Manusia Aneh Dialas Pegunungan Bab 12

Bab 12

Dengan hati2 dan perlahan sekali Ti Put-cian melompat lagi kedepan dan sampai dipinggir rumah bundar itu, kuatir diketahui sinenek, sampai ia menahan napas, dengan ber-endap2 ia meraba dinding rumah, lalu menengok kedalamnya melalui lubang bundar dekat atap tadi.

Ia lihat didalam situ sangat gelap.

Samar2 ia lihat Tiat-hoa-popo duduk mungkur dari lubang itu, tidak jauh dari nenek tua ini duduk seorang lagi yang berbaju putih mulus dengan perawakannya yang menggiurkan, siapa lagi dia kalau bukan si A Siu ! Sungguh heran Ti Put-cian melihat A Siu berada disitu.

Kalau melihat ilmu silat A Siu terang diatasnya Tiat-hoa-popo, dengan usianya yang begitu muda sudah berhasil melatih ilmu sedemikian tingginya, sekalipun didaerah Tionggoan yang banyak tokoh2 silat terkenal juga jarang ada seorang liehay semacam dia.

Apalagi daerah Biau ada seperti A Siu, sungguh hal ini susah dipahami orang.

Entah darimanakah ia memperoleh kepandaian hebat itu.

Pula berdiam saja meski didamprat dan dimarahi Tiat hoa-popo.

Ia menjadi lebih terkejut ketika sekilas kerlingan mata A Siu, entah sengaja entah tidak, telah memandang kearahnya.

Ia menjadi ragu2 apakah mungkin jejaknya telah diketahui si gadis itu “ Namun A Siu kelihatan sudah melengos ke sana lagi, lalu didengarnya ia berkata dalam bahasa Han dengan suara perlahan : Tiat-hoa-popo, haraplah jangan kau marahlah, aku sudah pasti tidak hendak merebut kedudukan Seng-co pula, sebab..

.sebab..

tiba2 ia merandek sambil menghela napas perlahan dan berpaling kearah Ti Put-cian, lalu sambungnya sambil menunduk : .

.sebab aku mencintainya.

Seketika Tiat-hoa-popo berbangkit dengan tubuh gemetar, rupanya saking gusar, ia tuding A Siu dan mendampratnya : A Siu, kau mencintainya tidak menjadi soal, tapi kau melepaskan kedudukan Seng-co, cara bagaimana kau akan bertanggung jawab kepada Lo-liong-thau “ Ti Put-cian menjadi heran, siapakah gerangan Lo-liong-thau itu “ Dalam pada itu dilihatnya wajah A Siu rada berubah, sinar matanya menjadi guram, kulit badannya memang putih salju, mukanya menjadi lebih pucat, agaknya sangat ketakutan pada seseorang yang teringat olehnya, bibirnya tampak ber-gerak2, kemudian baru berkata dengan tak lancar : Te..

tetapi aku cinta padanya, ak..

aku bersedia berkorban segalanya! Hong san Koay Khek “

Cara berkatanya ada begitu wajar dan spontan suatu tanda cintanya pada Ti Putcian sesungguhnya suci bersih dan sungguh2 timbul dari lubuk hatinya.

Mengetahui isi hati si gadis itu, ia bukan bergirang A Siu cinta padanya, tapi dasar jahanam ia justru bergirang bakal bisa mempengaruhi A Siu untuk kemudian memperalatnya.

Hm, A Siu,'' terdengar Tiat-hoa-popo buka suara lagi, apapun juga, benarkah kau tak hiraukan lagi apa yang pernah dipesan Lo Liong thau “ Siapakah gerangan Lo Liong-thau yang disebut-sebut itu” Apakah dia seorang pemimpin suku Biau, atau seorang tokoh persilatan” Kiranya A Siu berusia tiga tahun, ia tampak jauh lebih pintar dan lincah daripada anak kecil umumnya.

Wajahnya yang manis, kedua matanya yang besar, menambah kesukaan orang bagi siapa yang melihatnya.

Sudah tentu yang paling sayang adalah kedua orang tuanya.

Setiap hari ayahnya berburu kegunung mencari bahan obat2an, selalu A Siu diajak serta.

Kehidupan suku Biau umumnya kecuali berburu binatang-binatang dan bercocok tanam sedikit, biasanya juga masuk kerimba raya untuk mencari bahan obat2an untuk dijual atau dibarter dengan orang Han yang datang berdagang kedaerah Biau ini.

Oleh karena tidak sedikit dari bahan obat2an itu bisa mendapatkan pasaran bagus, maka sering orang Biau berombongan jauh masuk ke hutan belantara untuk mencari obat2 tersebut.

Dan ayahnya A Siu yang bernama Kek Pang ada satu diantara ahli2 pencari bahan obat itu.

Suatu hari, ketika Kek Pang pulang dari berburu sambil memanggul A Siu dipunggungnya, sebelah tangan lain menyeret dua rusa hasil buruannya, sebelum sampai didepan rumahnya, ia dengar ada seruan orang: Segala macam obat mudah didapatkan disini, cuma inilah sesungguhnya sangat susah.

Barang ini susah dicari, kecuali kalau ketemukan secara kebetulan.

Karena banyaknya orang Han yang mendatangi daerah Biau ini, maka percampuran kedua bahasa Han itu, ia dengar lagi suara seorang wanita lagi menyahut: Loyacu, mohon dengan sangat atas pertolongan kalian asal ada barangnya, kalian ingin menukar dengan apa, segera kami adakan.

dari lagu suaranya, nyata wanita itu gugup dan kuatir sekali.

Hong san Koay Khek “

Ketika sudah dekat, Kek Pang melihat ada satu wanita Han dan di tanah merebah seorang laki2 yang kepalanya dikerudung rapat dengan kain sambil meng-erang2, melihat gelagatnya, wanita Han ini terang datang kesini untuk meminta obat2an.

Jing-kin, tiba2 lelaki berkerudung itu berkata : Jika susah mendapatkan, sudahlah.

Ta.,.

tapi bagaimana dengan keadaanmu itu ! seru wanita itu se-akan2 orang kalap.

Dasar hati Kek Pang memang baik, segera ia mendekati orang dan menanya ada urusan apa.

Ketika wanita itu melihat Kek Pang adalah seorang laki-laki gagah, tampaknya jujur, pundaknya berduduk satu anak perempuan yang sangat menyenangkan, tiba-tiba hatinya timbul selarik sinar harapan, katanya segera : Suamiku terkena racun jahat yang aneh, dari petunjuk orang kosen, katanya ada dua macam bahan obat yang dapat menolongnya, pertama adalah empedu ular Kiu-bwe-coat, kedua adalah buah Cit-kimko.

Kek Pang terkejut demi mendengar obat apa yang dicari itu.

Ia pikir, sekian tuanya ia hidup mencari obat-obatan, tapi terhadap kedua jenis barang yang disebut melulu mendengar saja belum pernah melihat, memang sesungguhnya susah dicari.

Sebab itu, iapun terpaku tak bisa menjawab.

Tahu bahwa usahanya tiada harapan lagi, wanita itu menghela napas panjang, pintanya kemudian.

Jika begitu, dapatkah aku mohon menumpang didalam rumah sini, biarlah suamiku sementara tinggal disini dan aku pergi kegunung untuk mencoba peruntungan ! Tidak, tidak, Jin-kin, betapapun kau jangan mengambil resiko ini, kau harus selalu di sampingku, seru lelaki itu sembari pegang kencang2 tangan sang isteri.

Hati wanita itu risau benar, air matanya bercucuran, Lantas bagaimana baiknya “ serunya bingung.

Mendengar suara ratapan siwanita yang memilukan itu, semua orang ikut terharu.

Tapi apa daya, barang yang hendak dicari itu seratus tahun belum tentu dapat dijumpai sekali, kemana harus diperoleh “ Ayah, begini sedih bibi ini menangis, kenapa kau tak menolongnya “ seru A Siu mendadak.

Suaranya kecil nyaring memecah kesunyian.

Hong san Koay Khek “

Hati Kek Pang tergoncang, ia pikir masakan aku orang tua kalah dengan seorang anak kecil, seumpama barang yang hendak dicari susah diperoleh, kenapa aku tidak menghantar wanita itu kesana “ Ya, A Siu, kau benar! sahutnya.

Aku ikut kalian, ayah, kata A Siu lagi dengan tertawa.

Kek Pang tak menjawab, katanya pada wanita tadi.

Toasuko tak perlu berduka, seorang diri kau masuk gunung kurang baik, biarlah besok pagi2 aku mengiringi kau kesana tempat dimana mungkin hidup Kiu-bwe-coa (ular sembilan buntut), tentu tak pernah dijajaki manusia, maka kita mesti banyak siapkan perbekalan, malam ini tak bisa lagi kita berangkat.

Sungguh bukan buatan rasa girang dan terimakasih wanita itu, saking terharu sampai ia tak sanggup ber-kata2.

Ia lihat A Siu sangat menyenangkan, kemudian ia tanya.

Nona cilik ini adakah putrimu.

Siapakah namamu “ Meniru seperti bangsa Han kalian, namanya A Siu, sahut Kek Pang.

Nama bagus , kata wanita itu.

Biarlah aku memberi sedikit hadiah.

Sembari berkata, dari bajunya ia keluarkan suatu kotak kecil.

Tadinya semua orang menyangka oleh2 yang diberikan ini tentu mainan kanak2 yang tak berarti, tak terduga, ketika tutup kotak itu menjeblak, barulah semua orang terkejut.

Waktu itu hari sudah gelap, dan begitu kotak itu terbuka, segera memancarkan sinar yang menyilaukan, ternyata isi kotak itu adalah sebutir mutiara sebesar biji buah kelengkeng yang dibikin sebagai mainan kalung dengan rantai emas yang kecil.

Wanita itu ambil kalung emasnya lalu pasang dilehernya A Siu.

Keruan A Siu kegirangan, serunya berulang ulang : Banyak terima kasih, toakoh, banyak terima kasih! Nyata, karena ayahnya sering bergaul dengan saudagar Han, maka iapun bisa mengucapkan beberapa patah kata bahasa Han.

Dengan penuh kasih sayang wanita itu mengempoh A Siu serta menciumnya sekali.

Suamimu boleh beristirahat dirumahku selama kita masuk gunung, tentu ada orang yang akan merawatnya, kata Kek Pang kemudian.

Ya, cuma aku harap supaya dipesan agar kain kerudung kepala suamiku itu jangan sekali-kali dilepaskan, sahut siwanita.

Hong san Koay Khek “

Lalu mereka memondong orang laki-laki itu kedalam rumah, kata laki-laki ini : Jingkin, sungguh aku merasa kuatir sekali bila kau pergi mencari Kiu-bwe-coa dan Cit-kimko itu.

Sudahlah, jangan pikir yang tidak2, mengasolah yang tenang, dalam sebulan, aku yakin akan bisa kembali dengan membawa barang yang kita cari itu, sahut sang istri.

Sesudah merebahkan lelaki itu didipan, kemudian Kek Pang berkata: Toaso, dengan cahaya mutiara bersinar ini, malam ini juga kita bisa berangkat.

Itulah lebih baik, sahut siwanita dengan girang.

Segera Kek Pang siapkan sekantong ransum dan membawa sebilah golok melengkung bergegas2 segera mereka hendak berangkat.

Tiba2 A Siu merecoki sang ayah untuk ikut serta, meski Kek Pang telah membujuk dan me-nakut2i tapi A Siu tetap ingin turut, terpaksa sang ayah mengajaknya, ia panggul putri kecil itu di atas pundaknya lagi dan katanya: Marilah Toaso, kita berangkat.

Diwaktu hendak melangkah pergi, wanita itu masih menoleh beberapa kali pada sang suami, terdengar lelaki itu berseru: Jing-kin, jika tidak bisa dapatkan barang yang dicari, lekaslah kau pulang saja! Ya, dalam sebulan pasti aku akan pulang kembali, harap kau bersabarlah, sahut wanita itu dengan suara berat.

Nyata sekali, mereka adalah sepasang suami istri yang sangat sayang menyayangi.

Begitulah, dengan bantuan cahaya mutiara, dengan cepat Kek Pang telah membawa wanita itu menempuh perjalanan sejauh dua puluh li.

A Siu sama sekali tidak merasa ngantuk atau letih, malahan ia terus menerus mengajak ngobrol dengan wanita itu.

A Siu, aku she Ang, bernama Jing-kin, selanjutnya kau panggil aku Jing-koh (bibi Jing) sajalah, ujar wanita itu.

Aku juga punya satu anak perempuan, umurnya lebih tua tiga tahun darimu.

kelak kalau kalian bisa bertemu, tentu kalian akan cocok seperti saudara sekandung.

Enci itu siapa namanya, Jing-koh “ tanya A Siu.

Nama kecilnya dipanggil Siau Yan, kata Jing-kin.

Tiba-tiba A Siu angkat mutiara bersinar yang tergantung didepan dadanya itu dan menanya.

Jing-koh, kenapa mutiara sebagus ini tak kau berikan pada suci Siau Yan “ Hong san Koay Khek “

A Siu , sahut Jing-kin, Kau masih terlalu kecil, kau belum paham.

Ditempat kami sana ada banyak orang jahat, kalau melihat barang bagus, lantas ingin merampasnya.

Ai, urusan ini kelak kau sudah besar, tentu akan mengerti.

Begitulah, sesudah terlalu letih, akhirnya bocah itu terpulas digendongan sang ayah.

Sesudah semalam suntuk menempuh perjalanan, ketika fajar hampir mendatang, mereka sudah melintasi sebuah gunung, seluas pandangan kedepan, kabut tebal menyelimuti rimba raya.

Kek Pang menuding kemuka, katanya, Toaso, tempat dimana kami sering berburu dan mencari nafkah adalah disekitar gunung yang kita lintasi semalam, kedepan lagi selamanya tiada orang yang berani kesana, kalau ingin mencari sebangsa Kiu-bwe-coa dan Cit kim ko yang jarang terlihat itu, rasanya harus kepegunungan sunyi didepan sana.

Kau tidak membawa senjata, biarlah golokku ini kau pakai.

Terharu sekali Ang Jing-kin oleh rasa simpati si orang Biau ini, dan kalau mengingat nasib malang suami istri mereka, ia menghela napas panjang.

Lalu sahutnya, Tak perlulah, aku sendiri punya senjata penjaga diri.

Segera ia merogoh saku bajunya dan tahu2 tangannya sudah bertambah segulung benda hijau gelap, ketika sedikit tangannya mengepal dan dilepas lagi, benda gulungan itu mendadak berbunyi creng terus mulur sepanjang satu meter, nyata itulah sebatang pedang yang bersinar menyilaukan, pedang itu tipisnya luar biasa, dan ternyata bisa mulur dan mengkeret menggulung sendiri.

Hebat sekali, mengapa pedang ini begini lemas, apa gunanya” tanya Kek Pang rada tercengang.

NG JING-KIN menyentil beberapa kali dibatang pedang itu hingga mengeluarkan suara nyaring, sahutnya : Pedang ini memotong besi bagai rajang sayur, boleh lihat ini! Habis berkata, sekenanya ia tabas kebatang pohon di tepi jalan, pohon itu lebih besar dari paha orang, tapi pedang itu dapat menabas lewat, kemudian pohon itu baru ambruk kesamping.

Tempat dimana pohon itu patah tampak halus bagai digergaji saja.

Hong san Koay Khek “

Betapa terkejut dan kagumnya Kek Pang hingga mulutnya ternganga.

Sementara itu A Siu sudah mendusin, mereka makan sedikit rangsum, lalu melanjutkan perjalanan lagi.

Begitulah mereka terus mencari dipegunungan itu hingga tujuh hari lamanya, dalam pada itu banyak bahan obat-obatan berharga telah dapat dikumpulkan Kek Pang.

Tapi ular dan buah yang mereka cari itu tetap belum diketemukan.

Melihat waktu makin lama makin mendesak, Jing-kin menjadi gopoh.

Sampai hari kedelapan, mereka telah memasuki sebuah lembah sempit, didepan sana terdengar ada gemerciknya air, ketika maju lagi, ternyata ada sebuah tanah luas lapang, sebuah sungai kecil mengalir dengan airnya yang jernih.

Melihat air, saking hausnya Kek Pang terus letakan A Siu ketanah, ia sendiri berjongkok ke tepi sungai buat minum.

Tapi baru beberapa hirupan air masuk perutnya, sekonyong-konyong ia berdiri dengan badan gemetar.

Karuan Jing-kin terkejut, ia lihat sekejap saja wajah Kek Pang sudah biru gelap, tangannya menuding ke sungai dan mulutnya ternganga tak sanggup bersuara lagi.

Ap..

apakah air sungai berbisa “ tanya Jing-kin cepat.

Tapi tubuh Kek Pang sudah menggelongsor jatuh ditepi sungai, ketika Jing-kin membaliki tubuh orang dan memeriksa urat nadinya, ternyata napasnya sudah putus.

Sungguh susah dipercaya bahwa air sungai sejernih itu ternyata berbisa jahat luar biasa, saking terkejutnya sampai Jing-kin melupakan A Siu yang ditaruh ayahnya ketanah tadi sudah berlari-lari pergi memain sendiri dan ternyata tidak kembali lagi.

Jing-kin sendiri termangu-mangu memandangi sungai itu.

Ia pikir dengan terbinasanya Kek Pang, kesukaran yang akan dihadapinya dalam usaha mencari Kiu-bwe-coa ini tentu akan bertambah-tambah.

Sedang Jing-kin berduka, tiba-tiba dilihatnya didasar sungai itu ada segundukan batu berwarna yang tiba-tiba bisa bergerak2.

Malahan lantas ada lagi dua gundukan batu kecil lainnya ikut-ikut bergoyang, gundukan yang tadinya bundar lambat laun memanjang.

Ketika ia tegasi, gundukan batu apa, hakekatnya adalah tiga utas ular yang tadinya meringkuk disitu, sebab itulah tampaknya seperti gundukan.

Melihat ada ular, cepat Jing-kin siapkan tiga buah Bwe-hoa-piau, dan selagi hendak disambitkan kepada ular-ular itu, tiba-tiba dilihatnya ketiga ular itu dimana ekornya mengesot seakan-akan mempunyai sembilan ranting cabang, nyata itulah yang disebut Hong san Koay Khek “

Kiu-bwe-coa atau ular sembilan buntut yang sedang dicarinya setengah mati, malahan sekali bertemu ada tiga jumlahnya.

Karuan terkejut dan girang Ang Jing-kin, senjata rahasia yang sudah hampir disambitkan itu ia tarik kembali mentah-mentah, ia pikir orang kosen yang memberi petunjuk itu pernah bilang bahwa Kiu-bwe-coa ini hidupnya selalu berdampingan dengan Chit-kim-ko, dan untuk menyembuhkan luka sang suami, kedua macam barang itu harus lengkap tak boleh kurang salah satu diantaranya.

Jika sekarang juga ia timpuk mati ular-ular itu, lantas kemana akan mencari buah Chit-kimko itu “ Karena itu ia coba menanti dan curahkan perhatian atas gerak-gerik ular-ular itu, ia lihat Kiu-bwe-coa itu kemudian berenang kehulu sungai, celakanya tiga membagi tiga jurusan.

Tentu saja Jing-kin bingung, yang manakah yang harus dikuntitnya “ Kalau ada Chit-kim-ko, tentu ada Kiu-bwe-coa, tapi ada Kiu-bwe-coa belum tentu ada Chitkim-ko, lalu diantara ketiga ular ini, yang manakah yang menuju ketumbuhan buah itu “ Kalau yang dikuntitnya nanti ternyata menuju ketempat yang tiada tumbuh Chit-kimko, bukankah akan berabe “ Dalam keadaan demikian, ia benar-benar serba salah, sementara itu ular-ular itu sudah merayap makin jauh dan Jing-kin masih kelabakan belum bisa ambil keputusan yang mana harus dikuntitnya.

Pada saat itulah, tiba-tiba ia ingat pada si A Siu, ia menoleh, tapi bocah itu tiada bayangannya lagi, dalam kaget dan kuatirnya, cepat ia berteriak : A Siu, A Siu ! Tapi meski sudah berulang kali ia memanggil, sama sekali tiada sahutan anak perempuan itu.

Sungguh celaka baginya, Kek Pang sudah terbinasa, kini puterinya itu menghilang, bagaimana nanti kalau pulang ia mesti menjawab pertanyaan orang-orang Biau disana “ Dan karena merandeknya itu, bila ia berpaling lagi, dua ular tadi sudah tak kelihatan lagi, hanya ketinggalan satu yang tampak terus berenang kehulu sungai, kalau ular ini tak lekas dikejarnya, boleh jadi sebentar juga akan menghilang, dan ini berarti usahanya akan sia-sia belaka.

Tanpa pikir lagi, segera ia berlari kedepan menyusur sungai mengikuti jejak siular, tapi ia tak berani terlalu dekat, kuatir mengejutkan binatang itu.

Ia menguntit dari jarak beberapa tombak jauhnya, sambil kadang-kadang berseru memanggil A Siu.

Hong san Koay Khek “

Makin lama ia menjadi makin jauh menyusur sungai itu, dan akhirnya dapat diketahui sungai itu ternyata bersumber dari suatu gua.

Ketika sampai didepan gua, ular itu terus merayap kedalam.

Sudah tentu Ang Jing-kin tidak tinggal diam, ia lihat gua itu cukup lebar, segera saja ia ikut masuk, ia pikir Chit-kim-ko tentu tidak jauh lagi disitu, kalau sudah berhasil menemukannya, barulah ia akan mencari A Siu.

Gua itu ternyata menembus kesuatu empang yang dikelilingi tebing-tebing curam hingga susah diketemukan orang luar.

Ditengah-tengah empang itu menonjol dipermukaan air sebuah batu besar dan disela-sela batu itu tumbuh sebuah rumput yang aneh bentuknya, panjangnya ada satu meter, daunnya bundar berwarna ungu, diujung rumput itu tumbuh satu buah sebesar kepalan dan berwarna kuning indah.

Sesudah ular itu menyeberangi empang itu, kemudian merayap keatas batu besar serta meringkuk disitu, hanya kepalanya menegak mengincar terus buah kuning yang besar itu.

Jing-kin yakin tentu buah itulah Chit-kim-ko yang dicarinya, sungguh tidak tersangka olehnya bisa memperolehnya secara begitu mudah.

Maka cepat ia siapkan sebuah Bwehoa-piau, ia incar baik-baik kepala ular itu, jarinya menjentik, cepat Bwe-hoa-piau meluncur kedepan.

Tampaknya sasaran pasti akan segera kena, siapa tahu dari samping tiba-tibapun terdengar suara mendesingnya senjata rahasia, sebuah piau baja telah melayang tiba dan tepat membentur Bwe-hoa-piau yang disambitkan Ang Jingkin itu hingga kedua senjata terpental jatuh semua ke dalam empang.

Melihat piau baja itu datangnya sangat cepat lagi keras, jitunyapun jarang terlihat, ketika Jing-kin mendongak, tahu-tahu dibawah dinding tebing sana sudah berdiri empat orang berkedok yang berperawakan tidak sama.

Melihat keempat orang itu, terkejut dan gusar Jing-kin, dengan suara bengis segera ia membentak : Sebenarnya siapakah kalian berempat “ Kenapa kalian sedemikian keji terhadap kami suami-isteri, tapi toh secara sembunyi-sembunyi tak berani unjuk muka asli “ Tiba-tiba seorang yang tinggi kurus diantaranya tertawa dibuat-buat, sahutnya : Bwe-hoa-siancu, kau toh cukup pintar, kenapa sekarang begini geblek “ Asal kau serahkan pedang hijau dan saputangan merahmu pada kami, betapapun besarnya urusan, bukankah lantas beres “ Hong san Koay Khek “

Ya, kami hanya minta pedang hijau ditanganmu itu dan saputangan sutera merah didalam bajumu itu kau serahkan, lalu kami sudahi segala urusan, malahan kami bersedia membantu kau menangkap Kiu-bwe-coa dan Chit-kim-ko itu untuk menolong jiwamu, tiba-tiba kawannya yang agak pendek ikut bicara.

Tapi kalau kau tetap ngotot, ha, tak perlu kami turun tangan, asal kami hancurkan Chit-kim-ko ini, kemana lagi kau bisa mencari yang keduanya “ Haha, terserah kau mau atau tidak “ Kiranya Ang Jing-kin ini berjuluk Bwe-hoa-siancu atau dewi bunga Bwe, senjata rahasianya Bwe-hoa-piau yang tunggal, setiap kali dapat ditimpukkan lima buah dan sangat jitu, kemahirannya yang lain adalah 36 jurus Bwe-hoa-to-hoat, ia adalah puterinya Siang-say-tay hiap, Bwe-hoa-sin-to Ang San-jiau.

Karena ancaman tadi, saking gusarnya ia membentak pula : Coba katakan dulu siapa kalian berempat “ Kenapa perbuatan kalian mesti secara sembunyi-sembunyi begini “ Bwe-hoa-siancu, nama kami tiada artinya untuk diketahuimu, ada lebih baik lekasan kau ambil keputusan saja sahut sijangkung tadi dengan tertawa.

Namun Ang Jing-kin tidak mudah diancam sambil bicara ia sudah siapkan lima Bwe-hoa-piau ditangannya, telinganya berkumandang apa yang pernah dikatakan suaminya : Jing-kin, sekalipun kita harus mati, jangan sampai pedang hijau dan saputangan merah ini jatuh diempat jahanam itu ! Maka sahutnya kemudian : Baiklah nih, terima ! Berbareng selesai ucapannya, tangannya mengayun, lima sinar terus meluncur kedepan, empat mengarah keempat musuh, yang satu mengincar Kiu-bwe-coa.

Sungguh sama sekali empat orang tidak menduga bahwa Ang Jing-kin ini berani bergurau dengan jiwa suaminya yang tinggal senin-kemis itu, yaitu lebih sayangi kedua benda yang diminta daripada keselamatan sang suami.

Mereka bukan jago lemah, begitu nampak Bwe-hoa-piau menyambar tiba, cepat mereka berkelit, tapi kepala ular yang diarah itu dengan tepat sudah terkena Bwe-hoa-piau satunya hingga hancur.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar