakai kalung permainan mutiara yang memancarkan cahaya terang, maka ia masih bisa berjalan dengan bebas.
Namun begitu, untuk jarak jauh, juga kegelapan belaka yang tertampak, lama-lama A Siu menjadi ketakutan dan duduk ditanah sambil menangis.
Tidak lama, tiba-tiba didengarnya dari jauh ada suara tindakan orang yang sedang mendatangi, mula-mula A Siu menyangka itulah ayahnya, cepat ia berhenti menangis Hong san Koay Khek “
sambil mendengarkan, dan memang benar suara tindakan orang, saking girangnya ia terus meloncat bangun sambil berseru : Ayah, Jing-koh, aku berada disini, kemanakah kalian, A Siu sendirian menjadi ketakutan! Selesai ia berkata, orang itupun sudah mendekat, ketika A Siu menengadah, tanpa merasa ia mundur beberapa tindak.
Ternyata yang datang ini bukan ayahnya, bukan lagi Jing-koh tapi seorang lelaki bangsa Han yang berusia 30-an yang tampaknya linglung, ketika tiba-tiba melihat A Siu, orang itu terus menubruk maju dan A Siu dipondongnya tinggi-tinggi sambil menggumam sendiri ; Oh, Jing-kin, Jing-kin, sesungguhnya aku tiada maksud mencelakai kau ! A Siu menjadi bingung mendengar ocehan yang tak karuan junterungannya itu, ia lihat mata orang mengembang air mata, dalam hati kecilnya menjadi heran, apakah orang ini juga kesasar jalan, maka menangis “ Dasar kanak-kanak, segera iapun menanya : Toacek, kenapakah kau menangis, apakah kau kesasar “ Jangan kuatir, sebentar kalau ayah dan Jing-koh sudah datang, nanti kita bersama-sama pergi pulang .
Mendengar nada suara A Siu ini, seketika orang itu tercengang, dengan teliti ia mengamat-amati A Siu sejenak, mendadak katanya : Eh, kau bukan Siau Yan “ Anak siapakah kau “ Sebaliknya A Siu bertambah heran, sahutnya : He, kaupun kenal enci Siau Yan “ Aku adalah kawan baiknya dan kelak akan datang memain kerumahnya, demikian Jingkoh berkata padaku” Siapa namamu “ tanya orang itu dengan wajah berubah.
A Siu, ayahku bernama Kek Pang , sahut sidara cilik.
Hm, kiranya anak Biau, benda didepan dadamu itu darimana kau dapatkan “ jengek orang itu mendadak.
A Siu tidak tahu akan perubahan air muka orang, maka sahutnya wajar saja : Jingkoh yang memberikan padaku ! Jing-koh siapa “ bentak orang itu.
Berbareng tangannya mengulur terus hendak menarik kalung mutiara yang dipakai A Siu itu.
Jangan kau merebut barangku ! teriak A Siu sambil tangannya yang kecil memegangi kalungnya kencang2.
Hong san Koay Khek “
Tapi sekali tangan orang itu mengipat, kontan A Siu terlempar jatuh, kasihan bocah sekecil itu, tentu saja tidak tahan oleh sengkelitan itu, ia jatuh kesakitan hingga pingsan.
Orang itu tertegun sejenak, tapi segera berjongkok hendak mengambil mutiara dari kalung yang dipakai A Siu itu.
Tak terduga, baru saja tangannya menyentuh mutiara itu, tahu2 pergelangan tangannya se-akan2 terjepit sesuatu, ketika ia menunduk, ia menjadi terkejut sekali.
Ternyata pergelangan tangannya seperti kena dipegang oleh tangan seseorang, cuma tangan itu se-akan2 bersisik yang tumbuh diatas kuku jarinya, tenaga cekalan itu demikian besarnya hingga bagai tanggam, sampai setengah tubuhnya ikut kesemutan kaku.
Orang itu sendiri tidak rendah ilmu silatnya, tentu saja ia terkejut, cepat ia berpaling maka terlihatlah ada seorang tua pendek gemuk merebah telentang ditanah.
Orang ini tubuhnya pendek, wajahnya jelek, malahan mukanya seperti bersisik pula, sebaliknya kedua lengannya panjang luar biasa melebihi badannya, kalau berdiri, boleh jadi kedua tangannya itu akan menyentuh tanah.
Sepasang matanya menyorotkan sinar ber-kelip2, rambutnya serawutan bagai rumput kering, manusia aneh semacam demikian, sungguh jarang terlihat.
Siapa kau “ bentak lelaki pertama tadi.
Dan kau sendiri siapa “ balas orang aneh ini.
Aku she Cu bernama Hong-tin, orang dari Tionggoan , sahut laki2 itu.
Ya, aku sudah menduga kau bukan orang Biau kami, tak nanti mereka berjiwa rendah seperti kau , jengek kakek aneh itu.
Sambil berkata, Cu Hong-tin itu merasa genggaman tangan kakek aneh itu bertambah kencang hingga tulang tangannya kesakitan luar biasa, walaupun orang itu Hong san Koay Khek “
tampak merebah saja, tapi terang memiliki lwekang yang tinggi, dalam gugupnya ia menanya lagi : Sobat, selamanya kita tiada kenal, kenapa kau mencari setori padaku “ Dan permusuhan apa dara cilik itu dengan kau, kenapa kau hendak mencelakainya “ sahut orang tua itu dengan bengis.
Cu Hong-tin menjadi bungkam, selang agak lama, barulah ia berkata : Dara cilik ini tiada permusuhan apa2 dengan aku, tapi mutiara yang berkalung dilehernya ini justru adalah milik seorang musuhku yang besar, haraplah kau lepaskan aku, nanti kututurkan yang jelas ! Kiranya Cu Hong-tin yang masih muda ini memang sama orangnya dengan Cu Hong-tin pada permulaan cerita ini.
Tatkala mana ia belum menjadi Tosu, ilmu kebutnya Kek-lok-hut-hoat juga belum terlatih, jadi ilmu silatnya masih belum tergolong tinggi, walaupun begitu, sekali cekal telah dibikin tak berdaya seperti sekarang ia diperlakukan si orang aneh ini, selamanya belum pernah dialaminya.
Sebab itulah, ia ganti siasat memakai permohonan dengan kata2 halus.
Betul juga kakek aneh itu terbujuk, ia kendorkan cekalannya dan berkata : Baiklah, coba apa yang bisa kau terangkan.
Diluar dugaan, Cu Hong-tin terus melompat mundur jauh2, habis itu tanpa berpaling lagi terus lari dalam kegelapan.
Tentu saja kakek aneh itu sangat gusar, ia mengaum keras hingga menggema jauh dilembah, ia coba berdiri, tapi kakinya terlalu lemas, kembali ia jatuh ditanah, saking gemasnya kedua tangannya yang panjang besar itu memukul tanah ber-ulang2 hingga menerbitkan suara keras.
Tampaknya percuma saja ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, karena kedua kakinya lemas bagai tak bertulang, sama sekali tak bisa berjalan.
Sesudah ber-teriak2 aneh beberapa kali, lalu ia merangkak kesamping A Siu.
Waktu itu A Siu telah siuman kembali, ia menangis pula sambil merintih kesakitan.
Jangan takut, nak, jahanam itu sudah kuusir , kata kakek itu sembari mengamatamati A Siu, lalu tanyanya pula : Kau tinggal digua mana “ Ketika A Siu melihat orang yang berada di hadapannya sedemikian luar biasa hampir2 ia menjerit kaget, namun kakek aneh itu telah menghiburnya lagi.
Lambat laun A Siu menjadi berani, sahutnya kemudian ; Aku tinggal di Tiok-teng-tong .
Hong san Koay Khek “
He, orang Tiok-teng-tong “ seru kakek itu seperti sangat senang oleh keterangan A Siu itu.
Pernah kau mendengar cerita bahwa Tiok-teng-tong itu ada seorang aneh yang bernama Lo-liong-thau yang telah diusir kegunung dan kemudian telah menghilang “ Ia merandek sejenak lalu dengan menghela napas ia menyambung pula : Tapi, ah, kau masih kecil, tak mungkin kau mengetahuinya.
Ya, ya, aku pernah mendengar, kata A Siu tiba2, Pernah ayah bercerita bahwa Encim Teng-kiu tetangga telah melahirkan seorang bayi aneh yang bersisik, dan kedua lengannya panjang luar biasa, sebaliknya kaki lemas bagai tak bertulang.
Encim Tengkiu tak berani bilang pada orang lain, kuatir kalau orang menyangka bayi itu adalah siluman, maka diam2 membesarkannya sampai tujuh tahun, akhirnya telah diketahui orang luar dan diusir pergi ke gunung, anak itu dipanggil Lo-liong-thau, kata ayah, diam2 ia malah bersahabat dengan Lo-liong-thau itu, maka iapun tidak pernah ceritakan pada orang lain.
He, ayahmu bernama Kek Pang bukan” seru kakek aneh itu dengan girang.
Ya, ya, betul, sahut A Siu.
Ah, kiranya kau puteri Kek Pang ! kata kakek aneh itu sembari merangkul A Siu dengan mesra.
Baik2kah ayahmu “ Baik, sahut A Siu mengangguk, kami bersama-sama berburu kegunung ini, aku menguber seekor kelinci hingga terpencar dengan dia ! Dan dimana Encim Teng-kiu “ tanya si orang aneh lagi.
Entahlah, mungkin sudah meninggal, sahut A Siu.
Orang itu menghela napas terharu, katanya kemudian : A Siu, akulah Lo-liong-thau yang diusir para tetangga kegunung itu.
Mata A Siu membelalak heran, katanya kemudian sambil menggeleng kepala : Bukan, bukan ! Kata ayah, sesudah Lo-liong-thau masuk gunung, ia telah berubah seekor siluman naga yang mempunyai kepandaian luar biasa .
Ya, Lo-liong-thau memang berkepandaian tinggi, lihatlah A Siu, kata orang itu sambil ulur sebelah tangannya mencengkeram sekenanya satu pohon kecil disampingnya, maka terdengarlah suara krak-krak , batang pohon itu telah kena dipatahkan mentah2.
Hong san Koay Khek “
Hebat sekali, Lo-liong-thau, marilah kau ajarkan kepandaian demikian padaku , seru A Siu terkesima oleh tenaga luar biasa Lo-liong-thau itu.
Kau adalah puterinya sobatku Kek Pang, tentu saja aku akan mengajarkan kepandaian kepadamu , sahut Lo-liong-thau.
Marilah kau ikut padaku ! Habis berkata, sekali menggelundung, cepat sekali ia telah merangkak pergi jauh, lekasan A Siu menyusulnya berlari-lari.
Tidak Iama mereka telah memasuki sebuah gua batu yang diluarnya teraling-aling dua buah batu seakan-akan daun pintu buatan alam.
Dalam gua itu ternyata penuh beraneka batu-batu hiasan dinding hingga bersinar gilap ketika tersorot cahaya mutiara dikalungnya A Siu itu.
Karuan bocah ini kegirangan, ia bertepuk-tepuk tangan gembira.
Lihatlah lukisan didinding itu ! kata Lo liong-thau.
Ketika A Siu berpaling kearah yang ditunjuk, ia lihat dinding batu itu halus licin selebar lebih dua tombak dan terukir tujuh orang dewasa, ada yang berduduk, ada yang berdiri, yang berjongkok, yang merebah, macam-macam.
Dibawah ukiran orang-orang besar itu, dibawahnya ada lagi ukiran yang lebih kecil dan semuanya dilukis dalam berbagai gaya yang tidak sama, malahan ada lagi catatan-catatan dengan huruf-huruf kecil.
Apakah itu, Lo-liong-thau “ tanya A Siu.
Entah, sahut si orang tua, aku sendiripun tidak tahu, secara tak sengaja aku terluntang-lantung sampai disini, lalu tinggal menetap disini sampai dua tahun, sesudah memperoleh api, barulah mengetahui di dinding situ ada lukisan, saking iseng, aku menirukan gaya gambar2 itu, beberapa tahun kemudian, diluar dugaan sekali ayun tangan, aku telah bisa patahkan satu pohon.
Kalau sekarang kau ikut aku tinggal disini, bukankah juga dapat mempelajari ilmu kepandaian hebat ini” Dengan ragu2 A Siu memandangi dinding itu, tiba2 sahutnya : Lo-liong-thau, ayahku hendaklah dicari kemari, biar kita bersama-sama mempelajari ilmu kepandaian hebat ini, bukankah lebih baik” Ya, tentu saja lebih baik, sahut Lo-liong thau.
Tapi pegunungan seluas ini, Lo-liongthau sendiri tak bisa berjalan, kemana harus mencarinya “ Hong san Koay Khek “
A Siu tak rewel lagi, ia lihat gua itu sangat menarik, maka ia tinggal disitu bersama Lo liong-thau dan tanpa merasa 12 tahun sudah lampau.
Selama itu, seperti halnya Loliong-thau, setiap hari A Siu menirukan gaya lukisan di dinding itu untuk belajar, lama2 tubuhnya menjadi enteng, tenaganya besar luar biasa, nyata kemajuannya tidak terhingga.
Sudah tentu A Siu senang sekali, namun demikian, sebab apa dan ilmu kepandaian apa yang dipelajarinya itu, sama sekali ia tak mengerti.
Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa lukisan2 yang terukir didalam gua itu sebenarnya adalah dasar2 latihan Lwekang yang maha tinggi tinggalan Siau-yang Cinjin dijaman dahulu yang sudah lenyap dalam dunia persilatan itu, yaitu yang disebut Siauyang-chit-kay atau tujuh kunci dasar latihan Siau-yang.
Siau-yang Cinjin itu asalnya adalah seorang tukang kayu, tanpa sengaja dipegunungan sunyi diperolehnya satu kitab Lwekang yang mujijat, dengan giat ia melatih diri beberapa puluh tahun hingga menjagoi dunia persilatan pada jamannya.
Ketika merasa hidupnya tiada tandingnya lagi, ia telah menyepi kedaerah Biau serta tinggal didalam gua ini, disini ia menciptakan lagi ilmu Lwekangnya yang meliputi inti sari dari cabang2 ilmu silat lain dan diberi nama Siau-yang-chit-kay .
Setiap kunci itu punya 7x7 gerakan, maka seluruhnya menjadi 7x7x7 = 343 gerak tipu.
Ketika hari tuanya ia telah mengukir hasil karyanya itu didinding gua, lalu tinggal pergi menghilang tak ketahuan rimbanya.
Sungguh sama sekali tak terduga bahwa ilmu luar biasa yang hanya didengar orang Bu-lim, tapi belum pernah dilihat itu, kini bisa diperoleh seorang Biau yang aneh dan cacat serta anak perempuan yang sepele.
Kecerdasan A Siu sudah terang jauh melebihi Lo-liong-thau, tapi karena tidak mendapatkan petunjuk dan bimbingan orang pandai, serupa saja, iapun tak paham dimana letak rahasia ajaran menurut lukisan itu.
Namun begitu, berkat kegiatannya selama dua belas tahun, beberapa bagian kepandaian Siau-yang-chit-kay itupun dapat diperolehnya, dan sedikitnya sudah setingkat dengan jago silat kelas tinggi umumnya.
Tahun itu ia baru menginjak umur lima belas, namun cantiknya sudah kentara lain dari yang lain, karena ber-tahun2 tinggal digua pegunungan, pakaian yang dikenakan telah berganti dengan kulit binatang, namun begitu makin menggairahkan bagi siapa yang melihat akan gadis jelita ini.
Hong san Koay Khek “
Berbareng dengan makin bertambah usianya urusan yang diketahuinya pun bertambah banyak, pengawasan Lo-liong-thau kepadanya pun tidak keras lagi, seringkali ia pergi ngelayap jauh tinggalkan gua itu sampai beberapa hari lamanya.
Suatu hari, sudah tiga-empat hari ia tinggalkan Lo-liong-thau, ia terus menuju kedepan.